Anda di halaman 1dari 5

Hamid Basyaib : Sepenggal Kisah Seorang Hamid Basyaib Beserta

Buah Pemikirannya
Anwar Munawar
anwarmunawar18juni2003@gmail.com

Pengantar
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada saya khususnya, umumnya kepada kita
semua selaku ummat-Nya. Sholawat beserta salam tak lupa kita curahkan kepada
panutan alam yakni Habibana Wanabiyyana Wamaulana Rasulullah Muhammad
shollallahu ‘alaihi wasallam.
Artikel ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan artikel ini.
Maka dari itu, saya ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak
sumber yang telah berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwasanya masih terdapat
banyak sekali kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu, dengan penuh lapang dada dan tangan terbuka, saya menerima
segala saran dan kritikan dari para pembaca sekalian agar saya dapat memperbaiki
artikel ini semaksimal mungkin.
Akhir kata, saya berharap semoga artikel mengenai Biografi Hamid Basyaib dan
Pemikirannya ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi dan menambah
informasi serta wawasan kepada para pembaca.
Biografi Hamid Basyaib
Tidak banyak yang menggeluti dunia pemikiran sebagai pilihan hidup. Dan, Hamid
Basyaib adalah nama yang sedikit itu. Kelahiran Bandar Lampung, 3 Juli 1962, itu
konsisten memperjuangkan pemikiran demokrasi dan kebebasan berpolitik. "Sebab,
semua manusia sejatinya sama," katanya memberi alasan kiprahnya dalam
pemperjuangkan kebebasan individu.
Kiprah Hamid dalam memperjuangkan demokrasi memang sudah dimulainya sejak
muda. Membaca dan menulis adalah kegiatan yang disukainya sejak SD. Semua
buku apa saja ia lalap. Semangat membacanya terfasilitasi oleh keluarganya yang
punya banyak bacaan: Koran, majalah. Koran, majalah populer, novel, komik, dan
buku-buku milik kakaknya habis dibaca Hamid, termasuk buku-buku terjemahan.
Masa kecil sampai remaja dilaluinya di Bandar Lampung. Ia menempuh SD dan SMP
di Telukbetung. Pada jenjang SMA, Hamid sekolah di SMA PGRI 1 Rawa Laut,
Bandar Lampung, tapi hanya sampai kelas II. Ia meneruskan sekolahnya di
Yogyakarta.
Di Kota Pelajar ini minat membaca dan menulis Hamid makin bertumbuh. Di Yogya
berbagai buku dan bahan bacaan bisa ditemui dengan mudah, amat berbeda
dibandingkan di tanah kelahirannya.
Ketertarikannya dalam menulis ilmiah dibuktikan dengan mengikuti Lomba Karya
Tulis Ilmiah yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Waktu itu
ia baru masuk sekolah SMA di Yogyakarta. Penelitiannya tentang Aksara Bahasa
Lampung.

Untuk mengikuti lomba ini ia rela pulang ke kampung selama dua pekan. Waktu
yang singkat itu ia gunakan untuk mencari berbagai informasi seputar bahasa
daerahnya. Dari penelitiannya, Hamid menyimpulkan bahasa Lampung termasuk
bahasa yang modern karena memiliki aksara sendiri. Bahkan, ia menyimpulkan
Lampung memiliki empat aksara. Sayang, ia tidak juara karena kurangnya
persiapan dan bimbingan.

Jati dirinya sebagai seorang aktivis mulai terbentuk ketika memasuki jenjang
kuliah. Selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Hamid
sempat aktif di beberapa pers mahasiswa yaitu Muhibbah, Himmah,
dan Keadilan. Karena aktif berorganisasi inilah akhirnya ia mengenal banyak aktivis
kampus. Kemampuannya dalam menganalisis permasalahan pun semakin terasah.
Perjuangannya dalam memajukan pers mahasiswa (persma) di zamannya
melahirkan kisah manis sekaligus getir. Saat itu pers mahasiswa menjadi saluran
alternatif karena banyaknya pers umum yang dibungkam. Para penggiat persma
seakan semakin bersemangat untuk menerbitkan koran yang mengusung kebebasan
dan demokrasi. Akibat isinya yang terlalu bebas inilah majalah Muhibbah yang di
pimpin Hamid diberedel. "Saya ingat benar, waktu itu tanggal 9 Desember 1982.
Surat pemberedelannya ditembuskan ke 26 institusi, sampai kami benar-benar
tidak bisa beraktivitas," tuturnya.
Bakat menulisnya terus diasah dengan bekerja di beberapa media, antara lain
Republika, Masa Kini, Kiblat, dan Ummat. Dari dunia jurnalistik ia merambah ke
beberapa lembaga pejuang kebebasan seperti The Indonesian Institute, Jaringan
Islam Liberal (JIL), Yayasan Pantau, Strategic Political Intellegence (Spin), dan
Freedom Institute.
Kini Hamid menjadi direktur program di Freedom Institute, yang bermarkas di
Jalan Irian No. 8, Menteng, Jakarta Pusat. Di lembaga ini berkumpul para
intelektual muda seperti Rizal Mallarangeng, Nirwan Dewanto, Ahmad Sahal, Luthfi
Assyaukanie, dan Ulil Abshar-Abdalla.

Freedom Institute adalah lembaga pemikiran nirlaba yang didirikan dan didanai
pengusaha Aburizal Bakrie (kini Menko Kesesahteraan Rakyat, juga putra Lampung)
pada 2001. Semangat dasar pendiriannya adalah untuk menggalakkan pemikiran,
pertukaran gagasan, diskusi, penelitian, serta penulisan dan penerjemahan buku
dalam tiga tema besar, yaitu demokrasi, nasionalisme, dan ekonomi pasar.
Pemikiran Hamid Basyaib (Kesamaan Hak)
Selain untuk memperjuangkan kebebasan, motivasi Hamid mengambil jalur
pemikiran karena ia ingin memahami dunia dengan cara sendiri. Ia ingin
memahaminya dari permasalahan yang paling kompleks sampai paling sederhana.
Beberapa fenomena yang menarik perhatiannya, yaitu tentang asal usul kehidupan,
teori evolusi Darwin, dan material yang menjadi permulaan kehidupan ini.
Menurut Hamid, semua manusia berasal dari satu sel tunggal. Atas dasar inilah ia
ingin memperjuangkan hak-hak kesamaan setiap manusia, tanpa membedakan
etnis, suku maupun ras. Secara genetik pun setiap manusia itu sama saja. Jadi,
sepantasnyalah jika manusia itu ditempatkan pada posisi yang sama (egaliter).
Sebagai seorang aktivis pejuang kebebasan dan hak asasi manusia (HAM), Hamid
merasa malu dengan kondisi masyarakat yang saling berselisih. "Saya gelisah
karena banyak kelompok yang mengatasnamakan Islam, seolah agama ini saling
benci, padahal kan nggak, kita ini satu dan sama. Sebab itu, tidak satu orang pun
yang punya hak tunggal untuk menafsirkan agama," ujarnya.
Dalam sisi pemikiran, kata Hamid, agama harus dipisahkan dengan ilmu
pengetahuan atau sistem pemerintahan. Karena agama tidak punya sistem
pemerintahan. Sama halnya dengan wilayah batin yang tidak bisa dicampuri orang
lain, apalagi negara. "Negara tidak bisa mengatur sesuatu yang berkaitan dengan
keyakinan batin warganya karena itu hak asasi setiap orang. Biarkan mereka
meyakini apa yang menjadi keyakinannya."
Hamid adalah pengagum sosok mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bagi dia, Gus Dur tidak hanya politisi yang cerdas tapi sekaligus pemikir sosial,
agama, dan budaya yang punya komitmen terhadap kebebasan, pluralitas, dan
keragaman. Pemikirannya tentang kondisi Islam di Indonesia sedikit banyak
memengaruhi Hamid. Ia dan Gus Dur sama menginginkan kebebasan beragama,
demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM. Hamid dua kali menulis buku yang
berkaitan dengan Gus Dur: Gitu Aja Kok Repot dan Saya Gak mau Jadi Presiden
Kok.
Meski memperjuangkan kebebasan dan persamaan hak, Hamid tidak setuju dengan
paham sosialis dan komunis. Menurut dia, paham seperti itu tidak relevan jika ingin
menyamakan ekonomi dan kemampuan seseorang. Hakikatnya setiap orang
memiliki kemampuan dan minat yang berbeda-beda. Begitu halnya untuk bidang
pekerjaan yang akan dipilihnya.
Meski sudah dikenal sebagai pemikir, Hamid masih terus menambah ilmu di bidang
politik. Ia mengambil kuliah pasca sarjana di jurusan Ilmu Politik, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Tapi, aktivitasnya yang padat di beberapa organisasi
membuat kuliahnya tidak sampai selesai.
Sebagai orang Lampung, beribu kenangan akan terlintas begitu ia mendengar kata
Lampung. Memang, ia telah melalui masa-masa kecilnya di Kota Tapis ini. Apalagi
keluarga besarnya, ibu dan saudara-saudaranya, banyak yang menetap di Lampung.
Makanan yang paling disukai, yaitu buah durian dan lempok. Di matanya, Lampung
adalah provinsi yang memiliki segalanya.
Kemajemukan masyarakat Lampung, kata Hamid, sudah ada sejak dulu dan itu bisa
menjadi modal untuk membangun Sang Bumi Ruwa Jurai. Ia pun merasa bangga
dengan kondisi Lampung kini. Pembangunan fisik dan perekonomian bisa
berkembang pesat. Untuk kehidupan kultural, Lampung perlu diperkaya agar
muncul banyak kegiatan batin sehingga ada cara lain dalam melihat kehidupan.

Menurut Hamid, spiritualitas, dalam masyarakat tidak harus berkaitan dengan


agama. Semua hal yang bisa dinikmati secara batin berarti termasuk spiritual itu.
Berkesenian adalah juga salah satu aktivitas spiritual. Dan, Lampung, tidak
kekurangan dalam soal yang ini.
Kesimpulan
Dan, Hamid Basyaib adalah nama yang sedikit itu.
Selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Hamid sempat
aktif di beberapa pers mahasiswa yaitu Muhibbah, Himmah, dan Keadilan.
Akibat isinya yang terlalu bebas inilah majalah Muhibbah yang di pimpin Hamid
diberedel.
Freedom Institute adalah lembaga pemikiran nirlaba yang didirikan dan didanai
pengusaha Aburizal Bakrie (kini Menko Kesesahteraan Rakyat, juga putra Lampung)
pada 2001.
Pemikiran Hamid Basyaib (Kesamaan Hak) Selain untuk memperjuangkan
kebebasan, motivasi Hamid mengambil jalur pemikiran karena ia ingin memahami
dunia dengan cara sendiri.
Beberapa fenomena yang menarik perhatiannya, yaitu tentang asal usul kehidupan,
teori evolusi Darwin, dan material yang menjadi permulaan kehidupan ini.
Sebagai seorang aktivis pejuang kebebasan dan hak asasi manusia (HAM), Hamid
merasa malu dengan kondisi masyarakat yang saling berselisih.
"Saya gelisah karena banyak kelompok yang mengatasnamakan Islam, seolah agama
ini saling benci, padahal kan nggak, kita ini satu dan sama.”
Bagi dia, Gus Dur tidak hanya politisi yang cerdas tapi sekaligus pemikir sosial,
agama, dan budaya yang punya komitmen terhadap kebebasan, pluralitas, dan
keragaman.
Ia dan Gus Dur sama menginginkan kebebasan beragama, demokrasi, dan
penghargaan terhadap HAM.
Hamid dua kali menulis buku yang berkaitan dengan Gus Dur: Gitu Aja Kok Repot
dan Saya Gak mau Jadi Presiden Kok.
Meski memperjuangkan kebebasan dan persamaan hak, Hamid tidak setuju dengan
paham sosialis dan komunis.
Apalagi keluarga besarnya, ibu dan saudara-saudaranya, banyak yang menetap di
Lampung.
Kemajemukan masyarakat Lampung, kata Hamid, sudah ada sejak dulu dan itu bisa
menjadi modal untuk membangun Sang Bumi Ruwa Jurai.
Dan, Lampung, tidak kekurangan dalam soal yang ini.
Daftar Sumber
http://paratokohlampung.blogspot.com/2011/10/hamid-basyaib-1962-terus-
teruslah.html?m=1 diakses tanggal 26-03-2023 pukul 15.21

Anda mungkin juga menyukai