Anda di halaman 1dari 9

Membedah Pemikiran Politik Zainal Abidin Ahmad

Zulfa Karima

Universitas Darussalam Gontor

karimazulfa07@gmail.com

Pendahuluan

Zainal Abidin Ahmad merupakan merupakan salah satu tokoh ulama yang
terjun dalam bidang perpolitikan. Ia mempelajari politik secara otodidak dan mandiri.
Zainal Abidin Ahmad banyak menuangkan pemikiran politiknya dalam tulisan,
sehingga ia mampu menerbitkan lebih dari 20 buku politik islam, membuatnya
menjadi salah satu tokoh terbanyak dalam menulis buku pada masa itu. Kemampuan
jurnalistiknya membuat ia aktif dalam penulisan artikel, dan penertibatan majalah-
majalah yang mampu membangkitkan semangat ketaatan beragama dan anti
kolonialisme. Darinya, ia dipenjarakan karena dianggap bersekutu dengan pihak anti
kolonialisme belanda.

Selain itu, ia merupakan salah satu tokoh Masyumi. Pemikiran politiknya lahir
dari usaha tokoh-tokoh muslim dalam mencari bentuk negara yang cocok dengan
kondisi Indonesia yang terdiri dari beragam agama, suku, dan budaya. Pemikiran
politiknya juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran barat yang disintesiskan dengan
nilai-nilai islami. Ketegasannya dalam mengkritisi pemikiran politik islam klasik, dan
pemikirannya yang egaliter mengenai konsep kedaulatan rakyat banyak menuai
kontra karena dianggap melenceng dengan pemikiran politik klasik yang telah
mapan. Terutama dalam konsep persamaan antar warga negara. Hal ini membuat
pemikiran politik Zainal Abidin Ahmad menarik sehingga perlu dikupas dan ditelaah
lebih mendalam. Makalah ini akan mengkaji perhatian Zainal Abidin pada usaha
untuk menyintesis antara Islam dengan negara, serta menyoroti berbagai pandangan
politiknya sekaligus menganalisis berbagai sepak terjang Zainal Abidin Ahmad
dalam dunia politik.

Biografi

Zainal Abidin Ahmad dilahirkan pada 11 April 1911, di Sulit Air. Ia


menghabiskan seluruh hidupnya untuk merantau. Ia berguru bada Haji Muhammad
Sholeh yang merupakan murid dari Hamka. Darinya muncul ketaatan agama dan
semangat anti-kolonialisme dan penindasan dalam dirinya. Kemudian ia melanjutkan
pendidikanya di Thawalib yang meruapakan sekolah agama tingkat menengah
dengan sistem modern. Dimana ia diajarkan pemikiran pemikiran dari Jamaluddin
Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Tokoh-tokoh islam di awal
kemerdekaan indonesia berjuang untuk menemukan bentuk negara yang sesuai
dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari beragan suku, budaya, agama, dan adat
istiadat.

Tokoh – tokoh islam yang terjun dalam pemikiran politik islam , mayoritas
adalah kaum intelektual yang berlatar belakang akademisi dan memiliki semangat
yang tinggi terhadap Islam. Walaupun demikian ada beberapa tokoh ulama yang
turut terjun dalam pemikiran politik Islam. Zainal Abidin Ahmad merupakan salah
satu pemikir politik islam dari kalangan ulama, bersama dengan tokoh tokoh lain
seperti Isa Anshori dan Yunan Nasution. (Zulkarnain, 2017) Zainal Abidin Ahmad
merupakan salah satu tokoh Masyumi, bersama Muhammad Natsir dan Sjafruddin
Prawinegara. Ia memiliki kecerdasan yang tinggi serta kemampuan pemahaman yang
besar sehingga ia mampu mempelajari segala sesuatu secara otodidak dan mandiri.
Tidak seperti rekan-rekannya yang lulusan pendidikan tinggi secara formal. Namun
kemampuannya dalam menguasai bahasa Inggris, Arab, dan belanda yang
menjadikannya setara dengan tokoh masyumi lainnya.

Gagasan pemikiran politik islam Zainal Abidin Ahmad sangat dipengaruhi


oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Sehingga pemikiran politiknya lahir dari
teorinya mengenai bentuk negara islam. Ahmad juga merupakan salah satu tokoh
yang memperjuangkan islam sebagai dasar negara. Ahmad banyak menuangkan
pemikiran politiknya dengan menulis buku mengenai politik islam. Sebelum menulis
buku dulu ia pernah mengajar di Thawalib dengan materi yang cukup berat yaitu Al-
Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun; Hujjat Al-Islam karangan Musthafa Bey Majid,
Hadir Al-A’lam Al-Islamy, terjemahan dari Lothrop Shoddar, kemudian The New of
Islam yang diberi komentara oleh Pujangga Islam Amir Syakib Arselan. (Notodidjojo,
1984)

Ia berhenti mengajar karena adanya larangan mengajar oleh belanda


(onderwijsverbood). Setelah berhenti mengajar ia menjadi aktif dalam menulis buku.
Menjadikannya sebagai tokoh islam terbanyak yang menulis buku pada masanya.
Tulisannya pun banyak dimuat di majalah al-siyasah yang diterbitkan di Solo. Di sulit
Air ia berkawan dengan Jamalludiin Adinegoro, denganya ia belajar jurnalistik.
(Ahmad Z. A., 1979) Di medan ia juga berteman dengan salah seorang wartawan dari
surat kabar Sinar Deli yang merupakan surat kabar terbesar di Sumatera, yaitu
Mangaraja Luthan. Pengalaman Jurnalistiknya serta relasinya di media surat kabar
mendorongnya untuk menerbitkan surat kabar dengan nama Panji Islam.

Surat kabar ini mendapat tanggapan yang sangat baik dari masyarakat
Indonesia. Bahkan tokoh-tokoh terkenal seperti Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta mengirimkan artikelnya ke surat kabar tersebut. Surat kabar ini selalu memuat
tema-tema yang membangkitkan semangat anti penjajahan. Akibatnya, Zainal Abidin
Ahmad dipenjara selama 6 bulan dengan tuduhan telah melanggar undang-undang
surat kabar (pers delict) karena dianggap bersekongkol dengan penulis artikel yang
anti kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan RI diproklamirkan pada tahun 1945, ia
kembali terjun ke dunia politik dengan bergabung dengan partai masyumi. Aktivitas
yang ia cangangkan adalah aktualisasi pemikiran islam yang dinamis dengan
menentang pandangan pandangan sempit ulama berpikiran tradisional. Menurutnya,
masalah-masalah khilafiyah yang selalu dimunculkan di masyarakat akan
memperkeruh suasana keagamaan dan mengakibatkan perpecahan dari para
pengikutnya.

Gagasan Politik Islam Zainal Abidin Ahmad

Politik Islam menurut Zainal Abidin Ahmad adalah Ilmu yang mempelajari
soal-soal pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, dan cara-cara menjalankannya.
Menurutnya istilah ilmu politik lebih luas dari makna politik itu sendiri. Kata siyasah
sendiri baru diartikan dengan “kenegaraan” atau makna dari politik sendiri, yang
aslinya berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang mengandung ari “kenegaraan”.
(Ahmad Z. A., Ilmu Politik Islam, 1977) Dasar sebuah negara menurut Ahmad abidin
telah diatur dalam QS. Al-Nisa’ ayat 58-59. Ia menyimpulkan bahwa dasar sebuah
negara harus mencangkup beberapa hal yaitu: Amanah, keadilan, dan ketuhanan
yang maha Esa, dan kedaulatan rakyat. Zainal Abidin ahmad melihat bahwa masa
Khulafaur Rasyidin sudah mewarnai empat dasar pokok dan asa berdirinya suatu
negara islam yang dinamakan khilafah dengan susunan masyarakat yang bernama Dar
al-Islamy. Keempat dasar tersebut menurutnya masih sangat relevan untuk dijadikan
dasar negara. Terlebih pengalamannya yang dilakukan dengan menerapkan al-qur’an
dan sunnah sebagi sumber hukum.

A. Amanah
Dasar pemikirannya mengenai amanah berangkat dari ayat al-qur’an
yaitu surat al-Anfal. Menurutnya, amanah adalah memegang hak orang lain,
dan kita wajib menyampaikan hak tersebut kepada orang yang berhak
memilikinya. Bentuk dari amanah menurut Abidin Ahmad terbagi menjadi
empat yaitu:
1. Amanah para pemimpin negara dengan jabatan yang dipegangnya
kepada rakyat yang diperintah
2. Amanah keluarga dan bangsa, supaya bersama-sama menjaga
kehormatan keluarga dan bangsa
3. Amanah antara suami dan istri
4. Amanah antar manusia, baik yang bersifat individu maupuan
masyarakat secara ummum, baik yang bersifat kenegaraan yang didalamnya
terkandung masalah politik, ekonomi dan sosial.
Amanah sebagai dasar negara harus menjiwai setiap individu
masyarakatnya dalam setiap kegiatan kenegaraan. Sama halnya dengan apa
yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah, Abidin ahmad beroendapat bahwa
kepala negara harus berkualitas, dan seluruh kepala negara harus mempunyai
kapabilitas pada bidangnya masing-masing. Jika diabaikan berarti ia telah
melecehkan amanah itu. Menurutnya Amanah menjadi dasar dan rukun yang
menjiwai setiap individunya dalam kegiatan sosial, ekonomi dan politik.
Dalam bidang sosial, amanah merupakan dasar pembentukan masyarakat
yang adil dan makmur. Hal ini telah ditunjukkan Rasulullah SAW ketika
memimpin negara islam di Madinah dengan membentuk Piagam Madinah
atau perjanjian damai dengan semua golongan, termasuk golongan Yahudi,
Keristen, dan suku lainnya.
Penerapan sikap amanah, juga akan membentuk kemakmuran bersama
yang jujur dan teratur dalam perekonomian. Dalam berpolitik penerapan sikap
amanah menciptakan kepercayaan antar negara, terjalinnya hubungan yang
baik, baik dalam melakukankerjasama, kesepakatan, perjanjian, serta
hubungan diplomatik, baik dalam kondisi aman, maupun dalam suasana
perang. (Ahmad Z. A., Negara Utama (Madinatul Fadilah) Teori Kenegaraan
dari Sarjana Islam al-Farabi, 1958) Selain itu Abidin Ahmad juga salah satu
pemikir yang berbicara mengenai konsep demokrasi. Konsep Demokrasi
Zainal Abidin Ahmad banyak dipengaruhi oleh demokrasi parlementer dari
barat.
Zainal Abidin Ahmad juga menyintesiskan pemikiran politiknya
dengan nilai-nilai islami. Hal ini terlihat dari judul-judul bukunya mengenai
demokrasi seperti Islam dan Parlementarisme dan Republik Islam Demokratis.
Dimana salah satu asas terpenting dalam konsep demokrasinya adalah
demokrasi tersimpul dalam ajaran musyawarah. Kedua, asas parlementarisme
yang tersimpul dari ajaran ulul amri. Prinsip representative demokrasi
(demokrasi perwakilan) dalam pandangannya dipelopori oleh Islam. (Ahmad
Z. A., Islam dan Parlementarisme, 1952) Dalam konsep demokrasi juga ia juga
membahas pentingnya syura dan ulul amri dalam politik islam. Zainal Abidin
Ahmad menyatakan bahwa ulul amri sebagai wakil mutlak dari rakyat yang
kedudukannya lebih tinggi dari kepala negara.

B. Keadilan
Dalam bukunya “Membentuk Negara islam” Zainal Abidin Ahmad
menafsirkan bahwa keadilan adalah lawan dari segala bentuk penindasan,
kezaliman, dan pelanggaran terhadap hak orang lain. Penerapan keadilan
dapat membebaskan negara dari segala bentuk penindasan. Dasar keadilan
tersebut ia bagi menjadi 3 bidang yaitu keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan
keadilan politik. Keadilan sosial ini menuntut pertimbanagn yang sehat dan
tidak egoistik dan individualis. Karena keadilan dalam bidang sosial tidak
lepas dari ihsan (sifat kebajikan) dan al-birr (sifat kemanusiaan yang tinggi).
Menurut Zainal Ahamad Abidin agama mmiliki pandangan yang luas. Tidak
hanya memikulkan kewajiban kepada satu pihak dengan memanjakan pihak
lain dengan hak-hak yang lebih banyak, tetapi kedua belah pihak harus sama-
sama tegak diatas hak dan tanggung jawab masing masing. (Ahmad Z. A.,
Membentuk Negara Islam, 1955) Islam yang menjiwai struktur masyarakat
didalamnya sehingga tak seorangpun dibiarkan hidup terlantar.
Praktek penegakan keadilan pernah dilakukan pada masa Khulafaur
Rasyidin menjadi rujukan bagi Abidin Ahmad untuk menjelaskan keadilan
dalam politik islam yang tidak membedakan antara rakyat kecil maupun besar.
Dimana, Kahlifah Umar bin Khattab memberlakukan hukum qisas kepada
seorang Raja Gassan yang baru saja memeluk islam. Raja Gassan yang baru
memeluk islam melakukan tawaf dengan menggunakan pakaian
kebesarannya yang menjurai ke tanah sehingga terinjak oleh salah satu jemaah.
Karena tidak terima raja tersebut menampar jemaah tersebut hingga
hidungnya berdarah. Karena menolak untuk berdamai maka Umar
menerapkan hukum qisas, berupa tamparan yang setimpal dengan apa yang
telah raja tersebut lakukan.

C. Ketuhanan
Agama menurut pengalaman barat atau eropa di era pertengahan
menimbulkan trauma yang besar terhadap masyarakat eropa. Karenanya
masyarakat eropa menolak untuk menerima eksistensi agama dalam urusan
beragama. Sekularisme yang berkembang di barat merupakan upaya
penolakan masyarakat barat terhadap kekejaman dan penindasan gereja
terhadap rakyat.
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa negara islam bukanlah negara
teokrasi, yang berkuasa terhadap diri manusia atau sanubari mereka atas nama
hak tuhan. Negara juga bukan milik pemimpin agama, yang menyatakan
bahwa dirinya wakil tuhan. Negara Islam adalah negara madaniyyah (civil)
yang berkuasa atas nama islam, terbentuk berdasarkan baiat dan musyawarah,
dan orang orang yang dipilihnya mesti kuat dan dapat dipercaya, serta
pengetahuannya dapat diandalkan. (Qardhawi, 1977)
Sejatinya akar permasalahan dari pemikirannya mengenai agama
adalah konsep tuhannya. Konsep tuhan dalam islam adalah mutlak, telah
diturunkan ke jibril secara sempunya dan telah disampaikan kepada umat
secara sempurna, tanpa adanya perubahan. Sedangkan konsep tuhan dalam
agama lain berakar dari pemikiran manusia dan bermasalah, sehingga perlu
dilakukan rekayasa agar pemikirannya dapat diterima oleh manusia.
Hal ini selaras dengan padangan Abidin Ahmad yang dia kutip dari
buku The Modern Trend of Islam karangan H.A.R. Gibb , bahwa dalam Negara
Islam hanya ada suara Tuhan (Fox Dei), yang diikuti oleh suara Nabinya (Fox
Pophurete), dan kemudian suara rakyat (Fox Populi) yang berkuasa dalam
negara. Jadi, kekuasaan yang mesti dipatuhi dalam Islam, tidak bisa lepas dari
undang-undang yang dibuat oleh ketiga komponen di atas, yaitu Tuhan, Nabi,
dan rakyat.
Islam sabagai agama Rahmatan lil ‘Alamin, justru memberikan hak bagi
masyarakat non-muslim untuk hidup dengan aman, damai dalam negara yang
sama-sama mempercayai adanya tuhan. Islam adalah agama yang memiliki
sifat tasamuh (toleransi) yang tinggi dalam kehidupan bernegara dengan
memberikan kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam kitab suci al-
qur’an.

D. Kedaulatan Rakyat
Gagasannya mengenai kedaulatan rakyat Zainal Abidin Ahmad
berangkat dari asas kedua dari pemikirannya mengenai demokrasi
parlementer yaitu asas parlementarisme yang tersimpul dari ajaran ulul amri.
Prinsip demokrasi perwalian dalam pandangannya telah dipelopori oleh
islam. Ulul amri baginya merupakan istilah bagi wakil-wakil rakyat yang
dipilih untuk dewan dewan perwakilan.
Zainal Abidin Ahmad menyatakan bahwa ulul amri sebagai wakil
mutlak dari rakyat yang kedudukannya lebih tinggi dari kepala negara. Selain
sebagai wakil rakyat, ulul amri juga meruapakan badan legislatif negara, yang
berada disamping kepala negara dalam pembentukan undang-undang dan
mengawasi jalannya pemerintahan. (Ahmad Z. A., Islam dan Parlementarisme,
1952)
Ketegasannya dalam menempatkan kedaulatan tertinggi suatu negara
berada ditangan rakyat sungguh berbeda dengan pemiki politik islam yang
membela konsep kedaulatan tuhan. Ia bahkan membela teori J.J Rousseau
tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan tuhan yang pernah ia sebutkan pun
adalah tentang kekuasaan tihan atas semesta alam, bukan terkait aktivitas
politik ummat manusia sebagaimana dipahami pada masa modern sekarang
ini.
Lagi-lagi ada keganjalan dalam pemikiran politik Zainal Abidin Ahmad
yakni mengenai mengenai konsep persamaan antara warga negara. Zainal
Abidin Ahmad juga mengkritisi konsep klasik pemikiran politik Islam tentang
pembedaan warga negara dalam dzimmi (warga negara non muslim) dan
warga negara muslim sebagai non dzimmi. Dalam pandangannya, istilah
klasik dzimmi untuk warga negara nonmuslim yang menjadi minoritas
tidaklah lagi tepat untuk diterapkan pada masa modern ini. Kelompok
minoritas tidak disebutnya sebagai dzimmi (warga negara non muslim), tetapi
dinamakannya sebagai “warga negara yang baik, yang tidak ada lebih
kurangnya daripada warga negara yang beragama Islam.” (Maarif, 1969)
Butir pemikiran ini terasa menjadi ganjalan pemikiran Zainal Abidin
Ahmad yang secara umum bersifat egaliter. Namun ini bisa dipahami bila kita
menilik prinsip umum demokrasi parlementer sebagaimana yang dipegang
oleh Zainal Abidin Ahmad yakni: pertama, kelompok penguasa harus
mendapat persetujuan dari rakyat mayoritas dan kedua, golongan minoritas
haruslah terjamin hak-haknya. Pemilu adalah proses yang dilakukan untuk
memilih wakil rakyat yang dapat memperjuangkan kepentingan rakyat.
Berkaitan dengan orang-orang non-Muslim yang menjadi wakil rakyat,
menurut Abidin Ahmad, hal ini sebaiknya diserahkan kepada kebijaksanaan
masing-masing negara untuk mengaturnya, karena termasuk urusan duniawi.

Penutup
Zainal abidin ahmad merupakan tokoh muslim yang banyak menyumbangkan
pemikiran politik islamnya kedalam buku. Pemikiran politik Zainal Abidin Ahmad
tidak hanya dipengaruhi oleh pemikiran politik islam klasik, namun juga dipengaruhi
oleh pemikiran politik barat. Sehingga banyak konsep yang lahir dari pemikirannya
merupakan kombinasi dari pemikiran barat yang disinyalir dengan nilai-nilai islam.
Dasar pemikiran politiknya berangkat dari pandangannya mengenai bentuk
negara islam, serta konsep demokrasi, musyawarah, kedaulatan rakyat dan Ulul amri.
Pemikirannya dapat dikatakan egaliter bila dibandingkan dengan pemikir poltik
islam pada umumnya. Pertama, pernyataan yang menempatkan kedaulatan rakyat
sebagi kedaulatan tertinggi tanpa adanya bayang-bayang kedaulatan tuhan. Kedua,
sikap egaliternya dalam menentukan syarat bagi pemimpin tang meberikan peluang
yang besar bagi seluruh kalangan masyarakat tanpa ada pertimbangan mengenai
kredibilitasnya untuk menjadi seorang pemimpin. Karena baginya nilai-nilai islam
sepenuhnya adalah demokratis dan egaliter sehingga menolak adanya deskrimisnasi
dan perbedaan, sedangkan islam sendiri bukanlah agama yang bebas nilai. Terlebih
gagasannya mengenai pemilu yang memperbolehkan seorang non-muslim menjadi
wakil rakyat dikarekan wakil rakyat hanya menurus urusan duniawi, jelas
meruapakn kejanggalan.
Teori politiknya tentang demokrasi lebih pada upaya membuat demokrasi
parlementer kompatibel dengan nilai-nilai Islam. Ia percaya bahwa prosedur-
prosedur demokrasi parlementer sangatlah sesuai dengan Islam sebab Islam juga
mempunyai konsep serupa yakni ulul amri dan syura. Namun pemikiran politiknya
ini patut dihargai karena, gagasannya merupakan salah satu bentuk ijtidad.
Walaupun demikian pemikiran Zainal abidin Ahmad ini perlu diteliti lebih
mendalam. Karena pemikirannya yang cenderung sekuler.
Daftar Pustaka
Ahmad, Z. A. (1952). Islam dan Parlementarisme. Jakarta: Pustaka Antara.

Ahmad, Z. A. (1955). Membentuk Negara Islam. Jakarta: Wijaya.

Ahmad, Z. A. (1958). Negara Utama (Madinatul Fadilah) Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam al-
Farabi. Jakarta: Kinta.

Ahmad, Z. A. (1977). Ilmu Politik Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Ahmad, Z. A. (1979). Otobiografi; Riwayat Perintis Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Departemen


Sosial DKI Jakarta.

Maarif, A. S. (1969). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.

Notodidjojo, S. I. (1984). Riwayat Hidup dan Perjuangan H. Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Pustaka
Antara.

Qardhawi, Y. (1977). Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah. Yogyakarta: Pustaka Al-
Kautsar.

Zulkarnain, F. (2017). Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Tsaqafah, 115.

Anda mungkin juga menyukai