Anda di halaman 1dari 1

Merahnya Merah (1968)

Merahnya Merah merupakan karya Iwan Simatupang yang pertama terbit. Cetakan pertama diterbitkan
tahun 1968 oleh Penerbit Djambatan. Cetakan kedua dan ketiga diterbitkan tahun 1986 dan 1992.
Ketiga cetakan tersebut diterbitkan oleh PT Djambatan, Jakarta, dengan oplah terbitan sebanyak 3.000
eksemplar. Pada tahun 1969 diterbitkan pula oleh Gunung Agung, Jakarta, dengan kertas buram setebal
160 halaman (cetakan XIV, Mei 2002, 162 halaman). Merahnya Merah dianggap sebagai novel pertama
yang membawa angin baru bagi kehidupan pernovelan Indonesia. Merahnya Merah berbicara tentang
cinta segitiga di kalangan gelandangan. Masalah yang ditonjolkan dalam novel tersebut ialah pengakuan
bahwa seorang gelandangan tidak sekadar orang bertampang lusuh dan berpakaian compang-camping.
Di antara mereka terdapat juga calon rakib, calon menteri, mantan komandan kompi pasukan berani
mati, dan mantan algojo. Mereka adalah manusia biasa yang mempunyai cita-cita, hati, dan jantung.
Judul Merahnya Merah didasarkan pada peristiwa terbunuhnya tokoh cerita yang bernama "tokoh kita"
di ujung golok Pak Centeng dengan bersimbah darah yang merah. Tumbangnya Pak Centeng di ujung
peluru komandan polisi dengan darah yang mengucur "merah" disambut oleh senja yang "merah" di
ufuk barat. Merahnya Merah dianggap sebagai novel esai karena dalam novel tersebut terdapat falsafah
tentang kehidupan manusia dan banyak fatwa intelektual yang dapat dijadikan pelajaran. H.B. Jassin
(1985) mengatakan bahwa apa yang dilukiskan oleh Iwan Simatupang dalam Merahnya Merah ialah
penghayatan metafisik dari kehidupan bukan sekadar gambaran peristiwa demi peristiwa yang dapat
dicapai oleh manusia. Dami N. Toda (1984), seorang pengamat novel-novel Iwan Simatupang,
mengatakan bahwa novel Merahnya Merah adalah novel kesastraan baru yang antifanatisme. Novel itu
muncul dengan tokoh tanpa nama yang menurut Dami N. Toda mirip dengan karya-karya Robbel Grillet
dan karya-karya Camus. Dami mengatakan bahwa L'annee Dermiere a Marienbad (1961) karya Robbel
Grillet juga memakai gaya dengan nama "Cinne roman" yang bisa mengimbangi gaya "tak bernama"
Iwan. Pendapat Dami N. Toda dipertegas oleh Tubagus Djodi Rawayan Antawidjaya (1977) yang
mengatakan bahwa keberadaan Merahnya Merah merupakan nouveau roman-nya Alain Robbel Grillet.
Umar Junus menganggap bahwa Merahnya Merah merupakan novel pembaharu yang intelektual.
Merahnya Merah terkadang terasa bertentangan dengan realitas. Pembaca dihadapkan dengan tokoh-
tokoh tanpa nama. Kehidupan tokoh "kita" dalam novel tersebut seluruhnya dikuasai oleh perubahan
yang berada di luar dirinya dan ia terseret ke dalamnya. Merahnya Merah menunjukkan bahwa jika jarak
antara rakyat dan para intelektual telah diambil, para intelektual tersebut berubah menjadi rakyat
banyak. Bahkan mereka pun menjadi gelandangan. Merahnya Merah menyamakan tokoh aktualisasi
yang sedang berkembang di Barat. Pergelaran yang ada dalam novel itu bukan hanya pengalaman yang
ada dalam imajinasi Iwan, melainkan juga pengalaman yang mungkin dialami Iwan sendiri atau mungkin
dialami oleh pembacanya meskipun dalam tahap yang berbeda-beda.

Anda mungkin juga menyukai