I
O.W. Holmes (Filsuf Amerika, 1841-1935) pernah mengatakan bahwa “the
ultimate good desired is better reached by free trade in ideas and the best test of
truth is the power of the thought to get itself accepted in the competition of the
market, and that truth is the only ground upon which their wishes safety can be
carried out” (kebaikan terakhir yang dikehendaki adalah lebih baik dicapai melalui
perdagangan-perdagangan bebas tentang ide bahwa sebaik-baik ujian bagi suatu
kebenaran ialah kekuatan pikiran untuk membuat dirinya dapat diterima dalam
persaingan pasar dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan keinginan
mereka yang dengan selamat dapat dilaksanakan).2
Fuad I. Khuri juga pernah mengatakan bahwa “the separation between Islam
and muslims, the ideal and the real, the spiritual and the temporal is not a source of
tension in Islam. It is rather a form of adaptation to religious teachings. A believer is
perfectly in harmony with himself when he states: “True, I mistreat my wife, but
Islam instructs me to be merciful to women ” (Pemisahan antara Islam dan muslim,
antara yang ideal dan yang riil, antara yang spiritual dan yang temporal, bukan
merupakan sumber ketegangan dalam Islam. Ia hanya merupakan bentuk adaptasi
1 Jamaluddin al-Afghani, Al-Urwah al-Wutsqa, 1970, 112.
2 Pernyataan Filsuf Amerika Serikat, O.W. Holmes (1841-1935), dikutip dari Ahmad
Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner , Jakarta: Kompas,
2010, 96.
1
menuju keberagamaan. Orang yang beriman pasti harmonis dalam hidupnya ketika
mengatakan: “Betul, saya telah memperlakukan keliru terhadap isteri saya, tetapi
Islam mengajarkan kepada saya agar saya tetap menyayangi kaum wanita). 3
Berangkat dari pernyataan Holmes dan Khuri di atas, penulis yakin bahwa
kebenaran akan dapat diraih antara lain melalui perdagangan dan persaingan antar
ide. Sebagai wahana jualan ide menuju keberagamaan ideal, pada kesempatan ini,
penulis akan mencoba membahas krisis kepemimpinan di Indonesia dengan
menawarkan karakteristik kepemimpinan berkualitas (namun tetap muslim, adil,
Pancasilais) dan melengkapinya dengan 3 (tiga) suplemen tulisan terkait pro kontra
pemimpin muslim dan non-muslim yang akhir-akhir ini kembali mengemuka. Ketiga
tulisan tersebut (bukan karya penulis) adalah: (1) “Membajak Fatwa Ibn Taimiyah
Untuk Menjustifikasi Rezim Kufur” (Hafidz Abdurrahman), (2) “Memilih Pemimpin
Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?” (Muhammad Abduh Tuasikal),
dan (3) “Pemimpin Non-Muslim Identik dengan Kafir?” (Haidar Bagir). Dengan ketiga
artikel tersebut, para pembaca diharapkan mampu menelaah dan menyimpulkannya
sendiri secara hati-hati, dengan hati yang bersih, dan sepenuh hati.
II
Secara kuantitatif, Indonesia (terletak di kawasan Asia Tenggara) adalah
negara Muslim terbesar di dunia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik dan
menarik. Dikatakan unik dan menarik karena: (1) meskipun mayoritas penduduknya
Muslim, tetapi Islam bukanlah dasar negara. Dasar negara Indonesia adalah
Pancasila sebagai hasil kompromistik antara kelompok Muslim dan Nasionalis; (2)
dengan kurang lebih 270 (dua ratus tujuh puluh) juta penduduknya, Indonesia
hampir selalu mengalami kesulitan dalam memilih pemimpin baru, baik sebelum
maupun sesudah era reformasi; (3) selain banyak kelompok masyarakat yang
antusias ketika memilih pemimpin baru, banyak juga kelompok lain yang biasa-biasa
saja, bahkan acuh tak acuh, dan menyerahkan sepenuhnya pilihan mereka kepada
kelompok lain untuk melahirkan pemimpin baru. Kelompok terakhir ini berpandang-
an bahwa siapa pun pemimpinnya, dengan cara apa pun ia dipilih, yang penting,
bangsa ini semakin maju, aman, sejahtera, 4 dan selalu mendapatkan ridha-Nya.
Oleh karena itu, adalah wajar jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia
saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan yang relatif akut.
3 Fuad I. Khuri, Imams and Amirs, State, Religion and Sects in Islam , London: Saqi
Books, 1990, 33.
4Sekalipun kedaulatan dan demokrasi itu penting, tetapi, jika kepentingan “kemanu-
siaan bersama” bertentangan dengannya, maka, kedaulatan dan demokrasi harus ditang-
guhkan demi pembebasan manusia dari penderitaan yang mengancam kehidupan mereka.
Lihat, Jennifer Hyndman, Managing Displacement, Refugees and the Politics of Humanitari-
anism, Minneapolis, London: University of Minnesota Press, 2000, 3-4.
2
Krisis kepemimpinan di Indonesia dapat terjadi bukan karena tidak ada
pemimpin, tetapi ‘acuan’ dan ‘trust’ masyarakat terhadap pemimpinnya di level mana
pun (yang ”ditunjuk” atau ”dipilih”) sedang mengalami degradasi yang menyedih-
kan. Krisis demikian juga terjadi bukan karena tidak ada SDM calon pemimpin yang
berkualitas, tetapi, karena hampir semua institusi (negara, sosial politik, agama, dan
intelektual-pendidikan) tidak sedini mungkin menyiapkan calon penggantinya.
Sebelum menjadi pemimpin dan di awal kepemimpinannya, seorang pemimpin
biasanya sangat gigih untuk mendapatkan, mengawal, dan melestarikannya, tetapi,
menjelang selesai dan di akhir masa jabatannya, ia enggan melepaskannya, meski
ada juga yang sangat siap untuk ”diganti”. 5 Sebagai contoh, dalam institusi negara
dan sosial politik, para pemimpin dibatasi masksimal 2 (dua) periode. Tetapi, dalam
prakteknya, banyak di antara mereka yang masih menginginkan berlanjut dengan
mencalonkan keluarganya (istri, suami, atau anak, atau ingin berlanjut dan
diperpanjang). Di lembaga-lembaga sosial keagamaan dan intelektual-pendidikan
juga demikian. Sampai-sampai muncul istilah populer yang menyebutkan bahwa
‘institusi’ lebih sering dimanfaatkan untuk kepentingan ‘orang-orang’ tertentu, bukan
‘orang-orang’ tertentu untuk kepentingan ‘institusi’. Pergantian kepemimpinan dalam
sebuah organisasi juga sering terjadi hanya pada level orang pertama, sedang,
kepemimpinan (kepengurusan) yang lain di bawahnya, masih bertahan pada posisi
awal, atau, jika harus bergeser, bergeser sedikit ke posisi yang lain. Bahkan, banyak
juga di antara mereka yang masih dipertahankan pada posisi awal (tertentu) sampai
titik jenuh (seumur hidup) dari sebuah kepemimpinan (kepengurusan) organisasi
tersebut (mungkin karena tidak ada kader yang lain). Oleh karena itu, jika pada level
nasional bangsa ini mengalami krisis kepemimpinan, maka, hal itu harus
3
dimaklumi dan tidak perlu diratapi, karena, justru lembaga-lembaga (negara, sosial
politik, agama, dan intelektual-pendidikan) tersebut lah yang menjadi penyebab,
pemicu, dan penghambatnya dalam mendapatkan pemimpin baru yang
berkualitas.
III
Kepemimpinan sering dimaknai sebagai upaya untuk mempengaruhi banyak
orang melalui komunikasi guna mencapai suatu tujuan. Yang dimaksud dengan
komunikasi adalah memberi dan menerima sebuah pesan. Dengan memperhatikan
ruang dan waktu, substansi dan manifestasi pesan harus berjalan berkelindan.
Komunikasi merupakan bagian penting dari sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan dukungan dari (antara)
bawahan agar tujuan organisasional dapat tercapai. 6 Dengan kata lain, tugas
pemimpin adalah menjaga keutuhan kemitraan bagi para pekerjanya dalam sebuah
institusi. Seorang pemimpin yang dapat memberi inspirasi, membujuk, mempenga-
ruhi, dan memotivasi, akan dapat memicu perubahan yang berguna. Menciptakan
perubahan merupakan salah satu tujuan kepemimpinan, karena, kebanyakan perba-
ikan itu memerlukan perubahan dari status quo menuju lembaga yang dinamis.
Seorang pemimpin menciptakan visi bagi orang lain dan kemudian mengarahkan
mereka untuk mencapai visi tersebut. Untuk menjadi pemimpin, kita harus memiliki
bawahan yang percaya pada kita dan bersedia berkomitmen mendukung kita dalam
mencapai tujuan. Inilah yang dimaksud dengan kepemimpinan.7
Dalam Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW, The Super
Leader Super Manager disebutkan 8 (delapan) model dan fokus kepemimpinan
Muhammad SAW: (1) Self Leadership & Personal Development, (2) Business &
Entrepreneurship Leadership, (3) Managing A Harmonious Family, (4) Dakwah
Management, (5) Learner & Educator, (6) Social & Political Leadership, (7)
Legal Development, (8) Military Strategy & Leadership.8
Meski tumbuh di lingkungan masyarakat yang minim praktek baca tulis,
Muhammad Saw adalah pemimpin dan pembelajar yang cepat. Beliau belajar dari
pasar, dari kawan-kawannya, dari berbagai peristiwa, dari perjalanan dagang, dan
10Al-Qur’an: (1) Iqra’ bi ismi rabbika al-ladzi khalaq (QS Al-‘Alaq: 1) (2) Yu’ti al-
hikmata man yasya’ wa man yu’ta al-hikmata faqad utiya khairan katsiran wa ma
yadzdzakaru illa ulu al-bab (QS Al-Baqarah: 269); (3) Ya ayyuhalladzina amanu idza qila
lakum tafassakhu fi al-majalisi fafsakhu yafsakhillahu lakum, wa idza qila insyuzu fan syuzu,
yarfa’illahu lladzina amanu minkum walladzina ‘utu al-‘ilma darajat, wallahu bima ta’maluna
khabir (QS Al-Mujadalah: 11); (4) Wa min al-nasi wa al-dawwabi wa al-an’ami mukhtalifun
alwanuhu kadzalika, innama yakhsya allahu min ‘ibadihi al-ulama’, inna allaha ‘azizun ghafur
(QS Fathir: 28); (5) Amman huwa qanitun ana’allaili sajidan wa qaiman yahdzar al-akhirata
wa yarju rahmata rabbihi, qul hal yastawi alladzina ya’lamuna wa alladzina la ya’lamun,
innama yatadzakkaru ‘ulu al-albab (QS Al-Zumar 9); (6) QS 3: 7-8, 18; QS 17: 36, 107; QS
20: 114; QS 16:43; QS 2: 146. Al-Hadis: (1) Thalab al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin
wa muslimatin (HR Ibn Abd al-Barr); (2) Afdhal al-sadaqati an yata’alalam al-mar’u al-
muslim ‘ilman tsumma yu’allimuhu akhahu al-muslim (HR Ibnu Majjah) ; (3) Al-Ulama
waratsah al-anbiya’ (HR Al-Khatib); (4) Ilmu kebijaksanaan ( al-hikmah) adalah barang
hilangnya kaum beriman, maka, barangsiapa menemukannya hendaknya ia memungutnya;
(5) Ambillah al-hikmah dan tidak akan berpengaruh buruk kepadamu dari bejana apa pun ia
keluar; (6) Barangsiapa menempuh jalan dan di situ ia mencari ilmu, maka, Allah akan
memudahkan baginya jalan ke surga; (7) Kelebihan orang berilmu atas orang beribadat
adalah bagaikan kelebihan rembulan di waktu malam ketika ia purnama atas sekalian
bintang-bintang. Mahfudzat: (1) Akhi lan tanal al-ilma illa bi sitatin saunbi-ka ‘an tafsiliha bi
bayanin: dzakaun, wa hirsun, wa ijtihadun, wa dirhamun, wa suhbatu ustadzin wa thulu
zamanin; (2) Uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi; (3) Uthlub al-ilma walau bi al-shin; (4)
Al-ilm bila ‘amalin ka al-syajari bila tsamarin.
11H.R. Abu Dawud, Sahih …., No. 3643.
5
Ubay ibnu Salul. Di kalangan non muslim ada yang menganut Paganisme, Nasrani,
dan Yahudi. Kaum Paganisme memiliki raja sendiri yaitu Ka’ab bin Ashraf. Yahudi
pun bersuku-suku seperti Bani Nadhir, Bani Quraidzah dan Bani Qainuqa’.
Pertanyaannya adalah bagaimana Rasulullah SAW mengelola dan mengendalikan
kerukunan dan keharmonisan masyarakat di Madinah?12
Washington Irving mengatakan bahwa ketika di Madinah, Muhammad Saw
memperlakukan kawan dan orang asing, orang kaya dan orang miskin, orang kuat
dan orang lemah, dengan cara yang adil. Dia dicintai oleh rakyat jelata karena dia
menerima mereka dengan kebaikan hati dan mendengarkan keluhan-keluhan
mereka. Ketika memiliki kekuasaan yang amat besar, beliau tetap sederhana dalam
sikap dan penampilannya, sama seperti ketika beliau dalam keadaan sengsara. 13
Maka dari itu, tidak heran, dengan kepiawaian sosial politik Muhammad Saw
yang sangat tinggi, Sir George Bernard Shaw pernah mengatakan: ”jika ada agama
yang berpeluang menguasai Inggris, bahkan Eropa beberapa ratus tahun dari
sekarang, maka, Islam lah agama tersebut.14
Dengan mengikuti kepemimpinan dan keteladanan Muhammad Saw, setiap
pemimpin (muslim) di institusi mana pun, harus memiliki minimal 4 (empat)
tanggung jawab. Tanggung jawab pertama adalah untuk mendukung dan
menjamin agar masyarakatnya memiliki masa depan yang cerah dan menjanjikan
dengan cara antara lain bekerja keras dan berdo’a sungguh-sungguh, menghindari
konflik (internal) menuju integrasi sesama dan bekerjasama (sama-sama bekerja).
Tanggung jawab kedua adalah menjamin agar mereka mampu mengelaborasi
potensi institusi yang kemampuan produktifnya bisa menurun tetapi juga bisa
berkembang sesuai dengan dukungan SDM yang ada. Tanggung jawab ketiga,
tidak menghilangkan kesempatan bagi masyarakatnya untuk senantiasa mempelajari
apa yang belum diketahui seperti nilai-nilai unggul demi masa depan mereka.
Adapun tanggung jawab keempat, seorang pemimpin harus menjamin bahwa
kepemimpinannya itu pasti akan beralih dan berganti (suksesi) kepada orang lain
secara normal. Tanggung jawab-tanggung jawab seperti itu merupakan tanggung
6
jawab bersama sebagai "fardu kifayah". Fardu kifayah adalah suatu kewajiban
bersama. Dalam fardu kifayah, yang diutamakan adalah tercapainya target, bukan
sekedar tertunaikannya sebuah kewajiban. Selama targetnya belum dapat dicapai,
kewajiban bersamanya masih tetap berlaku.15
IV
Dewasa ini tidak ada yang menyangkal bahwa dalam kurun waktu 150 sampai
dengan 200 tahun terakhir, umat manusia telah mengalami perubahan luar biasa
ketika berhubungan dengan Tuhan, alam, dan manusia itu sendiri. Perubahan luar
biasa demikian karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan, tatanan sosial
politik, sosial ekonomi, energi, hukum, tata kota, lingkungan hidup, dan lain
sebagainya. Menurut Abdullah Saeed, perubahan dahsyat tersebut antara lain terkait
dengan globalisasi, migrasi penduduk, kemajauan sains dan teknologi, eksplorasi
ruang angkasa, penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genetika, nano
teknologi, pendidikan, dan kemajuan tingkat literasi umat manusia. Di atas semua
itu, adalah bertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya harkat
dan martabat manusia (human dignity), perjumpaaan yang lebih dekat antarumat
beragama (greater interfaith interaction), munculnya konsep negara-bangsa yang
berdampak pada kesetaraan dan perlakuan yang sama kepada semua warganegara
(equal citizenship), kesetaraan gender dan lain-lain. Perubahan sosial yang dahsyat
tersebut berdampak luar biasa dan dapat merubah pola pikir serta pandangan
keagamaan (religious world view), baik di lingkungan umat Islam maupun non-
muslim lainnya,16 termasuk ketika akan memilih pemimpin baru.
Dengan kebhinekaannya, akhir-akhir ini, di Indonesia (terutama fenomena
Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jaya ketika itu) sering muncul
pertanyaan apakah ”pemimpin non-muslim tetapi adil” itu lebih baik daripada
”pemimpin muslim tetapi korup”? Dalam konteks Indonesia modern, yang -
meskipun sangat pluralistik – berpenduduk mayoritas muslim, kenapa pertanyaan
yang secara logika tidak berkualitas itu harus dimunculkan? Kenapa alternatif
pilihannya juga hanya 2 (dua)? Kenapa masyarakat ini tidak diberi pilihan-pilihan lain
yang tidak menjebak? Kenapa pilihannya tidak ditambah lagi dengan misalnya:
”pemimpin yang Pancasilais”, ”pemimpin muslim yang adil”, dan ”pemimpin
muslim yang Pancasilais”, ”pemimpin muslim yang adil dan Pancasilais”?.
11
filsafat hubungan, filsafat humanistik yang dirancang untuk secara efektif
mengkomunikasikan pemahaman, empati, dan sikap positif yang tidak kondisional
dalam konteks kultural yang sesuai. Apabila digunakan dengan tepat, mendengar-
kan aktif akan memperkuat hubungan pribadi, mengurangi kesalahpahaman dan
konflik, dan mendorong kolaborasi.32
Mendengarkan aktif mengharuskan seorang pemimpin untuk menggunakan
respon-respon fasilitatif seperti memparafrasekan dan mengklarifikasi pernyataan,
refleksi isi dan perasaan, dan menyimpulkan pernyataan untuk menunjukkan adanya
ketertarikan yang mendalam serta pemahaman akan niat dan perasaan si
pembicara. Meskipun pada akhirnya keputusan yang dibuat oleh administrator
akademik tidak sejalan dengan permintan tenaga pengajar (guru), penting untuk
memastikan bahwa yang membuat permintaan merasa dirinya telah didengarkan
dan diperlakukan secara terhormat. Apabila kondisi ini tercapai, maka, kepercayaan
antara seorang pemimpijn yang suportif dengan konstituennya akan tumbuh.
Meskipun pemimpin sebuah organisasi dapat memiliki kewenangan yang
diberikan kepadanyan oleh suatu badan pengatur, seorang pemimpin yang sukses
jarang menggunakan kewenangan tersebut dan oleh karena itu bergantung pada
pengaruh otoritas untuk mencapai tujuan lembaga. 33
Pemimpin selalu menemukan jalan agar anak buahnya dapat meraih
kemenangan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu memberi arah dan
jalan menuju kemenangan bagi masyarakat yang dipimpinnya, karena, hidup ini
adalah parade kemenangan, bukan parade kekalahan. Dalam konteks ini, memang
ada beberapa kemenangan yang diraih oleh sebuah lembaga meski itu semua
karena inisiasi mereka sendiri. Karena, lembaga yang hebat memang dibangun oleh
para pemimpin yang visioner, yang mendukung diciptakannya dan/atau dipertahan-
kannya tradisi keunggulan dalam bidang tertentu, yang ingin menjadi bagian dari
tradisi tersebut dan mendukung mereka untuk mencapai tingkatan mutu teratas. 34
Momentum adalah sahabat terbaik seorang pemimpin. Kesempatan tidak
akan datang dua kali. Di saat memimpin, seorang pemimpin harus memanfaatkan
momentum yang ada. Begitu momentum itu hilang, maka, pemimpin itu sekaligus
melakukan investasi kegagalan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus menyadari
prioritas aksinya. Ketika memimpin sebuah lembaga tentu banyak yang harus
dipikirkan dan direncanakan. Program A mungkin penting bagi kelompok tertentu,
tetapi, menjadi tidak penting bagi kelompok yang lain. Dengan begitu, prioritas
menuju kualitas kegiatan sebuah lembaga harus menjadi perhatian seorang
pemimpin. Apabila atas usaha bersama, mutu SDMnya meningkat, maka, mutu
12
lembaganya juga meningkat. Apabila mutu SDMnya menurun, maka, lembaganya
juga akan menurun.35
Dalam memanfaatkan momentum di atas, seorang pemimpin juga harus
berpikir tentang pengorbanan. Pengorbanan harus selalu dikobarkan oleh seorang
pemimpin. Seorang pemimpin memang harus berani berkorban, bukan saja tenaga,
waktu, dan hartanya, tetapi, jika perlu adalah nyawanya. Pemimpin yang hanya
mencari keuntungan duniawi biasanya tidak akan lama dipercaya memimpin sebuah
institusi. Untuk dapat melayani dan menjadi pejuang misi institusi, salah satu kriteria
pemimpin terpenting adalah keserasian antara gaya kepemimpinan yang dianut
oleh pemimpin dengan kebutuhaan lembaganya. Apabila terdapat kecocokan,
seorang pemimpin dapat membantu mencapai tujuan lembaga dan berkontribusi
terhadap kemajuan misi institusi. Ketika tidak, waktu dan talenta yang dibutuhkan
untuk memajukan misi institusi terbuang untuk mencoba meresolusi konflik dan
menangani situasi yang didorong oleh keuntungan pribadi dan bukan untuk
kebaikan bersama. Dan apabila misi berubah, sebagaimana halnya dalam beberapa
lembaga di Indonesia, seorang pemimpin juga harus menjadi mediator kultural yang
efektif.36
Memimpin adalah sama pentingnya dengan saat-saat (waktu) mengerjakan
apa dan akan menuju ke mana. Dalam pepatah Arab dikatakan, al-waqt atsmanu
min al-dzahab dan dalam pepatah Inggris disebutkan bahwa time is money.
Pemimpin yang futuristik, dengan demikian, adalah pemimpin yang tidak menyia-
nyiakan waktu. Waktu terus berlalu dan waktu tidak boleh diganggu. Pemimpin
harus mengetahui nilai-nilai dan tradisi yang mengkarakterisasi institusi mereka dan
berupaya untuk membangun berdasarkan tradisi untuk mencapai tingkatan mutu
yang lebih tinggi lagi. Baik dipilih maupun ditunjuk, bahkan ketika seorang pemimpin
dipilih dari dalam institusinya dan dengan demikian telah mengenali budaya dan
tradisi institusi tersebut, ia harus mengambil waktu untuk berinteraksi dengan
anggota-anggota kunci dari beberapa SDM, meninjau kembali dokumen-dokumen
bersejarah, menghadiri acara dan upacara, dan juga mempelajari budaya yang
melahirkan harapan-harapan kepemimpinannya.
Dalam memimpin sebuah institusi, paradigma pemikiran seorang pemimpin
harus berkembang secara evolusioner, tetapi, kalau pengembangan kegiatan dan
fisik, yang dapat segera dibaca orang, harus bersifat revolusioner. Persoalannya
memang tergantung pada tim dan dana yang tersedia. Jika adagium ”orang untuk
organisasi”, maka, orang-orang tersebut harus menopang dan mencarikan dana
untuk organisasi, bukan ”organisasi mencarikan dana dan memberikan fasilitas
untuk orang per orang”. Akhirnya, nilai utama dan terpenting seorang pemimpin
13
akan diukur dari keberhasilannya dalam suksesi.37 Dari sekian banyak ciri khas dan
perspektif Maxwell, yang terpenting adalah soal suksesi dalam kepemimpinan.
Sesukses apa pun, sebagaimana disinggung di muka, jika seseorang itu memimpin
dan tidak sukses dalam suksesi, maka, yang lain-lainnya akan mansukh dengan
sendirinya.
Sebagai tambahan, penulis akan menyampaikan Responsibility Centered
Management (RCM) dari Gonzales yang sebaiknya diketahui oleh seorang pemimpin
lembaga sebagaimana dikutip dari Whalen (1991) yang telah mengartikulasikan
konsep-konsep dasar RCM sebagai berikut: (1) kedekatan: semakin dekat titik
suatu keputusan operasional ke titik implementasi, maka, keputusan yang diambil
mungkin akan lebih baik; (2) proporsionalitas: derajat desentralisasi memiliki
relasi positif terhadap ukuran dan kompleksitas lingkungannya; (3) pengetahuan:
keputusan yang benar mungkin terjadi dalam suatu lingkungan yang kaya akan
informasi; (4) fungsionalitas: kewenangan dan komando akan sumberdaya harus
diiringi dengan tanggung jawab untuk tugas yang diberikan dan sebaliknya; (5)
pengakuan kinerja: untuk membuat distribusi tanggung jawab menjadi
operasional, dibutuhkan serangkaian apresiasi dan sanksi; (6) stabilitas: perenca-
naan dan pelaksanaan yang baik perlu difasilitasi oleh lingkungan yang stabil; (7)
komunitas: lembaga atau organisasi merupakan upaya manusia kolektif; nasib
satuan individu terikat dalam kesuksesan institusi tersebut secara keseluruhan; (8)
pengaruh: dalam suatu sistem pembuatan keputusan dan operasional yang
terdesentralisasi, legitimasi tanggung jawab institusional dan lokal harus diakui; (9)
arah: diasumsikan terdapat arah dan rencana kegiatan untuk setiap institusi atau
organisasi.
SUPLEMEN
Kita sering mendengar ada tokoh Muslim dan Sekuler menggunakan fatwa
Ibn Taimiyah untuk menjustifikasi keabsahan penguasa Kafir, dan sistem Kufur.
Terbaru, ada tokoh Muslim, yang menyatakan pandangan serupa. Meski ini bukan
hal baru, tetapi, wacana ini tetap harus didudukkan secara obyektif dan
porporsional. Karena itu, penting untuk melihat dan mendudukkan fatwa Ibn
Taimiyah tersebut secara jujur dan akurat sebagaimana yang beliau maksudkan.
37 Ibid., 26.
14
Fatwa yang dimaksud tertuang dalam kitab beliau, Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyyah (Juz XXVIII/121). Bunyi lengkap fatwa tersebut sebagai berikut:
ما فيها ظلم للناس؛ كالظلم بأخذ األموال ومنع الحقوق؛ والحس د: أحدها:(ولهذا كانت الذنوب ثالثة أقسام
م ا: والث الث. كشرب الخم ر والزن ا؛ إذا لم يتع د ض ررهما، ما فيه ظلم للنفس فقط: والثاني.ونحو ذلك
…وق د ق ال هللا.يجتمع فيه األمران؛ مثل أن يأخذ المتولي أم وال الن اس ي زنى به ا ويش رب به ا الخم ر
﴿ُقْل ِإَّن َم ا َح َّر َم َر ِّب َي اْل َفَو ِحَش َم ا َظ َهَر ِم ْن َه ا َو َم ا َب َط َن َو اِإلْث َم َو اْل َب ْغ َى ِبَغْي ِر اْلَح ِّق َو َأن ُتْش ِر ُك وْا ِباِهَّلل َم ا:تعالى
.]33 :َلْم ُيَن ِّز ْل ِبِه ُس ْلَط ـنًا َو َأن َت ُقوُلوْا َع َلى ِهَّللا َم ا َال َت ْع َلُموَن ﴾ [األعراف
(Karena itu, dosa dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: Pertama, dosa
yang mengandung kezaliman kepada manusia seperti kezaliman dengan
mengambil harta, menghalangi hak orang, dengki, dan sebagainya. Kedua,
dosa yang hanya mengandung kezaliman kepada diri sendiri seperti minum
khamr dan zina (jika bahayanya tidak menimpa orang lain). Ketiga, dosa
yang mengandung kedua-duanya, seperti orang yang mendapat amanah
untuk mengurus urusan mengambil harta orang, yang harta tersebut dia
gunakan untuk berzina dan dia gunakan untuk minum khamr. Dalam kaitan
ini, Allah SWT telah berfirman: “Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui. (QS. Al-A’raf, 07: 33)
أكثر مما تستقيم م ع الظلم في:وأمور الناس تستقيم في الدنيا مع العدل الذي فيه االشتراك في أنواع اإلثم
إن هللا يقيم الدولة العادل ة وإن ك انت ك افرة؛ وال يقيم الظالم ة:الحقوق وإن لم تشترك في إثم؛ ولهذا قيل
وق د ق ال النبـي. وال ت دوم م ع الظلم واإلس الم، الدنيا تدوم م ع الع دل والكف ر: ويقال.وإن كانت مسلمة
«ليس ذنب أسرع عقوبة من البغي وقطيع ة ال رحم»؛ فالب اغي يص رع في ال دنيا:صلى هللا عليه وسّلم
وذلك أن العدل نظام كل شيء؛ فإذا أقيم أمر الدنيا بع دل ق امت،وإن كان مغفورًا له مرحومًا في اآلخرة
ومتى لم تقم بعدل مل تقم وإن كان لصاحبها من االيم ان م ا،وإن لم يكن لصاحبها في اآلخرة من خالق
.)يجزى به في اآلخرة
Urusan manusia di dunia ini akan tetap lurus bersama keadilan yang disertai
dengan berbagai macam dosa, lebih lurus ketimbang urusan tersebut
bersama kezaliman dalam hak meski tidak disertai dengan satu pun dosa.
Karena itu, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan
negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan
menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam.” Ada juga yang
mengatakan, “Dunia akan tetap bertahan bersama keadilan dan kekufuran,
dan tidak akan bertahan bersama kezaliman dan Islam.” Nabi SAW telah
bersabda: “Tidak ada satu pun dosa yang lebih cepat dikenai siksa ketimbang
kezaliman dan memutus hubungan kekerabatan.”
Orang zalim di dunia akan dilawan meski di akhirat diampuni dan
mendapatkan rahmat (belas kasih Allah). Itu karena keadilan merupakan
aturan segala hal. Jika urusan dunia ditegakkan dengan adil, maka, dunia
tetap akan tegak, meski di akhirat orangnya tidak beruntung. Selama tidak
15
ditegakkan dengan adil, maka dunia tidak akan tegak, meski orangnya
beriman, dan di akhirat mendapatkan balasan atas keimanannya).
Jadi, pendapat yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan
negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan menegakkan
negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam” sebenarnya bukan pendapat Ibn
Taimiyah. Beliau hanya mengutip pendapat orang lain, “karena itu, ada yang
mengatakan …....” untuk menjelaskan pandangan beliau tentang tiga kategori dan
muatan dosa manusia.
Selain itu, keterangan ini juga tidak menjelaskan apa pun tentang sikap beliau
tentang keabsahan bentuk negara Kafir yang penting adil, atau, penguasa Kafir yang
penting adil. Karena, hal ini hanya menjelaskan tentang fakta keadilan dan
kezaliman, dan dampaknya terhadap kehidupan umat manusia. Secara faktual,
memang ada negara Kafir dan negara Islam. Di dunia ini, masing-masing sama-
sama berdiri. Negara Kafir yang berlaku adil kepada rakyatnya akan tetap berdiri,
sebaliknya, negara Islam yang zalim kepada rakyatnya akan runtuh. Jadi, ini hanya
menjelaskan fakta keadilan dan kezaliman serta dampaknya dalam kehidupan umat
manusia.
Batasan “adil” dan “zalim” sendiri termasuk dalam kategori perkara yang
muwafaqah wa munafarah li fithrati al-insan (sejalan [untuk adil] dan bertentangan
[untuk zalim] dengan fitrah manusia). Menurut al-Iji maupun ulama’ lain, termasuk
dalam kategori perkara yang bisa diputuskan oleh akal manusia tanpa melihat
Muslim atau Kafir, jika dilihat dari aspek sesuai dan tidaknya keadilan dan kezaliman
tersebut dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, siapa pun orangnya dan apa pun
agamanya pasti akan setuju dengan keadilan dan menolak kezaliman. Itulah fitrah
manusia.
Hanya saja, keadilan ini akan sempurna jika syari’at Islam diterapkan. Karena,
syari’at yang diturunkan oleh Allah ini mengandung aturan yang menjamin keadilan
yang sempurna, kebijaksaan dan kebaikan yang tiada tara. Itulah mengapa,
Imperium Persia bisa bertahan ratusan tahun karena keadilan nisbi yang diterapkan
kepada rakyatnya. Namun, ketika keadilan Islam hadir yang tercermin pada
kepemimpinan ‘Umar bin al-Khatthab, kemudian kekuasaannya meliputi wilayah
Persia, maka, keadilan Islam dalam semalam bisa membuat mereka melupakan
keadilan Persia ratusan tahun sebelumnya.
Jika kita hendak membuat perbandingan, maka, harus dibuat gambaran
paling sempurna, ketika syari’at Islam diterapkan secara utuh, yang dengannya
keadilan tersebut benar-benar terwujud dengan sempurna. Demikian sebaliknya,
keadilan tersebut berbeda kadarnya seiring dengan perbedaan dalam menerapkan
16
syari’atnya. Bahkan, terkadang Islam diterapkan dengan cara yang salah sehingga
keadilannya pun tidak tampak.
Jadi, penjelasan Ibn Taimiyah di atas sebenarnya dalam konteks amar ma’ruf
dan nahi munkar, juga dalam membahas kategori dan muatan dosa yang dilakukan
oleh manusia. Penjelasan tersebut sebenarnya untuk mendorong keadilan,
mencegah kezaliman dan bagaimana dampak keduanya terhadap kehidupan umat
manusia. Dampaknya, keadilan akan menyebabkan tegak dan kokohnya negara.
Sebaliknya, kezaliman akan menyebabkan runtuh dan rapuhnya negara. Apa pun
negaranya, baik negara Islam maupun Kafir.
Penjelasan beliau juga tidak untuk menjustifikasi sistem Kufur atau penguasa
Kafir. Karena, jika dipahami demikian, tentu ini akan kontradiksi dengan penjelasan
beliau dalam kitabnya yang lain. Dalam kitab as-Siyasah as-Syar’iyyah, beliau
menyatakan:
وإنما يمتاز أهل طاعة هللا عن، أو الدين عن السلطان فسدت أحوال الناس،وإن انفرد السلطان عن الدين
. بالنية والعمل الصالح،أهل معصيته
“Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau, agama terpisah dari kekuasaan,
maka, keadaan manusia akan rusak. Ahli taat itu hanya bisa dibedakan
dengan ahli ma’siat berdasarkan niat dan amal salehnya.”
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, nyata sekali bahwa menyatakan “tidak ada
masalah, apakah pemimpin itu Muslim atau non-Muslim, yang penting adil”, jelas
keliru. Karena, kriteria pemimpin harus Muslim jelas telah dinyatakan dalam nas Al-
Qur’an (QS An-Nisa’, 04: 141). Demikian juga, pernyataan, “tidak ada masalah
sistem apa pun atau bentuk negara apa pun, yang penting, adil ketimbang negara
Islam, tetapi tidak adil.” Pernyataan ini juga keliru, karena, kita jelas-jelas
diperintahkan untuk menegakkan negara yang benar-benar menerapkan Islam
secara kaffah, yang dengannya, keadilan akan terwujud dengan sempurna. Itulah
yang disebut sebagai al-siyasah al-syar’iyyah (politik syariah) oleh Ibn Taimiyah,
atau al-Ahkam al-Syar’iyyah oleh al-Mawardi. Jadi, sistem Islam wajib,
pemimpin Muslim juga wajib. Bukan hanya pemimpinnya saja yang
Muslim, tetapi sistemnya Kufur, atau, sistemnya Islam, tetapi pemimpin-
nya Kafir. Dua-duanya harus dipastikan, sama-sama Islam. Itulah syarat minimal
yang akan menjamin tegaknya keadilan.
(2) Memilih Pemimpin Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?
(Muhammad Abduh Tuasikal)
17
Manakah yang mesti dipilih jika ada dua pilihan. Ada calon pemimpin yang
muslim namun suka bermaksiat ataukah non muslim yang dikatakan bersih dan adil?
Yang jelas, tidak pantas non muslim menguasai rakyat yang mayoritas muslim.
Kenapa demikian? Karena, memang Allah melarangnya. Islam itu tinggi, artinya di
atas, bukan di bawah, bukan berada dalam kekuasaan non muslim. Sangat tidak
pantas Islam yang mulia ini malah dikuasai oleh non muslim.
َو َلْن َي ْج َع َل ُهَّللا ِلْلَك اِفِر يَن َع َلى اْلُمْؤ ِمِنيَن َس ِبياًل
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141)
ْأ
َو ُه َو َع َلى ِديِن، َو َأُب و َب ْك ٍر َر ُج اًل ِمْن َب ِني ال ِّد يِل َهاِد ًي ا ِخِّر يًت ا، َو اْس َت َج َر َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم
ُكَّفاِر ُقَر ْي ٍش
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-
laki dari Bani Ad Dil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang kafir
Quraisy.” (HR. Bukhari No. 2264). Namun, ingat itu dipekerjakan, bukan
berada di atas, bukan sebagai pemimpin.
Lantas, manakah yang lebih baik: memiliki pemimpin muslim namun kerap
korupsi ataukah pemimpin non muslim yang jujur, adil dan anti korupsi? Kita dapat
ambil pelajaran dari perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud berikut ini:
َألْن َأْح ِلَف ِباِهَّلل َك اِذًبا َأَح ُّب ِإَلَّي ِمْن أْن َأْح ِلَف ِبَغْي ِر ِه َو أَن ا َص اِد ٌق
“Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berdusta lebih disukai
daripada aku jujur lalu bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Al Thabrani
dalam Al Kabir. Guru kami, Syaikh Saleh Al ‘Ushaimi berkata bahwa sanad
hadis ini sahih).
Kata Syaikh Saleh Al Fauzan, di antara faedah dari hadis di atas adalah
bolehnya mengambil mudarat yang lebih ringan ketika berhadapan dengan dua
kemudaratan. (Al Mulakhas fii Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 328). Kaedah dari
pernyataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah,
“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan
meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)
18
Dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah:
Kalau kita bandingkan antara memilih pemimpin muslim yang gemar maksiat
dengan pemimpin non muslim yang jujur dan adil, maka, tetap saja pemimpin
muslim lebih utama untuk dijadikan pilihan. Mudaratnya tentu lebih ringan. Apa
alasannya? Alasan pertama, kita tidak boleh mengambil pemimpin dari orang kafir.
Alasan kedua, kita akan lebih mudah dalam menjalani agama karena pemimpin
semacam itu lebih mengerti akan kebutuhan kaum muslim. Alasan ketiga, non
muslim tidak mudah menindas kaum muslim atau menyebar ajaran mereka.
Kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin muslim misalnya dengan korupsi,
itu adalah kesalahannya. Ia akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah atas
tindak jeleknya. Namun, agama kita pasti akan lebih selamat dan orang muslim pun
akan peduli pada sesama saudaranya. Beda halnya dengan non muslim. Muslim
yang bermaksiat masih lebih mending; berbeda dengan non muslim yang diancam
akan kekal di neraka.
Jadi, bagi yang masih mengatakan pemimpin non muslim itu lebih
baik, berpikirlah dengan nalar yang baik dan banyak mengkaji ayat-ayat
Al Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah menyebut non muslim dalam ayat
berikut ini,
ِإَّن اَّلِذيَن َكَفُروا ِمْن َأْه ِل اْلِك َت اِب َو اْلُم ْش ِر ِكيَن ِفي َن اِر َج َه َّن َم َخ اِلِديَن ِفيَه ا ُأوَلِئَك ُه ْم َش ُّر اْلَب ِر َّيِة
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al Bayyinah: 6).
Ini firman Allah yang tidak mungkin keliru. Beda kalau tidak percaya akan
wahyu. Loyalitas seorang muslim haruslah kepada sesama muslim, bukan
kepada yang berlawanan agama dengannya. Allah Ta’ala berfirman,
َي ا َأُّي َه ا اَّلِذيَن آَم ُنوْا َال َت َّت ِخ ُذ وْا اْلَي ُهوَد َو الَّن َص اَر ى َأْو ِلَي اء َب ْع ُضُهْم َأْو ِلَي اء َب ْع ٍض َو َم ن َي َت َو َّلُهم ِّمنُك ْم َف ِإَّن ُه ِم ْن ُهْم ِإَّن
َهّللا َال َي ْهِدي اْل َقْو َم الَّظ اِلِميَن
19
َي ا َأُّي َه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا اَل َت َّت ِخ ُذ وا َع ُد ِّو ي َو َع ُد َّو ُك ْم َأْو ِلَي اء
20
but kuffâr (orang-orang “kafir”) karena mereka menggali tanah, menanam bebijian,
lalu menutupnya kembali dengan urukan tanah (QS Al-Hadid: 20). Kata ini pula yang
kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi kata to cover. Kekafiran, dengan
demikian, adalah pengingkaran dan penyangkalan atas kebenaran yang memang
telah dipahami, diterima, dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran.
Orang kafir adalah orang yang, karena berbagai alasan ( vested interest) menyangkal
atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya. Jika
seseorang tidak percaya kepada kebenaran tertentu, dalam hal ini kebenaran Islam,
maka, apa yang ia tutupi? Apa yang ia sangkal? Jika ini yang jadi ukuran, maka,
non-Muslim yang tak percaya akan kebenaran Islam bukanlah kafir. Di bawah ini
uraiannya.
Di dalam Al-Quran, kekafiran identik dengan tindakan penyangkalan secara
sadar, tanpa pengaruh tekanan dari luar. Iblis dan Fir’aun, misalnya, disebut kafir
karena adanya penolakan dan penyangkalan terhadap kebenaran yang bahkan
diyakini oleh keduanya (abâ wa-stakbara). Dengan demikian, kekafiran
mengandaikan adanya penolakan dan pengingkaran seseorang atas sebuah
kebenaran yang sampai kepadanya, yang telah ia pahami dan yakini sebagai sebuah
kebenaran. ”Maka, setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui,
lalu mereka ingkar kepadanya, maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar
itu.” (QS Al-Baqarah: 89).
Maka, jika seseorang tidak menerima Islam, karena ketidaktahuan, atau
karena argumen-argumen tentang Islam yang sampai kepadanya tidak
meyakinkannya, apakah orang-orang seperti ini dapat disebut kafir? Karena itu, baik
para ulama salaf maupun khalaf (belakangan) berpendapat adanya kaharusan
pemilikan pengetahuan yakni pengetahuan yang benar dan meyakinkan, sebelum
seseorang dikategorikan sebagai kafir ketika mengingkarinya. Juga, jika seseorang
menolak Islam karena kesombongan padahal sudah terang baginya kebenaran
Islam, jelas, penolakan ini, adalah bentuk kekafiran. Imam Ja’far Shadiq berkata,
“Sekelompok orang tidaklah kafir bila mereka tidak tahu (jahil), diam, dan tidak
menentang.”
Imam Ghazali juga mengutarakan pandangan serupa. Menurutnya, orang-
orang non-Muslim yang tidak sampai kepadanya dakwah tidak dapat disebut sebagai
kafir. Kategori ini dipahami sebagai orang-orang yang tidak pernah mendengar
Islam, atau Islam tidak sampai kepada mereka dalam bentuk yang membuat mereka
yakin. Kata beliau: “Orang-orang yang sampai dakwah kepada mereka, namun
kabar-kabar yang mereka terima adalah kabar-kabar yang tidak benar - membuat
citra Islam menjadi buruk - atau yang mengalami pemalsuan sedemikian rupa,
maka, orang-orang seperti ini masih diharapkan bisa masuk surga.”
Bahkan Ibn Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berpendapat, seseorang
tidak dapat dikafirkan sampai tegak kepadanya hujjah (argumentasi yang meyakin-
21
kan). Sebab, boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash, atau, sudah
mendengarnya, namun tidak sahih, atau, adanya dalil lain yang membuatnya harus
melakukan takwil – betapa pun takwilnya itu keliru. Demikian pula pendapat Imam
Syafi’i dan yang lain. Termasuk juga ‘ alim kontemporer seperti Syaikh Mahmud
Syaltut (dalam Al-Islâm, ‘Aqîdah wa Syarî’ah-nya).
Dari argumentasi-argumentasi yang mereka sampaikan, menurut
penulis, mudah dipahami bahwa kriteria ini seharusnya tidak diterapkan
hanya kepada Muslim yang melakukan tindak kekufuran melainkan juga
kepada non-Muslim yang tidak memeluk Islam karena belum sampai
dakwah dan/atau informasi tentang Islam yang sampai kepadanya, tidak
membuatnya yakin akan kebenaran Islam.
Berdasar argumentasi di atas, maka, non-Muslim yang tulus dalam memilih
dan meyakini keyakinannya tidak serta-merta dapat disebut kafir yakni menutupi
keyakinannya akan kebenaran. (Murtadha Muthahhari dalam Keadilan Ilahi,
menyebut orang-orang non-Muslim seperti ini sebagai orang-orang Muslim Fitri
(muslimûn bil-fithrah) yakni orang-orang yang secara nominal bukan Muslim, tetapi
pada hakikatnya berserahdiri (aslama) kepada kebenaran (Tuhan).
Kekafiran: Kategori Moral, Bukan Teologis
Jika kita teliti teks-teks Al-Quran dan Hadis, kita mendapatkan kesan kuat
bahwa pada puncaknya kekafiran itu kategori moral, bukan kategori teologis.
Imam ‘Ali pernah mengatakan: “Ada orang beragama tetapi tidak berakhlak,
dan ada orang yang berakhlak tapi tidak bertuhan.” Pernyataan Imam ‘Ali ini
bisa dilihat sebagai semacam sindiran bahwa orang beragama, alih-alih dapat
disebut sebagai orang baik atau saleh, justru lebih tepat dikategorikan kafir.
Bukankah dari keimanan - sebagai jantung keberagamaan - harusnya lahir tindakan-
tindakan kebaikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip moral universal? Dapatkah
disebut beriman ketika tindakan-tindakannya bahkan berseberangan dengan prinsip-
prinsip kebaikan? Nabi SAW bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa
saja yang kenyang, sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari)
Dalam sebuah hadis terkenal, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah beriman seorang
pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamr ketika ia
sedang meminum khamr. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang
mencuri.” (HR. Bukhari). Dalam sabda-sabda Nabi SAW tersebut, keimanan secara
tegas dipertautkan dengan kesadaran dan kepedulian sosial. Keimanan bukan
semata keyakinan yang terpendam di dalam hati. Sikap acuh dan “masa bodoh”
terhadap kesusahan orang lain atau pun pelanggaran terhadap syari’at secara tegas
dinyatakan sebagai “tidak beriman” yakni kekafiran terselubung.
Demikian pula dalam ibadah mahdhah. Salat, misalnya, alih-alih mengundang
pujian Allah SWT, justru sebaliknya, Allah SWT sebut sebagai tindakan mendustakan
agama jika tak diikuti dengan kesadaran dan empati sosial yang riil. Allah berfirman:
22
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat (yaitu) orang-orang yang lalai dari
salatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.” (QS Al-Ma’un: 1-7). Bukankah “mendustakan” agama adalah esensi
kekafiran itu sendiri? Masih berhubungan dengan pengidentikan keimanan dengan
empati sosial, dalam hadis yang lain Nabi SAW bersabda: “Tak beriman seseorang
dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia
menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.”
Tentang Kristen dan Trinitas
Boleh jadi ada yang masih merasakan kemusykilan. Jika non-Muslim memang
tak identik dengan kafir dan kekafiran adalah kategori moral, lalu bagaimana
memahami firman Allah SWT: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.” (QS Al-Ma’idah: 73)
Ada beberapa kemungkinan penafsiran ayat di atas. Pertama, bahwa yang
dikafirkan adalah orang-orang yang mengada-adakan Trinitas yang sesungguhnya
tidak diajarkan Yesus. Pada kenyataannya, sebagian kaum Nasrani mempercayai
adanya Pauline Christianity (Kristen model Rasul Paulus yang dipercayai
memperkenalkan Trinitas), Judeo Christianity (Kekristenan yang asli dan tak
mengandung Trinitas). Artinya, yang disebut sebagai “telah kafir” dalam al-Qur’an
adalah orang-orang yang secara sengaja mengadakan bid’ah Trinitas – sebagai
kemusyrikan - dan bukan para penganut agama Nasrani yang memang memperca-
yainya dengan tulus sebagai sebuah kebenaran.
Kemungkinan tafsir lain adalah, yang dimaksud Al-Quran itu bukan Trinitas
sebagaimana yang diyakini kaum Nasrani, tapi Triteisme. Yang pertama, tetap
merupakan tauhid yakni tiga dalam satu (unitas). Yang dua adalah semacam tajalliy-
Nya, jika mengikuti pandangan ‘irfan. Berdasar hal ini, yang bisa disebut kafir adalah
penganut Triteisme ini, yang tidak merupakan mayoritas kaum Nasrani sekarang.
Pemimpin Non-muslim?
Dari uraian singkat di atas, sesungguhnya larangan Allah untuk
mengangkat walî yang kafir tidak serta-merta berlaku atas pemimpin
non-Muslim. Yang terlarang adalah mengangkat pemimpin yang jahat,
yang merugikan dan mengabaikan kemaslahatan rakyat demi kepentingan
diri dan kelompoknya. Dengan kata lain, lebih mementingkan “kekafiran”-
nya (despotisme, korupsi, kesewenangan, dsb.) atas “keimanan” (kese-
jahteraan, rasa aman, kemaslahatan bersama), baik dia Muslim maupun
non-Muslim.
23