Anda di halaman 1dari 23

KRISIS KEPEMIMPINAN DI INDONESIA:

PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Oleh: Siswanto Masruri

La altamisu bi qauli hadza an-yakuna malik al-amri wa al-jami’ syakhshan


wahidan, fa inna hadza rubbama kana ’asiran, wa lakinni arju an-yakuna sulthanu
jami’ihim Al-Qur’an wa wijhatu wihdatihim Al-Din, wa kullu dzi malikin ’ala mulkihi
yas’a bi juhdihi li hifdzi al-akhar ma istatha’a, fa inna hayatahu bi hayatihi wa
baqa’ahu bi baqa’ihi.1
Indonesia hampir selalu mengalami kesulitan dalam memilih pemimpin baru.
Krisis kepemimpinan di negeri ini sebenarnya bukan karena tidak ada SDM calon
pemimpin berkualitas, tetapi, karena hampir semua institusi (negara, sosial
politik, agama, dan intelektual-pendidikan) tidak sedini mungkin menyiapkan calon
penggantinya. Oleh karena itu, jika pada level nasional bangsa ini mengalami krisis
kepemimpinan, maka, hal itu tidak perlu diratapi karena justru lembaga-lembaga
tersebut lah yang menjadi penyebabnya. Dapatkah UAD/UII/UMY/UIN dengan
alumninya mengambil peran solutif dan kontributif dalam menyiapkan pemimpin
Indonesia?

I
O.W. Holmes (Filsuf Amerika, 1841-1935) pernah mengatakan bahwa “the
ultimate good desired is better reached by free trade in ideas and the best test of
truth is the power of the thought to get itself accepted in the competition of the
market, and that truth is the only ground upon which their wishes safety can be
carried out” (kebaikan terakhir yang dikehendaki adalah lebih baik dicapai melalui
perdagangan-perdagangan bebas tentang ide bahwa sebaik-baik ujian bagi suatu
kebenaran ialah kekuatan pikiran untuk membuat dirinya dapat diterima dalam
persaingan pasar dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan keinginan
mereka yang dengan selamat dapat dilaksanakan).2
Fuad I. Khuri juga pernah mengatakan bahwa “the separation between Islam
and muslims, the ideal and the real, the spiritual and the temporal is not a source of
tension in Islam. It is rather a form of adaptation to religious teachings. A believer is
perfectly in harmony with himself when he states: “True, I mistreat my wife, but
Islam instructs me to be merciful to women ” (Pemisahan antara Islam dan muslim,
antara yang ideal dan yang riil, antara yang spiritual dan yang temporal, bukan
merupakan sumber ketegangan dalam Islam. Ia hanya merupakan bentuk adaptasi
1 Jamaluddin al-Afghani, Al-Urwah al-Wutsqa, 1970, 112.
2 Pernyataan Filsuf Amerika Serikat, O.W. Holmes (1841-1935), dikutip dari Ahmad
Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner , Jakarta: Kompas,
2010, 96.
1
menuju keberagamaan. Orang yang beriman pasti harmonis dalam hidupnya ketika
mengatakan: “Betul, saya telah memperlakukan keliru terhadap isteri saya, tetapi
Islam mengajarkan kepada saya agar saya tetap menyayangi kaum wanita). 3
Berangkat dari pernyataan Holmes dan Khuri di atas, penulis yakin bahwa
kebenaran akan dapat diraih antara lain melalui perdagangan dan persaingan antar
ide. Sebagai wahana jualan ide menuju keberagamaan ideal, pada kesempatan ini,
penulis akan mencoba membahas krisis kepemimpinan di Indonesia dengan
menawarkan karakteristik kepemimpinan berkualitas (namun tetap muslim, adil,
Pancasilais) dan melengkapinya dengan 3 (tiga) suplemen tulisan terkait pro kontra
pemimpin muslim dan non-muslim yang akhir-akhir ini kembali mengemuka. Ketiga
tulisan tersebut (bukan karya penulis) adalah: (1) “Membajak Fatwa Ibn Taimiyah
Untuk Menjustifikasi Rezim Kufur” (Hafidz Abdurrahman), (2) “Memilih Pemimpin
Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?” (Muhammad Abduh Tuasikal),
dan (3) “Pemimpin Non-Muslim Identik dengan Kafir?” (Haidar Bagir). Dengan ketiga
artikel tersebut, para pembaca diharapkan mampu menelaah dan menyimpulkannya
sendiri secara hati-hati, dengan hati yang bersih, dan sepenuh hati.

II
Secara kuantitatif, Indonesia (terletak di kawasan Asia Tenggara) adalah
negara Muslim terbesar di dunia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik dan
menarik. Dikatakan unik dan menarik karena: (1) meskipun mayoritas penduduknya
Muslim, tetapi Islam bukanlah dasar negara. Dasar negara Indonesia adalah
Pancasila sebagai hasil kompromistik antara kelompok Muslim dan Nasionalis; (2)
dengan kurang lebih 270 (dua ratus tujuh puluh) juta penduduknya, Indonesia
hampir selalu mengalami kesulitan dalam memilih pemimpin baru, baik sebelum
maupun sesudah era reformasi; (3) selain banyak kelompok masyarakat yang
antusias ketika memilih pemimpin baru, banyak juga kelompok lain yang biasa-biasa
saja, bahkan acuh tak acuh, dan menyerahkan sepenuhnya pilihan mereka kepada
kelompok lain untuk melahirkan pemimpin baru. Kelompok terakhir ini berpandang-
an bahwa siapa pun pemimpinnya, dengan cara apa pun ia dipilih, yang penting,
bangsa ini semakin maju, aman, sejahtera, 4 dan selalu mendapatkan ridha-Nya.
Oleh karena itu, adalah wajar jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia
saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan yang relatif akut.

3 Fuad I. Khuri, Imams and Amirs, State, Religion and Sects in Islam , London: Saqi
Books, 1990, 33.
4Sekalipun kedaulatan dan demokrasi itu penting, tetapi, jika kepentingan “kemanu-
siaan bersama” bertentangan dengannya, maka, kedaulatan dan demokrasi harus ditang-
guhkan demi pembebasan manusia dari penderitaan yang mengancam kehidupan mereka.
Lihat, Jennifer Hyndman, Managing Displacement, Refugees and the Politics of Humanitari-
anism, Minneapolis, London: University of Minnesota Press, 2000, 3-4.
2
Krisis kepemimpinan di Indonesia dapat terjadi bukan karena tidak ada
pemimpin, tetapi ‘acuan’ dan ‘trust’ masyarakat terhadap pemimpinnya di level mana
pun (yang ”ditunjuk” atau ”dipilih”) sedang mengalami degradasi yang menyedih-
kan. Krisis demikian juga terjadi bukan karena tidak ada SDM calon pemimpin yang
berkualitas, tetapi, karena hampir semua institusi (negara, sosial politik, agama, dan
intelektual-pendidikan) tidak sedini mungkin menyiapkan calon penggantinya.
Sebelum menjadi pemimpin dan di awal kepemimpinannya, seorang pemimpin
biasanya sangat gigih untuk mendapatkan, mengawal, dan melestarikannya, tetapi,
menjelang selesai dan di akhir masa jabatannya, ia enggan melepaskannya, meski
ada juga yang sangat siap untuk ”diganti”. 5 Sebagai contoh, dalam institusi negara
dan sosial politik, para pemimpin dibatasi masksimal 2 (dua) periode. Tetapi, dalam
prakteknya, banyak di antara mereka yang masih menginginkan berlanjut dengan
mencalonkan keluarganya (istri, suami, atau anak, atau ingin berlanjut dan
diperpanjang). Di lembaga-lembaga sosial keagamaan dan intelektual-pendidikan
juga demikian. Sampai-sampai muncul istilah populer yang menyebutkan bahwa
‘institusi’ lebih sering dimanfaatkan untuk kepentingan ‘orang-orang’ tertentu, bukan
‘orang-orang’ tertentu untuk kepentingan ‘institusi’. Pergantian kepemimpinan dalam
sebuah organisasi juga sering terjadi hanya pada level orang pertama, sedang,
kepemimpinan (kepengurusan) yang lain di bawahnya, masih bertahan pada posisi
awal, atau, jika harus bergeser, bergeser sedikit ke posisi yang lain. Bahkan, banyak
juga di antara mereka yang masih dipertahankan pada posisi awal (tertentu) sampai
titik jenuh (seumur hidup) dari sebuah kepemimpinan (kepengurusan) organisasi
tersebut (mungkin karena tidak ada kader yang lain). Oleh karena itu, jika pada level
nasional bangsa ini mengalami krisis kepemimpinan, maka, hal itu harus

5John C. Maxwell pernah mengatakan bahwa pergantian kepemimpinan (suksesi)


merupakan nilai utama dan terakhir seorang pemimpin dalam mengukur keberhasilannya
selama memimpin. Dari sekian karakteristik kepemimpinan, yang terpenting adalah
suksesi. Sesukses apa pun jika seseorang itu memimpin, tetapi, jika tidak sukses dalam
suksesi, maka, yang lain-lainnya akan mansukh dengan sendirinya. Sejalan dengan ini, Dr.
APJ Abdul Kalam pernah mengatakan, ” love your job but don’t love your company because
you may not know when your company stops loving you ”. Dalam kaitan ini, dapat juga
disimak kisah klasik orang tua yang telah berusia lanjut, yang sedang menanam pohon
Zaitun. Kisah ini menggambarkan betapa pentingnya sebuah suksesi bagi generasi yang
akan datang, karena, sebentar lagi orang tua itu diperkirakan akan meninggal dunia. Oleh
karena itu, orang tua tersebut diingatkan oleh seorang raja bernama Anu Syirwan yang
mengatakan: "Wahai orang tua, sekarang ini bukan waktu anda lagi menanam pohon Zaitun
karena pohon ini tumbuh dan berbuah lambat, sementara, anda sekarang telah berusia
lanjut". Orang tua itu kemudian menjawab: "Wahai raja, telah banyak orang yang menanam
pohon sebelum kita dan kita dapat memakannya. Maka, kami, sekarang ini juga menanam-
nya agar orang-orang sesudah kita dapat memakannya". Kisah ini betul-betul menunjukkan
betapa besar tanggung jawab orang tua tersebut akan alih generasi dan masa depan
generasi sesudahnya. Lihat, "Kisra wa al-Fallah al-Shaikh" dalam Abdul Fattah Sabri dan 'Ali
'Umar, Al-Qira'ah al-Rashidah, al-Juz al-Tsalits, Mesir: Dar al-Ma'arif, t.th., 13-14.

3
dimaklumi dan tidak perlu diratapi, karena, justru lembaga-lembaga (negara, sosial
politik, agama, dan intelektual-pendidikan) tersebut lah yang menjadi penyebab,
pemicu, dan penghambatnya dalam mendapatkan pemimpin baru yang
berkualitas.

III
Kepemimpinan sering dimaknai sebagai upaya untuk mempengaruhi banyak
orang melalui komunikasi guna mencapai suatu tujuan. Yang dimaksud dengan
komunikasi adalah memberi dan menerima sebuah pesan. Dengan memperhatikan
ruang dan waktu, substansi dan manifestasi pesan harus berjalan berkelindan.
Komunikasi merupakan bagian penting dari sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan dukungan dari (antara)
bawahan agar tujuan organisasional dapat tercapai. 6 Dengan kata lain, tugas
pemimpin adalah menjaga keutuhan kemitraan bagi para pekerjanya dalam sebuah
institusi. Seorang pemimpin yang dapat memberi inspirasi, membujuk, mempenga-
ruhi, dan memotivasi, akan dapat memicu perubahan yang berguna. Menciptakan
perubahan merupakan salah satu tujuan kepemimpinan, karena, kebanyakan perba-
ikan itu memerlukan perubahan dari status quo menuju lembaga yang dinamis.
Seorang pemimpin menciptakan visi bagi orang lain dan kemudian mengarahkan
mereka untuk mencapai visi tersebut. Untuk menjadi pemimpin, kita harus memiliki
bawahan yang percaya pada kita dan bersedia berkomitmen mendukung kita dalam
mencapai tujuan. Inilah yang dimaksud dengan kepemimpinan.7
Dalam Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW, The Super
Leader Super Manager disebutkan 8 (delapan) model dan fokus kepemimpinan
Muhammad SAW: (1) Self Leadership & Personal Development, (2) Business &
Entrepreneurship Leadership, (3) Managing A Harmonious Family, (4) Dakwah
Management, (5) Learner & Educator, (6) Social & Political Leadership, (7)
Legal Development, (8) Military Strategy & Leadership.8
Meski tumbuh di lingkungan masyarakat yang minim praktek baca tulis,
Muhammad Saw adalah pemimpin dan pembelajar yang cepat. Beliau belajar dari
pasar, dari kawan-kawannya, dari berbagai peristiwa, dari perjalanan dagang, dan

6Andrew J. DuBrin,The Complete Idiot’s Guides to Leadership , 2nd Edition, Jakarta:


Prenada, 2009, 4.
7 Ibid., 5. John Kenneth Galbraith juga pernah mengatakan bahwa ” all the great
leaders have had one characteristic in common: it was the willingness to confront
unequivocally the major anxiety of their people in their time. This, and not much else, is the
essence of leadership”.
8Muhammad Syafii Antonio dan Tim Tazkia, Ensiklopedia Leadership & Manajemen
Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager, Jakarta: Tazkia Publishing, 2010, x.
4
dari alam semesta.9 Dengan bimbingan khusus dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril,
beliau dalam waktu cepat menjadi insan dan Nabi yang cerdas serta knowledgeable.
Beliau telah mengajarkan betapa mulianya ilmu dan urgensi ilmu pengetahuan untuk
mencapai kesuksesan dunia akherat. Itulah sebabnya, dalam Islam, setiap muslim
diwajibkan menuntut ilmu dan menguasainya.10
Sebagai leader, Muhammad Saw telah memberi teladan holistic learning
method bahwa proses belajar-mengajar yang efektif memerlukan scanning &
levelling, active interaction, dan learning conditioning. Belajar itu baru membuahkan
hasil jika ada ”story telling, analogy & case study, body language, self reflection,
focus & point basis dan affirmation & repetition”. Muhammad Saw juga telah
menegaskan bahwa ilmu adalah warisan para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan
emas atau dirham, tetapi mewariskan ilmu pengetahuan. Untuk itu, barangsiapa
yang mengambilnya, maka, ia telah mengambil bagian yang banyak. 11
Selanjutnya, sebagai pemimpin sosial politik, Muhammad Saw telah
berhasil membangun masyarakat Madinah dengan peradaban baru dan membawa
Madinah menjadi model pemerintahan yang harmonis dari sisi agama dan etnis,
padahal masyarakatnya sangat heterogen. Di dalamnya ada kaum pendatang
(muhajirin) dan penduduk asli. Di antara penduduk asli ada yang muslim (Anshar)
dan banyak juga yang non-muslim. Di kalangan muslim pun ada yang benar-benar
tulus tetapi tidak sedikit juga yang munafik di bawah kepemimpinan Abdullah bin
9Ibid.

10Al-Qur’an: (1) Iqra’ bi ismi rabbika al-ladzi khalaq (QS Al-‘Alaq: 1) (2) Yu’ti al-
hikmata man yasya’ wa man yu’ta al-hikmata faqad utiya khairan katsiran wa ma
yadzdzakaru illa ulu al-bab (QS Al-Baqarah: 269); (3) Ya ayyuhalladzina amanu idza qila
lakum tafassakhu fi al-majalisi fafsakhu yafsakhillahu lakum, wa idza qila insyuzu fan syuzu,
yarfa’illahu lladzina amanu minkum walladzina ‘utu al-‘ilma darajat, wallahu bima ta’maluna
khabir (QS Al-Mujadalah: 11); (4) Wa min al-nasi wa al-dawwabi wa al-an’ami mukhtalifun
alwanuhu kadzalika, innama yakhsya allahu min ‘ibadihi al-ulama’, inna allaha ‘azizun ghafur
(QS Fathir: 28); (5) Amman huwa qanitun ana’allaili sajidan wa qaiman yahdzar al-akhirata
wa yarju rahmata rabbihi, qul hal yastawi alladzina ya’lamuna wa alladzina la ya’lamun,
innama yatadzakkaru ‘ulu al-albab (QS Al-Zumar 9); (6) QS 3: 7-8, 18; QS 17: 36, 107; QS
20: 114; QS 16:43; QS 2: 146. Al-Hadis: (1) Thalab al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin
wa muslimatin (HR Ibn Abd al-Barr); (2) Afdhal al-sadaqati an yata’alalam al-mar’u al-
muslim ‘ilman tsumma yu’allimuhu akhahu al-muslim (HR Ibnu Majjah) ; (3) Al-Ulama
waratsah al-anbiya’ (HR Al-Khatib); (4) Ilmu kebijaksanaan ( al-hikmah) adalah barang
hilangnya kaum beriman, maka, barangsiapa menemukannya hendaknya ia memungutnya;
(5) Ambillah al-hikmah dan tidak akan berpengaruh buruk kepadamu dari bejana apa pun ia
keluar; (6) Barangsiapa menempuh jalan dan di situ ia mencari ilmu, maka, Allah akan
memudahkan baginya jalan ke surga; (7) Kelebihan orang berilmu atas orang beribadat
adalah bagaikan kelebihan rembulan di waktu malam ketika ia purnama atas sekalian
bintang-bintang. Mahfudzat: (1) Akhi lan tanal al-ilma illa bi sitatin saunbi-ka ‘an tafsiliha bi
bayanin: dzakaun, wa hirsun, wa ijtihadun, wa dirhamun, wa suhbatu ustadzin wa thulu
zamanin; (2) Uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi; (3) Uthlub al-ilma walau bi al-shin; (4)
Al-ilm bila ‘amalin ka al-syajari bila tsamarin.
11H.R. Abu Dawud, Sahih …., No. 3643.

5
Ubay ibnu Salul. Di kalangan non muslim ada yang menganut Paganisme, Nasrani,
dan Yahudi. Kaum Paganisme memiliki raja sendiri yaitu Ka’ab bin Ashraf. Yahudi
pun bersuku-suku seperti Bani Nadhir, Bani Quraidzah dan Bani Qainuqa’.
Pertanyaannya adalah bagaimana Rasulullah SAW mengelola dan mengendalikan
kerukunan dan keharmonisan masyarakat di Madinah?12
Washington Irving mengatakan bahwa ketika di Madinah, Muhammad Saw
memperlakukan kawan dan orang asing, orang kaya dan orang miskin, orang kuat
dan orang lemah, dengan cara yang adil. Dia dicintai oleh rakyat jelata karena dia
menerima mereka dengan kebaikan hati dan mendengarkan keluhan-keluhan
mereka. Ketika memiliki kekuasaan yang amat besar, beliau tetap sederhana dalam
sikap dan penampilannya, sama seperti ketika beliau dalam keadaan sengsara. 13
Maka dari itu, tidak heran, dengan kepiawaian sosial politik Muhammad Saw
yang sangat tinggi, Sir George Bernard Shaw pernah mengatakan: ”jika ada agama
yang berpeluang menguasai Inggris, bahkan Eropa beberapa ratus tahun dari
sekarang, maka, Islam lah agama tersebut.14
Dengan mengikuti kepemimpinan dan keteladanan Muhammad Saw, setiap
pemimpin (muslim) di institusi mana pun, harus memiliki minimal 4 (empat)
tanggung jawab. Tanggung jawab pertama adalah untuk mendukung dan
menjamin agar masyarakatnya memiliki masa depan yang cerah dan menjanjikan
dengan cara antara lain bekerja keras dan berdo’a sungguh-sungguh, menghindari
konflik (internal) menuju integrasi sesama dan bekerjasama (sama-sama bekerja).
Tanggung jawab kedua adalah menjamin agar mereka mampu mengelaborasi
potensi institusi yang kemampuan produktifnya bisa menurun tetapi juga bisa
berkembang sesuai dengan dukungan SDM yang ada. Tanggung jawab ketiga,
tidak menghilangkan kesempatan bagi masyarakatnya untuk senantiasa mempelajari
apa yang belum diketahui seperti nilai-nilai unggul demi masa depan mereka.
Adapun tanggung jawab keempat, seorang pemimpin harus menjamin bahwa
kepemimpinannya itu pasti akan beralih dan berganti (suksesi) kepada orang lain
secara normal. Tanggung jawab-tanggung jawab seperti itu merupakan tanggung

12Tidak lama setelah Muhammad SAW menetap di Madinah, atau, menurut


sementa-ra ahli sejarah, belum cukup dua tahun dari kedatangannya di kota itu, beliau
mempermak-lumkan suatu piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan antara
komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat majemuk di
Madinah. Piagam tersebut lebih dikenal dengan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal
yang intinya: (1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi
merupakan satu komunitas; (2) hubungan antara sesama anggota Islam dan antara
komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip: (a)
bertetangga baik; (b) saling memban-tu dalam menghadapi musuh bersama; (c) membela
mereka yang teraniaya; (d) saling menasehati; dan (e) menghormati kebebasan beragama.
13 Life of Mohamet, London, 1889; Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Ber-
pengaruh Dalam Sejarah, terjemahan Mahbub Junaidi, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, 27-28.
14 Sir George Bernard Shaw, The Genuine Islam, 1936.

6
jawab bersama sebagai "fardu kifayah". Fardu kifayah adalah suatu kewajiban
bersama. Dalam fardu kifayah, yang diutamakan adalah tercapainya target, bukan
sekedar tertunaikannya sebuah kewajiban. Selama targetnya belum dapat dicapai,
kewajiban bersamanya masih tetap berlaku.15

IV
Dewasa ini tidak ada yang menyangkal bahwa dalam kurun waktu 150 sampai
dengan 200 tahun terakhir, umat manusia telah mengalami perubahan luar biasa
ketika berhubungan dengan Tuhan, alam, dan manusia itu sendiri. Perubahan luar
biasa demikian karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan, tatanan sosial
politik, sosial ekonomi, energi, hukum, tata kota, lingkungan hidup, dan lain
sebagainya. Menurut Abdullah Saeed, perubahan dahsyat tersebut antara lain terkait
dengan globalisasi, migrasi penduduk, kemajauan sains dan teknologi, eksplorasi
ruang angkasa, penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genetika, nano
teknologi, pendidikan, dan kemajuan tingkat literasi umat manusia. Di atas semua
itu, adalah bertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya harkat
dan martabat manusia (human dignity), perjumpaaan yang lebih dekat antarumat
beragama (greater interfaith interaction), munculnya konsep negara-bangsa yang
berdampak pada kesetaraan dan perlakuan yang sama kepada semua warganegara
(equal citizenship), kesetaraan gender dan lain-lain. Perubahan sosial yang dahsyat
tersebut berdampak luar biasa dan dapat merubah pola pikir serta pandangan
keagamaan (religious world view), baik di lingkungan umat Islam maupun non-
muslim lainnya,16 termasuk ketika akan memilih pemimpin baru.
Dengan kebhinekaannya, akhir-akhir ini, di Indonesia (terutama fenomena
Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jaya ketika itu) sering muncul
pertanyaan apakah ”pemimpin non-muslim tetapi adil” itu lebih baik daripada
”pemimpin muslim tetapi korup”? Dalam konteks Indonesia modern, yang -
meskipun sangat pluralistik – berpenduduk mayoritas muslim, kenapa pertanyaan
yang secara logika tidak berkualitas itu harus dimunculkan? Kenapa alternatif
pilihannya juga hanya 2 (dua)? Kenapa masyarakat ini tidak diberi pilihan-pilihan lain
yang tidak menjebak? Kenapa pilihannya tidak ditambah lagi dengan misalnya:
”pemimpin yang Pancasilais”, ”pemimpin muslim yang adil”, dan ”pemimpin
muslim yang Pancasilais”, ”pemimpin muslim yang adil dan Pancasilais”?.

15 Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, Etika dan Regenerasi Kepemimpinan ,


Yogyakarta: Pilar Media, 2005, 171.
16 M. Amin Abdullah, “Agama, Ilmu, dan Budaya, Paradigma Integrasi-Interkoneksi
Keilmuan, Yogyakarta: AIPI, 2013, 34, dikutip dari Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an:
Towards A Cotemporary Approach, New York: Routledge, 2006, 2.
7
Jika mengacu pada pendekatan yang dikemukakan Abdullah Saeed, 17 yang
membagi pendekatan terhadap al-Qur’an menjadi 3 (tiga) yakni: (1) tekstualis18:
kurang mendukung perkembangan empiris-kontemporer, (2) semi kontekstu-
alis19: berada di tengah-tengah, agak mendukung perkembangan empiris-kontem-
porer, (3) kontekstualis20: sangat mendukung perkembangan empiris-kontem-
porer dengan antara lain memunculkan 6 (enam) alternatif model (tidak hanya dua
yang menyesatkan) kepemimpinan di era global yakni:
(1) Pemimpin non-muslim tetapi adil;
(2) Pemimpin muslim tetapi korup;
(3) Pemimpin yang Pancasilais;
(4) Pemimpin muslim yang adil;
(5) Pemimpin muslim yang Pancasilais; dan
(6) Pemimpin muslim yang adil dan Pancasilais.
Dengan keenam pilihan tersebut, maka, yang terpenting, dalam memilih
pemimpin adalah ”pemimpin yang berkualitas dan amanah” dalam arti luas, baik
lahir maupun batin dengan beberapa indikator – namun kata kuncinya tetap
”muslim” terlebih dahulu – seperti yang disampaikan Maxwell berikut ini.
John C. Maxwell21 memulai pandangannya dengan mengatakan bahwa setiap
pemimpin di level mana pun harus memiliki kemampuan22 yang terukur berdasar-
kan kekuatan, pengalaman, bakat, kriteria, dasar, dan ajar, selain - sudah barang
tentu - syarat-syarat yang harus terpenuhi lainnya. Memperkuat pendapat ini, Jim
John mengatakan bahwa: ”the challenge of leadership is to be strong, but not rude,

17 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an ….., 3.


18 Tekstualis: dari konteks ke teks (tekstualisasi) ----- reaktif
19 Semi Kontekstualis: fi manziltin baina tekstualis wa kontekstualis (moderat).
20 Kontekstualis: dari teks ke konteks (kontekstualisasi) ---- proaktif.
21 John C. Maxwell, The 21 Irrefutable Laws of Leadership, Nashville, Dallas: Thomas
Nelson, 1994, 2007, 17. Kepemimpinan memang membutuhkan pencermatan guna
mewujud-kan kapasitas pemimpin yang apresiatif, kontinuitif, dan suportif. Forum internal
sebuah lembaga sesungguhnya dapat berfungsi sebagai intellectual machine dalam
mendesain kepemimpinan dan perubahan lembaga tersebut.
22 Lihat, Keputusan Muktamar NU di PP Lirboyo Kediri, Jawa Timur, 21-27 Nopember
1999 tentang Hukum Orang Islam Menguasakan Urusan Kenegaraan Kepada Orang Non
Islam adalah sebegai berikut: Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan
kepada orang non Islam kecuali dalam keadaan darurat, yaitu: (a) dalam bidang-bidang
yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung
karena faktor kemampuan; (b) dalam bidang-bidang yang ada orang Islam
berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan
khianat; (c) sepanjang penguasaan urusan keagamaan kepada non Islam itu nyata
membawa manfaat. Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl
al-dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.
8
be kind, but not weak, be bold, but not bully, be thoughtful, but not lazy, be
humble, but not timid, be proud, but not arrogant, have humor, but without folly ”.
Dengan kemampuan di atas, dalam menjalankan misi kepemimpinannya,
seseorang harus memiliki pengaruh, karena, tanpa pengaruh, seorang pemimpin
tidak akan dipercaya masyarakatnya.23 Lebih dari itu, guna mendapatkan pengaruh
tersebut, kepemimpinan seseorang tidak akan berproses dalam satu-dua hari,
tetapi berjalan dan berkembang setiap hari dan membutuhkan waktu yang panjang.
Kepemimpinan yang berhasil memang tidak given, tetapi by process. Banyak institusi
yang hebat karena telah memiliki pengalaman dan keilmuan yang berakar dan
berkembang dalam waktu panjang.
Dalam memimpin, seseorang tidak saja sebagai pengemudi sebuah kapal
(navigator), tetapi, pemimpin harus mampu menjadi pengendali (mengendalikan)
keseluruhan isi kapal yang dipimpinnya. Bahkan, pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang memiliki nilai tambah dalam melayani orang lain. Dalam konteks
ini, pemimpin lembaga atau organisasi apa pun, harus dapat menunjukkan nilai
tambahnya selama memimpin (yang biasa terjadi: berjalan rutin). 24 Kepercayaan
juga merupakan fondasi kepemimpinan yang penting. Kepercayaan ( trust) dalam
berbagai institusi akhir-akhir ini telah mengalami degradasi meski pemimpin itu
dipilih secara demokratis.25 Tanpa kepercayaan, seorang pemimpin akan menemui
kesulitan dalam meraih pengaruh yang dibutuhkan agar berhasil dalam kepemim-
pinannya. Masyarakat biasanya mengikuti pemimpin mereka lebih kuat dan lebih
besar daripada mengikuti diri mereka sendiri. Penghargaan masyarakat kepada
seorang pemimpin biasanya cukup tinggi. Oleh karena itu, keteladanan pemimpin
menjadi perhatian masyarakat secara keseluruhan. Sebagai pemimpin lembaga
tertentu, pemimpin tersebut harus mengedepankan keteladanan dalam semua aspek
kehidupannya sehingga penghargaan dari masyarakat luas akan datang dengan
sendirinya.26
Di samping itu, seorang pemimpin biasanya menilai sesuatu didasarkan ata s
bias tertentu. Bagi mereka yang telah memiliki pengalaman memimpin, secara
intuitif pasti memahami lobang-lobang positif dan negatif dalam memimpin. Karena

23Andrew J DuBrrin, The Complete Ideal’s Guides ….., 83.


24Ibid., 181.
25 Kepercayan merupakan hal penting bagi kepemimpinan yang efektif, terlebih lagi
bagi kepemimpinan institusi pendidikan di mana kekuasaan terdistribusi dan mutu akademik
sangat bergantung pada kinerja tenaga pengajar (gurunya).
26Pemimpin yang suportif harus membangun hubungan individual yang kuat
dengan kelompok konstituen. Mereka dianggap sebagai advokat yang kuat bagi institusi
mereka. Keterampilan mendengarkan aktif yang penting untuk membangun hubungan
individual yang kuat juga berlaku untuk membangun kepercayaan dengan kelompok
konstituen, baik itu komite kecil atau lainnya. Lihat, Cangemi, Kowalski Miller & Hollopeter,
2005.
9
itu, kadang-kadang muncul bias dari sang pemimpin. Praktis di hampir semua kasus
terdapat banyak kesempatan untuk menerima masukan dari berbagai pihak yang
akan dilayani atau dipimpin oleh pemimpin yang ditunjuk. Akan tetapi, proses di
mana pemimpin tersebut diangkat (dipilih atau ditunjuk) tidak sepenting daripada
memastikan bahwa bagaimana pun cara pemimpin tersebut diangkat (dipilih atau
ditunjuk), ia adalah seseorang yang cocok untuk budaya dan institusi yang akan
dipimpin. Seorang pemimpin yang efektif untuk suatu jenis institusi tertentu tidak
serta merta menjadikannya efektif untuk jenis institusi yang lain. Suatu hal yang
wajib bagi setiap calon pemimpin atau pemimpin baru adalah mengenali budaya dan
tradisi tersendiri dengan mendefinisikan sendiri institusi yang akan dipimpin. 27
Pemimpin yang suportif (mendapat dukungan kuat dari masyarakat) biasanya
mengambil waktu untuk mempelajari dan memahami misi dan tradisi institusinya
sehingga mereka dapat melakukan perbaikan dan perubahan bila diperlukan.
Meskipun kehati-hatian dilakukan dalam memilih pemimpin yang paling pantas untuk
membantu sebuah lembaga dalam mencapai aspirasinya, tidak ada jaminan bahwa
orang tersebut akan selalu berhasil. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, penunjukan
seorang pemimpin dapat diperbaharui atau – jika perlu - diberhentikan. Oleh karena
itu, siapa anda adalah siapa yang menjadi daya tarik anda”. Pemimpin harus
memiliki daya tarik28 sehingga masyarakat yang dipimpin juga akan tertarik
dengannya. Ketertarikan masyarakat terhadap pemimpinnya bukan semata-mata
karena retorikanya (sekarang: pencitraan melalui media), tetapi, karena kemam-
puan, keikhlasan, kekuatan, kejujuran, pengalaman, dan wibawanya.
Pemimpin biasanya mampu menyentuh hati masyarakat yang akan dipimpin
sebelum kekuatan dirinya kelihatan. Artinya, seorang pemimpin, sebelum menjadi
pemimpin, sudah harus memiliki investasi kemitraan dengan masyarakat luas, baik
kecil maupun besar. Potensi pemimpin ditentukan orang-orang terdekatnya.
Dalam memimpin sebuah lembaga, seorang pemimpin tentu memiliki orang-orang
dekatnya, baik sebagai pembisik positif maupun negatif. Dalam kenyataan, karena
dia banyak tidak tahu niat dan kecenderungan orang-orang dekatnya, maka, jika
ada masukan dari orang-orang tertentu, dia tidak bisa maksimal melakukan
klarifikasi terlebih dahulu, tetapi kadang-kadang langsung mengambil kesimpulan.
Sebenarnya hanya pemimpin yang merasa aman yang dapat memberi kekuatan
kepada yang lain. Memang banyak pemimpin yang senang dengan one man show
atau single fighter. Misalnya, jika ada undangan, maka, pemimpin itu sendiri yang
menghadirinya. Dia tidak berpikir bahwa pada suatu saat, kepemimpinannya akan
berhenti. Berangkat dari tesis ini, seorang pemimpin tidak boleh maju sendirian. Dia
harus memberdayakan anak buahnya dan membikin kader-kader berikutnya.
Dalam konteks ini, masih banyak pemimpin yang kurang memberdayakan SDM di

27 John C. Maxwell, The 21 Irrefutable …… 20.


28 Ibid.
10
bawahnya secara maksimal dan terprogram. Bahkan, dalam beberapa hal, justru
melakukan ancaman dan abai terhadap SDM sekitarnya.29
Dalam hal kepemimpinan, masyarakat juga harus melakukan sesuatu karena
telah melihat (memotret) pemimpinnya. Karena pemimpin itu selalu dilihat masyara-
kat yang dipimpinnya, maka, pemimpin harus menunjukkan ”potret diri”-nya
secara prima. Setiap tingkah laku, solah-bowo dan muna-muni harus mengemuka
secara prima dan terbaik. Pemimpin memang harus tampil beda dari masyarakat
yang dipimpinnya. Sebagai bukti, seorang pemimpin kadang-kadang kurang
menunjukkan potret dirinya dan kurang peduli dengan berbagai event, baik nasional
maupun internasional. Masyarakat biasanya melihat pemimpinnya lebih dahulu, baru
kemudian melihat visinya.
Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang tidak berjalan sendiri dalam
menjalankan kepemimpinannya. Pemimpin, terutama untuk hal-hal yang strategis
dan taktis, harus memimpin masyarakatnya secara kolaboratif dan koordinatif.
Ketika berkoordinasi, maka, seorang pemimpin dapat melakukan komunikasi secara
intens. Maxwell, di awal tulisannya, pernah mengatakan bahwa c ommunication
makes the complex simple (komunikasi dapat menjadikan yang ruwet mudah dan
sederhana). Dengan demikian, seruwet apa pun dalam menjalankan kepemimpinan-
nya, maka, jika ada komunikasi yang baik, hal-hal yang ruwet dapat dicarikan jalan
keluarnya. Sekali lagi, sebagai pejuang misi institusi, seorang pemimpin yang efektif
harus bergantung pada keterampilan berkomunikasi yang efektif. 30 Brian Tracy
pernah menegaskan bahwa ”leaders think and talk about the solutions, and
followers thinks and talk about the problems”.
Pada dasarnya, pemimpin suportif adalah komunikator yang efektif. 31 Mereka
memiliki keterampilan mendengarkan, yang mampu mendorong terbangunnya
hubungan antarpribadi berdasarkan kepercaya-an dan saling menghormati.
Mendengarkan aktif didefinisikan sebagai serangkaian keterampilan berdasarkan

29Pemimpin suportif mempraktekkan keterampilan mendengarkan aktif, baik ketika


berinteraksi dengan tenaga pengajar (guru) maupun dengan keseluruhan anggota lembaga
pendidikan. Pemimpin suportif tidak boleh terganggu oleh prioritas kepentingannya sendiri.
Mereka dipilih atau ditunjuk untuk menduduki jabatan kepemimpinan karena mereka
dianggap pantas untuk mewakili kepentingan lembaga dan memperjuangkan tenaga
pengajar (guru). Keterampilan berkomunikasi secara reseptif dan aktif yang memfasilitasi
hubungan antarpribadi, juga berkontribusi terhadap keefektifan kepemimpinan dalam hal
mendorong kondisi institusional dan finansial yang dibutuhkan oleh tenaga pengajar (guru)
untuk mampu menjadi produsen dan penghantar ilmu pengetahuan. Lihat, Andrew J
DuBrrin, The Complete Ideal’s Guides …., 219.
30Seorang pemimpin akademik misalnya adalah seseorang yang menciptakan kondisi
antarpribadi, kelembagaan, dan keuangan bagi tenaga pengajar (guru) untuk menjadi
pencipta dan penghantar ilmu pengetahuan. Karakteristik kepemimpinan yang diperlukan
untuk mendukung kondisi tersebut adalah: (1) komunikasi efektif; (2) pejuang misi-misi
institusi; (3) pelayan sumber daya yang bertanggungjawab.
31Andrew J DuBrrin, The Complete Ideal’s Guides ….., 55.

11
filsafat hubungan, filsafat humanistik yang dirancang untuk secara efektif
mengkomunikasikan pemahaman, empati, dan sikap positif yang tidak kondisional
dalam konteks kultural yang sesuai. Apabila digunakan dengan tepat, mendengar-
kan aktif akan memperkuat hubungan pribadi, mengurangi kesalahpahaman dan
konflik, dan mendorong kolaborasi.32
Mendengarkan aktif mengharuskan seorang pemimpin untuk menggunakan
respon-respon fasilitatif seperti memparafrasekan dan mengklarifikasi pernyataan,
refleksi isi dan perasaan, dan menyimpulkan pernyataan untuk menunjukkan adanya
ketertarikan yang mendalam serta pemahaman akan niat dan perasaan si
pembicara. Meskipun pada akhirnya keputusan yang dibuat oleh administrator
akademik tidak sejalan dengan permintan tenaga pengajar (guru), penting untuk
memastikan bahwa yang membuat permintaan merasa dirinya telah didengarkan
dan diperlakukan secara terhormat. Apabila kondisi ini tercapai, maka, kepercayaan
antara seorang pemimpijn yang suportif dengan konstituennya akan tumbuh.
Meskipun pemimpin sebuah organisasi dapat memiliki kewenangan yang
diberikan kepadanyan oleh suatu badan pengatur, seorang pemimpin yang sukses
jarang menggunakan kewenangan tersebut dan oleh karena itu bergantung pada
pengaruh otoritas untuk mencapai tujuan lembaga. 33
Pemimpin selalu menemukan jalan agar anak buahnya dapat meraih
kemenangan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu memberi arah dan
jalan menuju kemenangan bagi masyarakat yang dipimpinnya, karena, hidup ini
adalah parade kemenangan, bukan parade kekalahan. Dalam konteks ini, memang
ada beberapa kemenangan yang diraih oleh sebuah lembaga meski itu semua
karena inisiasi mereka sendiri. Karena, lembaga yang hebat memang dibangun oleh
para pemimpin yang visioner, yang mendukung diciptakannya dan/atau dipertahan-
kannya tradisi keunggulan dalam bidang tertentu, yang ingin menjadi bagian dari
tradisi tersebut dan mendukung mereka untuk mencapai tingkatan mutu teratas. 34
Momentum adalah sahabat terbaik seorang pemimpin. Kesempatan tidak
akan datang dua kali. Di saat memimpin, seorang pemimpin harus memanfaatkan
momentum yang ada. Begitu momentum itu hilang, maka, pemimpin itu sekaligus
melakukan investasi kegagalan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus menyadari
prioritas aksinya. Ketika memimpin sebuah lembaga tentu banyak yang harus
dipikirkan dan direncanakan. Program A mungkin penting bagi kelompok tertentu,
tetapi, menjadi tidak penting bagi kelompok yang lain. Dengan begitu, prioritas
menuju kualitas kegiatan sebuah lembaga harus menjadi perhatian seorang
pemimpin. Apabila atas usaha bersama, mutu SDMnya meningkat, maka, mutu

32Roger & Farson, 1979.

33Gerardo M. Gonzales, HELM.

34 John C. Maxwell, The 21 Irrefutable …… 22.

12
lembaganya juga meningkat. Apabila mutu SDMnya menurun, maka, lembaganya
juga akan menurun.35
Dalam memanfaatkan momentum di atas, seorang pemimpin juga harus
berpikir tentang pengorbanan. Pengorbanan harus selalu dikobarkan oleh seorang
pemimpin. Seorang pemimpin memang harus berani berkorban, bukan saja tenaga,
waktu, dan hartanya, tetapi, jika perlu adalah nyawanya. Pemimpin yang hanya
mencari keuntungan duniawi biasanya tidak akan lama dipercaya memimpin sebuah
institusi. Untuk dapat melayani dan menjadi pejuang misi institusi, salah satu kriteria
pemimpin terpenting adalah keserasian antara gaya kepemimpinan yang dianut
oleh pemimpin dengan kebutuhaan lembaganya. Apabila terdapat kecocokan,
seorang pemimpin dapat membantu mencapai tujuan lembaga dan berkontribusi
terhadap kemajuan misi institusi. Ketika tidak, waktu dan talenta yang dibutuhkan
untuk memajukan misi institusi terbuang untuk mencoba meresolusi konflik dan
menangani situasi yang didorong oleh keuntungan pribadi dan bukan untuk
kebaikan bersama. Dan apabila misi berubah, sebagaimana halnya dalam beberapa
lembaga di Indonesia, seorang pemimpin juga harus menjadi mediator kultural yang
efektif.36
Memimpin adalah sama pentingnya dengan saat-saat (waktu) mengerjakan
apa dan akan menuju ke mana. Dalam pepatah Arab dikatakan, al-waqt atsmanu
min al-dzahab dan dalam pepatah Inggris disebutkan bahwa time is money.
Pemimpin yang futuristik, dengan demikian, adalah pemimpin yang tidak menyia-
nyiakan waktu. Waktu terus berlalu dan waktu tidak boleh diganggu. Pemimpin
harus mengetahui nilai-nilai dan tradisi yang mengkarakterisasi institusi mereka dan
berupaya untuk membangun berdasarkan tradisi untuk mencapai tingkatan mutu
yang lebih tinggi lagi. Baik dipilih maupun ditunjuk, bahkan ketika seorang pemimpin
dipilih dari dalam institusinya dan dengan demikian telah mengenali budaya dan
tradisi institusi tersebut, ia harus mengambil waktu untuk berinteraksi dengan
anggota-anggota kunci dari beberapa SDM, meninjau kembali dokumen-dokumen
bersejarah, menghadiri acara dan upacara, dan juga mempelajari budaya yang
melahirkan harapan-harapan kepemimpinannya.
Dalam memimpin sebuah institusi, paradigma pemikiran seorang pemimpin
harus berkembang secara evolusioner, tetapi, kalau pengembangan kegiatan dan
fisik, yang dapat segera dibaca orang, harus bersifat revolusioner. Persoalannya
memang tergantung pada tim dan dana yang tersedia. Jika adagium ”orang untuk
organisasi”, maka, orang-orang tersebut harus menopang dan mencarikan dana
untuk organisasi, bukan ”organisasi mencarikan dana dan memberikan fasilitas
untuk orang per orang”. Akhirnya, nilai utama dan terpenting seorang pemimpin

35 Lombard, 2012; Gonzales, 7.


36 John C. Maxwell, The 21 Irrefutable …… 24.

13
akan diukur dari keberhasilannya dalam suksesi.37 Dari sekian banyak ciri khas dan
perspektif Maxwell, yang terpenting adalah soal suksesi dalam kepemimpinan.
Sesukses apa pun, sebagaimana disinggung di muka, jika seseorang itu memimpin
dan tidak sukses dalam suksesi, maka, yang lain-lainnya akan mansukh dengan
sendirinya.
Sebagai tambahan, penulis akan menyampaikan Responsibility Centered
Management (RCM) dari Gonzales yang sebaiknya diketahui oleh seorang pemimpin
lembaga sebagaimana dikutip dari Whalen (1991) yang telah mengartikulasikan
konsep-konsep dasar RCM sebagai berikut: (1) kedekatan: semakin dekat titik
suatu keputusan operasional ke titik implementasi, maka, keputusan yang diambil
mungkin akan lebih baik; (2) proporsionalitas: derajat desentralisasi memiliki
relasi positif terhadap ukuran dan kompleksitas lingkungannya; (3) pengetahuan:
keputusan yang benar mungkin terjadi dalam suatu lingkungan yang kaya akan
informasi; (4) fungsionalitas: kewenangan dan komando akan sumberdaya harus
diiringi dengan tanggung jawab untuk tugas yang diberikan dan sebaliknya; (5)
pengakuan kinerja: untuk membuat distribusi tanggung jawab menjadi
operasional, dibutuhkan serangkaian apresiasi dan sanksi; (6) stabilitas: perenca-
naan dan pelaksanaan yang baik perlu difasilitasi oleh lingkungan yang stabil; (7)
komunitas: lembaga atau organisasi merupakan upaya manusia kolektif; nasib
satuan individu terikat dalam kesuksesan institusi tersebut secara keseluruhan; (8)
pengaruh: dalam suatu sistem pembuatan keputusan dan operasional yang
terdesentralisasi, legitimasi tanggung jawab institusional dan lokal harus diakui; (9)
arah: diasumsikan terdapat arah dan rencana kegiatan untuk setiap institusi atau
organisasi.

SUPLEMEN

(1) “Membajak Fatwa Ibn Taimiyah Untuk Menjustifikasi Rezim Kufur”


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Kita sering mendengar ada tokoh Muslim dan Sekuler menggunakan fatwa
Ibn Taimiyah untuk menjustifikasi keabsahan penguasa Kafir, dan sistem Kufur.
Terbaru, ada tokoh Muslim, yang menyatakan pandangan serupa. Meski ini bukan
hal baru, tetapi, wacana ini tetap harus didudukkan secara obyektif dan
porporsional. Karena itu, penting untuk melihat dan mendudukkan fatwa Ibn
Taimiyah tersebut secara jujur dan akurat sebagaimana yang beliau maksudkan.

Redaksi Fatwa Ibn Taimiyah

37 Ibid., 26.
14
Fatwa yang dimaksud tertuang dalam kitab beliau, Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyyah (Juz XXVIII/121). Bunyi lengkap fatwa tersebut sebagai berikut:

‫ ما فيها ظلم للناس؛ كالظلم بأخذ األموال ومنع الحقوق؛ والحس د‬:‫ أحدها‬:‫(ولهذا كانت الذنوب ثالثة أقسام‬
‫ م ا‬:‫ والث الث‬.‫ كشرب الخم ر والزن ا؛ إذا لم يتع د ض ررهما‬،‫ ما فيه ظلم للنفس فقط‬:‫ والثاني‬.‫ونحو ذلك‬
‫…وق د ق ال هللا‬.‫يجتمع فيه األمران؛ مثل أن يأخذ المتولي أم وال الن اس ي زنى به ا ويش رب به ا الخم ر‬
‫ ﴿ُقْل ِإَّن َم ا َح َّر َم َر ِّب َي اْل َفَو ِحَش َم ا َظ َهَر ِم ْن َه ا َو َم ا َب َط َن َو اِإلْث َم َو اْل َب ْغ َى ِبَغْي ِر اْلَح ِّق َو َأن ُتْش ِر ُك وْا ِباِهَّلل َم ا‬:‫تعالى‬
.]33 :‫َلْم ُيَن ِّز ْل ِبِه ُس ْلَط ـنًا َو َأن َت ُقوُلوْا َع َلى ِهَّللا َم ا َال َت ْع َلُموَن ﴾ [األعراف‬

(Karena itu, dosa dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: Pertama, dosa
yang mengandung kezaliman kepada manusia seperti kezaliman dengan
mengambil harta, menghalangi hak orang, dengki, dan sebagainya. Kedua,
dosa yang hanya mengandung kezaliman kepada diri sendiri seperti minum
khamr dan zina (jika bahayanya tidak menimpa orang lain). Ketiga, dosa
yang mengandung kedua-duanya, seperti orang yang mendapat amanah
untuk mengurus urusan mengambil harta orang, yang harta tersebut dia
gunakan untuk berzina dan dia gunakan untuk minum khamr. Dalam kaitan
ini, Allah SWT telah berfirman: “Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui. (QS. Al-A’raf, 07: 33)

‫ أكثر مما تستقيم م ع الظلم في‬:‫وأمور الناس تستقيم في الدنيا مع العدل الذي فيه االشتراك في أنواع اإلثم‬
‫ إن هللا يقيم الدولة العادل ة وإن ك انت ك افرة؛ وال يقيم الظالم ة‬:‫الحقوق وإن لم تشترك في إثم؛ ولهذا قيل‬
‫ وق د ق ال النبـي‬.‫ وال ت دوم م ع الظلم واإلس الم‬،‫ الدنيا تدوم م ع الع دل والكف ر‬:‫ ويقال‬.‫وإن كانت مسلمة‬
‫ «ليس ذنب أسرع عقوبة من البغي وقطيع ة ال رحم»؛ فالب اغي يص رع في ال دنيا‬:‫صلى هللا عليه وسّلم‬
‫ وذلك أن العدل نظام كل شيء؛ فإذا أقيم أمر الدنيا بع دل ق امت‬،‫وإن كان مغفورًا له مرحومًا في اآلخرة‬
‫ ومتى لم تقم بعدل مل تقم وإن كان لصاحبها من االيم ان م ا‬،‫وإن لم يكن لصاحبها في اآلخرة من خالق‬
.)‫يجزى به في اآلخرة‬

Urusan manusia di dunia ini akan tetap lurus bersama keadilan yang disertai
dengan berbagai macam dosa, lebih lurus ketimbang urusan tersebut
bersama kezaliman dalam hak meski tidak disertai dengan satu pun dosa.
Karena itu, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan
negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan
menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam.” Ada juga yang
mengatakan, “Dunia akan tetap bertahan bersama keadilan dan kekufuran,
dan tidak akan bertahan bersama kezaliman dan Islam.” Nabi SAW telah
bersabda: “Tidak ada satu pun dosa yang lebih cepat dikenai siksa ketimbang
kezaliman dan memutus hubungan kekerabatan.”
Orang zalim di dunia akan dilawan meski di akhirat diampuni dan
mendapatkan rahmat (belas kasih Allah). Itu karena keadilan merupakan
aturan segala hal. Jika urusan dunia ditegakkan dengan adil, maka, dunia
tetap akan tegak, meski di akhirat orangnya tidak beruntung. Selama tidak

15
ditegakkan dengan adil, maka dunia tidak akan tegak, meski orangnya
beriman, dan di akhirat mendapatkan balasan atas keimanannya).
Jadi, pendapat yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan
negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan menegakkan
negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam” sebenarnya bukan pendapat Ibn
Taimiyah. Beliau hanya mengutip pendapat orang lain, “karena itu, ada yang
mengatakan …....” untuk menjelaskan pandangan beliau tentang tiga kategori dan
muatan dosa manusia.
Selain itu, keterangan ini juga tidak menjelaskan apa pun tentang sikap beliau
tentang keabsahan bentuk negara Kafir yang penting adil, atau, penguasa Kafir yang
penting adil. Karena, hal ini hanya menjelaskan tentang fakta keadilan dan
kezaliman, dan dampaknya terhadap kehidupan umat manusia. Secara faktual,
memang ada negara Kafir dan negara Islam. Di dunia ini, masing-masing sama-
sama berdiri. Negara Kafir yang berlaku adil kepada rakyatnya akan tetap berdiri,
sebaliknya, negara Islam yang zalim kepada rakyatnya akan runtuh. Jadi, ini hanya
menjelaskan fakta keadilan dan kezaliman serta dampaknya dalam kehidupan umat
manusia.

Keadilan-Kezaliman Menurut Islam dan Kufur

Batasan “adil” dan “zalim” sendiri termasuk dalam kategori perkara yang
muwafaqah wa munafarah li fithrati al-insan (sejalan [untuk adil] dan bertentangan
[untuk zalim] dengan fitrah manusia). Menurut al-Iji maupun ulama’ lain, termasuk
dalam kategori perkara yang bisa diputuskan oleh akal manusia tanpa melihat
Muslim atau Kafir, jika dilihat dari aspek sesuai dan tidaknya keadilan dan kezaliman
tersebut dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, siapa pun orangnya dan apa pun
agamanya pasti akan setuju dengan keadilan dan menolak kezaliman. Itulah fitrah
manusia.
Hanya saja, keadilan ini akan sempurna jika syari’at Islam diterapkan. Karena,
syari’at yang diturunkan oleh Allah ini mengandung aturan yang menjamin keadilan
yang sempurna, kebijaksaan dan kebaikan yang tiada tara. Itulah mengapa,
Imperium Persia bisa bertahan ratusan tahun karena keadilan nisbi yang diterapkan
kepada rakyatnya. Namun, ketika keadilan Islam hadir yang tercermin pada
kepemimpinan ‘Umar bin al-Khatthab, kemudian kekuasaannya meliputi wilayah
Persia, maka, keadilan Islam dalam semalam bisa membuat mereka melupakan
keadilan Persia ratusan tahun sebelumnya.
Jika kita hendak membuat perbandingan, maka, harus dibuat gambaran
paling sempurna, ketika syari’at Islam diterapkan secara utuh, yang dengannya
keadilan tersebut benar-benar terwujud dengan sempurna. Demikian sebaliknya,
keadilan tersebut berbeda kadarnya seiring dengan perbedaan dalam menerapkan

16
syari’atnya. Bahkan, terkadang Islam diterapkan dengan cara yang salah sehingga
keadilannya pun tidak tampak.
Jadi, penjelasan Ibn Taimiyah di atas sebenarnya dalam konteks amar ma’ruf
dan nahi munkar, juga dalam membahas kategori dan muatan dosa yang dilakukan
oleh manusia. Penjelasan tersebut sebenarnya untuk mendorong keadilan,
mencegah kezaliman dan bagaimana dampak keduanya terhadap kehidupan umat
manusia. Dampaknya, keadilan akan menyebabkan tegak dan kokohnya negara.
Sebaliknya, kezaliman akan menyebabkan runtuh dan rapuhnya negara. Apa pun
negaranya, baik negara Islam maupun Kafir.
Penjelasan beliau juga tidak untuk menjustifikasi sistem Kufur atau penguasa
Kafir. Karena, jika dipahami demikian, tentu ini akan kontradiksi dengan penjelasan
beliau dalam kitabnya yang lain. Dalam kitab as-Siyasah as-Syar’iyyah, beliau
menyatakan:

‫ وإنما يمتاز أهل طاعة هللا عن‬،‫ أو الدين عن السلطان فسدت أحوال الناس‬،‫وإن انفرد السلطان عن الدين‬
.‫ بالنية والعمل الصالح‬،‫أهل معصيته‬

“Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau, agama terpisah dari kekuasaan,
maka, keadaan manusia akan rusak. Ahli taat itu hanya bisa dibedakan
dengan ahli ma’siat berdasarkan niat dan amal salehnya.”

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, nyata sekali bahwa menyatakan “tidak ada
masalah, apakah pemimpin itu Muslim atau non-Muslim, yang penting adil”, jelas
keliru. Karena, kriteria pemimpin harus Muslim jelas telah dinyatakan dalam nas Al-
Qur’an (QS An-Nisa’, 04: 141). Demikian juga, pernyataan, “tidak ada masalah
sistem apa pun atau bentuk negara apa pun, yang penting, adil ketimbang negara
Islam, tetapi tidak adil.” Pernyataan ini juga keliru, karena, kita jelas-jelas
diperintahkan untuk menegakkan negara yang benar-benar menerapkan Islam
secara kaffah, yang dengannya, keadilan akan terwujud dengan sempurna. Itulah
yang disebut sebagai al-siyasah al-syar’iyyah (politik syariah) oleh Ibn Taimiyah,
atau al-Ahkam al-Syar’iyyah oleh al-Mawardi. Jadi, sistem Islam wajib,
pemimpin Muslim juga wajib. Bukan hanya pemimpinnya saja yang
Muslim, tetapi sistemnya Kufur, atau, sistemnya Islam, tetapi pemimpin-
nya Kafir. Dua-duanya harus dipastikan, sama-sama Islam. Itulah syarat minimal
yang akan menjamin tegaknya keadilan.

(2) Memilih Pemimpin Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?
(Muhammad Abduh Tuasikal)

17
Manakah yang mesti dipilih jika ada dua pilihan. Ada calon pemimpin yang
muslim namun suka bermaksiat ataukah non muslim yang dikatakan bersih dan adil?
Yang jelas, tidak pantas non muslim menguasai rakyat yang mayoritas muslim.
Kenapa demikian? Karena, memang Allah melarangnya. Islam itu tinggi, artinya di
atas, bukan di bawah, bukan berada dalam kekuasaan non muslim. Sangat tidak
pantas Islam yang mulia ini malah dikuasai oleh non muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

‫َو َلْن َي ْج َع َل ُهَّللا ِلْلَك اِفِر يَن َع َلى اْلُمْؤ ِمِنيَن َس ِبياًل‬

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141)

Memang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan non muslim


sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:

‫ْأ‬
‫ َو ُه َو َع َلى ِديِن‬،‫ َو َأُب و َب ْك ٍر َر ُج اًل ِمْن َب ِني ال ِّد يِل َهاِد ًي ا ِخِّر يًت ا‬، ‫َو اْس َت َج َر َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ُكَّفاِر ُقَر ْي ٍش‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-
laki dari Bani Ad Dil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang kafir
Quraisy.” (HR. Bukhari No. 2264). Namun, ingat itu dipekerjakan, bukan
berada di atas, bukan sebagai pemimpin.

Lantas, manakah yang lebih baik: memiliki pemimpin muslim namun kerap
korupsi ataukah pemimpin non muslim yang jujur, adil dan anti korupsi? Kita dapat
ambil pelajaran dari perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud berikut ini:

‫َألْن َأْح ِلَف ِباِهَّلل َك اِذًبا َأَح ُّب ِإَلَّي ِمْن أْن َأْح ِلَف ِبَغْي ِر ِه َو أَن ا َص اِد ٌق‬

“Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berdusta lebih disukai
daripada aku jujur lalu bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Al Thabrani
dalam Al Kabir. Guru kami, Syaikh Saleh Al ‘Ushaimi berkata bahwa sanad
hadis ini sahih).

Kata Syaikh Saleh Al Fauzan, di antara faedah dari hadis di atas adalah
bolehnya mengambil mudarat yang lebih ringan ketika berhadapan dengan dua
kemudaratan. (Al Mulakhas fii Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 328). Kaedah dari
pernyataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah,

‫ِاْر ِتَك اُب َأَخ ِّف المْف َس َد َت ْي ِن ِبَت ْر ِك َأْث َقِلِه َم ا‬

“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan
meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)

18
Dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah:

‫َج َو اُز ِاْر ِتَك اِب َأَخ ِّف الَّض َر َر ْي ِن‬


“Bolehnya menerjang bahaya yang lebih ringan.” (Fathul Bari, 10: 431)

Kalau kita bandingkan antara memilih pemimpin muslim yang gemar maksiat
dengan pemimpin non muslim yang jujur dan adil, maka, tetap saja pemimpin
muslim lebih utama untuk dijadikan pilihan. Mudaratnya tentu lebih ringan. Apa
alasannya? Alasan pertama, kita tidak boleh mengambil pemimpin dari orang kafir.
Alasan kedua, kita akan lebih mudah dalam menjalani agama karena pemimpin
semacam itu lebih mengerti akan kebutuhan kaum muslim. Alasan ketiga, non
muslim tidak mudah menindas kaum muslim atau menyebar ajaran mereka.
Kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin muslim misalnya dengan korupsi,
itu adalah kesalahannya. Ia akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah atas
tindak jeleknya. Namun, agama kita pasti akan lebih selamat dan orang muslim pun
akan peduli pada sesama saudaranya. Beda halnya dengan non muslim. Muslim
yang bermaksiat masih lebih mending; berbeda dengan non muslim yang diancam
akan kekal di neraka.
Jadi, bagi yang masih mengatakan pemimpin non muslim itu lebih
baik, berpikirlah dengan nalar yang baik dan banyak mengkaji ayat-ayat
Al Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah menyebut non muslim dalam ayat
berikut ini,

‫ِإَّن اَّلِذيَن َكَفُروا ِمْن َأْه ِل اْلِك َت اِب َو اْلُم ْش ِر ِكيَن ِفي َن اِر َج َه َّن َم َخ اِلِديَن ِفيَه ا ُأوَلِئَك ُه ْم َش ُّر اْلَب ِر َّيِة‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al Bayyinah: 6).

Ini firman Allah yang tidak mungkin keliru. Beda kalau tidak percaya akan
wahyu. Loyalitas seorang muslim haruslah kepada sesama muslim, bukan
kepada yang berlawanan agama dengannya. Allah Ta’ala berfirman,

‫َي ا َأُّي َه ا اَّلِذيَن آَم ُنوْا َال َت َّت ِخ ُذ وْا اْلَي ُهوَد َو الَّن َص اَر ى َأْو ِلَي اء َب ْع ُضُهْم َأْو ِلَي اء َب ْع ٍض َو َم ن َي َت َو َّلُهم ِّمنُك ْم َف ِإَّن ُه ِم ْن ُهْم ِإَّن‬
‫َهّللا َال َي ْهِدي اْل َقْو َم الَّظ اِلِميَن‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang


Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al Maidah: 51). Dalam ayat lain dise-
butkan,

19
‫َي ا َأُّي َه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا اَل َت َّت ِخ ُذ وا َع ُد ِّو ي َو َع ُد َّو ُك ْم َأْو ِلَي اء‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan


musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS Al Mumtahanah: 1)

Marilah kaum muslim melihat realita yang terjadi. Cobalah renungkan


sejenak, bagaimana nasibnya nanti jika akhirnya pemimpin non muslim
yang akan maju sebagai pewaris kekuasaan. Hanya Allah yang memberi
taufik.

(3) Pemimpin Non-Muslim Identik dengan Kafir?


Oleh: Haidar Bagir

Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah


kamu mengambil orang-orang kafir menjadi walî dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” (QS Al-Nisa’: 114). Di dalam ayat lain, Allah bahkan melarang
menjadikan kerabat kita sebagai awliyâ’ - ketika mereka lebih memprioritaskan
kekafiran atas keimanan (QS Al-Taubah: 23). Sebagian kalangan - berdasarkan ayat
di atas dan ayat-ayat serupa lainnya - menyimpulkan bahwa haram bagi umat
Islam mengangkat pemimpin non-Muslim. Penerimaan terhadap kepemimpin-
an non-Muslim dianggap sebagai penyangkalan terhadap perintah suci Allah dan
sekaligus merupakan ketundukan terhadap pemerintahan thâghût.
Maka, dalam momentum Pileg dan Pilpres seperti tahun 2014, atau isu Pilkada
di setiap daerah saat ada pemimpin non-muslim maju, isu kepemimpinan non-
Muslim kembali digulirkan. Berseliweran kampanye atas nama agama untuk menolak
kepemimpinan non-Muslim. Lepas dari hak semua orang untuk dipilih dalam negara
demokratis seperti Indonesia, pengantar pendek ini berupaya membuka diskusi
mengenai hal krusial dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Seungguhnya juga
kehidupan keberagamaan dalam negeri yang plural seperti Indonesia – dengan
menawarkan argumentasi yang berbeda mengenai hal ini. Dengan mengasumsikan
kesepakatan bahwa kata walî di sini bermakna pemimpin, pengantar sederhana ini
ingin sekali lagi mengajukan jawaban terhadap pertanyaan: benarkah kafir - pelaku
kekafiran - identik dengan non-Muslim? Apakah non-Muslim serta-merta berarti
kafir?38
Kufr adalah Penyangkalan Terhadap Kebenaran
Kata kafir dalam bahasa Arab (lihat al-Munjid, misalnya) berasal dari
kata kafara yang berarti ‘menutupi’. Di dalam Al-Quran, misalnya, petani dise-
38 Perlu ditekankan di sini bahwa diskusi mengenai pemimpin non-Muslim tak
mencakup ranah kepemimpinan (wilayah) spiritual. Dalam hal yang disebut terakhir,
logis belaka bahwa faktor keislaman pemimpin – sebagaimana di agama mana pun –
merupakan kondisi sine qua non (tak bisa tidak).

20
but kuffâr (orang-orang “kafir”) karena mereka menggali tanah, menanam bebijian,
lalu menutupnya kembali dengan urukan tanah (QS Al-Hadid: 20). Kata ini pula yang
kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi kata to cover. Kekafiran, dengan
demikian, adalah pengingkaran dan penyangkalan atas kebenaran yang memang
telah dipahami, diterima, dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran.
Orang kafir adalah orang yang, karena berbagai alasan ( vested interest) menyangkal
atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya. Jika
seseorang tidak percaya kepada kebenaran tertentu, dalam hal ini kebenaran Islam,
maka, apa yang ia tutupi? Apa yang ia sangkal? Jika ini yang jadi ukuran, maka,
non-Muslim yang tak percaya akan kebenaran Islam bukanlah kafir. Di bawah ini
uraiannya.
Di dalam Al-Quran, kekafiran identik dengan tindakan penyangkalan secara
sadar, tanpa pengaruh tekanan dari luar. Iblis dan Fir’aun, misalnya, disebut kafir
karena adanya penolakan dan penyangkalan terhadap kebenaran yang bahkan
diyakini oleh keduanya (abâ wa-stakbara). Dengan demikian, kekafiran
mengandaikan adanya penolakan dan pengingkaran seseorang atas sebuah
kebenaran yang sampai kepadanya, yang telah ia pahami dan yakini sebagai sebuah
kebenaran. ”Maka, setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui,
lalu mereka ingkar kepadanya, maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar
itu.” (QS Al-Baqarah: 89).
Maka, jika seseorang tidak menerima Islam, karena ketidaktahuan, atau
karena argumen-argumen tentang Islam yang sampai kepadanya tidak
meyakinkannya, apakah orang-orang seperti ini dapat disebut kafir? Karena itu, baik
para ulama salaf maupun khalaf (belakangan) berpendapat adanya kaharusan
pemilikan pengetahuan yakni pengetahuan yang benar dan meyakinkan, sebelum
seseorang dikategorikan sebagai kafir ketika mengingkarinya. Juga, jika seseorang
menolak Islam karena kesombongan padahal sudah terang baginya kebenaran
Islam, jelas, penolakan ini, adalah bentuk kekafiran. Imam Ja’far Shadiq berkata,
“Sekelompok orang tidaklah kafir bila mereka tidak tahu (jahil), diam, dan tidak
menentang.”
Imam Ghazali juga mengutarakan pandangan serupa. Menurutnya, orang-
orang non-Muslim yang tidak sampai kepadanya dakwah tidak dapat disebut sebagai
kafir. Kategori ini dipahami sebagai orang-orang yang tidak pernah mendengar
Islam, atau Islam tidak sampai kepada mereka dalam bentuk yang membuat mereka
yakin. Kata beliau: “Orang-orang yang sampai dakwah kepada mereka, namun
kabar-kabar yang mereka terima adalah kabar-kabar yang tidak benar - membuat
citra Islam menjadi buruk - atau yang mengalami pemalsuan sedemikian rupa,
maka, orang-orang seperti ini masih diharapkan bisa masuk surga.”
Bahkan Ibn Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berpendapat, seseorang
tidak dapat dikafirkan sampai tegak kepadanya hujjah (argumentasi yang meyakin-

21
kan). Sebab, boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash, atau, sudah
mendengarnya, namun tidak sahih, atau, adanya dalil lain yang membuatnya harus
melakukan takwil – betapa pun takwilnya itu keliru. Demikian pula pendapat Imam
Syafi’i dan yang lain. Termasuk juga ‘ alim kontemporer seperti Syaikh Mahmud
Syaltut (dalam Al-Islâm, ‘Aqîdah wa Syarî’ah-nya).
Dari argumentasi-argumentasi yang mereka sampaikan, menurut
penulis, mudah dipahami bahwa kriteria ini seharusnya tidak diterapkan
hanya kepada Muslim yang melakukan tindak kekufuran melainkan juga
kepada non-Muslim yang tidak memeluk Islam karena belum sampai
dakwah dan/atau informasi tentang Islam yang sampai kepadanya, tidak
membuatnya yakin akan kebenaran Islam.
Berdasar argumentasi di atas, maka, non-Muslim yang tulus dalam memilih
dan meyakini keyakinannya tidak serta-merta dapat disebut kafir yakni menutupi
keyakinannya akan kebenaran. (Murtadha Muthahhari dalam Keadilan Ilahi,
menyebut orang-orang non-Muslim seperti ini sebagai orang-orang Muslim Fitri
(muslimûn bil-fithrah) yakni orang-orang yang secara nominal bukan Muslim, tetapi
pada hakikatnya berserahdiri (aslama) kepada kebenaran (Tuhan).
Kekafiran: Kategori Moral, Bukan Teologis
Jika kita teliti teks-teks Al-Quran dan Hadis, kita mendapatkan kesan kuat
bahwa pada puncaknya kekafiran itu kategori moral, bukan kategori teologis.
Imam ‘Ali pernah mengatakan: “Ada orang beragama tetapi tidak berakhlak,
dan ada orang yang berakhlak tapi tidak bertuhan.” Pernyataan Imam ‘Ali ini
bisa dilihat sebagai semacam sindiran bahwa orang beragama, alih-alih dapat
disebut sebagai orang baik atau saleh, justru lebih tepat dikategorikan kafir.
Bukankah dari keimanan - sebagai jantung keberagamaan - harusnya lahir tindakan-
tindakan kebaikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip moral universal? Dapatkah
disebut beriman ketika tindakan-tindakannya bahkan berseberangan dengan prinsip-
prinsip kebaikan? Nabi SAW bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa
saja yang kenyang, sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari)
Dalam sebuah hadis terkenal, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah beriman seorang
pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamr ketika ia
sedang meminum khamr. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang
mencuri.” (HR. Bukhari). Dalam sabda-sabda Nabi SAW tersebut, keimanan secara
tegas dipertautkan dengan kesadaran dan kepedulian sosial. Keimanan bukan
semata keyakinan yang terpendam di dalam hati. Sikap acuh dan “masa bodoh”
terhadap kesusahan orang lain atau pun pelanggaran terhadap syari’at secara tegas
dinyatakan sebagai “tidak beriman” yakni kekafiran terselubung.
Demikian pula dalam ibadah mahdhah. Salat, misalnya, alih-alih mengundang
pujian Allah SWT, justru sebaliknya, Allah SWT sebut sebagai tindakan mendustakan
agama jika tak diikuti dengan kesadaran dan empati sosial yang riil. Allah berfirman:
22
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat (yaitu) orang-orang yang lalai dari
salatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.” (QS Al-Ma’un: 1-7). Bukankah “mendustakan” agama adalah esensi
kekafiran itu sendiri? Masih berhubungan dengan pengidentikan keimanan dengan
empati sosial, dalam hadis yang lain Nabi SAW bersabda: “Tak beriman seseorang
dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia
menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.”
Tentang Kristen dan Trinitas
Boleh jadi ada yang masih merasakan kemusykilan. Jika non-Muslim memang
tak identik dengan kafir dan kekafiran adalah kategori moral, lalu bagaimana
memahami firman Allah SWT: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.” (QS Al-Ma’idah: 73)
Ada beberapa kemungkinan penafsiran ayat di atas. Pertama, bahwa yang
dikafirkan adalah orang-orang yang mengada-adakan Trinitas yang sesungguhnya
tidak diajarkan Yesus. Pada kenyataannya, sebagian kaum Nasrani mempercayai
adanya Pauline Christianity (Kristen model Rasul Paulus yang dipercayai
memperkenalkan Trinitas), Judeo Christianity (Kekristenan yang asli dan tak
mengandung Trinitas). Artinya, yang disebut sebagai “telah kafir” dalam al-Qur’an
adalah orang-orang yang secara sengaja mengadakan bid’ah Trinitas – sebagai
kemusyrikan - dan bukan para penganut agama Nasrani yang memang memperca-
yainya dengan tulus sebagai sebuah kebenaran.
Kemungkinan tafsir lain adalah, yang dimaksud Al-Quran itu bukan Trinitas
sebagaimana yang diyakini kaum Nasrani, tapi Triteisme. Yang pertama, tetap
merupakan tauhid yakni tiga dalam satu (unitas). Yang dua adalah semacam tajalliy-
Nya, jika mengikuti pandangan ‘irfan. Berdasar hal ini, yang bisa disebut kafir adalah
penganut Triteisme ini, yang tidak merupakan mayoritas kaum Nasrani sekarang.
Pemimpin Non-muslim?
Dari uraian singkat di atas, sesungguhnya larangan Allah untuk
mengangkat walî yang kafir tidak serta-merta berlaku atas pemimpin
non-Muslim. Yang terlarang adalah mengangkat pemimpin yang jahat,
yang merugikan dan mengabaikan kemaslahatan rakyat demi kepentingan
diri dan kelompoknya. Dengan kata lain, lebih mementingkan “kekafiran”-
nya (despotisme, korupsi, kesewenangan, dsb.) atas “keimanan” (kese-
jahteraan, rasa aman, kemaslahatan bersama), baik dia Muslim maupun
non-Muslim.

23

Anda mungkin juga menyukai