Anda di halaman 1dari 2

Nama: Putra Ardiansyah

NIM : 215120407111040

Relativism Vs Universalism

Hak Asasi Manusia merupakan sebuah konsep yang diterima secara luas dan merujuk kepada
seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai ciptaan tuhan. Nilai-nilai HAM
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, memastikan semua hak dasar setiap manusia
dipenuhi sebagaimana mestinya. Hak untuk hidup,hak untuk tidak diskriminasi, mendapat
akses pendidikan, kesehatan dan lain-lain adalah contoh dari hak dasar manusia. Diseluruh
dunia nilai-nilai hak ini diakui dan dikenal secara luas sebagai sesuatu yang universal.
Meskipun demikian, nilai-nilai dari hak ini kemudian menimbulkan kontestasi terhadap asal-
usulnya dan bagaimana pandangan universal ini mencoba menggeneralisir pemahaman
manusia terhadap apa yang dimaksud HAM.

Bacaan tersebut menguraikan dengan cukup menarik tentang dikotomi dan perdebatan yang
hadir dalam ranah konsep ham itu sendiri. Sebuah pertanyaan-pertanyaan kritis muncul untuk
menggoyang pemahaman dasar kita soal HAM yang ada dalam sistem internasional saat ini.
Apakah HAM itu universal? Jika memang universal mengapa masih ada interpretasi berbeda
di dunia tentang konsep HAM itu sendiri?

Di dalam diskursus HAM, terdapat dua pendekatan utama yang sering kali bertentangan:
universalisme dan relativisme. Universalisme memandang bahwa hak asasi manusia adalah
hak yang bersifat universal, yang berlaku untuk semua orang di seluruh dunia tanpa kecuali.
Sebaliknya, relativisme berpendapat bahwa hak asasi manusia bergantung pada konteks
budaya dan sosial, dan dapat bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.

Pendekatan universalisme dalam HAM menekankan pada keberlakuan hak-hak yang sama
untuk semua individu, tanpa memandang perbedaan budaya atau konteks sosial mereka.
Universalisme memandang HAM sebagai standar moral yang bersifat absolut dan tidak dapat
ditawar-tawar. Sedangkan Relativisme menyoroti bahwa konsep-konsep tentang hak asasi
manusia dapat berbeda di berbagai konteks budaya, dan tidak selalu dapat diterapkan dengan
cara yang sama di setiap masyarakat. Relativisme menekankan pada pentingnya menghormati
hak-hak yang diakui oleh masyarakat lokal, bahkan jika hal tersebut tidak selalu sejalan
dengan pandangan universal.

Dilihat dari garis asalnya, nilai HAM yang ada saat ini mengacu pada United Declaration of
Human Right(UDHR) yang ditetapkan oleh PBB pada 1948. Deklarasi tersebut bertujuan
menyamakan pemahaman tentang HAM, kedamaian dan keamanan yang berkorelasi satu
sama lain, sehingga bisa menjaga harmony dan mencegah konflik antar negara. Universalitas
nilai HAM ini dapat ditemukan pada ayat 2 UDHR yang berbunyi bahwa nilai HAM yang
yang ada berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Selain itu, International Convention of
Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights(ICESCR). Hal ini menimbulkan perdebatan terkait asal usul nilai tersebut
yang dinilai terlalu europe centric, dan merupakan warisan neo-kolonialisme.
Disisi lain, Relativisme mengatakan bahwa budaya, agama dan nilai tradisional yang
mendikte pendekatan terhadap human rights. Kita tidak bisa memaksakan sebuah nilai ham
secara khusus dan mengaplikasikannya pada dunia yang penuh dengan diversitas nilai dan
budaya. Perdebatan ini memuncak dengan diadakannya Konvensi Vienna tahun 1993 yang
dihadiri oleh perwakilan dari 171 negara di dunia demi menyelaraskan universalitas HAM.
Namun, upaya tersebut tentunya menemui pertentangan karena adanya perbedaan nilai yang
dianut setiap negara, khususnya Asia dengan Asean Ways mereka. Oleh karena itu,
diselenggarakanlah Asia Regional meetings di Bangkok sebagai ruang bagi negara-negara
untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap nilai-nilai HAM. Negara yang menolak
menilai UDHR merupakan bentuk ancaman bagi kepercayaan, praktik dan nilai lokal mereka.

Salah satu contohnya yakni pada 1977 Arab Saudi dan Malaysia yang menilai UDHR sebagai
Western Rezim. Tensi sebagian besar ditimbulkan oleh negara-negara dengan mayoritas
penduduk muslim. Karena interpretasi nilai HAM dalam islam dengan apa yang terkandung
di di dalam UDHR sering kali tidak selaras, misalnya terkait posisi dan kedudukan wanita.
Banyak sarjana islam mencoba untuk mencari titik keseimbangan diantara keduanya.
Sebagian berpendapat bahwa hukum islam didasar pada HAM dasar UDHR itu sendiri dan
beberapa lainnya pandangan bahwa hukum islam secara kodrat merupakan ham yang dibawa
oleh tuhan sendiri, berbeda dengan UDHR. Oleh karena itu, berkaca dari pertentangan
tersebut sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara universalisme dan relativisme
dalam konteks HAM yang merupakan tantangan yang kompleks, namun penting untuk
memastikan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia secara global. Salah satu
pendekatan untuk mencapai keseimbangan tersebut adalah dengan mengadopsi pendekatan
yang inklusif dan kontekstual dalam melaksanakan HAM seperti yang ditawarkan oleh salah
satu sarjana di dalam buku yang mengatakan bahwa kita perlu meredefinisi kembali konsep
HAM yang ada saat ini dan lebih memikirkan diversitas nilai-nilai ham yang ada diluar sana.

Pertama, penting untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai universal yang mendasari
HAM, seperti martabat manusia, kebebasan, dan keadilan, sementara juga mengakui bahwa
cara implementasi hak-hak ini dapat bervariasi sesuai dengan konteks budaya dan sosial.

Kedua, kolaborasi antarbudaya dan dialog yang terbuka dapat membantu mempromosikan
pemahaman saling, mengurangi ketegangan antara universalisme dan relativisme, dan
menciptakan kesepahaman tentang nilai-nilai yang bersifat universal sambil juga
menghormati keanekaragaman budaya.

Ketiga, mekanisme perlindungan HAM yang inklusif dan responsif terhadap konteks lokal
dapat membantu memastikan bahwa hak-hak asasi manusia dihormati di semua tingkat, tanpa
mengabaikan nilai-nilai budaya yang penting bagi masyarakat setempat.

Keberhasilan dalam mencapai keseimbangan antara universalisme dan relativisme dalam


HAM bergantung pada komitmen bersama dari komunitas internasional, negara-negara,
organisasi masyarakat sipil, dan individu-individu untuk mempromosikan dan melindungi
hak-hak dasar semua individu, sambil juga menghargai dan menghormati keberagaman
budaya yang memperkaya dunia ini. Dengan demikian, dengan pendekatan yang inklusif dan
kontekstual, kita dapat mencapai keseimbangan yang adil antara universalisme dan
relativisme dalam perlindungan hak asasi manusia di seluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai