Anda di halaman 1dari 9

UAS - HUKUM & HAM

Nadya Syahra Amala (20190501083)

1. Dalam teori hak-hak alami (natural law) secara natural telah ada pada pikiran
manusia dan berlaku secara general bagi setiap manusia berdasarkan takdirnya
sebagai manusia. Menurut Thomas Hobbes, Hak Alamiah (The Right of Nature)
adalah suatu kebebasan tiap manusia untuk menggunakan kekuatannya sendiri sesuai
dengan kehendaknya dalam rangka pemeliharaan atas dirinya demi hidupnya.

Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Dalam pandangan Teori positivisme, hak baru ada jika ada hukum
yang telah mengaturnya. Moralitas juga harus dipisah dalam dimensi hukum. Adapun
kepemilikan hak dari tiap individu bisa dinikmati apabila diberikan secara resmi oleh
penguasa atau Negara. Menurut penganut teori positivisme, berpandangan bahwa hak
harus tertuang dalam hukum yang riel, maka dipandang sebagai hak melalui adanya
jaminan konstitusi.

Hak asasi manusia dalam teori relativisme kultural muncul selaku tanggapan atas
munculnya ‘pemaksaan’ Hak Asasi Manusia yang bersifat universal. Teori relativisme
budaya memandang Hak Asasi Manusia berbeda-beda, terbatas pada wilayah tempat
tinggal dan kebudayaan. Apa yang menjadi hak bagi satu kelompok masyarakat
belum tentu menjadi hak bagi kelompok masyarakat yang lain. Menurut Rhona K.M.
Smith, et.al. menyebutkan: “Relativisme budaya (cultural relativism) dengan
demikian, merupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya
yang ada dalam berbagi hal, selalu ada kondisi di mana mereka yang memegang
kekuasaan tidak setuju. Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain,
seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu Hak
Asasi Manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila Hak Asasi
Manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan
suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu.”

Teori Doktrin Marxis sangat bertolak belakang dengan teori hak-hak alamiah karena
dalam teori ini Negara dan kolektivitas adalah sumber galian seluruh hak. Teori maxis
berpandangan bahwa dalam suatu negara merupakan dasar dari seluruh hak, dan
hak-hak untuk mendapat pengakuan atas hak individu harus mendapat pengakuan dari
Negara.

2. Prinsip-prinsip HAM pada dasarnya memiliki muatan moralitas yang kena mengena
dengan semua sisi kehidupan manusia. Menurut Manfred Nowak dalam prinsip HAM
terbagi menjadi empat yaitu yakni universal (universality), tak terbagi (indivisibility),
saling bergantung (interdependent), saling terkait (interrelated).
1) Dalam prinsip universal (universality) dikatakan bahwa, semua orang di
seluruh belahan dunia manapun, agamannya apapun, warga Negara manapun,
berbahasa apapun, etnis manapun, tanpa memandang identitas politik dan
antropologis apapun, dan terlepas dari status disabilitasnya, memiliki hak yang
sama yang telah ditegaskan pada Pasal 5 Deklarasi Wina.
2) Prinsip tak terbagi (indivisibility), dimaknai sebagai kategori hak setiap
manusia yang tidak dapat dibagi-bagi. Semua hak asasi manusia sama-sama
penting, maka dari itu tidak diperbolehkan mengeluarkan hak-hak tertentu atau
kategori hak tertentu dari bagiannya.
3) Prinsip saling bergantung (interdependent), dimaknai sebagai hak tertentu
akan bergantung dengan hak yang lain.
4) Dan prinsip saling terkait (interrelated), hak satu akan selalu terkait dengan
hak yang lain. Seperti, hak anak dalam menerima pendidikan dengan hak
orangtua yang memberikan pendidikan yang layak.

3. CEDAW (Convention of all the Elimination of all forms Discrimination Against


Woman) merupakan konvensi tentang perlindungan dan penegakan hak perempuan
yang paling komprehensif dan sangat penting. CEDAW menekankan persamaan dan
keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam hak dan kesempatan serta menikmati
manfaat disegala bidang kehidupan. Prinsip pokok CEDAW antara lain prinsip
persamaan substantif, prinsip non diskriminasi dan prinsip kewajiban negara.
1) Prinsip persamaan substantif yaitu pendekatan yang digunakan untuk
mencapai keadilan dengan substantif atau kesetaraan perempuan dan laki laki.
Kesetaraan substantif diakui sebagai produk dari stereotip negatif perempuan,
dan akibatnya berupaya menghilangkan diskriminasi pada tingkat individu,
kelembagaan, dan sistemik melalui tindakan korektif dan positif termasuk
kondisi yang memungkinkan dan tindakan afirmatif. Ini berusaha untuk
memperbaiki ketidakseimbangan dan berfokus pada pencapaian “kesetaraan
hasil” dengan memastikan kesempatan, akses dan manfaat yang sama bagi
perempuan.
2) Prinsip non diskriminasi merupakan bagian fundamental dari konsep
kesetaraan. Kesetaraan ini seperti ketidaksetaraan di hadapan hukum
(inequality befor the law), ketidaksetaraan perlakukan (inequality of
treatment), ketidaksetaraan kesempatan pendidikan (inequality of education
opportunity) dan lain-lain.
3) Prinsip kewajiban negara didefinisikan sebagai prinsip mengenai HAM,
norma, dan standar kelakuan dan kewajiban dimana negara peserta konvesi
sepakat untuk memenuhinya. Kewajiban negara mewujudkan unsur-unsur,
yaitu penghormatan, perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi
manusia. Hal ini juga menjunjung tinggi konsep due diligence yang menuntut
memastikan pencegahan, investigasi, dan sanksi tindakan diskriminasi pribadi.
Badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif pemerintah bertanggung jawab atas
pemenuhan semua kewajiban negara.

4. Konvensi berusaha untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di segala


bidang dan lingkungan, dan menahan aktor negara dan non-negara dalam kasus
pelanggaran hak. Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar
prinsip persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia, merupakan
hambatan bagi partisipasi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam
kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negaranya, menghambat pertumbuhan
kesejahteraan masyarakat dan keluarga dan mempersulit pengembangan penuh
potensi perempuan dalam melayani negara dan kemanusiaan mereka.

5. AICHR (Intergovernmental Commission of Human Rights) lahir dan dirancang untuk


menjadi bagian integral dari struktur organisasi ASEAN dan lembaga menyeluruh
dengan tanggung jawab keseluruhan untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia di ASEAN. Tugas dan fungsi AICHR yang terdapat pada pasal 4 TOR
AICHR adalah:
1) Mengembangkan strategi pemajuan dan perlindungan HAM
2) Mengembangkan Deklarasi HAM ASEAN;
3) Meningkatkan kesadaran publik terhadap HAM;
4) Memajukan peningkatan kemampuan demi pelaksanaan kewajiban-kewajiban
perjanjian HAM;
5) Mendorong negara-negara ASEAN untuk meratifikasi instrumen HAM;
6) Memajukan pelaksanaan instrumen-instrumen ASEAN;
7) Memberikan pelayanan konsultasi dan bantuan teknis terhadap
masalah-masalah HAM;
8) Melakukan dialog dan konsultasi dengan badan-badan ASEAN lain;
9) Berkonsultasi dengan institusi regional dan internasional;
10) Mendapatkan informasi dari negara-negara anggota ASEAN tentang pemajuan
dan perlindungan HAM;
11) Mengupayakan pendekatan dan posisi bersama tentang persoalan HAM yang
menjadi kepentingan ASEAN;
12) Menyiapkan kajian-kajian tentang isu-isu tematik HAM di ASEAN;
13) Menyerahkan laporan tahunan kegiatan atau laporan lain yang diperlukan pada
Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM); dan
14) Menjalankan tugas lain yang mungkin diberikan oleh Pertemuan Menteri Luar
Negeri ASEAN.

AIHCR bertujuan untuk: (l) Mempromosikan dan melindungi hak asasi


manusia dan kebebasan fundamental masyarakat ASEAN; (2) Menjunjung
tinggi hak rakyat ASEAN untuk hidup damai, bermartabat dan sejahtera; (3)
Berkontribusi pada realisasi tujuan ASEAN sebagaimana tercantum dalam
Piagam ASEAN untuk meningkatkan stabilitas dan keharmonisan di kawasan,
persahabatan dan kerja sama di antara Negara-negara Anggota ASEAN, serta
kesejahteraan, mata pencaharian, kesejahteraan dan partisipasi masyarakat
ASEAN dalam proses pembangunan Komunitas ASEAN; 4).
Mempromosikan hak asasi manusia dalam konteks regional, dengan
memperhatikan kekhasan nasional dan regional serta saling menghormati latar
belakang sejarah, budaya dan agama yang berbeda, serta memperhatikan
keseimbangan antara hak dan tanggung jawab; (5) Meningkatkan kerjasama
regional dalam rangka melengkapi upaya nasional dan nasional dalam
pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia (6) untuk menegakkan standar
hak asasi manusia internasional sebagaimana ditentukan oleh Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia.

6. Terdapat tujuh (7) konvensi HAM penting yang memberi mekanisme bagi
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia. Yaitu:
1) ICCPR (1976) International Covenant on Civil and Political Rights. Human
Rights Committee/ Komite HAM (2006)
2) ICESCR (1976) International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights Committee on Economic, Social and Cultural Rights/ Komite
EKOSOB (2006)
3) CERD (1969) Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination Committee on the Elimination of Racial Discrimination/
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (1969) UU 29/1999
4) CEDAW (1981) Convention on the Elimination of All Forums of
Discrimination against Women Committee on the Elimination of
Discrimination against Women. UU 7/1984
5) CAT (1987) Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Committee Against Torture/ Komite Anti Penyiksaan
(1987) UU 5/1998
6) CRC (1990) Convention on the Rights of the Child Committee on the Rights of
the Child/ Komite Hak Anak 1990
7) MWC (2003) Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Members of Their Families/ Komite Hak Buruh Migran.

7. John Locke menjelaskan bahwa kebebasan kodrati manusia (natural liberty) adalah
bebas dari kekuasaan yang lebih tinggi di bumi, dan tidak berada di bawah kehendak
atau otoritas legislatif manusia, tetapi hanya memiliki hukum alam untuk
pemerintahannya. Penerapannya seperti kebebasan manusia dalam masyarakat, tidak
berada di bawah kekuasaan legislatif lain, tetapi yang didirikan dengan persetujuan,
dalam persemakmuran; atau di bawah kekuasaan kehendak apa pun, atau
pengekangan hukum apa pun, tetapi apa yang harus ditetapkan oleh legislatif itu
menurut kepercayaan yang diberikan padanya. Kebebasan bagi setiap orang untuk
melakukan apa yang diinginkannya, untuk hidup sesukanya, dan tidak terikat oleh
hukum apa pun: tetapi kebebasan manusia di bawah pemerintahan adalah, untuk
memiliki aturan tetap untuk dijalani yang umum bagi setiap orang dari masyarakat itu
dan dibuat oleh kekuatan legislatif yang didirikan di dalamnya; kebebasan untuk
mengikuti kehendak diri sendiri dalam segala hal, di mana aturan tidak menentukan;
dan tidak tunduk pada kehendak orang lain yang tidak tetap, tidak pasti, tidak
diketahui, dan sewenang-wenang: sebagaimana kebebasan alam, tidak boleh berada di
bawah kendali lain selain hukum alam. Locke juga mendeskripsikan tentang
masyarakat sipil (civil society) sebagai badan individu yang bersatu di bawah
kekuasaan eksekutif yang melindungi properti dan kesejahteraan mereka, dan
merancang undang-undang untuk mengatur perilaku mereka.

8. Menurut Muladi (1996) dapat diperinci adanya 4 (empat) kelompok pandangan, yakni
pertama Kelompok berpandangan Universal-absolut, kedua Kelompok berpandangan
Universal-relatif, ketiga Kelompok berpandangan Partikularistik-absolut, keempat
Kelompok berpandangan Partikularistik-relatif.
1) Pandangan universal absolut memandang HAM sebagai nilai-nilai universal
sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM dan profil sosial
budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan. Tidak
diperhitungkannya profil sosial budaya dari yang melekat dari masing-masing
negara membuat pandangan ini sering memicu yang konflik saling
menyalahkan karena pandangan akan konsepsi HAM tiap-tiap negara
dipandang sama sebab dipandang sebagai suatu kewajiban moral berkaitan
dengan adanya dokumen-dokumen internasional tentang HAM.
2) Pandangan universal relatif, memandang HAM sebagai suatu masalah yang
bersifat universal dengan perkecualiaan dan batasan yang didasarkan pada
asas-asas hukum internasional. Pandangan ini mengakui keberadaan asas-asas
hukum internasional sebagai suatu hal yang dapat membatasi HAM, dan
mengakui bahwa HAM tidaklah sesuatu yang mutlak sepanjang hal tersebut
dikecualikan oleh asas-asas hukum internasional.
3) Pandangan partikulistik absolut memandang HAM sebagai persoalan dari
masing-masing bangsa. Pandangan ini memperlihatkan sikap chauvinistik
yang memberikan kesan adanya penolakan-penolakan terhadap
dokumen-dokumen internasional sehingga terkadang menimbulkan kesan
egoisme, defensif dan pasif tentang HAM.
4) Pandangan partikularistik relatif memandang HAM sebagai suatu masalah
universal dan juga masalah nasional dari masing-masing bangsa. Pandangan
ini memperlihatkan ada keseimbangan antara pandangan HAM menurut
lingkup nasional dan pandangan HAM berdasarkan dokumendokumen
internasional oleh suatu bangsa terjadi setelah melalui proses penyelarasan dan
mendapat dukungan dari budaya bangsa.

9. Kejahatan luar biasa adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu
kejahatan yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Dalam
Statuta Roma 1998 (Rome Statute), istilah kejahatan serius yaitu kejahatan yang
mengancam keamanan, perdamaian, kesejahteraan dan kehidupan manusia, seperti
kejahatan perang, agresi, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut
Mark A. Drumble (2007), kriteria kejahatan luar biasa adalah kejahatan dilakukan
secara terencana, terorganisir, sistematis jumlah korban yang besar dan dilakukan atas
alasan diskriminatif. Namun, pakar hukum Indonesia membuat kriteria kejahatan luar
biasa disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Ada beberapa kejahatan yang
kategorikan sebagai kejahatan luar biasa di Indonesia seperti kejahatan pelanggaran
HAM berat, korupsi, terorisme, penyalahgunaan narkoba dan bahkan ada yang
berpendapat bahwa perusakkan lingkungan hidup secara sengaja, sistematik dan masif
dapat dimasukkan sebagai salah satu jenis kejahatan luar biasa.

10. Thomas Risse dan Kathryn Sikkink mengembangkan “spiral model” untuk
menggambarkan proses atau fase yang dilalui oleh sebuah negara sebelum menerima
prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai bagian dari praktik domestik negara
tersebut. Spiral model menunjukkan proses internalisasi hak asasi manusia dalam
sebuah negara yang pada intinya merupakan gambaran dari tiga tipe proses sosialisasi
hak asasi manusia yaitu adaptasi instrumen internasional, wacana argumentatif, dan
institusionalisasi. Kelima fase tersebut yaitu fase represi (repression), fase
penyangkalan (denial), fase pengakuan secara taktis (tactical concession), fase
keadaan penerimaan (prescriptive status), fase pelaksanaan aturan secara konsisten
(rule-consistent behavior). Namun Thomas Risse, Kathryn Sikkink dan Stephen Ropp
melihat terdapat beberapa kelemahan dalam konsep Model Spiral yang mereka
tawarkan. Dalam buku mereka yang berjudul The Persistent of Human Rights: From
Commitment to Compliance, kelemahan tersebut terletak pada tidak adanya pondasi
pemikiran yang kuat terhadap bentuk kepatuhan aktor-aktor atas norma-norma yang
telah disepakati. Kepatuhan aktoraktor sejatinya berasal dari komitmen dan kemauan
atas norma-norma HAM yang telah disepakati dan dilembagakan.
Referensi

Ardani, Nur Afif. Dkk (2017). Relativisme Budaya Dalam Hak Asasi Manusia. Vol. XIV.
No. 1. Tahun 2017. Diacres dari: https://ejournal.up45.ac.id › article › download
Atmadewi, Katrin. (2009). Eksistensi Hak Individu dalam Bernegara: Kajian Filosofis Pemikiran Robert Nozick
dalam Kehidupan Bernegara. Diakses dari:
https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127420-RB16K40e-Eksistensi%20hak-Analisis.pdf
Roza, Darmini & Gokma Toni Parlindungan S. (2021). Teori Positivisme Hans Kelsen Mempengaruhi
Perkembangan Hukum di Indonesia. Diakses dari:
https://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/viewFile/4056/3053
Periani, Aniek & Wahyu Hariadi. 2020. Perlindungan Hukum Terhadap Etnis Rohingya Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8 No. 2. Diakses dari:
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/25427
Izzati, AR. 2016. Hak Asasi Manusia Dan Teori Hukum Feminis.Diakses dari:
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10161/03.2%20bab%202.pdf?sequence=5&isAllo
wed=y
Triyana, Hibertus Jaka. Dkk. 2012. Aequitas Iuris. Vol. 7. No. 1. Diakses dari:
https://repository.ugm.ac.id/136614/1/Jurnal%20Aequintas%20Iuris%20Volume%207%20Nomor%20
1%20Juni%202012.pdf
Pradjasto, Anton. 2014. Instrumen Hak Asasi Manusia Dan Konsep Tanggung Jawab Negara. Diakses dari:
https://referensi.elsam.or.id/2014/12/instrumen-hak-asasi-manusia-dan-konsep-tanggung-jawab-negara/
Slamet, Adiyana. 2011. Hak Asasi Manusia. Diakses dari: https://repository.unikom.ac.id/35008/1/HAM.Doc
Arifin, Firdaus. 2019. Hak Asasi Manusia Teori, Perkembangan dan Pengaturan. Diakses dari:
http://repository.unpas.ac.id/45262/1/HAM.pdf
Hatta, Muhammad. 2019. Kejahatan Fuar Biasa (Extra Ordinary Crime). Diakses dari:
https://repository.unimal.ac.id/4883/1/%5BMuhammad%20Hatta%5D%20KEJAHATAN%20LUAR%
20BIASA%20%20EXTRA%20ORDINARY%20CRIME.pdf
Asinine, Azkar. Dkk. 2017. Kesenjangan dalam Komitmen dan Implementasi: Mengurai Hambatan Birokratik
dalam Penegakan HAM di Indonesia. Diakses dari:
https://elsam.or.id/wp-content/uploads/2017/06/fa-buku-kesenjangan-elsam.pdf

Anda mungkin juga menyukai