Anda di halaman 1dari 5

Pandangan dan Praktek Pelaksanaan Hak Asasi Manusia

terdapat banyak teori yang mengupas hakikat hak asasi manusia. Namun disajikan inti pemikiran
teori-teori hak kodrati, positivisme, dan teori realisme hukum, serta beberapa pandangan tentang
pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia pada suatu negara.

Teori Hak Kodrati

Ajaran teori hak kodrati muncul pada abad pertengahan (Davies, 1994) dengan tokoh paling
menonjol Santo Thomas Aquinas. Ajaran hukum kodrati mengandung dua ide filsafat, yakni: (1) ide
bahwa posisi masing-masing kehidupan manusia ditentukan oleh Tuhan dan semua manusia tunduk
pada otoritas Tuhan; (2) ide bahwa setiap orang adalah individu yang otonom.

Selain Thomas Aquinas teori ini pun mendapat dukungan dari Grotius, yang mengatakan bahwa
hukum kodrati merupakan landasan semua hukum positif atau hukum tertulis, dapat dirasionalkan
di atas landasan non-empiris dengan menelaah aksioma ilmu ukur.

Para pendukung teori hukum kodrati memilih pendekatan rasional sekuler, dengan memandang
semua permasalahan hukum sebagai ketentuan yang dapat diketahui dengan menggunakan nalar
yang benar dan kesahihannya tidak bergantung pada Tuhan (Davidson, 1994 : 37).

Pandangan hukum kodrati Grotius terus mengalami penyempurnaan, dan akhirnya berubah menjadi
teori hak kodrati, yang menyatakan bahwa hak-hak individu yang subjektif diakui. Teori ini lalu
didukung oleh Locke, yang mengatakan bahwa semua individu di karunia Tuhan sejumlah hak yang
inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dipindahkan atau dicabut oleh negara.

Positivisme

Para pendukung teori positivis berpendapat bahwa eksistensi dan hak hanya dapat diturunkan dari
hukum negara. Teori ini menggunakan pendekatan yang mencerminkan suasana ilmiah zaman
pencerahan di Eropa pada abad ke-18 (Davidson, 1994 : 40).

Salah seorang penganut teori ini adalah David Hume, yang mengungkapkan bahwa penelitian
terhadap fenomena sosial dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni: (1) kategori fakta, yang
dapat dibuktikan dengan “ada” secara empiris dan yang “benar” atau “salah”-nya dapat
diperlihatkan. Inilah yang dimaksud dengan "ada”; (2) kategori moralitas, yang secara objektif tidak
dapat dibuktikan adanya dan orang mempunyai perbedaan pendapat. Inilah yang dimaksud dengan
"seharusnya”.

Pendapat Hume tersebut dikenal dengan utilitarianisme, yang kemudian dikembangkan oleh Jeremy
Bentham. Tujuan utilitas“ (utility) adalah meningkatkan kesenangan manusia yang dapat dihitung
secara sistematis. Oleh karena itu, standar baku utilitas adalah seberapa jauh aturan-aturan yang
akan memberikan kebahagiaan terbesar bagi umat manusia telah dilaksanakan.

Realisme Hukum

Para penganut teori realisme hukum adalah Karl Liewellyn dan Roscoe Pound. Menurut pandangan
penganut teori ini, hak dipandang sebagai produk akhir proses interaksi, dan mencerminkan nilai
moral masyarakat yang berlaku pada segala waktu tertentu.
Roscoe Pound membuat rumusan untuk pengesahan, keinginan manusia, tuntutan manusia serta
kepentingan sosial melalui rekayasa sosial, namun ia tidak mengidentifikasikan mekanisme atau
metode yang dapat memprioritaskan hak-hak individu, baik dalam kaitan dengan hak-hak itu satu
sama lain maupun dalam hubungan dengan sasaran masyarakat (Davidson, 1994).

Demikian juga dengan Myres McDougal. Ia mengambangkan suatu pendekatan terhadap hak asasi
manusia yang sarat nilai dan berorientasi pada kebijakan, berdasarkan pada “nilai luhur”
perlindungan terhadap martabat manusia (Davidson, 1994). Menurut McDougal, tuntutan
pemenuhan hak asasi manusia itu berasal dari pertukaran nilai-nilai internasional yang luas
dasarnya. Nilai-nilai ini dimanifestasikan oleh tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kebutuhan-
kebutuhan sosial, seperti rasa hormat, kekuasaan, pencerahan, kesejahteraan, kesehatan,
keterampilan, kasih sayang dan kejujuran. Semua nilai ini bersama-sama mendukung dan disahkan
oleh nilai luhur martabat manusia.

Kemunculan teori tentang hak asasi manusia yang beragam, telah menjadi salah satu penyebab
kemajemukan pandangan tentang mekanisme perlindungan hak asasi manusia pada suatu negara.
Sekurang-kurangnya terdapat empat kelompok pandangan tentang hak asasi manusia yang masing-
masing memiliki pengikut yang cukup luas, termasuk di Indonesia. Keempat pandangan tersebut
adalah: (1) pandangan universal absolut, (2) pandangan universal relatif,, (3) pandangan
partikularistik absolut, dan (4) pandangan partikular relatif (Muladi, 1994 : 2).

Pandangan universal absolut melihat hak asasi manusia sebagai nilai-nilai universal sebagaimana
dirumuskan dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional. Profil sosial budaya suatu
bangsa diabaikan, dengan kata lain pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia di semua bangsa
harus sama tanpa memperhatikan corak dan asal-usul sosial budaya.

Pandangan ini banyak dianut di negara-negara maju. Sementara negara-negara berkembang menilai
pandangan ini sebagai alat penekan sekaligus instrumen penilai. Hal ini terutama jika pelaksanaan
HAM itu dikaitkan dengan pemberian bantuan luar negeri atau mekanisme diplomasi internasional.

Pandangan universal relatif melihat persoalan HAM sebagai masalah universal, namun dalam
pelaksanaannya mengenal perkecualian yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional.
Perkecualian tersebut bersumber pada ketentuan pasal 29 ayat 2. Pernyataan umum hak-hak
manusia, yang menyatakan bahwa dalam menunaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap
orang hanya bisa dikenakan pembatasan-pembatasan demikian sebagaimana ditentukan oleh
undang-undang semata dengan tujuan menjamin pengakuan dan rasa hormat yang layak terhadap
hak-hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang layak secara
moral, tata tertib dan kesejahteraan umum di dalam suatu tatanan masyarakat demokratis.

Pandangan partikularistik absolut melihat persoalan hak asasi manusia sebagai masalah intern
masing-masing bangsa. Menurut pandangan ini masing-masing bangsa dapat melakukan penolakan
terhadap pelaksanaan kovenan-kovenan internasional tentang hak-hak asasi manusia. Pandangan ini
lebih jauh sering kali menimbulkan kesan nasionalisme sempit yang menolak nilai-nilai universalitas,
perlindungan hak-hak asasi manusia.

Pandangan partikularistik relatif melihat persoalan hak asasi manusia di samping sebagai masalah
universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Hal ini berarti pemberlakuan
kovenan-kovenan internasional memerlukan penyelarasan sesuai dengan karakteristik budaya suatu
bangsa.
Berbeda dengan pandangan partikularistik absolut, para pengikut pandangan partikularistik relatif
mengakui adanya relativitas kultural dalam pelaksanaan perlindungan hak-hak asasi manusia yang
berlaku secara universal. Hal ini mengandung tantangan bagaimana agar pelaksanaan asasasas hak
asasi manusia universal senapas dan mendapat dukungan dari nilainilai budaya nasional, sehingga
keberlakuannya betul-betul mendapat legalitas baik formal maupun sosial.

Hak Asasi Manusia dan Warga Negara

penduduk suatu negara dapat dibedakan atas warga negara dan bukan warga negara. Seseorang
dapat menjadi warga negara apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang
atau peraturan lain yang mengatur masalah kewarganegaraan.

Kewarganegaraan merupakan masalah penting, baik bagi orang yang bersangkutan maupun bagi
negara yang didiaminya. Dikatakan demikian karena status kewarganegaraan seseorang akan
menentukan hak dan kewajiban orang yang bersangkutan terhadap negara yang didiaminya.

Hampir semua negara mengatur masalah kewarganegaraan di dalam undang-undang dasar


negaranya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya status kewarganegaraan bagi suatu negara.

Namun kendati hampir semua negara telah memiliki aturan yang tegas di dalam undang-undang
dasarnya, dalam percaturan internasional masalah kewarganegaraan tidak jarang menjadi persoalan
yang sulit dipecahkan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan asas yang dianut dalam
menetapkan status kewarganegaraan seseorang.

Dikenal dua asas yang lazim dianut bangsa-bangsa di dunia dalam menentukan status
kewarganegaraan seseorang, yakni asas ius soli dan ius sanguinis.

Menurut asas ius soli status kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat di mana ia
dilahirkan, tanpa memandang asal-usul, kewarganegaraan orang tua. Amerika Serikat adalah salah
satu negara yang menganut asas ini, sehingga setiap orang yang dilahirkan di Amerika Serikat akan
diakui sebagai warga negara Amerika Serikat, meskipun ia dilahirkan dari seorang ibu yang
berkewarganegaraan Indonesia.

Berbeda dengan asas ius soli, asas ius sanguinis menetapkan status kewarganegaraan seseorang
berdasarkan asal-usul keturunannya. Status kewarganegaraan orang tualah yang menentukan
kewarganegaraan seseorang, bukan tempat ia dilahirkan. Republik Rakyat Cina adalah salah satu
negara yang menganut asas ini, sehingga di mana pun orang RRC dilahirkan ia akan menjadi warga
negara RRC.

Penerapan kedua asas di atas dapat menimbulkan kewarganegaraan rangkap (bipatride) atau dapat
pula menimbulkan tidak berkewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan rangkap akan terjadi
apabila seorang warga dari suatu negara yang menganut asas ius sanguinis melahirkan anak di
wilayah negara yang menganut asas ius soli. Seperti sebuah keluarga berkewarganegaraan RRC yang
melahirkan anak di wilayah Amerika Serikat. Bayi yang dilahirkan, akan diakui sebagai warga negara
kedua negara tersebut.

Sebaliknya, apatride akan terjadi apabila seorang anak dari keluarga yang menjadi warga dari suatu
negara yang menganut ius soli dilahirkan di wilayah negara yang menganut asas ius sanguinis.
Apatride dapat pula terjadi apabila seseorang melepaskan status kewarganegaraannya, namun
belum ada negara lain yang mengabulkan permohonan status kewarganegaraan orang yang
bersangkutan.
Masalah-masalah kewarganegaraan biasanya diselesaikan melalui perjanjian internasional. Misalnya
masalah dwi kewarganegaraan Indonesia RRC diselesaikan melalui perundingan antara Menteri Luar
Negeri Indonesia Sunarjo dan Menteri Luar Negeri RRC Chou En Lai. Hasil perundingan yang
dilakukan menteri luar negeri kedua negara kemudian dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor
2 Tahun 1958 sebagaimana telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1969. Undang-
undang ini antara lain menetapkan bahwa, mereka yang telah memperoleh status kewarganegaraan
Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1958 tetap berkewarganegaraan Indonesia.
Adapun orang-orang yang masih di bawah umur secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan
orang tuanya.

Sebagai warga negara seseorang akan terikat oleh segala ketentuan yang dibuat suatu negara. Hal ini
terjadi karena sebagai pengintegrasian kekuatan politik, negara memiliki sifat memaksa, monopoli
dan sifat semuanya (Sumantri, 1984 : 8).

Sifat memaksa mengandung arti bahwa negara dapat menggunakan kekerasan fisik secara sah agar
ditaatinya keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh alat penyelenggara negara. Karena setiap
anggota masyarakat tidak mungkin melaksanakan apa yang menjadi tujuannya, maka negara
mempunyai sifat monopoli dalam menetapkan tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan
sifat mencakup semua berarti tidak ada seorang pun anggota masyarakat dapat dikecualikan dari
ketentuan yang dibuat alat penyelenggara negara.

Karena kekuasaan negara dijalankan oleh orang-orang yang berkedudukan sebagai alat
perlengkapan negara, maka tidak jarang kekuasaan negara disalahgunakan. Anda masih ingat bukan
dalil yang dikemukakan seorang ahli sejarah berkebangsaan Inggris, Lord Acton?

Untuk mencegah agar tidak terjadi kemungkinan penindasan hak-hak asasi warga negara oleh
penyelenggara kekuasaan negara, maka ditetapkanlah konstitusi, atau undang-undang dasar.
Dengan demikian, konstitusi pada hakikatnya merupakan pembatasan kekuasaan dalam negara
(Sumantri, 1994 : 9). Oleh karena itu, setiap konstitusi sekurang-kurangnya akan mengandung tiga
hal berikut:

1. jaminan hak-hak asasi manusia atau warga negara;

2. kerangka ketatanegaraan yang bersifat mendasar (frame of government); 3. aturan tentang tugas
dan wewenang dalam negara yang bersifat mendasar.

Jaminan perlindungan hak asasi manusia di dalam konstitusi pada hakikatnya merupakan jaminan
bagi kemerdekaan seseorang dari kesewenang-wenangan penguasa negara. Indonesia misalnya,
telah mencantumkan beberapa hak asasi di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Tentang keterbatasan kandungan Undang-Undang Dasar 1945 ada yang mengatakan sebagai
pengaruh declaration des droits de l'homme et du citoyen yang dianggap waktu itu sebagai sumber
dari individualisme dan liberalisme, sehingga dianggap bertentangan dengan asas kekeluargaan dan
gotong-royong.

Mengani hal tersebut di atas Ir. Soekarno pada saat itu menyatakan: Jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada pihak kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong-
royong, dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham individualisme dan liberalisme
dari padanya.
Respons atas pernyataan Soekarno datang dari Moh. Hatta, la menyatakan bahwa walaupun yang
dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara,
jangan sampai timbul negara kekuasaan atau machtstaat (Yamin, 1959).

Selain karena pengaruh declaration des droits de l'homme et du citoyen dapat dipahami mengapa
hak-hak asasi tidak termuat lengkap dalam UndangUndang dasar 1945, boleh jadi karena Undang-
Undang Dasar 1945 dibuat sebelum di deklarasikannya Pernyataan Universal Hak-hak Manusia oleh
PBB.

Hal ini terakhir amat tampak dari kandungan Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 yang memuat pasal-pasal hak asasi manusia lebih rinci. Hal ini tidak mengherankan
karena buah pikiran serta pandangan seorang ahli tidak merdeka, tetapi sangat dipengaruhi oleh
keadaan di sekelilingnya, atau dalam bahasa ahli negara, Karl Mannheim berkebangsaan Jerman
yang ke Inggris, disebut situationsgebundenheit.

Anda mungkin juga menyukai