Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Pekommas, Vol. 3 No.

1, April 2018: 79-92

Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur Etnis Gayo di


Kabupaten Aceh Tengah
Representation of Islamic Communication Ethics in Etnis Gayo Cultural
Culture in Aceh Central District
Marhamah
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe
Jalan Medan-Banda Aceh Km. 275 No. 1 Buket Rata – Alue Awe 24352. Telp. (0645) 47267, Fax. (0645) 40329
marhamahrusdy@gmail.com

Diterima: 23 Januari 2018 || Revisi: 15 Februari 2018 || Disetujui: 17 Juli 2018

Abstrak - Penelitian ini membahas mengenai simbol-simbol verbal etika komunikasi Islam dalam budaya tutur
etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Tutur dalam budaya Gayo merupakan kata sapaan atau panggilan antar
individu, antar kelompok atau individu dengan kelompok. Dalam budaya Gayo, tidak etis memanggil
seseorang dengan menyebut namanya langsung. Tutur dalam budaya Gayo ditempatkan pada konteks sistem
kekerabatan dan struktur sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneltian kualitatif dengan
pendekatan etnografi komunikasi. Sementara teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan,
dokumentasi, serta wawancara dengan tokoh adat atau tokoh budaya, tokoh masyarakat atau sesepuh , dan
masyarakat. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan analisis semiotika versi Roland Barthes. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa simbol-simbol verbal etika komunikasi Islam dalam budaya tutur etnis Gayo
di Kabupaten Aceh Tengah terlihat pada pemakaian tutur yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
didasarkan pada sistem kekerabatan atau kekeluargaan dan jabatan atau fungsi (tutur gelar). Makna denotatif
dalam tutur ini dapat dipahami dari arti yang dijelaskan dalam bahasa Gayo. Sedangkan makna konotatif dalam
tutur ini dipahami berdasarkan nilai-nilai budaya Gayo. Pemahaman makna konotatif dari tutur ini menjadi
acuan dalam memakai tutur sesuai dengan konteksnya yang menunculkan mitos dalam budaya Gayo disebut
dengan kemali, jis, jengat, dan sumang.
Kata kunci: etika komunikasi Islam, representasi, simbol verbal, tutur.

Abstract - This study discusses the verbal symbols of Islamic communication ethics in Gayo ethnic speech in
Central Aceh District. Speech in Gayo culture is a greeting or call between individuals, between groups or
individuals with groups. In Gayo culture, it is unethical to call someone by name directly. Speech in Gayo
culture is placed in the context of the kinship system and social structure. The method used in this research is
qualitative research with ethnographic approach of communication. While the data collection techniques used
are observation, documentation, as well as interviews with customary figures or cultural figures, community
leaders or elders, and the community. Then the data were analyzed using semiotics analysis of Roland Barthes
version. The results of this study indicate that the verbal symbols of Islamic communication ethics in Gayo
ethnic speech in Central Aceh Regency seen in the use of speech used in everyday life is based on kinship
system or kinship and position or function (said degree). The denotative meaning in this speech can be
understood from the meaning described in Gayo. While the connotative meaning in this speech is understood
based on Gayo cultural values. Understanding the connotative meaning of this speech become a reference in
using speech in accordance with the context that gave rise to the myth in Gayo culture called kemali, jis, moth
and sumang.
Keywords: Islamic communication ethics, representation, tutur, verbal symbols.

PENDAHULUAN lawan bicara. Kaidah-kaidah yang mengatur cara


berkomunikasi inilah yang disebut dengan etika
Manusia tidak pernah lepas dari komunikasi ketika
komunikasi. Etika adalah tata cara atau adat, sopan
berinteraksi dengan sesamanya. Komunikasi
santun, dan sebagainya dalam masyarakat serta
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan
memelihara hubungan baik sesama manusia (Haris,
baik secara verbal maupun nonverbal. Kemampuan
2007). Etika komunikasi adalah norma, ukuran yang
berkomunikasi merupakan sebuah instrumen dasar
berlaku dalam proses penyampaian pesan yang
untuk membangun interaksi antarsesama manusia.
berlangsung antarmanusia (Mufid, 2012). Dalam
Interaksi antarmanusia melahirkan nilai-nilai, norma-
berkomunikasi perlu diterapkan etika agar tidak terjadi
norma yang menjadi kaidah atau aturan bagaimana cara
kesalahan dalam berbicara atau menyampaikan pesan
berkomunikasi yang menunjukkan penghargaan pada

79
Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur … (Marhamah)

kepada lawan bicara (Solihin, 2011). Hal ini dilakukan (Arimbawa & Santhyasa, 2010). Salah satu bentuk
dengan memperhatikan norma-norma sosial dan sistem kebiasaan masyarakat tersebut adalah kebiasaan
budaya yang berlaku dalam masyarakat, karena dalam berbahasa dan berkomunikasi atau yang disebut dengan
masyarakat tumbuh budaya untuk saling menghormati aktivitas penuturan. Mereka yang terlibat aktivitas
dalam perilaku dan perkataan (Sartini, 2009). penuturan telah mempertukarkan tanda-tanda untuk
Etika komunikasi mencoba untuk mengelaborasi membagi makna-makna.Kesepakatan dalam suatu
standar etis yang digunakan oleh komunikator dan masyarakat belum tentu sama dengan masyarakat lain,
komunikan (Putra, 2018). Salah satu perspektif etika karena bahasa bersifat arbitrer (manasuka) sehingga
komunikasi adalah perspektif religius. Dalam memungkinkan bahasa menjadi beragam dan bersifat
perspektif religius, kitab suci atau habit religius dapat unik.
dipakai sebagai standar mengevaluasi etika komunikasi Tiap-tiap bahasa memiliki masyarakat
(Mufid, 2012; Rasyid, 2011; Zamroni, Indriati, & penggunanya (speech community) yang pada akhirnya
Islami, 2017). Pendekatan kitab suci dan agama mengembangkan fungsi komunikasi dari bahasa yang
tersebut membantu manusia untuk menemukan mereka pakai. Bahasa yang digunakan dalam bertutur
pedoman yang kurang lebih pasti dalam setiap tindakan mempresentasikan siapa dan kepada siapa tuturan
manusia. Karena itu, komunikasi Islam dalam hal ini tersebut ditujukan. Kepribadian dan pemikiran
dapat dikatakan sebagai komunikasi yang sesuai seseorang akan tercermin dari kegiatan bertutur dalam
akhlakulkarimah (beretika) yang bersumber kepada proses komunikasi. Ketika berkomunikasi seseorang
Alquran dan hadis. Etika komunikasi Islam dapat harus memperhatikan kaidah-kaidah tuturan yang
diartikan sebagai nilai-nilai yang baik dan buruk, yang sesuai dengan aspek sosial dan budaya yang ada dalam
pantas dan tidak pantas, yang berguna dan yang tidak masyarakat tertentu. Apabila kegiatan bertutur
berguna, dan yang harus dilakukan dengan yang tidak seseorang tidak sesuai dengan norma sosial dan
boleh dilakukan ketika melakukan aktivitas budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif.
komunikasi yang bersumber dari sumber pokok ajaran Begitu juga dengan etnis Gayo yang dalam pergaulan
Islam, yaitu Alquran dan hadis (Kholil, 2007; Wahab, sehari-hari bertutur menggunakan bahasa Gayo.
2014). Aspek penting dalam komunikasi Islam adalah Konsep dan penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo
kualitas komunikasi yang menyangkut nilai-nilai dilandasi dengan etika, norma, dan nilai untuk
kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, senantiasa melakukan kesantunan bertutur. Untuk itu,
integritas, keadilan, kesahihan pesan dan sumber penempatan dan penggunaan tutur dilakukan pada
(Wahyudin, 2012). Karena itu, dalam perspektif ini, konteks yang tepat, sehingga dalam istilah lokal,
komunikasi Islam ditegakkan atas sendi hubungan filosofi bertutur tersebut terekam dalam peribahasa
segitiga (Islamic Triangular Relationship), antara verbal, yaitu jema si be tutur, barti jema mu agama, mu
Allah, manusia dan masyarakat. Artinya, etika edet, dan mu peraturen. Artinya, orang menggunakan
komunikasi Islam merupakan komunikasi yang tutur adalah orang yang beragama, beradat, dan
dibangun berdasarkan petunjuk yang diisyaratkan oleh berperaturan (tahu resam dan kaidah, terutama dalam
Alquran dan sunnah atau komunikasi yang sesuai komunikasi dan hubungan interpersonal) (Al-Gayoni,
akhlakulkarimah (Kazmi, 2000; Muis, 2001). 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kesantunan dalam
Etika atau tatanan kelakuan dibentuk dari suatu berkomunikasi sangat penting dalam keseharian etnis
kebiasaan individu dan masyarakat yang dilakukan Gayo. Karena, penggunaan tutur dalam konteks yang
secara terus menerus sehingga menjadi budaya. tepat menunjukkan pada penerapan etika komunikasi
Kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu konsep Islam.
yang diungkapkan dalam bentuk simbol melalui mana Realitas pada etnis Gayo menunjukkan telah terjadi
manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa. penyusutan penggunaan tutur, artinya tutur tersebut
Kebudayaan itu sendiri merupakan sebuah sistem tanda kurang dipakai, bahkan cenderung mulai ditinggalkan.
(semiotika) (Masinambow, 2002; Ola, 2009). Fungsi Berdasarkan prediksi penyusutan kosakata bahasa
komunikasi secara tidak langsung terjadi pada saat Gayo yang digunakan, terjadi penyusutan penggunaan
bahasa memiliki tujuan berkelanjutan bagi pengirim tutur sekitar 40%. Artinya, dari 63 bentuk tutur Gayo,
saat akan berkomunikasi.Meleburnya kebiasaan, 24 bentuk tutur sudah jarang digunakan dan berubah
kelakuan, dan budaya tersebut melahirkan suatu menjadi bentuk tutur baru. Hal ini disebabkan faktor
tatanan lagi yang disebut dengan kesepakatan internal, yaitu etnis Gayo kurang menggunakan tutur

80
Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 79-92

dalam keseharian mereka atau pembiasaan dalam hormat, ramah tamah, dan bertatakrama. Karena itu
keluarga, dan kurang disosialisasikan secara formal komunikator Islam harus menggunakan perkataan yang
melalui muatan lokal di sekolah dan perguruan tinggi. baik dan mulia, suatu komunikasi yang menyeru
Sementara secara eksternal dipengaruhi oleh media kepada kebaikan dan yang dapat menyenangkan hati
massa. Apa yang ditampilkan oleh media massa akan komunikan; 3) Qaulan layyina berarti pembicaraan
ditiru oleh etnis Gayo terutama di kalangan remaja (Al- yang lemah lembut dengan suara yang enak didengar
Gayoni, 2010). Dari pengamatan peneliti, remaja atau dan penuh keramahan sehingga dapat menyentuh hati
generasi muda di Kabupaten Aceh Tengah sudah mulai komunikan; 4) Qaulan Ma`rufa adalah perkataan baik
menggunakan budaya Barat sebagai bentuk peniruan dan perbuatan baik serta perlakuan baik di hadapan
salah satunya dalam hal menyapa kerabatnya. orang tersebut atau dibelakangnya; semua kebaikan;
Melihat keterkaitan penggunaan tutur dengan suatu kebaikan yang dikenal oleh syariah maupun akal;
penerapan etika komunikasi Islam, fenomena lawan dari kata mungkar (Taufik, 2012). Pengertian
penyusutan penggunaan tutur pada etnis Gayo menjadi ma’ruf ini lebih menuju pada norma sosial yang
suatu permasalahan. Dapat dikatakan bahwa berlaku di masyarakat. Artinya, qaulan ma’rufa adalah
tergerusnya etika komunikasi Islam karena dampak kata-kata yang menyenangkan dan tidak berlawanan
penyusutan penggunaan tutur. Berdasarkan latar dengan tata sopan santun dan tidak menyakiti
belakang tersebut, peneliti merumuskan masalah komunikan.
“Bagaimanakah representasi etika komunikasi Islam Menurut Arni (2005), komunikasi verbal adalah
dalam simbol verbal budaya tutur etnis Gayo di komunikasi yang menggunankan simbol-simbol atau
Kabupaten Aceh Tengah? Adapun tujuan penelitian ini kata-kata, baik yang dinyatakan secara lisan maupun
adalah untuk menganalisis simbol-simbol verbal etika secara tertulis. Komunikasi verbal diartikan juga
komunikasi Islam dalam budaya tutur etnis Gayo di sebagai penerimaan sistem syaraf orang lain dengan
Kabupaten Aceh Tengah. maksud untuk menghasilkan sebuah makna serupa
Nilai-nilai etika komunikasi Islam bersumber dari dengan yang ada dalam pikiran si pengirim, dengan
pokok ajaran Islam, yaitu Alquran dan hadis. Etika menggunakan kata-kata yang merupakan unsur dasar
komunikasi Islam secara umum memiliki nilai nilai, bahasa (Tubbs & Moss, 2001). Kata-kata adalah alat
yaitu 1) bersikap jujur; 2) menjaga akurasi pesan- atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide
pesan; 3) bersifat bebas dan bertanggung jawab; dan 4) atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau
dapat memberikan kontribusi yang membangun menguraikan obyek, observasi dan ingatan.
(Kholil, 2007). Etika komunikasi sangat penting untuk Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka,
mencapai tujuan komunikasi dan untuk mengetahui memungkinkan tiap individu untuk berespon secara
bagaimana seseorang seharusnya berkomunikasi dapat langsung. Kata-kata memiliki kekuatan yang sangat
dilihat dari kata yang dipergunakan Alquran untuk kata besar untuk membangun dunia dengan menamai dan
komunikasi. Kata yang paling banyak dipergunakan memberi label terhadap apa yang dialami manusia.
dalam Alquran untuk komunikasi adalah kata al-Qaul. Kata juga memiliki kekuatan memengaruhi pikiran dan
Dengan memperhatikan kata qaul dalam konteks tindakan, dan kata memiliki kekuatan memengaruhi
perintah (amr), etika komunikasi Islam, yaitu: 1) atau mencerminkan suatu budaya. Karena itu, kata
Prinsip Qaulan Sadida (perkataan yang benar), adalah memiliki makna denotasi dan konotasi (Wirianto &
pembicaraan yang jujur, tepat, adil dan bersih dari Girsang, 2017).
dorongan kepentingan pribadi atau golongan Komunikasi verbal menggunakan kode verbal yaitu
merupakan suatu konten yang harus keluar dari mulut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan juga sebagai
seorang mukmin baik terhadap Rasul SAW maupun seperangkat simbol, dengan aturan untuk
terhadap sesama mukmin. Melalui kejujuran, mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang
komunikasi ini akan tercipta suatu kebenaran dalam digunakan dan dipahami suatu komunikatas (Mulyana,
konteks interaksi sosial. Ini merupakan jaminan bahwa 2013). Bahasa merupakan unsur terpenting dalam
kemaslahatan kehidupan sosial muslim akan terwujud komunikasi verbal. Bahasa memiliki kekayaan
jika setiap individu dapat berkata benar jika tercipta simbolisasi verbal dan dipandang sebagai upaya
kejujuran komunikasi antara sesama muslim; 2) manusia dan sebagai medium untuk berkomunikasi
Qaulan karima diartikan perkataan yang lemah lembut secara santun dengan diri sendiri maupun dengan orang
dan baik, yang disertai dengan sikap sopan santun, lain. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat

81
Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur … (Marhamah)

yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. rasional. Kata-kata dalam komunikasi verbal juga
Bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan
antara anggota-anggota kelompok sosial untuk persepsi dan interpretasi orang-orang yang mempunyai
menggunakannya. Sementara itu, secara formal, latar belakang sosial budaya yang berbeda
bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang (Wahyuningsih & Kusumawati, 2015). Sehingga
terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan muncul berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-
tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan kata tersebut. Kata juga bersifat kontekstual, sehingga
bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan akan kesulitan untuk mencari padanan suatu kata dalam
supaya memberi arti. bahasa lain. Maka, kata yang sama mungkin memiliki
Bahasa dengan menggunakan simbol sebagai alat makna yang berbeda bagi orang yang berbeda. Atau,
untu menyalurkan pengalaman. Proses penyaluran makna yang berbeda bagi orang yang sama dalam
melalui bahasa bukanlah proses yang sederhana waktu berbeda. Kata-kata yang digunakan dalam
sekadar mengucapkan kata dan kemudian dimengerti komunikasi verbal mengandung bias budaya. Bahasa
oleh orang lain, tetapi pesan mengalir di dalamnya terikat oleh konteks budaya. Artinya, bahasa dapat
berisi konten dan perasaan. Artinya, membicarakan dipandang sebagai perluasan budaya. Pada dasarnya
pesan dalam proses komunikasi tidak terlepas dari setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang
simbol dan kode. Dalam hal ini, bahasa berfungsi untuk khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman
mempelajari tentang dunia sekeliling kita, untuk batin, dan kebutuhan pemakainya. Jadi, bahasa yang
membina hubungan yang baik di antara sesama berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk
manusia, dan untuk menciptakan ikatan-ikatan dalam berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di
kehidupan manusia. Fungsi bahasa ini erat sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya
hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang berperilaku secara berbeda pula.
efektif. Bahasa memegang peranan penting dalam Dalam budaya Gayo, komunikasi dilakukan dengan
membentuk hubungan yang baik antar sesama menggunakan bahasa Gayo. Etnis Gayo menggunakan
manusia. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tutur dalam menyapa seseorang ketika berkomunikasi.
tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai Istilah tutur dalam bahasa Gayo merupakan sistem
dalam komunikasi. Dengan bahasa, seseorang dapat kekerabatan yang memiliki konsep, muatan, dan
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kemauannya simbol sosial tersendiri. Tutur didefinisikan sebagai
kepada orang lain dalam suatu kelompok sosial sebuah sistem atau istilah kekerabatan (Melalatoa,
tertentu. 1985). Sementara definisi yang lain menyebutkan tutur
Bahasa selalu dipergunakan manusia dalam sebagai panggilan atau sebutan terhadap seseorang
berbagai konsep guna memenuhi kebutuhan dalam yang terikat karena pertalian darah, keluarga, umur,
hidupnya. Oleh karena itu, bahasa berisi kaidah-kaidah penghormatan, sahabat, teman akrab atau teman biasa
yang mengatur bagaimana cara seseorang bertutur agar (Saleh, 2009). Dengan demikian tutur merupakan
hubungan interpersonal para pemakai bahasa tersebut sistem panggilan atau sapaan yang ada dalam
dipelihara dengan baik. Kesantunan berbahasa masyarakat Gayo. Tutur merupakan bagian dari nilai
tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda budaya yang ada pada masyarakat Gayo. Nilai budaya
verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, Gayo mencerminkan konsep ideal mengenai karakter
kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya yang diharapkan terbentuk dan mewarnai pola tindakan
sekadar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata etnis Gayo.
cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi nilai
budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan utama dan nilai penunjang. Nilai utama dalam budaya
dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Gayo disebut mukemel (harga diri), dan untuk
Dalam kaitan ini, masyarakat pengguna bahasa dalam mencapai harga diri tersebut, seseorang harus
situasi tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain
akan selalu berusaha memilih dan menggunakan atau nilai penunjang. Nilai-nilai penunjang tersebut,
kaidah-kaidah tuturan yang sesuai dengan situasi yaitu tertip, setie, semayang gemasih, mutentu,
pertuturan (Hijaiyyah, Sudrajat, & Putra, 2015). amanah, genap mupakat, dan alang tulung. Untuk
Pesan verbal biasanya lebih lazim digunakan untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam mencapai harga
menerangkan sesuatu yang bersifat faktual-deskriptif- diri, mereka harus berkompetisi. Kompetisi itu sendiri

82
Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 79-92

merupakan sebuah nilai budaya, yaitu nilai kompetitif asli, pengamatan terlibat atas relaitas (fungsi)
atau bersikekemelen yang merupakan nilai penggerak pemakaian bahasa pada sejumlah ranah pakai
(Ibrahim, 2009). Nilai budaya Gayo juga terwujud (keluarga, ketetanggaan, lingkungan keagamaan, dan
dalam ungkapan adat (peri mestike). Peri mestike lingkungan adat (sarak opat), terutama yang terkait
merupakan tuturan yang lebih banyak menggunakan dengan sosio ekologis, dan studi dokumen berkaitan
perumpamaan dan bernilai filosofis berkaitan dengan dengan rujukam terutama tentang konsep-konsep
bahasa adat atau basa edet. Dalam kamus bahasa Gayo, ekolinguistik dan bahasa serta masyarakat Gayo. Hasil
peri mestike diartikan peri adalah ucapan atau penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Gayo
pembicaraan bermakna penuturan yang bersifat halus, memiliki konsep, bentuk, dan muatan tutur sendiri,.
dan mestike adalah keramat atau suci. Jadi, peri mestike Dalam perkembangannya tutur tersebut kurang dipakai
dapat diartikan sebagai pembicaraan yang bernilai suci bahkan cenderung mulai ditinggalkan. Hal tersebut
atau bernilai sakral. Berkaitan dengan mukemel, dalam dilatarbelakangi dua faktor, yaitu faktor internal yang
peri mestike disebutkan ike kemel mate, yang artinya bersumber dari orang Gayo selaku pengguna tutur.
apabila seseorang merasa harga dirinya telah tercemar Tutur tidak diajarkan, tidak dipakai dan tidak
maka mati-pun dihadapi (Joni, 2016). dipelajari. Juga faktor eksternal yang berasal dari luar,
Tutur juga menggambarkan kesantunan linguistik yaitu adanya pengaruh pemakaian bahasa Indonesia,
(kesantunan berbahasa) baik dari sudut pandang agama perlawinan silang, interaksi budaya, pengaruh media,
maupun dari sisi adat istiadat Gayo. Selain itu, tutur pendidikan, dan pengaruh perkembangan informasi
yang digunakan bergantung pada umur, kedudukan, dan teknologi. Namun, pengaruh yang datang dari luar
hubungan darah dan hubungan kekeluargaan dari lebih memengaruhi penyusutan tutur. Hal tersebut
lawan tutur yang dihadapi penutur. Artinya, tutur semakin menggambarkan ekologi sosial bahasa Gayo
berkaitan erat dengan sistem atau bentuk keluarga yang terlebih lagi ekologi bertutur yang ada pada suku ini.
ada pada masyarakat Gayo. Pecahan-pecahan tutur Penelitin yang dilakukan oleh Pambudi (2015)
selanjutnya berasal dari dua sumber tutur utama yaitu dengan judul “Semiotika Karapan Sapidan
dari pihak pedih (pihak keluarga laki-laki) dan ralik Transformasi Simbolik Masyarakat Madura”
(pihak keluarga perempuan). Ama dan ine misalnya, menjelaskan bahwa karapan sapi menonjolkan simbol
pihak ama disebut sebagai pihak pedih, sedangkan dari kegagahan, kerja keras, keberanian, harga diri, dan
pihak ine disebut dengan pihak ralik. Dengan begitu, kekerasan. Hal tersebut terlihat dari proses
tutur yang dipakai pun kemudian akan berbeda antara pelaksanaan, atribut, akse–soris dan tari yang
pihak pedih dan pihak ralik. Selain dikelompokkan digunakan dalam karapan sapi (rekeng coccona,
pada jenis tutur kekerabatan atau kekeluargaan, juga kaleles, tari pecot). Bagi kalangan budayawan Madura,
dikelompokkan pada jenis tutur jabatan atau fungsi. karapan sapi sering dijadikan simbol yang melekat
Jenis tutur jabatan atau fungsi didasarkan pada sistem pada kehidupan sehari-hari orang Madura. Baik dalam
pemerintahan Gayo yang dikenal dengan istilah Sarak hal kekerabatan, berinteraksi sosial, dan ketika
Opat (Ibrahim, 2009) menggeluti pekerjaan atau mencari naf–kah. Dalam hal
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Gayoni interaksi sosial, orang madura seringkali diidentikkan
(2010) dengan judul “Penyusutan Tutur dalam dengan sikap yang lugas, tegas, terbuka dan keras.
Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik”. Munculnya stereotype yang melekat pada orang
Penelitian ini menggunakan pendekatan interdisipliner madura tersebut kemudian disikapi dengan
sebagai bagian dari kajian makrolinguistik, terutama pemunculan simbol-simbol baru (dengan
pendekatan fungsional yang terdapat dalam meninggalkan simbol lama) yang berusaha menjauh
sosiolinguistik dan linguistik kultural. Lebih khusus dari simbol kekerasan yang ada dalam karapan sapi.
lagi akan digunakan ekolinguistik kritis dalam Sejumlah tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama,
mendekati dan menyingkap konsep-konsep sosio dan pemerintah bertemu untuk membahas pelaksanaan
kultural, religius. Terlebih ekologis yang kerap dipakai karapan sapi tanpa kekerasan. Simbol baru dalam
masyarakat Gayo. Kaji tindak (action research) karapan sapi tanpa kekerasan tersebut mulai digunakan
dipakai dalam penelitian ini dengan berbagai metode, sejak tahun 2013, meskipun belum dilaksanakan secara
yaitu metode penelitian survey eksploratif, wawancara menyeluruh di Madura. Pada tahun 2015, karapan sapi
mendalam (dept interview), pemanfaatan kelompok tanpa-kekerasan diberlakukan secara serentak. Mulai
diskusi (focus group discussion) dengan para penutur dari babak penyisihan hingga babak final. Penggunaan

83
Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur … (Marhamah)

rekeng sebagai simbol kekerasan dalam karapan sapi mengkaji tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu
mulai dihilangkan diganti dengan pecut biasa berbahan selain dirinya sendiri dan makna adalah hubungan
tidak tajam sehingga diharapkan tidak melukai sapi. antara sesuatu objek dan suatu tanda (Sobur, 2017).
Penghilangan unsur kekerasan dalam karapan sapi Analisis semiotika yang digunakan adalah semitika
diharapkan bisa menumbuhkan ‘peri kehewanan’ versi Roland Barthes. Gagasan Barthes ini dikenal
(meminjam istilah peri kemanusiaan). Sehingga, dengan signifikasi dua tahap (two order of
karakter masyarakat Madura yang selama ini signification), yaitu makna denotasi adalah makna
didentikkan dengan keras dan kasar sudah tidak relevan khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada
lagi. intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda
Penelitian Hamidah dan Syadzali (2016) dengan atau makna sebenarnya dalam kamus. Makna konotasi,
judul: Analisis Semiotika Roland Barthes tentang yaitu ketika tanda bertemu dengan kenyataan atau
Fenomena jilboobs”, menyimpulkan bahwa fenomena emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan
jilboobs merupakan budaya fashion yang sangat (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan
memengaruhi cara berpakaian remaja muslimah personal) (Eco, 2015). Semiotika dalam kerangka
dizaman sekarang, dengan alasan tak mau ketinggalan Barthes menyebutkan konotasi identik dengan operasi
mode atau tidak fashionable. Fungsi jilbab sendiri tak ideologi, yang disebutnya sebagai mitos. Mitos
lagi sebagai penutup aurat tetapi malah menjadi mode terletak pada tingkat kedua penandaan. Setelah
yang menyalahi aturan-aturan agama seperti jilboobs terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut
yang memperlihatkan bentuk dada dengan pakaian akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki
ketat. Model berjilbab seseorang tak seharusnya petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika
menyesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
membedakan antara jilbab yang syar’i dengan mode- berkembang menjadi makna denotasi, makna denotasi
mode berjilbab lainnya untuk kantoran, olah raga, tersebut akan menjadi mitos. Mitos Roland Barthes
liburan, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk merupakan a type of speech, suatu tipe wicara (jenis
musim-musim tertentu seperti jilbab musim dingin, tindak tutur) yang disajikan dengan sebuah wacana
musim semi, musim panas ataupun musim gugur. (Barthes, 2013).
Manusia pengguna jilbab yang mengikuti trend akan Data yang diperlukan dalam penelitian adalah tutur
mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh etnis
menengah atas yang tidak mengikuti arus dunia mode Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Sumber data
akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan
ketinggalan mode. Seperti itulah yang melanda remaja sumber data sekunder. Sumber data primer atau data
muslimah sekarang, yang mengenyampingkan ajaran utama diperoleh dari, yaitu: 1) Responden, yaitu
agama, dan terpengaruh oleh tren fashion yang terus anggota masyarakat yang berstatus sebagai; a. sesepuh
berkembang. atau petue, b. tokoh adat atau budayawan, dan c.
anggota masyarakat yang masih menggunakan tutur.
METODOLOGI PENELITIAN Responden yang berstatus sebagai tokoh masyarakat
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan tokoh adat berjumlah 7 orang, sedangkan
deskriptif untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi responden yang berstatus sebagai masyarakat
pada saat penelitian ini dilaksanakan atau berjumlah 9 orang yaitu orang tua, guru, dan remaja.
mendiskripsikan apa adanya suatu gejala atau keadaan. Sumber ke 2 adalah konteks (kegiatan-kegiatan adat,
Peristiwa yang dimaksud dalam penelitian ini dan kegiatan sehari-hari). Sementara sumber data
menyangkut berbagai aktivitas komunikasi etnis Gayo sekunder adalah sumber data pendukung yang
di Kabupaten Aceh Tengah dalam menggunakan tutur. diperoleh dari literatur, dokumen, dan hasil penelitian
Dalam konteks ini, peneliti menekankan penelitian terdahulu dan referensi yang relevan dengan penelitian
berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara ini.
empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang Teknik pengumpulan data merupakan cara yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa paparan seperti apa digunakan peneliti untuk mendapatkan serta
adanya. Metode yang digunakan adalah analisis mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab
semiotika. Semiotika adalah metode analisis untuk masalah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti
melakukan pengumpulan data dengan teknik, yaitu:

84
Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 79-92

1. Wawancara kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya


Wawancara adalah proses memperoleh data. Selain itu, triangulasi juga dapat berguna untuk
keterangan untuk tujuan penelititan dengan cara menyelidiki validitas tafsiran penelitian terhadap data,
tanya jawab secara tatap muka antara pewawancara karena itu triangulasi bersifat reflektif. Penelitian ini
dengan informan dengan menggunakan panduan menggunakan teknik pemeriksaaan dengan
wawancara (interview guide) (Sugiyono, 2010). memanfaatkan sumber. Triangulasi sumber adalah
Penelitian ini menggunakan wawancara terstruktur, membandingkan tingkat keakuratan informasi atau
yaitu wawancara dengan menggunakan instrumen data yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. berbeda dalam penelitian kualitatif. Artinya, peneliti
Peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur memeriksa keabsahan tutur bersama-sama dengan
agar fokus pada pokok permasalahan penelitian. responden atau peneliti mengecek kembali derajat
Wawancara dilakukan kepada para informan untuk kepercayaan atas informasi yang didapat sebelumnya,
menggali informasi mendalam tentang simbol- kemudian mendiskusikamnya kembali dengan
simbol verbal etika komunikasi Islam dalam budaya responden. Hal ini dilakukan dengan cara sebagai
tutur etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. berikut:
2. Pengamatan (Observasi) 1. Membandingkan data (tutur) yang diperoleh dari
Pengamatan adalah metode atau cara-cara hasil pengamatan dan hasil wawancara.
menganalisis dan mengadakan pencatatan secara 2. Membandingkan data yang disampaikan seseorang
sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat di depan umum dengan data yang disampaikannya
atau mengamati individu atau kelompok secara secara pribadi. Artinya, peneliti membandingkan
langsung (Mahsun, 2005). Observasi yang apa yang dikatakan penutur di depan umum atau
digunakan pada penelitian ini adalah observasi pada konteks-konteks tertentu dengan apa yang
berperan serta, yaitu observasi yang dalam dikatakan secara pribadi.
pelaksanaannya melibatkan peneliti sebagai 3. Membandingkan data yang diperoleh dalam situasi
partisipasi atau kelompok yang diteliti. Artinya, penelitian dengan di luar penelitian. Artinya,
peneliti mengamati secara langsung penggunaan peneliti selalu mendiskusikan dan mengkomunikasi
tutur dan konteksnya, kemudian membuat catatan data dengan responden selama berada di lapangan.
pengamatan. 4. Membandingkan berbagai pendapat dan pandangan
3. Dokumentasi dari orang-orang yang berbeda dalam berbagai
Dalam penelitian ini studi dokumentasi aspeknya, seperti berbeda tingkat pendidikan, status
dilakukan untuk mendapatkan data yang lengkap, sosial ekonomi, pekerjaaan, dan sebagainya.
yaitu menggunakan dokumen-dokumen yang Artinya, peneliti membandingkan keadaan saat
tersedia di lapangan atau perpustakaan yang tutur digunakan dengan perspektif pengalaman,
berhubungan dengan objek penelitian. Data yang pengetahuan, dan kajian responden terkait dengan
didapat dari dokumentasi merupakan data yang nilai-nilai budaya Gayo.
valid dan tidak diragukan kebenarannya, seperti 5. Membandingkan hasil wawancara dengan hasil
buku-buku yang terkait dengan tutur, budaya, dan studi dokumen (dalam buku-buku dan literatur
adat Gayo lainnya).
Dalam penelitian yang bersifat ilmiah harus
Teknik analisis data merupakan upaya yang
didukung oleh validitas data untuk menjaga derajat
dilakukan untuk mengklasifikasi, mengelompokkan
kepercayaan dan keabsahan data yang diperoleh dari
data didasarkan pada tujuan penelitian (Moleong,
tutur yang digunakan etnis Gayo di Kabupaten Aceh
2016). Analisis data yang dilakukan diperoleh dari data
Tengah. Dalam penelitian ini, validitas data
yang sudah terkumpul melalui perekaman dan
menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah
pencatatan yang ditulis oleh peneliti sebagaimana
teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu
adanya di lapangan. Terhadap data yang didapat dari
yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
perekaman dan pengamatan ini kemudian dianalisis
terhadap objek penelitian (Nasution, 2003). Triangulasi
dan diinterpretasikan dengan kajian semiotika dalam
dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang
bentuk borang kode.Selanjutnya data yang telah
berbeda, yaitu wawancara, observasi dan dokumen.
dinalisis dideskriptifkan, yaitu prosedur penelitian
Triangulasi ini selain digunakan untuk memeriksa

85
Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur … (Marhamah)

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata menggunakan tutur, karena dalam budaya Gayo tidak
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang etis memanggil seseorang yang tuturnya lebih tinggi
dapat diamati (Moleong, 2016). Kemudian data (usia atau statusnya dalam keluarga) dengan menyebut
diinterpretatifkan yang difokuskan pada tanda sebagai namanya. Tidak etis atau tidak pantas dalam budaya
objek kajian. Teknik analisis data dalam penelitian ini Gayo dijelaskan dalam bentuk mitos yang disebut
berupa proses mengatur, mengelompokkan, dengan istilah jis, jengkat, kemali, dan sumang.
mengkategorikan, dan selanjutnya memberikan Meskipun bentuk-bentuk tutur ini lebih banyak
pemaknaan pada setiap kategori yang telah dijelaskan dalam bentuk verbal atau lisan, namun
dikelompokkan menggunakan analisis semiotik aplikasinya juga dapat terlihat dalam bentuk nonverbal
Roland Barthes. Proses analisis data dilakukan dengan atau isyarat. Biasanya, tutur verbal seiring dengan tutur
tahap-tahap sebagai berikut: nonverbal atau dapat dikatakan juga tutur nonverbal
1. Pengklasifikasian tanda berdasarkan penanda dan mendukung tutur verbal. Bentuk tutur ini ada yang
petandanya yang digolongkan dalam elemen verbal. sekedar untuk menyebut seseorang atau tutur sebutan,
Dalam elemen verbal ini yang dianalisis adalah ada pula tutur untuk memanggil seseorang atau nama
kata-kata lisan yang dikaitkan dengan tutur Gayo panggilan meskipun seseorang telah mempunyai nama
yaitu tutur kekerabatan, tutur fungsi atau jabatan, resmi namun dia dipanggil dengan tutur disebut dengan
dan peribahasa Gayo. pentalun. Ada pula tutur untuk menyebut dan
2. Analisis pada tahap denotasi, seluruh tanda yang memanggil seseorang atau tutur sebutan dan panggilan.
diungkapkan pada analisis sebelumnya yaitu Selain itu, tutur juga ada digunakan untuk memberikan
pengklasifikasian tanda berdasarkan penanda dan nama julukan atau perasin. Penggunaan tutur ini untuk
petandanya dalam elemen verbal dimaknai secara menunjukkan etika dalam berkomunikasi, sehingga
denotasi (makna secara objektif atau makna yang dalam istilah Gayo disebutkan jema si be tutur, barti
ditemukan dalam kamus). jema mu agama, mu edet, dan mu peraturen, artinya,
3. Analisis pada tahap konotasi, seluruh tanda yang orang yang menggunakan berarti orang tersebut orang
diungkapkan pada analisis sebelumnya yaitu yang beragama, beradat, dan berperaturan, atau tahu
pengklasifikasian tanda berdasarkan penanda dan resam (Wawancara dengan Ir. M. Yusin Saleh, Ketua
petandanya dalam elemen verbal dimaknai secara MAG (Majelis Adat Gayo) Kabupaten Aceh Tengah,
konotasi (makna secara subjektif atau menyikapi tanggal 15 April 2017). Untuk memahami pesan verbal
makna yang tersembunyi). menjadi makna dari tutur etnis Gayo ini, digunakan
teori simbol dan teori bahasa yang diambil dari tiga
Peneliti ingin mencari makna denotasi, konotasi,
tradisi semiotika. Yang mana dalam teori simbol tutur
dan mitos pada simbol-simbol verbal etika komunikasi
Gayo dapat menjadi makna dengan aspek logis dan
Islam dalam budaya tutur etnis Gayo di Kabupaten
aspek psikologis. Aspek logis adalah hubungan antara
Aceh Tengah. Dalam hal ini, peneliti mengelompokkan
simbol dan referennya atau makna denotasi
data-data yang dikumpulkan dalam korpus terpilih.
(denotation). Adapun aspek psikologis adalah
Data-data tersebut diidentifikasi terhadap tanda-tanda
hubungan antara simbol dan orang, yang disebut
dan simbol-simbol yang merepresentasikan
konotasi (connotation). Tutur Gayo sebagai bagian
komunikasi verbal pada budaya tutur etnis Gayo.
bahasa Gayo merupakan suatu sistem tanda, dan
Setelah itu dicari pemaknaan baik denotasi maupun
sebagai suatu sistem tanda bahasa mewakili sesuatu
konotasi, dan menggunakan hasil pemaknaan tersebut
yang lain yang disebut makna. Dalam penelitian ini,
untuk mencari mitosnya. Kemudian, barulah dilakukan
pesan-pesan verbal yang dianalisis adalah tutur
penarikan kesimpulan berdasarkan analisis yang
kekerabatan, tutur fungsi atau jabatan yang
dilakukan sebelumnya. Dan selanjutnya, menganalisis
mengandung makna etika komunikasi Islam. Selain itu
dan mendiskripsikan penerapan etika komunikasi
juga dianalisis pesan-pesan verbal dalam peribahasa
Islam dalam budaya tutur etnis Gayo di Kabupaten
atau patatah petitih Gayo.
Aceh Tengah.
Tutur Kekerabatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk tutur Gayo berdasarkan sistem kekerabatan
Etnis Gayo jika memanggil seseorang tidak yang dianalisis adalah kekerabatan yang termasuk
memanggil dengan namanya langsung, tetapi dalam keluarga inti. Keluarga inti dalam budaya Gayo

86
Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 79-92

disebut kuning ni tenaroh (kuning telur) terdiri dari kekerabatan, karena etnis Gayo menganut sistem
ayah dan ibu kandung, anak laki-laki dan anak perkawinan exogami (perkawinan antar belah atau
perempuan kandung termasuk istri dan suaminya, serta antar klen). Dalam budaya Gayo sistem perkawinan
kakek dan nenek yang menjadi tanggungjawab endogami (perkawinan satu belah atau satu klen)
anaknya. Sedangkan keluarga inti yang lebih luas menjadi larangan atau pantangan, karena satu belah
disebut sara ine termasuk di dalamnya ayah dan ibu atau satu klen dianggap masih memiliki ikatan darah.
tiri, anak laki-laki dan anak perempuan tiri beserta istri Dasar perkawinan dalam budaya Gayo dibagi
atau suaminya. kepada kawin julenen atau kawin ango, yaitu
perkawinan yang mengharuskan pihak laki-laki
1. Tutur Awan dan Anan
dikonotasikan seakan-akan membeli pihak perempuan
Secara denotasi tutur ini merupakan sebutan dan
yang akan dijadikan istri dengan menyediakan
panggilan kepada ayah dari ayah dan ibu, serta sebutan
sejumlah mahar dan teniron (permintaan barang)
dan panggilan ibu dari ayah dan ibu. Dijelaskan dalam
tertentu. Maka setelah dibeli, pihak istri menjadi
tabel berikut:
anggota keluarga dari belah suaminya. Sementara
Tabel 1 Hasil Analisis Tutur Awan dan Anan kawin angkap, yaitu bentuk perkawinan yang memiliki
No Objek Penelitian Denotasi ketentuan-ketentuan yang harus ditaati. Secara
1. Awan Kakek konotasi kawin angkap dapat disebut si banan kin
2. Anan Nenek rawan (perempuan menjadi atau pengganti laki-laki)
dan si rawan kin banan (laki-laki menjadi atau
Makna konotasi dalam tutur awan dan anan adalah pengganti perempuaan). Laki-laki yang kawin angkap
menjelaskan sebutan atau panggilan terhadap ayah dan menjadi anggota keluarga atau belah istrinya.
ibu kandung dari ayah atau ibu dengan menunjukkan Pentingnya memahami jalur kekerabatan dalam
perbedaan garis keterunan. Sapaan atau panggilan penggunaan tutur ini, dapat memberikan arahan dalam
untuk kakek dan nenek dari pihak garis keturunan laki- berkomunikasi yang beretika atau dengan kata lain
laki digunakan sebutan pedih menjadi awan pedih atau dapat menyesuaikan cara berkomunikasi dengan
anan pedih dan kakek dari garis keturunan perempuan konteksnya. Dalam hal ini, konteks yang dimaksud
digunakan sebutan ralik/alik menjadi awan ralik/awan adalah memahami kedudukan lawan tutur apakah tutur
alik. Adapun mitos dalam tutur ini adalah kata sapaan atas, tutur sejajar atau tutur rendah. Adapun mitos
merupakan penjelasan garis nasab. Berdasarkan dalam tutur ini adalah etika dalam berbicara dengan
penempatan tutur tersebut yang sudah disusun memperhatikan jalur kekerabatan atau bagaimana
sedemikian rupa sejak zaman para datu-datu (nenek berbicara antara tutur yang rendah kepada tutur yang
moyang), maka tutur awan dan tutur anan ini termasuk atas, misalnya kumpu (cucu laki-laki atau perempuan)
pada kategori tutur ringen atau tutur ringan (joking berbicara dengan awan dan anan. Dalam ajaran Islam,
relationship). Maksudnya, jika ada sesuatu yang penting sekali untuk memahami jalur kekerabatan
berkaitan dengan dunia remaja ingin disampaikan pada (nasab). Dalam Alquran surat Alfurqan ayat 54
pihak keluarga, sangat tepat terlebih dahulu menjelaskan bahwa mengetahui nasab merupakan
disampaikan pada tutur ringan yang selanjutnya akan sesuatu yang sangat penting. Setiap orang diharuskan
menyampaikan pada keluarga yang lebih besar. Makna memelihara kesucian nasabnya dengan akhlak yang
pedih tersebut menunjukkan kepada nasab dari garis mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab,
keturunan laki-laki. Dalam budaya Gayo, anak-anak sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul
dan cucu-cucu termasuk dalam belah (klen) atau nasab kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.
(keturunan) awan dan anan pedihnya. Sedangkan, Sejarah tidak pernah mengenal adanya agama atau
makna ralik atau alik (pangkal) dalam tutur adalah asal sistem yang membicarakan keberadaan karib (dzil
keturunan yang berasal dari ibu, karena ibu yang qurba) yang lebih mulia daripada Islam.
mengandung, menyusukan, dan memelihara anak Sungguh Islam telah menegaskan wasiat (pesan
(Wawancara dengan Dr. H. Mahmud Ibrahim, tokoh penting) terhadap karib kerabat dan meletakkan wasiat
adat Gayo, tanggal 20 April 2017). Dengan demikian, itu setelah wasiat untuk bertauhid kepada Allah SWT
sebutan pedih dan ralik/alik ini secara konotasi untuk dan beribadah kepada-Nya. Islam juga menjadikan
menjelaskan jalur kekerabatan. Perkawinan dalam berbuat baik kepada karib kerabat itu termasuk sendi-
budaya Gayo memiliki peranan penting dalam sistem sendi kemuliaan, sebagaimana telah menjadikan hak

87
Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur … (Marhamah)

karib kerabat untuk mendapatkan hak milik, karena ia ayah dalam tutur budaya Gayo digunakan sebutan dan
adalah orang yang paling dekat dengan kita. Persoalan panggilan Ama Kul (posisinya di atas ayah atau
nasab pada seseorang merupakan masalah penting. sulung), Ama Ngah (posisinya di tengah atau bukan
Dari segi agama hal ini penting untuk menentukan sulung dan bukan bungsu), Ama Ucak/EceklEncu
masalah hukum waris, wali pernikahan, masalah (posisinya paling bungsu atau adik ayah). Begitu juga
wakaf, dan sebagainya. Sedangkan dari sisi untuk sebutan dan panggilan suami dari kakak atau
kepemerintahan, persoalan ini mampu merusak adik perempuan ayah atau satu keturunan dengan ayah
kestabilan pemerintah karena pemerintah akan merasa yang nikah angkap.
kesulitan menentukan status kewarganegaraanya, Sementara untuk memanggil kakak perempuan
karena tidak jelasnya status orang tua. Begitu juga ayah dalam tutur budaya Gayo digunakan sebutan dan
pentingnya sistem kekerabatan (nasab) ini dalam panggilan Ine Kul/Ine Ngah/Ine Ucak, Ecek, Encu/Ibi.
perspektif budaya. Memahami jalur kekerabatan dalam TuturIne Kul/Ine Ngah/Ine Ucak, Ecek, Encu
budaya Gayo berfungsi untuk menyesuaikan tutur menunjukanistri abang kandung sulung (kul), tengah
dengan konteksnya, sehingga menggambarkan (ngah), bungsu (encu, ucak, ecek) ayah, saudara
kesantunan berbahasa atau etika komunikasi. Tutur perempuan ayah yang nikah angkap atau satu
yang tidak tepat pada konteksnya akan menyebabkan keturunan dengan ayah. Sedangkan, untuk saudara
terjadinya perbuatan yang bertentangan dengan budaya perempuan bungsu dari ayah (adik) disebut ibi dan
Gayo yang disebut dengan Jis atau Jengkat (perkataan sebutan untuk suami dari ibi adalah kil (jika bentuk
atau perilaku yang tidak etis). pernikahan juelen atau (ikut klen suami). Sebaliknya
jika nikah angkap (ikut klen istri), panggilannya
2. Tutur Ama dan Ine berubah menjadi engah atau encu. Cara berhubungan
Secara denotasi tutur ini merupakan sebutan dan ketiga yang harus dijaga adalah antara paman dari
panggilan kepada ayah kandung dan ibu kandung. pihak ibu atau saudara laki-laki dari ibu kandung dalam
Dijelaskan dalam tabel berikut: tutur budaya Gayo digunakan sebutan dan panggilan
Tabel 2. Hasil Analisis Tutur Ama dan Ine pun. Mereka diperlakukan hampir sama dengan paman
No Objek Penelitian Denotasi dari saudara ayah, akan tetapi lebih ringan artinya
1. Ama Ayah kemenakan masih boleh bersenda gurau sekedarnya.
2. Ine Ibu Jika, kedudukannya dalam struktur kekerabatan diatas
ibu dipanggil pun kul, jika ditengah dipanggil pun
Makna konotasi dari tutur ama dan ine adalah kata ngah, dan jika dibawah ibu dipanggil pun ucak. Istri
sapaan atau panggilan terhadap ayah dan ibu. Dalam dari pun dipanggil ine pun.Anak yang menggunakan
budaya Gayo hubungan yang paling berat atau paling tutur tersebut dinamakan tutur until
dimuliakan adalah antara anak dengan ayah dan ibu (keponakan/kemenakan). Dalam konteks ini, posisi
kandungnya. Dalam budaya Gayo tutur ama dan ine ini pun (saudara laki-laki ibu) tersebut sejajar dengan ibu.
termasuk pada tutur beret atau tutur berat (Avoidanc Untuk kakak sulung ibu dan suaminya yang bukan
Relationship). Tutur ama dan ine ini juga dihubungkan nikah angkap baik kandung maupun satu keturunan
dengan konteksnya yang berbeda dalam jalur digunakan tuturuwe. Untuk membedakan laki-laki dan
kekerabatan akan terjadi perubahan. Selain hubungan perempuan ditambah kata banan (perempuan) untuk
antara anak dengan ayah dan ibu kandungnya sebagai kakak ibu dan rawan (laki-laki) untuk suaminya
cara berhubungan keluarga yang pertama, cara (wawancara dengan Tgk. Abdullah HR, tokoh
berhubungan keluarga yang harus dijaga kedua adalah masyarakat tanggal 29 April 2017).
antara paman dari pihak ayah atau saudara kandung Penggunaan panggilan ama dan ine juga digunakan
laki-laki ayah. Dalam hal ini, kemenakan harus oleh menantu dalam memanggil mertuanya, tetapi
memandang mereka hampir sama dengan ayah konotasinya disebutkan empurah. Secara denotatif,
kandungnya. Tutur yang digunakan untuk memanggil makna empurah adalah orang yang ditinggikan
abang atau adik laki-laki ayah kandung atau suami kedudukannya atau yang dimuliakan. Dalam konteks
kakak atau suami adik perempuan ayah kandung juga ini, pada anak yang telah berumah tangga maka antara
menggunakan sebutan ama ditambah sebutan yang ayah dan ibu kandungnya dengan ayah dan ibu
menunjukkan posisinya dalam jalur kekerabatan. mertuanya muncul tutur ume atau panggilan untuk
Misalnya untuk memanggil abang atau adik laki-laki besan. Dalam budaya Gayo selain hubungan anak

88
Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 79-92

dengan ayah dan ibu kandungnya, hubungan yang banyak orang yang gagal berkomunikasi dengan baik
paling berat atau paling dimuliakan adalah hubungan kepada orang lain disebabkan mempergunakan
menantu dengan mertua. Bahkan melebihi kepada ayah perkataan yang keliru dan berpotensi merendahkan
dan ibu kandung, artinya kalau dengan ayah dan ibu orang lain. Permasahan perkataan tidak bisa dianggap
kandung masih bisa bersikap santai atau bisa sedikit ringan dalam komunikasi. Karena itu, salah perkataan
bercanda, tetapi menantu tidak akan berani bersikap berimplikasi terhadap kualitas komunikasi dan pada
canda dengan mertuanya. Sementara sebutan dan gilirannya mempengaruhi kualitas hubungan sosial.
panggilan mertua kepada menantunya adalah pemen, Bahkan karena salah perkataan hubungan sosial itu
akan tetapi sebutan ini bukan panggilan. Untuk putus sama sekali. Dalam konteks yang lain, qaulan
penggilannya digunakan panggilan setelah menikah karima bermakna juga sebagai kata atau pembicaraan
(pentalun mari ngerje) tetapi bagi yang belum pantas untuk disampaikan. Dalam budaya Gayo disebut
mempunyai anak, yaitu aman mayak/inen mayak atau dengan sumang percerakan adalah perkataan yang
panggilan sudah mempunyai anak, yaitu aman tidak wajar dikatakan.
nuwin/inen nuwin atau aman nipak/inen nipak. Jika Dengan demikian, tutur ama dan ine dan konteks
sudah mempunyai anak maka dikaitkan dengan nama kekerabatan lainnya yang termasuk dalam tutur atas
dan jenis kelamin anaknya yang sulung, yaitu nuwin merupakan bentuk penghormatan dan memuliakan dari
(laki-laki) dan nipak (perempuan). Disebut juga dengan tutur renah (tutur rendah seperti anak). Sikap
tutur peraman atau perinen. Tuturperaman dan perinen menghormati dari lawan tutur, yaitu anak dengan
sangat penting dalam hubungan kekeluargaan dan menggunakan tutur ama dan ine tersebut menjelaskan
kemasyarakatan dalam budaya Gayo (wawancara pula bagaimana intonasi suara yang digunakan ketika
dengan Tgk. Anwar, tokoh adat tanggal 18 Mei 2017). berkomunikasi yang disebut dengan prinsip qaulan
Berdasarkan penjelasan denotasi dan konotasi dari layyina. Bentuk etika qaulan layyina dalam tutur Gayo
tutur ama dan ine serta konteks kekerabatan lainnya, terlihat dari penyebutan ama dan ine dengan cara
mitosnya menjelaskan tentang etika komunikasi Islam, memanjangkan sebutan pada suku kata terakhir seperti
yaitu prinsip qaulan karima. Mitosnya menegaskan amaa atau inee. Qaulan layyinan berarti pembicaraan
bahwa kedudukan yang mulia dan dihormati pada tutur yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar,
ama dan ine dalam konteks ayah dan ibu kandung, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati,
mertua, dan saudara-saudara ayah dan ibu kandung maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti
menjelaskan bagaimana etika seorang anak ketika membentak, atau meninggikan suara. Siapapun tidak
berkomunikasi. Penjelasan tentang etika komunikasi suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar,
dijelaskan dalam Alquran surat Alisra ayat 23 bahwa sebagaiamana yang dicontohkan oleh Rasullulah SAW
agama Islam melarang untuk mengucapkan kata “ah” yang selalu bertutur kata dengan lemah lembut, hingga
kepada orangtua, apalagi mengucapkan kata-kata atau setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati
memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada siapapun yang mendengarnya. Dalam beberapa tafsir
itu. Artinya, wujud dari qaulan kariman itu adalah disebutkan, yang dimaksud layyinan ialah kata-kata
berkata lembut, beradab, santun, dan menghormati. sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau
Sehingga, orang yang berbicara juga menjadi mulia dan lugas, apalagi kasar. Ayat di atas adalah perintah Allah
berharga atau merasa dihormati. Dengan demikian, SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara
qaulan kariman adalah perkataan yang mulia, lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan
dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, qaulan layyinan, hati komunikan (orang yang diajak
enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya
Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita Komunikasi yang tidak mendapat sambutan yang
dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata- baik dari orang lain adalah komunikasi yang dibarengi
kata yang sekiranya menyakiti hati mereka. Qaulan dengan sikap dan perilaku yang menakutkan dan
kariman harus digunakan khususnya saat dengan nada bicara yang tinggi dan emosional. Cara
berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang berkomunikasi seperti ini selain kurang menghargai
harus kita hormati. Komunikasi yang baik tidak dinilai orang lain, juga tidak etis dalam pandangan agama.
dari tinggi rendahnya jabatan atau pangkat seseorang, Dalam perspektif komunikasi, komunikasi yang
tetapi ia dinilai dari perkataan seseorang. Cukup demikian, selain tidak komunikatif, juga

89
Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur … (Marhamah)

membuat komunikan mengambil jarak disebabkan Reje. Secara denotatif, tutur tersebut bermakna raja.
adanya perasaan takut di dalam dirinya terhadap Akan tetapi, secara konotatif tutur tersebut
komunikator. Dengan menggunakan komunikasi yang menunjukkan kedudukan dalam sarak opat atau tutur
lemah lembut, selain ada perasaan bersahabat yang gelar kepada orang yang dihormati karena jabatan
menyusup ke dalam hati komunikan, ia juga berusaha sebagai kepala pemerintahan. Sekaligus menunjukkan
menjadi pendengar yang baik. Penggunaan tutur ama fungsinya sebagai musuket sipat (menegakkan dan
dan ine tersebut juga menjelaskan prinsip qaulan memelihara keadilan). Untuk menyapa imam dalam
ma’rufa. Kata ma`rufan dari ayat tersebut dapat tutur budaya Gayo digunakan sebutan Imem. Secara
diartikan sama dengan kata al-khair atau al-ikhsan yang denotatif, tutur tersebut bermakna imam atau orang
berarti baik. Perkataan yang baik bermakna perkataan yang memimpin dalam pelaksanaan shalat. Akan
yang pantas. Pengertian ma’ruf ini lebih menuju pada tetapi, secara konotatif tutur tersebut menunjukkan
norma sosial yang berlaku di masyarakat. Artinya, kedudukan dalam sarak opat atau tutur gelar kepada
qaulan ma’rufa adalah kata-kata yang menyenangkan orang yang dihormati karena fungsinya dalam
dan tidak berlawanan dengan tata sopan santun dan membimbing dan melaksanakan syariat Islam terutama
tidak menyakiti komunikan. Jika dihubungkan dengan yang hukumnya fardhu dan sunat. Selain itu juga
konteks penggunaan tutur ama dan ine menjelaskan berfungsi memimpin dalam upacara-upacara
bahwa lawan tutur yaitu anak akan menggunakan keagamaan dan adat. Fungsi ini disebut dengan mu
perkataan yang pantas sesuai dengan norma yang ferlu sunet (melaksanakan yang fardhu dan sunat).
berlaku dalam budaya Gayo. Norma yang berlaku Sementara itu, untuk menyapa petua dalam tutur
dalam budaya Gayo menjelaskan tentang perbuatan budaya Gayo digunakan sebutan Petue. Secara
atau tingkah laku yang melanggar yaitu sumang denotatif, tutur tersebut bermakna petua atau yang
percerakan atau disebut juga dengan jis atau jengkat dituakan. Akan tetapi, secara konotatif tutur tersebut
(perkataan atau perbuatan yang tidak etis). Dengan menunjukkan kedudukan dalam sarak opat atau tutur
menggunakan tutur ama dan ine, maka lawan tutur gelar kepada orang yang dihormati karena fungsinya
berarti lawan tutur yaitu anak telah menggunakan sebagai musidik sasat (meneliti dan mengevaluasi
prinsip qaulan karima. Berdasarkan analisis terhadap keadaan masyarakat). Untuk menyapa orang yang
tutur ama dan ine serta konteks kekerabatan lainnya, mempunyai ilmu agama Islam dalam tutur budaya
secara denotasi mengartikan kata sapaan terhadap ayah Gayo digunakan sebutan Tengku. Secara denotatif,
dan ibu atau saudara ayah dan ibu. Akan tetapi secara tutur tersebut bermakna orang berilmu agama Islam.
konotasi bermakna memuliakan dan menghormati Akan tetapi, secara konotatif tutur tersebut
sehingga berbicara dengan lemah lembut dan menunjukkan,orang tersebut ahli agama dan tempat
menggunakan kata yang pantas, dalam etika untuk dimintai petuah atau nasehat bahkan dalam
komunikasi Islam disebut dengan prinsip qaulan menyelesaikan masalah keagamaan. Tutur ini juga
karima, qaulan layyina, dan qaulan ma’rufa. bermakna bahwa orang tersebut mengajarkan ilmu
agama. Jadi, tutur tengku merupakan sebutan dan
Tutur Fungsi atau Tutur Jabatan panggilan penghormatan atau pemuliaan (wawancara
Secara denotasi tutur yang digunakan dalam dengan Dr. H. Mahmud Ibrahim, tokoh adat tanggal 6
struktur sosial atau struktur masyarakat Gayo, Mei 2017).
dijelaskan dalam Tabel 3. Mitos yang berkembang dalam budaya Gayo terkait
dengan tutur jabatan atau fungsi sama halnya dengan
Tabel 3 Hasil Analisis Tutur Fungsi atau Jabatan
penggunaan tutur kekerabatan. Penerapan etika dalam
No Objek Penelitian Denotasi
1. Reje Raja berkomunikasi dengan tutur gelar ini juga harus
diperhatikan sehingga tidak menimbulkan kemali, jis,
2. Imem Imam
jengkat atau sumang yang dalam budaya Gayo
3. Petue Petua
merupakan perbuatan yang dilarang. Tutur jabatan ini
4. Tengku Ahli Agama
terkait dengan sarak opat, yaitu empat unsur dalam
satu wilayah pemerintahan yang terpadu. Empat unsur
Makna konotasi dalam tutur fungsi dan jabatan,
tersebut yaitu reje dan imem memiliki fungsi dan
yaitu untuk menyapa kepala pemerintahan semua
berperan penting serta menentukan dalam
tingkatan dalam tutur budaya Gayo digunakan sebutan
penyelenggaraan, pelaksanaan, pembangunan, dan

90
Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 79-92

pembinaan masyarakat. Karena rejemelaksanakan Pemahaman makna konotatif dari tutur ini menjadi
prinsip edet munukum bersipet wujud (adat acuan dalam memakai tutur sesuai dengan konteksnya.
menetapkan hukum dan menjatuhkan hukuman sesuai Sehingga, hubungan antara makna denotatif dan
dengan kenyataan)sedangkanimem melaksanakan konotatif ini memunculkan mitos yang dalam budaya
prinsip ukum munukum bersipet kalam (syari’at Gayo disebut dengan kemali, jis, jengkat, dan
menetapkan hukum dan menjatuhkan hukuman sumang.Penerapan etika komunikasi Islam dalam tutur
berdasarkan firman Allah SWT dan sunnah Rasulullah etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah didasarkan pada
SAW). Keduanya harus terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai budaya Gayo, yaitu mukemel (malu) sebagai
agama ibarat senuwen/ empus, edet ibarat peger nilai utama. Nilai-nilai budaya ini yang memotivasi
(agama Islam sebagai kebun/tanaman, sedang adat etnis Gayo untuk untuk melakukan hal-hal yang terpuji
sebagai pagar agar tanaman berhasil). Maka, dalam (akhlak yang mulia). Akan tetapi, sejalan dengan
sarak opat terkandung unsur legislatifnya yaitu rayat berkurangnya penggunaan bahasa Gayo pada generasi
genap mupakat, eksekutifnya, yaitu reje dengan imem, muda (remaja) saat ini, penggunaan tutur juga
dan yudikatifnya, yaitu reje, imem, dan petue. berkurang. Tutur lebih banyak digunakan dalam
Sistem pemerintahnyah dilaksanakan berpegang konteks adat dibandingkan konteks kehidupan sehari-
teguh pada asas keramat mupakat, bahu bededele, hari. Sehingga mempengaruhi terhadap berkurangnya
sepapah sepupu sebegi seperange. Ike mowen sara penerapan etika komunikasi Islam.
tumenen, ike beluh sara loloten (kemuliaan karena
mupakat, berani karena bersama-sama, bersatu padu UCAPAN TERIMA KASIH
dalam karakter yang sama. Kalau bersama-sama dalam Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
negeri tetap dalam satu jam’ah dan kalau pergi ke luar Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah, tokoh
negeri atau daerah tetap dalam satu pola perjuangan). adat, tokoh masyarakat, dan masyarakat Gayo di
Asas ini pula yang dipegang teguh oleh etnis Gayo Kabupaten Aceh tengah yang telah memberikan
dalam semua aspek kehidupan termasuk sosial budaya. bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini
Tutur ini juga menggambarkan prinsip qaulan kariman dapat terlaksana dengan baik.
(memuliakan) terlihat ketika reje membuka musapat
(musyawarah), kata yang digunakan adalah kata-kata DAFTAR PUSTAKA
bijaksana atau kata-kata yang bermakna agung, teladan
Al-Gayoni, Y. U. (2010). Penyusutan Tutur dalam
dan filosofis. Kata-katanya juga berkualitas dan kata- Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik.
kata bermanfaat yang memiliki efek positif bagi Universitas Sumatera Utara.
perubahan sikap dan perilaku komunikan. Kata-kata Al-Gayoni, Y. U. (2012). Tutur Gayo. Jakarta: RCIG.
Arimbawa, W., & Santhyasa, I. K. G. (2010). Perpektif
seperti ini sering diucapkan oleh orang-orang Ruang Sebagai entitas Budaya Lokal Orientasi
terhormat. Makna kemuliaan ini juga terlihat ketika Simbolik Ruang Masyarakat Tradisional Desa Adat
peserta musyawarah menyampaikan pendapat yang Penglipuran, Bangli-Bali. Local Wisdom, 2(4), 1–9.
diawali dengan permohonan kepada reje. Dengan Arni, M. (2005). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi
Aksara.
demikian, penempatan tutur yang tepat pada Barthes, R. (2013). Mitologi. (A. S. M. Nurhadi, Ed.).
konteksnya, menunjukkan makna-makna etika Yogyakarta: Kreasi Wacana.
komunikasi Islam dan penerapannya. Eco, U. (2015). Teori Semiotika, Signifikasi Komunikasi,
Teori Kode Serta Teori Produksi-Tanda. (I. R. Mizir,
KESIMPULAN Ed.). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Hamidah, H., & Syadzali, A. (2016). Analisis Semiotika
Penelitian ini menyimpulkan bahwa simbol-simbol Roland Barthes Tentang Fenomena Jilboobs. Jurnal
verbal etika komunikasi Islam dalam tutur etnis Gayo Studia Insania, 4(2), 117–126.
di Kabupaten Aceh Tengah terlihat pada pemakaian Haris, A. (2007). Pengantar Etika Islam. Sidoarjo: Al-Afkar.
Sidoarjo: Al-Afkar.
tutur yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari Hijaiyyah, A., Sudrajat, R. H., & Putra, A. (2015). Makna
didasarkan pada sistem kekerabatan atau kekeluargaan Lirik Pertunjukan Seni Sintren Cirebon (studi
dan jabatan atau fungsi (tutur gelar) serta ungkapan Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Lirik
peribahasa Gayo. Makna denotatif dalam tutur ini Tembang Turun-turun Sintren Dan Kembang
Kilaras). In eProceedings of Management (Vol. 2, p.
dapat dipahami dari arti yang dijelaskan dalam bahasa 4308). Cirebon: Telkom University.
Gayo. Sementara itu, makna konotatif dalam tutur ini Ibrahim, M. (2009). Syariat Adat Istiadat. Takengon:
dipahami berdasarkan nilai-nilai budaya Gayo. Yayasan Maqamam Mahmuda.

91
Representasi Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur … (Marhamah)

Joni. (2016). Kajian Pragmatik tuturan Bijak: Peri Mestike” dalam Budaya Gayo. Universitas Sebelas Maret.
Kazmi, Y. (2000). Historical consciousness and the notion of Saleh, M. J. (2009). Gayo Bertutur. Aceh Tengah.
the authentic self in the Qur’n: Towards an Islamic Sartini, N. W. (2009). Menggali nilai kearifan lokal budaya
Critical Theory. Islamic Studies, 39(3), 375–398. Jawa lewat ungkapan (Bebasan, saloka, dan
Kholil, S. (2007). komunikasi Islam. Bandung: Citapustaka paribasa). Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra, 5(1),
Media. 28–37.
Mahsun, M. S. (2005). Metode penelitian bahasa: tahapan Sobur, A. (2017). Semiotika komunikasi. Bandung: Remaja
strategi, metode dan tekniknya. Jakarta: PT Rosdakarya.
RajaGrafindo Persada. Solihin, A. M. (2011). Etika komunikasi lisan menurut al-
Masinambow. (2002). Semiotik. In Kumpulan Makalah qur’an: kajian tafsir tematik. UIN Syarif
Seminar. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan Hidayatullah Jakarta.
dan Budaya Lembaga Penelitiaan Universitas Sugiyono, D. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif
Indonesia. dan R&D. Penerbit Alfabeta.
Melalatoa, M. J. (1985). Kamus Bahasa Gayo-Indonesia. Taufik, T. (2012). Etika Komunikasi Islam. Bandung:
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pustaka Setia.
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tubbs, S. L., & Moss, S. (2001). Human Communication.
Moleong, J. (2016). Metode penelitian kualitatif. Bandung: New York: McGraw-Hill.
Rosda Karya. Wahab, M. A. (2014). Peran bahasa arab dalam
Mufid, M. (2012). Etika dan filsafat komunikasi. Jakarta: pengembangan ilmu dan peradaban Islam. Arabiyat:
Prenada Media. Jurnal Pendidikan Bahasa Arab Dan
Muis, A. (2001). Komunikasi Islam. Bandung: Remaja Kebahasaaraban, 1(1), 1–20.
Rosdakarya. Wahyudin, A. (2012). Episteme Dakwatologi Komunikasi:
Mulyana, D. (2013). Ilmu komunikasi: suatu pengantar. Menakar Komunikasi Islam dalam Epsitemologi
Bandung: Remaja Rosdakarya. Triangular Relationship. Ilmu Dakwah: Academic
Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Inkuiri. Journal for Homiletic Studies, 6(2), 207–225.
Bandung: Tarsito. Wahyuningsih, S., & Kusumawati, D. (2015). Strategi
Ola, S. S. (2009). Pendekatan dalam Penelitian Linguistik pencapaian pelanggan pitalebar bergerak di daerah
Kebudayaan. Linguistika: Buletin Ilmiah Program perdesaan tahun 2019. Buletin Pos Dan
Magister Linguistik Universitas Udayana, 16. Telekomunikasi, 13(2), 165–176.
Pambudi, B. (2015). Semiotika Karapan Sapi dan https://doi.org/10.17933/bpostel.2015.130205
Transformasi Simbolik Masyarakat Madura. Jurnal Wirianto, R., & Girsang, L. R. M. (2017). Representasi
Komunikasi Islam, 5(1), 114–127. Rasisme Pada Film “12 Years a Slave”(Analisis
Putra, R. A. (2018). Dampak Film Para Pencari Tuhan Jilid Semiotika Roland Barthes). SEMIOTIKA: Jurnal
X Terhadap Religiusitas Remaja. Jurnal Dakwah Komunikasi, 10(1), 180–206.
Dan Komunikasi, 3(1), 1–24. Zamroni, M., Indriati, A., & Islami, A. F. (2017). Strategi
Rasyid, A. (2011). Konseptualisasi Etika dalam Politik: Komunikasi Perguruan Tinggi Agama Islam dalam
Perspektif Komunikasi Islami. Ilmu Dakwah: Mendukung Internalisasi Budaya Kemahasiswaan.
Academic Journal for Homiletic Studies, 5(18), 625– Jurnal Askopis, 1(1), 1–16.
656.

92

Anda mungkin juga menyukai