Anda di halaman 1dari 4

Membincang Makna Sunnah

Oleh: Fa-Hiem

Makna literal sunnah adalah tradisi, sesuatu yang telah ada, ’terlembaga’, dan menjadi
satu pola kebiasaan dari sebuah komunitas. Tradisi ini bisa berasal dari colective agreement
(kesepakatan bersama), ataupun dari prilaku seseorang yang dianggap ’lebih’ dalam komunitas
tersebut. Tradisi ini lantas menjadi satu ketentuan yang turut dijadikan acuan dalam perilaku
hidup masyarakat. Posisinya, dengan demikian, memiliki legitimasi yang memadai, bahkan dapat
menjadi alat legitimasi itu sendiri.
Sunnah yang dipahami dalam literatur keilmuan islam juga selaras dengan makna
tersebut. Maksudnya, sunnah dalam tradisi kajian islam mengacu pula kepada sunnah sebagai
sebuah tradisi, prilaku, ucapan maupun ketetapan yang established (telah mapan).
Keberadaannya dapat berupa prilaku, ucapan, dan ketetapan dari sang Nabi, atau dari para
sahabat yang menyaksikan dan bersama dalam perilaku hidup yang dijalani. Para sahabat ini,
setelah menyaksikan apa yang ’ditradisikan’ oleh Nabi adakalanya meriwayatkan apa yang
mereka lihat dan dengar secara langsung, ataupun melakukan interpretasi dan pemaknaan ulang
terhadap hasil pendengaran dan penglihatan itu. Hasilnya, sebuah verbalisasi dalam bentuk
statement yang lantas disebut sunnah.
Teori evolusi sunnah menunjukkan adanya pembenaran terhadap statement di atas.
Terlihat bahwa sunnah mengalami satu evolusi dimana di dalamnya tergambar satu perjalanan
panjang muncul dan berkembangnya sunnah. Sunnah tidak hanya sesuatu yang ’murni’ berasal
dari Nabi, namun juga dari ’hasil kreasi’ generasi sesudah Nabi. Fakta sejarah menunjukkan
adanya ’penambahan’ sunnah baru dari apa yang diberikan Nabi. Munculnya ’sunnah’ baru ini
merupakan hasil komentar maupun praktek sahabat dalam prilaku hidup yang mengacu kepada
sunnah Nabi. Pada posisi ini, lantas muncul sunnah Nabi plus sunnah sahabat. Selanjutnya,
generasi pasca sahabat juga melakukan hal yang serupa, melakukan pemaknaan terhadap warisan
berupa sunnah Nabi dan ’sunnah’ sahabat yang telah ada sebelumnya. Muncullah kemudian
’sunnah’ baru, yaitu sunnah tabi’in. Karenanya, sebagaimana juga diungkap oleh Jalaludin
Rahmat, lantas muncul sunnah Nabi, sunnah sahabat bahkan sunnah tabi’in. Namun demikian,
lazimnya tatkala disebut istilah sunnah, yang dipahami adalah ’murni’ yang berasal dari Nabi,
meskipun nyatanya sebagian berasal dari interpretasi mereka terhadap Nabi, dan bukan ’sunnah’
Nabi secara genuine (murni).
Sahabat adalah komunitas yang langsung bertemu dan berinteraksi dengan Nabi. Mereka
menyaksikan secara langsung apa dan bagaimana sosok dan prilaku Muhammad SAW. Dalam
cakupan ini pula, para sahabat turut menjadi bagian integral dari pola hidup keseharian baginda
Rasul. Mereka tahu betul bagaimana Nabi bersikap dan berprilaku, baik yang terkait dengan
konsepsi keagamaan maupun keduniaan. Hanya saja, tidak semua sahabat memiliki cara pandang
yang sama. Diantara mereka muncul ragam perspektif dalam melihat sosok dan posisi baginda
Nabi.
Setidaknya, berdasarkan penelusuran literatur, terdapat kelompok sahabat yang
memandang Nabi secara utuh hanya murni bertindak dan berprilaku sebagai Rasul, sehingga
seluruh aspek hidupnya menjadi bagian yang mesti ditauladani secara apa adanya (tanpa
reserve). Apapun yang dikatakan dan dilakukan Nabi lantas menjadi satu konsep ideal yang
mesti diteladani. Pandangan semacam ini umumnya berakar dari satu cara pandang yang
cenderung tercerabut dari akar dan lingkup budaya. Maksudnya, pandangan ini meng-ideakan
Nabi sebagai satu sosok yang ’serba lebih’, hingga kadang dianggap berada pada posisi yang
’serba luar biasa’ dan berada di atas semua karakter kemanusiaan. Faktor-faktor budaya dan
tradisi pada gilirannya cenderung dinafikan. Nabi diposisikan secara a-historis dan berada di luar
–dan di atas- kultur kemanusiaan itu sendiri.
Selanjutnya, terdapat kelompok sahabat yang menggunakan cara pandang dengan melihat
Nabi sebagai sosok yang multitalenta. Nabi adalah orang yang memiliki beragam posisi strategis,
hingga apapun yang ditauladankan menjadi pola acuan, namun tetap dalam koridor dan batasan
posisi yang disandang oleh Nabi sendiri. Artinya, kelompok ini memandang bahwa benar Nabi
adalah potret ideal bagi umat islam, namun idealisme yang muncul tidak berarti menjadikan
seluruh prilaku Nabi secara apa adanya sebagai blue print (aturan baku) bagi umat islam. Hal ini
didasarkan pada keyakinan bahwa Nabi adalah juga manusia yang mempunyai ragam posisi.
Nabi adalah Rasul, Nabi adalah pemimpin (Khalifah), dan juga Nabi adalah manusia biasa.
Ragam posisi ini mengakibatkan munculnya ragam status dari apa yang dilakukan Nabi, hingga
kualitas ’ketaatan’ untuk mengikuti pola prilaku yang Nabi berikan-pun berbeda.
Ada prilaku yang mesti menjadi satu sistem acuan ideal yang mesti diikuti secara taken
for granted (apa adanya), yaitu pada saat beliau berposisi sebagai Rasul dan menjelaskan hal-hal
yang bersifat ta’abbbudy. Posisi ini menuntut untuk menjadikan Nabi sebagai satu teladan yang
utuh dan ’tidak tersisa’ ruang interpretasi bagi umatnya. Kepatuhan menjadi kata kunci dalam hal
ini. Namun demikian, meski Muhammad SAW berposisi sebagai Rasul, jika ajaran yang
dimunculkan merupakan hal yang terkait dengan kultur budaya yang ada, maka terbuka peluang
untuk melakukan interpretasi atau pemaknaan ulang. Sehingga yang diambil bukanlah format
ajaran an sich (semata) namun lebih kepada –meminjam bahasa asy-Syatibi- maqashid (Maksud
atau tujuan) yang hendak dicapai.
Muhammad SAW di sisi lain juga adalah manusia biasa yang hidup dalam dimensi ruang
dan waktu, sama persis dengan umatnya. Ini tentu mengarah pada satu permahaman bahwa
beliau hidup pada satu kondisi yang tidak bebas nilai. Artinya, ada faktor biologis, sosiologis dan
antropologis yang turut menjadi bagian inheren dalam kehidupannya. Statement yang muncul
maupun prilaku yang ada dalam posisi ini tidaklah menjadi satu sistem acuan ideal yang harus
diikuti bulat-bulat. Sebab, sangat mungkin apa yang dilakukan merupakan cermin kebutuhan
beliau sebagai manusia biasa yang dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan manusiawi. Pola
pemenuhan kebutuhan ini tentu sangat dipengaruhi oleh kultur dan tradisi setempat, sehingga
dalam kondisi wilayah dan kultur yang berbeda, boleh jadi apa yang beliau lakukan bukanlah
contoh acuan ideal, atau bahkan tidak mungkin dilaksanakan.
Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang khlaifah,
pemimpin. Apa yang beliau lakukan atas nama khalifah juga dilihat secara berimbang sehingga
tidak semua konsep yang dikeluarkan dalam posisi ini menjadi ’keharusan’ untuk mengikutinya.
Atau, paling tidak dibutuhkan analisis yang mendalam tentang hal itu yang melibatkan kritisisme
dalam bidang politik dan juga budaya. Adalah sebuah keniscayaan jika seorang pemimpin
Negara juga turut mempertimbangkan aspek politik dan budaya yang berlaku saat ia menjadi
khalifah. Di sini, tradisi bernegara yang terkait dengan bangsa lain menjadi hal yang penting
untuk dipertimbangkan. Tentu saja, apa yang dilakukan kemudian menjadi penting untuk dilihat
secara proporsional, dan tidak harus diambil secara apa adanya.
Melihat dan menimbang apa yang dilakukan baginda nabi dalam kehidupannya
merupakan satu sikap yang mesti dikembangkan, agar sebagai ummatnya kita menjadi ummat
yang cerdas. Artinya, sebagai ummatnya kita mampu mengambil sikap teladan yang beliau
berikan untuk kemudian didialogkan dengan kondisi zaman yang ada, hingga sikap dan prilaku
kita juga senantiasa tersinari dengan sunnah Beliau. Pada gilirannya, kita berharap mampu
’menghadirkan Nabi’ dalam setiap zaman melalui kontekstualisasi sunnahnya, yang dengan
demikian kehidupan ummat akan selalu damai dan tenteram sebagaimana masa nabi. S’moga!.

Anda mungkin juga menyukai