Anda di halaman 1dari 3

Nama : M.

Aziz Himawan Akbar


Kelas : Ad-Dirasah fi Al-Qur’an wa Al-Hadits/S2 Pendidikan Bahasa Arab
NIM : 2203028011

KONTEKSTUALISASI CARA BERPAKAIAN DAN BERPENAMPILAN SESUAI


DENGAN SUNNAH NABI DI ERA MILENIAL

Di era milenial sekarang ini, seruan “kembali kepada sunnah Nabi” menjadi topik yang sangat
menarik untuk diperbincangkan dalam berbagai diskusi. Pada satu sisi, seruan ini dianggap sebagai
cara seseorang atau kelompok untuk menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW dengan mengkaji segala sesuatu yang datang dari Nabi berupa perkataan,
perbuatan, dan ketetapannya untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kelompok tersebut, mengikuti sunnah Nabi adalah menjalankan segala apa yang telah
ditetapkan oleh Nabi dalam beribadah kepada Allah SWT dan bermu’amalah kepada sesama
manusia, baik kepada sesama muslim maupun kepada selain muslim.

Dalam konteks sunnah, mereka berhati-hati dalam memilih perbuatan mana yang sesuai
dengan Nabi. Apa yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka tidak mereka lakukan dan tidak mereka
kategorikan sebagai sunnah. Oleh karena itu, mereka menjadikan Nabi sebagai satu-satunya role
model yang berhak dijadikan percontohan perilaku sunnah. Mereka lebih memilih referensi yang
paling dekat dengan Nabi dan memilih untuk tidak berkompromi dengan pendapat para ulama
yang memiliki intepretasi yang berbeda dalam memahami sunnah Nabi.

Di sisi lain, banyak kalangan yang mengelaborasi sunnah Nabi dengan berbagai pendapat
sahabat, tabi’in dan ulama yang dikolaborasikan dengan keadaan zaman yang dinamis. Mereka lebih
fleksibel dalam mendefinisikan makna sunnah Nabi dengan tetap menjadikan Nabi sebagai figur
utama dalam konsep penerapan sunnah. Fleksibilitas tersebut tidak keluar dari koridor jumhur
ulama yang memberikan batasan sesuatu yang bisa dijadikan sunnah. Hal itu bisa terjadi karena
Nabi sendiri pun dalam mengajarkan perintah Allah SWT kepada para sahabatnya menggunakan
metode atau ijtihad yang disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Dalam arti lain, Nabi adalah
seseorang yang paling konstekstual dalam mentransformasikan ajaran agama Islam melalui wahyu
dari Allah SWT yang bersifat tekstual. Bahkan, turunnya ayat Al-Qur’an pun didasari oleh suatu
kejadian atau kondisi yang masyhur disebut dengan istilah asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat
Al-Qur’an. Inilah yang mendasari mereka dalam berpendapat bahwa penerepan konsep sunnah
Nabi harus diselaraskan dengan perkembangan zaman yang selalu berkembang.
Lalu, bagaimana caranya agar kita dapat melaksanakan sunnah Nabi sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh Nabi tanpa mengurangi kemurnian ajaran agama Islam yang dibawa oleh beliau
dan mengkontekstualisasikannya di kehidupan kita sekarang ini? Dan bagaimana konsep relevansi
sunnah Nabi dengan keadaan sosial masyarakat di era milenial ini?

Mari kita mulai dengan menyatukan persepsi dalam mendefinisikan apa itu sunnah Nabi dan
mengkontrsuksikannya dalam sebuah contoh berkehidupan di masa sekarang ini.

Sejalan dan disarikan dari apa yang dikatakan oleh Muhammad Syahrur dalam karyanya Al-
Kitab wa Al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah, bahwa yang disebut dengan sunnah Nabi adalah metode
(manhaj) dalam menerapkan hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an secara mudah dan
ringan, tanpa keluar dari hudud Allah dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan hudud, atau
dengan membuat hudud yang sesuai dengan kebiasaan temporer (‘urfiyah marhaliyah) dalam persoalan
lainnya (yang tidak ada hudud-nya), dengan tetap memperhatikan realitas obyektif berupa waktu,
tempat, dan persyaratan lainnya yang menjadi tempat penerapan hukum-hukum tersebut.

Konklusi dari definisi di atas adalah bahwa sunnah Nabi bukan sekadar menjalankan apa saja
yang telah dilakukan oleh Nabi secara harfiah, namun lebih dari itu, kita harus mencontoh metode
Nabi dalam mengimplementasikan ketetapan Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an dengan
mudah dan ringan tanpa menyepelekan segala perintah-Nya dan tetap disesuaikan dengan kondisi
ruang dan waktu, kapan dan di mana kita menerapkannya.

Dahulu, Nabi Muhammad SAW biasa memakai pakaian yang memang menjadi tradisi
kebanyakan orang Arab saat itu. Sehingga orang yang pertama kali ingin bertemu dengannya selalu
bertanya siapa dan mana orang yang bernama Muhammad, padahal saat itu beliau ada bersama
sahabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mau membedakan diri dari orang lain dalam
masalah pakaian dan jenggot. Maka, beliau memakai mode pakaian mayoritas orang Arab saat itu,
demikian pula beliau memanjangkan jenggot yang memang menjadi tradisi.

Dari contoh perilaku Nabi di atas, dapat kita ketahui bahwa yang menjadi sunnah Nabi
bukanlah jenggot atau bentuk pakaiannya, melainkan ajaran agar setiap muslim memakai pakaian
atau berpenampilan sesuai tradisi masyarakatnya tanpa rasa sungkan. Nabi sendiri telah
mencontohkan dengan berpakaian dan berpenampilan sesuai dengan adat kebiasaan kaumnya.
Dengan demikian, sunnah Nabi ini menjadi pelajaran paling berharga dalam menanamkan rasa
nasionalisme. Hubbul Wathon Minal Iman bukan hanya sebatas jargon dalam mendeklarasikan rasa
nasionalisme saja, namun harus kita yakini bersama bahwa mencintai tanah air kita adalah salah satu
jalan menuju sunnah Nabi yang komprehensif, tidak berlaku hanya pada tekstualnya saja, juga
menjamah aspek kontekstualnya dengan melibatkan kapan dan di mana kita hidup sekarang.
Indonesia memiliki penduduk yang mayoritasnya memeluk agama Islam dan Indonesia memiliki
berbagai macam budaya yang harus kita banggakan sebagai identitas kita dalam berbangsa dan
bernegara. Jangan sampai, kita sebagai generasi penerus bangsa ini salah menafsirkan cara
menerapkan sunnah Nabi dengan tidak mengindahkan identitas kebangsaan kita dan begitu juga
sebaliknya, hanya berlindung dibalik jargon “NKRI harga mati” namun tidak sama sekali
mencerminkan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW dalam konsep nasionalisme.

Anda mungkin juga menyukai