DEFINISI
( ا)لَّس ُح ْو ُر, adalah dengan memfathahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur berupa suatu makanan atau
minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.
Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar
adalah dengan didhummahkan karena dengan menfathahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan balasan
perbuatan, bukan pada makanan.’”
WAKTUNYA
Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, akhir dari malam sebelum Shubuh, ada
yang berkata, ia dari sepertiga malam akhir hingga terbit fajar, maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur bagi
seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, [5] yaitu fajar…” [Al-Baqarah: 187]
Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas
Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”
Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.”
HUKUMNYA
Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda:
َتَس َّح ُر ْو ا! َف َّن يِف الَّس ُح ْو ِر َبَر َكٌة.”
“
“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
ِإ
Shahihnya (II/232) Kitaabush Shaum bab Barakatus Suhuur min Ghairi Iijaab liannan Nabi j wa Ash-haabuhu
Waashalu wa lam Yudzkaris Suhuur juga Muslim dalam Shahihnya (II/770) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlus Suhuur,
dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dan dalam Shahih Ibni Khuzaimah (III/213).
Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ َأَلْكُة الَّس َح ِر، َفْص ٌل َم ا َبَنْي ِص َياِم َنا َو ِص َياِم َأْه ِل اْلِكَتاِب.”
”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahihnya (II/771) kitab ash-Shiyaam bab Fadhlus Suhuur dari ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhu.
Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.
Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan puasa mereka adalah sahur, karena
mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan untuk bersahur.”
Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh seseorang, baik berupa makanan maupun
minuman.
TAKHRIJ
Hadits yang mulia ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dalam shahihnya no. 1789 dan Imam Muslim dalam shahihnya no.
1835.
SYARAH
Dinul Islam adalah din yang adil dan penuh rahmat yang memberikan bagian istirahat dan pendukung kekuatan badan dan
memberikan jiwa bagiannya berupa ibadah dan ketaatan. Dalam hadits yang mulia ini, sahabat yang mulia Anas bin Mâlik
Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang
berpuasa untuk makan sahur agar mendapatkan gizi dan tambahan tenaga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan sahur memiliki keberkahan dalam rangka memotivasi orang agar melakukannya. [Tanbîhul Afhâm, 3/36]
Keberkahan sahur juga dijelaskan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َهَّنا َبَر َكٌة َأْع َط اْمُك اُهَّلل اَّي َها َفاَل َتَد ُع وُه
ِإ
Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allâh kepada kalian, maka jangan kalian meninggalkannya. (Riwayat
ِإ
an-Nasai no. 2162 dengan sanad yang sahih. Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-
nasaa’i dan shahih at-targhib wa at-tarhib 1096 )
Keberkahan dalam sahur ada yang bersifat agamis dan ada yang bersifat keduniaan. Sahur sebagai suatu berkah yang
bersifat agama dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu mengikuti sunnah, mendapatkan pahala dan kekuatan dalam
berpuasa dan juga mengandung nilai penyelisihan terhadap ahli kitab. Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan sahur atas kaum
Muslimin dalam rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang
disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudriy Radhiyallahu anhu :
َفْص ُل َم ا َبَنْي ِص َياِم َنا َو ِص َياِم َأْه ِل اْلِكَتاِب َأَلْكُة الَّس َح ِر
Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur. (HR. Muslim)
Demikian juga diantara keberkahan sahur adalah mendapatkan shalawat dari Allâh dan para malaikat, sebagaimana yang
ada dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudry Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الُّس ُح وُر َأَلْكٌة َبَر َكٌة َفاَل َتَد ُع وُه َو َلْو َأْن ْجَي َر َع َأَح ُد ْمُك َج ْر َعًة ِم ْن َم اٍء َف َّن اَهَّلل َو َم اَل ِئَكَتُه ُيَص ُّلوَن َعىَل اْلُم َتَس ِّح ِر يَن
ِإ
Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk
seteguk air, karena Allâh k dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.( Riwayat Ibnu Abu Syaibah
dan Ahmad 3/44 lihat sifat Shaum nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syeikh Ali Hasan al-Halabi.
Sedangkan Imam Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan hadits diatas dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma
dengan lafazh :
َّن اَهَّلل َو َم اَل ِئَكَتُه ُيَص ُّلوَن َعىَل اْلُم َتَس ِّح ِر يَن
Allâh dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur. [Hadits Ibnu Umar ini di hasankan al-Albani
ِإ
dalam Shahîhut Targhîb wat Tarhîb no. 1066].
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Keberkahan dalam sahur muncul dari banyak sisi, yaitu (karena) mengikuti
sunnah, menyelisihi ahli kitab, memperkuat diri dalam ibadah, menambah semangat beraktifitas, mencegah akhlak buruk
yang diakibatkan rasa lapar, menjadi pendorong agar bersedekah kepada orang yang meminta ketika itu atau berkumpul
bersamanya dalam makan dan menjadi sebab dzikir dan doa di waktu mustajab. [Khulâshatul Kalâm Syarh Umdah al-
Ahkâm, hlm. 111]
Keberkahan sahur yang bersifat duniawi adalah menikmati makanan dan minuman yang halal yang disukainya dan dapat
menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk melakukan ketaatan selama berpuasa. Demikian juga
terjaga kekuatan badan dan semangat aktifitasnya.
SUNNAH MENGAKHIRKANNYA
Yang sangat perlu diperhatikan dalam sahur ini dan banyak dilupakan kaum Muslimin sekarang adalah disunnahkannya
memperlambat sahur sampai mendekati waktu Shubuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , beliau berkata:
َتَس َّح ْر اَن َم َع الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َّمُث َقاَم ىَل الَّص اَل ِة ُقْلُت ْمَك اَك َن َبَنْي اَأْلَذ اِن َو الَّس ُح وِر َقاَل َقْد ُر ْمَخ ِس َني آَيًة
ِإ
Kami bersahur bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Ibnu
Abbas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari &
Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Ketika memperkuat
badan untuk berpuasa dan menjaga semangat beraktifitas padanya termasuk tujuan makan sahur, maka termasuk hikmah
adalah mengakhirkannya. [Tanbîhul Afhâm, 3/39]
Dalam hadits yang mulia di atas dijelaskan jarak waktu mulai makan sahur dengan adzan shalat Shubuh adalah seukuran
orang membaca lima puluh ayat secara sedang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. [Lihat penjelasannya dalam kitab
Tanbîhul Afhâm, 3/39]
Salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Sahl bin Sa’d menceritakan :
ُكْنُت َأَتَس َّح ُر يِف َأْهيِل َّمُث َتُكوَن ْرُس َع يِت أْن أْد ِر َك الُّس ُج وَد َم َع َر ُس وِل ِهللا
Aku makan sahur bersama keluargaku, kemudian aku segera bergegas menuju masjid agar aku bisa bersujud (pada
rakaat pertama shalat shubuh) bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR. al-Bukhâri no. 1786]
Dengan demikian ketentuan imsak yakni menahan diri dari makan dan minum beberapa saat sebelum terbitnya fajar adalah
perkara yang di ada-adakan oleh sebagian kaum Muslimin dan menyelisihi firman Allâh Azza wa Jalla :
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. [al-Baqarah/2: 187]
Juga menyelisihi tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau Radhiyallahu anhum. Para
Ulama telah menegaskan bahwa hal tersebut termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama, walaupun dilakukan dengan
alasan kehati-hatian dan menjaga diri dari perkara yang haram.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Termasuk kebidahan yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini
berupa dikumandangkannya adzan kedua (yaitu) dua puluh menit sebelum fajar di bulan Ramadhan dan memadamkan
pelita-pelita yang dijadikan sebagai tanda tidak boleh makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Ini dengan
anggapan dari orang yang membuat-buatnya untuk kehati-hatian dalam ibadah dan hal ini tidak diketahui adanya kecuali
oleh beberapa orang saja. Hal ini menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan hingga setelah matahari terbenam
beberapa waktu untuk memastikanm waktunya dalam anggapan mereka. Lalu mereka mengakhirkan buka puasa dan
mempercepat sahur serta menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit sekali kebaikan dari mereka dan banyak pada mereka
keburukan. Allâhul musta’an. [Dinukil dari Khulâshah al-Kalam, hlm. 118].
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah
suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan
yang diada-adakan dalam agama Allâh padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, yang artinya, “Celakalah
orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan !” [Fatâwâ
Arkânil Islâm Syeikh ibnu Utsaimin]
FAEDAH HADITS
1. Perintah makan sahur bersifat sunnah.
2. Sahur memiliki keberkahan
3. Sahur dan keutamaannya tidak khusus pada satu jenis puasa saja bahkan umum untuk semua jenis puasa.
4. Kesempurnaan Islam dalam memperhatikan keadilan
5. Bagusnya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyertakan hikmah satu hukum agar mudah
diterima dan menampakkan ketinggian ajaran Islam.
6. Disunnahkan mengakhirkan makan sahur.
7. Jarak antara makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adzan adalah sejarak bacaan lima puluh ayat.
MENINGGALKAN SHALAT ASHAR
Entah karena menyibukkan diri dengan urusan dunia, seperti karena sekolah, kuliah, pekerjaan, atau hanya karena pergi
main seperti nonton film atau sepak bola, sebagian kaum muslimin seringkali menunda-nunda melaksanakan shalat ashar
hingga waktunya hampir habis, atau bahkan tidak mengerjakan shalat ashar sama sekali. Tentu saja hal ini bertentangan
dengan perintah syariat untuk menjaga pelaksanaan semua shalat wajib, termasuk shalat ashar, sesuai dengan waktunya
masing-masing. Bahkan terdapat ancaman khusus bagi mereka yang sengaja meninggalkan shalat ashar.
Ancaman bagi Orang yang Menunda-nunda Pelaksanaan Shalat Ashar sampai Waktunya Hampir Habis
Apabila seseorang mengerjakan shalat ashar di akhir waktu karena berada dalam kondisi darurat tertentu, maka shalatnya
tetap sah meskipun dia hanya mendapatkan satu raka’at shalat ashar sebelum waktunya habis. Rasululullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َفَقْد َأْد َر َك اْلَعَرْص، َو َمْن َأْد َر َك َر ْكَع ًة ِم َن اْلَع ِرْص َقْبَل َأْن َتْغُر َب الَّش ْمُس
“Barangsiapa yang mendapati satu raka’at shalat ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan
shalat ashar.”(HR. Bukhari & Muslim)
Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika seseorang sengaja menunda-nunda pelaksanaan shalat ashar sampai
waktunya hampis habis tanpa ada ‘udzur tertentu yang dibenarkan oleh syari’at. Atau bahkan hal ini telah menjadi
kebiasaannya sehari-hari karena memang meremehkan shalat ashar. Maka hal ini mirip dengan ciri-ciri orang munafik yang
disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
اَل َيْذ ُكُر َهللا، َقاَم َفَنَقَر َها َأْر َبًع ا، ْجَي ِلُس َيْر ُقُب الَّش ْمَس َح ىَّت َذ ا اَك َنْت َبَنْي َقْر ِيَن الَّش ْي َط اِن، ِتَكْل َص اَل ُة اْلُم َناِف ِق
«
ِإ »ِف َهيا اَّل َقِلياًل
“Itulah shalatnya orang munafik, (yaitu)duduk mengamati matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua
ِإ
tanduk setan (yaitu ketika hampir tenggelam, pent.), dia pun berdiri (untuk mengerjakan shalat ashar) empat raka’at
(secara cepat) seperti patukan ayam. Dia tidak berdzikir untuk mengingat Allah, kecuali hanya sedikit saja.”(HR.
Muslim, No. 622)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bagaimanakah bahaya meninggalkan shlat ashar atau sengaja menunda-nunda
pelaksanaannya hingga hampir di akhir waktunya. Oleh karena itu, hendaklah seorang muslim memperhatikan sungguh-
sungguh masalah ini. Misalnya, seorang pegawai yang akan pulang ke rumah di sore hari, hendaklah dia memperhatikan
apakah mungkin akan terjebak macet di perjalanan sehingga tiba di rumah ketika sudah maghrib. Dalam kondisi seperti ini,
sebaiknya dia menunaikan shalat ashar terlebih dahulu sebelum pulang dari kantor. Atau ketika ada suatu acara atau
pertemuan di sore hari, hendaknya dipastikan bahwa dia sudah menunaikan shalat ashar.
Dalil Pertama
Firman Allah Ta’ala,
“Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) ? ”
(Q.S. Al Qalam [68] : 35)
hingga ayat,
“Pada hari betis disingkapkandan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia)
diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Q.S. Al Qalam [68] : 43)
Dari ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak menjadikan orang muslim seperti orang mujrim (orang yang
berbuat dosa). Tidaklah pantas menyamakan orang muslim dan orang mujrim dilihat dari hikmah Allah dan hukum-Nya.
Kemudian Allah menyebutkan keadaan orang-orang mujrim yang merupakan lawan dari orang muslim. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya),”Pada hari betis disingkapkan”. Yaitu mereka (orang-orang mujrim) diajak untuk bersujud kepada
Rabb mereka, namun antara mereka dan Allah terdapat penghalang. Mereka tidak mampu bersujud sebagaimana orang-
orang muslim sebagai hukuman karena mereka tidak mau bersujud kepada-Nya bersama orang-orang yang shalat di dunia.
Maka hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang meninggalkan shalat akan bersama dengan orang kafir dan munafik.
Seandainya mereka adalah muslim, tentu mereka akan diizinkan untuk sujud sebagaimana kaum muslimin diizinkan untuk
sujud.
Dalil Kedua
Firman Allah Ta’ala,
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga,
mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam
Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami
tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang
yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”.”
(QS. Al Mudatstsir [74] : 38-47)
Setiap orang yang memiliki sifat di atas atau seluruhnya berhak masuk dalam neraka saqor dan mereka termasuk orang
mujrim (yang berbuat dosa). Pendalilan hal ini cukup jelas. Jika memang terkumpul seluruh sifat di atas, tentu kekafiran
dan hukumannya lebih keras. Dan jika hanya memiliki satu sifat saja tetap juga mendapatkan hukuman.
Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa tidaklah disiksa dalam saqor kecuali orang yang memiliki seluruh sifat di
atas. Akan tetapi yang tepat adalah setiap sifat di atas patut termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa). Dan Allah Ta’ala
telah menjadikan orang-orang mujrim sebagai lawan dari orang beriman. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang mujrim yang berhak masuk ke neraka saqor. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (bedosa) berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (Ingatlah)
pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): “Rasakanlah sentuhan api
neraka!”.” (QS. Al Qomar [54] : 47-48)
“Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (berdosa), adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman.”
(QS. Al Muthaffifin [83] : 29).
Dalam ayat ini, Allah menjadikan orang mujrim sebagai lawan orang mukmin.
Dalil Ketiga
Firman Allah Ta’ala,
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta’atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An Nur
[24] : 56)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala mengaitkan adanya rahmat bagi mereka dengan mengerjakan perkara-perkara pada ayat
tersebut. Seandainya orang yang meninggalkan shalat tidak dikatakan kafir dan tidak kekal dalam neraka, tentu mereka
akan mendapatkan rahmat tanpa mengerjakan shalat. Namun, dalam ayat ini Allah menjadikan mereka bisa mendapatkan
rahmat jika mereka mengerjakan shalat.
Dalil Keempat
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un
[107] : 4-5)
Sa’ad bin Abi Waqash, Masyruq bin Al Ajda’, dan selainnya mengatakan, ”Orang tersebut adalah orang yang
meninggalkannya sampai keluar waktunya.”
Ancaman ‘wa’il’ dalam Al Qur’an terkadang ditujukan pada orang kafir seperti pada ayat,
“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan
zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Fushshilat [41] : 6-7)
“Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah
dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri
khabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami,
maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Al Jatsiyah [45] :
7-9)
)2( َو َو ْيٌل ِلْلاَك ِف ِر يَن ِم ْن َعَذ اٍب َش ِد يٍد
“Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14] : 2)
Terkadang pula ditujukan pada orang fasik (tidak kafir), seperti pada ayat,
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.” (QS. Al Muthaffifin : 1)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al Humazah [104] : 1)
Lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat (dengan sengaja)? Apakah ancaman ‘ wa’il’ tersebut adalah
kekafiran ataukah kefasikan?
Jawabannya : bahwa lebih tepat jika ancaman ‘wail’ tersebut adalah untuk orang kafir. Kenapa demikian?
Hal ini dapat dilihat dari dua sisi :
1) Terdapat riwayat yang shohih, Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan tentang tafsiran ayat ini (surat Al Ma’uun
ayat 4-5), ”Seandainya kalian meninggalkan shalat maka tentu saja kalian kafir. Akan tetapi yang dimaksudkan ayat
ini adalah menyia-nyiakan waktu shalat.”
2) Juga ditunjukkan oleh dalil-dalil yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, sebagaimana yang
akan disebutkan.
Dalil Kelima
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.”
(QS. Maryam : 59)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang
makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu bagian neraka yang paling dasar- sebagai tempat bagi orang yang
menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang
hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa.
Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-
orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka
seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalil Keenam
Firman Allah Ta’ala,
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu
seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Jika shalat tidak dikerjakan,
bukanlah saudara seiman. Mereka bukanlah mu’min sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Meninggalkan shalat perkara yang teramat berbahaya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahayanya pula
dalam berbagai hadits, setelah sebelumnya kita lihat dalam berbagai ayat Al Qur’an mengenai hal ini.
Hadits Pertama
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َبَنْي الَّر ُج ِل َو َبَنْي الْرِّش ِك َو اْلُكْفِر َتْر ُك الَّص َالِة
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no.
257)
Hadits Kedua
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اْلَع ْهُد اِذَّل ى َبْي َنَنا َو َبْيُهَنُم الَّص َالُة َفَم ْن َتَر َكَها َفَقْد َكَفَر
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih
no. 574)
Hadits Ketiga
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َبَنْي الَع ْب ِد َو َبَنْي الُكْف ِر َو ا ْيَم اِن الَّص اَل ُة َف َذ ا َتَر َكَها َفَقْد َأَرْش َك
ِإ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka
ِإل
dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih.
Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)
Hadits Keempat
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
َمْن َتَر َك َص َالًة َم ْكُتوَبًة ُم َتَع ِّم دًا َفَقْد َبِر َئْت ِم ْنُه ِذ َّم ُة اِهَّلل
“Barangsiapa meninggalkan shalat yang wajib dengan sengaja, maka janji Allah terlepas darinya. ” (HR. Ahmad
no.22128. Dikatakan hasan lighoirihi oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 569)
Hadits Kelima
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َر ْأُس اَألْمِر ا ْس َالُم َو ُمَع وُد ُه الَّص َالُة
”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825.
ِإل
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah.
Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya
shalat.
Hadits Keenam
Dalam dua kitab shohih, berbagai kitab sunan dan musnad, dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma. Beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ُبَىِن ا ْس َالُم َعىَل ْمَخ ٍس َش َهاَد ِة َأْن َال َهَل َّال اُهَّلل َو َأَّن ُم َح َّم ًد ا َع ْب ُد ُه َو َر ُس وُهُل َو َق اِم الَّص َالِة َو يَت اِء الَّز اَك ِة َو َح ِّج اْلَبْيِت
ِإ ِإ ِإ ِإ ِإل
َو َص ْو ِم َر َم َض اَن
”Islam dibangun atas lima perkara, yaitu : (1) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi
kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4)
naik haji ke Baitullah (bagi yang mampu, pen), (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” (Lafadz ini adalah lafadz Muslim
no. 122)
Cara pendalilan dari hadits ini adalah :
1) Dikatakan dalam hadits ini bahwa islam adalah seperti kemah yang dibangun atas lima tiang. Apabila tiang
kemah yang terbesar tersebut masih ada, maka tegaklah kemah Islam.
2) Dalam hadits ini juga disebutkan bahwa rukun-rukun Islam dijadikan sebagai tiang-tiang suatu kemah. Dua
kalimat syahadat adalah tiang, shalat juga tiang, zakat juga tiang. Lalu bagaimana mungkin kemah Islam tetap berdiri
jika salah satu dari tiang kemah sudah tidak ada, walaupun rukun yang lain masih ada?!
Hadits Ketujuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َفُهَو اُملْس ُمِل ُهَل َم ا َلَنا َو َعَلْي ِه َم ا َعَلْي َنا، َو َأَلَك َذ ِبيَح َتَنا، َو اْس َتْقَبَل ِق ْبَلَتَنا، َمْن َص ىَّل َص َالَتَنا
“Barangsiapa mengerjakan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami; maka dia adalah
muslim. Dia memiliki hak sebagaimana hak umumnya kaum muslimin. Demikian juga memiliki kewajiban
sebagaimana kewajiban kaum muslimin.” (Lihat Syarhul ‘Aqidah Ath Thohawiyyah Al Albani, 351. Beliau
mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Cara pendalilan dari hadits ini adalah :
1) Seseorang dikatakan muslim jika memenuhi tiga syarat seperti yang disebutkan dalam hadits di atas. Maka tidak
disebut muslim jika tidak memenuhi syarat tersebut.
2) Jika seseorang shalat menghadap ke arah timur, tidak disebut muslim hingga dia shalat dengan menghadap kiblat
muslimin. Maka bagaimana jika seseorang yang tidak pernah menghadap kiblat karena meninggalkan shalat secara
total?!
Hadits Kedelapan
Diriwayatkan Mihjan bin Al Adro’ Al Aslamiy bahwa
صىل هللا عليه- َف َأَّذ َن اِب لَّص َالِة – َفَق اَم َر ُس وُل اِهَّلل-صىل هللا عليه وسمل- َأَّنُه اَك َن ىِف َمْج ِلٍس َم َع َر ُس وِل اِهَّلل
« َم ا َم َنَع َك َأْن ُتَص َىِّل َأَلْس َت-صىل هللا عليه وسمل- وسمل َّمُث َر َجَع َو ِم ْحَج ٌن ىِف َمْج ِلِس ِه – َفَقاَل ُهَل َر ُس وُل اِهَّلل
« َذ ا-صىل هللا عليه وسمل- َق اَل َبىَل َو َلِكىِّن ُكْنُت َق ْد َص َّلْي ُت ىِف َأْهىِل َفَق اَل ُهَل َر ُس وُل اِهَّلل.» ِبَر ُج ٍل ُم ْس ٍمِل
ِإ
.» ِج ْئَت َفَص ِّل َم َع الَّناِس َو ْن ُكْنَت َقْد َص َّلْي َت
Beliau pernah berada di majelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dikumandangkan ِإadzan untuk shalat.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu kembali (ke belakang, pen), sedangkan Mihjan masih dudk
di tempat semula. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,”Apa yang menghalangimu shalat,
bukankah engkau adalah seorang muslim?” Lalu Mihjan mengatakan, ”Betul. Akan tetapi saya sudah melaksanakan
shalat bersama keluargaku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, ”Apabila engkau
datang, shalatlah bersama orang-orang, walaupun engkau sudah shalat.” (HR. An Nasa’i no. 685. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan pembeda antara muslim dan kafir dengan shalat. Maka
dalam hadits tersebut terlihat bahwasanya seandainya seseorang itu muslim maka pasti dia shalat. Hal ini sama saja jika
dikatakan,”Kenapa engkau tidak berbicara, bukankah engkau adalah orang yang mampu berbicara?” atau “Kenapa engkau
tidak bergerak, bukankah engkau orang yang hidup?”.
Seandainya seseorang disebut muslim tanpa mengerjakan shalat, maka tentu tidak perlu dikatakan pada orang yang tidak
shalat, ”Bukankah kamu adalah seorang muslim?”
Hadits Kesembilan
Hadits berikut ini tidak berasal dari kitab Ash Sholah, Ibnul Qoyyim. Namun, sengaja ditambahkan dari penjelasan Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam risalahnya ‘Hukmu Tarikish Sholah’ karena di dalamnya terdapat faedah yang
sangat berharga.
Dalam Shohih Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
َس َتُكوُن ُأَم َر اُء َفَتْع ِر ُفوَن َو ُتْنِكُر وَن َفَم ْن َع َر َف َبِرَئ َو َمْن َأْنَكَر َس َمِل َو َلِكْن َمْن َر َىِض َو اَت َبَع
“Suatu saat akan datang para pemimpin. Mereka melakukan amalan ma’ruf (kebajikan) dan kemungkaran
(kejelekan). Barangsiapa mengetahui bahwa itu adalah kemungkaran maka dia telah bebas. Barangsiapa
mengingkarinya maka dia selamat. Sedangkan (dosa dan hukuman adalah) bagi siapa yang ridho dan mengikutinya.”
Kemudian para shahabat berkata, “Apakah kami boleh memrangi mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,
َال َم ا َص َّلْو ا
“Jangan selama mereka mengerjakan shalat.” (HR. Muslim no. 4906. Lihat penjelasan hadits ini di Ad Dibaj ‘ala
Muslim, 4/462 dan Syarha An Nawawi ‘ala Muslim, 6/327)
Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِخ َي اُر َأِئَّم ِتُمُك اِذَّل يَن ِحُت ُّب وُهَنْم َو ِحُي ُّب وَنْمُك َو ُيَص ُّلوَن َعَلْي ْمُك َو ُتَص ُّلوَن َعَلِهْي ْم َو َرِش اُر َأِئَّم ِتُمُك اِذَّل يَن ُتْب ِغ ُض وُهَنْم َو ُيْب ِغ ُض وَنْمُك
ِق يَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َأَفَال ُنَناِبُذ ْمُه اِب لَّس ْي ِف َفَقاَل « َال َم ا َأَقاُم وا ِف يُمُك الَّص َالَة َو َذ ا َر َأْيْمُت ِم ْن ُو َالِتْمُك.» َو َتْلَعُنوُهَنْم َو َيْلَعُنوَنْمُك
ِإ .» َش ْيًئا َتْكَر ُه وَنُه َفاْك َر ُهوا َمَع ُهَل َو َال َتِزْن ُعوا َيًد ا ِم ْن َط اَعٍة
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian.
Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian
membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”
Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika
kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas
ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 4910)
Dalam dua hadits ini terdapat dalil untuk memerangi penguasa dengan pedang apabila mereka tidak mendirikan shalat. Dan
tidak boleh menentang penguasa dan memerangi mereka sampai mereka melakukan kufur yang nyata di mana terdapat
pada kita burhan (petunjuk) dari Allah Ta’ala sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shomit radhiyallahu ‘anhu,
َم ْنَش ِط َنا َفَباَيْعَن اُه َفاَك َن ِف َميا َأَخ َذ َعَلْي َن ا َأْن اَب َيَعَن ا َعىَل الَّس ْم ِع َو الَّط اَعِة ىِف-صىل هللا عليه وسمل- َد َعااَن َر ُس وُل اِهَّلل
اِهَّلل ِف يِه َو َم ْكَر ِه َن ا َو ُع ِرْس اَن َو ُيِرْس اَن َو َأَثَر ٍة َعَلْي َن ا َو َأْن َال ُنَن اِز َع اَألْم َر َأْهُهَل َق اَل « َّال َأْن َتَر ْو ا ُكْف ًر ا َبَو اًح ا ِع ْن َد ْمُك ِم َن
ِإ
» ُبْر َهاٌن
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami untuk berbai’at, lalu kami berbai’at kepadanya. Bai’at
tersebut mewajibkan kami untuk mendengar dan selalu ta’at kepada penguasa dalam keadaan senang atau benci, sulit
atau lapang, dan mengalahkan kepentingan kami, juga tidak menentangnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ’Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah’.” (HR. Muslim
no. 4877)
Kesimpulannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini mengaitkan perbuatan meninggalkan shalat dengan
memerangi penguasa dan ini dianggap sebagai kekufuran yang nyata.
MELIHAT AURAT SESAMA WANITA
Seorang perempuan kepada perempuan lain, boleh saja melihat mukanya, kepala, kedua tangannya, lengan bawah,
kedua kakinya dan betisnya baik ia itu muslim ataupun kafir. Berdasarkan pendapat yang benar dalam penafsiran firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
َأْو ِنَس اِئِهَّنatau wanita-wanita” [An-Nur : 31]
Bahwasanya yang dimaksud wanita di sini adalah Al-Jins (jenis) bukan Al-Wafsu (sifat). Namun ada pula
sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita di sini adalah wanita-wanita Islam, dengan
demikian tidaklah boleh bagi seorang wanita Islam membuka aurat kepada wanita kafir. Dan yang tepat adalah yang
dimaksudkan dengan kata wanita-wanita di dalam ayat tersebut adalah Al-Jins (jenisnya) yaitu wanita-wanita dan yang
termasuk jenis wanita, dengan demikian boleh bagi perempuan muslim membuka sebagian auratnya kepada wanita kafir.
Disini saya jelaskan pada satu masalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
perempuan melihat aurat perempuan lain, lalu sebagian wanita menyangka boleh saja seorang wanita memakai pakaian-
pakaian pendek atau ketat yang tidak sampai ke lutut dan boleh memakai baju yang terlihat bagian dadanya sehingga
tampak lengan atasnya, dada dan lehernya. Pendapat yang demikian salah, karena hadits ini menjelaskan ketidak-bolehan
wanita melihat aurat perempuan lain, maka yang dibicarakan di sini adalah yang melihat bukan yang memakai, dan apapun
bagi yang memakai maka wajib memakai pakaian yang menutup tubuhnya.
Adapun pakaian-pakaian isteri-isteri para sahabat sampai kepada pergelangan tangan, kaki dan kedua mata kaki, dan kerap
kali ketika hendak pergi ke pasar, mereka memakai pakaian yang panjang sampai menutupi perbatasan hasta kaki.
Demikian itu itu untuk menutupi kedua kaki mereka. Maka di sini terdapat perbedaan antara memakai dan melihat, yaitu
bilamana seorang perempuan memakai pakaian yang menutupi auratnya, dan ini mengangkat pakaiannya karena suatu hajat
atau lainnya, lantas terbukalah betisnya maka tidaklah haram bagi perempuan lain melihatnya.
Demikian pula bilamana perempuan tersebut berada di antara perempuan-perempuan lain, sedangkan ia memakai
pakaian (baju) yang menutup auratnya. Lalu kelihatan payudaranya, karena ia ingin menyusukan anaknya, ataupun
kelihatan dadanya, karena suatu sebab, maka yang demikian tidaklah mengapa bila kelihatan di depan mereka. Adapun
wanita yang sengaja memakai pakaian yang pendek, maka yang demikian tidak boleh, karena hal tersebut mengandung
keburukan dan kerusakan.
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Tidak diperbolehkan bagi orang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan wanita melihat aurat wanita. Dan tidak boleh
seorang laki-laki dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita dengan wanita lain dalam satu selimut".
(Hadits Riwayat Muslim)
Imam Nawawi Rahimahullahu mengatakan: "Dalam hadits tersebut terdapat larangan bagi orang laki-laki melihat
aurat laki-laki lain, dan wanita melihat aurat wanita lain. Larangan ini sama sekali tidak dapat diganggu gugat".
Selanjutnya Imam Nawawi mengatakan : "Mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Dan tidak boleh
seorang laki-laki bergabung dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita bergabung dengan wanita lain
dalam satu selimut', merupakan larangan yang sifatnya haram apabila diantara keduanya tidak terdapat pemisah. Dan itu
menunjukkan larangan penyentuhan aurat bagian tubuh mana pun, baik laki-laki maupun wanita. Hal itu telah menjadi
kesepakatan para ulama. Banyak orang yang meremehkan masalah itu, di mana mereka banyak yang mandi dalam satu
kamar mandi. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang menjaga pandangan, tangan dan anggota tubuh lainnya dari aurat
orang lain, serta memelihara auratnya jangan sampai dilihat dan disentuh oleh orang lain. Dan apabila melihat orang yang
mengabaikan hal itu, maka hendaklah mereka menjauhi dan memperingatkannya.
Dalam hal ini penulis tambahkan, larangan ini juga mencakup tidurnya seorang wanita dengan wanita lain dalam
satu tempat tidur tanpa busana sehingga mengakibatkan aurat masing-masing dari keduanya tersentuh atau terlihat. Dan hal
itu termasuk perbuatan-perbuatan haram dan sekaligus merupakan awal dari tindakan cabul.
Batasan aurat yang harus ditutupi oleh wanita Muslimah bagi wanita Muslimah lainnya adalah dari pusar sampai
ke lutut. Sedangkan aurat yang harus ditutup oleh wanita Muslimah dari pandangan wanita non-Muslimah adalah seperti
penutupan yang harus dilakukannya terhadap laki-laki yang bukan muhrimnya. Tapi banyak wanita Muslimah yang
menganggap remeh masalah ini. Sehingga tidak jarang anda melihat salah seorang dari mereka dengan tidak segan-segan
membuka auratnya di hadapan temannya baik karena adanya sebab maupun tidak. Semuanya itu merupakan perbuatan yang
jelas-jelas dilarang syari'at.
َح َّد َثَنا ُس َلْيَم اُن ْبُن َح ْر ٍب َح َّد َثَنا حامد بن زيد عن اثبت َع ْن َأَنٍس َر َيِض اُهَّلل َع ْنُه َأَّن َر ُج اًل َس َأَل الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه
َو َس َمَّل َع ِن الَّس اَعِة َفَقاَل َم ىَت الَّس اَعُة َقاَل َو َم اَذ ا َأْعَد ْدَت َلَها َقاَل اَل ْيَش َء اَّل َأيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل َو َر ُس وُهَل َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه
ِإ
َو َس َمَّل َفَقاَل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت َقاَل َأَنٌس َفَم ا َفِر ْح َنا ِبْيَش ٍء َفَر َح َنا ِبَقْو ِل الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َأْنَت َم َع َمْن
َأْح َبْب َت َقاَل َأَنٌس َفَأاَن ُأِح ُّب الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َو َأاَب َبْكٍر َو َمُع َر َو َأْر ُج و َأْن َأُكوَن َم َع ُهْم ُحِب يِّب اَّي ْمُه َو ْن َلْم َأَمْع ْل
ِإ ِإ
ِبِم ْثِل َأَمْع اِلِهْم
Sulaiman bin Harb telah menyampaikan kepada kami, dia mengatakan, ‘Kami diberitahu oleh Hammad bin Zaid dari
Tsabit dari Anas Radhiyallahu anhu ,dia mengatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Orang itu mengatakan, ‘Kapankah hari kiamat itu?’ Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, ’Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?’ Orang itu menjawab,
‘Tidak ada, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Radhiyallahu anhu (Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan hadits ini)
mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda
Rasûlullâh , ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Saya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr dan Umar. Saya
berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan
amalan yang mereka lakukan
TAKHRIJ HADITS
1. Hadits ini dibawakan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahîhnya pada empat tempat, yaitu :
Bab Manaqib Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu dengan lafazh di atas
Kitab al-Adab, Bab Ma Ja’a fi Qaulir Rajuli : Wailaka dengan lafazh:
َع ْن َأَنٍس َأَّن َر ُج اًل ِم ْن َأْه ِل اْلَباِد َيِة َأىَت الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َفَقاَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َم ىَت الَّس اَعُة َقاِئَم ٌة َقاَل
َو ْيَكَل َو َم ا َأْعَد ْدَت َلَها َقاَل َم ا َأْعَد ْدُت َلَها اَّل َأيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل َو َر ُس وُهَل َقاَل َّنَك َم َع َمْن َأْح َبْب َت َفُقْلَنا َو ْحَن ُن
ِإ ِإ
َكَذ َكِل َقاَل َنَع ْم َفَفِر ْح َنا َيْو َم ِئٍذ َفَر ًح ا َش ِد يًد ا
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang lelaki penduduk pedalaman mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Kapankah hari kiamat itu akan datang?” Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka engkau! Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut
kedatangannya?” Orang itu menjawab, “Saya tidak menyiapkan apappun, hanya saja saya mencintai Allâh dan
Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Engkau akan bersama dengan orang yang
engkau cintai.” Kami mengatakan, “Kami juga begitu.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba, “Ya.”
Mendengar ini, kami merasa sangat berbahagia hari itu
Kitab al-Adab, Bab ‘Alâmatil Hubbi fillâh (Bab tentang indikasi cinta kepada Allâh Azza wa Jalla)
َس َأَل الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َم ىَت الَّس اَعُة اَي َر ُس وَل اِهَّلل َقاَل َم ا َأْعَد ْدَت َلَها َع ْن َأَنِس ْبِن َم اٍكِل َأَّن َر ُج اًل
َص اَل ٍة َو اَل َص ْو ٍم َو اَل َص َد َقٍة َو َلِكيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل َو َر ُس وُهَل َقاَل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت َقاَل َم ا َأْعَد ْدُت َلَها ِم ْن َكِثِري
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang lelaki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Kapankah hari kiamat itu?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang itu menjawab, “Untuk
menyambutnya, saya tidak menyiapkan shalat yang banyak, tidak juga puasa yang banyak serta tidak sedekah
yang banyak, akan tetapi saya mencintai Allâh dan Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersada, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”
Kitab al-Ahkâm, Bab al-Qadha’ wal Futya fit Tharîq
عن َأَنٍس ْبِن َم اٍكِل َر َيِض اُهَّلل َع ْنُه َقاَل َبْيَنَم ا َأاَن َو الَّنُّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َخ اِر َج اِن ِم ْن اْلَمْس ِج ِد َفَلِقَيَنا َر ُج ٌل
ِع ْنَد ُس َّد ِة اْلَمْس ِج ِد َفَقاَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َم ىَت الَّس اَعُة َقاَل الَّنُّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َم ا َأْعَد ْدَت َلَها َفَأَكَّن
الَّر ُج َل اْس َتاَك َن َّمُث َقاَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َم ا َأْعَد ْدُت َلَها َكِب َري ِص َياٍم َو اَل َص اَل ٍة َو اَل َص َد َقٍة َو َلِكيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل
َو َر ُس وُهَل َقاَل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan, “Ketika saya dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar dari masjid, kami ditemui oleh seorang lelaki di sisi masjid lalu orang itu bertanya, “Wahai
Rasûlullâh! Kapankah hari kiamat itu?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang telah
engkau persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang itu terdiam lalu menjawab, “Untuk menyambutnya,
saya tidak menyiapkan shalat yang besar, tidak juga puasa yang besar serta tidak sedekah yang besar, akan tetapi
saya mencintai Allâh dan Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Engkau akan bersama
dengan orang yang engkau cintai.”
2. Hadits ini juga dibawakan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahîh beliau rahimahullah dalam Kitab al-Bir was Shilah
3. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi rahimahullah dalam Kitab Zuhud dalam kitab kitab Jami’nya dari
Ibnu Hajar rahimahullah
Bagian hadits ini yaitu lafazh :
َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت
Diriwayatkan juga dengan
اْلَمْر ُء َم َع َمْن َأَحَّب
Periwayatan dengan lafazh ini diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan yang lainnya melalui
banyak jalur periwayatan yang banyak, bahkan sebagian Ulama menyebutkan bahwa jalur periwayatn ini mencapai
derajat mutawatir.
Ibnu Katsir dalam tafsir Surat asy-Syûrâ mengatakan, “Ini diriwayat dari banyak jalur priwayatan yang mencapai
derajat mutawatir…”
Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan tentang hadits ini dengan lafazh اْل َم ْر ُء َم َع َم ْن َأَح َّب, mengatakan, “Abu
Nu’aim rahimahullah telah mengumpulkan jalur-jalur periwayatan hadits ini dalam satu juz kitab yang diberi nama
Kitâbul Muhibbîn wal Mahbûbîn. Jumlah para Sahabat yang membawakan hadits mencapai jumlah 20 orang.
Kebanyakan riwayat mereka dengan menggunakan lafazh ini dan sebagian lagi membawakannya sebagaimana lafazh
dari Anas bin Malik di atas.”
PENJELASAN HADITS
Lafazh:
َأَّن َر ُج اًل َس َأَل الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َع ِن الَّس اَعِة
Sesungguhnya seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat
Dalam sebagian riwayat dari Anas Radhiyallahu anhu dalam kitab Shahîh al-Bukhâri disebutkan bahwa lelaki tersebut
adalah seorang lelaki dari pedalaman.
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan dalam kitab al-Fath bahwa lelaki tersebut adalah Dzul Khuwaishirah, orang Yaman
yang pernah kencing di masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . dan beliau rahimahullah mengatakan hadits yang
menjelaskan tentang jati diri lelaki ini dibawakan dalam kitab ad-Daru Quthni.
Hadits dalam riwayat ad-Daru Quthni yaitu:
اَي ُم َح َّم ُد َم ىَت: َج اَء َأْع َر اُّيِب ىَل الَّنِّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َش ْي ٌخ َكِبٌري َفَقاَل: َع ْن َع ْب ِد ِهللا َو ُه َو اْبُن َم ْس ُع ْو ٍد َقاَل
ِإ
َو اِذَّل ي َبَع َثَك اِب ْلَحِّق َم ا َأْعَد ْدُت َلَها ِم ْن َكِب ِري َص اَل ٍة َو اَل ِص َياٍم اَّل يِّن ُأِح ُّب، اَل: َفَقاَل، َم ا َأْعَد ْدَت َلَها؟: الَّس اَعُة ؟ َقاَل
ِإ ِإ َفَذ َه َب الَّش ْي ُخ َفَأَخ َذ يُبوُل يِف اْلَمْس ِج ِد: َقاَل، َفَأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت: َقاَل،اَهَّلل َو َر ُس وُهَل،
Dari Abdullah yaitu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Ada orang tua yang
berasal dari pedalaman mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Orang itu bertanya, “Wahai Muhammad !
Kapankah hari kiamat?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menyambut hari kiamat?” Orang itu menjawab, “Tidak ada. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar sebagai
Nabi! Saya tidak mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja saya mencintai Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai.” Lalu orang tua itu pergi (dengan senang-red) lalu kencing di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َم ا َأْعَد ْدَت َلَها؟
Apa yang engkau persiapkan menyambut kedatangannya?
Maksudnya, amal shalih apakah yang telah engkau persiapkan untuk engkau raih balasannya jika hari kiamat tiba? Al-
Hafizh mengatakan, “Al-Kirmani mengatakan, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam merespon orang yang
bertanya menempuh metode orang bijak, yaitu merespon penanya bukan dengan sesuatu yang dia inginkan tapi dengan
sesuatu yang penting atau bahkan lebih penting.”
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت
Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitab al-Fath, “Maksudnya, dia akan dikumpulkan bersama mereka (orang dia
dicintai) itu, sehingga dia menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang dicintai itu. Dengan pemahaman ini tertolaklah
pemahaman sebagian orang yang mengatakan bahwa kedudukan mereka yaitu antara orang yang dicinta dan yang
mencintai akan berbeda. Jika ini benar, bagaimana dikatakan ‘akan bersama’? Pertanyaan ini dijawab dengan :
Kebersamaan itu bisa terwujud dengan adanya titik temu pada satu hal tertentu dan tidak mesti harus sama dalam semua
hal. Jika mereka semua telah di masukkan ke surga berarti telah bersama-sama, meskipun derajat mereka di surga berbeda.
Perkataan Anas Radhiyallahu anhu :
َفَم ا َفِر ْح َنا ِبْيَش ٍء َفَر َح َنا ِبَقْو ِل الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت
Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan dengan sesuatu sebagaimana kebahagiaan kami dengan sebab mendengar
sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”
Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan :
َفَم ا َفِر ْح َنا َبْع َد ا ْس َالِم َفْر ًح ا َأَش َّد ِم ْن َقْو ِل الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َف َّنَك َم َع َمْن َأْح َبْب َت
ِإ
Sejak memeluk Islam, kami tidak pernah merasakan kebahagiaan melebihi kebahagiaan yang kami rasakan karena
ِإل
mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai.”
Perkataan Anas Radhiyallahu anhu :
َفَأاَن ُأِح ُّب الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َو َأاَب َبْكٍر َو َمُع َر
Maka saya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu
Dalam perkataan ini, Anas Radhiyallahu anhu mengumpulkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua Sahabat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu ungkapan cinta. Mencintai kedua Sahabat yang mulia ini merupakan bagian dari
kecintaan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena cinta yang benar menuntut seseorang untuk selalu
sejalan dengan dengan orang yang dicintainya dalam mencintai apa yang dicintainya dan membenci apa yang dibenci oleh
orang yang dicintai. Abu Bakr dan Umar Radhiyalahu anhuma adalah dua Sahabat dan dua orang yang dicintai oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ُقْل ْن ُكْنْمُت ِحُت ُّبوَن اَهَّلل َفاَّتِب ُع ويِن ْحُي ِب ْب ُمُك اُهَّلل َو َيْغِفْر َلْمُك ُذ ُنوَبْمُك ۗ َو اُهَّلل َغُفوٌر َر ِح ٌمي
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-
ِإ
dosamu.” Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imran/3:31]
Allah Azza wa Jalla telah menyatukan antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua Sahabat Beliau tersebut di
dunia juga kuburan mereka. Mereka berdua akan bersamanya di surga. Mereka berdua adalah orang terbaik yang dilahirkan
oleh para wanita setelah para nabi dan para rasul. Yang terbaik diantara keduanya adalah Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan
orang terbaik setelah Umar Radhiyallahu anhu adalah Utsman Radhiyallahu anhu kemudian setelah Ali Radhiyallahu anhu.
Keutamaan mereka di atas semua Sahabat yang lainnya.
FAIDAH HADITS
Keharuskan untuk kembali kepada para Ulama dan bertanya kepada mereka tentang masalah-masalah agama
Kelemah lembutan seorang alim kepada orang yang bertanya dan mengarahkan perhatiannya kepada sesuatu yang
bisa mendatangkan manfaat yang agung
Kesempurnaan kasih sayang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan arahan Beliau n kepada
mereka agar bisa meraih sesuatu yang mendatangkan keberuntungan dan kebahagian bagi mereka
Sesungguhnya diantara indikasi baiknya Islam seseorang yaitu dia menyibukkan diri dengan suatu yang
bermanfaat baginya dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
Sesungguhnya mempersiapkan diri menyambut hari akhirat dan membekali diri untuk kehidupan setelah kematian
adalah sesuatu yang sangat penting yang harus mendapatkan perhatian serius
Hendaknya seseorang menganggap amalannya kecil, tidak mudah tertipu dengan apa yang diperbuatnya dan
meyakini bahwa dirinya penuh dengan berbagai kekurangan, (sehingga dia akan terus terpacu untuk memperbaiki
diri-red)
Keagungan kedudukan dan nilai kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dalam hadits yang shahih
disebutkan:
َثاَل ٌث َمْن ُكَّن ِف يِه َو َج َد َح اَل َو َة ا َمياِن َأْن َيُكوَن اُهَّلل َو َر ُس وُهُل َأَحَّب َلْي ِه ِم َّم ا ِس َو اَمُها َو َأْن ِحُي َّب اْلَمْر َء اَل ِحُي ُّبُه
ِإ ِإْل
اَّل ِهَّلِل َو َأْن َيْكَر َه َأْن َيُع وَد يِف اْلُكْفِر اَمَك َيْكَر ُه َأْن ُيْقَذ َف يِف الَّناِر
Ada tiga hal, barangsiapa ada pada dirinya tiga hal ini, maka dia akan merasakan manisnya iman (yaitu, yang
ِإ
pertama): Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya lebih dia cintai dibandingkan yang lainnya, (kedua) dia
mencintai seseorang, dia tidak mencintai kecuali karena Allâh dan (ketiga) dia benci kembali kepada
kekufuran sebagaimana dia benci dicampakkan kedalam api neraka
Mengarahkan perhatian kaum Muslimin agar mencintai al-haq dan orang-orang yang membawa al-haq supaya dia
juga dapat meraih kebahagiaan, karena seseorang itu akan senantiasa bersama denan orang yang dicintai
Keagungan kedudukan para Sahabat Radhiyallahu anhum dan antusiasme mereka yang sangat tinggi untuk meraih
kebaikan serta jauhnya mereka dari berbagai keburukan. Ini tergambar dalam binar-binar kebahagiaan yang
mereka rasakan saat mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت
Engkau akan bersama dengan orang yang cintai
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diarahkan kepada satu orang Sahabat berarti sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diarahkan kepada semua umatnya selama tidak dalil yang menunjukkan bahwa
sabda itu khusus untuk orang tertentu
Keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu dan Umar al-Fârûq Radhiyallahu anhu. Oleh karena itu,
Imam al-Bukhari membawakan hadits ini dalam bab yang menjelaskan tentang keutamaan Umar bin al-Khattab
Hadits ini menunjukkan bahwa para Sahabat Radhiyallahu anhum mengagungkan dan memuliakan Abu Bakr
Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu, mencintai mereka dan mengetahui kedudukan mereka
dibandingkan yang lain.
Anas Radhiyallahu anhu mengatakan :
َأْر ُج و َأْن َأُكوَن َم َع ُهْم ُحِب يِّب ِإ اَّي ْمُه َو ْن َلْم َأَمْع ْل ِبِم ْثِل َأَمْع اِلِهْم
Aku berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka, ِإmeskipun aku tidak mampu
melakukan amalan mereka
Dalam perkataan ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seseorang boleh menjadikan amal shalihnya sebagai
wasilah. Ini juga ditunjukkan oleh hadits tentang orang bersembunyi di gua.
TAKUT KEPADA ALLAH SWT
Pernahkah anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allah Azza wa Jalla ? ketahuilah, sesungguhnya
hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla akan mendorong hamba
untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
َال َيِلُج الَّناَر َر ُج ٌل َبىَك ِم ْن َخ ْش َيِة اِهَّلل َح ىَّت َيُع ْو َد الَّلُنَب يِف الْرَّض ِع َو َال ْجَي َتِم ُع ُغَباٌر يِف َس ِب ْيِل اِهَّلل َو ُدَخاُن َهَجَمَّن
Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai air susu kembali ke dalam
teteknya. Dan debu di jalan Allah tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam.( HR. at-Tirmidzi, no. 1633,
2311; an-Nasâ`i 6/12; Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264. Syaikh Salîm al-
Hilâli hafizhahullah mengatakan, “Shahîh lighairihi”. Lihat penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh
Riyâdhus Shâlihîn 1/517; no. 448)
DEFINISI JIHAD
Secara bahasa (etimologi), lafazh jihad diambil dari kata:
َاْلُو ْس ُع، َاْلَم َش َّقُة، َاْلـُج ْهُد = َالَّط اَقُة، َاْلـَج ْهُد: َهَجَد.
Yang berarti kekuatan, usaha, susah payah, dan kemampuan.
Menurut ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H), bahwa َاْلـَج ْهُدberarti kesulitan dan َاْلـُجْهُدberarti
kemampuan. Kata jihad ( ) َاْلـِج َهاُدdiambil dari kata: َج اَهَد – ُيـَج اِهُد – ِج َهاًدا.
Menurut istilah (terminologi), arti jihad adalah:
ُم ـَح اَر َبُة اْلُكَّفاِر َو ُه َو اْلُم َغاَلَبُة َو اْس ِتْفَر اُغ َم ا ِف ـْي اْلُو ْس ِع َو الَّط اَقِة ِم ْن َقْو ٍل َأْو ِف ْع ٍل: َاْلـِج َهاُد.
“Jihad adalah memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan,
baik berupa perkataan atau perbuatan.”
Dikatakan juga:
ِا ْس ِتْف َر اُغ اْلُو ْس ِع ِف ـْي ُم َد اَفَع ِة اْلَع ُد ِّو:َاْلـِج َهاُد َو اْلُم َج اَهَد ُة.
“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”
HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Baqarah ayat ke 216.
Hukum jihad memerangi orang kafir adalah fardhu kifayah berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur-an dan al-Hadits yang
shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah. Apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur kewajiban
atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya, maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:
Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan pasukan orang-orang kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan
perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Dalilnya adalah surat Al-Anfaala ayat ke 16.
Kedua: Apabila musuh menyerang dan mengepung suatu negeri kaum Muslimin yang aman, maka wajib bagi penduduk
negeri tersebut untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.
Ketiga: Apabila Imam meminta suatu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib
berangkat. Lihat, At-Taubah ayat ke 38-39.
KAIDAH-KAIDAH JIHAD
1. Jihad harus dibangun di atas dua syarat yang merupakan dasar dari setiap amal shalih yang diterima, yaitu ikhlas dan
mutaba’ah.
2. Jihad harus sesuai dengan maksud dan tujuan disyari’atkannya jihad, yaitu seorang muslim berjihad agar agama Islam
ini tegak dan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, seperti dalam hadits bahwa dikatakan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َمْن َقاَتَل: َفَأُّي َذ َكِل ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا ؟ َفَقاَل، َو ُيَقاِتُل ِر اَي ًء، َو ُيَقاِتُل ِمَح َّيًة، َالَّر ُج ُل ُيَقاِتُل َجَشاَعًة، اَي َر ُس ْو َل ِهللا
ِلَتُكْو َن ِلَك َم َة ِهللا َيِه اْلُع ْلَيا َفُهَو ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا.
“Wahai Rasulullah, seseorang berperang (karena ingin dikatakan) berani, seorang (lagi) berperang (karena ingin
dikatakan) gagah, seorang (lagi) berperang karena riya’ (ingin dilihat orang), maka yang mana yang termasuk
jihad di jalan Allah?” Kemudian Rasulullah Shallallahu berkata, “Barangsiapa yang berperang (dengan
tujuan)‘alaihi wa sallam untuk menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi, maka ia (berada) fii sabiilillaah (di
jalan Allah).”(HR. Bukhari & Muslim)
3. Jihad harus dengan ilmu dan pemahaman tentang agama, karena jihad ini termasuk ibadah yang paling agung dan
ketaatan yang paling mulia.
4. Jihad harus dengan keadilan dan menjauhi permusuhan.
5. Jihad harus bersama Imam kaum muslimin atau dengan izinnya, yang baik maupun yang jahat.
Ini termasuk kaidah yang paling penting yang harus ada dalam jihad fii sabiilillaah. Karena jihad –terutama jihad
melawan musuh dengan jiwa- tidak sempurna kecuali dengan kekuatan, dan kekuatan tidak ada kecuali dengan
perkumpulan, dan perkumpulan tidak terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak
benar kecuali dengan patuh dan taat. Semua perkara yang disebutkan ini wajib, tidak sempurna dan tidak tegak
sebagiannya tanpa sebagian yang lain, bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya.Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َو ْن َأَم َر ِبَغِرْي ِه َف َّن، َف ْن َأَم َر ِبَتْقَو ى ِهللا َو َعْد ٍل َف َّن ُهَل ِبَذ َكِل َأْج ًر ا، َّنَم ا ا َم اُم ُج َّنٌة ُيَقاَتُل ِم ْن َو َر اِئِه َو ُيَّتَقى ِبِه
ِإ ِإ ِإ ِإ
ِإ َعَلْي ِهِإْلِوْز ًر ا.
“Sesungguhnya imam itu adalah perisai, ia akan diperangi dari belakangnya [30] dan dia menjadi perisai (dari
depan). Jika imam itu menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat adil, maka dia mendapat pahala.
Tetapi jika dia menyuruh kepada selain itu, maka dia mendapat dosa.”( Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2957) dan
Muslim (no. 1841), dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berkata: Shalat itu boleh di belakang setiap orang yang
baik maupun yang jahat, jihad bersama semua khalifah (pemimpin yang baik maupun jahat), tidak membangkang
kepada penguasa dengan pedang, dan mendo’akan mereka dengan kebaikan, maka dia telah keluar dari perkataan
Khawarij yang pertama dan yang terakhir.”
Imam Abu Ja’far at-Thahawi rahimahullah berkata,
“Haji dan jihad tetap berlaku bersama ulil amri (penguasa) kaum Muslimin, baik maupun jahat. Tidak ada yang dapat
membatalkan dan merusaknya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib diketahui bahwa mentaati ulil amri termasuk kewajiban
agama yang paling besar. Bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya. Karena sesungguhnya tidak
sempurna maslahat manusia kecuali dengan bermasyarakat untuk keperluan sebagian mereka kepada sebagian yang
lainnya. Dan wajib bagi mereka ketika bermasyarakat ada ketua/pemimpin… karena Allah Ta’ala mewajibkan amar
ma’ruf nahi munkar, dan itu tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Begitu juga semua yang
Allah wajibkan berupa jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat jum’at, shalat ‘ied, menolong orang yang terzhalimi,
menegakkan hukuman hadd, semuanya tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Karena inilah
diriwayatkan bahwa penguasa itu naungan Allah di muka bumi. Dan dikatakan: enam puluh tahun bersama imam
yang zhalim lebih baik dari pada sehari tidak ada penguasa. Penelitian telah membuktikannya… Maka yang wajib
adalah menjadikan kepemimpinan (atas dasar) agama dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena
pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya termasuk mendekatkan diri
(kepada Allah) yang paling utama, karena sesungguhnya kepemimpinan itu merusak keadaan kebanyakan manusia
dengan menginginkan kekuasaan atau harta.”
6. Jihad fii sabiilillaah dilakukan sesuai dengan keadaan mereka, sedang lemah atau kuat.
Karena keadaan itu berubah-ubah sesuai waktu dan tempat. Saat kondisi ummat Islam lemah sebagaimana saat ini,
maka wajib bersabar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
ketika di Makkah.
7. Jihad itu harus menghasilkan kebaikan yang jelas, agar tidak ada kerusakan yang lebih besar.
Karena jihad itu disyari’atkan untuk menghasilkan kebaikan-kebaikan dan mencegah kerusakan didalam Islam dan
kaum Muslimin, baik bagi individu maupun masyarakat. Dan jihad itu senantiasa disyari’atkan jika kaum Muslimin
mengetahui dengan yakin atau bahwasanya dengan diadakannya jihad akan menghasilkan kebaikan-kebaikan sesuai
dengan tujuan syari’at. Tetapi jika diyakini atau dikira bahwa dengan dilakukannya jihad akan terjadi kerusakan yang
lebih besar, maka ketika itu jihad tidak disyari’atkan dan tidak diperintahkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Jihad dan amal shalih yang paling utama adalah yang
paling ta’at kepada Rabb dan paling bermanfaat bagi manusia. Tetapi jika (jihad dan amal shalih) itu menghasilkan
mudharat dan mencegah untuk mendapatkan yang lebih bermanfaat, maka itu tidak menjadi amal shalih.” [36]
Kesimpulannya, wajib berhukum kepada al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap
perkara yang kecil maupun besar, dan itu mencakup empat hal, yakni keyakinan yang shahih, niat yang ikhlas,
tawakkal yang benar, dan mengikuti contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik.
KESIMPULAN
1. Jihad adalah seutama-utama amalan.
2. Di dalam jihad terdapat kebaikan dunia dan akhirat, dan meninggalkannya merupakan kerugian dunia dan akhirat.
3. Jihad di jalan Allah mengantarkan seseorang kepada petunjuk jalan kepadanya, dan ditambah petunjuk.
4. Dalam jihad terdapat kesempurnaan manfaat bagi manusia.
5. Jihad mengangkat kezhaliman dari diri sendiri dan orang lain.
6. Jihad mencakup semua macam ibadah yang zhahir maupun yang bathin.
7. Orang yang berjihad dimuliakan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
8. Menghidupkan kembali cara beragama yang benar dan usaha itu harus tegak di atas jihad di jalan Allah.
9. Dalam jihad terdapat pengampunan dosa-dosa.
10. Jihad merupakan sebab tersingkirnya fanatisme golongan, kelompok, partai, nasionalisme. Bahkan jihad menjadikan
ummat berusaha untuk mewujudkan tujuan yang satu, yaitu agar kalimat Allah tinggi.
11. Jihad merupakan puncaknya amal, dan terkumpul di dalamnya amal-amal yang mulia.
12. Dalam jihad terdapat puncaknya tawakkal kepada Allah Ta’ala dan puncaknya sabar.
13. Dalam jihad terdapat hakikat zuhud dalam kehidupan dunia.
14. Dan faedah-faedah lainnya.
MENUNDUKKAN MATA
Mata adalah sahabat sekaligus penuntun bagi hati. Mata mentransfer berita-berita yang dilihatnya ke hati sehingga
membuat pikiran berkelana karenanya. Karena melihat secara bebas bisa menjadi faktor timbulnya keinginan dalam hati,
maka syariat yang mulia ini telah memerintahkan kepada kita untuk menundukkan pandangan kita terhadap sesuatu yang
dikhawatirkan menimbulkan akibat yang buruk.
Pahala bagi Orang yang Menundukkan Pandangannya dari Perkara yang Haram
Begitu beratnya menundukkan pandangan mata, apalagi pada zaman sekarang ini, sehingga Allah pun akan membalas
hamba-hambaNya yang istiqomah melaksanakan perintah-Nya dengan pahala yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam besabda,
الَّنْظ َر ُة َس ْهٌم ِم ْن ِس َهاِم ْبِليَس َم ْس ُم وَم ٌة َفَم ْن َتَر َكَها ِم ْن َخ ْو ِف اِهَّلل َأاَث َبُه َج َّل َو َع َّز َميااًن ِجَيُد َح اَل َو َتُه يِف َقْلِب ِه
ِإ
”Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa yang meninggalkannya
ِإ
karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya yang terasa manis baginya” (HR. Al-
Hakim dalam Al-Mustadrak no. 7875).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َو اْح َفُظ وا، َو َأُّدوا َذ ا اْؤ ُتِم ْنْمُت، َو َأْو ُف وا َذ ا َو َعْد ْمُت، اْص ُد ُقوا َذ ا َح َّد ْثْمُت: اَمْض ُنوا يِل ِس ًّتا ِم ْن َأْنُفِس ْمُك َأَمْض ْن َلُمُك اْلَجَّن َة
ِإ ِإ ِإ َو ُكُّفوا َأْيِد َيْمُك، َو ُغُّض وا َأْبَص اَر ْمُك، ُفُر وَج ْمُك
”Jaminlah aku dengan enam perkara, dan aku akan menjamin kalian dengan surga: jujurlah (jangan berdusta) jika
kalian berbicara; tepatilah jika kalian berjanji; tunaikanlah jika kalian dipercaya (jangan berkhianat); peliharalah
kemaluan kalian; tahanlah pandangan kalian; dan tahanlah kedua tangan kalian.” (HR. Ahmad no. 22757. Dinilai
hasan lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).
KERAJAAN SYETAN
“Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda, “Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia
mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara
mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’
Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah
(talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah
kamu.'” (HR. Muslim 2813).
Faidah hadits:
1. Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda manusia,
sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri
termasuk diantara perbuatan yang disukai iblis.
2. Iblis menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah Ta’ala, yang berada di atas air dan di atas
langit ketujuh.
3. Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis, karena perceraian
memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan keturunan. Oleh
karena itu, salah satu diantara dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara
suami dan istri. Allah berfirman,
“Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang
dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 102).
Serupa kita tahu kalau iblis merupakan pemimpin para setan yang senantiasa menggoda manusia buat berpaling dari
allah swt. sehabis diusir dari surga karna kesombongannya, iblis juga langsung membangun istana yang megah di tengah
lautan.
Mengapa iblis memilah lautan bagaikan istananya? karna luas lautan merupakan yang terbanyak, terlebih lagi
menggapai 3 perempat dari totalitas luas bumi.
hujjatul islam, (AL) imam al - ghazali sempat berkata bahwasanya iblis itu lampaunya bernama al - abid yang
maksudnya merupakan pakar ibadah. pemberian nama al - abid ini spesial buat penunggu langit kesatu, lain halnya dengan
langit kedua dan juga seterusnya. begitu terkenalnya iblis dengan pemberian, istilah nama - nama masing - masing langit
karna iblis kala itu benar hamba allah swt yang taat.
Pada langit kedua, iblis diucap dengan ar - raki (pakar ruku’) dan juga di langit ketiga diberi nama as - saajid (pakar
sujud). di langit keempat namanya merupakan al - khaasyi (senantiasa merendah dan juga cemas kepada allah) , pada langit
ke 5 namanya merupakan at - taqi (senantiasa bertaqwa). sebaliknya nama di langit keenam merupakan al - mujtahid
(bersungguh - sungguh dalam beribadah) dan juga langit ketujuh merupakan azazil dan juga az - zahid (senantiasa zuhud).
Mulanya, iblis menggambarkan salah satu malaikat penunggu surga yang doanya populer makbul (langsung
dikabulkan). karna doanya yang jitu tersebut, malaikat - malaikat lain terlebih lagi kerap memohon kepada iblis buat
didoakan supaya para malaikat tidak tertimpa laknat allah swt. Kejadian itu terjalin manakala malaikat israfil yang lagi
berkelana mengitari surga mengalami suatu tulisan. tulisan tersebut berbunyi, ”seorang hamba allah swt yang telah lama
mengabdi hendak menemukan laknat allah swt dengan karena menolak perintah allah. ” Tulisan itu berposisi di salah satu
pintu surga, dan juga tidak pelak lagi tulisan itu telah membikin malaikat israfil menangis tersedu. dia cemas sekali, hamba
allah swt yang diartikan merupakan pribadinya. Tidak cuma malaikat israfil, para malaikat lain pula ikut menangis, dimana
malaikat - malaikat lain itu pula mempunyai kekokohan sama serupa malaikat israfil. Kesimpulannya mereka setuju buat
menghadiri iblis (azazil) dan juga memohon didoakan supaya tidak tertimpa laknat dari allah swt. pada waktu itu, kala
mendengar uraian israfil, azazil mengatakan, ”ya allah…! hamba - mu yang manakah yang berani menentang perintahmu
itu, begitu saya turut mengutuknya. ” Azazil kemudian memanjatkan doa, ”ya allah, janganlah engkau murka atas mereka. ”
Azazil mengingkari perintah allah swt
Sepanjang kurun waktu 120 ribu tahun, azazil (iblis) , menyandang gelar kehormatan dan juga kemuliaan, dan juga
sampai tibalah nabi adam as diciptakan. allah swt menyuruh seluruh malaikat sujud kepada adam yang diciptakan bagaikan
khalifah (pemimoin) di bumi. Seluruh malaikat lekas patuh dan juga melakukan perintah allah swt tersebut. tetapi azazil
(iblis) malah membangkang. di menolak melakukan perintah allah swt buat bersujud kepada adam karna lesombongannya.
semenjak dikala seperti itu iblis diperuntukan simbol dari kesombongan, tentang takabur, tentang senantiasa besar hati diri.
sifat - sifat inilah yang setelah itu ditularkan oleh iblis supaya tersesat dari jalur allah swt. Iblis mengatakan, “ya allah, saya
lebih baik daripada adam. kau mengadakan saya dari api, sebaliknya adam dari tanah. ” karna pembangkangan tersebut,
allah swt berfirman supaya iblis keluar dari surga - nya.
Nah, sejak terlempar dari surga, iblis membangun singgasana dan juga istana di lautan. perihal itu dimaksudkan buat
menandingi arsy allah swt yang berposisi di atas air di langit ke 7. Perihal ini merujuk pada suatu hadist nabi yang
menarangkan kalau istana dan juga pusat kerajaan iblis berposisi di tengah lautan. terlebih lagi diucap oleh mereka serupa
arsy di atas air. dari tempat seperti itu mereka mengatur segala kegiatan penyesatan terhadap umat manusia.
Serupa halnya kerajaan pada lazimnya, istana iblis ini pula dipadati dengan dayang - dayang, pengawal dan prajurit -
prajuritnya. iblis mengendalikan dan juga menyusun strategi segala kejahatan dan juga kemaksiatan dari istananya yang
berposisi di tengah lautan. setelah itu mereka mengirim bala tentaranya mengarah daratan buat melangsungkan aksinya.
Dalam suatu hadits riwayat imam ahmad, rasulullah saw sempat bertanya pada ibnu shayyad, “apa yang lagi kalian
amati? ” “saya memandang singgasana di atas lautan yang dikelilingi oleh sebagian ular, ” jawab ibnu shayyad.
Rasulullah juga membantahnya, “sesungguhnya dia telah memandang kerajaan iblis, ” (HR. Ahmad).
Imam ibnu katsir dalam kitab fenomenal “al - bidayah wannihayah” menarangkan kalau iblis mempunyai banyak
tentara dan juga memilah lautan bagaikan istana dan juga pusat kerajaan mereka. Serupa dikenal kalau luas lautan
menggapai 3 perempat dari bumi. oleh karna seperti itu iblis menempatkan kerajaannya di lautan supaya dia lebih bebas
memerintah bala tentaranya yang jumlahnya amat banyak sampai - sampai membutuhkan pusat kerajaan yang luas. wallahu
a’lam.
DAJJAL
Dajjal asalnya berarti “”الَّتْغ ِط َية, bermakna menutupi. Orang yang berdusta disebut Dajjal karena ia menutupi kebenaran
dengan kebatilan.
Dajjal yang dimaksud dalam bahasan ini adalah Dajjal akbar yang akan muncul menjelang hari kiamat di zaman Imam
Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam.
Kedua, Al Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa ‘Isa bin Maryam akan turun di akhir zaman seperti pada firman Allah
Ta’ala,
“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.” (QS. An Nisa’:
159). Dan pada firman Allah Ta’ala,
“Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat.” (QS. Az Zukhruf: 61).
Jika benar Isa akan turun di akhir zaman dan misi beliau adalah membunuh Dajjal, maka cukup dengan kita menyebut
turunnya Isa, itu menandakan akan munculnya Dajjal. Apalagi antara Isa dan Dajjal sama-sama disebut Al Masih.
Inilah di antara alasan mengapa Dajjal tidak disebutkan dalam Al Qur’an sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al
Asqolani.
Alasan ketiga yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.
Ketiga: Berita tentang Dajjal juga sudah disebutkan dalam ayat Al Qur’an,
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghofir/Al Mu’min: 57)
Yang dimaksud dengan penciptaan manusia di sini adalah Dajjal. Sebagaimana yang mendukung hal ini adalah hadits,
َم ا َبَنْي َخ ْلِق آَد َم ىَل ِق َياِم الَّس اَعِة َخ ْلٌق َأْكُرَب ِم َن اَّدل َّج اِل
“Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya (cobaannya) lebih besar
ِإ
dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946)
Mengenai surat Ghofir ayat 57, Al Baghowi mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan: yaitu yang lebih besar dari ujian
dari Dajjal. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, yaitu orang Yahudi yang selalu memperdebatkan
tentang Dajjal.”
Sifat-Sifat Dajjal
Beberapa sifat Dajjal disebutkan dalam beberapa hadits berikut ini.
Dari ‘Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َف َذ ا َر ُج ٌل آَد ُم َس ْب ُط الَّش َع ِر َيْنُط ُف – َأْو َهُيَر اُق – َر ْأُس ُه َم اًء ُقْلُت َمْن َه َذ ا، « َبْيَنا َأاَن اَن ٌمِئ َأُط وُف اِب ْلَكْع َب ِة
َأَكَّن َع ْي َن ُه ِع َنَب ٌة َط اِف َي ٌة، َّر ْأِس َأْع َو ُر اْلَع ِنْي± َف َذ ا َر ُج ٌل َج ِس ٌمي َأَمْحُر َجْع ُد ال، َّمُث َذ َه ْب ُت َأْلَتِفُت ِإ. َقاُلوا اْبُن َم ْر َمَي
َر ُج ٌل ِم ْن ُخ َز اَعَة. » َأْقَر ُب الَّناِس ِبِه َش ِإًهَبا اْبُن َقَط ٍن. َقاُلوا َه َذ ا اَّدل َّج اُل
“Ketika aku tidur, aku bermimpi thawaf di ka’bah, tak tahunya ada seseorang yang rambutnya lurus, kepalanya
meneteskan atau mengalirkan air. Maka saya bertanya, ‘Siapakah ini? ‘ Mereka mengatakan, ‘Ini Isa bin Maryam’.
Kemudian aku menoleh, tak tahunya ada seseorang yang berbadan besar, warnanya kemerah-merahan, rambutnya
keriting, matanya buta sebelah kanan, seolah-olah matanya anggur yang menjorok. Mereka menjelaskan, ‘Sedang ini
adalah Dajjal. Manusia yang paling mirip dengannya adalah Ibnu Qaththan, laki-laki dari bani Khuza’ah.'”(HR.
Bukhari & Muslim)
Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ىِّن َقْد َح َّد ْثُتْمُك َع ِن اَّدل َّج اِل َح ىَّت َخ ِش يُت َأْن َال َتْع ِقُلوا َّن َم ِس يَح اَّدل َّج اِل َر ُج ٌل َقِص ٌري َأْفَحُج َجْع ٌد َأْع َو ُر َم ْط ُم وُس
َأ َل ْمُك َف ُأْل َل ْمُك َف َل َأِإ َال ٍة ِت َل ْل ِإ
ْع ِب ْي َّن وا
َو َر َء ِإ َس ْي ُم َر َّب َس َو َر ْع ا َع ِب ْن ا َجْح َئ اَن ِب َسْي ِنْي َع ا
“Sungguh, aku telah menceritakan perihal Dajjal kepada kalian, hingga aku kawatir kalian tidak lagi mampu
memahaminya. Sesungguhnya Al Masih Dajjal adalah seorang laki-laki yang pendek, berkaki bengkok, berambut
keriting, buta sebelah dan matanya tidak terlalu menonjol dan tidak pula terlalu tenggelam. Jika kalian merasa
bingung, maka ketahuilah bahwa Rabb kalian tidak bermata juling.”(HR. Abu Dawud)
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda tentang Dajjal,
َأْع َو ُر ِه َج اٌن َأْز َه ُر َأَكَّن َر ْأَس ُه َأَص ٌةَل َأْش َبُه الَّناِس ِبَع ْب ِد اْلُعَّز ى ْبِن َقَط ٍن َفِإ َّم ا َه َكَل اْلُهُكَّل َفِإ َّن َر َّبْمُك َتَع اىَل َلْيَس ِبَأْع َو َر
“(Dajjal) buta sebelah, putih dan berkilau, seolah kepalanya adalah (kepala) ular, dan (dia) adalah orang yang paling
mirip dengan Abdul ‘Uzza bin Qathan. Jika dia itu celaka dan sesat, maka ketahuilah bahwa Tuhan kalian tidaklah
buta sebelah.”(HR. Ahmad)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ىِّن َخ اُمَت َأْلِف َنٍّىِب َأْو َأْكُرَث َم ا ُبِع َث َنٌّىِب ُيَّتَبُع َّال َقْد َح َّذ َر ُأَّم َتُه اَّدل َّج اَل َو ىِّن َقْد ُبَنِّي ىِل ِم ْن َأْمِر ِه َم ا َلْم ُيَبْنَّي َألَح ٍد
ِإ ِإ
َو َّنُه َأْع َو ُر َو َّن َر َّبْمُك َلْيَس ِبَأْع َو َر َو َع ْي ُنُه اْلُيْم ىَن َع ْو َر اُء َج اِح َظ ٌة َو َال ْخَتَفى ِإ َأَكَهَّنا َخُناَم ٌة ىِف َح اِئ ٍط ُم َجَّص ٍص َو َع ْي ُن ُه
ِإ ِإ
اْلُيَرْس ى َأَكَهَّنا َكْو َكٌب ُد ِّر ٌّى َم َع ُه ِم ْن ِّلُك ِلَس اٍن َو َم َع ُه ُص وَر ُة اْلَجَّنِة َخ َرْض اُء ْجَي ِر ى ِف َهيا اْلَم اُء َو ُص وَر ُة الَّن اِر َس ْو َد اُء
» َتْد َخ ُن
“Sesungguhnya aku adalah penutup dari seribu Nabi yang telah diutus, dan tidaklah ada seorang Nabi yang diutus
kecuali telah memperingatkan kepada umatnya tentang Dajjal, dan sungguh aku telah diberi penjelasan berkenaan
dengannya yang tidak diberikan kepada seorang pun. Sesungguhnya ia adalah seorang yang bermata juling, sedang
Rabb kalian bukanlah bermata juling. Mata kanannya melotot -tidak bisa dipungkiri- seakan-akan dahak yang
menempel pada tembok yang dicat, sedang mata kirinya seperti bintang yang terang. Dan aku juga diberi penjelasan
tentang semua ucapan, dan gambaran surga yang berwarna hijau yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Serta
gambaran neraka yang berwarna hitam berasap.”(HR.Ahmad)
Di antara dua mata Dajjal tertulis KAFIR, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
َّنُه َم ْكُتوٌب َبَنْي َع ْي َنْيِه اَك ِف ٌر َيْقَر ُؤ ُه َمْن َكِر َه َمَع ُهَل َأْو َيْقَر ُؤ ُه ُّلُك ُمْؤ ِم ٍن
ِإ
“Di antara kedua matanya tertulis KAFIR yang bisa dibaca oleh orang yang membenci perbuatannya atau bisa dibaca
oleh setiap orang mu`min.”(HR. Muslim, No. 169)
Dalam hadits diceritakan mengenai Dajjal bahwa ia tidak memiliki keturunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُه َو َع ِقٌمي َال ُيوُدَل ُهَل
“Dajjal itu mandul.”(HR. Muslim, No. 2927)
Demikian penjelasan ringkas mengenai Dajjal dari beberapa hadits, terkhusus mengenai ciri-ciri Dajjal. Jika tidak
ditemukan ciri-ciri demikian, maka tidak bisa disebut Dajjal Akbar yang akan muncul menjelang hari kiamat. Jadi tidak
bisa kita katakan–misalnya–George Bush itu adalah Dajjal karena memang tidak ada ciri-ciri tersebut di atas.
َفَي ْأىِت َعىَل اْلَق ْو ِم َفَي ْد ُع وْمُه َفُيْؤ ِم ُن وَن ِب ِه َو َيْس َتِج يُبوَن ُهَل َفَي ْأُم ُر الَّس َم اَء َفُتْم ِط ُر َو اَألْر َض َفُتْنِب ُت َفُرَت وُح َعَلِهْي ْم
َس اِر َح ُهُتْم َأْط َو َل َم ا اَك َنْت ُذ ًر ا َو َأْس َبَغُه ُرُض وًعا َو َأَم َّد ُه َخ َو اَرِص َّمُث َيْأىِت اْلَقْو َم َفَيْد ُع وْمُه َفُرَي ُّدوَن َعَلْي ِه َقْو ُهَل َفَيْنِرَص ُف
َفَتْتَبُع ُه ُكُنوُز َه ا. َع ُهْنْم َفُيْص ِب ُح وَن ُم ْم ِحِلَني َلْيَس ِبَأْيِد ِهي ْم ْىَش ٌء ِم ْن َأْم َو اِلِهْم َو َيُمُّر اِب ْلَخ ِر َبِة َفَيُقوُل َلَها َأْخ ِر ىِج ُكُن وَز ِك
َكَيَع اِس يِب الَّنْح ِل
“Ia mendatangi kaum dan menyeru mereka, mereka menerimanya. Ia memerintahkan langit agar menurunkan
hujan, lalu langit menurunkan hujan. Ia memerintahkan bumi agar mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, lalu bumi
mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Lalu binatang ternak mereka pergi dengan punuk yang panjang, lambung
yang lebar dan kantong susu yang berisi lalu kehancuran datang lalu ia berkata padanya: ‘Keluarkan harta
simpananmu.’ Lalu harta simpanannya mengikutinya seperti lebah-lebah jantan.”(HR. Muslim)
5. Dajjal membunuh seorang pemuda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara panjang lebar tentang Dajjal sebagiannya disebutkan dalam
hadits,
َفَيْخ ُر ُج َلْي ِه، َفَيِزْن ُل َبْع َض الِّس َباِخ اَّلىِت َتىِل اْلَم ِد يَن َة، َيْأىِت اَّدل َّج اُل َو ُه َو ُم َح َّر ٌم َعَلْي ِه َأْن َي ْد ُخَل ِنَق اَب اْلَم ِد يَن ِة
ِإ
َفَيُق وُل َأْش َهُد َأَّن َك اَّدل َّج اُل اِذَّل ى َح َّد َثَنا َر ُس وُل اِهَّلل – صىل، َيْو َم ِئٍذ َر ُج ٌل َو ْه َو َخ ُرْي الَّناِس َأْو ِم ْن ِخ َياِر الَّناِس
. َه ْل َتُش ُّكوَن ىِف اَألْم ِر َفَيُقوُل وَن َال، َفَيُقوُل اَّدل َّج اُل َأَر َأْيْمُت ْن َقَتْلُت َه َذ ا َّمُث َأْح َيْي ُتُه، هللا عليه وسمل – َح ِد يَثُه
َفِرُي يُد اَّدل َّج اُل َأْن َيْقُتُهَل َفَال ُيَس َّلُط َعَلْي ِه. َفَيْقُتُهُل َّمُث ْحُي ِييِه َفَيُقوُل َو اِهَّلل َم ا ُكْنُت ِف يَك َأَش َّد َبِصِإ َري ًة ِم ىِّن اْلَيْو َم
“Dajjal datang dan diharamkan masuk jalan Madinah. Lantas ia singgah di lokasi yang tak ada tetumbuhan
dekat Madinah. Kemudian ada seseorang yang mendatanginya yang ia adalah sebaik-baik manusia atau di antara
manusia terbaik, dia berkata, ‘Saya bersaksi bahwa engkau adalah Dajjal yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah ceritakan kepada kami.’ Kemudian Dajjal mengatakan, ‘Apa pendapat kalian jika aku membunuh
orang ini lantas aku menghidupkannya, apakah kalian masih ragu terhadap perkara ini?’ Mereka menjawab,
‘Tidak’. Maka Dajjal membunuh orang tersebut kemudian menghidupkannya, namun orang tersebut tiba-tiba
mengatakan, ‘Ketahuilah bahwa hari ini, kewaspadaanku terhadap diriku tidak sebesar kewaspadaanku
terhadapmu! ‘ Lantas Dajjal ingin membunuh orang itu, namun ia tak bisa lagi menguasainya.”(HR. Bukhari)
Disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri,
ْخَي ُر ُج اَّدل َّج اُل َفَيَتَو َّج ُه ِق َبُهَل َر ُج ٌل ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنَني َفَتْلَقاُه اْلَمَس اِلُح َم َس اِلُح اَّدل َّج اِل َفَيُقوُل وَن ُهَل َأْيَن َتْع ِم ُد َفَيُق وُل َأِمْعُد
َفَيُق وُل َبْع ُض ُهْم. َفَيُقوُلوَن اْقُتُل وُه.ِإ ىَل َه َذ ا اِذَّل ى َخ َر َج – َقاَل – َفَيُقوُلوَن ُهَل َأَو َم ا ُتْؤ ِم ُن ِبَر ِّبَنا َفَيُقوُل َم ا ِبَر ِّبَنا َخ َفاٌء
ِلَبْع ٍض َأَلْيَس َقْد َهَناْمُك َر ُّبْمُك َأْن َتْقُتُلوا َأَح ًد ا ُد وَنُه – َقاَل – َفَيْنَط ِلُق وَن ِب ِه ىَل اَّدل َّج اِل َف َذ ا َر آُه اْلُم ْؤ ِم ُن َق اَل اَي َأَهُّيا
ِإ ِإ
َق اَل َفَي ْأُم ُر اَّدل َّج اُل ِب ِه َفُيَش َّبُح َفَيُق وُل ُخ ُذ وُه-صىل هللا عليه وسمل- الَّناُس َه َذ ا اَّدل َّج اُل اِذَّل ى َذ َكَر َر ُس وُل اِهَّلل
– َفُيوَس ُع َظ ْهُر ُه َو َبْط ُنُه ْرَض اًب – َقاَل – َفَيُقوُل َأَو َم ا ُتْؤ ِم ُن ىِب َقاَل َفَيُقوُل َأْنَت اْلَم ِس يُح اْلَك َّذ اُب – َق اَل. َو ُّجُشوُه
َفُيْؤ َم ُر ِبِه َفُيْؤ ُرَش اِب ْلِمْئَش اِر ِم ْن َم ْفِر ِق ِه َح ىَّت ُيَفَّر َق َبَنْي ِر ْج َلْي ِه – َقاَل – َّمُث َيْم ىِش اَّدل َّج اُل َبَنْي اْلِقْط َعَتِنْي َّمُث َيُقوُل ُهَل
َفَيْس َتِو ى َقاِئًم ا – َقاَل – َّمُث َيُقوُل ُهَل َأُتْؤ ِم ُن ىِب َفَيُق وُل َم ا اْز َدْدُت ِف يَك َّال َبِص َري ًة – َق اَل – َّمُث َيُق وُل اَي َأَهُّيا. ُقْم
الَّن اُس َّنُه َال َيْف َع ُل َبْع ِد ى ِبَأَح ٍد ِم َن الَّن اِس – َق اَل – َفَيْأُخ ُذ ُه اَّدل َّج اُل ِلَيْذ َحَب ِإُه َفُيْجَع َل َم ا َبَنْي َر َقَبِت ِه ىَل َتْر ُقَو ِت ِه
ِإ ِإ
َحُناًس ا َفَال َيْس َتِط يُع َلْي ِه َس ِبيًال – َقاَل – َفَيْأُخ ُذ ِبَيَد ْيِه َو ِر ْج َلْي ِه َفَيْق ِذ ُف ِب ِه َفَيْح ِس ُب الَّن اُس َأَّنَم ا َقَذ َف ُه ىَل الَّن اِر
ِإ ِإ
« َه َذ ا َأْع َظ ُم الَّناِس َش َهاَدًة ِع ْنَد َر ِّب اْلَع اَلِم َني-صىل هللا عليه وسمل- َفَقاَل َر ُس وُل اِهَّلل.» َو َّنَم ا ُأْلِقَى ىِف اْلَجَّنِة
“Dajjal muncul lalu seseorang dari kalangan kaum mu`minin menuju ke arahnya lalu bala tentara Dajjal yang ِإ
bersenjata menemuinya, mereka bertanya, ‘Kau mau kemana? ‘ Mu`min itu menjawab, ‘Hendak ke orang yang
muncul itu.’ Mereka bertanya, ‘Apa kau tidak beriman ada tuhan kami? ‘ Mu`min itu menjawab: ‘Rabb kami
tidaklah samar.’ Mereka berkata, ‘Bunuh dia.’ Lalu mereka saling berkata satu sama lain, ‘Bukankah tuhan kita
melarang kalian membunuh seorang pun selain dia.’ Mereka membawanya menuju Dajjal. Saat orang mu`min
melihatnya, ia berkata, ‘Wahai sekalian manusia, inilah Dajjal yang disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.’ Lalu Dajjal memerintahkan agar dibelah. Ia berkata, ‘Ambil dan belahlah dia.’ Punggung dan
perutnya dipenuhi pukulan lalu Dajjal bertanya, ‘Apa kau tidak beriman padaku? ‘ Mu`min itu menjawab, ‘Kau
adalah Al Masih pendusta? ‘ Lalu Dajjal memerintahkannya digergaji dari ujung kepala hingga pertengahan
antara kedua kaki. Setelah itu Dajjal berjalan di antara dua potongan tubuh itu lalu berkata, ‘Berdirilah!’ Tubuh
itu pun berdiri. Selanjutnya Dajjal bertanya padanya, ‘Apa kau beriman padaku?’ Ia menjawab, ‘Aku semakin
mengetahuimu.’ Setelah itu Dajjal berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang
dilakukan seperti ini setelahku.’ Lalu Dajjal mengambilnya untuk disembelih, kemudian antara leher dan tulang
selangkanya diberi perak, tapi Dajjal tidak mampu membunuhnya. Kemudian kedua tangan dan kaki orang itu
diambil lalu dilemparkan, orang-orang mengiranya dilempari ke neraka, tapi sesungguhnya ia dilemparkan ke
surga.” Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia adalah manusia yang kesaksiannya
paling agung di sisi Rabb seluruh alam.“(HR. Muslim)
Pengikut Dajjal
Pengikut Dajjal adalah dari Yahudi, non Arab dan bangsa Turk. Yang menjadi pengikutnya pula beraneka ragam, ada juga
orang Arab dan wanita.
Beberapa riwayat yang membuktikan hal ini.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َيْتَبُع اَّدل َّج اَل ِم ْن ُهَيوِد َأْص َهَباَن َس ْب ُع وَن َأْلًفا َعَلِهْي ُم الَّط َياِلَس ُة
“Yang mengikuti Dajjal adalah orang Yahudi dari Ashbahan (Iran) dan jumlahnya ada 70.000 orang dan mereka
memakai thilsan (yang menutup pundak dan badan)” (HR. Muslim no. 2944).
Di kalangan orang Yahudi, Dajjal dikenal dengan Al Masih bin Dawud (Lihat Al Yaumul Akhir-Al Qiyamatush Shugro,
244).
Syaikh Salim bin I’ed Al Hilali berkata, “Mengapa Nabi menyebutkan Yahudi Ashbahan (Iran) secara khusus?! Jawabnya,
karena hubungan yang amat erat antara Yahudi dengan Syi’ah. Sejarah mencatat bahwa kaum Syi’ah sepanjang masa
selalu membantu kaum Yahudi untuk menghancurkan kaum muslimin, tidak seperti yang sering digambarkan oleh media-
media penyesat sekarang yang menggambarkan bahwa kaum Syi’ah mengusir Yahudi dan memerdekakan negeri dari
Yahudi. Demi Allah, semua itulah politik dan kedustaan”. (Kaset Syarh Ushul Sunnah Ahmad bin Hanbal no. 9)
Dalam hadits Abu Bakr Ash Shiddiq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَّدل َّج اُل ْخَي ُر ُج ِم ْن َأْر ٍض اِب ْلَم ِرْش ِق ُيَقاُل َلَها ُخ َر اَس اُن َيْتَبُع ُه َأْقَو اٌم َأَكَّن ُو ُج وَه ُهُم اْلَم َج اُّن اْلُم ْط َر َقُة
“Dajjal itu keluar dari bumi sebelah barat yang disebut Khurasan. Dajjal akan diikuti oleh kaum yang wajah mereka
seperti tameng yang dilapisi kulit”. Kata Ibnu Katsir, “Nampaknya –wallahu a’lam- mereka adalah bangsa Turk yang
menjadi penolong Dajjal nantinya.” (An Nihayah Al Fitan wal Malahim, 1: 117).
Yang menunjukkan pula bahwa pengikut Dajjal adalah orang non Arab, dapat dilihat dari dua riwayat berikut.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا َتُقوُم الَّس اَعُة َح ىَّت ُيَقاِتَل اْلُمْس ِلُم وَن الْرُّت َك َقْو ًم ا ُو ُج وُه ُهْم اَك ْلَم َج اِّن اْلُم ْط َر َقِة َيْلَبُس وَن الَّش َع َر َو َيْم ُش وَن ىِف الَّش َع ِر
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kaum muslimin memerangi bangsa Turk, yaitu kaum di mana wajah-wajah
mereka seperti tameng yang dilapisi kulit, mereka memakai (pakaian) yang terbuat dari bulu dan berjalan (dengan
sandal) yang terbuat dari bulu” (HR. Muslim no. 2912).
Dalam riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُذ ْل َف اُألُنوِف، ْمُح َر اْلُو ُج وِه، ِص َغاَر اَألْعِنُي، َو َح ىَّت ُتَق اِتُلوا الْرُّت َك، َال َتُقوُم الَّس اَعُة َح ىَّت ُتَقاِتُلوا َقْو ًم ا ِنَع اُلُهُم الَّش َع ُر
َأَكَّن ُو ُج وَه ُهُم اْلَم َج اُّن اْلُم ْط َر َقُة
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kalian memerangi satu kaum yang sandal-sandal mereka terbuat dari bulu,
dan kalian memerangi bangsa Turk yang bermata sipit, berwajah merah, hidungnya pesek, wajah-wajah mereka seperti
tameng yang dilapisi kulit” (HR. Bukhari no. 3587).
Namun pengikut Dajjal juga ada yang berasal dari bangsa Arab karena kebodohan yang menimpa mereka. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Umamah yang cukup panjang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َفَيَتَم َّث ُل ُهَل َش ْي َط ااَن ِن ىِف. َو َّن ِم ْن ِف ْتَنِتِه َأْن َيُقوَل َألْع َر اٍّىِب َأَر َأْيَت ْن َبَع ْثُت َكَل َأاَب َك َو ُأَّم َك َأَتْش َهُد َأىِّن َر ُّبَك َفَيُقوُل َنَع ْم
ُص ِإ وَر ِة َأِبيِه َو ُأِّم ِه َفَيُقوَالِن اَي ُبَّىَن اَّتِب ْع ُه َف َّنِإُه َر ُّبَك
“Di antara fitnah Dajjal adalah, ia akan berkata pada orang Arab, “Bagaimana menurutmu jika aku membangkitkan
ِإ
ayah dan ibumu, lalu engkau bersaksi bahwa aku adalah Rabbmu, apakah engkau mau?” “Iya, mau”, jawab orang
Arab tersebut. Lalu dua setan menyerupai bentuk ayah dan ibunya lantas keduanya berkata, “Wahai anakku, ikutilah
dia (yaitu Dajjal), karena dia adalah Rabbmu”. (HR. Ibnu Majah no. 4077. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani
sebagaimana dalam Shahih Al Jami’ no. 7875 ).
Adapun wanita, keadaan mereka lebih parah dari orang Arab yang dikisahkan di atas karena mereka cepat terpengaruh dan
ketidak tahuan yang menimpa mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َيِزْن ُل اَّدل َّج اُل ىِف َه ِذِه الَّس َبَخ ِة ِبَم ِّر َقَناَة َفَيُك وُن َأْكَرَث َمْن ْخَي ُر ُج َلْي ِه الِّنَس اُء َح ىَّت َّن الَّر ُج َل ِلْرَي ِج ُع ىَل ِمَح ِميِه َو ىَل ُأِّم ِه
ِإ ِإ ِإ ِإ َو اْبَنِتِه َو ُأْخ ِتِه َو َّمَعِتِه َفُيوِثُقَها ِر اَب طًا َم َخاَفَة َأْن ْخَت ُر َج َلْي ِه
“Dajjal akan turun ke Mirqonah (nama sebuah lembah) dan mayoritas pengikutnya adalah kaum wanita, sampai-
ِإ
sampai ada seorang yang pergi ke isterinya, ibunya, putrinya, saudarinya dan bibinya kemudian mengikatnya karena
khawatir keluar menuju Dajjal”. (HR. Ahmad 2: 67. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Ditambahkan lagi yang menjadi pengikut Dajjal adalah kelompok Khawarij. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut
ini,
َّلُكَم ا َخ َر َج َفْر ٌق ُقِط َع َح ىَّت ْخَي ُر َج ْيِف َأْع َر اِض ِهْم اَّدل َّج اُل, َيْنَش ُأ َنْش ٌأ َيْقَر ُأْو َن اْلُقْر آَن َال َجُياِوُز َتَر اِق ِهْي ْم
“Akan muncul suatu kelompok yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak sampai pada tenggorokan mereka. Setiap kali
muncul, mereka dibasmi habis hingga keluar pada pasukan besar mereka Dajjal.” (HR. Ibnu Majah 174 dan
dihasankan al-Albani dalam Ash-Shahihah 2455)
Kedua: Berlindung pada Allah dari fitnah Dajjal, terkhusus dalam shalat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َذ ا َتَش َّهَد َأَح ُد ْمُك َفْلَيْس َتِع ْذ اِب ِهَّلل ِم ْن َأْر َبٍع َيُقوُل الَّلُهَّم ىِّن َأُعوُذ ِب َك ِم ْن َعَذ اِب َهَج َمَّن َو ِم ْن َعَذ اِب اْلَقِرْب َو ِم ْن ِف ْتَن ِة اْلَم ْح َي ا
ِإ ِإَو اْلَمَم اِت َو ِم ْن ِّرَش ِف ْتَنِة اْلَم ِس يِح اَّدل َّج اِل
“Jika salah seorang di antara kalian melakukan tasyahud, mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara: Ya
Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati, dan dari
kejelekan fitnah Al Masih Ad Dajjal” (HR. Muslim no. 588).
Kematian Dajjal
Dan kala turunnya Isa, kaum muslimin pun telah bersiap untuk memerangi Dajjal. Saat itu, shalat masih ditegakkan. ‘Isa
bin Maryam pun shalat di belakang orang sholeh kaum muslimin. Ketika Dajjal mengetahui turunnya Isa, ia akan melarikan
diri. Lantas Isa menjumpai Dajjal di Baitul Maqdis dan kaum muslimin pun mengepungnya.
‘Isa ‘alaihis salam lantas memerintahkan untuk membuka pintu. Kaum muslimin melaksankannya, dan ternyata di balik
pintu tersebut terdapat Dajjal, lantas ia pun berlari. Nabi Isa ‘alaihis salam pun bertemu dengannya di Bab Lud di timur,
lalu beliau menumpas Dajjal dan pengikutnya dari orang-orang Yahudi.
Mengenai kisah pembunuhan Dajjal oleh Nabi Isa diterangkan di antaranya dalam dua hadits berikut.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َفَيْب َع ُث اُهَّلل ِعيىَس اْبَن َم ْر َمَي َأَكَّنُه ُع ْر َو ُة ْبُن َم ْس ُع وٍد َفَيْط ُلُبُه َفْهُيِلُكُه َّمُث َيْم ُكُث الَّناُس َس ْب َع ِس ِنَني َلْيَس َبَنْي اْثَنِنْي َعَد اَو ٌة
َّمُث ُيْر ِس ُل اُهَّلل ِر ًحيا اَب ِر َدًة ِم ْن ِق َب ِل الَّش ْأِم َفَال َيْب َقى َعىَل َو ْج ِه اَألْر ِض َأَح ٌد ىِف َقْلِب ِه ِم ْثَق اُل َذ َّر ٍة ِم ْن َخ ٍرْي َأْو َمياٍن َّال
ِإ ِإ
َقَبَض ْتُه
“Lalu Allah mengutus Isa bin Maryam seperti Urwah bin Mas’ud, ia mencari Dajjal dan membunuhnya. Setelah itu
selama tujuh tahun, manusia tinggal dan tidak ada permusuhan di antara dua orang pun. Kemudian Allah mengirim
angin sejuk dari arah Syam lalu tidak tersisa seorang yang dihatinya ada kebaikan atau keimanan seberat biji sawi pun
yang tersisa kecuali mencabut nyawanya” (HR. Muslim no. 2940)
Dalam riwayat Ahmad, dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْن ْخَي ُر ِج اَّدل َّج اُل َو َأاَن ٌّىَح َكَفْيُتُمُكوُه َو ْن ْخَي ُر ِج اَّدل َّج اُل َبْع ِد ى َف َّن َر َّبْمُك َع َّز َو َج َّل َلْيَس ِب َأْع َو َر َّن ُه ْخَي ُر ُج ىِف ُهَيوِد َّي ِة
ِإ ِإ
َأْص َهَباَن َح ىَّت َيْأَىِت اْلَم ِد يَنَة َفَيِزْن َل اَن ِح َي ِإَهَتا َو َلَه ا َيْو َم ِئ ٍذ َس ْب َع ُة َأْب َو اٍبِإ َعىَل ِّلُك َنْقٍب ِم َهْنا َم َلاَك ِن َفَيْخ ُر َج َلْي ِه َرِش اُر َأْه ِلَه ا
ِإ
َح ىَّت الَّش اِم َم ِد يَنٍة ِبِفَلْس ِط َني ِبَباِب ٍّدُل – َو َقاَل َأُبو َد اُو َد َم َّر ًة َح ىَّت َي ْأَىِت ِفَلْس ِط َني اَب َب ٍّدُل – َفَيِزْن َل ِعيىَس َعَلْي ِه الَّس َالُم
َفَيْقُتُهَل َّمُث َيْم ُكَث ِعيىَس َعَلْي ِه الَّس َالُم ىِف اَألْر ِض َأْر َبِع َني َس َنًة َم امًا َعْد ًال َو َح َكًام ُم ْقِس طًا
ِإ
“Jika Dajjal telah keluar dan saya masih hidup maka saya akan membela (menjaga) kalian, namun Dajjal keluar
sesudahku. Sesungguhnya Rabb kalian ‘azza wajalla tidaklah buta sebelah (bermata satu) dan Dajjal akan keluar di
Yahudi Ashbahan hingga ia datang ke Madinah dan turun di tepinya yang mana Madinah pada waktu itu memiliki
tujuh pintu. Pada setiap pintu terdapat malaikat yang menjaga, lalu akan keluar (menuju) kepada Dajjal sejelek-jelek
penduduk madinah darinya hingga ke Syam tepat di kota palestina di pintu Lud.” Sesekali Abu Daud berkata, “Hingga
Dajjal datang (tiba) di Palestina di pintu Lud, lalu Isa ‘alaihis salam turun dan membunuhnya, kemudian Isa ‘alaihis
salam tinggal di bumi selama empat puluh tahun dan menjadi imam yang adil dan hakim yang adil .” (HR. Ahmad, 6:
75. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya hasan)
ORANG MUKMIN AKAN MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT
Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman
kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan melihat matahari yang
bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan.
Demikian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah Al Wasithiyah. Dan ini
merupakan kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhum. Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah
Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh
para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para
ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Mengapa demikian? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di Saudi Arabia, menjelaskan :
“Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan hal tersebut dalam KitabNya ; Al Qur’an Al Karim. Begitu pula
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memberitakannya dalam Sunnahnya. Barangsiapa yang tidak mengimani
kejadian ini, berarti ia mendustakan Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman kepada Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada segala yang diberitakannya”.
Dalil-dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al
Wasithiyah
َأَم ا ِإ َّنْمُك َس ُتْع َر ُض ْو َن َعىَل َر ِّبْمُك َفَرَت ْو َن َر َّبْمُك اَمَك َتَر ْو َن َه َذ ا اْلَقَمَر
Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian
sebagaimana kalian melihat bulan ini. [HR Muslim].
Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan
tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam
melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan . Di samping hadits
muttafaq ‘alaih yang berasal dari hadits Jarir bin Abdillah serta hadits riwayat Muslim di atas, masih banyak hadits lainnya,
antara lain:
Sabda Rasulullah n yang juga berasal dari Jarir bin Abdillah:
إ َّنْمُك َس َرَت ْو َن َر َّبْمُك ِع َيااًن
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan semata-mata. [HR Bukhari].
Diantaranya lagi hadits dari Shuhaib bin Sinan, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
َأَلْم ُتَبِّيْض ُو ُج ْو َه َنا؟ َأَلْم: ُتِر ْيُد ْو َن َش ْيًئا َأِز ْيُد ْمُك؟ َفَيُقوُلْو َن: َيُقْو ُل ُهللا َتَباَر َك َو َتَع اىَل: َقاَل، ِإ َذ ا َدَخ َل َأْه ُل اْلَجَّنِة اْلَج َّنَة
َفُيْك َش ُف اْلِح َج اُب َفَم ا ُأْع ُط ْو ا َش ْيًئا َأَحَّب َلِهْي ْم ِم َن الَّنَظ ِر ىَل َر ِهِّب ْم َع َّز َو َج َّل: ُتْد ِخ ْلَنا اْلَج َّنَة َو ُتَنِّج َنا ِم َن الَّناِر ؟ َقاَل.
ِإ ِإ
Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,”Apakah kalian menginginkan
sesuatu yang dapat Aku tambahkan?” Mereka menjawab,”Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami
putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?”
Nabi bersabda,”Maka disingkapkanlah tabir penutup, sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih
mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.”
Dalam riwayat lain dari riwayat Abu Bakar bin Abi Syaibah, ada tambahan riwayat : Kemudian Rasulullah membacakan
ayat :
ِلِذَّل يَن َأْح َس ُنوا اْلُح ْس ىَن َو ِز اَي َد ٌة
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Lihat Shahih Muslim Syarah
Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, III/19-20, hadits no. 448 & 449, Bab Itsbat Ru’yatil Mu’minin Fil Akhirah
Rabbahum Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu juga Shahih Sunan Tirmidzi, kitab Shifatil Jannah, Bab Ma Ja’a fi Ru’yatir
Rabbi Tabaraka Wa Ta’ala, jilid III, no. 2552 dan Shahih Ibnu Majah, I, no. 155/186, hml. 80
Jadi hadits tersebut jelas menunjukkan, bahwa maksud ziyadah (tambahan) pada ayat di atas ialah melihat Allah Azza wa
Jalla, seperti telah dipaparkan di muka.
Juga hadits Abu Hurairah berikut:
َه ْل ُتَض اُّر ْو َن ىِف: َه ْل َنَر ى َر َّبَنا َيْو َم اْلِقَياَم ِة ؟ َفَقاَل َر ُس ْو ُل ِهللا صىل هللا عليه وسمل، اَي َر ُس ْو َل ِهللا:َأن الَّناَس َقاُلْو ا
َال اَي َر ُس ْو َل: َفَهْل ُتَض اُّر ْو َن ىِف الَّش ْم ِس َلْيَس ُد ْو َهَنا َحَساٌب ؟ َقاُلْو ا: َقاَل. َال اَي َر ُس ْو َل ِهللا:اْلَقَم ِر َلِي َةَل اْلَبْد ِر ؟ َقاُلْو ا
َف َّنْمُك َتَر ْو َنُه َكَذ َكِل …احلديث: َقاَل. ِهللا.
Sesungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami akan melihat Rabb kami pada
ِإ
hari kiamat nanti?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya,”Apakah kalian akan mengalami bahaya
(karena berdesak-desakan) ketika melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai
Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan mengalami bahaya (karena
berdesak-desakan) ketika melihat matahari yang tanpa diliputi oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai
Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,”Sesungguhnya, begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”…sampai
akhir hadits. (HR. Bukhari)
Demikianlah sebagian kecil hadits shahih diantara sekian banyak hadits shahih lainnya, yang semuanya menyatakan bahwa
kaum mu’minin kelak akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat. Sebelumnya, beberapa ayat Al Qur’anpun
telah dipaparkan untuk membuktikan hal itu. Sungguh suatu nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada kaum
mu’minin, sebagai tambahan nikmat kepada mereka.
Sebenarnya, masih banyak hadits-hadits lainnya, baik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim di beberapa
tempat dalam kitab shahih masing-masing, maupun yang diriwayatkan oleh imam-imam lain, seperti Imam Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ahmad dan lain-lain. Namun di sini cukuplah kiranya pemaparan beberapa dalil di atas.
Intinya, para ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tentang melihatnya kaum mu’minin kepada Allah pada hari kiamat
mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, wajib bagi setiap insan yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya serta
rasul-rasulNya, untuk mengimani masalah ini. Barangsiapa tidak mengimaninya, sama artinya dengan mendustakan Allah,
kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan pada permulaan
tulisan ini.
Melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan dambaan setiap insan yang benar-benar beriman dan cinta
kepadaNya. Ternyata kelak akan menjadi kenyataan. Bukankah itu merupakan nikmat luar biasa?.Nas’alullah Al Jannah
wan nazhar ila wajhihi Al Karim.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َو َأُّي َقـْلٍب، َفـَأُّي َقـْلٍب ُأِرْش َبـَها ُنـِكَت ِف ـْيـِه ُنـْكـَتـٌة َس ْو َد اُء، ُتـْع ـَر ُض اْلـِفـَتـُن َعَلـى اْلـُقـُلـْو ِب اَك ْلـَح ِص ْيـِر ُع ـْو ًدا ُع ْو ًدا
َفـاَل َتـُّرُض ُه ِف ـْتـَنـٌة َم ـا َد اَم ِت، َعَلـٰى َأْبـَيـَض ِم ْثـِل الَّص َفا: َح ٰىَّت َتِص ْيـَر َعَلـٰى َقـْلَبْيـِن، َأْنـَكـَر َها ُنـِكَت ِف ـْيـِه ُنـْك َتـٌة َبْي َض اُء
اَّل َم ا ُأِرْش َب، اَل َيْع ِر ُف َمْع ُر ْو ًفـا َو اَل ُيـْنـِكُر ُمْنَكـًر ا: اَك ْلُكْو ِز ُم ـَج ِّخ ـًيا، َو اآْلَخ ُر َأْس َو ُد ُم ـْر اَب ًّدا، الَّس ٰم ـَو اُت َو اَأْلْر ُض
ِإ
ِم ْن َه َو اُه.
Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang
menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam, sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut),
niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua : yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi
licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak
(noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik),
tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang
dicintai oleh hawa nafsunya.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. Imam Muslim dalam Shahiih-nya (no. 144),
2. Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/405)
3. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4218).
SYARAH HADITS:
Menurut bahasa, kata fitnah –bentuk tunggal dari kata fitan- berarti musibah, cobaan dan ujian. Makna kata ini berasal dari
perkataan: َفَتْنُت اْلِفَّض َة َو الَّذ َهَب, artinya aku uji perak dan emas dengan api agar dapat dibedakan antara yang buruk dan yang
baik.
Menurut istilah (terminologi), kata fitnah disebutkan berulang dalam al-Qur’ân pada 72 ayat, dan seluruh maknanya
berkisar pada ketiga makna di atas.
Setiap hari hati manusia didera oleh fitnah. Fitnah terbagi dua macam, yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat (dan ini
adalah fitnah yang paling besar). Keduanya bisa ada dalam diri seseorang, atau hanya salah satunya saja. Fitnah syahwat
adalah fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sanjungan, wanita, dan yang lainnya. Fitnah syubhat adalah
fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) menjelaskan tentang fitnah syubhat dan syahwat, “Fitnah syubhat ada karena
lemahnya pengetahuan dan sedikitnya ilmu, apalagi jika dibarengi dengan jeleknya niat serta terturutinya hawa nafsu, maka
itu adalah fitnah dan musibah yang besar. Maka katakanlah semaumu tentang orang sesat dan niatnya jelek, yang menjadi
hakimnya adalah hawa nafsunya bukan petunjuk, dibarengi dengan lemahnya pengetahuan, tidak banyak tahu tentang
ajaran yang dibawa Rasulullah, maka dia termasuk salah satu dari yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
“… Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya …” [an-Najm/53:23]
Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan seseorang dari jalan Allâh Azza
wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla berfirman :
(Allâh berfirman), ‘Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan
menyesatkan engkau dari jalan Allâh. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.’” [Shâd/38:26]
Dan ujung dari fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Dialah fitnahnya orang munafiqin, fitnahnya ahlul bid’ah
sesuai dengan tingkatan kebid’ahan mereka. Mereka berbuat bid’ah dikarenakan fitnah syubhat yang menyebabkan al-haq
menjadi tersamar bagi mereka dengan kebathilan, petunjuk tersamarkan dengan kesesatan.
Dan seseorang tidak akan selamat dari fitnah ini kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
berhukum dengannya dalam masalah agama yang kecil maupun yang besar, yang zhahir maupun bathin, dalam masalah
keyakinan dan perbuatan, hak-haknya dan syariatnya. Maka dia menerima hakikat iman, syariat Islam, dan apa-apa yang
Allâh tetapkan berupa sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, serta nama-nama-Nya, dan apa-apa yang Allâh nafikan dari-Nya.
Sebagaimana dia menerima dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah
raka’atnya, kadar nishab zakat dan orang-orang yang berhak menerimanya, kewajiban berwudhu dan mandi junub, serta
puasa Ramadhan. Jadi dia tidak boleh menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul dalam satu
urusan agama dan tidak dalam urusan agama yang lain, tetapi dia (harus) menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai Rasul dalam segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat dalam ilmu dan amal, dia tidak mengambil
(syari’at) kecuali darinya. Jadi petunjuk itu tidak keluar dari perkataan dan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , dan semua yang tidak sesuai dengannya (dengan syari’at yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa) adalah
kesesatan.
Jenis fitnah yang kedua yaitu fitnah syahwat. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan fitnah tersebut dalam firman-Nya :
(Keadaan kamu kaum munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu,
dan lebih banyak harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati
bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal
yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Mereka
itulah orang-orang yang rugi.” [at-Taubah/9:69]
Maksudnya, bersenang-senanglah dengan bagian kalian di dunia dan syahwatnya. al-Khalâq yaitu bagian yang telah
ditentukan. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “( َو ُخ ْض ُتْم َكاَّلِذ ي َخ اُضواdan kamu mempercakapkan (hal-hal
yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya…” Percakapan yang bathil ini adalah syubhat.
Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan dalam ayat tersebut apa-apa yang bisa menimbulkan kerusakan hati dan agama, yaitu
bersenang-senang dengan dunia (berupa harta dan anak-anak) dan percakapan-percakapan yang bathil. Karena kerusakan
agama itu bisa terjadi dengan sebab keyakinan bathil dan membicarakannya, atau dengan perbuatan yang tidak sesuai
dengan ilmu yang benar. Yang pertama adalah bid’ah dan sejenisnya, dan yang kedua adalah kefasikan amalan. Kerusakan
pertama merupakan kerusakan dari segi syubhat, dan yang kedua dari segi syahwat.
Karena inilah Ulama salaf berkata, “Berhati-hatilah dari dua jenis manusia : Pengekor hawa nafsu yang terfitnah oleh hawa
nafsunya dan pecinta dunia yang telah dibutakan oleh dunia.”
Mereka juga berkata, “Berhati-hatilah dari fitnah orang alim yang fajir (menyimpang), dan orang yang suka beribadah
tetapi bodoh, karena fitnah mereka berdua adalah fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.”
Asal atau akar dari semua fitnah itu adalah perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at, dan hawa nafsu daripada akal.
Yang pertama merupakan akar fitnah syubhat, dan yang kedua adalah akar fitnah syahwat.
Fitnah syubhat itu harus ditangkal dengan keyakinan, dan fitnah syahwat ditangkal dengan kesabaran. Karena itulah Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kepemimpinan agama bergantung kepada dua perkara ini (sabar dan yakin). Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama
mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [as-Sajdah/32:24]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam agama akan dapat diraih. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menyatukan keduanya juga dalam firman-Nya:
“…Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” [al-‘Ashr/103:3]
Maka saling menasehati dalam kebenaran akan dapat melawan syubhat, dan saling menasehati dalam kesabaran akan
menghentikan syahwat. Allâh menyatukan keduanya dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan
ilmu-ilmu (yang tinggi).” [Shâd/38:45]
Al-Aidii adalah kekuatan dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada-Nya, al-Abshâr adalah ilmu
dalam agama Allâh. Perkataan para Ulama salaf pun berkisar pada pengertian tersebut. Maka dengan kesempurnaan akal
dan kesabaran, fitnah syahwat dapat dilawan, dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat dapat dilawan.
Wallahul musta’an.”
Penyakit syahwat juga dijelaskan dengan ayat dan hadits. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan,
anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik.” [Ali ‘Imrân/3:14]
Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebaikan
itu bukan dengan syahwat, akan tetapi kebaikan itu yaitu apa-apa yang disediakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi siapa
saja dari para hamba-Nya yang bertakwa dan selamat dari tujuan syahwat ini dan bersembunyi dari syahwat dengan apa-
apa yang sudah dihalalkan oleh Allâh, serta sabar atas apa yang diharamkan oleh Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
Katakanlah: Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu. Untuk orang-orang yang
bertaqwa (kepada Allâh), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allâh. Dan Allâh Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya. [Ali ‘Imrân/3:15]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa saja di antara mereka yang bersabar terhadap fitnah, niscaya akan selamat dari
fitnah yang lebih besar. Sebaliknya, siapa saja yang terbenam dalam fitnah, niscaya akan jatuh ke dalam fitnah yang lebih
buruk lagi. Jika orang yang tengah hanyut dalam fitnah segera bertaubat dengan benar niscaya dia akan selamat. Namun,
jika ia tetap tenggelam di dalamnya berati orang itu berada di atas jalan orang yang binasa. Karena itulah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
َم ا َتَر ْكُت َبْع ِد ْي ِف ْتَنًة َيِه َأُّرَض َعىَل اِلّر َج اِل ِم َن اِلّنَس اِء.
“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.(HR.
Bukhari & Muslim)
Penyakit syahwat juga dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga orang yang di dalam hatinya ada penyakit
menginginkan sesuatu…” [al-Ahzâb/33: 32]
Hati yang sakit akan terganggu oleh syahwat sekecil apa pun dan tidak akan mampu menangkal syubhat yang
mendatanginya. Sementara hati yang sehat dan kuat, meski sering didatangi syahwat atau syubhat, namun ia berhasil
menghalaunya dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla dan dengan kekuatan iman dan kesehatannya. Sedangkan penyakit
syubhat adalah sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh…” [Al-Baqarah/2: 10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َّن ِلـُكـِّل ُأَّم ـٍة ِف ْتَنـًة َو ِف ْتَنـُة ُأَّم ـِتـي اْلـَم ـاُل.
Setiap ummat itu ada fitnahnya, dan fitnahnya ummatku adalah harta.( Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2336), Ahmad
ِإ
(IV/160), Ibnu Hibban (no. 2470-al-Mawârid), dan al-Hâkim (IV/318), lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau berkata,
“Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-
Shahîhah (no. 592).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
َم ا َتَر ْكُت َبْع ِد ْي ِف ْتَنًة َيِه َأُّرَض َعىَل اِلّر َج اِل ِم َن اِلّنَس اِء
Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.( Shahih:
HR. al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.)
Fitnah ini akan masuk ke dalam hati manusia yang merupakan sebab hati menjadi sakit. Dan fitnah ini banyak sekali
macamnya.
Di antara Jenis Fitnah Syahwat:
1. Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang perempuan yang bukan mahram,
membaca majalah porno, melihat gambar-gambar yang terbuka auratnya, menonton film cabul, menonton TV,
sinetron, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… … َفِز َنـى اْلـَع ْيـَنيْـِن الـَّنَظ ـُر
… dan zinanya kedua mata adalah dengan memandang… (Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6612), Muslim (no.
2657 (20)), Ahmad (II/276) dan Abu Dawud (no. 2152).
Menjaga pandangan dan kemaluan termasuk dalam tazkiyatun nufus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.” [an-Nûr/24:30]
2. Ikhtilâth (campur-baur laki-laki dan perempuan), khalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan), pacaran,
mabuk asmara (kasmaran), dan sebagainya. Pacaran hukumnya haram dalam Islam.
3. Bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram, dan sebagainya. Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hukumnya haram.
4. Zina, kumpul kebo, nikah mut’ah, dan sebagainya. Nikah mut’ah sama dengan zina. Zina itu haram dan dosa
besar.
5. Homosex dan sodomi yang merupakan perbuatan kaum Luth. Hukumnya haram dan dosa besar.
6. Onani dan masturbasi. Hukumnya haram.
Adapun di antara jenis fitnah syubhat adalah sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh … [al-Baqarah/2:10]
Qatâdah, Mujâhid, dan lain-lain rahimahumullaah menafsirkan, “Di hatinya ada penyakit, yaitu penyakit syakk (keragu-
raguan).”
Fitnah syubhat adalah fitnah kesesatan, maksiat, bid’ah, kezhaliman, kebodohan, keyakinan, pemikiran, pemahaman yang
sesat, aliran-aliran yang sesat, dan yang lainnya. Fitnah syahwat membuat rusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala . Dan fitnah syubhat membuat rusaknya ilmu dan keyakinan. Tatkala manusia dihadapkan pada fitnah
berupa syahwat dan syubhat, maka hati manusia akan terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Hati yang ketika datang fitnah langsung menyerapnya seperti spons yang menyerap air, lalu muncul titik hitam di
tubuhnya. Ia terus menyerap setiap fitnah yang ditawarkan kepadanya sehingga tubuhnya menghitam dan miring. Bila
sudah hitam dan miring ia akan berhadapan dengan dua malapetaka yang sangat bahaya:
1. Tidak dapat membedakan mana yang ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (buruk).
Terkadang penyakit ini semakin parah sehingga ia menganggap yang ma’ruf adalah munkar dan yang munkar
adalah ma’ruf. Yang sunnah dianggap bid’ah dan yang bid’ah dianggap sunnah. Yang benar dianggap salah dan
yang salah dianggap benar.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
َه ـَلـَك َمْن َلـْم َيْع ِر ْف َقْلُبـُه اْلـَم ْع ُر ْو َف َو ُيْنـِكْر َقْلُبـُه اْلـُم ْنـَكـَر.
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. (Atsar
shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-
Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (VII/257), “Rawi-rawinya
adalah rawi-rawi kitab ash-Shahîh.”
2. Menjadikan hawa nafsu sebagai sumber hukum yang lebih tinggi daripada apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , selalu tunduk kepada hawa nafsu dan mengikuti kemauannya.
Kedua: Hati putih yang telah disinari oleh cahaya iman yang terang benderang. Jika hati semacam ini ditawari fitnah, ia
akan mengingkari dan menolaknya sehingga sinarnya menjadi lebih kuat dan lebih terang.
Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam menampung
segala yang datang dan syubhat-syubhat, ia menyerapnya sehingga yang keluar dari busa tadi adalah syubhat-syubhat yang
diserapnya tadi. Namun jadikanlah hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes ke dalamnya)
sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya dan tidak menempel di kaca. Dia melihat syubhat-syubhat
tersebut dengan kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohannya. Karena kalau tidak demikian, apabila hatimu
menyerap setiap syubhat yang datang kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala syubhat.
Wajib diperhatikan oleh setiap muslim dan muslimah bahwa hati manusia senantiasa berbolak balik. Hati ini tidak mudah
dikendalikan. Hati sangatlah mudah untuk berubah. Bisa jadi, di pagi hari seseorang masih dalam keadaan beriman, namun
sore harinya berubah kafir, atau sore hari ia beriman tapi di pagi harinya ia berubah kafir. Di pagi hari ia masih mengikuti
Sunnah, namun di sore harinya ia meninggalkan Sunnah. Di pagi hari ia memulai dengan amal-amal ketaatan namun di sore
hari ia bermaksiat. Pagi hari ia memanfaatkan waktu dengan amal-amal yang bermanfaat, namun di sore harinya ia
mengerjakan hal-hal yang sia-sia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َيِب ْيُع، َأْو ُيْم يِس ُم ـْؤ ِم ًنـا َو ُيْص ِب ُح اَك ِف ًر ا، ُيْص ِب ُح الَّر ُج ُل ُمْؤ ِم ًنا َو ُيْم يِس اَك ِف ًر ا، اَب ِد ُر ْو ا اِب َأْلَمْع ـاِل ِف َتًنا َكِقَط ِع الَّلْي ِل اْلـُم ْظ ِمِل
ِد ْيَنُه ِبَع َر ٍض ِم َن اُّدل ْنَيا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih sebelum kedatangan fitnah-fitnah itu yang seperti potongan malam yang
gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan
beriman dan di pagi hari menjadi kafir karena ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit.
( Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid),
dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
Inilah hati, yang selalu berbolak-balik karena ia berada di antara jari dari jari-jemari Allâh Yang Maha Penyayang.
Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada ummatnya untuk memperbanyak permohonan kepada
Allâh agar diberikan ketetapan hati.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan :
َثـّبِـْت َقـْلِبـْي َعَلـٰى ِد ْيـِنـَك، َيـا ُم ـَقـِلّـَب اْلـُقـُلـْو ِب
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Anas Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh ! Kami telah beriman kepadamu dan kepada apa (ajaran) yang
engkau bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir atas kami?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
ِإ َّن اْلـُقـُلْو َب َبـْيـَن ُأْص ُبـَع ـْيـِن ِم ْن َأَص اِبِع الّٰلـِه ُيـَقِلّـُبـَهـا َكـْيـَف َيـَش اُء، َنـَع ْم.
Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-
jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.(HR. Tirmidzi)
Hadits-hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, ‘Aisyah, Shahabat-Shahabat lainnya Radhiyallahu
anhum.
Al-Qur-an adalah penawar dari penyakit syahwat dan syubhat. Sebab, al-Qur’ân berisi bukti-bukti dan dalil-dalil mutlak
yang bisa membedakan antara haq (benar) dan bathil sehingga penyakit-penyakit syubhat yang merusak ilmu, keyakinan,
dan pemahaman bisa hilang. Karena seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dalil dari al-Qur’ân dan as-Sunnah
dengan pemahaman yang benar.
Al-Qur’ân juga dapat mengobati penyakit syahwat karena di dalamnya terdapat hikmah dan petuah yang baik melalui
targhîb (anjuran), tarhîb (peringatan), anjuran untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan mengutamakan akhirat, contoh-
contoh dan kisah-kisah yang mengandung banyak pelajaran dan petuah. Sehingga, apabila hati yang sehat mengetahui hal
itu, ia akan menyukai hal-hal yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat, dan membenci segala yang merugikan dirinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Dan Kami turunkan dari al-Qur’ân sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Sedangkan bagi orang yang zhalim (al-Qur’ân) itu hanya akan menambah kerugian.” [Al-Isrâ’/17:82]
Setiap orang hendaklah mempelajari tanda-tanda (ciri-ciri) hati yang sakit dan hati yang sehat agar dapat mengetahui
kondisi hatinya secara tepat. Bila hatinya sakit, ia harus berusaha untuk mengobatinya dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih serta senantiasa menjaga kesehatannya, mudah-mudahan kita meninggal dunia
dengan hati yang selamat (sehat). Karena hati yang baik, sehat, dan selamatlah yang akan diterima oleh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala pada hari Kiamat.
FAWAA-ID:
1. Hati adalah tempat ujian.
2. Hati manusia setiap hari dimasuki oleh fitnah, baik fitnah syahwat maupun fitnah syubhat.
3. Fitnah syahwat berkaitan dengan fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sedangkan fitnah syubhat
berkaitan dengan fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
4. Sumber fitnah syubhat yaitu perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at sedangkan asal fitnah syahwat
mendahulukan hawa nafsu daripada akal.
5. Fitnah syubhat adalah fitnahnya orang-orang munafik dan ahlul bid’ah karena fitnah syubhat ini membuat mereka
tidak memberdakan antara yang haq dan yang bathil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Semuanya menjadi rancu
6. Fitnah syubhat bisa ditangkal dengan keyakinan dan fitnah syubhat ditolak dengan kesabaran.
7. Hidup dan bersihnya hati merupakan pokok segala kebaikan, adapun mati dan gelapnya hati adalah pokok segala
keburukan.
8. Seseorang tidak akan selamat dari fitnah syubhat dan syahwat kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam .
9. Fitnah syahwat bisa merusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan fitnah syubhat merusak
ilmu dan keyakinan.
10. Wajib bagi kita berhati-hati dalam berbicara dan beramal, jangan mengikuti langkah-langkah setan yang telah
mengotori hati manusia dengan fitnah syubhat dan syahwat.
11. Orang yang terkena fitnah syubhat atau syahwat tidak bisa membedakan lagi antara yang ma’ruf dan munkar, kecuali
mengikuti hawa nafsunya.
12. Obat yang paling mujarab untuk membersihkan hati adalah dengan menuntut ilmu syar’i berdasarkan al-Qur’ân dan
Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, ikhlas, beriman dengan
keimanan yang benar, serta menjauhkan perbuatan nifak dan bid’ah.
13. Selalu berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َثـّبِـْت َقـْلِبـْي َعَلـٰى ِد ْيـِنـَك، َيـا ُم ـَقـِلّـَب اْلـُقـُلـْو ِب
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca. Dan mudah-mudahan Allâh melindungi
kita dari fitnah syahwat dan syubhat dan menunjuki kita di atas sunnah, menetapkan hati kita di atas Islam dan
Sunnah, serta diberikan istiqamah sampai akhir hayat.
ISTIQOMAH
َو اْعَلُمْو ا َأَّنُه َلْن َيْنُج َو، َقاِر ُبْو ا َو َس ِّد ُد ْو ا: َقاَل َر ُس ْو ُل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل: َقاَل، َع ْن َأْيِب ُه َر ْيَر َة َر َيِض ُهللا َع ْنُه
َّال أْن َيَتَغَّم َد َيِن ُهللا ِبَر َمحٍة ِم ْنُه َو َفْض ٍل، َو َال أاَن: َو اَل َأْنَت اَي َر ُس ْو َل ِهللا ؟ َقاَل: َقاُلْو ا. َأَح ٌد ِم ْنْمُك ِبَع َم ِهِل.
ِإ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersikaplah
yang lurus dan tetaplah dalam kebenaran. Dan ketahuilah, bahwasanya tidak ada seorang pun dari kalian yang
selamat karena amal perbuatannya”. Para sahabat bertanya, “Termasuk engkau, wahai Rasûlullâh?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk aku, hanya saja Allâh meliputi diriku dengan rahmat dan karunia-
Nya.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 2816 (76).
2. Ahmad, II/495.
3. Ibnu Majah, no. 4201.
4. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Ausath, no. 4284.
5. Al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihab, no. 626.
6. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 4194. dan lainnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh para imam ahli hadits dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillâh, ‘Aisyah, dan lainnya
Radhiyallahu anhum.
SYARAH HADITS
Hadits ini dimasukkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya, Riyâdhush-Shâlihîn, Bab al-Istiqamah, Bab
ke-8 (no. 86). Hadits ini menunjukkan bahwa bersikap istiqamah sesuai dengan kemampuan, yaitu dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Bersikaplah yang lurus dan tetaplah dalam kebenaran,” yakni bersikaplah pertengahan
dalam perkara-perkara yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya kepada kalian dan berusahalah untuk mendekatinya
(melaksanakannya) semampu kalian.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (“ )َس ِّدُد ْو اtetaplah dalam kebenaran,” yaitu berusahalah kalian dengan sungguh-
sungguh agar amalan-amalan kalian mencapai kebenaran sesuai dengan kemampuan kalian. Yang demikian itu karena
walaupun seseorang sudah mencapai ketakwaan, tetap saja sebagai manusia ada kesalahan, sebagaimana yang disabdakan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
َو َخ ُرْي اْلَخ َّط اِئَنْي الَّتَّو اُبْو َن،ُّلُك َبْيِن آَد َم َخ َّط اٌء
Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat (dari
kesalahannya itu).( Hasan: HR at-Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251), dan Ahmad (III/198). At-Tirmidzi
berkata: “Hadits ini gharib”. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ (no. 4515).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
َفَيْغِفُر َلُهْم، َّمُث َلَج اَء ِبَقْو ٍم ُيْذ ِنُبْو َن َفَيْس َتْغِفُر ْو َن َهللا، َلْو َلْم ُتْذ ِنُبْو ا َذَل َه َب ُهللا ِبْمُك
Jika kalian tidak berbuat salah, maka Allâh akan menghilangkan kalian dan menggantikan kalian dengan suatu kaum
yang mereka berbuat salah, kemudian mereka meminta ampun kepada Allâh. Lalu Allâh mengampuni mereka.(HR.
Muslim)
Maka manusia diperintahkan untuk berbuat yang lurus dan menetapi kebenaran sesuai dengan kemampuannya.
Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla adalah:
Pertama, amal shalih yang dilakukan secara kontinyu (terus menerus) meskipun sedikit.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َو َّن َأَحَّب اَأْلَمْع اِل ىَل ِهللا َم اَداَم َو ْن َقَّل، َف َّن َهللا اَل َيَم ُّل َح ىَّت َتَم ُّلْو ا، ُخ ُذ ْو ا ِم َن اَأْلَمْع اِل َم اُتِط ْي ُقْو َن، اَي َأَهُّيا الَّناُس
…
ِإmanusia. Kerjakanlah
Wahai sekalian
ِإ ِإ
amalan-amalan
ِإ
sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Allâh tidak
bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan secara terus-
menerus walaupun sedikit.(HR. Bukhari & Muslim)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
َو َأَّن َأَحَّب اَأْلَمْع اِل ىَل ِهللا َأْد َو ُم َها َو ْن َقَّل، َو اْعَلُمْو ا َأْن َلْن ُيْد ِخ َل َأَح َد ْمُك َمَع ُهُل اْلَج َّنَة،َس ِّد ُد ْو ا َو َقاِر ُبْو ا
ِإdan bersikaplah
Tetaplah dalam kebenaran
ِإ yang lurus. Ketahuilah, bahwasanya amalan seseorang tidak dapat
memasukkannya ke dalam surga. Dan bahwasanya amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan
secara terus-menerus walaupun sedikit.(HR. Bukhari)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَحُّب اَأْلَمْع اِل ىَل هللا َأْد َو ُم َها َو ْنَقَّل.
ِإ ِإ
Amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.( Shahîh: HR
Ahmad (VI/165), Muslim (no. 783 (218)), dan al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihab (no. 1303) dari ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma.
Kedua, amal-amal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla adalah yang dikerjakan sesuai dengan Sunnah, sederhana,
mudah, dan tidak takalluf (memberat-beratkan diri) dalam mengerjakannya. Karena sesungguhnya Allâh Subhanahu wa
Ta’ala menginginkan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya.
Allâh Ta’ala berfirman:
…Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… [al-Baqarah/2:185].
Yang penting lagi, seluruh amal shalih wajib dikerjakan dengan ikhlas semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla dan sesuai
dengan contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kedua hal ini, ikhlas dan ittiba`, merupakan syarat diterimanya
amal.
Islam memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ama-amal ketaatan secara terus-menerus, seperti shalat
berjama’ah bagi laki-laki di masjid, shalat malam (tahajjud, shalat witir), membaca al-Qur`ân, dzikir; semuanya harus
dilakukan secara kontinyu, bukan hanya saat bulan Ramadhan saja. Begitu juga sedekah, infaq, shalat-shalat sunnah
rawatib, harus dilaksanakan secara kontinyu meskipun sedikit. Kita juga wajib istiqamah, berpegang teguh di atas Sunnah.
Kita wajib istiqamah dalam mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, istiqamah dalam melaksanakan Sunnah dan
menjauhkan dari dari bid’ah, istiqamah dalam ketaatan dan menjauhi maksiat, istiqamah dalam berpegang teguh kepada al-
Qur`ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shâlih, serta istiqamah dalam menuntut ilmu syar’i dan
mengamalkannya. Kita juga wajib menjauhkan diri dari larangan-larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seumur hidup kita.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َو اْعَلُمْو ا َأَّنُه َلْن َيْنُج َو َأَح ٌد ِم ْنْمُك ِبَع َم ِهِل
(dan ketahuilah, bahwasanya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya), yaitu tidak ada
seseorang yang selamat dari neraka karena amal perbuatannya. Yang demikian itu karena amalan tidak memenuhi apa-apa
yang semestinya dilakukan kepada Allâh Azza wa Jalla dari rasa syukur, dan juga apa-apa yang wajib dilakukan oleh
hamba-Nya terhadap hak-hak Allûh, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala meliputi hamba-Nya dengan rahmat-Nya, maka
Allâh mengampuninya.
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal
perbuatannya, maka para sahabat bertanya, “Termasuk engkau?” Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
“Termasuk aku.” Sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak selamat dari neraka karena amal perbuatannya,
hanya saja Allâh meliputinya dengan rahmat-Nya.
Hal itu menunjukkan bahwa walaupun manusia telah mencapai derajat wali, ia tetap tidak selamat karena amal
perbuatannya, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika saja Allâh tidak menganugerahinya dengan
mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, maka amalan-amalannya tidak bisa menyelamatkannya.
Jika seseorang berkata, ada nash-nash dari al-Qur`ân dan Hadits yang menunjukkan bahwa amal shâlih bisa menyelamatkan
seseorang dari neraka dan memasukkannya ke surga, seperti firman Allâh Ta’ala:
Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu karena perbuatan yang telah kamu kerjakan.’[az-Zukhruf/43:72].
Dan juga firman-Nya,
(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan
(kepada mereka), “Salâmun ‘alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan” – an-Nahl/16
ayat 32), maka bagaimana menyatukan ayat ini dengan hadits tersebut?
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Jawabannya yaitu: Pertama, maksud dalam an-Nahl/16 ayat 32, yaitu masuklah ke
tempat tinggal dan istana-istana surga karena apa yang telah kamu kerjakan. Dan maksud kata ‘masuk’ di sini bukan kata
asalnya. Kedua, boleh jadi hadits tersebut sebagai penjelas ayat ini, yaitu masuklah ke surga karena apa yang telah kamu
kerjakan dengan rahmat Allâh dan karunia-Nya atas kalian, karena pembagian tempat tinggal di surga adalah dengan
rahmat Allâh. Begitu juga asal masuk surga yaitu dengan rahmat-Nya, dimana Allâh memberi ilham kepada manusia atas
apa-apa yang mereka dapatkan.”
‘Iyadh rahimahullah berkata, “Termasuk dari rahmat Allâh yaitu Dia memberi taufiq dalam beramal dan hidayah kepada
ketaatan. Dan semua itu tidak didapat oleh manusia karena amalannya, tetapi itu semua karena rahmat Allâh dan karunia-
Nya.”
Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata, “Jawabannya ada empat: Pertama, bahwa sukses dalam beramal adalah rahmat Allâh.
Kalau bukan karena rahmat Allâh, maka tidaklah tercapai iman dan ketaatan yang menjadi sebab keselamatan. Kedua,
bahwa keuntungan seorang hamba itu milik tuannya, maka amalannya juga berhak untuk tuannya. Jadi apapun yang
dikaruniakan kepadanya dari balasan dan ganjaran, maka itu karena karunianya. Ketiga, terdapat dalil dalam beberapa
hadits bahwa seseorang masuk surga karena rahmat Allâh, adapun tingkatan mereka sesuai dengan amalan-amalannya.
Keempat, bahwa amal ketaatan dikerjakan pada waktu sebentar (tidak lama), sedangkan ganjarannya tak ada habisnya.
Maka nikmat yang tidak ada habisnya tersebut merupakan balasan dari apa-apa yang habis dengan sebab karunia Allâh,
bukan balasan dari amalan.”
Kesimpulannya, menyatukan kedua nash tersebut yaitu bahwa yang dinafikan adalah masuknya seseorang ke surga karena
amalnya sebagai balasan. Adapun yang ditetapkan yaitu bahwa amal merupakan sebab, bukan ganti. Tidak diragukan lagi,
bahwa amalan merupakan sebab seseorang masuk surga dan selamat dari neraka, tetapi ia bukan sebagai ganti, dan bukan
satu-satunya yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga. Tetapi karunia dan rahmat Allâh-lah yang merupakan sebab
seseorang masuk ke dalam surga. Kedua hal tersebut yang menyampaikan seseorang ke surga dan menyelamatkannya dari
neraka.
Yang wajib kita imani dan yakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Kasih Sayang
kepada hamba-hamba-Nya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…َلْو َأَّن َهللا َعَّذ َب َأْهَل َمَس اَو اِتِه َو َأْهَل َأْر ِض ِه َلَع َّذ ُهَبْم َو ُه َو َغُرْي َظ اِلٍم َلُهْم َو َلْو َر َمِحُهْم َلاَك َنْت َر َمْحُتُه َخ رْي ًا َلُهْم ِم ْن َأَمْع اِلِهْم
Jika seandainya Allâh menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, maka Allâh tidak berbuat zhalim dengan menyiksa
mereka. Jika seandainya Allâh merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu benar-benar lebih baik bagi mereka daripada
amal perbuatannya…(Shahîh: HR Abu Dawud (no. 4699), Ibnu Majah (no. 77), Ahmad (V/185). Hadits ini
dishahîhkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (no. 3932), dari Sahabat Zaid bin
Tsabit Radhiyallahu anhu .
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
… َأْر َح ُم ِبِك َمْن َأَش اُء ِم ْن ِع َباِد ْي، َأْنِت َر َمْحْيِت: … َقاَل ُهللا َتَباَر َك َو َتَع اىَل ِلْلَجَّنِة
…Allâh Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada surga, “Engkau adalah rahmat-Ku. Aku merahmati siapa saja yang Aku
kehendaki dari hamba-hamba-Ku denganmu…”.(Shahîh: HR al-Bukhari (no. 4850), Muslim (no. 2846), dan lainnya
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
FAWÂ-ID
1. Wajib untuk istiqamah dalam melakukan amal-amal ketaatan.
2. Berlaku sederhana dalam melaksanakan ketaatan, tidak berlebihan, dan tidak meremehkan.
3. Amal yang dicintai oleh Allâh adalah yang kontinyu terus-menerus meskipun sedikit.
4. Wajib beramal dengan ikhlas dan mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
5. Janganlah seseorang bangga diri dengan amalannya walaupun dia telah mengerjakan banyak amalan shalih, karena itu
semua hanya sesuatu yang kecil dibandingkan hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh hamba-Nya.
6. Hendaklah manusia selalu memperbanyak dzikir kepada Allâh, meminta kepada-Nya agar Allâh meliputinya dengan
rahmat-Nya. Dan bacalah do’a seperti yang dicontohkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َف َّنُه اَل َيْم ِلُكَها اَّل َأْنَت، َالَّلُهَّم ْيِّن َأْس َأَكُل ِم ْن َفْض َكِل َو َر َمْحِتَك.
Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon
ِإ ِإ
kepada-Mu karunia-Mu dan rahmat-Mu, karena tidak ada yang
ِإ
memilikinya kecuali hanya Engkau.( Shahîh: HR Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` dan ath-Thabrani,
Majma’uz-Zawâ-id (X/159). Lihat juga Shahîhul-Jâmi’ (no. 1278), Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1543).
7. Hadits ini menunjukkan semangat para sahabat Radhiyallahu anhum dalam memperoleh ilmu. Karena ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal
perbuatannya”, mereka meminta penjelasan, apakah keumuman ini mencakup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau tidak? Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa itu mencakup dirinya.
8. Karunia dan rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya lebih luas daripada amal perbuatan mereka.
9. Bimbingan mengenai cara memperoleh kebaikan, yaitu dengan istiqamah pada syari’at Allâh tanpa berlebih-lebihan,
dan tidak pula meremehkannya.
10. Amal perbuatan tidak dapat memasukkan manusia ke surga, melainkan karena rahmat Allâh Azza wa Jalla dan
karunia-Nya. Namun, tingkatan mereka di surga didasarkan pada amal perbuatan masing-masing.
KEUTAMAAN ISTIQAMAH
َلْو اَّط َلَع يِف َبْيِتَك َأَح ٌد َو َلْم َتْأَذ ْن ُهَل َخ َذ ْفَتُه َحِبَص اٍة َفَفَقْأَت َع ْي َنُه َم ا اَك َن َعَلْي َك ِم ْن ُج َناٍح
Jika ada orang yang berusaha melihat (aurat keluargamu) di rumahmu dan kamu tidak mengizinkannya lantas kamu
melemparnya dengan kerikil sehingga membutakan matanya maka tidak ada dosa bagimu. [HR. Al-Bukhâri, no. 688,
dan Muslim, no. 2158].
BATASAN-BATASAN AURAT.
1. Pertama. Aurat Sesama Lelaki
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang batasan aurat sesama lelaki, baik dengan kerabat atau
orang lain. Pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur Ulama yang mengatakan bahwa aurat
sesama lelaki adalah antara pusar sampai lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat sedangkan paha dan
yang lainnya adalah aurat. Adapun dalil dalam hal ini, semua hadistnya terdapat kelemahan pada sisi sanadnya , tetapi
dengan berkumpulnya semua jalur sanad tersebut menjadikan hadist tersebut bisa di kuatkan redaksi matannya
sehingga dapat menjadi hujjah. [Lihat perkataan Syaikh al-Albâni dalam kitabnya Irwâ’ 1/297-298, dan Fatawa al-
Lajnah ad-Dâimah, no. 2252]
2. Kedua. Aurat Lelaki Dengan Wanita
Jumhur Ulama sepakat bahwasanya batasan aurat lelaki dengan wanita mahramnya ataupun yang bukan mahramnya
sama dengan batasan aurat sesama lelaki. Tetapi mereka berselisih tentang masalah hukum wanita memandang lelaki.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama, Ulama Syafiiyah berpendapat bahwasanya tidak boleh seorang wanita melihat aurat lelaki dan
bagian lainnya tanpa ada sebab. Dalil mereka adalah keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya. [an-Nûr/24:31]
Dan hadist Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata :
ُكْنُت ِع ْنَد َر ُس وِل اِهَّلل َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َو ِع ْنَد ُه َم ْيُم وَنُة َفَأْقَبَل اْبُن ُأِّم َم ْكُتوٍم َو َذ َكِل َبْع َد َأْن ُأِم ْر اَن اِب ْلِح َج اِب
اْح َتِج َبا ِم ْنُه ! َفُقْلَنا اَي َر ُس وَل اِهَّلل َأَلْيَس َأَمْع ى َال ُيْب ُرِص اَن َو َال َيْع ِر ُفَنا َفَقاَل الَّنُّىِب: َفَقاَل الَّنُّىِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل
َأَفَعْم َياَو اِن َأْنُتَم ا َأَلْس ُتَم ا ُتْب َرِص اِنِه: َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل
Aku berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah
Ibnu Ummi Maktum Radhiyallahu anhu -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasûlullâh, bukankah ia
buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya,
“Apakah kalian berdua buta ? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia ?. [HR. Abu Dâwud, no. 4112; Tirmidzi,
no. 2778; Nasa’i dalam Sunan al- Kubrâ, no.9197, 9198) dan yang lainnya namun riwayat ini adalah riwayat yang
dha’îf, dilemahkan oleh Syaikh al-Albâni]
Dan mereka juga berdalil dengan qiyas: yaitu sebagaimana di haramkan para lelaki melihat wanita seperti itu pula di
haramkan para wanita melihat lelaki.
Pendapat yang kedua adalah pendapat Ulama di kalangan mazhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria lain
selain auratnya. Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia
berkata :
َح ىَّت َأُكوَن َأاَن، اْلَح َبَش ِة َيْلَع ُبوَن ىِف اْلَمْس ِج ِد َو َأاَن َأْنُظ ُر ىَل، َر َأْيُت الَّنَّىِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َيْس ُرُت ىِن ِبِر َد اِئِه
الَّلْهِو َفاْقُد ُر وا َقْد َر اْلَج اِر َيِة اْلَح ِد يَثِة الِّس ِّن اْلَح ِر يَص ِة َع ِإىَل، اِذَّل ى َأْس َأُم
Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah
orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas.
Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda [HR. Al-Bukhâri, no.5236; Muslim,
no.892 dan yang lainnya]
3. Ketiga. Aurat Lelaki Dihadapan Istri
Suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat pernikahan, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para
Ulama bahwasanya seorang suami atau istri boleh melihat seluruh anggota tubuh pasangannya. Adapun hal ini
berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. [al-Ma’ârij/70:29-30]
Dan hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata:
ُكْنُت َأْغَتِس ُل َأاَن َو الَّنُّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل ِم ْن اَن ٍء َو اِحٍد ِم ْن َج َناَبٍة: َقاَلْت
ِإ
“Aku mandi bersama dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dalam keadaan junub.
[HR. Al-Bukhâri, no. 263 dan Muslim, no. 43]
4. Keempat. Aurat Wanita Dihadapan Para Lelaki Yang Bukan Mahramnya
Diantara sebab mulianya seorang wanita adalah dengan menjaga auratnya dari pandangan lelaki yang bukan
mahramnya. Oleh kerena itu agama Islam memberikan rambu-rambu batasan aurat wanita yang harus di tutup dan
tidak boleh ditampakkan. Para Ulama sepakat bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang harus di tutup,
kecuali wajah dan telapak tangan yang masih diperselisihkanoleh para Ulama tentang kewajiban menutupnya. Dalil
tentang wajibnya seorang wanita menutup auratnya di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya adalah firman
Allâh Azza wa Jalla :
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin,
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang
harus di tutup. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َو َهَّنا َذ ا َخ َر َج ْت ِم ْن َبْي ِتـَها اْس َتْش ـَر َفَها الَّش ْيـَط اُن،اْلَمْر َأُة َع ْو َر ٌة
Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya [HR. Tirmidzi,no.
ِإ ِإ1173; Ibnu
Khuzaimah, no. 1686; ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, no. 10115 dan yang lainnya]
5. Kelima. Aurat Wanita Di depan Mahramnya
Mahram adalah seseorang yang haram di nikahi kerena adanya hubungan nasab, kekerabatan dan persusuan. Pendapat
yang paling kuat tentang aurat wanita di depan mahramnya yaitu seorang mahram di perbolehkan melihat anggota
tubuh wanita yang biasa nampak ketika dia berada di rumahnya seperti kepala, muka, leher, lengan, kaki, betis atau
dengan kata lain boleh melihat anggota tubuh yang terkena air wudhu. Hal ini berdasarkan keumuman ayat dalam
surah an-Nûr, ayat ke-31, insyaAllâh akan datang penjelasannya pada batasan aurat wanita dengan wanita lainnya.
Dan hadist Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
اَك َن الِّر َج اُل والِّنَس اُء َيَتَو َّض ُئْو َن ْيِف َز َم اِن َر ُس ْو ِل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل ِمَج ْي ًع ا
Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara
bersamaan [HR. Al-Bukhâri, no.193 dan yang lainnya]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bisa jadi, kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab dan tidak dilarang pada saat itu
kaum lelaki dan wanita melakukan wudhu secara bersamaan. Jika hal ini terjadi setelah turunya ayat hijab, maka
hadist ini di bawa pada kondisi khusus yaitu bagi para istri dan mahram (di mana para mahram boleh melihat anggota
wudhu wanita). [Lihat Fathul Bâri, 1/300]
6. Keenam. Aurat Wanita Di Depan Wanita Lainnya
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang aurat wanita yang wajib di tutup ketika berada di depan
wanita lain. Ada dua pendapat yang masyhûr dalam masalah ini :
a. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa aurat wanita di depan wanita lainnya seperti aurat lelaki dengan lelaki
yaitu dari bawah pusar sampai lutut, dengan syarat aman dari fitnah dan tidak menimbulkan syahwat bagi orang
yang memandangnya.
b. Batasan aurat wanita dengan wanita lain, adalah sama dengan batasan sama mahramnya, yaitu boleh
memperlihatkan bagian tubuh yang menjadi tempat perhiasan, seperti rambut, leher, dada bagian atas, lengan
tangan, kaki dan betis. Dalilnya adalah keumuman ayat dalam surah an-Nûr, ayat ke-31. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, [an-Nûr/24:31]
Yang dimaksud dengan perhiasan di dalam ayat di atas adalah anggota tubuh yang biasanya di pakaikan
perhiasan.
Imam al- Jasshâs rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah bolehnya seseorang
menampakkan perhiasannya kepada suaminya dan orang-orang yang disebutkan bersamanya (yaitu mahram)
seperti ayah dan yang lainnya. Yang terpahami, yang dimaksudkan dengan perhiasan disini adalah anggota tubuh
yang biasanya di pakaikan perhiasan sepert wajah, tangan, lengan yang biasanya di pakaikan gelang, leher, dada
bagian atas yang biasanya di kenakan kalung, dan betis biasanya tempat gelang kaki. Ini menunjukkan bahwa
bagian tersebut boleh dilihat oleh orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas (yaitu mahram). Hal senada
juga di ungkapkan oleh imam az-Zaila’i rahimahullah.
Syaikh al-Albâni rahimahullah menukil kesepakatan ahlu tafsir bahwa yang di maksud pada ayat di atas adalah
bagian tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan seperti anting, gelang tangan, kalung, dan gelang kaki.
Pendapat Yang terkuat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu aurat wanita dengan wanita lain adalah
seperti aurat wanita dengan mahramnya karena dalil yang mendukung lebih kuat. Wallahu a’lam.
7. Batasan aurat wanita di depan suami.
Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan
perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi
akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh
istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun
suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain)
memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang
tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allah ta’ala berfirman dalam
kitab-Nya,
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar
memandangi perhiasan istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk
menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya.
[Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku
sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam
keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap
pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan),
berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya
untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-
Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]
Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.
8. Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya.
Aurat seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di depan kaum
lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni (VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam
kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa
sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara perempuannya
atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu
mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri
saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,
َو َال ُيْف يِض الَّر ُج ُل ىَل الَّر ُج ِل يِف الَّثْو ِب اْلَو ا، َو َال اْلَمْر َأُة ىَل َع ْو َر ِة اْلَمْر َأِة، َيْنُظ ُر الَّر ُج ُل ىَل َع ْو َر ِة الَّر ُج ِل
ِإ َو َال ُتْفيِضِإ اْلَمْر َأُة ىَل اْلَمْر َأَة يِف الَّثْو ِب ِإ اْلَو ِحِد، ِحِد.
َو َال َتْنُظ ُر اْلَمْر َأُة ىَل ُع ـْر َيِة اْلَمْر َأِة، َو َال َيْنُظ ُر ِإالَّر ُج ُل ىَل ُع ـْر َيِة الَّر ُج ِل: و يف روية.
ِإ
“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat
ِإ
wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang
wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita
lainnya” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793),
Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu “anhu]
Makna “uryah ( ( )عـريةaurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan
Lengkap Nikah (hal. 100)]
Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di depan wanita kafir, maka sebagian ulama
berpendapat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah,
karena lafazh أو نسآئهنyang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanita-wanita
muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga
wanita muslimah tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi
(no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22) dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “ أو نسآئهنbermakna wanita secara umum, baik dia seorang
muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang
bukan mahram, sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan
wanita kafir. [Lihat Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan
Fataawaa al-Mar’ah (I/73)]
Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama,
karena pada awal ayat tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allah ta’ala memulai perintah hijab dengan lafazh وقل للمؤمنت
yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu أو نسآئهنlebih
dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
9. Batasan aurat wanita di depan para budak.
Di dalam ayat di atas, disebutkan أو ما ملكت أيمنهنatau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat
ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya
adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu’ al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak
diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
10. Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh أِو التبعين غير أولى اإلرب ة من الرج ال, , “Maknanya adalah para
pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan
usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat).
[Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut
memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan
kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah
secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa
nampak darinya.
11. Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita
Maksud lafazh أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النس آءadalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang
keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke
ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai
mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia
tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
Catatan Penting
Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh
ditampakkan di depan para mahram, yaitu:
1. Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada
penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika
hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal itu
terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
2. Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman dari kemungkinan adanya orang-orang
asing yang dapat melihatnya dan ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di
mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan
kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus
dalam Syarah al-Arba’un al-Uswah (no. 26)]
3. Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak
darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat
senantiasa terjaga.
َفاَأْلِم ُري اِذَّل ي َعىَل الَّناِس َر اٍع َعَلِهْي ْم َو ُه َو َم ْس ُئوٌل َع ُهْنْم، َو ُّلُكْمُك َم ْس ُئوٌل َع ْن َر ِع َّيِتِه، ُّلُكْمُك َر اٍع.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan di tanya tentang kepemimpinannya, seorang amir maka dia
adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. [HR. al-Bukhâri , no. 893,2409,2554;
dan Muslim, no.1829]
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Wajib bagi waliyul amri (pemerintah) melarang perempuan yang keluar (rumahnya)
dengan berdandan dan bersolek, dan juga melarang mereka berpakaian yang menampakkan auratnya. [at-Thuruq al-
Hukmiah, hlm. 238]
Jika terjadi pelangggaran dalam masalah ini pemerintah boleh memberikan sangsi terhadap pelakunnya, dan hal ini di
benarkan dalam agama Islam. Masalah jenis sangsi, dikembalikan kepada kebijakan hakim. Kerena pelanggaran tidak
menutup aurat termasuk hukum ta’zîr dan bukan bagian dari hukum hudud. Wallâhu a’lam.
MAKNA TAUBAT
Asal makna taubat ialah:
الُّر ُج ْو ُع ِم َن اَّذل ْنِب.
(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:
اَت َب ىَل ِهللا َيُتْو ُب َتْو ًاب َو َتْو َبًة َو َمَتاًاب ِبَم ْع ىَن َأاَن َب َو َر َجَع َع ِن اَملْع ِص َيِة ىَل الَّط اَعِة.
ِإ
(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).
ِإ
ْا ْعَرِت اُف َو الَّنَد ُم َو ْا ْقَالُع َو اْلَع ْز ُم َعىَل َأَّال ُيَع اِو َد ْا ْنَس اُن َم ا اْقَرَت َفُه:َ الَّتْو َبُة.
ِإل
(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi
ِإل ِإل
perbuatan itu).
SYARAH HADITS
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang
harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena
sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus
segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “: …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. (An Nur : 31). Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) … (At Tahrim : 8). Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu
dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus
menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang
mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa
hari Kiamat. (Hud : 3).
Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya
segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh
ditunda.”
Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah
wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”
Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa
kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap
anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang
tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek,
menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa
hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya
(ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke
tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya,
baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.
Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik,
kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu
bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu
hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu
majelisnya.
َر ِّب اْغِفْر يِل َو ُتْب َعَّيَل، َع ِن اْبِن َمُع َر َقاَل ِإ ْن ُكَّنا َلَنُع ُّد ِلَر ُس ْو ِل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل يِف اْلَم ْج ِلِس اْلَو اِحِد ِم اَئَة َم َّر ٍة
ِإ َّنَك َأْنَت َتَّو اُب الَّر ِح ُمْي.
“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya
Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”( HR At Tirmidzi )no. 3434), Abu Dawud (no. 1516), Ibnu
Majah (no. 3814). Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat.
Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat. Dalam sebuah
hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
َّن َهللا َيْبُس ُط َيَد ُه اِب لَّلْي ِل ِلَيُتْو َب ُم ِس ُئي الَهَّناِر َو َيْبُس ُط َيَد ُه اِب لَهَّناِر ِلَيُتْو َب ُم ِس ُئي الَّلْي ِل َح ىَّت َتْط ُلَع الَّش ْمُس ِم ْن َم ْغِرَهِبا.
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat
ِإ
orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima
taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat” (HR. Muslim)
Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di
setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya,
kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan
kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan
dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air
bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus
tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar,
tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.
Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang
pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
” Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka),
atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu,
maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya
itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. [Al
An’am/6:158]
Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada
seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-
orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih”. [An Nisa`/4 : 18].
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِإ َّن َهللا َيْقَبُل َتْو َبَة اْلَع ْب ِد َم ا َلْم ُيَغْر ِغ ْر.
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan”.( Hadits shahih
riwayat At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253). Lafazh hadits ini menurut Imam At
Tirmidzi.
SYARAT-SYARAT TAUBAT
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:
1. ِ(اِإل ْقَالُعal iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah
lakukan.
2. ( الَّنَد ُمan nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.
3. ( َاْلَع ْز ُمal ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
4. Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu
syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya,
maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa
ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.
Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang
dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َم ا ِم ْن َر ُج ٍل ُيْذ ِنُب َذ ْنبًا َّمُث َيُقْو ُم َفَيَتَط َّهُر َّمُث ُيَص ىِّل َّمُث َيْس َتْغِفُر َهللا َّال َغَفَر ُهللا ُهَل َّمُث َقَر َأ َه َذ ِه اآلَيَة (َو اِذَّل ْيَن َذ ا
ِإ ِإ
َفَع ُلْو ا َفاِح َش ًة َأْو َظ َلُمْو ا َأْنُفَس ُهْم َذ َكُر ْو ا َهللا َفاَس َتَغَفُر ْو ا ُذِل ُنْو ِهِب ْم.
“Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun
kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya”.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:
َو اِذَّل يَن َذ ا َفَع ُلوا َفاِح َش ًة َأْو َظ َلُم وا َأْنُفَس ُهْم َذ َكُر وا اَهَّلل َفاْس َتْغَفُر وا ُذِل ُنوِهِب ْم َو َمْن َيْغِفُر اُّذل ُنوَب اَّل اُهَّلل َو َلْم ُيُّرِص وا
ِإ ِإ
َعٰىَل َم ا َفَع ُلوا َو ْمُه َيْع َلُم وَن
“Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui”. [Ali ‘Imran : 135].”( Hadits hasan
riwayat At Tirmidzi (no. 406), Ahmad (I/10), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395), Abu Dawud Ath Thayalisi
(no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.
JANJI ALLAH KEPADA ORANG YANG BERTAUBAT DAN ISTIQAMAH DALAM TAUBATNYA
1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الَّتاِئُب ِم َن اَّذل ْنِب َمَكْن َال َذ ْنَب ُهَل.
“Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa”.(HR. Ibnu Majah)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka
dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al Furqan/25 : 70].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َلَيَتَم َّنَّنَي َأْقَو اٌم َلْو َأْكُرَث ْو ا ِم َن الَّس ْيَئاِت اِذَّل ْيَن َبَّد َل ُهللا َع َّز َو َج َّل َس ِّيَئاِهِت ْم َح َس َناٍت.
“Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita
menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan”.
( Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no.
5359), dari sahabat Abu Hurairah.
2. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat,
dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [At Taubah/9 : 104]
Juga firmanNya:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian
tetap (istiqamah) di jalan yang benar”.[Thaha/20 : 82].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َمْن اَت َب َقْبَل َأْن َتْط ُلَع الَّش ْمُس ِم ْن َم ْغِرَهِبا اَت َب ُهللا َعَلْي ِه.
“Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya”.(HR. Muslim)
3. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ُّلُك َبيِن آَد َم َخ َّط اٌء َو َخ ُرْي اْلَخ َّط اِئَنْي الَّتَّو اُبْو َن.
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”
(Hadits hasan riwayat Ahmad (III/198), At Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251) dan Al Hakim (IV/244).
Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 4515), dari sahabat Anas.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َّمُث َيْغِفُر َلُهْم َو ُه َو اْلَغُفْو ُر الَّر ِح ُمْي، َلَخ َلَق ُهللا َخ ْلًقا ُيْذ ِنُبْو َن َّمُث َيْس َتْغِفُر ْو َن،َلْو َأَّن اْلِع َباَد َلْم ُيْذ ِنُبْو ا.
“Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat
dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.( Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246), dari Abu
‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 967-970).
TERAPI MUJARAB AGAR BISA ISTIQAMAH DALAM TAUBAT DAN TIDAK TERUS-MENERUS
BERBUAT DOSA DAN MAKSIAT
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-
penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan
kembali kepada agama yang benar.
Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang
tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat
tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:
1. Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang
yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.
2. Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan
musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.
3. Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.
4. Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa
khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
5. Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah
َأُع ْو ُذ ِبَك ِم ْن ِّرَش َم ا، الَّلُهَّم َأْنَت َر ْيِّب َال َهَل َّال َأْنَت َخ َلْقَتْيِن َو َأاَن َع ْب ُد َك َو َأاَن َعىَل َع ْهِد َك َو َو ْعِد َك َم ا اْس َتَط ْع ُت
ِإ ِإ
َأُبْو ُء َكَل ِبِنْع َم ِتَك َعَّيَل َو َأُبْو ُء ِبَذ ْنْيِب َفاْغِفْر ْيِل َف َّنُه َال َيْغِفُر اُّذل ُنْو َب َّال َأْنَت، َص َنْع ُت.
ِإ ِإ
“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau,
Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu
semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu
(yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak
ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau”.( HR Al Bukhari (no. 6306, 6323), Ahmad (IV /122-125)
dan An Nasa-i (VIII/279-280).
Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah
َر َّبَنا اْغِفْر َلَنا ُذ ُنوَبَنا َو َرْس اَفَنا يِف َأْمِر اَن َو َثِّب ْت َأْقَد اَمَنا َو انْرُص اَن َعىَل اْلَقْو ِم اْلاَك ِف ِر يَن
“Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan ِإ dalam urusan
kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.[Ali ‘Imran : 147].
َر َّبَنا َظ َلْمَنا َأنُفَس َنا َو ن َّلْم َتْغِفْر َلَنا َو َتْر ْمَح َنا َلَنُكوَنَّن ِم َن اْلَخاِرِس يَن
“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni ِإ kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”.[Al A’raf : 23].
FIQHUL HADITS
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:
1. Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
2. Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
3. Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
4. Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah
(perbaikan).
5. Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
6. Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah
terbit dari barat (hari Kiamat).
7. Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
8. Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.
“… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
[Al Baqarah/2 : 222].
Wallahu a’lamu bish shawab.
TAUBAT NASHUHA
Manusia tidak lepas dari kesalahan, besar maupun kecil, disadari maupun tanpa disengaja. Apalagi jika hawa nafsu
mendominasi jiwanya. Ia akan menjadi bulan-bulanan berbuat kemaksiatan. Ketaatan, seolah tidak memiliki nilai berarti.
Meski manusia dirundung oleh kemaksiatan dan dosa menumpuk, bukan berarti tak ada lagi pintu untuk
memperbaiki diri. Karena, betapapun menggunung perbuatan maksiat seorang hamba, namun pintu rahmat selalu terbuka.
Manusia diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Yaitu dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan yang bisa
mengantarkannya ke jurang neraka. Taubat yang dilakukan haruslah total, yang dikenal dengan taubat nashuha. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َر َو اُه الْرِّت مِـِذ ُّي. ُّلُك َبْيِن آَد َم َخ َط اٌء َو َخ ُرْي اْلَخ َّط اِئَنْي الَّتَّو ُبْو َن
Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat. (HR
At Tirmidzi, no.2499 dan dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, no. 4391.)
َلْو َأَّن اْلِع َباَد َلْم ُيْذ ِنُبْو ا َلَخ َلَق ُهللا اْلَخلَق ُيْذ ِنُبْو َن َّمُث َيْغِفُر َلُهْم َر واه اْلَح اُمِك
Seandainya hamba-hamba Allah tidak ada yang berbuat dosa, tentulah Allah akan menciptakan makhluk lain yang
berbuat dosa kemudian mengampuni mereka.( HR Al Hakim, hlm. 4/246 dan dishahihkan Al Albani dalam Silsilah
Shahihah, no. 967.)
Dengan bertaubat, kita dapat membersihkan hati dari noda yang mengotorinya. Sebab dosa menodai hati, dan
membersihkannya merupakan kewajiban. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya seorang
mukmin bila berbuat dosa, maka akan (timbul) satu titik noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan (perbuatan
tersebut) dan memohon ampunan (kepada Allah), maka hatinya kembali bersih. Tetapi bila menambah (perbuatan dosa),
maka bertambahlah noda hitam tersebut sampai memenuhi hatinya. Maka itulah ar raan (penutup hati) yang telah
disebutkan Allah dalam firmanNya
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. [Al
Muthaffifin:14]
Allah juga menganjurkan kita untuk segera bertaubat dan beristighfar, karena hal demikian jauh lebih baik
daripada larut dalam dosa. Allah berfirman.
Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung
dan tidak (pula) penolong di muka bumi. [At Taubah : 74]
Rasulullah sendiri telah memberikan contoh dalam bertaubat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak bertaubat dan
beristighfar, sampai-sampai para sahabat menghitungnya sebanyak lebih dari seratus kali dalam satu majlis, sebagaimana
Nafi’ maula Ibnu Umar telah menyatakan :
اَك َن اْنُن َمُع ُر ُيَع ُّد ِلَر ُس وِل اِهَّلل َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل يِف اْلَم ْج ِلِس اْلَو اِحِد ِم اَئُة َم َّر ٍة ِم ْن َقْبِل َأْن َيُقوَم َر ِّب اْغِفْر يِل َو ُتْب
َعَّيَل َّنَك َأْنَت الَّتَّو اُب اْلَغُفوُر َر ََو اُه الْرِّت ِمِذ ي
Ibnu Umar pernah menghitung (bacaan istighfar) Rasulullah n dalam suatu majlis sebelum bangkit darinya seratus
ِإ
kali, (yang berbunyi) : Ya Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha penerima
taubat lagi Maha pengampun. (HR At Tirmidzi, no. 3434 dan dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no.556.)
SHALAT ISTIKHARAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan mereka, dan supaya mereka
memohon kebaikan didalamnya. Yaitu, dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti bagi apa
yang biasa dilakukan pada masa jahiliyyah, berupa ramal-meramal, memohon kepada berhala dan melihat peruntungan.
Yang dimaksud istikhoroh adalah memohon kepada Allah manakah yang terbaik dari urusan yang mesti dipilih
salah satunya.
Dapat saya katakan, di dalam hadits tersebut terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik, yaitu.
Pertama : Di dalam hadits ini, shalat istikharah disyariatkan. Dan di dalamnya juga, shalat istikharah terkesn wajib.
Kedua ; Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa shalat istikharah itu disyariatkan dalam segala urusan, baik urusan
itu besar maupun kecil, penting maupun tidak
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah itu disunnatkan dalam segala urusan, sebagaimana yang secara
jelas disampaikan oleh nash hadits shahih ini’
Juga perlu saya katakan, bahwa mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan serta
menunaikan semua yang disunatkan dan meninggalkan yang makruh tidak perlu shalat istikharah
Memang benar, shalat istikharah ini mencakup yang wajib dan yang sunnat yang harus dipilih serta hal-hal yang waktunya
cukup luas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah ini mencakup urusan-urusan besar maupun kecil.
Berapa banyak masalah kecil menjadi sumber masalah besar?”
Ketiga : Di dalamnya juga terdapat pengertian bahwa shalat istikharah itu dua rakaat di luar shalat wajib
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :”Yang tampak bahwa shalat istikharah ini dapat dikerjakan dengan dua
rakaat shalat sunnat rawatib, tahiyatul masjid, dan shalat-shalat sunnat lainnya.
Perlu saya katakan, maksudnya –wallahu a’lam- jika ada keinginan untuk melakukan suatu hal, maka hendaklah segera
mengerjakan shalat istikharah ini. Dan menurut lahiriyah ungkapan Imam An-Nawawi rahimahullah, sama saja shalat itu
diniati dengan niatkan istikharah maupun tidak. Dan itu juga yang tampak pada lahiriyah hadits.
Al-Iraqi mengemukakan : Jika keinginan melakukan sesuai itu muncul sebelum mengerjakan shalat sunnat rawatib atau
yang semisalnya, lalu dia mengerjakan shalat dengan tidak berniat untuk beristikharah, kemudian setelah shalat muncul
keinginan untuk memanjatkan do’a istikharah, maka secara lahir, hal tersebut sudah mencukupi.
Keempat : Di dalamnya disebutkan : “Istikharah itu tidak bisa dilakukan pada saat ragu-ragu, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
َذ ا َّمَه َاَح ُد ْمُك ْاِب لَأل ْمِر
“Jika salah seorang di antara kalian mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu. Dan, karena semua do’a menunjukkan
ِإ
kepada hal tersebut”.
Dan jika seorang muslim merasa ragu dalam suatu hal, maka hendaklah dia memilih salah satu dari kedua hal tersebut dan
memohon petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut. dan setelah istikharah, dia biarkan semua berjalan apa adanya. Jika
baik, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan padanya dan memberikan berkah kepadanya dalam hal tersebut. Dan
jika tidak, mudah-mudahan Dia memalingkan dirinya dari hal tersebut serta memudahkan kepada yang lebih baik dengan
seizin-Nya yang Mahasuci lagi Mahatinggi.
Kelima : Selain itu, di dalamnya juga terkandung pengertian, tidak ada penetapan bacaan surat atau beberapa ayat tertentu
pada kedua rakaat tersebut setelah bacaan Al-Fatihah.
Keenam : Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa pemilihan itu terlihat dengan dimudahkannya urusan itu dan
diberikannya berkah padanya. Dan jika tidak demikian, maka orang yang beristikharah itu akan dipalingkan darinya dan
diberikan kemudahan padanya untuk memperoleh kebaikan dimana pun kabaikan itu berada.
Ketujuh : Selain itu, jika seorang muslim mengerjakan shalat istikharah, maka akan terlihat apa yang dia inginkan, baik
dadanya lapang atau tidak.
Az-Zamlakani mengatakan :”Jika seseorang mengerjakan shalat istikharah dua rakaat untuk suatu hal, maka hendaklah
setelah itu dia melakukan apa yang tampak olehnya, baik hatinya merasa senang maupun tidak, karena padanya kebaikan
itu berada sekalipun jiwanya tidak menyukainya”. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Di dalam hadits tersebut tidak ada syarat
adanya kesenangan diri’
Kedelapan : Saat pemanjatan do’a istikarah itu berlangsung setelah salam. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
َّمُث ْلَيُقْل، َفْلْرَي َكْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر ْيَض ِة، َذ ا َّمَه َأَح ُد مُك اِب ّألْمِر
“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat
ِإ
dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan ..”
Karena lahiriyahnya do’a itu dipanjatkan setelah mengerjakan shalat dua rakaat, yaitu setelah salam. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa do’a istikharah itu dipanjatkan sebelum salam.
ADAB-ADAB SAFAR
َأْو َأَهْجَل َأْو ْجُيَهَل عَّيل، َأْو َأْظ َمِل َأْو ُأْظ َمَل، َأْو َأِز َّل َأْو ُأَز َّل، الَّلُهَّم إ يِّن َأُعوذ ِبَك َأْن َأِض َّل َأْو ُأَض َّل
[Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran
diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku
atau dijahilin orang lain].( HR. Abu Daud no. 5094 dan Ibnu Majah no. 3884, dari Ummu Salamah. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2442.)
Jarak Safar
Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat. Ada tiga
pendapat dalam hal ini:
1. Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km.
Inilah pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,
َو اَك َن اْبُن َمُع َر َو اْبُن َع َّباٍس – رىض هللا عهنم – َيْقَرُص اِن َو ُيْف ِط َر اِن ىِف َأْر َبَع ِة ُبُر ٍد َو َىْه ِس َّتَة َع َرَش َفْر ًخَسا
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika
bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-.
Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al Irwa’ 565)
Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.
2. Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.
Inilah pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َال ُتَس اِف ِر اْلَمْر َأُة َثَالَثَة َأاَّي ٍم ِإ َّال َم َع ِذ ى َمْح َر ٍم
“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086
dan Muslim no. 1338).
Begitu pula berdalil dengan hadits ‘Ali, ia berkata,
َثَالَثَة َأاَّي ٍم َو َلَياِلُهَيَّن ِلْلُم َس اِف ِر َو َيْو ًم ا َو َلْي ًةَل ِلْلُم ِقِمي-صىل هللا عليه وسمل- َجَع َل َر ُس وُل اِهَّلل
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap
khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan batasan jarak safar.
3. Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.
Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri.
Ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak kurang dari
yang tadi disebutkan. Namun ketika itu beliau sudah mengqashar shalat.
صىل هللا عليه- َع ْن ْحَي ىَي ْبِن َيِز يَد اْلُهَناِّىِئ َقاَل َس َأْلُت َأَنَس ْبَن َم اٍكِل َع ْن َقِرْص الَّص َالِة َفَقاَل اَك َن َر ُس وُل اِهَّلل
َذ ا َخ َر َج َم ِس َري َة َثَالَثِة َأْم َياٍل َأْو َثَالَثِة َفَر اَخِس – ُش ْع َبُة الَّش اُّك – َص ىَّل َر ْكَعَتِنْي-وسمل
“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar
ِإ
shalat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3
farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at (qashar
shalat).” (HR. Muslim no. 691).
Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,
َو ُه َو َأّحَص َح ِد يث َو َر َد يِف َبَيان َذ َكِل َو َأَرْص حه
“Itulah hadits yang paling shahih yang menerangkan masalah jarak safar untuk bisa mengqashar shalat. Itulah
hadits yang paling tegas.” (Fathul Bari, 2: 567)
Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi pendapat di atas, mereka menyanggah bahwa jarak yang
dimaksud dalam hadits adalah jarak saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar, bukan jarak tujuan
yang ingin dicapai.
Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
َو ِب ِذ ى، َع ْن َأَنِس ْبِن َم اٍكِل – رىض هللا عنه – َقاَل َص ىَّل الَّنُّىِب – صىل هللا عليه وسمل – اِب ْلَم ِد يَنِة َأْر َبًع ا
اْلُح َلْي َفِة َر ْكَعَتِنْي
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua
raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690).
Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan
batasan untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat. Berbagai pendapat yang
diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi. Dalil yang menyebutkan adanya batasan tidak bisa dijadikan
alasan karena saling kontradiksi.
Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran
jarak tertentu dalam mayoritas safar. Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa
makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita
juga harus menetapkan demikian pula.
Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. Begitu pula tetap berlaku
berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al
Fatawa, 24: 12-13).
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. Selama suatu perjalanan disebut safar baik
menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar shalat. Kalau mau disebut safar, maka ia akan
berkata, “saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).
Kalau sulit untuk menentukan itu safar ataukah tidak, maka pendapat jumhur (mayoritas ulama) bisa digunakan
yaitu memakai jarak 85 km. Berarti jika telah menempuh jarak 85 km dari akhir bangunan di kotanya, maka
sudah disebut safar. Wallahu a’lam.