Anda di halaman 1dari 89

KEBERKAHAN MAKAN SAHUR

DEFINISI
( ‫ ا)لَّس ُح ْو ُر‬, adalah dengan memfathahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur berupa suatu makanan atau
minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.
Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar
adalah dengan didhummahkan karena dengan menfathahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan balasan
perbuatan, bukan pada makanan.’”

WAKTUNYA
Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, akhir dari malam sebelum Shubuh, ada
yang berkata, ia dari sepertiga malam akhir hingga terbit fajar, maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur bagi
seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, [5] yaitu fajar…” [Al-Baqarah: 187]
Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas
Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”
Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.”

HUKUMNYA
Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda:
‫َتَس َّح ُر ْو ا! َف َّن يِف الَّس ُح ْو ِر َبَر َكٌة‬.”

“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
‫ِإ‬
Shahihnya (II/232) Kitaabush Shaum bab Barakatus Suhuur min Ghairi Iijaab liannan Nabi j wa Ash-haabuhu
Waashalu wa lam Yudzkaris Suhuur juga Muslim dalam Shahihnya (II/770) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlus Suhuur,
dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dan dalam Shahih Ibni Khuzaimah (III/213).

Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ ‫ َأَلْكُة الَّس َح ِر‬، ‫َفْص ٌل َم ا َبَنْي ِص َياِم َنا َو ِص َياِم َأْه ِل اْلِكَتاِب‬.”
”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahihnya (II/771) kitab ash-Shiyaam bab Fadhlus Suhuur dari ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhu.
Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.
Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan puasa mereka adalah sahur, karena
mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan untuk bersahur.”
Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh seseorang, baik berupa makanan maupun
minuman.

KEUTAMAAN SAHUR DAN KEBERKAHANNYA


Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َتَس َّح ُر ْو ا! َف َّن يِف الَّس ُح ْو ِر َبَر َكٌة‬.”

“Bersahurlah, karena pada makan Sahur itu ada keberkahan.” (HR. Ash-Shahihain)
‫ِإ‬
Dan diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu[13] , ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil seseorang untuk makan Sahur seraya bersabda:
‫َه َّمُل ىَل اْلَغَد اِء اْلُم َباَر ِك‬.”

“Kemarilah untuk menyantap makanan yang diberkati.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (II/758)
‫ِإ‬
Kitaabush Shiyaam bab Man Sammas Sahuural Ghadaa’ dan an-Nasa-i (IV/126) Kitaabush Shiyaam bab ad-Da’wah
ilas Sahuur, Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/126), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (III/214) Kitaabush
Shiyaam bab Dziktud Dallilin Naas Sahuur Qad Yaqa’a ‘alaihi Ismul Ghadaa’, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (V/194)
disusun oleh al-Farisi, al-Albani berkata dalam Misykatul Mashabiih (I/622), “Sanadnya hasan.”)
Makan Sahur memiliki keberkahan dunia dan akhirat, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata saat menjelaskan keberkahan
Sahur, “Keberkahan yang terdapat pada makan Sahur sangatlah jelas sekali, karena ia menguatkan untuk berpuasa dan
membuatnya bergairah untuknya serta mendapatkan keinginan untuk menambah puasa oleh karena ringannya kesulitan
padanya bagi orang yang bersahur.” Dikatakan: “Sesungguhnya ia mengandung terjaga dari tidur, dzikir dan do’a pada saat
itu, dimana waktu tersebut adalah waktu turunnya Malaikat, penerimaan do’a dan istighfar, dan kemungkinan ia mengambil
wudhu’ lalu shalat atau terus melanjutkan terjaga untuk dzikir, do’a, shalat atau mempersiapkan diri untuk shalat hingga
terbit Fajar.”
Yang benar, bahwa keberkahan meliputi semua itu dan hal-hal lain dari manfaat-manfaat Sahur, baik duniawi maupun
ukhrawi, dan bahwa makan Sahur mencakup makanan dan minuman, sedangkan kata kerjanya adalah ‫الَّتَس ُّح ُر‬.
Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik adalah, bahwa keberkahan dalam makan Sahur
dapat diperoleh dari banyak segi, yaitu mengikuti Sunnah dan menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang buruk yang diakibatkan oleh kelaparan,
menjadi sebab bersedekah kepada siapa yang meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan,
membuatnya berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat puasa bagi mereka yang
melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied [16] berkata, ‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi
karena dengan menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang dilakukan), begitu pula bisa saja
berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti kekuatan tubuh untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya
bagi orang yang melaku-kan puasa.’”
Di antara keutamaan-keutamaan yang ditambah bagi makan Sahur adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya
akan bershalawat bagi orang-orang yang makan Sahur, tidak dipungkiri bahwa itu adalah keutamaan yang besar.
Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda:
“ ‫ َف َّن َهللا َو َم َالِئَكَتُه ُيَص ُّلْو َن َعىَل‬، ‫ َفَال َتْد ُع ْو ُه َو َلْو َأْن ْجُي َر َع َأَح ُد ْمُك ُج ْر َعًة ِم ْن َم اٍء‬، ‫الَّس ُح ْو ُر َأُلْكُه َبَر َكٌة‬
‫ِإ‬
‫اْلُم َتَس َّح ِر ْيَن‬.”
“Makan Sahur adalah keberkahan, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun hanya berupa seteguk air,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya bershalawat bagi orang-orang yang bersahur.” (HR. Imam
Ahmad)
Maka seyogyanyalah bagi seorang Muslim mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya pada masalah
ini, hingga memperoleh keber-kahannya dan keutamaan-keutamaannya serta manfaat dunia dan akhirat.
Makan sahur merupakan salah satu sunnah yang sangat dianjurkan bagi orang yang akan berpuasa. Tidak hanya dalam
puasa Ramadhan yang wajib saja, melainkan juga dalam puasa sunnah. Keutamaan yang luar biasa dari makan sahur dapat
kita cermati dalam pembahasan berikut ini.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan sahuur (‫)الَس ُحور‬, secara bahasa Arab berarti makanan yang
disantap sebelum berpuasa. Adapun suhuur (‫)ُس ُحور‬, adalah perbuatan menyantap makanan sahur. Penyebutan dan
penggunaan kedua istilah ini kerap terbalik dalam bahasa Indonesia.
Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan tentang keutamaan makanan sahur, diantaranya dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena
sesungguhnya dalam makanan sahur terdapat barakah” (Muttafaqun ‘alaih)
Barakah maknanya ialah kebaikan yang tetap dan banyak. Barakah dalam hadits ini, mencakup baik makanan sahur (as
sahuur), maupun perbuatan sahur itu sendiri (suhuur). Akan tetapi riwayat hadits yang lebih banyak digunakan ialah as
sahuur, makanan sahur.

Keutamaan Makanan Sahur


Barakah dalam makanan sahur, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah, mencakup kebaikan dalam
perkara ukhrawiyah, berupa menegakkan sunnah Nabi yang dapat mendatangkan pahala bagi pelakunya, maupun kebaikan
duniawi seperti kuatnya badan orang yang makan sahur dan berpuasa, dibandingkan dengan yang tidak makan sahur.
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan dengan lebih detail lagi tentang berbagai kebaikan dalam makanan sahur, ditinjau
dari berbagai sisi, sebagai berikut.
 Mengerjakan dan meneladani sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
 Menyelisihi ahli Kitab, berdasarkan hadits dari Amru bin Al Ash dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda, “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab ialah makan sahur” (HR. Muslim)
 Menguatkan badan orang yang berpuasa dalam melaksanakan ibadah
 Menambah kekuatan agar semakin rajin beribadah
 Menolak buruknya akhlaq yang dapat timbul akibat rasa lapar
 Dapat menjadi sebab untuk bershadaqah kepada yang membutuhkan makanan sahur, atau dapat juga menjadi
kesempatan untuk makan berjamaah (yang hal tersebut juga merupakan sunnah Nabi –pent)
 Menjadi sebab dzikir dan doa pada waktu terkabulkannya doa, waktu sahur juga dapat dimanfaatkan untuk
menambah sholat malam
 Waktu sahur dapat digunakan untuk berniat puasa, terutama bagi mereka yang sering lalai dan tidak berniat sebelum
tidurnya
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Adapun barakah makanan sahur secara dhahir (nampak), yaitu dengan kuatnya
badan ketika berpuasa, menjadikannya rajin beribadah, menjadikannya termotivasi ingin menambah lagi amalan puasanya,
karena nampak ringan puasa baginya setelah makan sahur, dan inilah makna yang benar dari makan sahur. Kemudian juga
dengan bangun sahur dapat menjadikannya berdoa dan berdzikir di waktu yang mulia, yaitu waktu ketika turun Ar Rahmah,
dan diterimanya doa dan diampuninya dosa. Seorang yang bangun sahur dapat berwudhu kemudian shalat malam,
kemudian mengisi waktunya dengan doa, dzikir, dan shalat malam, dan menyibukkan diri dengan ibadah lainnya hingga
terbit fajar.”
Demikian pula, Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur. Dari Abu Sa’id Al Khudri dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Makanan sahur adalah makanan yang barakah maka janganlah kalian
meninggalkannya, walaupun seorang dari kalian hanya sahur dengan meneguk air, karena sesungguhnya Allah dan
para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur”. (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/44,
12 berkata Al Mundziri dalam At Targhib wa At Tarhib 2/139 : riwayat Ahmad dan sanadnya kuat, dan berkata Al
Haitsami dalam Al Majmu’ 3/150 : riwayat Ahmad dan didalamnya terdapat Rifa’ah, aku tidak mendapati
keterangan tentang tsiqahnya maupun kritikan atasnya, adapun rijal lainnya shahih)
Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya (5/194) juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma,
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur”

Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Makan Sahur


Diutamakan mengakhirkan makan sahur di akhir waktunya, selama tidak khawatir akan terbitnya fajar. Berdasarkan hadits
yang marfu’ dari Abu Dzar, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan
menyegerakan berbuka” (HR. Ahmad, sanadnya dha’if). Sedangkan dari hadits Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit
radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
kami berdiri untuk mengerjakan shalat.” Anas berkata, “Aku berkata kepada Zaid, ‘Berapa rentang waktu antara
adzan dan sahur?’ Zaid menjawab, ‘Kira-kira 50 ayat’” (Muttafaqun ‘alaih)
Sebagian orang justru begadang dari awal hingga tengah malam, lalu meninggalkan makan sahur. Perbuatan ini jelas-jelas
menyelisihi sunnah, karena makan sahur sangat ditekankan dan dianjurkan, walau dengan makanan atau minuman yang
sedikit.
Diantara makanan yang baik untuk sahur ialah kurma, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Makanan
sahur yang paling nikmat bagi seorang mukmin, adalah kurma” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Sebagian orang mengira bahwa ketika sahur wajib baginya untuk berhenti, atau minimal mengira bahwa dianjurkan
baginya berhenti, sebelum waktu fajar tiba. Anggapan ini tidak ada dalilnya. Bahkan mereka diperintahkan untuk tetap
makan dan minum hingga terbit fajar.
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [QS. Al-Baqarah : 187]
Sehingga dalam ayat ini jelaslah bagi kita, bahwa akhir waktu bagi makan dan minum adalah terbitnya fajar.

HADITS KEBERKAHAN SAHUR


‫َع ْن َأَنٍس َر َيِض اُهَّلل َع ْنُه َقاَل َقاَل َر ُس وُل اِهَّلل َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َتَس َّح ُر وا َف َّن يِف الُّس ُح وِر َبَر َكًة‬
‫ِإ‬
Dari Anas bin Maalik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Bersahurlah kalian karena dalam sahur ada keberkahan.”

TAKHRIJ
Hadits yang mulia ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dalam shahihnya no. 1789 dan Imam Muslim dalam shahihnya no.
1835.

BIOGRAFI PERAWI HADITS


Beliau adalah Anas bin Mâlik bin an-Nadhar al-Anshâri al-Khazraji. Beliau Radhiyallahu anhu dibawa Ummu Sulaim
Radhiyallahu anhuma pada usia sepuluh tahun menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam datang ke Kota Madinah seraya berkata :
‫اَي َر ُس وَل اِهَّلل َأَنٌس َخ اِد ُم َك اْدُع اَهَّلل ُهَل‬
Wahai Rasûlullâh ini Anas yang akan menjadi khadim (pelayan) Engkau. Maka doakanlah ia !
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuk beliau :
‫الَّلُهَّم َأْك ْرِث َم اُهَل َو َو َدَل ُه َو أْد ِخ ُهْل اَجلَّنَة‬
Ya Allâh perbanyaklah hartanya dan anaknya serta masukkanlah ia kedalam syurga.
Anas Radhiyallahu anhu menyatakan, “Aku telah mendapatkan keduanya (harta dan anak) dan berharap mendapatkan yang
ketiga (masuk syurga). Sungguh telah dikubur dari keturunanku selain cucu-cucuku sejumlah seratus dua puluh lima orang
dan kebunku berbuah dua kali dalam setahun.”
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu terus menjadi pelayan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggal di Madinah hingga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat . Setelah itu beliau Radhiyallahu anhu menetap di kota Bashrah dan wafat disana
pada tahun 90 H dan beliau Radhiyallahu anhu termasuk sahabat yang terakhir meninggal disana. [Dinukil dari Tanbîhul
Afhâm, Ibnu Utsaimin, 3/36]

SYARAH
Dinul Islam adalah din yang adil dan penuh rahmat yang memberikan bagian istirahat dan pendukung kekuatan badan dan
memberikan jiwa bagiannya berupa ibadah dan ketaatan. Dalam hadits yang mulia ini, sahabat yang mulia Anas bin Mâlik
Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang
berpuasa untuk makan sahur agar mendapatkan gizi dan tambahan tenaga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan sahur memiliki keberkahan dalam rangka memotivasi orang agar melakukannya. [Tanbîhul Afhâm, 3/36]
Keberkahan sahur juga dijelaskan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫َهَّنا َبَر َكٌة َأْع َط اْمُك اُهَّلل اَّي َها َفاَل َتَد ُع وُه‬
‫ِإ‬
Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allâh kepada kalian, maka jangan kalian meninggalkannya. (Riwayat
‫ِإ‬
an-Nasai no. 2162 dengan sanad yang sahih. Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-
nasaa’i dan shahih at-targhib wa at-tarhib 1096 )
Keberkahan dalam sahur ada yang bersifat agamis dan ada yang bersifat keduniaan. Sahur sebagai suatu berkah yang
bersifat agama dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu mengikuti sunnah, mendapatkan pahala dan kekuatan dalam
berpuasa dan juga mengandung nilai penyelisihan terhadap ahli kitab. Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan sahur atas kaum
Muslimin dalam rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang
disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudriy Radhiyallahu anhu :
‫َفْص ُل َم ا َبَنْي ِص َياِم َنا َو ِص َياِم َأْه ِل اْلِكَتاِب َأَلْكُة الَّس َح ِر‬
Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur. (HR. Muslim)
Demikian juga diantara keberkahan sahur adalah mendapatkan shalawat dari Allâh dan para malaikat, sebagaimana yang
ada dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudry Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫الُّس ُح وُر َأَلْكٌة َبَر َكٌة َفاَل َتَد ُع وُه َو َلْو َأْن ْجَي َر َع َأَح ُد ْمُك َج ْر َعًة ِم ْن َم اٍء َف َّن اَهَّلل َو َم اَل ِئَكَتُه ُيَص ُّلوَن َعىَل اْلُم َتَس ِّح ِر يَن‬
‫ِإ‬
Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk
seteguk air, karena Allâh k dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.( Riwayat Ibnu Abu Syaibah
dan Ahmad 3/44 lihat sifat Shaum nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syeikh Ali Hasan al-Halabi.
Sedangkan Imam Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan hadits diatas dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma
dengan lafazh :
‫َّن اَهَّلل َو َم اَل ِئَكَتُه ُيَص ُّلوَن َعىَل اْلُم َتَس ِّح ِر يَن‬
Allâh dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur. [Hadits Ibnu Umar ini di hasankan al-Albani
‫ِإ‬
dalam Shahîhut Targhîb wat Tarhîb no. 1066].
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Keberkahan dalam sahur muncul dari banyak sisi, yaitu (karena) mengikuti
sunnah, menyelisihi ahli kitab, memperkuat diri dalam ibadah, menambah semangat beraktifitas, mencegah akhlak buruk
yang diakibatkan rasa lapar, menjadi pendorong agar bersedekah kepada orang yang meminta ketika itu atau berkumpul
bersamanya dalam makan dan menjadi sebab dzikir dan doa di waktu mustajab. [Khulâshatul Kalâm Syarh Umdah al-
Ahkâm, hlm. 111]
Keberkahan sahur yang bersifat duniawi adalah menikmati makanan dan minuman yang halal yang disukainya dan dapat
menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk melakukan ketaatan selama berpuasa. Demikian juga
terjaga kekuatan badan dan semangat aktifitasnya.

SUNNAH MENGAKHIRKANNYA
Yang sangat perlu diperhatikan dalam sahur ini dan banyak dilupakan kaum Muslimin sekarang adalah disunnahkannya
memperlambat sahur sampai mendekati waktu Shubuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , beliau berkata:
‫َتَس َّح ْر اَن َم َع الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َّمُث َقاَم ىَل الَّص اَل ِة ُقْلُت ْمَك اَك َن َبَنْي اَأْلَذ اِن َو الَّس ُح وِر َقاَل َقْد ُر ْمَخ ِس َني آَيًة‬
‫ِإ‬
Kami bersahur bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Ibnu
Abbas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari &
Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Ketika memperkuat
badan untuk berpuasa dan menjaga semangat beraktifitas padanya termasuk tujuan makan sahur, maka termasuk hikmah
adalah mengakhirkannya. [Tanbîhul Afhâm, 3/39]
Dalam hadits yang mulia di atas dijelaskan jarak waktu mulai makan sahur dengan adzan shalat Shubuh adalah seukuran
orang membaca lima puluh ayat secara sedang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. [Lihat penjelasannya dalam kitab
Tanbîhul Afhâm, 3/39]
Salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Sahl bin Sa’d menceritakan :
‫ُكْنُت َأَتَس َّح ُر يِف َأْهيِل َّمُث َتُكوَن ْرُس َع يِت أْن أْد ِر َك الُّس ُج وَد َم َع َر ُس وِل ِهللا‬
Aku makan sahur bersama keluargaku, kemudian aku segera bergegas menuju masjid agar aku bisa bersujud (pada
rakaat pertama shalat shubuh) bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR. al-Bukhâri no. 1786]
Dengan demikian ketentuan imsak yakni menahan diri dari makan dan minum beberapa saat sebelum terbitnya fajar adalah
perkara yang di ada-adakan oleh sebagian kaum Muslimin dan menyelisihi firman Allâh Azza wa Jalla :
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. [al-Baqarah/2: 187]
Juga menyelisihi tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau Radhiyallahu anhum. Para
Ulama telah menegaskan bahwa hal tersebut termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama, walaupun dilakukan dengan
alasan kehati-hatian dan menjaga diri dari perkara yang haram.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Termasuk kebidahan yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini
berupa dikumandangkannya adzan kedua (yaitu) dua puluh menit sebelum fajar di bulan Ramadhan dan memadamkan
pelita-pelita yang dijadikan sebagai tanda tidak boleh makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Ini dengan
anggapan dari orang yang membuat-buatnya untuk kehati-hatian dalam ibadah dan hal ini tidak diketahui adanya kecuali
oleh beberapa orang saja. Hal ini menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan hingga setelah matahari terbenam
beberapa waktu untuk memastikanm waktunya dalam anggapan mereka. Lalu mereka mengakhirkan buka puasa dan
mempercepat sahur serta menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit sekali kebaikan dari mereka dan banyak pada mereka
keburukan. Allâhul musta’an. [Dinukil dari Khulâshah al-Kalam, hlm. 118].
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah
suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan
yang diada-adakan dalam agama Allâh padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, yang artinya, “Celakalah
orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan !” [Fatâwâ
Arkânil Islâm Syeikh ibnu Utsaimin]

HUKUM MAKAN SAHUR


Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫َتَس َّح ُر وا َف َّن يِف الُّس ُح وِر َبَر َكًة‬
Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.(HR. Bukhari & Muslim)
‫ِإ‬
b. Larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa’id yang
terdahulu. Oleh karena itu, al-Hâfidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bâry (3/139) menukilkan ijma’ atas sunnahnya
sahur.

FAEDAH HADITS
1. Perintah makan sahur bersifat sunnah.
2. Sahur memiliki keberkahan
3. Sahur dan keutamaannya tidak khusus pada satu jenis puasa saja bahkan umum untuk semua jenis puasa.
4. Kesempurnaan Islam dalam memperhatikan keadilan
5. Bagusnya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyertakan hikmah satu hukum agar mudah
diterima dan menampakkan ketinggian ajaran Islam.
6. Disunnahkan mengakhirkan makan sahur.
7. Jarak antara makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adzan adalah sejarak bacaan lima puluh ayat.
MENINGGALKAN SHALAT ASHAR
Entah karena menyibukkan diri dengan urusan dunia, seperti karena sekolah, kuliah, pekerjaan, atau hanya karena pergi
main seperti nonton film atau sepak bola, sebagian kaum muslimin seringkali menunda-nunda melaksanakan shalat ashar
hingga waktunya hampir habis, atau bahkan tidak mengerjakan shalat ashar sama sekali. Tentu saja hal ini bertentangan
dengan perintah syariat untuk menjaga pelaksanaan semua shalat wajib, termasuk shalat ashar, sesuai dengan waktunya
masing-masing. Bahkan terdapat ancaman khusus bagi mereka yang sengaja meninggalkan shalat ashar.

Perintah Allah Ta’ala untuk Menjaga Shalat Ashar


Allah Ta’ala berfirman,
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu’.” [QS. Al-Baqarah [2]: 238]
Menurut pendapat yang paling tepat, yang dimaksud dengan “shalat wustha” dalam ayat di atas adalah shalat ashar. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi perang Ahzab,
‫ َص اَل ِة اْلَع ِرْص‬،‫َش َغُلواَن َع ِن الَّص اَل ِة اْلُو ْس َط ى‬
“Mereka (kaum kafir Quraisy, pent.) telah menyibukkan kita dari shalat wustha, (yaitu) shalat ashar.” (HR. Bukhari no.
2931 dan Muslim no. 627. Lafadz hadits ini milik Muslim.)
Dalam ayat di atas, setelah Allah Ta’ala memerintahkan untuk menjaga semua shalat wajib secara umum (termasuk di
dalamnya yaitu shalat ashar), maka Allah Ta’ala kemudian menyebutkan perintah untuk menjaga shalat ashar secara
khusus. Apabila seseorang dapat menjaga shalat wajibnya, maka dia akan mampu untuk menjaga seluruh bentuk ibadahnya
kepada Allah Ta’ala.

Balasan bagi Orang yang Menjaga Shalat Ashar


Terdapat hadits khusus yang menyebutkan pahala bagi orang yang menjaga shalat ashar, yaitu mendapatkan pahala dua kali
lipat dan tidak akan masuk ke neraka. Abu Bashrah al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat ashar bersama kami di daerah Makhmash. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« ‫ َو اَل َص اَل َة َبْع َد َها‬، ‫ َفَم ْن َح اَفَظ َعَلَهْيا اَك َن ُهَل َأْج ُر ُه َم َّر َتِنْي‬،‫َّن َه ِذِه الَّص اَل َة ُعِر َض ْت َعىَل َمْن اَك َن َقْبَلْمُك َفَض َّيُع وَها‬
‫ِه‬ ‫الَّش‬ ‫ِه‬ ‫الَّش‬ ‫ُل‬ ‫ْط‬ ‫ِإ‬
‫َّنْج ُم‬ ‫ل‬ ‫ا‬ : ‫ُد‬ ‫ا‬ ‫َو‬ ، » ‫ُد‬ ‫ا‬ ‫َح َي َع‬‫ىَّت‬ .
‘Sesungguhnya shalat ini (shalat ashar) pernah diwajibkan kepada umat sebelum kalian, namun mereka menyia-
nyiakannya. Barangsiapa yang menjaga shalat ini, maka baginya pahala dua kali lipat. Dan tidak ada shalat setelahnya
sampai terbitnya syahid (yaitu bintang).’”(HR. Muslim, No. 830)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ‫ َو َقْبَل ُغُر وَهِبا‬، ‫»َلْن َيِلَج الَّناَر َأَح ٌد َص ىَّل َقْبَل ُط ُلوِع الَّش ْم ِس‬
pent.
“Tidak akan masuk neraka seorang pun yang mengerjakan shalat sebelum matahari terbit (yakni shalat subuh, )
dan sebelum matahari terbenam (yakni shalat ashar, pent.).”(HR. Muslim, No. 634)

Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Ashar


Di antara dalil yang menunjukkan pentingnya kedudukan shalat ashar adalah ancaman bahwa barangsiapa yang
meninggalkannya, maka terhapuslah pahala amal yang telah dikerjakannya di hari tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
‫َمْن َتَر َك َص َالَة اْلَع ِرْص َفَقْد َح ِبَط َمَع ُهُل‬
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar, maka terhapuslah amalannya.”(HR. Bukhari & Ahmad)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Yang tampak dari hadits ini – dan Allah lebih mengetahui tentang maksud Rasul-
Nya- adalah bahwa yang dimaksud ‘meninggalkan’ ada dua kondisi. Pertama, meninggalkan shalat secara keseluruhan,
tidak melaksanakan shalat sama sekali. Maka hal ini menyebabkan terhapusnya seluruh amal. (Kondisi ke dua),
meninggalkan shalat tertentu di hari tertentu. Maka hal ini menyebabkan terhapusnya amal di hari tersebut. Terhapusnya
amal secara keseluruhan adalah sebagai balasan karena meninggalkannya secara keseluruhan, dan terhapusnya amal
tertentu adalah sebagai balasan karena meninggalkan perbuatan tertentu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
« ‫ َأَكَّنَم ا ُو ِتَر َأْهُهَل َو َم اُهَل‬، ‫»اِذَّل ي َتُفوُتُه َص اَل ُة اْلَع ِرْص‬
“Orang yang terlewat (tidak mengerjakan) shalat ashar, seolah-olah dia telah kehilangan keluarga dan hartanya.”(HR.
Bukhari N0.552 & Muslim No. 200,626)
Ketika seseorang kehilangan keluarga dan hartanya, maka dia tidak lagi memiliki keluarga dan harta. Maka ini adalah
perumpamaan tentang terhapusnya amal seseorang karena meninggalkan shalat ashar.

Ancaman bagi Orang yang Menunda-nunda Pelaksanaan Shalat Ashar sampai Waktunya Hampir Habis
Apabila seseorang mengerjakan shalat ashar di akhir waktu karena berada dalam kondisi darurat tertentu, maka shalatnya
tetap sah meskipun dia hanya mendapatkan satu raka’at shalat ashar sebelum waktunya habis. Rasululullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َفَقْد َأْد َر َك اْلَعَرْص‬، ‫َو َمْن َأْد َر َك َر ْكَع ًة ِم َن اْلَع ِرْص َقْبَل َأْن َتْغُر َب الَّش ْمُس‬
“Barangsiapa yang mendapati satu raka’at shalat ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan
shalat ashar.”(HR. Bukhari & Muslim)
Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika seseorang sengaja menunda-nunda pelaksanaan shalat ashar sampai
waktunya hampis habis tanpa ada ‘udzur tertentu yang dibenarkan oleh syari’at. Atau bahkan hal ini telah menjadi
kebiasaannya sehari-hari karena memang meremehkan shalat ashar. Maka hal ini mirip dengan ciri-ciri orang munafik yang
disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
‫ اَل َيْذ ُكُر َهللا‬،‫ َقاَم َفَنَقَر َها َأْر َبًع ا‬، ‫ ْجَي ِلُس َيْر ُقُب الَّش ْمَس َح ىَّت َذ ا اَك َنْت َبَنْي َقْر ِيَن الَّش ْي َط اِن‬، ‫ِتَكْل َص اَل ُة اْلُم َناِف ِق‬
«
‫ِإ‬ ‫»ِف َهيا اَّل َقِلياًل‬
“Itulah shalatnya orang munafik, (yaitu)duduk mengamati matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua
‫ِإ‬
tanduk setan (yaitu ketika hampir tenggelam, pent.), dia pun berdiri (untuk mengerjakan shalat ashar) empat raka’at
(secara cepat) seperti patukan ayam. Dia tidak berdzikir untuk mengingat Allah, kecuali hanya sedikit saja.”(HR.
Muslim, No. 622)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bagaimanakah bahaya meninggalkan shlat ashar atau sengaja menunda-nunda
pelaksanaannya hingga hampir di akhir waktunya. Oleh karena itu, hendaklah seorang muslim memperhatikan sungguh-
sungguh masalah ini. Misalnya, seorang pegawai yang akan pulang ke rumah di sore hari, hendaklah dia memperhatikan
apakah mungkin akan terjebak macet di perjalanan sehingga tiba di rumah ketika sudah maghrib. Dalam kondisi seperti ini,
sebaiknya dia menunaikan shalat ashar terlebih dahulu sebelum pulang dari kantor. Atau ketika ada suatu acara atau
pertemuan di sore hari, hendaknya dipastikan bahwa dia sudah menunaikan shalat ashar.

BERDUSTA ATAS NAMA NABI


Berdusta atas nama seseorang, walaupun bukan orang yang mulia, merupakan dosa besar, lalu bagaimana jika berdusta atas
nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , yang perkataan dan perbuatannya merupakan syari’at? Pasti, berdusta atas nama
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam merupakan kemungkaran dan dosa yang besar. Imam al-Bukhâri meriwayatkan:
‫َع ْن اْلُم ِغ َري ِة َر َيِض اُهَّلل َع ْنُه َقاَل ِمَس ْع ُت الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َيُقوُل َّن َكِذ اًب َعَّيَل َلْيَس َكَكِذ ٍب َعىَل َأَح ٍد َمْن‬
‫ِإ‬
‫َكَذ َب َعَّيَل ُم َتَع ِّم ًد ا َفْلَيَتَبَّو ْأ َم ْقَع َد ُه ِم ْن الَّناِر‬
Dari al-Mughirah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku
dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. [HR. Al-Bukhâri, no. 1229]
Berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sama dengan berdusta dalam syari’at dan dampaknya menimpa
seluruh umat. Oleh karena itu, dosanya lebih besar dan hukumannya lebih berat.
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan:
‫اَل َتْكِذ ُبوا َعَّيَل َفِإ َّنُه َمْن َكَذ َب َعَّيَل َفْلَيِلِج الَّناَر‬
Janganlah kamu berdusta atasku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atasku, maka silahkan dia masuk ke
neraka. [HR. Al-Bukhâri, no. 106 dan Muslim, no. 1]
‫َمْن َح َّد َث َع ىِّن َحِبِد يٍث ُيَر ى َأَّنُه َكِذ ٌب َفُهَو َأَح ُد اْلاَك ِذ ِبَني‬
Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, dia mengetahui bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah
seorang dari para pendusta. [HR. Muslim di dalam Muqaddimah]

APAKAH BERDUSTA ATAS NABI MERUPAKAN KEKAFIRAN?


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah memberikan perincian dalam masalah ini dalam kitab ash-
Shârimul Maslûl ‘ala Syâtimir Rasûl. Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat (ulama) tentang hadits ini:
Pertama: Berpegang dengan zhahirnya, yaitu hukum bunuh terhadap orang yang sengaja berdusta atas Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ini ada yang berpendapat kafirnya dengan sebab itu. Ini pendapat sekelompok Ulama,
di antaranya Abu Muhammad al-Juwaini.
Ibnu ‘Aqîl menyatakan dari gurunya, Abul Fadhl al-Hamdani, yang berkata, “Para pembuat bid’ah dalam agama
Islam, para pendusta dan pembuat hadits palsu, lebih berbahaya daripada orang-orang mulhid (ateis). Karena orang-orang
mulhid berniat merusak agama dari luar, sedangkan mereka ini berniat merusak agama dari dalam. Maka mereka ini seperti
penduduk kota yang berusaha melakukan kerusakan keadaan-keadaan kota, sedangkan orang-orang mulhid seperti orang-
orang yang mengepung dari luar. Orang-orang yang berada di dalam akan membukakan pintu benteng, sehingga mereka
lebih buruk terhadap agama Islam daripada orang-orang yang bukan pemeluknya.”
Penjelasannya adalah berdusta atas Nabi merupakan bentuk berdusta atas nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Oleh
karena itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
‫َّن َكِذ اًب َعَّيَل َلْيَس َكَكِذ ٍب َعىَل َأَح ٍد‬
Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain
‫ِإ‬
Karena perkara yang diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam juga diperintahkan oleh Allâh Azza wa
Jalla , wajib untuk diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla.
Dan perkara yang diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam wajib diyakini seperti wajibnya
meyakini perkara yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa mendustakan berita dari Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam atau tidak mau meyakini perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , maka dia seperti orang yang mendustakan
berita dari Allâh Azza wa Jalla atau tidak mau meyakini perintah Allâh Azza wa Jalla . Dan telah diketahui bahwa
barangsiapa berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , dengan mengatakan bahwa dirinya utusan Allâh Azza wa Jalla , atau
Nabi-Nya, atau dia memberitakan suatu berita dari Allâh Azza wa Jalla padahal dia bohong sebagaimana Musailamah,
al-‘Ansi, dan para nabi palsu lainnya, maka dia kafir, halal darahnya.
Demikian juga orang yang sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , karena kedudukan
berdusta atas Allâh sama dengan mendustakan-Nya. Oleh karenanya, Allâh menggabungkan keduanya dengan firmanNya:
Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allâh atau
mendustakan al-haq (kebenaran) tatkala al-haq itu datang kepadanya? [Al-‘Ankabût/29: 68]
Bahkan kemungkinan berdusta atas nama Allâh lebih besar dosanya daripada mendustakan berita-Nya. Oleh
karena itu, Allâh lebih mendahulukannya. Sebagaimana orang yang jujur berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla lebih tinggi
derajatnya daripada orang yang membenarkan berita-Nya. Maka jika orang yang berdusta seperti orang yang mendustakan,
atau bahkan lebih besar, dan orang yang berdusta Allâh seperti orang yang mendustakan beritaNya, maka orang yang
berdusta atas nama Rasul sama seperti orang yang mendustakannya, karena perbuatan mendustakan sama dusta. Karena
mendustakan beritanya sama dengan menyataan bahwa dia tidak benar dalam beritanya, dan itu sama saja dengan
menganggap agama Allâh itu bathil. Tidak ada beda antara mendustakannya dalam satu berita atau dalam dalam seluruh
berita. Dan dia menjadi kafir karena hal itu memuat pembatalan terhadap risalah dan agama Allâh. Sedangkan orang yang
berdusta atas nama-Nya, dengan sengaja telah memasukkan ke dalam agama Allâh suatu perkara yang bukan dari agama
Islam, dan dia menganggap bahwa wajib bagi umat ini membenarkan berita tersebut dan melaksanakannya, karena itu
merupakan bagian agama Allâh, padahal dia tahu itu bukan bagian dari agama Allâh. Menambahkan (sesuatu) ke dalam
agama sama hukumnya dengan mengurangi (sesuatu) darinya. Dan tidak ada bedanya orang yang mendustakan satu ayat al-
Qur’ân, atau sengaja menambahkan satu kalimat yang dia katakan sebagai surat dari al-Qur’ân.
Demikian juga, sesungguhnya sengaja berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan memperolok-
olok dan merendahkan Allâh Azza wa Jalla . Karena dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memerintahkan perkara-
perkara yang tidak pernah diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan ada kemungkinan tidak boleh
diperintahkan. Ini berarti menyemat sifat bodoh atau tidak tahu kepada Allâh Azza wa Jalla . Atau dia memberitakan
perkara-perkara dusta, ini berarti menisbatkan dusta kepada Allâh Azza wa Jalla , dan ini merupakan kekafiran yang nyata.
Demikian juga seandainya dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan puasa satu bulan selain pada
bulan Ramadhan, atau mewajibkan shalat keenam, dan semacamnya, atau bahwa Allâh mengharamkan roti dan daging dan
lain sebagainya. Jika dia tahu dan sadar dengan perbuatan dustanya, maka dia menjadi kafir berdasarkan kesepakatan
(Ulama). Maka barangsiapa mengatakan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan sesuatu yang Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wajibkan, atau Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan sesuatu yang Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak haramkan, maka dia telah berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dia
telah berdusta atas Nabi sejak awalnya, ditambah lagi dia mengatakan dengan terang-terangan bahwa Rasûlullâh
Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkannya, atau Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan fatwa dan berkata,
padahal dia tidak mengatakannya dengan ijtihad dan istimbath.
Intinya barangsiapa sengaja berdusta secara nyata atas nama Allâh Azza wa Jalla , maka dia seperti orang yang
sengaja mendustakan Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan keadaannya lebih buruk. Dan jelas bahwa orang yang berdusta atas
nama seseorang yang wajib untuk diagungkan, maka dia itu meremehkannya dan merendahkan kehormatannya.
Demikian juga orang yang berdusta atas nama seseorang, dia pasti memberikan citra buruk kepadanya dan
merendahkannya…
Adapun orang yang meriwayatkan sebuah hadits dan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka ini haram (hukumnya)
sebagaimana telah shahih bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َمْن َح َّد َث َع ىِّن َحِبِد يٍث ُيَر ى َأَّنُه َكِذ ٌب َفُهَو َأَح ُد اْلاَك ِذ ِبَني‬
Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang
dari para pendusta
Tetapi dia tidak kafir, kecuali dia memasukkan di dalam riwayatnya sesuatu yang menyebabkan kekafiran. Karena dia jujur
saat mengatakan bahwa gurunya telah menceritakan hadits itu kepadanya, tetapi karena dia mengetahui bahwa gurunya
berdusta dalam hadits tersebut maka dia tidak halal meriwayatkannya. Sehingga kedudukannya seperti bersaksi atas
pernyataan atau persaksian atau perjanjian, sedangkan dia mengetahui bahwa hal itu batil. Persaksian tersebut haram
hukumnya, tetapi bukan persaksian palsu”.
Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan pendapat kedua, dia berkata:
Pendapat kedua: bahwa orang yang berdusta atas Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hukumannya berat, tetapi tidak
menjadi kafir, dan dia tidak boleh dibunuh. Karena penyebab kekafiran dan pembunuhan telah diketahui, sementara ini
tidak termasuk di dalamnya. Maka tidak boleh menetapkan sesuatu yang tidak ada dalilnya.
Tetapi Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini harus mensyaratkan pendapatnya, bahwa berdusta atas Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam itu tidak memuat celaan yang nyata. Adapun jika seseorang memberitakan bahwa dia
mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan suatu perkataan yang menunjukkan kekurangan dan cacat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dengan nyata, seperti hadits “keringat kuda” dan kedustaan-kedustaan semacamnya, maka
orang yang meriwayatkan ini memperolok-olok Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan nyata, maka tidak diragukan
bahwa dia kafir, halal darahnya”. [Diringkas dari as-Shârimul Maslûl ‘ala Syâtimir Rasûl, 2/328-339]
Kesimpulannya, bahwa berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam merupakan dosa besar dan akibatnya
akan menimpa umat ini selain pasti menimpa pelakunya. Maka orang yang berdusta atas nama Nabi hendaklah berhati-hati.
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjaga semua dari segala keburukan, dan menuntun kita

GIAT BERAMAL DIAKHIR RAMADHAN


Sebagian kaum muslimin di akhir Ramadhan malah tersibukkan dengan hal-hal dunia. Dirinya lebih memikirkan pulang
mudik, baju baru dan silaturahmi kepada kerabat. Contoh dari suri tauladan kita tidaklah demikian. Di akhir Ramadhan,
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih tersibukkan dengan ibadah, apalagi shalat malam.

Raih Lailatul Qadar


Selayaknya bagi setiap mukmin untuk terus semangat dalam beribahadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih
dari lainnya. Di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat lailatul qadar. Allah Ta’ala berfirman,
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar: 3).
Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemuliaan. Telah terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang menghidupkan
malam tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َم ْن َقاَم َلْي َةَل اْلَقْد ِر َميااًن َو اْح ِتَس ااًب ُغِفَر ُهَل َم ا َتَقَّد َم ِم ْن َذ ْنِب ِه‬
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-
‫ِإ‬
dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal.
341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah
shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar
(Zaadul Masiir, 9/191).

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?


Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
‫َحَتَّر ْو ا َلْي َةَل اْلَقْد ِر ىِف اْلَع ِرْش اَألَو اِخ ِر ِم ْن َر َم َض اَن‬
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no.
1169)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫َحَتَّر ْو ا َلْي َةَل اْلَقْد ِر ىِف اْلِوْتِر ِم َن اْلَع ِرْش اَألَو اِخ ِر ِم ْن َر َم َض اَن‬
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

Tidak Perlu Mencari Tanda


Sebagian orang sibuk mencari tanda kapan lailatul qadar terjadi. Namun sebenarnya tanda tersebut tidak perlu dicari. Tugas
kita di akhir Ramadhan, pokoknya terus perbanyak ibadah. Karena kalau sibuk mencari tanda malam tersebut, kita malah
tidak akan memperbanyak ibadah. Walaupun memang ada tanda-tanda tertentu kala itu. Tanda tersebut di antaranya:
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin,
pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18/361, shahih)
Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan
kelezatan dalam beribadah yang tidak dirasakan pada hari-hari yang lain.
Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tanpa sinar yang menyorot. Dari Ubay bin Ka’ab, ia
berkata, “Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-
tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot.” (HR. Muslim no. 762)

Jika Engkau Dapati Lailatul Qadar


Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha
berkata,
‫اَي َر ُس وَل اِهَّلل َأَر َأْيَت ْن َعِلْم ُت َأُّى َلْي ٍةَل َلْي ُةَل اْلَقْد ِر َم ا َأُقوُل ِف َهيا َقاَل « ُقوىِل الَّلُهَّم َّنَك َع ُفٌّو ِحُت ُّب اْلَع ْفَو َفاْع ُف َع ىِّن‬
‫ِإ‬
”Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang mesti aku
‫ِإ‬
ucapkan saat itu?” Beliau menjawab, ”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya
Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi no.
3513, Ibnu Majah no. 3850, dan Ahmad 6/171, shahih)

Lebih Giat Ibadah di Akhir Ramadhan


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat lebih rajin di akhir Ramadhan lebih dari hari-hari lainnya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
‫ ْجَي ِهَت ُد ىِف اْلَع ِرْش اَألَو اِخ ِر َم ا َال ْجَي ِهَت ُد ىِف َغِرْي ِه‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫اَك َن َر ُس وُل اِهَّلل‬.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh dengan memperbanyak ibadahnya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Untuk maksud tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjauhi istri-istri beliau dari berhubungan intim.
Beliau pun tidak lupa mendorong keluarganya dengan membangunkan mereka untuk melakukan ketaatan pada malam
sepuluh hari terakhir Ramadhan. ‘Aisyah mengatakan,
‫ َو َأْيَقَظ َأْهُهَل‬، ‫ َو َأْح َيا َلْي ُهَل‬، ‫اَك َن الَّنُّىِب – صىل هللا عليه وسمل – َذ ا َدَخ َل اْلَعُرْش َش َّد ِم َزْئ َر ُه‬
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau
‫ِإ‬
mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam
tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di akhir Ramadhan dan disunnahkan pula
untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:71)
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud
di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk
melaksanakan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Menghidupkan Malam Penuh Kemuliaan


Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah
dan tidak mesti seluruh malam. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa yang
mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, ia berarti telah dinilai menghidupkan malam tersebut”. (Latho-
if Al Ma’arif, hal. 329). Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan
tilawah Al Qur’an (‘Aunul Ma’bud, 4/176). Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar
berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala
dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901).
Jika seorang meraih lailatul qadar dengan i’tikaf, itu lebih bagus. Namun i’tikaf bukanlah syarat untuk dapati malam
kemuliaan tersebut. Begitu pula bukanlah syarat mesti di masjid untuk dapati lailatul qadar. Juwaibir pernah mengatakan
bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang
yang tidur (namun hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh
Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan
mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 341).
Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Bulughul Marom, yaitu hadits no. 698.
‫ َاْلَعُرْش‬: ‫َأْي‬- ‫ – اَك َن َر ُس وُل َاِهَّلل – صىل هللا عليه وسمل – َذ ا َدَخ َل َاْلَعُرْش‬: ‫َع ْن َعاِئَش َة َر َيِض َاُهَّلل َع َهْنا َق اَلْت‬
‫ِإ‬ ‫ َو َأْيَقَظ َأْهُهَل – ُم َّتَفٌق َعَلْي ِه‬,‫ َو َأْح َيا َلْي ُهَل‬, ‫ َش َّد ِم َزْئ َر ُه‬- ‫َاَأْلِخ ُري ِم ْن َر َم َض اَن‬
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki 10
Ramadhan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan
malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” Muttafaqun ‘alaih. (HR.
Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1. Hadits di atas menunjukkan keutamaan beramal sholih di 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan punya keistimewaan dalam ibadah dari hari-hari lainnya di bulan Ramadhan. Ibadah yang
dimaksudkan di sini mencakup shalat, dzikir, dan tilawah Al Qur’an.
2. Kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah pada 10 hari terakhir Ramadhan ada dua alasan:
a. Sepuluh hari terakhir tersebut adalah penutup bulan Ramadhan yang diberkahi. Dan setiap amalan itu dinilai dari
akhirnya.
b. Sepuluh hari terakhir tersebut diharapkan didapatkan malam Lailatul Qadar. Ketika ia sibuk dengan ibadah di
hari-hari terakhir tersebut, maka ia mudah mendapatkan maghfiroh atau ampunan dari Allah Ta’ala.
3. Hadits tersebut menunjukkan anjuran membangunkan keluarga yaitu para istri supaya mendorong mereka melakukan
shalat malam. Lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
4. Hadits itu juga menunjukkan anjuran menasehati keluarga dalam kebaikan dan menjauhkan mereka dari hal-hal
tercela dan terlarang.
5. Membangunkan keluarga di sini merupakan anjuran di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, namun anjuran juga
untuk hari-hari lainnya. Karena keutamaannya disebutkan dalam hadits yang lain,
‫َر ِح َم اُهَّلل َر ُج ًال َقاَم ِم َن الَّلْي ِل َفَص ىَّل َو َأْيَق َظ اْم َر َأَت ُه َف ْن َأَبْت َنَض َح ىِف َو ِهْج َه ا اْلَم اَء َر ِح َم اُهَّلل اْم َر َأًة َق اَم ْت ِم َن‬
‫الَّلْي ِل َفَص َّلْت َو َأْيَقَظ ْت َز ْو َهَجا َف ْن َأىَب َنَض َح ْت ىِف َو ِهْج ِإِه اْلَم َءا‬
“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang di malam hari melakukan shalat malam, lalu ia membangunkan
‫ِإ‬
istrinya. Jika istrinya enggan, maka ia memerciki air pada wajahnya. Semoga Allah juga merahmati seorang
wanita yang di malam hari melakukan shalat mala, lalu ia membangungkan suaminya. Jika suaminya enggan,
maka istrinya pun memerciki air pada wajahnya.” (HR. Abu Daud no. 1308 dan An Nasai no. 1148. Sanad hadits
ini hasan kata Al Hafizh Abu Thohir).
Sufyan Ats Tsauri berkata, “Aku sangat suka pada diriku jika memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan untuk
bersungguh-sungguh dalam menghidupkan malam hari dengan ibadah, lalu membangunkan keluarga untuk shalat jika
mereka mampu.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 331).
Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menghidupkan hari-hari terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah dan shalat
malam.
KEUTAMAAN SHALAT SUBUH
Shubuh adalah salah satu waktu di antara beberapa waktu, di mana Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk
mengerjakan shalat kala itu. Allah Ta’ala berfirman,
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh.
Sesungguhnya shalat Shubuh tu disaksikan (oleh malaikat).” (Qs. Al-Isra’: 78)
Betapa banyak kaum muslimin yang lalai dalam mengerjakan shalat shubuh. Mereka lebih memilih melanjutkan tidurnya
ketimbang bangun untuk melaksanakan shalat. Jika kita melihat jumlah jama’ah yang shalat shubuh di masjid, akan terasa
berbeda dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada waktu shalat lainnya.

Keutamaan Shalat Shubuh


Apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh, niscaya ia akan dapati banyak keutamaan. Di antara keutamaannya adalah :
1. Salah satu penyebab masuk surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َص ىَّل اْلْرَب َد ْيِن َدَخ َل اْلَجَّنة‬
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk
surga.” (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635)
2. Salah satu penghalang masuk neraka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َلْن َيِلَج الَّناَر َأَح ٌد َص ىَّل َقْبَل ُط ُلوِع الَّش ْم ِس َو َقْبَل ُغُر وَهِبا‬
“Tidaklah akan masuk neraka orang yang melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat
shubuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat ashar).” (HR. Muslim no. 634)
3. Berada di dalam jaminan Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َص ىَّل َص اَل َة الُّص ْب ِح َفُهَو يِف ِذ َّم ِة اِهَّلل َفاَل َيْط ُلَبَّنْمُك اُهَّلل ِم ْن ِذ َّم ِتِه ِبْيَش ٍء َف َّنُه َمْن َيْط ُلْب ُه ِم ْن ِذ َّم ِتِه ِبْيَش ٍء ُيْد ِر ْكُه‬
‫ِإ‬
‫َّمُث َيُكَّبُه َعىَل َو ِهْج ِه يِف اَن ِر َهَجَمَّن‬
“Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai
Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan
sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas
wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 163)
4. Dihitung seperti shalat semalam penuh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َص ىَّل اْلِع َش اَء يِف َمَجاَعٍة َفَأَكَّنَم ا َقاَم ِنْص َف الَّلْي ِل َو َمْن َص ىَّل الُّص ْب َح يِف َمَجاَعٍة َفَأَكَّنَم ا َص ىَّل الَّلْي َل َّلُكُه‬
“Barangsiapa yang shalat isya` berjama’ah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam.
Dan barangsiapa yang shalat shubuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.”
(HR. Muslim no. 656)
5. Disaksikan para malaikat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َو ْجَت َتِم ُع َم اَل ِئَكُة الَّلْي ِل َو َم اَل ِئَكُة الَهَّناِر يِف َص اَل ِة اْلَفْج ِر‬
“Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajar (subuh).” (HR. Bukhari no.
137 dan Muslim no.632)

Ancaman bagi yang Meninggalkan Shalat Shubuh


Padahal banyak keutamaan yang bisa didapat apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh. Tidakkah kita takut dikatakan
sebagai orang yang munafiq karena meninggalakan shalat shubuh? Dan kebanyakan orang meninggalkan shalat shubuh
karena aktivitas tidur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َّن َأْثَقَل َص اَل ٍة َعىَل اْلُم َناِفِقَني َص اَل ُة اْلِع َش اِء َو َص اَل ُة اْلَفْج ِر َو َلْو َيْع َلُم وَن َم ا ِف ِهي َم ا َأَلَتْو َمُها َو َلْو َح ْبًو ا‬
“Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh.
‫ِإ‬
Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan
merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
Cukuplah ancaman dikatakan sebagai orang munafiq membuat kita selalu memperhatikan ibadah yang satu ini.
Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita semua, terkhusus bagi para laki-laki untuk dapat melaksanakan shalat
berjama’ah di masjid.
Dari Jundab bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َص ىَّل الُّص ْب َح َفُهَو ىِف ِذ َّم ِة اِهَّلل َفَال َيْط ُلَبَّنُمُك اُهَّلل ِم ْن ِذ َّم ِتِه ِبْىَش ٍء َفُيْد ِر َكُه َفَيُكَّبُه ىِف اَن ِر َهَج َمَّن‬
“Barangsiapa yang shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu, janganlah menyakiti orang
yang shalat Shubuh tanpa jalan yang benar. Jika tidak, Allah akan menyiksanya dengan menelungkupkannya di atas
wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 657)
Ada beberapa faedah dari hadits di atas:
Pertama: Menunjukkan agungnya shalat fajar (shalat shubuh) di sisi Allah Ta’ala.
Kedua: Barangsiapa yang shalat Shubuh, maka ia mendapat jaminan dan rasa aman dari Allah. Jaminan ini adalah
tambahan setelah seseorang berislam dengan mengakui “laa ilaha illallah”, tiada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah.
Ketiga: Secara tekstual menunjukkan bahwa orang yang shalat shubuh secara berjamaah atau sendirian akan mendapatkan
jaminan Allah tadi.
Tentang keutamaan shalat Shubuh lainnya, disebutkan dalam dua hadits berikut.
Dari Abu Musa, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َص ىَّل اْلْرَب َد ْيِن َدَخ َل اْلَج َّنَة‬
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR.
Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635).
Ibnu Baththol rahimahullah berkata, “Shalat shubuh akan membuat seseorang mendapatkan perhatian Allah pada hari
kiamat. Kenapa dikhususkan dua shalat ini? Karena berkumpulnya para malaikat malam dan siang di dua waktu tersebut.
Inilah makna firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isro’: 78) (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/250,
Asy Syamilah)
Dari ‘Umaroh bin Ruaibah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َلْن َيِلَج الَّناَر َأَح ٌد َص ىَّل َقْبَل ُط ُلوِع الَّش ْم ِس َو َقْبَل ُغُر وَهِبا‬
“Tidaklah akan masuk neraka orang yang melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat shubuh) dan
shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat ashar).” (HR. Muslim no. 634).
‘Azhim Abadi rahimahullah, penulis ‘Aunul Ma’bud menjelaskan hadits tersebut, “Yaitu maksudnya adalah melaksanakan
shalat Shubuh dan ‘Ashar secara rutin. Dikhususkan dua shalat ini karena waktu shubuh adalah waktu tidur dan waktu
‘Ashar adalah waktu sibuk beraktivitas dengan berdagang. Barangsiapa yang menjaga dua shalat tersebut di saat-saat
kesibukannya, tentu ia akan lebih menjaga shalat fardhu lainnya karena shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Kedua waktu tersebut juga adalah waktu yang dipersaksikan para malaikat malam dan siang. Pada waktu tersebut amalan
hamba diangkat dan sangat mungkin saat-saat itu dosa diampuni karena dua shalat yang dilakukan. Akhirnya, ia pun bisa
masuk jannah (surga).” (‘Aunul Ma’bud, 2/68)
Dua shalat yang memiliki keutamaan yang besar adalah shalat Shubuh dan Shalat Isya.Dua shalat inilah yang terasa berat
bagi orang-orang munafik.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َو َلْو َيْع َلُم وَن َم ا يف الَع َتَم ِة َو الُّص ْب ِح َألَتْو َمُها َو َلْو َح ْبَو ًا‬
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada pada shala Isya’ dan shalat Shubuh, tentu mereka akan
mendatanginya sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َو َلْو َيْع َلُم وَن َم ا ِف ِهي َم ا َألَتْو َمُها َو َلْو َح ْبوًا‬، ‫َلْيَس َص َالٌة أْثَقَل َعىَل اُملَناِفِقَني ِم ْن َص َالِة الَفْج ِر َو الِع َش اِء‬
“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka
tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak .”
(HR. Bukhari no. 657).
Ibnu Hajar mengatakan bahwa semua shalat itu berat bagi orang munafik sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
“Dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas” (QS. At Taubah: 54).
Akan tetapi, shalat ‘Isya dan shalat Shubuh lebih berat bagi orang munafik karena rasa malas yang menyebabkan enggan
melakukannya. Karena shalat ‘Isya adalah waktu di mana orang-orang bersitirahat, sedangkan waktu Shubuh adalah waktu
nikmatnya tidur. (Fathul Bari, 2: 141).
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Orang munafik itu shalat dalam keadaan riya’ dan
sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang lain). Di masa silam shala Shubuh dan shalat ‘Isya’ tersebut dilakukan dalam
keadaan gelap sehingga mereka -orang munafik- tidak menghadirinya. Mereka enggan menghadiri kedua shalat tersebut.
Namun untuk shalat lainnya, yaitu shalat Zhuhur, ‘Ashar dan Maghrib, mereka tetap hadir karena jama’ah yang lain melihat
mereka. Dan mereka kala itu cari muka dengan amalan shalat mereka tersebut. Mereka hanyalah sedikit berdzikir kepada
Allah. Di masa silam belum ada lampu listrik seperti saat ini. Sehingga menghadiri dua shalat itu terasa berat karena
mereka tidak bisa memamerkan amalan mereka. Alasan lainnya karena shalat ‘Isya itu waktu istirahat, sedangkan shalat
Shubuh waktu lelapnya tidur.” (Syarh Riyadhis Sholihin, 5: 82).

BAHAYA MENINGGALKAN SHALAT


Meninggalkan shalat adalah perkara yang teramat bahaya. Di dalam berbagai dalil disebutkan berbagai ancaman yang
sudah sepatutnya membuat seseorang khawatir jika sampai lalai memperhatikan rukun Islam yang mulia ini. Tulisan kali
ini akan mengutarakan bahaya meninggalkan shalat menurut dalil-dalil Al Qur’an secara khusus.

Dalil Pertama
Firman Allah Ta’ala,
“Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) ? ”
(Q.S. Al Qalam [68] : 35)
hingga ayat,
“Pada hari betis disingkapkandan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia)
diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Q.S. Al Qalam [68] : 43)
Dari ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak menjadikan orang muslim seperti orang mujrim (orang yang
berbuat dosa). Tidaklah pantas menyamakan orang muslim dan orang mujrim dilihat dari hikmah Allah dan hukum-Nya.
Kemudian Allah menyebutkan keadaan orang-orang mujrim yang merupakan lawan dari orang muslim. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya),”Pada hari betis disingkapkan”. Yaitu mereka (orang-orang mujrim) diajak untuk bersujud kepada
Rabb mereka, namun antara mereka dan Allah terdapat penghalang. Mereka tidak mampu bersujud sebagaimana orang-
orang muslim sebagai hukuman karena mereka tidak mau bersujud kepada-Nya bersama orang-orang yang shalat di dunia.
Maka hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang meninggalkan shalat akan bersama dengan orang kafir dan munafik.
Seandainya mereka adalah muslim, tentu mereka akan diizinkan untuk sujud sebagaimana kaum muslimin diizinkan untuk
sujud.

Dalil Kedua
Firman Allah Ta’ala,
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga,
mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam
Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami
tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang
yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”.”
(QS. Al Mudatstsir [74] : 38-47)
Setiap orang yang memiliki sifat di atas atau seluruhnya berhak masuk dalam neraka saqor dan mereka termasuk orang
mujrim (yang berbuat dosa). Pendalilan hal ini cukup jelas. Jika memang terkumpul seluruh sifat di atas, tentu kekafiran
dan hukumannya lebih keras. Dan jika hanya memiliki satu sifat saja tetap juga mendapatkan hukuman.
Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa tidaklah disiksa dalam saqor kecuali orang yang memiliki seluruh sifat di
atas. Akan tetapi yang tepat adalah setiap sifat di atas patut termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa). Dan Allah Ta’ala
telah menjadikan orang-orang mujrim sebagai lawan dari orang beriman. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang mujrim yang berhak masuk ke neraka saqor. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (bedosa) berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (Ingatlah)
pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): “Rasakanlah sentuhan api
neraka!”.” (QS. Al Qomar [54] : 47-48)
“Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (berdosa), adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman.”
(QS. Al Muthaffifin [83] : 29).
Dalam ayat ini, Allah menjadikan orang mujrim sebagai lawan orang mukmin.

Dalil Ketiga
Firman Allah Ta’ala,
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta’atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An Nur
[24] : 56)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala mengaitkan adanya rahmat bagi mereka dengan mengerjakan perkara-perkara pada ayat
tersebut. Seandainya orang yang meninggalkan shalat tidak dikatakan kafir dan tidak kekal dalam neraka, tentu mereka
akan mendapatkan rahmat tanpa mengerjakan shalat. Namun, dalam ayat ini Allah menjadikan mereka bisa mendapatkan
rahmat jika mereka mengerjakan shalat.

Dalil Keempat
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un
[107] : 4-5)
Sa’ad bin Abi Waqash, Masyruq bin Al Ajda’, dan selainnya mengatakan, ”Orang tersebut adalah orang yang
meninggalkannya sampai keluar waktunya.”
Ancaman ‘wa’il’ dalam Al Qur’an terkadang ditujukan pada orang kafir seperti pada ayat,
“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan
zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Fushshilat [41] : 6-7)
“Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah
dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri
khabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami,
maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Al Jatsiyah [45] :
7-9)
)2( ‫َو َو ْيٌل ِلْلاَك ِف ِر يَن ِم ْن َعَذ اٍب َش ِد يٍد‬
“Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14] : 2)
Terkadang pula ditujukan pada orang fasik (tidak kafir), seperti pada ayat,
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.” (QS. Al Muthaffifin : 1)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al Humazah [104] : 1)
Lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat (dengan sengaja)? Apakah ancaman ‘ wa’il’ tersebut adalah
kekafiran ataukah kefasikan?
Jawabannya : bahwa lebih tepat jika ancaman ‘wail’ tersebut adalah untuk orang kafir. Kenapa demikian?
Hal ini dapat dilihat dari dua sisi :
1) Terdapat riwayat yang shohih, Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan tentang tafsiran ayat ini (surat Al Ma’uun
ayat 4-5), ”Seandainya kalian meninggalkan shalat maka tentu saja kalian kafir. Akan tetapi yang dimaksudkan ayat
ini adalah menyia-nyiakan waktu shalat.”
2) Juga ditunjukkan oleh dalil-dalil yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, sebagaimana yang
akan disebutkan.

Dalil Kelima
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.”
(QS. Maryam : 59)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang
makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu bagian neraka yang paling dasar- sebagai tempat bagi orang yang
menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang
hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa.
Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-
orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka
seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalil Keenam
Firman Allah Ta’ala,
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu
seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Jika shalat tidak dikerjakan,
bukanlah saudara seiman. Mereka bukanlah mu’min sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Meninggalkan shalat perkara yang teramat berbahaya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahayanya pula
dalam berbagai hadits, setelah sebelumnya kita lihat dalam berbagai ayat Al Qur’an mengenai hal ini.

Hadits Pertama
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َبَنْي الَّر ُج ِل َو َبَنْي الْرِّش ِك َو اْلُكْفِر َتْر ُك الَّص َالِة‬
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no.
257)

Hadits Kedua
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اْلَع ْهُد اِذَّل ى َبْي َنَنا َو َبْيُهَنُم الَّص َالُة َفَم ْن َتَر َكَها َفَقْد َكَفَر‬
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih
no. 574)

Hadits Ketiga
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َبَنْي الَع ْب ِد َو َبَنْي الُكْف ِر َو ا ْيَم اِن الَّص اَل ُة َف َذ ا َتَر َكَها َفَقْد َأَرْش َك‬
‫ِإ‬
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka
‫ِإل‬
dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih.
Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Hadits Keempat
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َتَر َك َص َالًة َم ْكُتوَبًة ُم َتَع ِّم دًا َفَقْد َبِر َئْت ِم ْنُه ِذ َّم ُة اِهَّلل‬
“Barangsiapa meninggalkan shalat yang wajib dengan sengaja, maka janji Allah terlepas darinya. ” (HR. Ahmad
no.22128. Dikatakan hasan lighoirihi oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 569)

Hadits Kelima
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َر ْأُس اَألْمِر ا ْس َالُم َو ُمَع وُد ُه الَّص َالُة‬
”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825.
‫ِإل‬
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah.
Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya
shalat.

Hadits Keenam
Dalam dua kitab shohih, berbagai kitab sunan dan musnad, dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma. Beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‫ُبَىِن ا ْس َالُم َعىَل ْمَخ ٍس َش َهاَد ِة َأْن َال َهَل َّال اُهَّلل َو َأَّن ُم َح َّم ًد ا َع ْب ُد ُه َو َر ُس وُهُل َو َق اِم الَّص َالِة َو يَت اِء الَّز اَك ِة َو َح ِّج اْلَبْيِت‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ ِإ‬ ‫ِإل‬
‫َو َص ْو ِم َر َم َض اَن‬
”Islam dibangun atas lima perkara, yaitu : (1) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi
kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4)
naik haji ke Baitullah (bagi yang mampu, pen), (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” (Lafadz ini adalah lafadz Muslim
no. 122)
Cara pendalilan dari hadits ini adalah :
1) Dikatakan dalam hadits ini bahwa islam adalah seperti kemah yang dibangun atas lima tiang. Apabila tiang
kemah yang terbesar tersebut masih ada, maka tegaklah kemah Islam.
2) Dalam hadits ini juga disebutkan bahwa rukun-rukun Islam dijadikan sebagai tiang-tiang suatu kemah. Dua
kalimat syahadat adalah tiang, shalat juga tiang, zakat juga tiang. Lalu bagaimana mungkin kemah Islam tetap berdiri
jika salah satu dari tiang kemah sudah tidak ada, walaupun rukun yang lain masih ada?!

Hadits Ketujuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َفُهَو اُملْس ُمِل ُهَل َم ا َلَنا َو َعَلْي ِه َم ا َعَلْي َنا‬، ‫ َو َأَلَك َذ ِبيَح َتَنا‬، ‫ َو اْس َتْقَبَل ِق ْبَلَتَنا‬، ‫َمْن َص ىَّل َص َالَتَنا‬
“Barangsiapa mengerjakan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami; maka dia adalah
muslim. Dia memiliki hak sebagaimana hak umumnya kaum muslimin. Demikian juga memiliki kewajiban
sebagaimana kewajiban kaum muslimin.” (Lihat Syarhul ‘Aqidah Ath Thohawiyyah Al Albani, 351. Beliau
mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Cara pendalilan dari hadits ini adalah :
1) Seseorang dikatakan muslim jika memenuhi tiga syarat seperti yang disebutkan dalam hadits di atas. Maka tidak
disebut muslim jika tidak memenuhi syarat tersebut.
2) Jika seseorang shalat menghadap ke arah timur, tidak disebut muslim hingga dia shalat dengan menghadap kiblat
muslimin. Maka bagaimana jika seseorang yang tidak pernah menghadap kiblat karena meninggalkan shalat secara
total?!

Hadits Kedelapan
Diriwayatkan Mihjan bin Al Adro’ Al Aslamiy bahwa
‫صىل هللا عليه‬- ‫ َف َأَّذ َن اِب لَّص َالِة – َفَق اَم َر ُس وُل اِهَّلل‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫َأَّنُه اَك َن ىِف َمْج ِلٍس َم َع َر ُس وِل اِهَّلل‬
‫ « َم ا َم َنَع َك َأْن ُتَص َىِّل َأَلْس َت‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫وسمل َّمُث َر َجَع َو ِم ْحَج ٌن ىِف َمْج ِلِس ِه – َفَقاَل ُهَل َر ُس وُل اِهَّلل‬
‫ « َذ ا‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫ َق اَل َبىَل َو َلِكىِّن ُكْنُت َق ْد َص َّلْي ُت ىِف َأْهىِل َفَق اَل ُهَل َر ُس وُل اِهَّلل‬.» ‫ِبَر ُج ٍل ُم ْس ٍمِل‬
‫ِإ‬
.» ‫ِج ْئَت َفَص ِّل َم َع الَّناِس َو ْن ُكْنَت َقْد َص َّلْي َت‬
Beliau pernah berada di majelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dikumandangkan ‫ ِإ‬adzan untuk shalat.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu kembali (ke belakang, pen), sedangkan Mihjan masih dudk
di tempat semula. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,”Apa yang menghalangimu shalat,
bukankah engkau adalah seorang muslim?” Lalu Mihjan mengatakan, ”Betul. Akan tetapi saya sudah melaksanakan
shalat bersama keluargaku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, ”Apabila engkau
datang, shalatlah bersama orang-orang, walaupun engkau sudah shalat.” (HR. An Nasa’i no. 685. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan pembeda antara muslim dan kafir dengan shalat. Maka
dalam hadits tersebut terlihat bahwasanya seandainya seseorang itu muslim maka pasti dia shalat. Hal ini sama saja jika
dikatakan,”Kenapa engkau tidak berbicara, bukankah engkau adalah orang yang mampu berbicara?” atau “Kenapa engkau
tidak bergerak, bukankah engkau orang yang hidup?”.
Seandainya seseorang disebut muslim tanpa mengerjakan shalat, maka tentu tidak perlu dikatakan pada orang yang tidak
shalat, ”Bukankah kamu adalah seorang muslim?”

Hadits Kesembilan
Hadits berikut ini tidak berasal dari kitab Ash Sholah, Ibnul Qoyyim. Namun, sengaja ditambahkan dari penjelasan Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam risalahnya ‘Hukmu Tarikish Sholah’ karena di dalamnya terdapat faedah yang
sangat berharga.
Dalam Shohih Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
‫َس َتُكوُن ُأَم َر اُء َفَتْع ِر ُفوَن َو ُتْنِكُر وَن َفَم ْن َع َر َف َبِرَئ َو َمْن َأْنَكَر َس َمِل َو َلِكْن َمْن َر َىِض َو اَت َبَع‬
“Suatu saat akan datang para pemimpin. Mereka melakukan amalan ma’ruf (kebajikan) dan kemungkaran
(kejelekan). Barangsiapa mengetahui bahwa itu adalah kemungkaran maka dia telah bebas. Barangsiapa
mengingkarinya maka dia selamat. Sedangkan (dosa dan hukuman adalah) bagi siapa yang ridho dan mengikutinya.”
Kemudian para shahabat berkata, “Apakah kami boleh memrangi mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,
‫َال َم ا َص َّلْو ا‬
“Jangan selama mereka mengerjakan shalat.” (HR. Muslim no. 4906. Lihat penjelasan hadits ini di Ad Dibaj ‘ala
Muslim, 4/462 dan Syarha An Nawawi ‘ala Muslim, 6/327)
Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ِخ َي اُر َأِئَّم ِتُمُك اِذَّل يَن ِحُت ُّب وُهَنْم َو ِحُي ُّب وَنْمُك َو ُيَص ُّلوَن َعَلْي ْمُك َو ُتَص ُّلوَن َعَلِهْي ْم َو َرِش اُر َأِئَّم ِتُمُك اِذَّل يَن ُتْب ِغ ُض وُهَنْم َو ُيْب ِغ ُض وَنْمُك‬
‫ ِق يَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َأَفَال ُنَناِبُذ ْمُه اِب لَّس ْي ِف َفَقاَل « َال َم ا َأَقاُم وا ِف يُمُك الَّص َالَة َو َذ ا َر َأْيْمُت ِم ْن ُو َالِتْمُك‬.» ‫َو َتْلَعُنوُهَنْم َو َيْلَعُنوَنْمُك‬
‫ِإ‬ .» ‫َش ْيًئا َتْكَر ُه وَنُه َفاْك َر ُهوا َمَع ُهَل َو َال َتِزْن ُعوا َيًد ا ِم ْن َط اَعٍة‬
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian.
Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian
membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”
Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika
kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas
ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 4910)
Dalam dua hadits ini terdapat dalil untuk memerangi penguasa dengan pedang apabila mereka tidak mendirikan shalat. Dan
tidak boleh menentang penguasa dan memerangi mereka sampai mereka melakukan kufur yang nyata di mana terdapat
pada kita burhan (petunjuk) dari Allah Ta’ala sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shomit radhiyallahu ‘anhu,
‫َم ْنَش ِط َنا‬ ‫ َفَباَيْعَن اُه َفاَك َن ِف َميا َأَخ َذ َعَلْي َن ا َأْن اَب َيَعَن ا َعىَل الَّس ْم ِع َو الَّط اَعِة ىِف‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫َد َعااَن َر ُس وُل اِهَّلل‬
‫اِهَّلل ِف يِه‬ ‫َو َم ْكَر ِه َن ا َو ُع ِرْس اَن َو ُيِرْس اَن َو َأَثَر ٍة َعَلْي َن ا َو َأْن َال ُنَن اِز َع اَألْم َر َأْهُهَل َق اَل « َّال َأْن َتَر ْو ا ُكْف ًر ا َبَو اًح ا ِع ْن َد ْمُك ِم َن‬
‫ِإ‬
» ‫ُبْر َهاٌن‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami untuk berbai’at, lalu kami berbai’at kepadanya. Bai’at
tersebut mewajibkan kami untuk mendengar dan selalu ta’at kepada penguasa dalam keadaan senang atau benci, sulit
atau lapang, dan mengalahkan kepentingan kami, juga tidak menentangnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ’Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah’.” (HR. Muslim
no. 4877)
Kesimpulannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini mengaitkan perbuatan meninggalkan shalat dengan
memerangi penguasa dan ini dianggap sebagai kekufuran yang nyata.
MELIHAT AURAT SESAMA WANITA
Seorang perempuan kepada perempuan lain, boleh saja melihat mukanya, kepala, kedua tangannya, lengan bawah,
kedua kakinya dan betisnya baik ia itu muslim ataupun kafir. Berdasarkan pendapat yang benar dalam penafsiran firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
‫ َأْو ِنَس اِئِهَّن‬atau wanita-wanita” [An-Nur : 31]
Bahwasanya yang dimaksud wanita di sini adalah Al-Jins (jenis) bukan Al-Wafsu (sifat). Namun ada pula
sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita di sini adalah wanita-wanita Islam, dengan
demikian tidaklah boleh bagi seorang wanita Islam membuka aurat kepada wanita kafir. Dan yang tepat adalah yang
dimaksudkan dengan kata wanita-wanita di dalam ayat tersebut adalah Al-Jins (jenisnya) yaitu wanita-wanita dan yang
termasuk jenis wanita, dengan demikian boleh bagi perempuan muslim membuka sebagian auratnya kepada wanita kafir.
Disini saya jelaskan pada satu masalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
perempuan melihat aurat perempuan lain, lalu sebagian wanita menyangka boleh saja seorang wanita memakai pakaian-
pakaian pendek atau ketat yang tidak sampai ke lutut dan boleh memakai baju yang terlihat bagian dadanya sehingga
tampak lengan atasnya, dada dan lehernya. Pendapat yang demikian salah, karena hadits ini menjelaskan ketidak-bolehan
wanita melihat aurat perempuan lain, maka yang dibicarakan di sini adalah yang melihat bukan yang memakai, dan apapun
bagi yang memakai maka wajib memakai pakaian yang menutup tubuhnya.
Adapun pakaian-pakaian isteri-isteri para sahabat sampai kepada pergelangan tangan, kaki dan kedua mata kaki, dan kerap
kali ketika hendak pergi ke pasar, mereka memakai pakaian yang panjang sampai menutupi perbatasan hasta kaki.
Demikian itu itu untuk menutupi kedua kaki mereka. Maka di sini terdapat perbedaan antara memakai dan melihat, yaitu
bilamana seorang perempuan memakai pakaian yang menutupi auratnya, dan ini mengangkat pakaiannya karena suatu hajat
atau lainnya, lantas terbukalah betisnya maka tidaklah haram bagi perempuan lain melihatnya.
Demikian pula bilamana perempuan tersebut berada di antara perempuan-perempuan lain, sedangkan ia memakai
pakaian (baju) yang menutup auratnya. Lalu kelihatan payudaranya, karena ia ingin menyusukan anaknya, ataupun
kelihatan dadanya, karena suatu sebab, maka yang demikian tidaklah mengapa bila kelihatan di depan mereka. Adapun
wanita yang sengaja memakai pakaian yang pendek, maka yang demikian tidak boleh, karena hal tersebut mengandung
keburukan dan kerusakan.
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Tidak diperbolehkan bagi orang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan wanita melihat aurat wanita. Dan tidak boleh
seorang laki-laki dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita dengan wanita lain dalam satu selimut".
(Hadits Riwayat Muslim)
Imam Nawawi Rahimahullahu mengatakan: "Dalam hadits tersebut terdapat larangan bagi orang laki-laki melihat
aurat laki-laki lain, dan wanita melihat aurat wanita lain. Larangan ini sama sekali tidak dapat diganggu gugat".
Selanjutnya Imam Nawawi mengatakan : "Mengenai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Dan tidak boleh
seorang laki-laki bergabung dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut, dan wanita bergabung dengan wanita lain
dalam satu selimut', merupakan larangan yang sifatnya haram apabila diantara keduanya tidak terdapat pemisah. Dan itu
menunjukkan larangan penyentuhan aurat bagian tubuh mana pun, baik laki-laki maupun wanita. Hal itu telah menjadi
kesepakatan para ulama. Banyak orang yang meremehkan masalah itu, di mana mereka banyak yang mandi dalam satu
kamar mandi. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang menjaga pandangan, tangan dan anggota tubuh lainnya dari aurat
orang lain, serta memelihara auratnya jangan sampai dilihat dan disentuh oleh orang lain. Dan apabila melihat orang yang
mengabaikan hal itu, maka hendaklah mereka menjauhi dan memperingatkannya.
Dalam hal ini penulis tambahkan, larangan ini juga mencakup tidurnya seorang wanita dengan wanita lain dalam
satu tempat tidur tanpa busana sehingga mengakibatkan aurat masing-masing dari keduanya tersentuh atau terlihat. Dan hal
itu termasuk perbuatan-perbuatan haram dan sekaligus merupakan awal dari tindakan cabul.
Batasan aurat yang harus ditutupi oleh wanita Muslimah bagi wanita Muslimah lainnya adalah dari pusar sampai
ke lutut. Sedangkan aurat yang harus ditutup oleh wanita Muslimah dari pandangan wanita non-Muslimah adalah seperti
penutupan yang harus dilakukannya terhadap laki-laki yang bukan muhrimnya. Tapi banyak wanita Muslimah yang
menganggap remeh masalah ini. Sehingga tidak jarang anda melihat salah seorang dari mereka dengan tidak segan-segan
membuka auratnya di hadapan temannya baik karena adanya sebab maupun tidak. Semuanya itu merupakan perbuatan yang
jelas-jelas dilarang syari'at.

Menampakkan Aurat didepan Mahram


Pendapat pertama, yaitu pendapat dari ulama Malikiyah, Hambali, aurat wanita di hadapan sesama mahramnya adalah
selain wajah, kepala, kedua telapak tangan dan kaki. Ini berarti tidak boleh membuka dadanya, payudaranya dan semacam
itu di hadapan sesama mahram karena masih tergolong aurat. Untuk ayah wanita diharamkan untuk melihat anggota tubuh
tersebut walaupun tanpa syahwat dan nafsu.
Pendapat kedua, pendapat ulama Hanafiyah, yaitu aurat wanita dengan sesama mahramnya yaitu antara pusar dan lutut.
Begitu pula yang termasuk aurat adalah punggung dan perut. Selain aurat tersebut boleh untuk dipandang oleh sesama
mahram selama aman dari fitnah (godaan) dan selama tidak dengan syahwat (nafsu).
Pendapat ketiga, adapun ulama Syafi’iyah berpandangan boleh laki-laki memandang wanita yang masih mahram
dengannya selain antara pusar dan lutut. Mahram yang dimaksudkan di sini adalah karena sebab nasab, persusuan atau pun
pernikahan yang sah.
Ulama Syafi’iyah juga ada yang berpandangan lain sama seperti pendapat pertama, yaitu boleh memandangi mahram hanya
pada bagian tubuh yang biasa dipandang ketika ia bekerja di dalam rumah. Yaitu yang boleh dipandang berarti adalah
kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki hingga lutut.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
Adapun hukum seorang pria melihat dan memandang mahramnya, pendapat yang paling kuat (perselisihannya tidak terlalu
kuat dalam madzhab, pen.), yang boleh dilihat hanya yang di atas pusar dan di bawah lutut. Ada pendapat lain pula (dalam
madzhab Syafi’i) yang mengatakan hanya boleh melihat seperti keadaan ketika berkhidmat dan beraktivitas dalam rumah.
Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 4: 30).
Maksud Imam Nawawi untuk pendapat kedua di atas adalah yang boleh terlihat bagi mahram hanyalah yang wajar dilihat
seperti wajah, rambut, leher, telapak tangan dan telapak kaki. Selain itu berarti termasuk aurat dan tidak boleh ditampakkan
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam …”
(QS. An-Nur: 31).
Yang disebutkan setelah suami dalam ayat ini adalah mahram dari wanita. Boleh menampakkan perhiasan pada mahram
tersebut. Namun bukan dengan sengaja ingin memamerkan perhiasannya dan bukan pula untuk bermaksud bersolek.
Demikian disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (5: 528) karya Ibnu Katsir rahimahullah.
Adapun apa yang dimaksud perhiasan, sudah dijelaskan ada perbedaannya. Yang terdapat satu suara, yang tidak boleh
terlihat oleh mahram adalah antara pusar dan lutut. Sedangkan selain itu ada perselisihan di antara para ulama. Lihat Al-
Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 36: 202.
BERSAMA ORANG-ORANG YANG ENGKAU CINTAI

‫َح َّد َثَنا ُس َلْيَم اُن ْبُن َح ْر ٍب َح َّد َثَنا حامد بن زيد عن اثبت َع ْن َأَنٍس َر َيِض اُهَّلل َع ْنُه َأَّن َر ُج اًل َس َأَل الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه‬
‫َو َس َمَّل َع ِن الَّس اَعِة َفَقاَل َم ىَت الَّس اَعُة َقاَل َو َم اَذ ا َأْعَد ْدَت َلَها َقاَل اَل ْيَش َء اَّل َأيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل َو َر ُس وُهَل َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه‬
‫ِإ‬
‫َو َس َمَّل َفَقاَل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت َقاَل َأَنٌس َفَم ا َفِر ْح َنا ِبْيَش ٍء َفَر َح َنا ِبَقْو ِل الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َأْنَت َم َع َمْن‬
‫َأْح َبْب َت َقاَل َأَنٌس َفَأاَن ُأِح ُّب الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َو َأاَب َبْكٍر َو َمُع َر َو َأْر ُج و َأْن َأُكوَن َم َع ُهْم ُحِب يِّب اَّي ْمُه َو ْن َلْم َأَمْع ْل‬
‫ِإ ِإ‬
‫ِبِم ْثِل َأَمْع اِلِهْم‬
Sulaiman bin Harb telah menyampaikan kepada kami, dia mengatakan, ‘Kami diberitahu oleh Hammad bin Zaid dari
Tsabit dari Anas Radhiyallahu anhu ,dia mengatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Orang itu mengatakan, ‘Kapankah hari kiamat itu?’ Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, ’Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?’ Orang itu menjawab,
‘Tidak ada, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Radhiyallahu anhu (Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan hadits ini)
mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda
Rasûlullâh , ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Saya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr dan Umar. Saya
berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan
amalan yang mereka lakukan

TAKHRIJ HADITS
1. Hadits ini dibawakan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahîhnya pada empat tempat, yaitu :
 Bab Manaqib Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu dengan lafazh di atas
 Kitab al-Adab, Bab Ma Ja’a fi Qaulir Rajuli : Wailaka dengan lafazh:
‫َع ْن َأَنٍس َأَّن َر ُج اًل ِم ْن َأْه ِل اْلَباِد َيِة َأىَت الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َفَقاَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َم ىَت الَّس اَعُة َقاِئَم ٌة َقاَل‬
‫َو ْيَكَل َو َم ا َأْعَد ْدَت َلَها َقاَل َم ا َأْعَد ْدُت َلَها اَّل َأيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل َو َر ُس وُهَل َقاَل َّنَك َم َع َمْن َأْح َبْب َت َفُقْلَنا َو ْحَن ُن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َكَذ َكِل َقاَل َنَع ْم َفَفِر ْح َنا َيْو َم ِئٍذ َفَر ًح ا َش ِد يًد ا‬
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang lelaki penduduk pedalaman mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Kapankah hari kiamat itu akan datang?” Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka engkau! Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut
kedatangannya?” Orang itu menjawab, “Saya tidak menyiapkan apappun, hanya saja saya mencintai Allâh dan
Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Engkau akan bersama dengan orang yang
engkau cintai.” Kami mengatakan, “Kami juga begitu.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba, “Ya.”
Mendengar ini, kami merasa sangat berbahagia hari itu
 Kitab al-Adab, Bab ‘Alâmatil Hubbi fillâh (Bab tentang indikasi cinta kepada Allâh Azza wa Jalla)
‫َس َأَل الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َم ىَت الَّس اَعُة اَي َر ُس وَل اِهَّلل َقاَل َم ا َأْعَد ْدَت َلَها‬ ‫َع ْن َأَنِس ْبِن َم اٍكِل َأَّن َر ُج اًل‬
‫َص اَل ٍة َو اَل َص ْو ٍم َو اَل َص َد َقٍة َو َلِكيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل َو َر ُس وُهَل َقاَل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬ ‫َقاَل َم ا َأْعَد ْدُت َلَها ِم ْن َكِثِري‬
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang lelaki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Kapankah hari kiamat itu?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang itu menjawab, “Untuk
menyambutnya, saya tidak menyiapkan shalat yang banyak, tidak juga puasa yang banyak serta tidak sedekah
yang banyak, akan tetapi saya mencintai Allâh dan Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersada, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”
 Kitab al-Ahkâm, Bab al-Qadha’ wal Futya fit Tharîq
‫عن َأَنٍس ْبِن َم اٍكِل َر َيِض اُهَّلل َع ْنُه َقاَل َبْيَنَم ا َأاَن َو الَّنُّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َخ اِر َج اِن ِم ْن اْلَمْس ِج ِد َفَلِقَيَنا َر ُج ٌل‬
‫ِع ْنَد ُس َّد ِة اْلَمْس ِج ِد َفَقاَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َم ىَت الَّس اَعُة َقاَل الَّنُّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َم ا َأْعَد ْدَت َلَها َفَأَكَّن‬
‫الَّر ُج َل اْس َتاَك َن َّمُث َقاَل اَي َر ُس وَل اِهَّلل َم ا َأْعَد ْدُت َلَها َكِب َري ِص َياٍم َو اَل َص اَل ٍة َو اَل َص َد َقٍة َو َلِكيِّن ُأِح ُّب اَهَّلل‬
‫َو َر ُس وُهَل َقاَل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan, “Ketika saya dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar dari masjid, kami ditemui oleh seorang lelaki di sisi masjid lalu orang itu bertanya, “Wahai
Rasûlullâh! Kapankah hari kiamat itu?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang telah
engkau persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang itu terdiam lalu menjawab, “Untuk menyambutnya,
saya tidak menyiapkan shalat yang besar, tidak juga puasa yang besar serta tidak sedekah yang besar, akan tetapi
saya mencintai Allâh dan Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Engkau akan bersama
dengan orang yang engkau cintai.”
2. Hadits ini juga dibawakan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahîh beliau rahimahullah dalam Kitab al-Bir was Shilah
3. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi rahimahullah dalam Kitab Zuhud dalam kitab kitab Jami’nya dari
Ibnu Hajar rahimahullah
Bagian hadits ini yaitu lafazh :
‫َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬
Diriwayatkan juga dengan
‫اْلَمْر ُء َم َع َمْن َأَحَّب‬
Periwayatan dengan lafazh ini diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan yang lainnya melalui
banyak jalur periwayatan yang banyak, bahkan sebagian Ulama menyebutkan bahwa jalur periwayatn ini mencapai
derajat mutawatir.
Ibnu Katsir dalam tafsir Surat asy-Syûrâ mengatakan, “Ini diriwayat dari banyak jalur priwayatan yang mencapai
derajat mutawatir…”
Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan tentang hadits ini dengan lafazh ‫اْل َم ْر ُء َم َع َم ْن َأَح َّب‬, mengatakan, “Abu
Nu’aim rahimahullah telah mengumpulkan jalur-jalur periwayatan hadits ini dalam satu juz kitab yang diberi nama
Kitâbul Muhibbîn wal Mahbûbîn. Jumlah para Sahabat yang membawakan hadits mencapai jumlah 20 orang.
Kebanyakan riwayat mereka dengan menggunakan lafazh ini dan sebagian lagi membawakannya sebagaimana lafazh
dari Anas bin Malik di atas.”

PENJELASAN HADITS
Lafazh:
‫َأَّن َر ُج اًل َس َأَل الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َع ِن الَّس اَعِة‬
Sesungguhnya seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat
Dalam sebagian riwayat dari Anas Radhiyallahu anhu dalam kitab Shahîh al-Bukhâri disebutkan bahwa lelaki tersebut
adalah seorang lelaki dari pedalaman.
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan dalam kitab al-Fath bahwa lelaki tersebut adalah Dzul Khuwaishirah, orang Yaman
yang pernah kencing di masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . dan beliau rahimahullah mengatakan hadits yang
menjelaskan tentang jati diri lelaki ini dibawakan dalam kitab ad-Daru Quthni.
Hadits dalam riwayat ad-Daru Quthni yaitu:
‫ اَي ُم َح َّم ُد َم ىَت‬: ‫ َج اَء َأْع َر اُّيِب ىَل الَّنِّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َش ْي ٌخ َكِبٌري َفَقاَل‬: ‫َع ْن َع ْب ِد ِهللا َو ُه َو اْبُن َم ْس ُع ْو ٍد َقاَل‬
‫ِإ‬
‫ َو اِذَّل ي َبَع َثَك اِب ْلَحِّق َم ا َأْعَد ْدُت َلَها ِم ْن َكِب ِري َص اَل ٍة َو اَل ِص َياٍم اَّل يِّن ُأِح ُّب‬، ‫ اَل‬: ‫ َفَقاَل‬، ‫ َم ا َأْعَد ْدَت َلَها؟‬: ‫الَّس اَعُة ؟ َقاَل‬
‫ِإ ِإ‬ ‫ َفَذ َه َب الَّش ْي ُخ َفَأَخ َذ يُبوُل يِف اْلَمْس ِج ِد‬: ‫ َقاَل‬، ‫ َفَأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬: ‫ َقاَل‬،‫اَهَّلل َو َر ُس وُهَل‬،
Dari Abdullah yaitu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Ada orang tua yang
berasal dari pedalaman mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Orang itu bertanya, “Wahai Muhammad !
Kapankah hari kiamat?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menyambut hari kiamat?” Orang itu menjawab, “Tidak ada. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar sebagai
Nabi! Saya tidak mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja saya mencintai Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai.” Lalu orang tua itu pergi (dengan senang-red) lalu kencing di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫َم ا َأْعَد ْدَت َلَها؟‬
Apa yang engkau persiapkan menyambut kedatangannya?
Maksudnya, amal shalih apakah yang telah engkau persiapkan untuk engkau raih balasannya jika hari kiamat tiba? Al-
Hafizh mengatakan, “Al-Kirmani mengatakan, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam merespon orang yang
bertanya menempuh metode orang bijak, yaitu merespon penanya bukan dengan sesuatu yang dia inginkan tapi dengan
sesuatu yang penting atau bahkan lebih penting.”
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬
Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitab al-Fath, “Maksudnya, dia akan dikumpulkan bersama mereka (orang dia
dicintai) itu, sehingga dia menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang dicintai itu. Dengan pemahaman ini tertolaklah
pemahaman sebagian orang yang mengatakan bahwa kedudukan mereka yaitu antara orang yang dicinta dan yang
mencintai akan berbeda. Jika ini benar, bagaimana dikatakan ‘akan bersama’? Pertanyaan ini dijawab dengan :
Kebersamaan itu bisa terwujud dengan adanya titik temu pada satu hal tertentu dan tidak mesti harus sama dalam semua
hal. Jika mereka semua telah di masukkan ke surga berarti telah bersama-sama, meskipun derajat mereka di surga berbeda.
Perkataan Anas Radhiyallahu anhu :
‫َفَم ا َفِر ْح َنا ِبْيَش ٍء َفَر َح َنا ِبَقْو ِل الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬
Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan dengan sesuatu sebagaimana kebahagiaan kami dengan sebab mendengar
sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”
Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan :
‫َفَم ا َفِر ْح َنا َبْع َد ا ْس َالِم َفْر ًح ا َأَش َّد ِم ْن َقْو ِل الَّنِّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َف َّنَك َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬
‫ِإ‬
Sejak memeluk Islam, kami tidak pernah merasakan kebahagiaan melebihi kebahagiaan yang kami rasakan karena
‫ِإل‬
mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai.”
Perkataan Anas Radhiyallahu anhu :

‫َفَأاَن ُأِح ُّب الَّنَّيِب َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َو َأاَب َبْكٍر َو َمُع َر‬
Maka saya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu
Dalam perkataan ini, Anas Radhiyallahu anhu mengumpulkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua Sahabat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu ungkapan cinta. Mencintai kedua Sahabat yang mulia ini merupakan bagian dari
kecintaan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena cinta yang benar menuntut seseorang untuk selalu
sejalan dengan dengan orang yang dicintainya dalam mencintai apa yang dicintainya dan membenci apa yang dibenci oleh
orang yang dicintai. Abu Bakr dan Umar Radhiyalahu anhuma adalah dua Sahabat dan dua orang yang dicintai oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara Allâh Azza wa Jalla berfirman:
‫ُقْل ْن ُكْنْمُت ِحُت ُّبوَن اَهَّلل َفاَّتِب ُع ويِن ْحُي ِب ْب ُمُك اُهَّلل َو َيْغِفْر َلْمُك ُذ ُنوَبْمُك ۗ َو اُهَّلل َغُفوٌر َر ِح ٌمي‬
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-
‫ِإ‬
dosamu.” Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imran/3:31]
Allah Azza wa Jalla telah menyatukan antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua Sahabat Beliau tersebut di
dunia juga kuburan mereka. Mereka berdua akan bersamanya di surga. Mereka berdua adalah orang terbaik yang dilahirkan
oleh para wanita setelah para nabi dan para rasul. Yang terbaik diantara keduanya adalah Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan
orang terbaik setelah Umar Radhiyallahu anhu adalah Utsman Radhiyallahu anhu kemudian setelah Ali Radhiyallahu anhu.
Keutamaan mereka di atas semua Sahabat yang lainnya.

FAIDAH HADITS
 Keharuskan untuk kembali kepada para Ulama dan bertanya kepada mereka tentang masalah-masalah agama
 Kelemah lembutan seorang alim kepada orang yang bertanya dan mengarahkan perhatiannya kepada sesuatu yang
bisa mendatangkan manfaat yang agung
 Kesempurnaan kasih sayang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan arahan Beliau n kepada
mereka agar bisa meraih sesuatu yang mendatangkan keberuntungan dan kebahagian bagi mereka
 Sesungguhnya diantara indikasi baiknya Islam seseorang yaitu dia menyibukkan diri dengan suatu yang
bermanfaat baginya dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
 Sesungguhnya mempersiapkan diri menyambut hari akhirat dan membekali diri untuk kehidupan setelah kematian
adalah sesuatu yang sangat penting yang harus mendapatkan perhatian serius
 Hendaknya seseorang menganggap amalannya kecil, tidak mudah tertipu dengan apa yang diperbuatnya dan
meyakini bahwa dirinya penuh dengan berbagai kekurangan, (sehingga dia akan terus terpacu untuk memperbaiki
diri-red)
 Keagungan kedudukan dan nilai kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dalam hadits yang shahih
disebutkan:
‫َثاَل ٌث َمْن ُكَّن ِف يِه َو َج َد َح اَل َو َة ا َمياِن َأْن َيُكوَن اُهَّلل َو َر ُس وُهُل َأَحَّب َلْي ِه ِم َّم ا ِس َو اَمُها َو َأْن ِحُي َّب اْلَمْر َء اَل ِحُي ُّبُه‬
‫ِإ‬ ‫ِإْل‬
‫اَّل ِهَّلِل َو َأْن َيْكَر َه َأْن َيُع وَد يِف اْلُكْفِر اَمَك َيْكَر ُه َأْن ُيْقَذ َف يِف الَّناِر‬
Ada tiga hal, barangsiapa ada pada dirinya tiga hal ini, maka dia akan merasakan manisnya iman (yaitu, yang
‫ِإ‬
pertama): Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya lebih dia cintai dibandingkan yang lainnya, (kedua) dia
mencintai seseorang, dia tidak mencintai kecuali karena Allâh dan (ketiga) dia benci kembali kepada
kekufuran sebagaimana dia benci dicampakkan kedalam api neraka
 Mengarahkan perhatian kaum Muslimin agar mencintai al-haq dan orang-orang yang membawa al-haq supaya dia
juga dapat meraih kebahagiaan, karena seseorang itu akan senantiasa bersama denan orang yang dicintai
 Keagungan kedudukan para Sahabat Radhiyallahu anhum dan antusiasme mereka yang sangat tinggi untuk meraih
kebaikan serta jauhnya mereka dari berbagai keburukan. Ini tergambar dalam binar-binar kebahagiaan yang
mereka rasakan saat mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫َأْنَت َم َع َمْن َأْح َبْب َت‬
Engkau akan bersama dengan orang yang cintai
 Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diarahkan kepada satu orang Sahabat berarti sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diarahkan kepada semua umatnya selama tidak dalil yang menunjukkan bahwa
sabda itu khusus untuk orang tertentu
 Keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu dan Umar al-Fârûq Radhiyallahu anhu. Oleh karena itu,
Imam al-Bukhari membawakan hadits ini dalam bab yang menjelaskan tentang keutamaan Umar bin al-Khattab
 Hadits ini menunjukkan bahwa para Sahabat Radhiyallahu anhum mengagungkan dan memuliakan Abu Bakr
Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu, mencintai mereka dan mengetahui kedudukan mereka
dibandingkan yang lain.
 Anas Radhiyallahu anhu mengatakan :

‫َأْر ُج و َأْن َأُكوَن َم َع ُهْم ُحِب يِّب ِإ اَّي ْمُه َو ْن َلْم َأَمْع ْل ِبِم ْثِل َأَمْع اِلِهْم‬
Aku berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka, ‫ ِإ‬meskipun aku tidak mampu
melakukan amalan mereka
Dalam perkataan ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seseorang boleh menjadikan amal shalihnya sebagai
wasilah. Ini juga ditunjukkan oleh hadits tentang orang bersembunyi di gua.
TAKUT KEPADA ALLAH SWT
Pernahkah anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allah Azza wa Jalla ? ketahuilah, sesungguhnya
hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla akan mendorong hamba
untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
‫َال َيِلُج الَّناَر َر ُج ٌل َبىَك ِم ْن َخ ْش َيِة اِهَّلل َح ىَّت َيُع ْو َد الَّلُنَب يِف الْرَّض ِع َو َال ْجَي َتِم ُع ُغَباٌر يِف َس ِب ْيِل اِهَّلل َو ُدَخاُن َهَجَمَّن‬
Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai air susu kembali ke dalam
teteknya. Dan debu di jalan Allah tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam.( HR. at-Tirmidzi, no. 1633,
2311; an-Nasâ`i 6/12; Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264. Syaikh Salîm al-
Hilâli hafizhahullah mengatakan, “Shahîh lighairihi”. Lihat penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh
Riyâdhus Shâlihîn 1/517; no. 448)

MENGAPA HARUS MENANGIS?


Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allah Azza wa Jalla dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak
melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, dia khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allah Azza wa Jalla
kepadanya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َّن اْلُم ْؤ ِم َن َيَر ى ُذ ُنوَبُه َأَكَّنُه يِف َأْص ِل َج َبٍل َخَياُف َأْن َيَقَع َعَلْي ِه َو َّن اْلَفاِج َر َيَر ى ُذ ُنوَبُه َكُذ اَب ٍب َو َقَع َعىَل َأْنِفِه َقاَل ِبِه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َه َكَذ ا َفَط َرا‬
Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir
gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap
di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini-, maka lalat itu terbang. [HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan
dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]
Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata, “Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia
melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah
perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada
kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa
seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allah Azza
wa Jalla -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah
keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allah-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allah). Dia
menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”. [Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497]
Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allah Azza wa Jalla timpakan kepada orang-
orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allah Azza wa
Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:
Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya
adzab-Nya sangat pedih lagi keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari dimana manusia dikumpulkan untuk
(menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). Dan Kami tiadalah
mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. Saat hari itu tiba, tidak ada seorangun yang berbicara,
melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang yang
celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih).
[Hûd/11:102-106]
Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang
menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allah Azza wa Jalla al-Khâliq . Allah
Azza wa Jalla berfirman:
Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang
sangat besar (dahsyat). (Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui
anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya, dan semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia
dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi adzab Allah itu sangat keras.
[al-Hajj/22:1-2]
Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha
menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allah
Azza wa Jalla memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan
memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya. Mereka
mengatakan: “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa takut (akan
diadzab)”. Kemudian Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya
kami dahulu beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. [ath-
Thûr/52:25-28]

ILMU ADALAH SEBAB TANGISAN KARENA ALLAH AZZA WA JALLA


Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allah Azza wa Jalla . Allah
Azza wa Jalla berfirman:
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-
macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Fâthir/35:28]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ُعِر َض ْت َعَّيَل اْلَجَّنُة َو الَّناُر َفْمَل َأَر اَك ْلَيْو ِم يِف اْلَخ ِرْي َو الِّرَّش َو َلْو َتْع َلُمْو َن َم ا َأْعُمَل َلَض ِح ْكْمُت َقِلْي ًال َو َلَبَكْيْمُت َكِثًري ا َقاَل َفَم ا‬
‫َأىَت َعىَل َأَحْص اِب َر ُس ْو ِل اِهَّلل َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َيْو ٌم َأَش ُّد ِم ْنُه َقاَل َغَّط ْو ا ُر ُء ْو َس ُهْم َو َلُهْم َخ ِنٌنْي‬
Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini.
Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.
Anas bin Mâlik –perawi hadits ini mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain
hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan. [HR. Muslim, no. 2359]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang
telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di
dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui
semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak
menangis”. [Syarah Muslim, no. 2359]. Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allah Azza
wa Jalla dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.
Lihatlah para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana
kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak
pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya
kita meneladani mereka. [Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41]
Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allah Azza wa Jalla merupakan tetesan yang
paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla , tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi
Muhammad n menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda beliau:
‫َلْيَس ْيَش ٌء َأَحَّب ىَل اِهَّلل ِم ْن َقْط َر َتِنْي َو َأَثَر ْيِن َقْط َر ٌة ِم ْن ُد ُم ْو ٍع ْيِف َخ ْش َيِة اِهَّلل َو َقْط َر ُة َد ٍم َهُتَر اُق يِف َس ِبيِل اِهَّلل َو َأَّم ا‬
‫ْا ألَ َثَر اِن َفَأَثٌر يِف َسِإ ِب ْيِل اِهَّلل َو َأَثٌر يِف َفِر ْيَض ٍة ِم ْن َفَر اِئِض اِهَّلل‬
Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allah daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air
mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua bekas, yaitu bekas di
jalan Allah dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajibanNya.( HR. at-Tirmidzi, no.
1669; dihasankan oleh Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullah dalam Bahjatun Nâzhirîn, 1/523, no. 455)
Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allah Azza wa Jalla , bukan
karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh
karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan
sendirian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َس ْب َع ٌة ُيِظ ُّلُهْم اُهَّلل يِف ِظ ِهِّل َيْو َم َالِظ َّل َّال ِظ ُهُّل ْا َم اُم اْلَع اِد ُل َو َش اٌّب َنَش َأ يِف ِع َباَد ِة َر ِّبِه َو َر ُج ٌل َقْلُبُه ُم َع َّلٌق يِف اْلَمَس اِج ِد‬
‫َو َر ُج َالِن َحَتااَّب يِف اِهَّلل اْج َتَم َع ا َعَلْي ِه َو َتِإَفَّر َقا َعَلْي ِهِإل َو َر ُج ٌل َط َلَبْتُه اْم َر َأٌة َذ اُت َمْنِص ٍب َو َمَجاٍل َفَقاَل يِّن َأَخاُف اَهَّلل َو َر ُج ٌل‬
‫ِإ‬
‫َتَص َّد َق َأْخَفى َح ىَّت َال َتْعَمَل َمِش اُهُل َم ا ُتْنِفُق َيِم يُنُه َو َر ُج ٌل َذ َكَر اَهَّلل َخ اِلًيا َفَفاَض ْت َع ْي َناُه‬
Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali
naungan-Nya. Pertama: Imam yang berbuat adil; kedua: pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya; ketiga:
seorang laki-laki yang hatinya tergantung di masjid-masjid; keempat: dua orang lak-laki yang saling mencintai karena
Allah, keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah; kelima: seorang laki-laki yang diajak oleh
seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu dia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”;
keenam: seorang laki-laki yang bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; ketujuh: seorang laki-laki yang menyebut Allah di tempat
yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”.[HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031]
Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggungjawabkan segala amal
perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan
mendapatkan naungan Allah Azza wa Jalla pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut
kepada Allah Azza wa Jalla .
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allah Azza wa
Jalla , sebutlah Rabbmu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan fikirkan sesuatupun selain-Nya. Jika
engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla atau
karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang
lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allah Azza wa Jalla dan karena takut kepada-Nya jika hatimu
tersibukkan dengan selain-Nya? Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “seorang laki-laki yang
menyebut Allah di tempat yang sepi”, yaitu hatinya kosong dari selain Allah Azza wa Jalla , badannya juga kosong (dari
orang lain), dan tidak ada seorangpun di dekatnya yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah. Namun, dia
melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”. [Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, Pada suatu hari aku bertanya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Sebagian ahli ilmu ditanya, ‘Mana yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba, membaca tasbih atau istighfar?’” Maka
beliau menjawab, “Apabila pakaian itu bersih, maka wewangian dan air mawar lebih bermanfaat baginya, dan apabila
pakaian itu kotor, maka yang lebih bermanfaat baginya adalah sabun dan air panas.” Kemudian beliau rahimahullah
berkata kepadaku, “Apa pendapatmu jika pakaian itu selalu dalam keadaan kotor?”
Saudaraku.. Anda memiliki air mata yang terbatas.. Jika dunia tidak cukup membuat anda mencucurkannya, niscaya anda
akan mencucurkannya di akhirat.
Anda memiliki pembendaharaan kesedihan.. Jika anda telah berhasil di dunia ini, niscaya kata kesedihan itu akan terhapus
dalam memori anda di akhirat, dan anda akan termasuk orang-orang yang tidak akan bersedih karena kegoncangan yang
amat besar (hari Kiamat).
Maka bayarlah harga itu dengan sempurna hari ini, karena di sana tidak ada lagi kesempatan untuk tawar menawar.
Pernahkah anda seumur hidup menangis karena Allah? Menangisi dosa-dosa kita? Menangisi kelemahan kita di hadapan
Allah? Kita tidak bisa tiba-tiba menangis karena Allah begitu saja, kita tidak bisa merencanakan tangisan ini, kita tidak bisa
menangis sesuai keinginan kita. Akan tetapi tangisan ini, timbul karena takut kepada Allah, bergetar hatinya karena nama
Allah disebut dan berguncang jiwanya ketika mengingat maksiat dan dosa yang ia lakukan, oleh karena itu inilah tangisan
keimanan, tangisan kebahagiaan dan tangisan hanifnya jiwa.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan hanya kepada
Rabb mereka, mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
‫ قاَل‬، ‫ َو َعَلْي َك ُأْنِز َل ؟‬، ‫ َأْقَر ُأ َعَلْي َك‬، ‫ اي رُس وَل اهَّلل‬: ‫ ” اْقَر ْأ عيَّل الُقرآَن ” قلُت‬: ‫قال يل النُّيب َص ىّل ُهللا َعَلْي ِه وَس مَّل‬
‫ { َفَكْيَف ذا ِج ْئنا ِم ْن‬: ‫ حىت ِج ْئُت إىل هِذِه اآلية‬، ‫ ” ين ُأِح ُّب َأْن َأَمْس َع ُه ِم ْن َغِرْي ي ” فقَر ْأُت عليه سوَر َة الِّنساء‬:
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ َف َذ ا ِع ْي ناُه‬، ‫ ] قال ” َح ْس ُبَك اآلن ” َفاْلَتَفَّت لْي ِه‬40 / ‫ِّلُك ُأَّم ة ِبَش هيد ِو جْئنا ِبَك َعىل َهؤالِء َش ِهيدًا } [ النساء‬
‫ِإ ِإ‬
‫)َتْذ ِر فاِن‬
“Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka
kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu
diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain
diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat
ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau
sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun
menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.”(HR. Bukhari & Muslim)
Dari Haani’ Maula Ustman radhiallahu ‘anhu berkata,
‫ وتبيك من هذا ؟! فقال‬، ‫ تذكر اجلنة والنار فال تبيك‬: ‫اكن عامثن إذا وقف عىل قرب ؛ بىك حىت يبل حليته ! فقيل هل‬
‫ مفا بعده أيرس منه‬، ‫ فإن جنا منه‬، ‫ ” إن القرب أول مزنل من منازل اآلخرة‬: ‫إن رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال‬
‫ وإ ن مل ينج منه ؛ مفا بعده أشد منه‬،
“Utsman jika berada di suatu kuburan, ia menangis sampai membasahi jenggotnya. Dikatakan kepadanya, “disebutkan
surga dan neraka engkau tidak menangis, tetapi engkau menangis karena ini?”. Beliau berkata, sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “sesungguhnya kubur adalah tempat persinggahan pertama dari
beberapa persingggahan di akhirat, jika ia selamat maka ia dimudahkan, jika tidak selamat maka tidaklah datang
setelahnya kecuali lebih berat.”(HR. Tirmidzi)

Salah Satu Bukti Keimanan Adalah Menangis Karena Allah


Bagaimana kita bisa bangga menisbatkan diri sebagai muslim yang beriman, tetapi kita tidak pernah merasa takut kepada
Allah, air mata mengering, seolah-olah merasa aman dengan maksiat dan dosa yang ia lakukan. Beginilah ciri seorang yang
beriman (mukmin) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,
. » ‫ َو َّن اْلَفاِج َر َيَر ى ُذ ُنوَبُه َكُذ اَب ٍب َم َّر َعىَل َأْنِفِه‬، ‫َّن اْلُم ْؤ ِم َن َيَر ى ُذ ُنوَبُه َأَكَّنُه َقاِعٌد ْحَت َت َج َبٍل َخَياُف َأْن َيَقَع َعَلْي ِه‬
‫ِإ‬ ‫ِإَفَقاَل ِبِه َه َكَذ‬
“Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir
gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap
di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.(HR. Tirmidzi)
Ibnu Abi Jamrah rahimahullah menjelaskan hadits,
“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang
menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu
apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari
musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan
selamat.”
“Mu’adz radhiallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang
membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang
satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan
manakah aku di antara kedua golongan itu?”.”
Abu Musa al-Asya’ri radhyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia
bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu
orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam”.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”.
Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku
lagi.”

Mata Menangis Tetapi Hati Berbahagia


Bagaimana tidak bahagia? Sementara air mata mengalir deras, ia bergumam, “akhirnya, akhirnya, akhirnya, mata ini
menangis karena Allah? Bagaimana tidak bahagia, ia langsung teringat keutamaan menangis karena Allah.
Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ال يلج النار رجل بىك من خشية هللا حىت يعود اللنب يف الرضع‬
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah
diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.”(HR. Tirmidzi)
‫ وَر ُج ٌل َذ َكَر اهَّلل خاِليًا َفَفاَض ْت َع ْي َناُه‬،.… ‫َس ْب َع ٌة ُيِظ ُّلُهُم اُهَّلل يف ِظ ِهِّل َيْو َم ال ِظ َّل إال ظُهُّل‬
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; ….
dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata
(menangis).”(HR. Bukhari & Muslim)
Dan sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam
‫ وعني ابتت حترس يف سبيل هللا‬، ‫ عني بكت من خشية هللا‬، ‫عينان ال متسهام النار‬
“Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah,
dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan
Allah.”(HR. Tirmidzi)

Bukan Menangis Terharu Atau Menangis Ramai-Ramai


Bukan menangis karena terharu melihat atau mendengar kejadian menyedihkan atau terharu bahagia, bukan ini yang
dimaksud menangis karena Allah dalam hadits, karena orang kafir dan munafik juga menangis atau karena memang
pembawaannya gampang menangis/melankolis. Menangis seperti ini adalah fitrah manusia. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Al-Qurtubhi rahimahullah dalam tafsir ayat,
“dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (An-Najm: 43)
Beliau berkata,
“Yaitu Allah menetapkan sebab-sebab tertawa dan menangis. Berkata Atha’ bin Abi Muslim, “Allah membuat gembira dan
membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tertawa dan kesedihan bisa membuat menangis.”
Dan bukan juga menangis ramai-ramai sebagaimana acara muhasabah bersama(direncanakan acaranya), berkumpul
bersama berdzikir kemudian menangis beramai-ramai. Karena bisa jadi tangisannya karena suasana dan menangis yang
menular apalagi acaranya diiringi dengan lagu dan musik yang sendu.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa tangisan ada 10 jenis, salah satunya beliau jelaskan, “Tangisan
muwafaqaah, yaitu seseorang melihat manusia menangis karena suatu perkara, kemudian ia ikut menangis bersama
mereka sedangkan ia tidak tahu mengapa ia menangis, ia melihat mereka menangis maka ia ikut menangis.”
Lebih Sedih Karena Film Dan Drama Daripada Takut Kepada Allah
Ketika ayat Al-Quran dibacakan dan ketika membaca perjuangan para Nabi dan Sahabat membela Islam kita sulit menangis
dan tersenth, akan tetapi ketika menonton film (notabenenya sandiwara) dan ketika membaca cerita fiktif kita menangis
tersedu-sedu? Di mana keimanan kita?
Padahal kita tahu mereka hanyalah menangis yang berdusta dan berpura-pura, ini yang disebutkan oleh ulama sebagai Al-
Buka’ Al-Kadzib ”tangisan palsu”, sebagaimana tangisan saudara-saudara Nabi Yusuf Alaihissalam ketika mengadu kepada
bapak mereka bahwa yusuf telah dimakan serigala. Sebagaimana diceritakan Al-Quran,
“Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. Mereka berkata: “Wahai ayah kami,
sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan
serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”
(Yusuf: 16-17)
Bahkan ini adalah Al-buka’ Al musta’ar wal musta’jar alaihi “tangisan bayaran” sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim, beliau berkata, “tangisan yang disewa yaitu tangisan orang yang meratap dengan upah (dibayar untuk menangisi
tokoh besar agar terlihat banyak yang merasa kehilangan, pent). Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab, “ia menjual
tetesan air mata dan menangis duka untuk orang lain.”

Bukan Sering Menampakkan Wajah Sedih


Akan tetapi seorang muslim tidaklah sering menampakkan kesedihan dan tangisannya di depan manusia kemudian dihiasi
dengan wajah pucat-pasi (sebagaimana salah paham disangka inilah tawaddu). Seorang muslim ketika menyendiri ia
berlinang air mata menikmati bermunajat dengan Allah dan ketika bertemu dengan manusia berwajah gembira dan ceria.
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َو َلْو َأْن َتْلَقى َأَخاَك ِبَو ْج ٍه َط ْلٍق‬،‫اَل ْحَت ِقَر َّن ِم َن اْلَم ْع ُر وِف َش ْيًئا‬
“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan
wajah yang ceria/bermanis muka”.(HR. Muslim)
Bahkan salafus shalih menyembunyikan tangisan mereka dari manusia agar lebih ikhlas, contohnya pura-pura sedang pilek
ketika menangis
Dari Bastham bin Huraits berkata,
“Ayyub (Ayyub bin Abi Tamimah Al-Sikhtiyani) pernah merasa terenyuh dan airmatanya mulai mengalir. Namun dia
berusaha menyembunyikannya dari para sahabatnya dengan memegang hidungnya seakan sedang pilek (dalam riwayat
lain, sambil dia berkata, ‘Alangkah beratnya pilek ini’). Jika dia tidak sanggup menahan isak tangisnya, dia pun berdiri.”

Para Nabi Dan Orang Shalih Menangis Karena Allah


Para nabi dan orang-orang shalih menangis karena Allah, Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari
orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah
Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka,
maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)
Termasuk para malaikat dan penghuni langit, mereka takut kepada Allah. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata,
bersabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
‫مررُت ليةل أرسي يب ابملأل األعىل وجربيل اكِحل لس البايل من خشية هللا تعاىل‬
“Ketika malam isra’, saya melewati penghuni langit dan malaikat Jibril, mereka seolah-olah seperti alas pelana yang
tua-usang karena takut kepada Allah.”(HR. Thabrani)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya malaikat Jibril berkata,
‫ ما حضك مياكئيل منذ خلقت النار‬: ‫ما يل ال أرى مياكئيل ضاحًاك قط ؟ ” قال‬
“aku tidak pernah melihat Mikail tertawa sedikitpun, Mikail tidak pernah tertawa sejak diciptakan neraka”.(HR.
Ahmad)
Suka menangis karena Allah daripada segalanya
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
“Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.
Ka’ab Al-Ahbar berkata,
“Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai
daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”

Sulit Menangis Karena Allah?


Ini adalah musibah besar yang banyak orang tidak tahu, pura-pura lupa bahkan tidak peduli. Ini menunjukkan hatinya keras,
tidak bisa tersentuh oleh kebaikan dan hanifnya iman. Ini karena banyaknya maksiat sehingga perlu segera berobat ke
dokter hati yaitu ulama, dibawa ke pekuburan, mengelus kepala anak yatim. Cukuplah hadits Rasulullah sebagai pengingat,
Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
‫عرضت عَّيل اجلنة والنار فمل أر اكليوم من اخلري والرش ولو تعلمون ما أعمل لضحكمت قليال ولبكيمت كثريًا مفا أىت عىل‬
‫أحصاب رسول هللا صىل هللا عليه وسمل يوم أشد منه غطوا رؤوسهم وهلم خنني‬
“Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini.
Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.
Anas bin Malik radhiyallâhu’anhu –perawi hadits ini- mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat
bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan.”(HR. Muslim)

Jika Masih Saja Sulit Menangis Karena Allah?


Maka tangisilah diri kita, tangisilah hati kita yang mungkin sudah mati dan tangisilah jiwa kita yang tidak bisa menampung
sedikit saja tetesan keimanan, serta tangisilah mayat badan kita yang kita seret berjalan merajalela di muka bumi karena ia
hakikatnya telah mati. Semoga dengan menangisi diri kita, Allah berkenan membuka sedikit hidayah kemudian
menancapkannya dan bertengger direlung hati hamba yang berjiwa hanif.
Sebagaimana seruan sebuah ayat yang membuat seorang ulama besar Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah bertaubat, yang
dulunya beliau adalah kepala perampok yang sangat ditakuti dijazirah Arab, ayat tersebut adalah,
“Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka dengan mengingat Allah dan
kebenaran yang diturunkan. Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al
Kitab, masa yang panjang mereka lalui (dengan kelalaian) sehingga hati mereka pun mengeras, dan banyak sekali di
antara mereka yang menjadi orang-orang fasik.” (Al Hadid: 16)

Keutamaan Dzikir dan Menangis Karena Allah


Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu telah melihat keuntungan jual beli ini, dia berkata, ”Sesunggunya, aku menangis
karena takut kepada Allah, ini lebih aku cintai dari pada bersedekah sebanyak seribu dinar.”
Diantara keuntungan yang tidak terkira yang akan diperoleh orang yang menangis karena Allah adalah:
1. Berada dalam naungan ‘Arsy
Nabi ‫ ﷺ‬telah berjanji, bahwa orang yang menangis karena Allah, akan menjadi salah satu dari tujuh golongan
yang akan Dinaungi Allah dalam naungan-Nya di hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.
2. Aman dari azab Allah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, bahwa Nabi ‫ ﷺ‬bersabda,
“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang
berjaga di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi).
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Menangis itu dibagi menjadi sepuluh bagian, yang satu bagian karena Allah dan yang
sembilan bagian semuanya karena riya’. Jika yang satu bagian itu terjadi setahun sekali, insya Allah dia akan selamat
dari neraka.”
Tidaklah air mata menyentuh satu tempat pun kecuali dia akan menjaganya. Tidaklah air mata menyentuh satu
anggota badan pun kecuali neraka diharamkan menyentuhnya.
Abu Ma’syar berkata, “Aku mendengar Abu Hazim (Salamah bin Dinar Al-A’raj) menceritakan sebuah kisah di
masjid, dia menangis, lalu dia mengusapkan air matanya kewajahnya. Maka aku bertanya, ‘Wahai Abu Hazim, kenapa
Anda melakukan hal ini?’ Beliau tidak akan mengenai satu tempatpun yang terkena air mata yang mengalir karena
takut kepada Allah.”
3. Berada dalam naungan kecintaan Allah
Dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan air mata karena takut
kepada Allah dan tetesan darah yang tertumpah di jalan Allah. Sedangkan dua bekas itu adalah bekas-bekas fii
sabilillah (jihad) dan bekas-bekas mengamalkan kewajiban Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Adh-Dhiya’).
4. Diampuni dasa-dosanya
Abu Yahya, Malik bin Dinar menyatakan bahwa menangisi satu kesalahan dapat menggugurkan banyak kesalahan,
sebagaimana angin yang menggugurkan daun-daun yang kering. Meskipun dua orang malaikat senantiasa menghitung
nafas-nafasmu dan merekam suaramu yang pelan, serta selalu menuliskan dalam catatan amal dan tidak mengenal
lupa. Namun dalam menghadapi tangisan, kondisinya bisa berbeda.
Yazid Ar-Riqasyi berkata, “Telah sampai riwayat kepadaku bahwa orang yang menangisi satu dosa dan sekian dosa-
dosanya, maka dua malaikat penjaganya lupa terhadap dosa tersebut.”
5. Tanda taubat yang benar
Dari pengamatannya terhadap kondisi kaum mukminin, Yahya bin Mu’adz berpendapat bahwa tanda orang yang
bertaubat adalah meneteskan air mata, senang berkhalwat (menyendiri untuk beribadah kepada Allah), serta mau
melakukan muhasabah atas semua keinginannya. (Shifatu Shafwah: 4/61).
Bahkan sebagian ulama menetapkan bahwa pohon taubat itu tidak pernah berhenti menyerap air selama-lamanya
kecuali disiram dengan air mata.
6. Syi’ar hati yang hidup
Jika ujung kayu yang kering dimasukkan ke dalam api, niscaya ujung yang satunya akan berkeringat. Demikian juga
hati, jika dibakar dengan penyesalan terhadap dosa, niscaya kedua mata akan mencucurkan air mata, anggota badan
akan melembutkan dengan sikap tunduk dan hati menjadi lembut dengan taubat dan khusyuk.
Saudaraku.. jika ada seorang musafir telah lama mengilang, maka orang-orang akan mendoakan rahmat untuknya
karena menganggapnya telah wafat.
Maka, wahai orang-orang yang telah lama menghilang dari majelis (ilmu), jika hatimu khusyuk dan matamu
mengalirkan air mata ketika menerima nasihat, maka di sana masih ada harapan. Jika tidak, maka semoga Allah
memperbesar pahalamu dan memperbagus akhir hidupmu.
JIHAD, AMALAN YANG PALING UTAMA

DEFINISI JIHAD
Secara bahasa (etimologi), lafazh jihad diambil dari kata:
‫ َاْلُو ْس ُع‬، ‫ َاْلَم َش َّقُة‬، ‫ َاْلـُج ْهُد = َالَّط اَقُة‬، ‫ َاْلـَج ْهُد‬: ‫َهَجَد‬.
Yang berarti kekuatan, usaha, susah payah, dan kemampuan.
Menurut ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H), bahwa ‫ َاْلـَج ْهُد‬berarti kesulitan dan ‫ َاْلـُجْهُد‬berarti
kemampuan. Kata jihad ( ‫ ) َاْلـِج َهاُد‬diambil dari kata: ‫ َج اَهَد – ُيـَج اِهُد – ِج َهاًدا‬.
Menurut istilah (terminologi), arti jihad adalah:
‫ ُم ـَح اَر َبُة اْلُكَّفاِر َو ُه َو اْلُم َغاَلَبُة َو اْس ِتْفَر اُغ َم ا ِف ـْي اْلُو ْس ِع َو الَّط اَقِة ِم ْن َقْو ٍل َأْو ِف ْع ٍل‬: ‫َاْلـِج َهاُد‬.
“Jihad adalah memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan,
baik berupa perkataan atau perbuatan.”
Dikatakan juga:
‫ ِا ْس ِتْف َر اُغ اْلُو ْس ِع ِف ـْي ُم َد اَفَع ِة اْلَع ُد ِّو‬:‫َاْلـِج َهاُد َو اْلُم َج اَهَد ُة‬.
“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”

JIHAD ADA TIGA MACAM


1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan setan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.
Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Qur-an, di antaranya:
Firman Allah Azza wa Jalla,
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak
menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah
menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur-an) ini, agar Rasul
(Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka
laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dia-lah Pelindungmu; Dia sebaik-
baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” [Al-Hajj/22 : 78]
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu
di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [At-Taubah/9: 41]
Juga firman-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah
dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu
sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada
kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang
telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
[Al-Anfaal/8: 72][4]
Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H), “Jihad menurut syar’i adalah
mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.”
Istilah jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu, melawan setan, dan melawan orang-orang fasik. Adapun melawan
hawa nafsu yaitu dengan belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya, kemudian mengajarkannya.
Adapun jihad melawan setan dengan menolak segala syubhat dan syahwat yang selalu dihiasi oleh setan. Jihad melawan
orang kafir dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan tangan, lisan, dan hati.
Perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫َج اِه ُد ْو ا اْلُم ِرْش ِكَنْي ِبَأْم َو اِلْمُك َو َأْنُفِس ْمُك َو َأْلِس َنِتْمُك‬.
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.”( Shahih: HR. Ahmad (III/124),
an-Nasa-i (VI/7), dan al-Hakim (II/81), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah adalah, “Mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa
yang dicintai Allah Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.”
Definisi ini mencakup seluruh macam jihad yang dilaksanakan seorang Muslim, yaitu meliputi ketaatannya kepada Allah
Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kesungguhan
mengajak (mendakwahkan) orang lain untuk melaksanakan ketaatan, yang dekat maupun jauh, Muslim atau orang kafir dan
bersungguh-sungguh memerangi orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) berkata, “Aku mendengar Syaikh kami (yaitu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah) berkata, ‘Jihad melawan hawa nafsu adalah prinsip (dasar yang dibangun di atasnya) jihad
melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mampu berjihad
(melawan) orang kafir dan munafik, sehingga dia berjihad melawan dirinya dan hawa nafsunya lebih dahulu sebelum
melawan mereka (orang kafir dan munafik).’”

KEUTAMAAN JIHAD FI SABILILLAH


Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad
di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” [Ali ‘Imran/3: 142]
Ada beberapa hadits yang menunjukkan tentang keutamaan jihad fii sabiilillaah, di antaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
Dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
‫ َفَأَعاُد ْو ا‬: ‫ َقاَل‬.» ‫ « اَل َتْس َتِط ْي ُع ْو َنُه‬: ‫ َم ا َيْع ِدُل اْلِج َهاَد ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا َع َّز َو َج َّل ؟ َقاَل‬: ‫ِق ْيَل ِللَّنِّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل‬
‫ « َم َثُل اْلُم َج اِهِد يِف َس ِب ْيِل ِهللا َمَكَثِل‬: ‫ َو َقاَل ْيِف الَّثاِلَثِة‬.» ‫ « اَل َتْس َتِط ْي ُع ْو َنُه‬: ‫ ُّلُك َذ َكِل َيُقْو ُل‬. ‫َعَلْي ِه َم َّر َتِنْي َأْو َثاَل اًث‬
‫ اَل َيْفُرُت ِم ْن ِص َياٍم َو اَل َص اَل ٍة َح ىَّت َيْر ِج َع اْلُم َج اِه ُد ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا َتَع اىَل‬. ‫ » الَّص اِمِئ اْلَقاِمِئ اْلَقاِنِت ِبآاَي ِت ِهللا‬.
Dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah? Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para
shahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa
(mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada kali
yang ketiga: “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang berpuasa, shalat, dan khusyu’
dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan
Allah Ta’ala itu kembali.”( Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1878), Ibnu Abi
Syaibah (no. 19542), Ibnu Hibban (no. 4608-at-Ta’liiqaatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), At-Tirmidzi dalam
Sunan-nya (no. 1619), Ahmad dalam Musnad-nya (II/424), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2612). Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (no. 2896).
‫َر ْأُس اَأْلْمِر ا ْس اَل ُم َو ُمَع ْو ُد ُه الَّص اَل ُة َو ِذ ْر َو ُة َس َناِم ِه اْلـِج َهاُد ِف ـي َس ِب ْيِل ِهللا‬.

“… Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah.” (Shahih:
‫ِإْل‬
HR. Ahmad (V/231, 236, 237, 245-246), at-Tirmidzi (no. 2616), ‘Abdurrazzaq (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), dan
yang lainnya.
‫ َو ْن َم اَت َج َر ى َعَلْي ِه َمَع ُهُل اِذَّل ْي اَك َن َيْع َم ُهُل َو ُأْج ِر َي َعَلْي ِه ِر ْز ُقُه َو َأِم َن‬، ‫ِر اَب ُط َيْو ٍم َو َلْي ٍةَل َخٌرْي ِم ْن ِص َياِم َش ْهٍر َو ِق َياِم ِه‬
‫ِإ‬ ‫اْلَفَّتاَن‬.
“Orang yang menjaga di tapal batas sehari semalam lebih baik dari puasa dan shalat malam selama sebulan. Dan jika
ia mati, maka mengalirlah (pahala) amal yang biasa ia kerjakan, diberikan rizkinya, dan dia dilindungi dari adzab
(siksa) kubur dan fitnahnya.”( Shahih: HR. Muslim (no. 1913 (163)) dari shahabat Salman al-Farisi Radhiyallahu
anhu.
‫ ُيْذ ِه ُب ُهللا‬، ‫ َف َّن اْلـِج َهاَد ِف ـْي َس ِب ْيِل ِهللا اَب ٌب ِم ْن َأْبَو اِب اْلـَجَّنِة‬،- ‫َعَلْي ْمُك اِب ْلِج َهاِد ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا –َتَباَر َك َو َتَع اىَل‬
‫ِإ‬
‫ِبِه ِم َن اْلَهِّم َو اْلَغِّم‬.
“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu
merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan
kesusahan.”( Shahih: HR. Al-Hakim (II/74-75), ad-Dhiya’ dalam al-Ahaadiits al-Mukhtaarah (VIII/291-292, no. 356
dan 358) dan Ahmad (5/314, 316, dan 319), dari ‘Ubadah bin as-Shamit Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh al-
Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah
(no. 1941).
Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
‫ َّن َأْفَض َل اْلَع َم ِل َبْع َد الَّص اَل ِة َاْلِج َهاُد ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا َتَع اىَل‬.
“Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.”( Shahih: HR. Ahmad (II/32)
‫ِإ‬
dengan sanad yang shahih. Lihat Musnad Ahmad (no. 4873) dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (III/477).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang-orang yang berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla, mereka adalah tentara
Allah. Dengan mereka, Allah Azza wa Jalla menegakkan agama-Nya, melawan serangan musuh-musuh-Nya, menjaga
kehormatan Islam dan melindungi-nya. Merekalah adalah orang-orang yang memerangi musuh-musuh Allah agar agama
ini seluruhnya menjadi milik Allah semata dan hanya kalimat Allah yang tertinggi. Mereka telah mengorbankan diri
mereka dalam rangka mencintai Allah Azza wa Jalla, membela agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya serta melawan para
musuh-Nya. Mereka mendapat limpahan pahala dari setiap orang yang mereka lindungi dengan pedang-pedang mereka
dalam setiap perbuatan yang mereka kerjakan, walaupun mereka tetap tinggal di dalam rumah mereka. Mereka mendapat
pahala seperti pahala orang yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, dengan sebab jihad dan penaklukan mereka,
karena mereka yang menyebabkan orang bisa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla telah memposisikan penyebab ke tingkatan pelaku dalam ganjaran dan dosa. Dan karena inilah masing-
masing yang mengajak kepada petunjuk yang benar (akan mendapat pahala yang besar) dan seorang yang mengajak kepada
kesesatan mendapat dosa yang semisal dari orang yang mengikuti mereka.
Dan telah jelas ayat-ayat Al-Qur-an dan nash-nash hadits yang mutawatir yang memerintahkan untuk berjihad. Dan pujian
bagi orang-orang yang berjihad juga kabar gembira bagi mereka bahwa di sisi Rabb mereka terdapat berbagai macam
kemuliaan dan pemberian-pemberian yang berlimpah. Dan cukuplah dari dalil tersebut firman Allah Azza wa Jalla,
“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan
kamu dari adzab yang pedih?” [Ash-Shaff/61: 10]
Sehingga jiwa-jiwa menjadi rindu untuk mencapai perniagaan yang menguntungkan ini yang ditunjukkan oleh Allah Rabb
semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana yang berfirman,
“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…” [Ash-
Shaff/61: 11]
Seakan-akan jiwa bersifat kikir terhadap kehidupannya dan kelangsungan hidupnya, maka Allah Azza wa Jalla
melanjutkan,
“… Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” [Ash-Shaff/61: 11]
Artinya bahwa jihad itu lebih baik bagi kalian dari pada kesenangan kalian terhadap kehidupan dan kesehatan. Sepertinya
jiwa berkata, “Apa yang kami dapatkan dari jihad?” Allah Azza wa Jalla menjawab,
“Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu…” [Ash-Shaff/61: 12]
Selain ampunan dari-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“… dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal
yang baik di dalam Surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung.” [Ash-Shaff: 12]
Seolah-olah jiwa bertanya, “Itu balasan di akhirat, sedang di dunia apa balasan bagi kami?” Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjawab dengan berfirman,
“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat
(waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin.” [Ash-Shaff/61: 13]
Demi Allah, betapa manisnya untaian kata-kata di atas. Betapa lekatnya di hati. Betapa kuat daya tariknya bagi hati. Betapa
halusnya masuk ke dalam hati seorang pecinta. Betapa agungnya kekayaan hati dan kehidupannya ketika ia bersentuhan
dengan makna ayat-ayat di atas. Kita berdo’a meminta karunia dari Allah Ta’ala karena Dia Maha Dermawan dan Maha
Mulia.”

TUJUAN DISYARIATKANNYA JIHAD


Jihad memerangi musuh Islam tujuannya agar agama Allah tegak di muka bumi, bukan sekedar membunuh mereka. Allah
Azza wa Jalla berfirman,
“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti,
maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah: 193]
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata, “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi
kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain. Sehingga, ibadah dan
ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, tidak kepada yang lain.”[18]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫…ُأِم ْر ُت َأْن ُأَقاِتَل الَّناَس َح ىَّت َيْش َهُد ْو ا َأْن اَل َهَل اَّل ُهللا‬
‫ِإ ِإ‬
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar selain Allah…”(Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22), dari Shahabat Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma.
Abu ‘Abdillah al-Qurthubi rahimahullah (wafat th. 671 H) mengatakan, “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab
qital (perang) adalah kekufuran.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan, “Tujuan jihad adalah agar kalimat Allah
tinggi, dan agar agama semuanya milik Allah, yaitu maksud tujuannya agar agama Allah tegak (di muka bumi).”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Tujuan disyari’atkannya jihad agar (manusia dan jin meyakini bahwa) tidak ada yang
disembah dengan benar kecuali hanya Allah, tidak berdo’a kepada selain Allah, tidak shalat kepada selain Allah, tidak
sujud kepada selain Allah, tidak puasa kepada selain-Nya, tidak ‘umrah dan haji kecuali ke Baitullah, tidak boleh ada
penyembelihan (Qurban) melainkan hanya karena Allah, tidak bernadzar melainkan karena Allah, tidak bersumpah
melainkan dengan nama Allah saja, tidak bertawakkal melainkan hanya kepada-Nya, tidah takut melainkan hanya kepada-
Nya, tidak bertakwa melainkan hanya kepada-Nya, tidak ada yang mendatangkan semua kebaikan melainkan hanya Allah,
tidak ada yang dapat menolak semua kejelekan melainkan hanya Allah, tidak ada yang menunjuki (ke jalan lurus)
melainkan hanya Allah, tidak ada yang menolong mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberikan rezeki kepada
mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberi kecukupan kepada mereka kecuali hanya Allah dan tidak ada yang
mengampuni dosa-dosa mereka kecuali hanya Allah.”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah
bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam
ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang
menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan fitnah (syirik). Apabila fitnah (kesyirikan) itu sudah
hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.”
Jadi, jihad disyari’atkan agar agama Allah tegak di muka bumi. Karena itu, sebelum dimulai peperangan diperintahkan
untuk berdakwah kepada orang-orang kafir agar mereka masuk Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اَل ُتَقاِتْل َقْو ًم ا َح ىَّت َتْد ُع َو ْمُه‬.
“Janganlah engkau perangi suatu kaum sampai engkau mendakwahkan mereka (untuk masuk ke dalam Islam).”

HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Baqarah ayat ke 216.
Hukum jihad memerangi orang kafir adalah fardhu kifayah berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur-an dan al-Hadits yang
shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah. Apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur kewajiban
atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya, maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:
Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan pasukan orang-orang kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan
perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Dalilnya adalah surat Al-Anfaala ayat ke 16.
Kedua: Apabila musuh menyerang dan mengepung suatu negeri kaum Muslimin yang aman, maka wajib bagi penduduk
negeri tersebut untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.
Ketiga: Apabila Imam meminta suatu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib
berangkat. Lihat, At-Taubah ayat ke 38-39.

KAIDAH-KAIDAH JIHAD
1. Jihad harus dibangun di atas dua syarat yang merupakan dasar dari setiap amal shalih yang diterima, yaitu ikhlas dan
mutaba’ah.
2. Jihad harus sesuai dengan maksud dan tujuan disyari’atkannya jihad, yaitu seorang muslim berjihad agar agama Islam
ini tegak dan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, seperti dalam hadits bahwa dikatakan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ َمْن َقاَتَل‬: ‫ َفَأُّي َذ َكِل ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا ؟ َفَقاَل‬، ‫ َو ُيَقاِتُل ِر اَي ًء‬، ‫ َو ُيَقاِتُل ِمَح َّيًة‬، ‫ َالَّر ُج ُل ُيَقاِتُل َجَشاَعًة‬، ‫اَي َر ُس ْو َل ِهللا‬
‫ِلَتُكْو َن ِلَك َم َة ِهللا َيِه اْلُع ْلَيا َفُهَو ْيِف َس ِب ْيِل ِهللا‬.
“Wahai Rasulullah, seseorang berperang (karena ingin dikatakan) berani, seorang (lagi) berperang (karena ingin
dikatakan) gagah, seorang (lagi) berperang karena riya’ (ingin dilihat orang), maka yang mana yang termasuk
jihad di jalan Allah?” Kemudian Rasulullah Shallallahu berkata, “Barangsiapa yang berperang (dengan
tujuan)‘alaihi wa sallam untuk menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi, maka ia (berada) fii sabiilillaah (di
jalan Allah).”(HR. Bukhari & Muslim)
3. Jihad harus dengan ilmu dan pemahaman tentang agama, karena jihad ini termasuk ibadah yang paling agung dan
ketaatan yang paling mulia.
4. Jihad harus dengan keadilan dan menjauhi permusuhan.
5. Jihad harus bersama Imam kaum muslimin atau dengan izinnya, yang baik maupun yang jahat.
Ini termasuk kaidah yang paling penting yang harus ada dalam jihad fii sabiilillaah. Karena jihad –terutama jihad
melawan musuh dengan jiwa- tidak sempurna kecuali dengan kekuatan, dan kekuatan tidak ada kecuali dengan
perkumpulan, dan perkumpulan tidak terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak
benar kecuali dengan patuh dan taat. Semua perkara yang disebutkan ini wajib, tidak sempurna dan tidak tegak
sebagiannya tanpa sebagian yang lain, bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya.Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َو ْن َأَم َر ِبَغِرْي ِه َف َّن‬،‫ َف ْن َأَم َر ِبَتْقَو ى ِهللا َو َعْد ٍل َف َّن ُهَل ِبَذ َكِل َأْج ًر ا‬، ‫َّنَم ا ا َم اُم ُج َّنٌة ُيَقاَتُل ِم ْن َو َر اِئِه َو ُيَّتَقى ِبِه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ِإ‬ ‫َعَلْي ِهِإْلِوْز ًر ا‬.
“Sesungguhnya imam itu adalah perisai, ia akan diperangi dari belakangnya [30] dan dia menjadi perisai (dari
depan). Jika imam itu menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat adil, maka dia mendapat pahala.
Tetapi jika dia menyuruh kepada selain itu, maka dia mendapat dosa.”( Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2957) dan
Muslim (no. 1841), dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berkata: Shalat itu boleh di belakang setiap orang yang
baik maupun yang jahat, jihad bersama semua khalifah (pemimpin yang baik maupun jahat), tidak membangkang
kepada penguasa dengan pedang, dan mendo’akan mereka dengan kebaikan, maka dia telah keluar dari perkataan
Khawarij yang pertama dan yang terakhir.”
Imam Abu Ja’far at-Thahawi rahimahullah berkata,
“Haji dan jihad tetap berlaku bersama ulil amri (penguasa) kaum Muslimin, baik maupun jahat. Tidak ada yang dapat
membatalkan dan merusaknya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib diketahui bahwa mentaati ulil amri termasuk kewajiban
agama yang paling besar. Bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya. Karena sesungguhnya tidak
sempurna maslahat manusia kecuali dengan bermasyarakat untuk keperluan sebagian mereka kepada sebagian yang
lainnya. Dan wajib bagi mereka ketika bermasyarakat ada ketua/pemimpin… karena Allah Ta’ala mewajibkan amar
ma’ruf nahi munkar, dan itu tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Begitu juga semua yang
Allah wajibkan berupa jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat jum’at, shalat ‘ied, menolong orang yang terzhalimi,
menegakkan hukuman hadd, semuanya tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Karena inilah
diriwayatkan bahwa penguasa itu naungan Allah di muka bumi. Dan dikatakan: enam puluh tahun bersama imam
yang zhalim lebih baik dari pada sehari tidak ada penguasa. Penelitian telah membuktikannya… Maka yang wajib
adalah menjadikan kepemimpinan (atas dasar) agama dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena
pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya termasuk mendekatkan diri
(kepada Allah) yang paling utama, karena sesungguhnya kepemimpinan itu merusak keadaan kebanyakan manusia
dengan menginginkan kekuasaan atau harta.”
6. Jihad fii sabiilillaah dilakukan sesuai dengan keadaan mereka, sedang lemah atau kuat.
Karena keadaan itu berubah-ubah sesuai waktu dan tempat. Saat kondisi ummat Islam lemah sebagaimana saat ini,
maka wajib bersabar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
ketika di Makkah.
7. Jihad itu harus menghasilkan kebaikan yang jelas, agar tidak ada kerusakan yang lebih besar.
Karena jihad itu disyari’atkan untuk menghasilkan kebaikan-kebaikan dan mencegah kerusakan didalam Islam dan
kaum Muslimin, baik bagi individu maupun masyarakat. Dan jihad itu senantiasa disyari’atkan jika kaum Muslimin
mengetahui dengan yakin atau bahwasanya dengan diadakannya jihad akan menghasilkan kebaikan-kebaikan sesuai
dengan tujuan syari’at. Tetapi jika diyakini atau dikira bahwa dengan dilakukannya jihad akan terjadi kerusakan yang
lebih besar, maka ketika itu jihad tidak disyari’atkan dan tidak diperintahkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Jihad dan amal shalih yang paling utama adalah yang
paling ta’at kepada Rabb dan paling bermanfaat bagi manusia. Tetapi jika (jihad dan amal shalih) itu menghasilkan
mudharat dan mencegah untuk mendapatkan yang lebih bermanfaat, maka itu tidak menjadi amal shalih.” [36]
Kesimpulannya, wajib berhukum kepada al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap
perkara yang kecil maupun besar, dan itu mencakup empat hal, yakni keyakinan yang shahih, niat yang ikhlas,
tawakkal yang benar, dan mengikuti contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik.

KESIMPULAN
1. Jihad adalah seutama-utama amalan.
2. Di dalam jihad terdapat kebaikan dunia dan akhirat, dan meninggalkannya merupakan kerugian dunia dan akhirat.
3. Jihad di jalan Allah mengantarkan seseorang kepada petunjuk jalan kepadanya, dan ditambah petunjuk.
4. Dalam jihad terdapat kesempurnaan manfaat bagi manusia.
5. Jihad mengangkat kezhaliman dari diri sendiri dan orang lain.
6. Jihad mencakup semua macam ibadah yang zhahir maupun yang bathin.
7. Orang yang berjihad dimuliakan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
8. Menghidupkan kembali cara beragama yang benar dan usaha itu harus tegak di atas jihad di jalan Allah.
9. Dalam jihad terdapat pengampunan dosa-dosa.
10. Jihad merupakan sebab tersingkirnya fanatisme golongan, kelompok, partai, nasionalisme. Bahkan jihad menjadikan
ummat berusaha untuk mewujudkan tujuan yang satu, yaitu agar kalimat Allah tinggi.
11. Jihad merupakan puncaknya amal, dan terkumpul di dalamnya amal-amal yang mulia.
12. Dalam jihad terdapat puncaknya tawakkal kepada Allah Ta’ala dan puncaknya sabar.
13. Dalam jihad terdapat hakikat zuhud dalam kehidupan dunia.
14. Dan faedah-faedah lainnya.

MENUNDUKKAN MATA
Mata adalah sahabat sekaligus penuntun bagi hati. Mata mentransfer berita-berita yang dilihatnya ke hati sehingga
membuat pikiran berkelana karenanya. Karena melihat secara bebas bisa menjadi faktor timbulnya keinginan dalam hati,
maka syariat yang mulia ini telah memerintahkan kepada kita untuk menundukkan pandangan kita terhadap sesuatu yang
dikhawatirkan menimbulkan akibat yang buruk.

Perintah untuk Menundukkan Pandangan


Allah Ta’ala berfirman,
”Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.’” (QS. An-Nur [24] : 30).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk menjaga (menahan) pandangan
mereka dari hal-hal yang diharamkan atas mereka. Maka janganlah memandang kecuali memandang kepada hal-hal yang
diperbolehkan untuk dipandang. Dan tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/41)
Menundukkan pandangan mata merupakan dasar dan sarana untuk menjaga kemaluan. Oleh karena itu, dalam ayat ini
Allah Ta’ala terlebih dulu menyebutkan perintah untuk menahan pandangan mata daripada perintah untuk menjaga
kemaluan.
Jika seseorang mengumbar pandangan matanya, maka dia telah mengumbar syahwat hatinya. Sehingga mata pun bisa
berbuat durhaka karena memandang, dan itulah zina mata. Rasulullah bersabda,
‫ َو الِّلَس اُن‬،‫ َو اُأْلُذ اَن ِن ِز اَن َمُها ااِل ْس ِتَم اُع‬، ‫ َفاْلَع ْي َناِن ِز اَن َمُها الَّنَظ ُر‬، ‫ ُم ْد ِر ٌك َذ َكِل اَل َم َح اَةَل‬، ‫اْبِن آَد َم َنِص يُبُه ِم َن الِّز اَن‬ ‫ُكِتَب َعىَل‬
‫ َو ُيَص ِّد ُق َذ َكِل اْلَفْر ُج َو ُيَكِّذ ُبُه‬، ‫ َو اْلَقْلُب ْهَيَو ى َو َيَتَم ىَّن‬،‫ َو الِّر ْج ُل ِز اَن َها اْلُخ َط ا‬، ‫ َو اْلَيُد ِز اَن َها اْلَبْط ُش‬، ‫ُم‬ ‫ِز اَن ُه اْلاَلَك‬
”Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang
demikian tanpa dipungkiri. Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan (yang diharamkan). Zina kedua telinga
adalah mendengar (yang diharamkan). Lidah (lisan) bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan (yang diharamkan).
Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang (yang diharamkan). Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah
ayunan langkah (ke tempat yang haram). Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan
membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657. Lafadz hadits
di atas milik Muslim).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َو اْلَفْر ُج ُيَص ِّد ُق َم ا ُه َناَكِل َأْو ُيَكِّذ ُبُه‬، ‫ َو ِز اَن اْلَقْلِب الَّتَم يِّن‬، ‫ َفِز اَن اْلَع ِنْي الَّنَظ ُر‬، ‫ َو اْلَقْلُب َيْز يِن‬، ‫اْلَعُنْي َتْز يِن‬
“Mata itu berzina, hati juga berzina. Zina mata adalah dengan melihat (yang diharamkan), zina hati adalah dengan
membayangkan (pemicu syahwat yang terlarang). Sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan semua itu.”
(HR. Ahmad no. 8356. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zina mata pertama kali, karena inilah dasar dari
zina tangan, kaki, hati, dan kemaluan. Kemaluan akan tampil sebagai pembukti dari semua zina itu jika akhirnya benar-
benar berzina, atau mendustakannya jika tidak berzina. Oleh karena itu, marilah kita menundukkan pandangan kita. Karena
jika mengumbarnya, berarti kita telah membuka berbagai pintu kerusakan yang besar.

Fitnah telah Mengepung Kita


Di zaman sekarang ini, sungguh berat memang fitnah yang ada di sekeliling kita. Ketika kita keluar rumah, maka kita
segera dikepung dengan fitnah yang dapat menggoda pandangan kita ke arah yang haram. Terlihatlah oleh pandangan kita,
wanita-wanita yang keluar rumah tanpa menutup aurat, tanpa sedikit pun rasa malu di hadapan Allah Ta’ala yang telah
menciptakan dan memberikan berbagai nikmat kepadanya. Sebagian mengenakan pakaian yang ketat, sebagian
mengenakan rok mini, dan sebagian lagi mengenakan pakaian yang transparan. Mereka berpakaian, akan tetapi pada
hakikatnya telanjang. Bisa jadi ketika iman dan rasa takut kita kepada Allah Ta’ala sedang luntur, maka dengan mudah kita
mengumbar pandangan dan syahwat kita itu dan melalaikan perintah Allah Ta’ala kepada kita. Dan ketika pandangan mata
bisa membangkitkan nafsu birahi, maka dari pandangan mata itu pula bisa menjerumuskan kita kepada kerusakan yang
besar, seperti onani, masturbasi, sampai ke zina yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, benarlah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َم ا َتَر ْكُت َبْع ِد ي ِف ْتَنًة َأَّرَض َعىَل الِّر َج اِل ِم َن الِّنَس اِء‬
”Aku tidaklah meninggalkan cobaan yang lebih membahayakan bagi laki-laki selain dari (cobaan berupa) wanita”
(HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 9798).
Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun perlu memperingatkan kita secara khusus dengan sabdanya,
‫ َف َّن َأَّو َل ِف ْتَنِة َبيِن‬، ‫ َفاَّتُقوا اُّدل ْنَيا َو اَّتُقوا الِّنَس اَء‬، ‫ َفَيْنُظ ُر َكْي َف َتْع َم ُلوَن‬،‫ َو َّن َهللا ُم ْس َتْخ ِلُفْمُك ِف َهيا‬،‫َّن اُّدل ْنَيا ُح ْلَو ٌة َخ َرِض ٌة‬
‫ِإ‬ ‫ِإ َرْس اِئيَل اَك َنْت يِف الِّن اِء ِإ‬
‫َس‬ ‫ِإ‬
”Sesungguhnya dunia itu manis. Dan sesungguhnya Allah telah menguasakan dunia itu kepada kamu sekalian, dan
memperhatikan apa yang kalian kerjakan. Maka takutlah kepada dunia dan takutlah kepada wanita. Karena sumber
bencana bani Israil pertama kali berasal dari wanita.” (HR. Muslim no. 2742).

Pahala bagi Orang yang Menundukkan Pandangannya dari Perkara yang Haram
Begitu beratnya menundukkan pandangan mata, apalagi pada zaman sekarang ini, sehingga Allah pun akan membalas
hamba-hambaNya yang istiqomah melaksanakan perintah-Nya dengan pahala yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam besabda,
‫الَّنْظ َر ُة َس ْهٌم ِم ْن ِس َهاِم ْبِليَس َم ْس ُم وَم ٌة َفَم ْن َتَر َكَها ِم ْن َخ ْو ِف اِهَّلل َأاَث َبُه َج َّل َو َع َّز َميااًن ِجَيُد َح اَل َو َتُه يِف َقْلِب ِه‬
‫ِإ‬
”Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa yang meninggalkannya
‫ِإ‬
karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya yang terasa manis baginya” (HR. Al-
Hakim dalam Al-Mustadrak no. 7875).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫ َو اْح َفُظ وا‬، ‫ َو َأُّدوا َذ ا اْؤ ُتِم ْنْمُت‬، ‫ َو َأْو ُف وا َذ ا َو َعْد ْمُت‬، ‫ اْص ُد ُقوا َذ ا َح َّد ْثْمُت‬: ‫اَمْض ُنوا يِل ِس ًّتا ِم ْن َأْنُفِس ْمُك َأَمْض ْن َلُمُك اْلَجَّن َة‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ َو ُكُّفوا َأْيِد َيْمُك‬،‫ َو ُغُّض وا َأْبَص اَر ْمُك‬، ‫ُفُر وَج ْمُك‬
”Jaminlah aku dengan enam perkara, dan aku akan menjamin kalian dengan surga: jujurlah (jangan berdusta) jika
kalian berbicara; tepatilah jika kalian berjanji; tunaikanlah jika kalian dipercaya (jangan berkhianat); peliharalah
kemaluan kalian; tahanlah pandangan kalian; dan tahanlah kedua tangan kalian.” (HR. Ahmad no. 22757. Dinilai
hasan lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Menikah, Sarana Menjaga Pandangan Mata


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َفِإ َّنُه َأَغُّض ِلْلَبِرَص َو َأْح َص ُن ِلْلَفْر ِج‬، ‫ َمِن اْس َتَط اَع ِم ْنُمُك اْلَباَء َة َفْلَيَزَت َّو ْج‬، ‫اَي َمْع َرَش الَّش َباِب‬
”Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena menikah
itu lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).
Dengan keimanan dan rasa takut dalam hatinya, seseorang bisa saja menahan pandangan matanya dari yang haram. Akan
tetapi, dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa dengan menikah, seseorang akan lebih
dapat menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Karena dia bisa menyalurkan syahwatnya kepada sesuatu
yang halal, yaitu istrinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫ َف َّن َذ َكِل َيُر ُّد َم ا‬،‫ َف َذ ا َأْبَرَص َأَح ُد ُمُك اْم َر َأًة َفْلَيْأِت َأْهُهَل‬، ‫ َو ُتْد ِبُر يِف ُص وَر ِة َش ْي َط اٍن‬، ‫َّن اْلَمْر َأَة ُتْقِب ُل يِف ُص وَر ِة َش ْي َط اٍن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإيِف َنْف ِس ِه‬
”Sesungguhnya wanita itu maju dalam rupa setan dan membelakang dalam rupa setan. Jika salah seorang dari kalian
melihat wanita yang mengagumkannya, maka datangilah istrinya. Karena hal itu menghilangkan apa yang terdapat
dalam dirinya.” (HR. Muslim no. 1403).
Hal ini karena pandangan mata bisa membangkitkan kekuatan birahi, sehingga beliau memerintahkan untuk mengurangi
kekuatan itu dengan cara mendatangi istri.
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َفْلَيْأِت َأْهُهَل َف َّن َم َع َها ِم ْثَل اِذَّل ي َم َع َها‬،‫َف َذ ا َر َأى َأَح ُد ْمُك اْم َر َأًة َفَأَجْع َبْتُه‬
‫ِإ‬
“Jika salah seorang dari kalian melihat wanita yang mengagumkannya, maka hendaklah ia mendatangi (menggauli)
‫ِإ‬
isterinya. Karena apa yang dimiliki wanita tersebut sama dengan yang dimiliki oleh isterinya.” (HR. Tirmidzi no. 1158
dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 5572. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
“Mencuci mata” sudah menjadi kebiasaan dan budaya banyak orang terutama di kalangan para muda. Nongkrong di pinggir
jalan untuk “mencuci mata”, menikmati pemandangan alam yang indah dan penuh pesona sudah menjadi adat sebagian
orang. Namun yang menjadi pertanyaan adalah alam apakah yang sedemikian indahnya sehingga menjadikan para pemuda
begitu banyak yang tertarik dan terkadang mereka nongkrong hingga berjam-jam? Ternyata alam tersebut adalah wajah
manis para wanita. Apalagi sampai terlontar dari sebagian mereka pemahaman bahwa memandang wajah manis para wanita
merupakan ibadah dengan dalih, “Saya tidaklah memandang wajah para wanita karena sesuatu (hawa nafsu), namun jika
saya melihat mereka saya berkata, “Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”
Ini jelas merupakan racun syaithan yang telah merasuk dalam jiwa-jiwa sebagian kaum muslimin. Pada hakekatnya istilah
yang mereka gunakan (cuci mata) merupakan istilah yang telah dihembuskan syaithan pada mereka. Istilah yang benar
adalah “Ngotori mata”.
Kebiasaan yang sudah merebak seantero dunia ini memang sulit untuk ditinggalkan. Bukan cuma orang awam saja yang
sulit untuk meninggalkannya bahkan betapa banyak ahli ibadah yang terjerumus ke dalam praktek “ngotori mata” ini.
Masalahnya alam yang menjadi fokus pandangan sangatlah indah dan dorongan dari dalam jiwa untuk menikmati pesona
alam itupun sangat besar.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk memaparkan beberapa perkara yang berkaitan dengan hukum pandangan, semoga
bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi saudara-saudaraku para pembaca yang budiman.

Fadhilah menjaga pandangan


Menjaga pandangan mata dari memandang hal-hal yang diharamkan oleh Allah merupakan akhlak yang mulia, bahkan
Rasulullah r menjamin masuk surga bagi orang-orang yang salah satu dari sifat-sifat mereka dalah menjaga pandangan.
Abu Umamah berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ ُغُّض ْو ا‬, ‫ َو َذ ا َو َعَد َفَال ْخُي ِلْف‬, ‫ َو َذ ا اْؤ ُتِم َن َفَال ُخَي ْن‬, ‫ َذ ا َح َّد َث َأَح ُد ْمُك َفَال َيْكِذ ْب‬, ‫ُاْكُفُلوا يِل ِبِس ٍت َأْك ُفْل َلْمُك اِب ْلَجَّنِة‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ َو اْح َفُظ ْو ا ُفُرِإ ْو َج ْمُك‬, ‫ َو ُكُّفْو ا َأْيِد َيْمُك‬,‫َأْبَص اَر ْمُك‬
“Berilah jaminan padaku enam perkara, maka aku jamin bagi kalian surga. Jika salah seorang kalian berkata maka
janganlah berdusta, dan jika diberi amanah janganlah berkhianat, dan jika dia berjanji janganlah menyelisihinya,
dan tundukkanlah pandangan kalian, cegahlah tangan-tangan kalian (dari menyakiti orang lain), dan jagalah
kemaluan kalian.”( HR.Ath-Thabrani no:8018 dan Ibnu ‘Adi (Al-Kamil 6/2048) dan dihasankan oleh Syaikh Al-
Albani (Ash-Shahihah no:1525) karena ada syahidnya dari hadits Ubadah bin Shamit.)
Bahkan orang jahiliyahpun mengetahui bahwa menjaga pandangan adalah akhlak yang mulia. Berkata ‘Antarah bin
Syaddad seorang penyair di zaman jahiliyah:
“Dan akupun terus menundukkan pandanganku tatkala tampak istri tetanggaku sampai masuklah dia ke rumahnya”
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdilmuhsin Al-‘Abbad –Hafidzohumulloh- berkata,”Inilah salah satu akhlak mulia yang
dipraktekkan oleh orang pada zaman jahiliyah, namun yang sangat memprihatinkan justru kaum muslimin di zaman
sekarang meninggalkannya.”

Menjaga pandangan di zaman sekarang ini sangatlah sulit


Menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang memang perkara yang sangat sulit apalagi di zaman sekarang ini. Hal-hal
yang diharamkan untuk dipandang hampir ada disetiap tempat, di pasar, di rumah sakit, di pesawat, bahkan di tempat-
tempat ibadah. Majalah-majalah, koran-koran, televisi (ditambah lagi dengan adanya parabola), gedung-gedung bioskop
penuh dengan gambar-gambar seronok dan porno alias para wanita yang berpenampilan vulgar. Wallahul Musta’an…
Bagaimana para lelaki tidak terjebak dengan para wanita yang aslinya merupakan keindahan kemudian bertambah
keindahannya tatkala para wanita tersebut menghiasi diri mereka dengan alat-alat kecantikan, dan lebih bertambah lagi
keindahannya jika yang menghiasi adalah syaithan yang memang ahli dalam menghiasi para wanita. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata
‫اَملْر َأُة َع ْو َر ٌة َف َذ ا َخ َر َج ْت اْس َتَرْش َفَها الَّش ْي َط اُن‬
“Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaitan memandangnya”( HR At-Thirmidzi 3/476 no 1173 dan
‫ِإ‬
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah 6/424 no 2688)
Berkata Al-Mubarokfuuri, “Yaitu syaitan menghiasi wanita pada pandangan para lelaki, dan dikatakan (juga) maksudnya
adalah syaitan melihat wanita untuk menyesatkannya dan (kemudian) menyesatkan para lelaki dengan memanfaatkan
wanita tersebut sebagai sarana…”
Diantara penyebab terjangkitinya banyak orang dengan penyakit ini, bahkan menimpa para penuntut ilmu, karena sebagian
mereka telah dibisiki syaithan bahwasanya memandang wanita tidaklah mengapa jika tidak diiringi syahwat. Atau ada yang
sudah mengetahui bahwasanya hal ini adalah dosa namun masih juga menyepelekannya. Yang perlu digaris bawahi adalah
banyak sekali orang yang terjangkit penyakit ini dan mereka terus dan sering melakukannya dengan tanpa merasa berdosa
sedikitpun, atau minimalnya mereka tetap meremehkan hal ini, padahal ada sebuah kaedah penting yang telah kita ketahui
bersama yaitu “Tidak lagi disebut dosa kecil jika (perbuatan maksiat itu) dilakukan terus menerus.”

Hukum memandang wajah wanita yang bukan mahram


Dari Jarir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu , ia berkata,
‫ َفَأَم َر ْيِن َأْن َِأِرْص َف َبِرَصْي‬, ‫َس َأْلُت َر ُس ْو َل ِهللا َع ْن َنْظ َر ِة اْلَفَج اَء ِة‬
“Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja),
maka beliau memerintahan aku untuk memalingkan pandanganku”(HR. Muslim, No. 45)
Dari Buraidah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali radliyallahu ‘anhu,
‫ َف َّنَم ا َكَل اُألوىَل َو َلْيَس ْت َكَل اَألِخ َرْي ُة‬,‫اَي َعّيِل ُ ! َالُتْتِب ِع الَّنْظ َر َة الَّنْظ َر َة‬
‫ِإ‬
“Wahai Ali janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya),
karena bagi engkau pandangan yang pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir (pandangan yang
kedua)”( HR Abu Dawud no 2149 (Kitabun Nikah), At-Tirmidzi no 2777 (Kitabul Adab), dan berkata At-Tirmidzi,
Hasan Gharib. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ no 7953)
Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membonceng Al-Fadl lalu datang
seorang wanita dari Khots’am. Al-Fadl memandang kepada wanita tersebut –dalam riwayat yang lain, kecantikan wanita itu
menjadikan Al-Fadl kagum- dan wanita itu juga memandang kepada Al-Fadl, maka Nabipun memalingkan wajah Al-Fadl
kearah lain (sehingga tidak memandang wanita tersebut)…”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah Al-Fadl sehingga tidak lagi memandang wajah wanita tersebut,
jelaslah hal ini menunjukan bahwa memandang wajah seorang wanita (yang bukan mahram) hukumnya haram.

Bahayanya Tidak Menjaga Pandangan Mata


Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الَع ْي َناِن َتْز ِنَياِن َو ِز اَن َمُها الَّنْظ ُر‬
“Dua mata berzina, dan zina keduanya adalah pandangan”( HR Al-Bukhari no 6343 (Kitabul Isti’dzan), Muslim no
20,21 (kitabul Qadar), dan lafal hadits ini pada riwayat Ahmad dalam Musnadnya 2/343)
Penamaan zina pada pandangan mata terhadap hal-hal yang haram merupkan dalil yang sangat jelas atas haramnya hal
tersebut dan merupakan peringatan keras (akan bahayanya), dan hadits-hadits yang semakna hal ini sangat banyak
Allah berfirman,
Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan
memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat”, dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, “Hendaknya mereka
menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka…..
Hingga firman Allah diakhir ayat…
Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman semoga kalian beruntung. (An-Nuur
30-31)
Berkata Syaikh Utsaimin,“Ayat ini merupakan dalil akan wajibnya bertaubat karena tidak menundukan pandangan dan
tidak menjaga kemaluan -menundukkan pandangan yaitu dengan menahan pandangan dan tidak mengumbarnya- karena
tidak menundukkan pandangan dan tidak menjaga kemaluan merupakan sebab kebinasaan dan sebab kecelakaan dan
timbulnya fitnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
‫َم ا َتَر ْكُت َبْع ِد ي ِف ْتَنًة َأَّرَض َعىَل الِّر َج اِل ِم َن الِّنَس اِء‬
Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.( HR Al-
Bukhari no 5096 (Kitabun Nikah) dan Mulim no 97,98 (kitab Adz-Dzikir)
‫َو َّن َأَّو َل ِف ْتَنِِة َبيِن َرْس اِئْي َل اَك َنْت يِف الِّنَس اء‬
Dan sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.(HR. Muslim, No.99)
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Oleh karena itu musuh-musuh Islam bahkan musuh-musuh Allah dan RasulNya dari golongan Yahudi, Nasrani, orang-
orang musyrik, dan komunis, serta yang menyerupai mereka dan merupakan antek-antek mereka , mereka semua sangat
ingin untuk menimpakan bencana ini kepada kaum muslimin dengan (memanfaatkan) para wanita. Mereka mengajak
kepada ikhtilath (bercampur baur) antara para lelaki dan para wanita dan menyeru kepada moral yang rusak. Mereka
mempropagandakan hal itu dengan lisan-lisan mereka, dengan tulisan-tulisan mereka, serta dengan tindak-tanduk mereka -
Kita berlindung kepada Allah- karena mereka mengetahui bahwa fitnah yang terbesar yang menjadikan seseorang
melupakan Robnya dan melupakan agamanya hanyalah terdapat pada wanita. Dan para wanita memberi fitnah kepada para
lelaki yang cerdas sebagaimana sabda Nabi,
‫َم ا َر َأْيُت ِم ْن اَن ِق َص اِت َع ْقٍل َو ِد ْيٍن َأْذ َه َب ِلُلِّب الَّر ُج ِل اْلَح اِز ِم ِم ْن ْح َد اُكَّن‬
‫ِإ‬
“Tidak pernah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih membuat hilang akal seorang lelaki
tegas dari pada salah seorang dari kalian (wahai para wanita)”.(HR. Bukhari, No. 304)
Apakah engkau ingin (penjelasan) yang lebih jelas dari (penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gamblang) ini?
Tidak ada yang lebih dari para wanita dalam hal melalaikan akal seorang laki-laki yang tegas, lalu bagiamana dengan pria
yang lemah, tidak memiliki ketegasan, tidak memiliki semangat, tidak memiliki agama dan kejantanan? Tentunya lebih
parah lagi.
Namun seorang pria yang tegas dibuat “teler” oleh para wanita –kita mohon diselamatkan oleh Allah- dan inilah kenyataan
yang terjadi. Oleh karena itu setelah Allah memerintah kaum mukminin untuk menundukan pandangan Allah berkata,
‫َو ُتْو ُبْو ا ىَل ِهللا ِمَج ْي ًع ا َأَهُّيا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َلَع َّلْمُك ُتْف ِلُح ْو َن‬
Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman semoga kalian beruntung.
‫ِإ‬
Maka wajib atas kita untuk saling menasehati untuk bertaubat dan hendaknya saling memperhatikan antara satu dengan
yang lainnya apakah seseorang diantara kita telah bertaubat ataukah masih senantiasa tenggelam dalam dosa-dosanya,
karena Allah mengarahkan perintah untuk bertaubat kepada kita semua.”
Perintah Allah secara khusus untuk bertaubat dari tidak menjaga pandangan mata menunjukan bahwa hal ini bukanlah
perkara yang sepele. Pandangan mata merupakan awal dari berbagai macam malapetaka. Barangsiapa yang semakin banyak
memandang kecantikan seorang wanita yang bukan mahramnya maka semakin dalam kecintaannya kepadanya hingga
akhirnya akan mengantarkannya kepada jurang kebinasaannya, Wal ‘iyadzu billah
Berkata Al-Marwazi,“Aku berkata kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal), Seseorang telah bertaubat dan berkata
,”Seandainya punggungku dipukul dengan cambuk maka aku tidak akan bermaksiat”, hanya saja dia tidak bisa
meninggalkan (kebiasaan tidak menjaga) pandangan?”, Imam Ahmad berkata, “Taubat macam apa ini”?
Berkata Syaikh Muhammad Amin, “Dengan demikian engkau mengetahui bahwasanya firman Allah ‫( َيْع َلُم َخ اِئَنَة اَألْع ُيِن‬Dia
mengetahui pandangan mata yang berhianat)[20] merupakan ancaman terhadap orang yang berkhianat dengan
pandangannya yaitu dengan memandang kepada perkara-perkara yang tidak halal baginya”
Berkata Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini ‫( َيْع َلُم َخ اِئَنَة اَألْع ُيِن‬Dia mengetahui pandangan mata yang berhianat), “Seorang pria
berada bersama sekelompok orang. Kemudian lewatlah seorang wanita maka pria tersebut menampakkan kepada orang-
orang yang sedang bersamanya bahwa dia menundukkan pandangannya, namun jika dia melihat mereka lalai darinya maka
diapun memandang kepada wanita yang lewat tersebut, dan jika dia takut ketahuan maka diapun kembali menundukkan
pandangannya. Dan Allah telah mengetahui isi hatinya bahwa dia ingin melihat aurat wanita tersebut.”
Dari Abdullah bin Abi Hudzail berkata, “Abdullah bin Mas’ud masuk dalam sebuah rumah mengunjungi seseorang yang
sakit, beliau bersama beberapa orang. Dan dalam rumah tersebut terdapat seorang wanita maka salah seorang dari mereka
orang-orang yang bersamanya memandang kepada wanita tersebut, maka Abdullah (bin Mas’ud) berkata kepadanya,“Jika
matamu buta tentu lebih baik bagimu””
Jangankan memandang paras ayu sang wanita, bahkan memandangnya dari belakangnya saja, atau bahkan hanya
memandang roknya saja bisa menimbulkan fitnah. Akan datang syaithan dan mulai menghiasi sekaligus mengotori benak
lelaki yang memandangnya dengan apa yang ada di balik rok tersebut. Jelaslah pandangannya itu mendatangkan syahwat.
Berkata Al-‘Ala’ bin Ziyad, “Janganlah engkau mengikutkan pandanganmu pada pakaian seorang wanita. Sesungguhnya
pandangan menimbulkan syahwat dalam hati”
Demikianlah sangat takutnya para salaf akan bahayanya mengumbar pandangan, dan perkataan mereka ini bukanlah suatu
hal yang berlebihan, bahkan bahaya itupun bisa kita rasakan. Namun yang sangat menyedihkan masih ada di antara kita
yang merasa dirinya aman dari fitnah walaupun mengumbar pandangannya. Hal ini tidaklah lain kecuali karena dia telah
terbiasa melakukan kemaksiatan, terbiasa mengumbar pandangannya, sehingga kemaksiatan tersebut terasa ringan di
matanya. Dan ini merupakan ciri-ciri orang munafik. Berkata Abdullah bin Mas’ud r,
‫ َو َّن اْلَفاِج َر َيَر ى ُذ ُنْو َبُه َكُذ اَب ٍب َم َّر َعىَل َأْنِفِه َفَقاَل ِبِه‬، ‫َّن اْلُم ْؤ ِم َن َيَر ى ُذ ُنْو َبُه َأَكَّنُه َقاٍِعٌد ْحَت َت َج َبٍل َخَياُف َأْن َيَقَع َعَلْي ِه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َه َكَذ ا‬
“Seorang mu’min memandang dosa-dosanya seperti gunung yang ia berada di bawah gunung tersebut, dia takut (sewaktu-
waktu) gunung tersebut jatuh menimpanya. Adapun seorang munafik memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang
terbang melewati hidungnya lalu dia pun mngusir lalat tersebut.”
Bahkan tatkala seseorang sedang melaksanakan ibadah sekalipun, hendaknya dia tidak merasa aman dan tetap menjaga
pandangannya.
Berkata Al-Fadl bin ‘Ashim,”Tatkala seorang pria sedang thawaf di ka’bah tiba-tiba dia memandang seorang wanita yang
ayu dan tinggi semampai, maka diapun terfitnah disebabkaan wanita tersebut, hatinyapun gelisah. Maka diapun
melantunkan sebuah syair,
Aku tidak menyangka kalau aku bisa jatuh cinta….tatkala sedang thawaf mengelilingi rumah Allah yang diberi “kiswah”…
Hingga akhirnya akupun ditimpa bencana maka jadilah aku setengah gila…
Gara-gara jatuh cinta kepada seorang seorang wanita yang parasnya menawan laksana rembulan…
Duhai…sekirainya aku tidak memandang elok rupanya
Demi Allah apa kiranya yang bisa aku harapkan dari pandanganku dengan memandangnya? “
Berkata Ma’ruf Al-Kurkhi , “Tundukkanlah pandangan kalian walaupun kepada kambing betina”
Berkata Sufyan At-Tsauri menafsirkan firman Allah ‫( َو ُخ ِل َق اِإل ْنسَاُن َض ِع ْيًفا‬Dan manusia dijadikan bersifat lemah 4,28),
“Seorang wanita melewati seorang pria, maka sang pria tidak mampu menguasai dirinya untuk menunudukkan
pandangannya pada wanita tersebut…maka adakah yang lebih lemah dari hal ini?”
Berkata seorang penyair ,”Namun kadang seorang pria tak berdaya, tekuk lutut dibawah kerling mata wanita”
Praktek para salaf dalam menjaga pandangan
Dari Al-Mada’ini dari syaikh-syaikh beliau berkata, “Sebagian orang pemerintahan di Bashrah hendak bertemu dengan
Dawud bin Abdillah, maka Dawudpun pergi (menuju Bashrah) dan singgah di rumah salah seorang sahabat beliau yang
terletak di pinggiran Bashrah. Sahabatnya ini adalah seorang yang sangat pencemburu. Dia memiliki seorang istri yang
bernama Zarqaa’ yang cantik jelita. Pada suatu saat sahabatnya ini keluar karena ada suatu keperluan, maka diapun
berpesan kepada istrinya untuk bersikap ramah dan melayani Dawud. Tatkala kembali kerumahnya diapun berkata kepada
Dawud, “Bagaimana menurutmu dengan si Zarqaa’?, bagaimana sikap ramahnya kepadamu?”. Dawud berkata, “Siapa itu
Zarqaa’?”, dia berkata, “Yang mengurusimu dirumah ini”. Dawud berkata, “Saya tidak tahu dia si Zarqaa’ atau si
Kahlaa’?”. Lalu istrinya menemuinya maka diapun marah dan berkata, “Aku telah berpesan kepadamu agar ramah dan
melayani Dawud, lalu mengapa tidak kau lakukan pesanku?”. Istrinya berkata, “Engkau telah berpesan kepadaku untuk
melayani seorang yang buta, demi Allah dia sama sekali tidak melirik kepadaku!”
Dari Muhammad bin Abdillah Az-Zarraad berkata, “Hassaan (bin Abi Sinan) keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied,
tatkala dia kembali dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, kami tidak melihat hari raya ‘ied yang wanitanya paling
banyak (keluar ikut shalat ‘ied) dari pada ‘ied tahun ini! Dia berkata,“Tidak ada seorang wanitapun yang bertemu
denganku hingga aku kembali!”. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa tatkala dia kembali istrinya berkata
kepadanya, “Berapa wanita cantik yang engkau lihat hari ini?” (Hasan diam tidak menjawab) namun tatkala istrinya terus
mendesaknya diapun berkata, “Celaka engkau! saya tidak melihat kecuali pada jempol kakiku semenjak saya keluar darimu
hingga saya kembali kepadamu!”
Berkata Sufyan,“Ar-Robi’ bin Khutsaim selalu menundukkan pandangannya. (Pada suatu hari) lewatlah di depannya
sekelompok wanita maka diapun menundukkan kepalanya hingga para wanita tersebut menyangka bahwa dia buta. Para
wanita tersebutpun berlindung kepada Allah dari (ditimpa) kebutaan”
Salaf tidak hanya menjaga pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan, bahkan mereka juga menjaga pandangan
mereka dari hal-hal yang tidak perlu.
Seorang laki-laki berkata kepada Dawud At-Tha’i, “Sebaiknya engkau memerintahkan (seseorang) untuk membersihkan
sarang laba-laba yang ada di langit-langit rumah”!, Dawud berkata, “Tidakkah engkau tahu bahwasanya memandang yang
tidak perlu itu dibenci?”, lalu Dawud berkata,“Aku dikabarkan bahwa dirumah Mujahid lantai dua ada sebuah kamar,
namun Mujahid tidak tahu sama sekali selama tiga puluh tahun.”
Hal ini menunjukan kesungguhan salaf dalam menjaga pandangan mereka, sampai-sampai sarang laba-laba yang dilangit-
langit rumah dan kamar yang ada di lantai atas rumah mereka tidak mereka katahui, karena mereka tidak memandang
kepada hal-hal yang tidak perlu sehingga mereka tidak memandang ke atas karena tidak ada perlunya. Barangsiapa yang
membiasakan dirinya mengumbar pandangannya untuk memandang hal-hal yang tidak perlu maka suatu saat dia akan
memandang hal yang diharamkan oleh Allah. Sungguh jauh berbeda antara salaf dengan sebagian kita yang tatkala berjalan
matanya jelalatan ke sana kemari.

Akibat buruk tidak menundukkan pandangan mata


Ibnul Qoyyim berkata, “Kebanyakannya maksiat itu masuk kepada seorang hamba melalui empat pintu, yang keempat
pintu tersebut adalah kilasan pandangan, betikan di benak hati, ucapan, dan tindakan. Maka hendaknya seorang hamba
menjadi penjaga gerbang pintu bagi dirinya sendiri pada keempat gerbang pintu tersebut, dan hendaknya ia berusaha terus
berjaga ditempat-tempat yang rawan ditembus oleh musuh-musuh yang akibatnya merekapun merajalela (berbuat
kerusakan) di kampung-kampung kemudian memporak-porandakan dan meruntuhkan semua bangunan yang tinggi.
Adapun pndangan maka dia adalah pembimbing (penunjuk jalan) bagi syahwat dan utusan syahwat.
Menjaga pandangan merupakan dasar untuk menjaga kemaluan, barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka dia
telah mengantarkan dirinya terjebak dalam tempat-tempat kebinasaan. Pandangan merupakan sumber munculnya
kebanyakan malapetaka yang menimpa manusia, karena pandangan melahirkan betikan hati kemudian berlanjut betikan di
benak hati menimbulkan pemikiran (perenungan/lamunan) lalu pemikiran menimbulkan syahwat kemudian syahwat
melahirkan keinginan kemudian menguat kehendak tersebut hingga menjadi ‘azam/tekad (keinginan yang sangat kuat) lalu
timbullah tindakan –dan pasti terjadi tindakan tersebut- yang tidak sesuatupun yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu
dikatakan “kesabaran untuk menundukan pandangan lebih mudah daripada kesabaran menahan kepedihan yang akan
timbul kelak akibat tidak menjaga pamdangan”.
Diantara akibat tidak menjaga pandangan yaitu menimbulkan penyesalan yang sangat mendalam dan hembusan nafas yang
panjang (tanda penyesalan) serta kesedihan dan kepahitan yang dirasakan. Seorang hamba akan melihat dan menghendaki
sesuatu yang ia tidak mampu untuk meraihnya dan dia tidak mampu untuk bersabar jika tidak mampu meraihnya, dan hal
ini merupakan ‘adzab (kesengsaraan dan penderitaan) yang sangat berat, yaitu engkau menghendaki sesuatu yang engkau
tidak bisa menahan kesabaranmu untuk mendapatkannya bahkan engkau tidak bisa sabar walaupun untuk mencicipi sedikit
yang kau inginkan tersebut padahal engkau tidak memiliki kemampuan untuk meraihnya. Betapa banyak orang yang
mengumbar kilasan pandangannya maka tidaklah ia melepaskan kilasan-kilasan pandangan tersebut kecuali kemudian ia
terkapar diantara kilasan-kilasan pandangan yang dilepaskannya itu. Yang sungguh mengherankan kilasan pandangan yang
diumbar merupakan anak panah yang tidak sampai menancap kepada yang dipandang agar yang dipandang menyiapkan
tempat untuk hati sipemandang…yang lebih mengherankan lagi bahwasanya pandangan menggores luka yang parah pada
hati sipemandang kemudian luka tersebut tidak berhenti bahkan diikuti dengan luka-luka berikutnya (karena berulangnya
pandangan yang diumbar oleh si pemandang-pen) namun pedihnya luka tersebut tidaklah menghentikan sipemandang
untuk berhenti mengulang-ulang umbaran pandangannya. Dikatakan “Menahan umbaran pandangan lebih ringan dibanding
penyesalan dan penderitaan yang berkepanjangan…”
Berkata Ibnul Qoyyim, “Diriwayatkan bahwasanya dahulu di kota Mesir ada seorang pria yang selalu ke mesjid untuk
mengumandangkan adzan dan iqomah serta untuk menegakkan sholat. Nampak pada dirinya cerminan ketaatan dan cahaya
ibadah. Pada suatu hari pria tersebut naik di atas menara seperti biasanya untuk mengumandangkan adzan dan di bawah
menara tersebut ada sebuah rumah milik seseorang yang beragama nasrani. Pria tersebut mengamati rumah itu lalu ia
melihat seorang wanita yaitu anak pemilik rumah itu. Diapun terfitnah (tergoda) dengan wanita tersebut lalu ia tidak jadi
adzan dan turun dari menara menuju wanita tersebut dan memasuki rumahnya dan menjumpainya. Wanita itupun berkata,
“Ada apa denganmu, apakah yang kau kehendaki?”, pria tersebut berkata, “Aku menghendaki dirimu”, sang wanita berkata,
“Kenapa kau menghendaki diriku?”, pria itu berkata, “Engkau telah menawan hatiku dan telah mengambil seluruh isi
hatiku”, sang wanita berkata, “Aku tidak akan memnuhi permintaanmu untuk melakukan hal yang terlarang”, pria itu
berkata, “Aku akan menikahimu”, sang wanita berkata, “Engkau beragam Islam adapun aku beragama nasrani, ayahku
tidak mungkin menikahkan aku denganmu”, pria itu berkata, “Saya akan masuk dalam agama nasrani”, sang wanita
berakta, “Jika kamu benar-benar masuk ke dalam agam nasrani maka aku akan melakukan apa yang kau kehendaki”. Maka
masuklah pria tersebut ke dalam agama nasrani agar bisa menikahi sang wanita. Diapun tinggal bersama sang wanita di
rumah tersebut. Tatkala ditengah hari tersebut (hari dimana dia baru pertama kali tinggal bersama sang wanita dirumah
tersebut-pen) dia naik di atas atap rumah (karena ada keperluan tertentu-pen) lalu iapun terjatuh dan meninggal. Maka ia
tidak menikmati wanita tersebut dan telah meninggalkan agamanya”.
Berkata Ibnu Katsir, “Ibnul Jauzi menyebutkan dari ‘Abduh bin Abdirrohim, beliau berkata, “Lelaki celaka ini dahulunya
seorang yang sering berjihad di jalan Allah memerangi negeri Rum, namun pada suatu saat di suatu peperangan tatkala
pasukan kaum muslimin mengepung suatu daerah di negeri Rum (dan kaum Rum bertahan di benteng mereka-pen), dia
memandang seorang wanita Rum yang berada dalam benteng pertahanan mereka maka diapun jatuh cinta kepada wanita
tersebut. Lalu diapun menulis surat kepada wanita itu, “Bagaimana caranya agar aku bisa berjumpa dengan engkau?”.
Wanita tersebut menjawab, “Jika engkau masuk ke dalam agama nasrani dan engkau naik bertemu denganku”. Maka iapun
memenuhi permintaan sang wanita”. Dan tidaklah pasukan kaum muslimin kembali kecuali ia tetap berada di sisi wanita
tersebut. Kaum muslimin sangat sedih tatkala mengetahui akan hal itu, dan hal ini sangat berat bagi mereka. Tak lama
kemudian mereka (pasukan kaum muslimin) melewatinya dan dia sedang bersama wanita tersebut dalam benteng, mereka
berkata kepadanya, “Wahai fulan, apa yang dilakukan oleh hafalan Qur’anmu?’ apa yang dilakukan oleh amalanmu?, apa
yang dilakukan puasamu?, apa yang dilakukan oleh jihadmu?’ apa yang dilakukan oleh sholatmu?”, maka iapun menjawab,
:”Ketahuilah aku telah dilupakan Al-Qur’an seluruhnya kecuali firman Allah “Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti
di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini)
makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat
perbuatan mereka).” (QS. 15:32-3)”, sekarang aku telah memiliki harta dan a nak di tengah-tengah mereka.”
Ibnul Qoyyim menyebutkan, “Ada seorang pria yang akan meninggal dikatakan kepadanya, “Katakan lal ilaaha illallaah!”,
diapun berkata, “Dimana jalan menuju kawasan pemandian umum Minjab?”. Ibnul Qoyyim berkata, perkataannya ini ada
sebabnya yaitu pria ini sedang berdiri di depan rumahnya dan pintu rumahnya mirip dengan pintu kawasan pemandian
umum Minjab. Lalu lewatlah seorang wanita yang berparas ayu dan bertanya kepadanya, “Dimana jalan menuju kawasan
pemandian umum Minjab?”. Pria tersebut menjawab, “Ini adalah kawasan tempat pemandian umum Minjab (padahal itu
adalah rumahnya)”. Maka masuklah sang wanita ke dalam rumahnya dan diapun masuk juga dibelakang sang wanita.
Tatkala sang wanita mengetahui bahwa di telah masuk ke dalam rumah sang pria dan dia telah tertipu maka sang wanita
menampakkan kepada pria tersebut kegembiraan dan rasa riang dengan berkumpulnya dia dengan sang pria. Sang wanita
berkata, “Sungguh baik jika bersama kita sesuatu yang mengindahkan hari kita dan menyenangkan mata”. Pria tersebut
berkata, “Tunggulah sebentar aku akan datang membawa semua yang kau kehendaki dan kau inginkan”. Maka sang
priapun keluar dengan meninggalkan sang wanita sendiri di rumahnya dan dia tidak mengunci pintu rumah. Lalu iapun
mengmbil semua yang dibutuhkan dan kembali kerumahnya namun ia mandapatkan sang wanita telah keluar dan pergi –
dan sang wanita sama sekali tidak mengkhianati pria tersebut-. Maka sedihlah sang pria dan selalu mengingat wanita
tersebut, dan dia berjalan di jalan-jalan dan lorong-lorong sambil berkata:
Duhai, kapan ada suatu hari dimana sang wanita yang dalam keadaan letih berkata, “Bagaimanakah jalan menuju
kawasan pemandian umum Minjab?”
Maka tatkala suatu hari dia sedang mengucapkan hal itu tiba-tiba ada seorang wanita yang menjawabnya dari belokan
jalan, dia berkata
‘Kenapa engkau tidak segera menjaga rumah atau menjaga pintu takala engkau telah mendapatkan sang wanita?”
Maka bertambahlah kesedihannya, dan demikian terus kondisinya hingga akhirnya bait syair inilah adalah perkataannya
yang terakhir di dunia”
Dari Ibnu Abbas r, beliau berkata,“Datang seorang laki-laki ke Rasulullah r dalam keadaan berlumuran darah, maka
Rasulullah r berkata kepadanya,“Ada apa dengan engkau”? dia berkata,“Wahai Rasulullah ! seorang wanita lewat di
depanku maka akupun memandangnya, aku terus memandangnya hingga akhirnya aku menabrak tembok maka jadilah apa
yang engkau lihat sekarang (aku berlumuran darah). Rasulullah r berkata,
‫َذ ا َأَر اَد ُهللا ِبَع ْب ٍد َخ ًرْي ا َّجَعَل ُهَل ُع ُقْو َبَتُه يِف اُّدل ْنَيا‬
“Jika Allah menghendaki kebaikan pada hambanya maka Ia menyegerakan hukuman baginya di dunia”(HR.
‫ِإ‬
Thabrani)
Berkata Amr bin Murrah,”Saya memandang seorang wanita yang membuatku terkagum-kagum, lalu matakupun buta, maka
saya berharap kebutaanku ini adalah hukuman bagiku.”
Abu Abdillah bin Al-Jalla’ pernah suatu ketika tidak menjaga pandangannya, lalu datang seseorang menegurnya seraya
berkata kepadanya, “Engkau akan merasakan akibatnya walaupun di hari kelak”. Dia baru merasakan akibatnya empat
puluh tahun setelah kejadian tersebut. Dia berkata,“Maka aku menemui akibat perbuatanku setelah empat puluh tahun, aku
dijadikan lupa Al-Qur’an”
Para salaf bisa merasakan bahwa sebagian musibah yang menimpa mereka merupakan akibat dari kemaksiatan yang telah
mereka lakukan, walaupun kemasiatan tersebut jauh telah lama terjadi. Hal ini dikarenakan mereka jarang melakukan
kemaksiatan sehingga mereka ingat betul kemakisatan-kemaksiatan yang telah mereka lakukan. Adapun sebagian orang
zaman sekarang, jika ditimpa musibah mereka tidak tahu apa sebab musibah tersebut, bahkan sama sekali tidak terlintas
dalam benak mereka bahwa musibah tersebut merupakan akibat ulah perbuatan (maksiat) mereka. Kalaupun mereka
merasakan bahwa musibah yang menimpa mereka dikarenakan kemaksiatan, mereka tidak tahu kemaksiatan yang manakah
yang mendatangkan musibah tersbut. Hal ini dikarenakan terlalu banyak dan beraneka ragamnya kemaksiatan yang telah
mereka lakukan sampai-sampai mereka lupa dengan kemaksiatan-kemaksiatan tersebut.
Renugkanlah wahai saudaraku…lihatlah pria ini, Allah telah memberikannya anugrah kepadanya dan memuliakannya
dengan menjadikannya menghapal Al-Qur’an, lalu diapun menyia-nyiakan anugrah tersebut dengan suatu pandangan yang
diharamkan oleh Allah. Jika telah hilang ketakwaan maka akan hilang ilmu, sebagaimana ketakwaan merupakan sebab
utama untuk meraih ilmu yang bermanfaat. Meninggalkan ketakwaan merupakan sebab utama terhalangnya ilmu yang
bermanfaat.
Berkata Imam As-Syafi’i
Aku mengadu kepada imam Waki’ tentang buruknya hapalanku maka beliaupun mengarahkan aku untuk meninggalkan
kemaksiatan. Ia mengabarkan kepadaku bahwasanya ilmu adalah cahaya…..dan cahaya Allah tidaklah diberikan kepada
orang yang bermaksiat.

Kiat-kiat penting dalam menjaga pandangan mata


1. Selalu mengingat bahwasanya Allah selalu mengawasi perbuatanmnu, dan hendaknya engkau malu kepada Allah
tatkala bermaksiat kepadanya dengan mengumbar pandanganmu. Dimana saja engkau berada Allah pasti
mengawasimu. Tatkala engkau di kamar sendiri dihadapan komputer, tatkala engkau sedang membuka internet,
sedang membuka lembaran-lembaran majalah.
2. Ingatlah bahwa matamu akan menjadi saksi atas perbuatanmu pada hari kiamat. Janganlah engkau jadikan matamu
sebagai saksi bahwa engkau telah memandang hal yang haram, namun jadikanlah dia sebagai saksi bahwasanya
engkau menundukkan pandanganmu karena Allah
3. Ingatlah ada malaikat yang mengawasimu dan mencatat seluruh perbuatanmu. Jangan sampai malaikat mencatat
bahwa engkau telah memandang wanita yang tidak halal bagimu. Malulah engkau kepada malaikat tersebut.
4. Ingatlah bahwa bumi yang engkau pijak tatkala engkau mengumbar pandanganmu juga akan menjadi saksi atas
perbuatanmu.
5. Ingatlah akan buah dan faedah-faedah dari menjaga pandangan. Berkata Mujahid, “Menundukkan pandangan dari hal-
hal yang diharamkan oleh Allah menimbulkan kecintaan kepada Allah”[39]. Yakinlah jika engkau menahan
pandanganmu maka Allah akan menambah cahaya imanmu, dan engkau akan semakin bisa merasakan kenikmatan
beribadah kepada Allah. Shalatmu akan bisa lebih khusyuk
Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari melihat hal-hal yang haram maka
dia akan meraih faedah-faedah berikut ini:
1. Menyelamatkan hati dari pedihnya penyesalan karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka akan
berkepanjangan penyesalan dan penderitaannya. Pandangan ibarat bunga api yang menimbulkan besarnya nyala api
2. Menimbulkan cayaha dan kemuliaan di hati yang akan nampak di mata, di wajah, serta di anggota tubuh yang lain
3. Akan menimbulkan firasat (yang baik) bagi orang yang menjaga pandangannya. Karena firasat bersal dari cahaya dan
merupkan buah dari cahaya tersebut. Maka jika hati telah bercahaya akan timbuk firasat yang benar karena hati
tersebut akhirnya ibarat kaca yang telah dibersihkan.
4. Akan membukakan baginya pintu-pintu dan jalan-jalan ilmu
5. menimbulkan kekuatan hati dan keteguhan hati serta keberanian hati
6. Menimbulkan kegembiraan dalam hati dan kesenangan serta kelapangan dada yang hal ini lebih nikmat dibandingkan
keledzatan dan kesenangan tatkala mengumbar pandangan.
7. Terselamatkannya hati dari tawanan syahwat
8. Menutup pintu diantara pintu-pintu api neraka jahannam karena pandangan adalah pintu syahwat yang mengantarkan
seesorang untuk mengambil tindakan (selanjutnya yang lebih diharamkan lagi-pen). Adapun menunundukkan
pandangan menutup pintu ini
9. Menguatkan akal dan daya fikir serta menambahnya dan menegarkannya karena mengumbar pandangan tidaklah
terjadi kecuali karena sempitnya dan ketidakstabilan daya pikir dengan tanpa memperhitungkan akibat-akibat buruk
yang akan timbul.
10. Hati terselamatkan dari mabuk kepayang karena syahwat dan mampu menolak hantaman kelalaian. Allah berfirman
tentang orang-orang yang mabuk kepayang: “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-
ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”. (QS. 15:72)
11. Berupaya bersungguh-sungguh untuk membiasakan diri menjaga pandangan. Dan barang siapa yang berusaha untuk
bersabar maka Allah akan menjadikannya orang yang sabar. Jika jiwamu terbiasa menundukkan pandangan maka
kelak akan menjadi mudah bagimu. Walaupun pada mulanya memang terasa sangat sulit, namun berusahalah!
12. Menjauhi tempat-tempat yang rawan timbulnya fitnah pandangan, walaupun akibat dari menjauhi tempat-tempat
tersebut engkau luput dari sebagian kemaslahatanmu. Jika engkau ingin membuka internet bawalah teman yang bisa
menasehatimu sehingga engkau tidak memandang hal-hal yang terlarang, Sesungguhnya jika engkau membukanya
sendiri maka syaithan lebih mudah menjerumuskanmu. Jauhilah engkau dari menonton film dan sinetron dengan dalih
untuk mengisi waktu luang dan untuk rileks. Demikian juga janganlah engkau mendekati hal-hal yang merupakan
sarana mengumbar aurat wanita hanya karena alasan untuk mengikuti berita dan mengikuti perkembangan informasi
dunia.
13. Jauhkan dirimu dari melihat hal-hal yang tidak perlu, dengan cara ketika engkau berjalan hendaknya engkau
memandang kebawah kearah jalanmu, dan jangan engkau mengumbar pandanganmu ke kanan, ke kiri, dan
kebelakang. Karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya pasti dia akan terjerumus untuk memandang perkara
yang diharamkan oleh Allah.
14. Banyak membasahi lisan dengan dzikir kepada Allah, karena dzikir merupakan benteng dari gangguan syaitan.
Biasakanlah dirimu dengan membaca dzikir pagi dan petang demikian juga dengan dzikir-dzikir yang lain, terlebih
lagi di kala fitnah aurat wanita berada di hadapannya hingga engkau bisa menolak gangguan syaitan. Dengan berdzikir
maka engkau akan tersibukkan mengingat kebesaran Allah sehingga tidak terlintas keinginan memandang hal-hal
yang haram. Dengan berdzikir engkau akan semakin malu kepada Allah untuk memandang perkara yang tidak halal
bagimu.
15. Jika engkau belum menikah maka menikahlah. Sesungguhnya dalam pernikahan terlalu banyak manfaat untuk
membantu engkau menundukkan pandanganmu
16. Jika engkau telah beristri ingatlah bahwa dengan mengumbar pandangan syaitan menjadikan engkau tidak menikmati
apa yang telah Allah halalkan bagimu. Syaitan menghiasi perkara yang haram yang telah engkau lihat dengan seindah-
indahnya padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Barang siapa yang menjaga pandangannya maka dia akan
menemukan kenikmatan pada apa yang telah dihalalkan Allah baginya.
17. Pengorbananmu dengan menahan matamu dari memandang hal-hal yang menawan namun diharamkan bagimu, akan
diganti oleh Allah dengan yang lebih baik lagi bagimu. Rasulullah bersabda,
‫َّنَك َلْن َتَد َع َش ْيًئا ِهَّلِل َّال َأْبَد َكَل ُهللا َم ا ُه َو َخٌري َكَل ِم ْنُه‬
“Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Allah akan menggantikan bagi
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
engkau yang lebih baik darinya”(HR. Muslim)
Jika yang akan engkau pandang adalah wanita yang cantik dan molek ingatlah bahwa Allah akan menggantikannya
dengan yang jauh lebih cantik, molek dan montok, ketahuilah! dialah bidadari. Ingatlah janji yang Allah berikan pada
orang-orang yang bertakwa yaitu bidadari di surga yang kecantikannya tidak bisa dibandingkan dengan wanita di
dunia. Betapapun engkau berusaha untuk membayangkan kecantikannya dan kemolekan tubuhnya, maka engkau tidak
akan pernah bisa membayangkannya. Bidadari lebih cantik dan lebih molek dan lebih menawan dari yang kau
khayalkan karena sesungguhnya Allah menyediakan bagi hamba-hambaNya yang bertakwa di surga apa yang tidak
pernah mereka lihat, dan tidak pernah mereka dengar dan tidak pernah terlintas dalam benak mereka.
18. Hendaknya engkau selalu mengingat nikmat yang telah Allah berikan kepadamu, dan engkau akan dimintai
pertanggungjawaban atas nikmat tersebut, untuk apakah nikmat tersebut engkau manfaatkan? Pandangan mata adalah
nikmat yang luar biasa, tentunya bentuk syukur engkau atas nikmat pandanganmu itu hendaknya enggau gunakan
untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah. Berkata Ibnul Jauzi,“Fahamilah wahai saudaraku apa yang akan aku wasiatkan
kepadamu. Sesungguhnya matamu adalah suatu nikmat yang Allah anugrahkan kepadamu, maka janganlah engkau
bermaksiat kepada Allah dengan karunia ini. Gunakanlah karunia ini dengan menundukkannya dari hal-hal yang
diharamkan, niscaya engkau akan beruntung. Waspadalah! Jangan sampai hukuman Allah (karena engkau tidak
menjaga pandangan) menghilangkan karuniaNya tersebut. Waktumu untuk berjihad dalam menundukkan
pandanganmu terfokus pada sesaat saja. Jika engkau mampu melakukannya (menjaga pandanganmu di waktu yang
sesaat tersebut) maka engkau akan meraih kebaikan yang berlipat ganda dan engkau selamat dari keburukan yang
berkepanjangan”. Jika engkau memang telah terlanjur memandang wanita yang tidak halal engkau pandangi dan
hatimu telah terkait dengannya, sulit untuk melupakannya maka beristigfarlah kepada Allah dan berdoalah kepada
Allah agar engkau bisa melupakannya. Berkata Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Furu’, “Dan hendaknya orang yang
berakal menjauhi sikap mengumbar pandangan karena mata melihat apa yang tidak ia mampui (apalagi) yang
dipadangnya bukan pada hakikat yang sebenarnya. Bahkan terkadang hal itu menyebabkan mabuk kepayang maka
rusaklah tubuhnya dan juga agamanya. Barangsiapa yang terkena musibah seperti ini maka hendaknya ia memikirkan
aib-aib para wanita. Ibnu Mas’ud berkata,
‫| َذ ا ًَأَجْع َبْت َأَح َد ْمُك اْم َر َأٌة َفْلَيْذ ُكْر َمًناِتَهَنا َو َم ا ِع ْي َب ِنَس اُء اُّدل ْنَيا َبَأَجْع َب ِم ْن َقْو ِهِل َتَع اَىل }َو َلُهْم ِف َهْيا َأْز َو اُج ُم َط َّهَر ُة‬
“Jika seorang wanita membuat salah seorang dari kalian takjub maka hendaknya ia mengingat hal-hal yang bau dari
‫ِإ‬
wanita tersebut, sungguh tidak ada yang lebih menakjubkan tentang aibnya para wanita di dunia dengan firman Allah
| ‫( }َو َل ُهْم ِفيَها َأ ْز َو اٌج ُم َط َّهَر ٌة‬dan untuk mereka di surga istri-istri yang suci)”( QS Al-Baqoroh ayat 25, yaitu para wanita
surga mereka suci terbebas dari haid, ingus, dahak, kencing, tai, mani, ludah dan hal-hal yang kotor. Hal ini
sebagaimana tafsiran dari Ibnu Abbas dan juga Mujahid (Lihat tafsir Ibnu Katsir QS 2:25)
‫الَّلُهَّم ِإ يِّن َأُع ْو ُذ ِبَك ِم ْن ِّرَش ْمَس ِع ي َو ِم ْن ِّرَش َبِرَص ي َو ِم ْن ِّرَش ِلَس اْيِن َو ِم ْن ِّرَش َقْليِب َو ِم ْن ِّرَش َم ِّيِن‬
Ya Allah aku berlindung kepadamu dari keburukan pendengaranku, dari keburukan pandanganku, dari
keburukan lisanku, dari keburukan hatiku, dan dari keburukan maniku (kemaluanku)( HR At-Thirmidzi no
3492, Abu Dawud no 1551, An-Nasai no 5444, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.

KERAJAAN SYETAN
“Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda, “Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia
mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara
mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’
Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah
(talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah
kamu.'” (HR. Muslim 2813).

Faidah hadits:
1. Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda manusia,
sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri
termasuk diantara perbuatan yang disukai iblis.
2. Iblis menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah Ta’ala, yang berada di atas air dan di atas
langit ketujuh.
3. Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis, karena perceraian
memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan keturunan. Oleh
karena itu, salah satu diantara dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara
suami dan istri. Allah berfirman,
“Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang
dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 102).
Serupa kita tahu kalau iblis merupakan pemimpin para setan yang senantiasa menggoda manusia buat berpaling dari
allah swt. sehabis diusir dari surga karna kesombongannya, iblis juga langsung membangun istana yang megah di tengah
lautan.
Mengapa iblis memilah lautan bagaikan istananya? karna luas lautan merupakan yang terbanyak, terlebih lagi
menggapai 3 perempat dari totalitas luas bumi.
hujjatul islam, (AL) imam al - ghazali sempat berkata bahwasanya iblis itu lampaunya bernama al - abid yang
maksudnya merupakan pakar ibadah. pemberian nama al - abid ini spesial buat penunggu langit kesatu, lain halnya dengan
langit kedua dan juga seterusnya. begitu terkenalnya iblis dengan pemberian, istilah nama - nama masing - masing langit
karna iblis kala itu benar hamba allah swt yang taat.
Pada langit kedua, iblis diucap dengan ar - raki (pakar ruku’) dan juga di langit ketiga diberi nama as - saajid (pakar
sujud). di langit keempat namanya merupakan al - khaasyi (senantiasa merendah dan juga cemas kepada allah) , pada langit
ke 5 namanya merupakan at - taqi (senantiasa bertaqwa). sebaliknya nama di langit keenam merupakan al - mujtahid
(bersungguh - sungguh dalam beribadah) dan juga langit ketujuh merupakan azazil dan juga az - zahid (senantiasa zuhud).
Mulanya, iblis menggambarkan salah satu malaikat penunggu surga yang doanya populer makbul (langsung
dikabulkan). karna doanya yang jitu tersebut, malaikat - malaikat lain terlebih lagi kerap memohon kepada iblis buat
didoakan supaya para malaikat tidak tertimpa laknat allah swt. Kejadian itu terjalin manakala malaikat israfil yang lagi
berkelana mengitari surga mengalami suatu tulisan. tulisan tersebut berbunyi, ”seorang hamba allah swt yang telah lama
mengabdi hendak menemukan laknat allah swt dengan karena menolak perintah allah. ” Tulisan itu berposisi di salah satu
pintu surga, dan juga tidak pelak lagi tulisan itu telah membikin malaikat israfil menangis tersedu. dia cemas sekali, hamba
allah swt yang diartikan merupakan pribadinya. Tidak cuma malaikat israfil, para malaikat lain pula ikut menangis, dimana
malaikat - malaikat lain itu pula mempunyai kekokohan sama serupa malaikat israfil. Kesimpulannya mereka setuju buat
menghadiri iblis (azazil) dan juga memohon didoakan supaya tidak tertimpa laknat dari allah swt. pada waktu itu, kala
mendengar uraian israfil, azazil mengatakan, ”ya allah…! hamba - mu yang manakah yang berani menentang perintahmu
itu, begitu saya turut mengutuknya. ” Azazil kemudian memanjatkan doa, ”ya allah, janganlah engkau murka atas mereka. ”
Azazil mengingkari perintah allah swt
Sepanjang kurun waktu 120 ribu tahun, azazil (iblis) , menyandang gelar kehormatan dan juga kemuliaan, dan juga
sampai tibalah nabi adam as diciptakan. allah swt menyuruh seluruh malaikat sujud kepada adam yang diciptakan bagaikan
khalifah (pemimoin) di bumi. Seluruh malaikat lekas patuh dan juga melakukan perintah allah swt tersebut. tetapi azazil
(iblis) malah membangkang. di menolak melakukan perintah allah swt buat bersujud kepada adam karna lesombongannya.
semenjak dikala seperti itu iblis diperuntukan simbol dari kesombongan, tentang takabur, tentang senantiasa besar hati diri.
sifat - sifat inilah yang setelah itu ditularkan oleh iblis supaya tersesat dari jalur allah swt. Iblis mengatakan, “ya allah, saya
lebih baik daripada adam. kau mengadakan saya dari api, sebaliknya adam dari tanah. ” karna pembangkangan tersebut,
allah swt berfirman supaya iblis keluar dari surga - nya.
Nah, sejak terlempar dari surga, iblis membangun singgasana dan juga istana di lautan. perihal itu dimaksudkan buat
menandingi arsy allah swt yang berposisi di atas air di langit ke 7. Perihal ini merujuk pada suatu hadist nabi yang
menarangkan kalau istana dan juga pusat kerajaan iblis berposisi di tengah lautan. terlebih lagi diucap oleh mereka serupa
arsy di atas air. dari tempat seperti itu mereka mengatur segala kegiatan penyesatan terhadap umat manusia.
Serupa halnya kerajaan pada lazimnya, istana iblis ini pula dipadati dengan dayang - dayang, pengawal dan prajurit -
prajuritnya. iblis mengendalikan dan juga menyusun strategi segala kejahatan dan juga kemaksiatan dari istananya yang
berposisi di tengah lautan. setelah itu mereka mengirim bala tentaranya mengarah daratan buat melangsungkan aksinya.
Dalam suatu hadits riwayat imam ahmad, rasulullah saw sempat bertanya pada ibnu shayyad, “apa yang lagi kalian
amati? ” “saya memandang singgasana di atas lautan yang dikelilingi oleh sebagian ular, ” jawab ibnu shayyad.
Rasulullah juga membantahnya, “sesungguhnya dia telah memandang kerajaan iblis, ” (HR. Ahmad).
Imam ibnu katsir dalam kitab fenomenal “al - bidayah wannihayah” menarangkan kalau iblis mempunyai banyak
tentara dan juga memilah lautan bagaikan istana dan juga pusat kerajaan mereka. Serupa dikenal kalau luas lautan
menggapai 3 perempat dari bumi. oleh karna seperti itu iblis menempatkan kerajaannya di lautan supaya dia lebih bebas
memerintah bala tentaranya yang jumlahnya amat banyak sampai - sampai membutuhkan pusat kerajaan yang luas. wallahu
a’lam.
DAJJAL
Dajjal asalnya berarti “‫”الَّتْغ ِط َية‬, bermakna menutupi. Orang yang berdusta disebut Dajjal karena ia menutupi kebenaran
dengan kebatilan.
Dajjal yang dimaksud dalam bahasan ini adalah Dajjal akbar yang akan muncul menjelang hari kiamat di zaman Imam
Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam.

Dajjal, Seberat-Beratnya Ujian


Keluarnya Dajjal merupakan di antara tanda datangnya kiamat. Fitnah (cobaan) yang ditimbulkan oleh Dajjal adalah
seberat-beratanya ujian yang akan dihadapi manusia.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan,
‫َم ا َبَنْي َخ ْلِق آَد َم ىَل ِق َياِم الَّس اَعِة َخ ْلٌق َأْكُرَب ِم َن اَّدل َّج اِل‬
“Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya (cobaannya) lebih besar
‫ِإ‬
dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946)
An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Yang dimaksud di sini adalah tidak ada fitnah dan masalah yang lebih besar
daripada fitnah Dajjal.”
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia
lalu memuji Allah karena memang Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian kemudian beliau menceritakan Dajjal.
Beliau bersabda,
، ‫ َو َلِكىِّن َأُق وُل َلْمُك ِف يِه َق ْو ًال َلْم َيُقُهْل َنٌّىِب ِلَقْو ِم ِه‬، ‫ َلَقْد َأْن َذ َر ُن وٌح َقْو َم ُه‬، ‫ َو َم ا ِم ْن َنٍّىِب َّال َأْنَذ َر ُه َقْو َم ُه‬، ‫ِإنِّى ُألْنِذ ُر ُمُكوُه‬
‫َأ ِإ‬
‫َل‬
‫َو َر‬ ‫ْع‬‫َأ‬ ‫ِب‬ ‫َس‬‫ْي‬ ‫ َو َّن اَهَّلل‬، ‫َتْع َلُم وَن َأَّنُه َأْع َو ُر‬
“Aku akan menceritakannya kepada kalian dan tidak ada seorang Nabi pun melainkan telah menceritakan tentang
Dajjal kepada kaumnya. Sungguh Nabi Nuh ‘alaihis salam telah mengingatkan kaumnya. Akan tetapi aku katakan
kepada kalian tentangnya yang tidak pernah dikatakan oleh seorang Nabi pun kepada kaumnya, yaitu Dajjal itu buta
sebelah matanya sedangkan Allah sama sekali tidaklah buta“. (HR. Bukhari no. 3337 dan Muslim no. 169)
Dari Anas, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َو َّن َبَنْي َع ْي َنْيِه َم ْكُتوٌب اَك ِف ٌر‬، ‫ َو َّن َر َّبْمُك َلْيَس ِبَأْع َو َر‬، ‫ َأَال ِإ َّنُه َأْع َو ُر‬، ‫َم ا ُبِع َث َنٌّىِب ِإ َّال َأْنَذ َر ُأَّم َتُه اَألْع َو َر اْلَكَّذ اَب‬
“Tidaklah seorang Nabi pun diutus ‫ ِإ‬selain telah memperingatkan ‫ِإ‬ kaumnya terhadap yang buta sebelah lagi pendusta.
Ketahuilah bahwasanya dajjal itu buta sebelah, sedangkan Rabb kalian tidak buta sebelah. Tertulis di antara kedua
matanya “KAAFIR”.” (HR. Bukhari no. 7131)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اي أهيا الناس ! إهنا مل تكن فتنة عىل وجه األرض منذ ذرأ هللا ذرية آدم أعظم من فتنة ادلجال و إن هللا عز و جل‬
‫مل يبعث نبيا إال حذر أمته ادلجال و أان آخر األنبياء و أنمت آخر األمم و هو خارج فيمك ال حماةل‬
“Wahai sekalian manusia, sungguh tidak ada fitnah yang lebih besar dari fitnah Dajjal di muka bumi ini semenjak
Allah menciptakan anak cucu Adam. Tidak ada satu Nabi pun yang diutus oleh Allah melainkan ia akan
memperingatkan kepada umatnya mengenai fitnah Dajjal. Sedangkan Aku adalah Nabi yang paling terakhir dan
kalian juga ummat yang paling terakhir, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Dajjal akan muncul di tengah-tengah
kalian.” (Dikeluarkan dalam Shahih Al Jaami’ Ash Shoghir no. 13833. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)

Dajjal Dinamakan Al Masih


Dajjal dinamakan Al Masih karena salah satu matanya terusap/ tertutup (artinya: buta sebelah). Disebutkan pula bahwa ia
dinamakan Al Masih karena dia mengusap/ melewati bumi selama empatpuluh hari.
Al Masih sendiri kadang ditujukan pada orang yang shidiq (jujur) yaitu ‘Isa ‘alaihis salam dan kadang pula Al Masih
dimaksudkan untuk orang yang sesat lagi dusta yaitu Dajjal yang matanya buta sebelah.

Berita Tentang Kemunculan Dajjal adalah Berita Mutawatir


Sebagian hadits mengenai Dajjal telah dikemukakan di atas. Sebagian lainnya akan kita temukan pada bahasan selanjutnya
mengenai Dajjal. Intinya, semua hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa di akhir zaman, akan muncul Dajjal. Berita
tentang Dajjal ini diriwayatkan dalam riwayat yang amat banyak, sampai derajat mutawatir. Hadits-hadits yang
membicarakan tentang Dajjal pun berasal dari kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, orang yang meragukan
tentang hal ini, dialah yang sungguh aneh.
Al Qodhi mengatakan, “Hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Muslim dan selainnya mengenai kisah Dajjal benar-
benar sebagai hujjah bagi madzhab yang berada di atas kebenaran bahwa Dajjal benar adanya. Dajjal adalah benar-benar
manusia. Allah mendatangkannya untuk menguji para hamba-Nya. Allah memberikan pada Dajjal berbagai ilahiyah
(ketuhanan), yaitu dengan menghidupkan mayit yang sebelumnya ia matikan, menumbuhkan tanaman, menyuburkan tanah
dan kebun, menjadikan api dan dua macam sungai. Kemudian Dajjal pun akan mengeluarkan berbagai macam
perbendaharaan di dalam bumi, ia akan menurunkan hujan dari langit, dan tanah pun akan tumbuh tanaman. Ini semua
dilakukan atas kuasa dan kehendak Allah. Kemudian setelah itu, Allah Ta’ala membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun tidak ada yang bisa membunuh Dajjal dan menghancurkan berbagai urusannya melainkan ‘Isa ‘alaihis salam. Allah
pun akhirnya mengokohkan hati orang beriman. Inilah madzhab Ahlus Sunnah, keyakinan para pakar hadits, para fuqoha
dan para ulama peneliti lainnya.”

Mengapa Berita Tentang Dajjal Tidak Disebutkan dalam Al Qur’an?


Ada beberapa versi jawaban yang dapat diberikan dalam hal ini:
Pertama, Allah Ta’ala berfirman,
“Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri.” (QS. Al
An’am: 158). Padahal dalam hadits disebutkan,
‫َثَالٌث ِإ َذ ا َخ َر ْجَن (َلْم َيْنَفْع َنْف ًس ا ِإ َمياَهُنا َلْم َتُكْن آَمَنْت ِم ْن َقْبُل ) اآلَيَة اَّدل َّج اُل َو اَّدل اَّب ُة َو ُط ُل وُع الَّش ْم ِس ِم َن اْلَم ْغ ِر ِب َأْو‬
‫ِم ْن َم ْغِرَهِبا‬
“Tiga tanda, jika semuanya telah terjadi, maka tidak akan berguna lagi keimanan seseorang sebelumnya, yaitu;
keluarnya Dajjal, binatang melata, dan terbitnya matahari dari barat atau dari tempat terbenamnya” (HR. Tirmidzi no.
3072 dan Ahmad 2/445. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini menunjukkan adanya korelasi dengan ayat di atas, sehingga sangat tepat sekali menunjukkan adanya Dajjal di
akhir zaman.

Kedua, Al Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa ‘Isa bin Maryam akan turun di akhir zaman seperti pada firman Allah
Ta’ala,
“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.” (QS. An Nisa’:
159). Dan pada firman Allah Ta’ala,
“Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat.” (QS. Az Zukhruf: 61).
Jika benar Isa akan turun di akhir zaman dan misi beliau adalah membunuh Dajjal, maka cukup dengan kita menyebut
turunnya Isa, itu menandakan akan munculnya Dajjal. Apalagi antara Isa dan Dajjal sama-sama disebut Al Masih.
Inilah di antara alasan mengapa Dajjal tidak disebutkan dalam Al Qur’an sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al
Asqolani.
Alasan ketiga yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.

Ketiga: Berita tentang Dajjal juga sudah disebutkan dalam ayat Al Qur’an,
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghofir/Al Mu’min: 57)
Yang dimaksud dengan penciptaan manusia di sini adalah Dajjal. Sebagaimana yang mendukung hal ini adalah hadits,
‫َم ا َبَنْي َخ ْلِق آَد َم ىَل ِق َياِم الَّس اَعِة َخ ْلٌق َأْكُرَب ِم َن اَّدل َّج اِل‬
“Tidak ada satu pun makhluk sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang fitnahnya (cobaannya) lebih besar
‫ِإ‬
dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 2946)
Mengenai surat Ghofir ayat 57, Al Baghowi mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan: yaitu yang lebih besar dari ujian
dari Dajjal. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, yaitu orang Yahudi yang selalu memperdebatkan
tentang Dajjal.”

Keadaan Kaum Muslimin Kala Keluarnya Dajjal


Ketika Dajjal muncul, jumlah kaum muslimin amatlah banyak dan semakin bertambah kuat. Namun mendekati keluarnya
Dajjal, kaum muslimin ditimpa bala’ yang amat berat. Hujan tidak kunjung turun. Tanaman pun tidak tumbuh.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
‫َو َّن َقْبَل ُخ ُر وِج اَّدل َّج اِل َثَالَث َس َنَو اٍت ِش َد اٍد ُيِص يُب الَّناَس ِف َهيا ُج وٌع َش ِد يٌد َي ْأُم ُر اُهَّلل الَّس َم اَء ىِف الَّس َنِة اُألوىَل َأْن‬
‫ِإ‬
‫ْحَت ِب َس ُثُلَث َم َط ِر َه ا َو َي ْأُم ُر اَألْر َض َفَتْح ِب ُس ُثُلَث َنَباَهِتا َّمُث َي ْأُم ُر الَّس َم اَء ىِف الَّس َنِة الَّثاِنَي ِة َفَتْح ِب ُس ُثُلْىَث َم َط ِر َه ا َو َي ْأُم ُر‬
‫اَألْر َض َفَتْح ِب ُس ُثُلْىَث َنَباَهِتا َّمُث َي ْأُم ُر اُهَّلل الَّس َم اَء ىِف الَّس َنِة الَّثاِلَث ِة َفَتْح ِب ُس َم َط َر َه ا َّلُكُه َفَال َتْقُط ُر َقْط َر ٌة َو َي ْأُم ُر اَألْر َض‬
‫ ِق يَل َفَم ا ُيِع يُش الَّن اَس ىِف‬.» ‫َفَتْح ِب ُس َنَباَهَتا َّلُكُه َفَال ُتْنِب ُت َخ َرْض اَء َفَال َتْب َقى َذ اُت ِظ ْل ٍف َّال َه َلَكْت َّال َم ا َش اَء اُهَّلل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َذ َكِل الَّز َم اِن َقاَل « الْهَّتِليُل َو الَّتْكِب ُري َو الَّتْس ِبيُح َو الَّتْح ِم يُد َو ْجُي َر ى َذ َكِل َعَلِهْي ْم َمْج َر ى الَّط َع اِم‬
“Sesungguhnya tiga tahun sebelum munculnya Dajjal, adalah waktu yang sangat sulit, di mana manusia akan ditimpa
oleh kelaparan yang sangat, Allah akan memerintahkan kepada langit pada tahun pertama untuk menahan sepertiga
dari hujannya, dan memerintahkan kepada bumi untuk menahan sepertiga dari tanaman-tanamannya. Dan pada tahun
kedua Allah akan memerintahkan kepada langit untuk menahan dua pertiga dari hujannya dan memerintahkan
kepada bumi untuk menahan duapertiga dari tumbuh-tumbuhannya. Kemudian di tahun yang ketiga, Allah
memerintahkan kepada langit untuk menahan semua air hujannya, maka ia tidak meneteskan setetes air pun dan Allah
memerintahkan kepada bumi untuk menahan semua tanaman-tanamannya, maka setelah itu tidak dijumpai satu
tanaman hijau yang tumbuh dan semua binatang yang berkuku akan mati, kecuali yang tidak dikehendaki oleh Allah.”
Kemudian para sahabat bertanya, “Dengan apakah manusia akan hidup pada saat itu?” Beliau menjawab, “Tahlil,
takbir dan tahmid akan sama artinya bagi mereka dengan makanan.”(Shahihul Jami’, No. 7875)

Sifat-Sifat Dajjal
Beberapa sifat Dajjal disebutkan dalam beberapa hadits berikut ini.
Dari ‘Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َف َذ ا َر ُج ٌل آَد ُم َس ْب ُط الَّش َع ِر َيْنُط ُف – َأْو َهُيَر اُق – َر ْأُس ُه َم اًء ُقْلُت َمْن َه َذ ا‬، ‫« َبْيَنا َأاَن اَن ٌمِئ َأُط وُف اِب ْلَكْع َب ِة‬
‫ َأَكَّن َع ْي َن ُه ِع َنَب ٌة َط اِف َي ٌة‬، ‫َّر ْأِس َأْع َو ُر اْلَع ِنْي‬±‫ َف َذ ا َر ُج ٌل َج ِس ٌمي َأَمْحُر َجْع ُد ال‬،‫ َّمُث َذ َه ْب ُت َأْلَتِفُت ِإ‬. ‫َقاُلوا اْبُن َم ْر َمَي‬
‫ َر ُج ٌل ِم ْن ُخ َز اَعَة‬. » ‫ َأْقَر ُب الَّناِس ِبِه َش ِإًهَبا اْبُن َقَط ٍن‬. ‫َقاُلوا َه َذ ا اَّدل َّج اُل‬
“Ketika aku tidur, aku bermimpi thawaf di ka’bah, tak tahunya ada seseorang yang rambutnya lurus, kepalanya
meneteskan atau mengalirkan air. Maka saya bertanya, ‘Siapakah ini? ‘ Mereka mengatakan, ‘Ini Isa bin Maryam’.
Kemudian aku menoleh, tak tahunya ada seseorang yang berbadan besar, warnanya kemerah-merahan, rambutnya
keriting, matanya buta sebelah kanan, seolah-olah matanya anggur yang menjorok. Mereka menjelaskan, ‘Sedang ini
adalah Dajjal. Manusia yang paling mirip dengannya adalah Ibnu Qaththan, laki-laki dari bani Khuza’ah.'”(HR.
Bukhari & Muslim)
Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ىِّن َقْد َح َّد ْثُتْمُك َع ِن اَّدل َّج اِل َح ىَّت َخ ِش يُت َأْن َال َتْع ِقُلوا َّن َم ِس يَح اَّدل َّج اِل َر ُج ٌل َقِص ٌري َأْفَحُج َجْع ٌد َأْع َو ُر َم ْط ُم وُس‬
‫َأ‬ ‫َل‬ ‫ْمُك‬ ‫َف ُأْل َل ْمُك َف َل َأِإ‬ ‫َال‬ ‫ٍة‬ ‫ِت‬ ‫َل‬ ‫ْل‬ ‫ِإ‬
‫ْع‬ ‫ِب‬ ‫ْي‬ ‫َّن‬ ‫وا‬
‫َو َر َء ِإ َس ْي ُم َر َّب َس َو َر‬ ‫ْع‬ ‫ا‬ ‫َع‬ ‫ِب‬ ‫ْن‬ ‫ا‬ ‫َجْح‬ ‫َئ‬ ‫ا‬‫َن‬ ‫ِب‬ ‫َس‬‫ْي‬ ‫ِنْي‬ ‫َع‬ ‫ا‬
“Sungguh, aku telah menceritakan perihal Dajjal kepada kalian, hingga aku kawatir kalian tidak lagi mampu
memahaminya. Sesungguhnya Al Masih Dajjal adalah seorang laki-laki yang pendek, berkaki bengkok, berambut
keriting, buta sebelah dan matanya tidak terlalu menonjol dan tidak pula terlalu tenggelam. Jika kalian merasa
bingung, maka ketahuilah bahwa Rabb kalian tidak bermata juling.”(HR. Abu Dawud)
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda tentang Dajjal,
‫َأْع َو ُر ِه َج اٌن َأْز َه ُر َأَكَّن َر ْأَس ُه َأَص ٌةَل َأْش َبُه الَّناِس ِبَع ْب ِد اْلُعَّز ى ْبِن َقَط ٍن َفِإ َّم ا َه َكَل اْلُهُكَّل َفِإ َّن َر َّبْمُك َتَع اىَل َلْيَس ِبَأْع َو َر‬
“(Dajjal) buta sebelah, putih dan berkilau, seolah kepalanya adalah (kepala) ular, dan (dia) adalah orang yang paling
mirip dengan Abdul ‘Uzza bin Qathan. Jika dia itu celaka dan sesat, maka ketahuilah bahwa Tuhan kalian tidaklah
buta sebelah.”(HR. Ahmad)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫« ىِّن َخ اُمَت َأْلِف َنٍّىِب َأْو َأْكُرَث َم ا ُبِع َث َنٌّىِب ُيَّتَبُع َّال َقْد َح َّذ َر ُأَّم َتُه اَّدل َّج اَل َو ىِّن َقْد ُبَنِّي ىِل ِم ْن َأْمِر ِه َم ا َلْم ُيَبْنَّي َألَح ٍد‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َو َّنُه َأْع َو ُر َو َّن َر َّبْمُك َلْيَس ِبَأْع َو َر َو َع ْي ُنُه اْلُيْم ىَن َع ْو َر اُء َج اِح َظ ٌة َو َال ْخَتَفى ِإ َأَكَهَّنا َخُناَم ٌة ىِف َح اِئ ٍط ُم َجَّص ٍص َو َع ْي ُن ُه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫اْلُيَرْس ى َأَكَهَّنا َكْو َكٌب ُد ِّر ٌّى َم َع ُه ِم ْن ِّلُك ِلَس اٍن َو َم َع ُه ُص وَر ُة اْلَجَّنِة َخ َرْض اُء ْجَي ِر ى ِف َهيا اْلَم اُء َو ُص وَر ُة الَّن اِر َس ْو َد اُء‬
» ‫َتْد َخ ُن‬
“Sesungguhnya aku adalah penutup dari seribu Nabi yang telah diutus, dan tidaklah ada seorang Nabi yang diutus
kecuali telah memperingatkan kepada umatnya tentang Dajjal, dan sungguh aku telah diberi penjelasan berkenaan
dengannya yang tidak diberikan kepada seorang pun. Sesungguhnya ia adalah seorang yang bermata juling, sedang
Rabb kalian bukanlah bermata juling. Mata kanannya melotot -tidak bisa dipungkiri- seakan-akan dahak yang
menempel pada tembok yang dicat, sedang mata kirinya seperti bintang yang terang. Dan aku juga diberi penjelasan
tentang semua ucapan, dan gambaran surga yang berwarna hijau yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Serta
gambaran neraka yang berwarna hitam berasap.”(HR.Ahmad)
Di antara dua mata Dajjal tertulis KAFIR, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
‫َّنُه َم ْكُتوٌب َبَنْي َع ْي َنْيِه اَك ِف ٌر َيْقَر ُؤ ُه َمْن َكِر َه َمَع ُهَل َأْو َيْقَر ُؤ ُه ُّلُك ُمْؤ ِم ٍن‬
‫ِإ‬
“Di antara kedua matanya tertulis KAFIR yang bisa dibaca oleh orang yang membenci perbuatannya atau bisa dibaca
oleh setiap orang mu`min.”(HR. Muslim, No. 169)
Dalam hadits diceritakan mengenai Dajjal bahwa ia tidak memiliki keturunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ُه َو َع ِقٌمي َال ُيوُدَل ُهَل‬
“Dajjal itu mandul.”(HR. Muslim, No. 2927)
Demikian penjelasan ringkas mengenai Dajjal dari beberapa hadits, terkhusus mengenai ciri-ciri Dajjal. Jika tidak
ditemukan ciri-ciri demikian, maka tidak bisa disebut Dajjal Akbar yang akan muncul menjelang hari kiamat. Jadi tidak
bisa kita katakan–misalnya–George Bush itu adalah Dajjal karena memang tidak ada ciri-ciri tersebut di atas.

Dajjal yang Penuh Aib, Mustahil Dia adalah Tuhan


Ciri-ciri Dajjal telah diterangkan dalam tulisan sebelumnya. Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َخ ِش يُت َأْن َال َتْع ِقُل وا َّن َم ِس يَح اَّدل َّج اِل َر ُج ٌل َقِص ٌري َأْفَحُج َجْع ٌد َأْع َو ُر َم ْط ُم وُس‬
‫ىِّن َق ْد َح َّد ْثُتْمُك َع ِن اَّدل َّج اِل َح ىَّت‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ُأْلِب َس َعَلْي ْمُك َفاْعَلُم وا َأَّن َر َّبْمُك َلْيَس ِبَأْع َو َر‬
‫اْلَع ِنْي َلْيَس ِبَناِتَئٍة َو َال َجْح َر اَء َف ْن‬
‫ِإ‬
“Sungguh, aku telah menceritakan perihal Dajjal kepada kalian, hingga aku khawatir kalian tidak lagi mampu
memahaminya. Sesungguhnya Al Masih Dajjal adalah seorang laki-laki yang pendek, berkaki bengkok, berambut
keriting, buta sebelah, matanya tidak terlalu menonjol dan tidak pula terlalu tenggelam. Jika kalian merasa bingung,
maka ketahuilah bahwa Rabb kalian tidak buta sebelah.”(HR. Abu Dawud)
Nampak jelas bahwa Dajjal sangat memiliki kekurangan yang besar dan memiliki aib yang tidak bisa ia sembunyikan.
Maka sangat mustahil jika Dajjal mengklaim dirinya memiliki rububiyah. Sangat tidak masuk akal jika ia mengaku sebagai
tuhan manusia. Tuhan manusia tidak mungkin buta di dunia. Padahal Allah tidaklah buta sebelah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َأَكَّن َع ْي َنُه ِع َنَبٌة َط اِف َيٌة‬، ‫ َأَال َّن اْلَم ِس يَح اَّدل َّج اَل َأْع َو ُر اْلَع ِنْي اْلُيْم ىَن‬، ‫َّن اَهَّلل َلْيَس ِبَأْع َو َر‬
“Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah. Ingatlah bahwa Al Masih Ad Dajjal buta sebelah kanan, seakan matanya
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
seperti buah anggur yang menjorok”(HR. Bukhari & Muslim)
Di antara aib Dajjal yang lainnya adalah kakinya yang cacat, yaitu kakinya yang bengkok (lututnya saling menjauh seperti
membentuk huruf “O”).
Penjelasan ini menunjukkan bahwa seandainya Dajjal itu adalah tuhan, maka tentu saja ia bisa menghilangkan aib pada
dirinya sendiri. Jika ia tidak bisa menghilangkan aibnya sendiri, ini menunjukkan bahwa ia bukanlah Rabb, namun sekedar
makhluk biasa. Keadaan Dajjal yang buta sebelah adalah keadaan yang begitu nampak dan tidak bisa dipungkiri. Aib ini
begitu nampak terlihat bagi orang alim atau orang awam sekali pun, sehingga tidak butuh pada dalil logika lainnya.

Berbagai Fitnah Dajjal


1. Cepat berpindah-pindah di muka bumi.
Diceritakan dalam hadits mengenai kecepatan Dajjal di muka bumi,
‫اَك ْلَغْي ِث اْس َتْد َبَر ْتُه الِّر ُحي‬
“Seperti hujan yang diakhiri angin”(HR. Muslim)
Dajjal akan mengitari seluruh muka bumi kecuali Makkah dan Madinah. Disebutkan dalam hadits,
، ‫ُهَل ِم ْن ِنَقاَهِبا َنْقٌب َّال َعَلْي ِه اْلَم َالِئَك ُة َص اِّف َني‬ ‫ َلْيَس‬، ‫ َّال َم َّك َة َو اْلَم ِد يَن َة‬، ‫َلْيَس ِم ْن َبٍدَل َّال َس َيَط ُؤ ُه اَّدل َّج اُل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫اُهَّلل َّلُك اَك ِف ٍر َو ُمَناِف ٍق‬ ‫ َفُيْخ ِر ُج‬، ‫ َّمُث َتْر ُج ُف اْلَم ِد يَنُة ِبَأْه ِلَها َثَالَث َر َج َفاٍت‬، ‫ْحَي ُر ُس وَهَنا‬
“Tidak ada suatu negeri pun yang tidak akan dimasuki Dajjal kecuali Makkah dan Madinah, karena tidak ada
satu pintu masuk pun dari pintu-pintu gerbangnya kecuali ada para malaikat yang berbaris menjaganya.
Kemudian Madinah akan berguncang sebanyak tiga kali sehingga Allah mengeluarkan orang-orang kafir dan
munafiq daripadanya”(HR. Bukhari & Muslim)
2. Fitnah dengan jannah (surga) dan naar (neraka)
Dalam hadits disebutkan,
‫َّن َم َع ُه َم اًء َو اَن ًر ا َفَناُر ُه َم اٌء اَب ِر ٌد َو َم اُؤ ُه اَن ٌر َفَال ْهَتِلُكوا‬
“Sesungguhnya bersamanya ada air dan api, apanya adalah air dingin dan airnya adalah api, karena itu
‫ِإ‬
janganlah kalian binasa.”(HR. Bukhari & Muslim)
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َألاَن َأْعُمَل ِبَم ا َم َع اَّدل َّج اِل ِم ْن ُه َم َع ُه ْهَنَر اِن ْجَي ِر اَي ِن َأَح ُد َمُها َر ْأَى اْلَع ِنْي َم اٌء َأْبَيُض َو اآلَخ ُر َر ْأَى اْلَع ِنْي اَن ٌر َت َأَّجُج َف َّم ا‬
‫َأْد َر َكَّن َأَح ٌد َفْلَي ْأِت الْهَّنَر اِذَّل ى َيَر اُه اَن ًر ا َو ْلُيَغِّم ْض َّمُث ْلُيَط ْأِط ْئ َر ْأَس ُه َفَيَرْش َب ِم ْن ُه َف َّن ُه َم اٌء اَب ِر ٌد َو َّن اَّدل َّجِإ اَل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َم ْم ُس وُح اْلَع ِنْي َعَلَهْيا َظ َفَر ٌة َغِليَظ ٌة َم ْكُتوٌب َبَنْي َع ْي َنْيِه اَك ِف ٌر َيْقَر ُؤ ُه ُّلُك ُمْؤ ِم ٍن اَك ِتٍب َو َغِرْي اَك ِتٍب‬
“Sungguh aku tahu apa yang ada bersama Dajjal, bersamanya ada dua sungai yang mengalir. Salah satunya
secara kasat mata berupa air putih dan yang lainnya secara kasat mata berupa api yang bergejolak. Bila ada yang
menjumpainya, hendaklah mendatangi surga yang ia lihat berupa api dan hendaklah menutup mata, kemudian
hendaklah menundukkan kepala lalu meminumnya karena sesungguhnya itu adalah air dingin.”(HR. Muslim)
3. Meminta tolong pada syaithon
Tidak diragukan lagi bahwa Dajjal telah berkongsi dengan setan. Sudah amat maklum bahwa setan tidaklah mungkin
mengabdi kecuali pada orang yang benar-benar sesat dan mengabdi pada selain Allah. Perhatikan hadits berikut ini,
‫ َفَيَتَم َّث ُل ُهَل‬. ‫َو َّن ِم ْن ِف ْتَنِت ِه َأْن َيُق وَل َألْع َر اٍّىِب َأَر َأْيَت ْن َبَع ْثُت َكَل َأاَب َك َو ُأَّم َك َأَتْش َهُد َأىِّن َر ُّب َك َفَيُق وُل َنَع ْم‬
‫ِإ‬
. ‫َش ِإ ْي َط ااَن ِن ىِف ُص وَر ِة َأِبيِه َو ُأِّم ِه َفَيُقوَالِن اَي ُبَّىَن اَّتِب ْع ُه َف َّنُه َر ُّبَك‬
‫ِإ‬
“Di antara fitnah Dajjal adalah, ia akan berkata kepada seorang Arab, ‘Pikirkanlah olehmu, sekiranya aku dapat
membangkitkan ayah dan ibumu yang telah mati, apakah kamu akan bersaksi bahwa aku adalah Rabbmu? ‘ Laki-laki
arab tersebut menjawab, ‘Ya.’ Kemudian muncullah setan yang menjelma di hadapannya dalam bentuk ayah dan
ibunya, maka keduanya berkata, ‘Wahai anakku, ikutilah ia, sesungguhnya dia adalah Rabbmu.’”(Shahih Al-Jami’
Ash Shogir)
4. Benda mati dan hewan patuh akan perintah Dajjal
Disebutkan dalam hadits,

‫َفَي ْأىِت َعىَل اْلَق ْو ِم َفَي ْد ُع وْمُه َفُيْؤ ِم ُن وَن ِب ِه َو َيْس َتِج يُبوَن ُهَل َفَي ْأُم ُر الَّس َم اَء َفُتْم ِط ُر َو اَألْر َض َفُتْنِب ُت َفُرَت وُح َعَلِهْي ْم‬
‫َس اِر َح ُهُتْم َأْط َو َل َم ا اَك َنْت ُذ ًر ا َو َأْس َبَغُه ُرُض وًعا َو َأَم َّد ُه َخ َو اَرِص َّمُث َيْأىِت اْلَقْو َم َفَيْد ُع وْمُه َفُرَي ُّدوَن َعَلْي ِه َقْو ُهَل َفَيْنِرَص ُف‬
‫ َفَتْتَبُع ُه ُكُنوُز َه ا‬. ‫َع ُهْنْم َفُيْص ِب ُح وَن ُم ْم ِحِلَني َلْيَس ِبَأْيِد ِهي ْم ْىَش ٌء ِم ْن َأْم َو اِلِهْم َو َيُمُّر اِب ْلَخ ِر َبِة َفَيُقوُل َلَها َأْخ ِر ىِج ُكُن وَز ِك‬
‫َكَيَع اِس يِب الَّنْح ِل‬
“Ia mendatangi kaum dan menyeru mereka, mereka menerimanya. Ia memerintahkan langit agar menurunkan
hujan, lalu langit menurunkan hujan. Ia memerintahkan bumi agar mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, lalu bumi
mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Lalu binatang ternak mereka pergi dengan punuk yang panjang, lambung
yang lebar dan kantong susu yang berisi lalu kehancuran datang lalu ia berkata padanya: ‘Keluarkan harta
simpananmu.’ Lalu harta simpanannya mengikutinya seperti lebah-lebah jantan.”(HR. Muslim)
5. Dajjal membunuh seorang pemuda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara panjang lebar tentang Dajjal sebagiannya disebutkan dalam
hadits,
‫ َفَيْخ ُر ُج َلْي ِه‬، ‫ َفَيِزْن ُل َبْع َض الِّس َباِخ اَّلىِت َتىِل اْلَم ِد يَن َة‬، ‫َيْأىِت اَّدل َّج اُل َو ُه َو ُم َح َّر ٌم َعَلْي ِه َأْن َي ْد ُخَل ِنَق اَب اْلَم ِد يَن ِة‬
‫ِإ‬
‫ َفَيُق وُل َأْش َهُد َأَّن َك اَّدل َّج اُل اِذَّل ى َح َّد َثَنا َر ُس وُل اِهَّلل – صىل‬، ‫َيْو َم ِئٍذ َر ُج ٌل َو ْه َو َخ ُرْي الَّناِس َأْو ِم ْن ِخ َياِر الَّناِس‬
. ‫ َه ْل َتُش ُّكوَن ىِف اَألْم ِر َفَيُقوُل وَن َال‬، ‫ َفَيُقوُل اَّدل َّج اُل َأَر َأْيْمُت ْن َقَتْلُت َه َذ ا َّمُث َأْح َيْي ُتُه‬، ‫هللا عليه وسمل – َح ِد يَثُه‬
‫ َفِرُي يُد اَّدل َّج اُل َأْن َيْقُتُهَل َفَال ُيَس َّلُط َعَلْي ِه‬. ‫َفَيْقُتُهُل َّمُث ْحُي ِييِه َفَيُقوُل َو اِهَّلل َم ا ُكْنُت ِف يَك َأَش َّد َبِصِإ َري ًة ِم ىِّن اْلَيْو َم‬
“Dajjal datang dan diharamkan masuk jalan Madinah. Lantas ia singgah di lokasi yang tak ada tetumbuhan
dekat Madinah. Kemudian ada seseorang yang mendatanginya yang ia adalah sebaik-baik manusia atau di antara
manusia terbaik, dia berkata, ‘Saya bersaksi bahwa engkau adalah Dajjal yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah ceritakan kepada kami.’ Kemudian Dajjal mengatakan, ‘Apa pendapat kalian jika aku membunuh
orang ini lantas aku menghidupkannya, apakah kalian masih ragu terhadap perkara ini?’ Mereka menjawab,
‘Tidak’. Maka Dajjal membunuh orang tersebut kemudian menghidupkannya, namun orang tersebut tiba-tiba
mengatakan, ‘Ketahuilah bahwa hari ini, kewaspadaanku terhadap diriku tidak sebesar kewaspadaanku
terhadapmu! ‘ Lantas Dajjal ingin membunuh orang itu, namun ia tak bisa lagi menguasainya.”(HR. Bukhari)
Disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri,
‫ْخَي ُر ُج اَّدل َّج اُل َفَيَتَو َّج ُه ِق َبُهَل َر ُج ٌل ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنَني َفَتْلَقاُه اْلَمَس اِلُح َم َس اِلُح اَّدل َّج اِل َفَيُقوُل وَن ُهَل َأْيَن َتْع ِم ُد َفَيُق وُل َأِمْعُد‬
‫ َفَيُق وُل َبْع ُض ُهْم‬. ‫ َفَيُقوُلوَن اْقُتُل وُه‬.‫ِإ ىَل َه َذ ا اِذَّل ى َخ َر َج – َقاَل – َفَيُقوُلوَن ُهَل َأَو َم ا ُتْؤ ِم ُن ِبَر ِّبَنا َفَيُقوُل َم ا ِبَر ِّبَنا َخ َفاٌء‬
‫ِلَبْع ٍض َأَلْيَس َقْد َهَناْمُك َر ُّبْمُك َأْن َتْقُتُلوا َأَح ًد ا ُد وَنُه – َقاَل – َفَيْنَط ِلُق وَن ِب ِه ىَل اَّدل َّج اِل َف َذ ا َر آُه اْلُم ْؤ ِم ُن َق اَل اَي َأَهُّيا‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ َق اَل َفَي ْأُم ُر اَّدل َّج اُل ِب ِه َفُيَش َّبُح َفَيُق وُل ُخ ُذ وُه‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫الَّناُس َه َذ ا اَّدل َّج اُل اِذَّل ى َذ َكَر َر ُس وُل اِهَّلل‬
– ‫ َفُيوَس ُع َظ ْهُر ُه َو َبْط ُنُه ْرَض اًب – َقاَل – َفَيُقوُل َأَو َم ا ُتْؤ ِم ُن ىِب َقاَل َفَيُقوُل َأْنَت اْلَم ِس يُح اْلَك َّذ اُب – َق اَل‬. ‫َو ُّجُشوُه‬
‫َفُيْؤ َم ُر ِبِه َفُيْؤ ُرَش اِب ْلِمْئَش اِر ِم ْن َم ْفِر ِق ِه َح ىَّت ُيَفَّر َق َبَنْي ِر ْج َلْي ِه – َقاَل – َّمُث َيْم ىِش اَّدل َّج اُل َبَنْي اْلِقْط َعَتِنْي َّمُث َيُقوُل ُهَل‬
‫ َفَيْس َتِو ى َقاِئًم ا – َقاَل – َّمُث َيُقوُل ُهَل َأُتْؤ ِم ُن ىِب َفَيُق وُل َم ا اْز َدْدُت ِف يَك َّال َبِص َري ًة – َق اَل – َّمُث َيُق وُل اَي َأَهُّيا‬. ‫ُقْم‬
‫الَّن اُس َّنُه َال َيْف َع ُل َبْع ِد ى ِبَأَح ٍد ِم َن الَّن اِس – َق اَل – َفَيْأُخ ُذ ُه اَّدل َّج اُل ِلَيْذ َحَب ِإُه َفُيْجَع َل َم ا َبَنْي َر َقَبِت ِه ىَل َتْر ُقَو ِت ِه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َحُناًس ا َفَال َيْس َتِط يُع َلْي ِه َس ِبيًال – َقاَل – َفَيْأُخ ُذ ِبَيَد ْيِه َو ِر ْج َلْي ِه َفَيْق ِذ ُف ِب ِه َفَيْح ِس ُب الَّن اُس َأَّنَم ا َقَذ َف ُه ىَل الَّن اِر‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ « َه َذ ا َأْع َظ ُم الَّناِس َش َهاَدًة ِع ْنَد َر ِّب اْلَع اَلِم َني‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫ َفَقاَل َر ُس وُل اِهَّلل‬.» ‫َو َّنَم ا ُأْلِقَى ىِف اْلَجَّنِة‬
“Dajjal muncul lalu seseorang dari kalangan kaum mu`minin menuju ke arahnya lalu bala tentara Dajjal yang ‫ِإ‬
bersenjata menemuinya, mereka bertanya, ‘Kau mau kemana? ‘ Mu`min itu menjawab, ‘Hendak ke orang yang
muncul itu.’ Mereka bertanya, ‘Apa kau tidak beriman ada tuhan kami? ‘ Mu`min itu menjawab: ‘Rabb kami
tidaklah samar.’ Mereka berkata, ‘Bunuh dia.’ Lalu mereka saling berkata satu sama lain, ‘Bukankah tuhan kita
melarang kalian membunuh seorang pun selain dia.’ Mereka membawanya menuju Dajjal. Saat orang mu`min
melihatnya, ia berkata, ‘Wahai sekalian manusia, inilah Dajjal yang disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.’ Lalu Dajjal memerintahkan agar dibelah. Ia berkata, ‘Ambil dan belahlah dia.’ Punggung dan
perutnya dipenuhi pukulan lalu Dajjal bertanya, ‘Apa kau tidak beriman padaku? ‘ Mu`min itu menjawab, ‘Kau
adalah Al Masih pendusta? ‘ Lalu Dajjal memerintahkannya digergaji dari ujung kepala hingga pertengahan
antara kedua kaki. Setelah itu Dajjal berjalan di antara dua potongan tubuh itu lalu berkata, ‘Berdirilah!’ Tubuh
itu pun berdiri. Selanjutnya Dajjal bertanya padanya, ‘Apa kau beriman padaku?’ Ia menjawab, ‘Aku semakin
mengetahuimu.’ Setelah itu Dajjal berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang
dilakukan seperti ini setelahku.’ Lalu Dajjal mengambilnya untuk disembelih, kemudian antara leher dan tulang
selangkanya diberi perak, tapi Dajjal tidak mampu membunuhnya. Kemudian kedua tangan dan kaki orang itu
diambil lalu dilemparkan, orang-orang mengiranya dilempari ke neraka, tapi sesungguhnya ia dilemparkan ke
surga.” Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia adalah manusia yang kesaksiannya
paling agung di sisi Rabb seluruh alam.“(HR. Muslim)

Tempat Keluarnya Dajjal


Dajjal akan muncul dari arah timur dari negeri Persia, disebut Khurasan. Dari Abu Bakr Ash Shiddiq, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اَّدل َّج اُل ْخَي ُر ُج ِم ْن َأْر ٍض اِب ْلَم ِرْش ِق ُيَقاُل َلَها ُخ َر اَس اُن َيْتَبُع ُه َأْقَو اٌم َأَكَّن ُو ُج وَه ُهُم اْلَم َج اُّن اْلُم ْط َر َقُة‬
“Dajjal itu keluar dari bumi sebelah timur yang disebut Khurasan. Dajjal akan diikuti oleh kaum yang wajah mereka
seperti tameng yang dilapisi kulit”. HR. Tirmidzi no. 2337 dan Ibnu Majah no. 4072. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.)
Namun kemunculan Dajjal baru terlihat jelas ketika ia sampai di suatu tempat antara Irak dan Syam. Dalam hadits An
Nawas bin Sam’an yang marfu’ –sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- disebutkan,
‫َّنُه َخ اِر ٌج َخ ًةَّل َبَنْي الَّش ْأِم َو اْلِع َر اِق َفَع اَث َيِم يًنا َو َعاَث َمِش اًال اَي ِع َباَد اِهَّلل َفاْثُبُتوا‬
“Dajjal itu keluar di antara Syam dan Irak. Dia lantas merusak kanan dan kiri. Wahai para hamba Allah, tetap
‫ِإ‬
teguhlah”.(HR. Muslim)
Dajjal akan keluar dari Yahudiyah Ashbahan dan 70.000 orang Yahudi akan menjadi pengikutnya. Dari Anas bin Malik,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ْخَي ُر ُج اَّدل َّج اُل ِم ْن ُهَيوِد َّيِة َأْص َهَباَن َم َع ُه َس ْب ُع وَن َأْلفًا ِم َن اْلُهَيوِد َعَلِهْي ُم الِّتيَج اُن‬
“Dajjal akan keluar dari Yahudiyah Ashbahan dan 70.000 orang Yahudi yang memakai mahkota akan jadi
pengikutnya.”(HR. Ahmad)
Ibnu Katsir berkata bahwa munculnya Dajjal adalah dari Ashbahan dari daerah yang disebut Yahudiyah.

Dajjal Tidak Akan Masuk Makkah dan Madinah


Dajjal akan muncul dari Ashbahan dan akan menelusuri muka bumi. Tidak ada satu negeri pun melainkan Dajjal akan
mampir di tempat tersebut. Yang dikecualikan di sini adalah Makkah dan Madinah karena malaikat akan menjaga dua kota
tersebut. Dajjal tidak akan memasuki kedunya hingga akhir zaman. Dalam hadits Fathimah bin Qois radhiyallahu ‘anha
disebutkan bahwa Dajjal mengatakan,
‫َف َأْخ ُر َج َفَأِس َري ىِف اَألْر ِض َفَال َأَدَع َقْر َي ًة َّال َه َبْط َهُتا ىِف َأْر َبِع َني َلْي ًةَل َغَرْي َم َّك َة َو َط ْي َب َة َفُهَم ا ُم َح َّر َمَت اِن َعَّىَل ْلِكَتاَمُها‬
‫ِإ‬
‫َّلُكَم ا َأَر ْدُت َأْن َأْدُخَل َو اِح َد ًة َأْو َو اِح ًد ا ِم ُهْنَم ا اْس َتْقَبَلىِن َم ٌكَل ِبَي ِدِه الَّس ْي ُف َص ْلًتا َيُص ُّد ىِن َع َهْنا َو َّن َعىَل ِّلُك َنْقٍب‬
‫ِإ‬ ‫ِم َهْنا َم َالِئَكًة ْحَي ُر ُس وَهَنا‬
“Aku akan keluar dan menelusuri muka bumi. Tidaklah aku membiarkan suatu daerah kecuali pasti aku singgahi
dalam masa empat puluh malam selain Makkah dan Thoybah (Madinah Nabawiyyah). Kedua kota tersebut
diharamkan bagiku. Tatkala aku ingin memasuki salah satu dari dua kota tersebut, malaikat menemuiku dan
menghadangku dengan pedangnya yang mengkilap. Dan di setiap jalan bukit ada malaikat yang menjaganya.”(HR.
Muslim)

Dajjal Tidak Akan Memasuki Empat Masjid


Dalam hadits disebutkan tentang Dajjal,
‫َال َيْأىِت َأْر َبَع َة َم َس اِج َد اْلَكْع َبَة َو َم ْس ِج َد الَّر ُس وِل واْلَمْس ِج َد اَألْقىَص َو الُّط وَر‬
“Dajjal tidak akan memasuki empat masjid: masjid Ka’bah (masjidil Haram), masjid Rasul (masjid Nabawi), masjid Al
Aqsho’, dan masjid Ath Thur.”(HR. Ahmad)

Berapa Lama Dajjal di Muka Bumi?


Para sahabat menanyakan pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai berapa lama Dajjal berada di muka bumi.
Mereka berkata,
‫اَي َر ُس وَل اِهَّلل َو َم ا َلْب ُثُه ىِف اَألْر ِض َقاَل « َأْر َبُع وَن َيْو ًم ا َيْو ٌم َكَس َنٍة َو َيْو ٌم َكَش ْهٍر َو َيْو ٌم َكُج ُم َع ٍة َو َس اِئُر َأاَّي ِم ِه َأَكاَّي ِمْمُك‬
‫ ُقْلَنا اَي َر ُس وَل اِهَّلل َفَذ َكِل اْلَيْو ُم اِذَّل ى َكَس َنٍة َأَتْكِفيَنا ِف يِه َص َالُة َيْو ٍم َقاَل « َال اْقُد ُر وا ُهَل َقْد َر ُه‬.»
“Wahai Rasulullah, berapa lama Dajjal berada di muka bumi?” Beliau bersabda, “Selama empat puluh hari, di mana
satu harinya seperti setahun, satu harinya lagi seperti sebulan, satu harinya lagi seperti satu Jum’at (maksudnya: satu
minggu, pen), satu hari lagi seperti hari-hari yang kalian rasakan.” Mereka pun bertanya kembali pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, jika satu hari bisa sama seperti setahun, apakah kami cukup shalat
satu hari saja?” “Tidak. Namun kalian harus mengira-ngira (waktunya)”, jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(HR. Muslim)
Jawaban Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pertanyaan sahabat menunjukkan bahwa ketika Dajjal muncul hari
akan terasa begitu panjang, sampai terasa setahun atau sebulan atau seminggu. Dan ini bukanlah majaz, tetapi hakiki.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai memperkirakan waktu shalat di atas, “Jika setelah fajar berlalu waktu
yang masanya sama seperti waktu antara shubuh dan zhuhur seperti hari biasa, maka shalatlah zhuhur. Jika berlalu waktu
yang masanya seperti antara zhuhur dan ashar, maka shalatlah ashar. Jika berlalu waktu yang masanya seperti antara ashar
dan maghrib, maka shalatlah maghrib. Demikian yang dilakukan untuk shalat ‘isya dan shubuh, kemudian zhuhur, ‘ashar
dan maghrib diperlakukan demikian sampai berlalu waktu yang terasa setahun (sebulan atau seminggu tadi).”

Pengikut Dajjal
Pengikut Dajjal adalah dari Yahudi, non Arab dan bangsa Turk. Yang menjadi pengikutnya pula beraneka ragam, ada juga
orang Arab dan wanita.
Beberapa riwayat yang membuktikan hal ini.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َيْتَبُع اَّدل َّج اَل ِم ْن ُهَيوِد َأْص َهَباَن َس ْب ُع وَن َأْلًفا َعَلِهْي ُم الَّط َياِلَس ُة‬
“Yang mengikuti Dajjal adalah orang Yahudi dari Ashbahan (Iran) dan jumlahnya ada 70.000 orang dan mereka
memakai thilsan (yang menutup pundak dan badan)” (HR. Muslim no. 2944).
Di kalangan orang Yahudi, Dajjal dikenal dengan Al Masih bin Dawud (Lihat Al Yaumul Akhir-Al Qiyamatush Shugro,
244).
Syaikh Salim bin I’ed Al Hilali berkata, “Mengapa Nabi menyebutkan Yahudi Ashbahan (Iran) secara khusus?! Jawabnya,
karena hubungan yang amat erat antara Yahudi dengan Syi’ah. Sejarah mencatat bahwa kaum Syi’ah sepanjang masa
selalu membantu kaum Yahudi untuk menghancurkan kaum muslimin, tidak seperti yang sering digambarkan oleh media-
media penyesat sekarang yang menggambarkan bahwa kaum Syi’ah mengusir Yahudi dan memerdekakan negeri dari
Yahudi. Demi Allah, semua itulah politik dan kedustaan”. (Kaset Syarh Ushul Sunnah Ahmad bin Hanbal no. 9)
Dalam hadits Abu Bakr Ash Shiddiq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اَّدل َّج اُل ْخَي ُر ُج ِم ْن َأْر ٍض اِب ْلَم ِرْش ِق ُيَقاُل َلَها ُخ َر اَس اُن َيْتَبُع ُه َأْقَو اٌم َأَكَّن ُو ُج وَه ُهُم اْلَم َج اُّن اْلُم ْط َر َقُة‬
“Dajjal itu keluar dari bumi sebelah barat yang disebut Khurasan. Dajjal akan diikuti oleh kaum yang wajah mereka
seperti tameng yang dilapisi kulit”. Kata Ibnu Katsir, “Nampaknya –wallahu a’lam- mereka adalah bangsa Turk yang
menjadi penolong Dajjal nantinya.” (An Nihayah Al Fitan wal Malahim, 1: 117).
Yang menunjukkan pula bahwa pengikut Dajjal adalah orang non Arab, dapat dilihat dari dua riwayat berikut.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫لَا َتُقوُم الَّس اَعُة َح ىَّت ُيَقاِتَل اْلُمْس ِلُم وَن الْرُّت َك َقْو ًم ا ُو ُج وُه ُهْم اَك ْلَم َج اِّن اْلُم ْط َر َقِة َيْلَبُس وَن الَّش َع َر َو َيْم ُش وَن ىِف الَّش َع ِر‬
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kaum muslimin memerangi bangsa Turk, yaitu kaum di mana wajah-wajah
mereka seperti tameng yang dilapisi kulit, mereka memakai (pakaian) yang terbuat dari bulu dan berjalan (dengan
sandal) yang terbuat dari bulu” (HR. Muslim no. 2912).
Dalam riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ ُذ ْل َف اُألُنوِف‬، ‫ ْمُح َر اْلُو ُج وِه‬، ‫ ِص َغاَر اَألْعِنُي‬، ‫ َو َح ىَّت ُتَق اِتُلوا الْرُّت َك‬، ‫َال َتُقوُم الَّس اَعُة َح ىَّت ُتَقاِتُلوا َقْو ًم ا ِنَع اُلُهُم الَّش َع ُر‬
‫َأَكَّن ُو ُج وَه ُهُم اْلَم َج اُّن اْلُم ْط َر َقُة‬
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kalian memerangi satu kaum yang sandal-sandal mereka terbuat dari bulu,
dan kalian memerangi bangsa Turk yang bermata sipit, berwajah merah, hidungnya pesek, wajah-wajah mereka seperti
tameng yang dilapisi kulit” (HR. Bukhari no. 3587).
Namun pengikut Dajjal juga ada yang berasal dari bangsa Arab karena kebodohan yang menimpa mereka. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Umamah yang cukup panjang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َفَيَتَم َّث ُل ُهَل َش ْي َط ااَن ِن ىِف‬. ‫َو َّن ِم ْن ِف ْتَنِتِه َأْن َيُقوَل َألْع َر اٍّىِب َأَر َأْيَت ْن َبَع ْثُت َكَل َأاَب َك َو ُأَّم َك َأَتْش َهُد َأىِّن َر ُّبَك َفَيُقوُل َنَع ْم‬
‫ُص ِإ وَر ِة َأِبيِه َو ُأِّم ِه َفَيُقوَالِن اَي ُبَّىَن اَّتِب ْع ُه َف َّنِإُه َر ُّبَك‬
“Di antara fitnah Dajjal adalah, ia akan berkata pada orang Arab, “Bagaimana menurutmu jika aku membangkitkan
‫ِإ‬
ayah dan ibumu, lalu engkau bersaksi bahwa aku adalah Rabbmu, apakah engkau mau?” “Iya, mau”, jawab orang
Arab tersebut. Lalu dua setan menyerupai bentuk ayah dan ibunya lantas keduanya berkata, “Wahai anakku, ikutilah
dia (yaitu Dajjal), karena dia adalah Rabbmu”. (HR. Ibnu Majah no. 4077. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani
sebagaimana dalam Shahih Al Jami’ no. 7875 ).
Adapun wanita, keadaan mereka lebih parah dari orang Arab yang dikisahkan di atas karena mereka cepat terpengaruh dan
ketidak tahuan yang menimpa mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َيِزْن ُل اَّدل َّج اُل ىِف َه ِذِه الَّس َبَخ ِة ِبَم ِّر َقَناَة َفَيُك وُن َأْكَرَث َمْن ْخَي ُر ُج َلْي ِه الِّنَس اُء َح ىَّت َّن الَّر ُج َل ِلْرَي ِج ُع ىَل ِمَح ِميِه َو ىَل ُأِّم ِه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫َو اْبَنِتِه َو ُأْخ ِتِه َو َّمَعِتِه َفُيوِثُقَها ِر اَب طًا َم َخاَفَة َأْن ْخَت ُر َج َلْي ِه‬
“Dajjal akan turun ke Mirqonah (nama sebuah lembah) dan mayoritas pengikutnya adalah kaum wanita, sampai-
‫ِإ‬
sampai ada seorang yang pergi ke isterinya, ibunya, putrinya, saudarinya dan bibinya kemudian mengikatnya karena
khawatir keluar menuju Dajjal”. (HR. Ahmad 2: 67. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Ditambahkan lagi yang menjadi pengikut Dajjal adalah kelompok Khawarij. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut
ini,
‫ َّلُكَم ا َخ َر َج َفْر ٌق ُقِط َع َح ىَّت ْخَي ُر َج ْيِف َأْع َر اِض ِهْم اَّدل َّج اُل‬, ‫َيْنَش ُأ َنْش ٌأ َيْقَر ُأْو َن اْلُقْر آَن َال َجُياِوُز َتَر اِق ِهْي ْم‬
“Akan muncul suatu kelompok yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak sampai pada tenggorokan mereka. Setiap kali
muncul, mereka dibasmi habis hingga keluar pada pasukan besar mereka Dajjal.” (HR. Ibnu Majah 174 dan
dihasankan al-Albani dalam Ash-Shahihah 2455)

Agar Terhindar dari Fitnah Dajjal


Pertama: Berpegang teguh dengan ajaran Islam
Modal utama untuk menghadapi fitnah Dajjal adalah dengan mengenal ajaran Islam dengan benar, terutama lebih
mendalami nama dan sifat Allah. Karena dengan mengetahui hal ini, seseorang pasti tidak akan tertipu dengan tipu
muslihat Dajjal. Dajjal itu manusia biasa yang butuh makan dan minum, sedangkan Allah tidak demikian. Dajjal itu buta,
sedangkan Allah tidak. Tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah di dunia sampai ia mati. Adapun Dajjal bisa dilihat
oleh manusia baik yang mukmin maupun yang kafir. Oleh karena itu, ini merupakan isyarat akan pentingnya iman, apalagi
dengan mengenal serta memahami nama dan sifat Allah. Mengenai hal ini, kita dapat melihat pada kisah yang disebutkan
dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri berikut ini:
“Dajjal muncul lalu seseorang dari kalangan kaum mu`minin menuju ke arahnya lalu bala tentara Dajjal yang bersenjata
menemuinya, mereka bertanya, ‘Kau mau kemana? ‘ Mu`min itu menjawab, ‘Hendak ke orang yang muncul itu.’ Mereka
bertanya, ‘Apa kau tidak beriman ada tuhan kami? ‘ Mu`min itu menjawab: ‘Rabb kami tidaklah samar.’ Mereka berkata,
‘Bunuh dia.’ Lalu mereka saling berkata satu sama lain, ‘Bukankah tuhan kita melarang kalian membunuh seorang pun
selain dia.’ Mereka membawanya menuju Dajjal. Saat orang mu`min melihatnya, ia berkata, ‘Wahai sekalian manusia,
inilah Dajjal yang disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu Dajjal memerintahkan agar dibelah. Ia
berkata, ‘Ambil dan belahlah dia.’ Punggung dan perutnya dipenuhi pukulan lalu Dajjal bertanya, ‘Apa kau tidak beriman
padaku? ‘ Mu`min itu menjawab, ‘Kau adalah Al Masih pendusta? ‘ Lalu Dajjal memerintahkannya digergaji dari ujung
kepala hingga pertengahan antara kedua kaki. Setelah itu Dajjal berjalan di antara dua potongan tubuh itu lalu berkata,
‘Berdirilah!’ Tubuh itu pun berdiri. Selanjutnya Dajjal bertanya padanya, ‘Apa kau beriman padaku?’ Ia menjawab, ‘Aku
semakin mengetahuimu.’ Setelah itu Dajjal berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang
dilakukan seperti ini setelahku.’ Lalu Dajjal mengambilnya untuk disembelih, kemudian antara leher dan tulang
selangkanya diberi perak, tapi Dajjal tidak mampu membunuhnya. Kemudian kedua tangan dan kaki orang itu diambil lalu
dilemparkan, orang-orang mengiranya dilempari ke neraka, tapi sesungguhnya ia dilemparkan ke surga.” Setelah itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia adalah manusia yang kesaksiannya paling agung di sisi Rabb
seluruh alam” (HR. Muslim no. 2938).
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang mau belajar Islam lebih dalam serta memperkokoh iman kita.

Kedua: Berlindung pada Allah dari fitnah Dajjal, terkhusus dalam shalat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َذ ا َتَش َّهَد َأَح ُد ْمُك َفْلَيْس َتِع ْذ اِب ِهَّلل ِم ْن َأْر َبٍع َيُقوُل الَّلُهَّم ىِّن َأُعوُذ ِب َك ِم ْن َعَذ اِب َهَج َمَّن َو ِم ْن َعَذ اِب اْلَقِرْب َو ِم ْن ِف ْتَن ِة اْلَم ْح َي ا‬
‫ِإ‬ ‫ِإَو اْلَمَم اِت َو ِم ْن ِّرَش ِف ْتَنِة اْلَم ِس يِح اَّدل َّج اِل‬
“Jika salah seorang di antara kalian melakukan tasyahud, mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara: Ya
Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati, dan dari
kejelekan fitnah Al Masih Ad Dajjal” (HR. Muslim no. 588).

Ketiga: Menghafal surat Al Kahfi


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk membaca awal-awal surat Al Kahfi agar terlindung dari
fitnah Dajjal. Dalam riwayat lain disebutkan akhir-akhir surat Al Kahfi yang dibaca. Intinya, surat Al Kahfi yang dibaca
bisa awal atau akhir surat. Dan yang lebih sempurna adalah menghafal seluruh ayat dari surat tersebut.
Dari Abu Darda’, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َح ِفَظ َع َرْش آاَي ٍت ِم ْن َأَّو ِل ُس وَر ِة اْلَكْهِف ُع ِص َم ِم َن اَّدل َّج اِل‬
“Barangsiapa menghafal sepuluh ayat pertama dari surat Al Kahfi, maka ia akan terlindungi dari (fitnah) Dajjal” (HR.
Muslim no. 809).
Dari An Nawas bin Sam’an, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َفَم ْن َأْد َر َكُه ِم ْنْمُك َفْلَيْقَر ْأ َعَلْي ِه َفَو اِتَح ُس وَر ِة اْلَكْهِف‬
“Barangsiapa di antara kalian mendapati zamannya Dajjal, bacalah awal-awal surat Al Kahfi” (HR. Muslim no. 2937).
Dari Abu Darda’, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َق اَل َحَّج اٌج « َمْن َق َر َأ اْلَعَرْش اَألَو اِخ َر ِم ْن ُس وَر ِة‬.» ‫َمْن َق َر َأ َع َرْش آاَي ٍت ِم ْن آِخ ِر اْلَكْه ِف ُع ِص َم ِم ْن ِف ْتَن ِة اَّدل َّج اِل‬
» ‫الَكْهِف‬
“Barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Al Kahfi, maka ia akan terlindungi dari fitnah Dajjal.” Hajjaj
berkata, “Barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Al Kahfi” (HR. Ahmad 6: 446. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih, perowinya tsiqoh termasuk dalam periwayat shahihain –Bukhari
dan Muslim- selain Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mari yang termasuk perowi Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “(Kenapa yang dianjurkan untuk dibaca adalah surat Al Kahfi?) Karena di awal surat
tersebut terdapat ayat-ayat yang menakjubkan. Siapa yang mau merenungkannya, niscaya ia akan terlindungi dari fitnah
Dajjal. Sebagaimana pula dalam akhir-akhir ayat surat tersebut, Allah Ta’ala berfirman,
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil (hamba-hamba-Ku menjadi penolong
selain Aku?)” (QS. Al Kahfi: 102)” (Syarh Shahih Muslim, 6: 93).
Dan di antara waktu yang baik untuk membaca surat Al Kahfi adalah di hari Jum’at. Dalam hadits dari Abu Sa’id Al
Khudri disebutkan,
‫َمْن َقَر َأ ُس وَر َة اْلَكْهِف َلْي َةَل اْلُج ُم َع ِة َأَض اَء ُهَل ِم َن الُّنوِر ِف َميا َبْيَنُه َو َبَنْي اْلَبْيِت اْلَع ِتيِق‬
“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah”
(HR. Ad Darimi 2: 546. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Shohihul Jami’
no. 6471).
Juga dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن َقَر َأ ُس وَر َة اْلَكْهِف ىِف َيْو ِم اْلُج ُم َع ِة َأَض اَء ُهَل ِم َن الُّنوِر َم ا َبَنْي اْلُج ُم َعَتِنْي‬
“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua Jum’at” (HR. Al
Baihaqi dalam Al Kubro 3: 249. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam
Shohihul Jami’ no. 6470).
Di dalam surat Al Kahfi sungguh banyak kisah-kisah yang dapat dijadikan ibroh, mulai dari kisah penghuni goa, kisah
Musa dan Khidr, dan kisah Dzulqornain, juga terdapat penetapan hari kebangkitan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
surat ini dibaca, lebih baik lagi dihafalkan. Khususnya yang terbaik untuk membacanya adalah di hari Jum’at, hari terbaik
matahari terbit.

Keempat: Menjauh dari Dajjal


Karena bisa jadi seseorang menyangka bahwa ia memiliki iman yang kokoh, namun ia terperangkap syubhat Dajjal.
Akhirnya ia pun menjadi pengikut setianya. Wal ‘iyadzu billah.
Dari ‘Imron bin Hushain, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َمْن ِمَس َع اِب َّدل َّج اِل َفْلَيْنَأ َع ْنُه َفَو اِهَّلل َّن الَّر ُج َل َلَيْأِتيِه َو ْه َو ْحَي ِس ُب َأَّنُه ُم ْؤ ِم ٌن َفَيَّتِب ُع ُه ِم َّم ا ُيْب َع ُث ِب ِه ِم َن الُّش َهُباِت َأْو ِلَم ا‬
‫ِإ‬ ‫ُيْب َع ُث ِبِه ِم َن الُّش َهُباِت‬
“Barangsiapa mendengar kemunculan Dajjal, maka menjauhlah darinya. Demi Allah, ada seseorang yang mendatangi
Dajjal dan ia mengira bahwa ia punya iman (yang kokoh), malah ia yang menjadi pengikut Dajjal karena ia terkena
syubhatnya ketika Dajjal itu muncul” (HR. Abu Daud no. 4319 dan Ahmad 4: 441. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih).

Kematian Dajjal
Dan kala turunnya Isa, kaum muslimin pun telah bersiap untuk memerangi Dajjal. Saat itu, shalat masih ditegakkan. ‘Isa
bin Maryam pun shalat di belakang orang sholeh kaum muslimin. Ketika Dajjal mengetahui turunnya Isa, ia akan melarikan
diri. Lantas Isa menjumpai Dajjal di Baitul Maqdis dan kaum muslimin pun mengepungnya.
‘Isa ‘alaihis salam lantas memerintahkan untuk membuka pintu. Kaum muslimin melaksankannya, dan ternyata di balik
pintu tersebut terdapat Dajjal, lantas ia pun berlari. Nabi Isa ‘alaihis salam pun bertemu dengannya di Bab Lud di timur,
lalu beliau menumpas Dajjal dan pengikutnya dari orang-orang Yahudi.
Mengenai kisah pembunuhan Dajjal oleh Nabi Isa diterangkan di antaranya dalam dua hadits berikut.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َفَيْب َع ُث اُهَّلل ِعيىَس اْبَن َم ْر َمَي َأَكَّنُه ُع ْر َو ُة ْبُن َم ْس ُع وٍد َفَيْط ُلُبُه َفْهُيِلُكُه َّمُث َيْم ُكُث الَّناُس َس ْب َع ِس ِنَني َلْيَس َبَنْي اْثَنِنْي َعَد اَو ٌة‬
‫َّمُث ُيْر ِس ُل اُهَّلل ِر ًحيا اَب ِر َدًة ِم ْن ِق َب ِل الَّش ْأِم َفَال َيْب َقى َعىَل َو ْج ِه اَألْر ِض َأَح ٌد ىِف َقْلِب ِه ِم ْثَق اُل َذ َّر ٍة ِم ْن َخ ٍرْي َأْو َمياٍن َّال‬
‫ِإ ِإ‬
‫َقَبَض ْتُه‬
“Lalu Allah mengutus Isa bin Maryam seperti Urwah bin Mas’ud, ia mencari Dajjal dan membunuhnya. Setelah itu
selama tujuh tahun, manusia tinggal dan tidak ada permusuhan di antara dua orang pun. Kemudian Allah mengirim
angin sejuk dari arah Syam lalu tidak tersisa seorang yang dihatinya ada kebaikan atau keimanan seberat biji sawi pun
yang tersisa kecuali mencabut nyawanya” (HR. Muslim no. 2940)
Dalam riwayat Ahmad, dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ْن ْخَي ُر ِج اَّدل َّج اُل َو َأاَن ٌّىَح َكَفْيُتُمُكوُه َو ْن ْخَي ُر ِج اَّدل َّج اُل َبْع ِد ى َف َّن َر َّبْمُك َع َّز َو َج َّل َلْيَس ِب َأْع َو َر َّن ُه ْخَي ُر ُج ىِف ُهَيوِد َّي ِة‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َأْص َهَباَن َح ىَّت َيْأَىِت اْلَم ِد يَنَة َفَيِزْن َل اَن ِح َي ِإَهَتا َو َلَه ا َيْو َم ِئ ٍذ َس ْب َع ُة َأْب َو اٍبِإ َعىَل ِّلُك َنْقٍب ِم َهْنا َم َلاَك ِن َفَيْخ ُر َج َلْي ِه َرِش اُر َأْه ِلَه ا‬
‫ِإ‬
‫َح ىَّت الَّش اِم َم ِد يَنٍة ِبِفَلْس ِط َني ِبَباِب ٍّدُل – َو َقاَل َأُبو َد اُو َد َم َّر ًة َح ىَّت َي ْأَىِت ِفَلْس ِط َني اَب َب ٍّدُل – َفَيِزْن َل ِعيىَس َعَلْي ِه الَّس َالُم‬
‫َفَيْقُتُهَل َّمُث َيْم ُكَث ِعيىَس َعَلْي ِه الَّس َالُم ىِف اَألْر ِض َأْر َبِع َني َس َنًة َم امًا َعْد ًال َو َح َكًام ُم ْقِس طًا‬
‫ِإ‬
“Jika Dajjal telah keluar dan saya masih hidup maka saya akan membela (menjaga) kalian, namun Dajjal keluar
sesudahku. Sesungguhnya Rabb kalian ‘azza wajalla tidaklah buta sebelah (bermata satu) dan Dajjal akan keluar di
Yahudi Ashbahan hingga ia datang ke Madinah dan turun di tepinya yang mana Madinah pada waktu itu memiliki
tujuh pintu. Pada setiap pintu terdapat malaikat yang menjaga, lalu akan keluar (menuju) kepada Dajjal sejelek-jelek
penduduk madinah darinya hingga ke Syam tepat di kota palestina di pintu Lud.” Sesekali Abu Daud berkata, “Hingga
Dajjal datang (tiba) di Palestina di pintu Lud, lalu Isa ‘alaihis salam turun dan membunuhnya, kemudian Isa ‘alaihis
salam tinggal di bumi selama empat puluh tahun dan menjadi imam yang adil dan hakim yang adil .” (HR. Ahmad, 6:
75. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya hasan)
ORANG MUKMIN AKAN MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT
Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman
kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan melihat matahari yang
bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan.
Demikian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah Al Wasithiyah. Dan ini
merupakan kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhum. Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah
Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh
para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para
ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Mengapa demikian? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di Saudi Arabia, menjelaskan :
“Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan hal tersebut dalam KitabNya ; Al Qur’an Al Karim. Begitu pula
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memberitakannya dalam Sunnahnya. Barangsiapa yang tidak mengimani
kejadian ini, berarti ia mendustakan Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman kepada Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada segala yang diberitakannya”.
Dalil-dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al
Wasithiyah

DALIL DARI AL QUR’AN AL KARIM


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.. [Al Qiyamah : 22-
23].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan maksudnya, yaitu mereka melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya yang akan diketengahkan di bawah nanti –Insya
Allah-.
Imam Ibnu Abi Al Izz rahimahullah mengatakan: “Ayat di atas termasuk salah satu dalil yang paling nyata”. Selanjutnya,
setelah beliau mengemukakan akibat rusaknya tahrif (ta’wil), beliau mengatakan: “Dihubungkannya kata-kata nazhar
(nazhirah, memandang) dengan wajah (wujuh) yang merupakan letak pandangan. Ditambah dengan idiom “ilaa” yang
secara tegas menunjukkan pandangan mata, disamping tidak adanya qarinah yang menunjukkan makna lain, maka jelas
dengan ayat itu, Allah memaksudkannya sebagai pandangan mata yang ada di wajah manusia, memandang Allah Azza wa
Jalla“
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. [Al Muthaffifin : 35].
Ibnu Katsir rahimahullah kembali menjelaskan arti memandang, yakni mereka melihat Allah Azza wa Jalla.
Selanjutnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. [Yunus:26].
Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: ziyadah (tambahan dari pahala yang terbaik) dalam ayat di atas, maksudnya ialah
melihat Wajah Allah, sebagaimana tafsir yang dikemukakan oleh Rasulullah n tentangnya, sebagaimana diriwayatkan
dalam Shahih Muslim (haditsnya akan di ketengahkan di bawah, Insya Allah, Pen). Para Ulama Salaf juga menegaskan
tafsir yang demikian itu.
Berikutnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami adalah tambahannya. [Qaf :
35]
Syaikh Shalih Al Fauzan juga menjelaskan makna tambahan pada ayat di atas, artinya ialah melihat Wajah Allah Azza wa
Jalla. Begitu juga Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: Ayat ini, seperti firman Allah
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. [Yunus:26].
Yaitu seperti dalam riwayat Muslim dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi, bahwa maksud ayat tersebut adalah melihat Wajah
Allah Yang Mulia.
Demikianlah beberapa dalil dari Al Qur’an yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al
Aqidah Al Wasithiyah tentang melihatnya kaum mu’minin pada wajah Allah.
Sementara itu, berkaitan dengan mafhum dari firman Allah:
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka. [Al
Muthaffifin:15].
Imam Syafi’i rahimahullah, seperti dinukil oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menegaskan : “Dalam ayat ini
terdapat dalil, bahwa kaum mu’minin akan melihat Rabb-nya pada hari (akhirat) itu”.
Di tempat lain (yaitu pada tafsir surat Al Qiyamah ayat 22-23), Ibnu Katsir menukil perkataan Imam Syafi’i lainnya
berkenaan dengan surat Al Muthaffifin ayat 15. Yaitu: “Orang kafir tidak tertutup pandangannya dari melihat Allah, kecuali
karena sudah difahami bahwa orang-orang abrar (kaum mu’minin) akan melihat Allah Azza wa Jalla.”

DALIL-DALIL DARI HADITS NABI SHALALLLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM


Sebenarnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dan lain lain, hadits yang menyatakan bahwa kaum mu’minin akan
melihat Allah di akhirat secara nyata dan dengan mata kepala mereka, adalah merupakan hadits mutawatir. Bahkan Ibnu
Katsir menyatakan, bahwa kenyataan ini tidak mungkin dapat ditolak. Hanya saja, disini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mencukupkan pemaparan satu hadits saja. Yaitu hadits yang muttafaq ‘alaih.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ َفِإ ِن ْا سَتَط ْع ْمُت َأْن َال ُتْغَلُبْو ا َعىَل َص َالٍة َقْبَل ُط ُلْو ِع‬، ‫ِإ َّنْمُك َس َرَت ْو َن َر َّبْمُك اَمَك َتَر ْو َن َه َذ ا اْلَقَمَر َال َتَض اُّم ْو َن يِف ُر ْؤ َيِتِه‬
‫الَّش ْم ِس َو َص َالٍة َقْبَل ُغُر ْو َهِبا َفاْفَع ُلْو ا‬
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini (dalam permulaan hadits,
diceritakan; waktu itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melihat bulan yang tengah purnama). Kalian tidak
berdesak-desakan ketika melihat-Nya (ada yang membaca la tudhamuna tanpa tasydid dan di dhammah ta’nya,
artinya: kalian tidak akan ditimpa kesulitan dalam melihatNya). Oleh karena itu, jika kalian mampu, untuk tidak
mengabaikan shalat sebelum terbit matahari (Subuh) dan shalat sebelum terbenam matahari (Ashar), maka
kerjakanlah. (HR. Bukhari & Muslim)
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menerangkan makna hadits di atas, (yaitu) kalian akan melihat Allah semata-mata
dengan pandangan mata kepala kalian. Dan hadits-hadits tentang ini adalah mutawatir.
Begitu pula Imam Ibnu Hajar Al Asqalani serta Imam Nawawi, dalam mensyarah hadits-hadits yang dipaparkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim menegaskan secara jelas, bahwa kaum mu’minin di akhirat kelak akan melihat Allah semata-
mata dengan pandangan mata. Bahkan dalam menafsirkan hadits:

‫َأَم ا ِإ َّنْمُك َس ُتْع َر ُض ْو َن َعىَل َر ِّبْمُك َفَرَت ْو َن َر َّبْمُك اَمَك َتَر ْو َن َه َذ ا اْلَقَمَر‬
Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian
sebagaimana kalian melihat bulan ini. [HR Muslim].
Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan
tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam
melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan . Di samping hadits
muttafaq ‘alaih yang berasal dari hadits Jarir bin Abdillah serta hadits riwayat Muslim di atas, masih banyak hadits lainnya,
antara lain:
Sabda Rasulullah n yang juga berasal dari Jarir bin Abdillah:
‫إ َّنْمُك َس َرَت ْو َن َر َّبْمُك ِع َيااًن‬
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan semata-mata. [HR Bukhari].
Diantaranya lagi hadits dari Shuhaib bin Sinan, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

‫ َأَلْم ُتَبِّيْض ُو ُج ْو َه َنا؟ َأَلْم‬: ‫ ُتِر ْيُد ْو َن َش ْيًئا َأِز ْيُد ْمُك؟ َفَيُقوُلْو َن‬: ‫ َيُقْو ُل ُهللا َتَباَر َك َو َتَع اىَل‬: ‫ َقاَل‬، ‫ِإ َذ ا َدَخ َل َأْه ُل اْلَجَّنِة اْلَج َّنَة‬
‫ َفُيْك َش ُف اْلِح َج اُب َفَم ا ُأْع ُط ْو ا َش ْيًئا َأَحَّب َلِهْي ْم ِم َن الَّنَظ ِر ىَل َر ِهِّب ْم َع َّز َو َج َّل‬: ‫ ُتْد ِخ ْلَنا اْلَج َّنَة َو ُتَنِّج َنا ِم َن الَّناِر ؟ َقاَل‬.
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,”Apakah kalian menginginkan
sesuatu yang dapat Aku tambahkan?” Mereka menjawab,”Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami
putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?”
Nabi bersabda,”Maka disingkapkanlah tabir penutup, sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih
mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.”
Dalam riwayat lain dari riwayat Abu Bakar bin Abi Syaibah, ada tambahan riwayat : Kemudian Rasulullah membacakan
ayat :
‫ِلِذَّل يَن َأْح َس ُنوا اْلُح ْس ىَن َو ِز اَي َد ٌة‬
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Lihat Shahih Muslim Syarah
Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, III/19-20, hadits no. 448 & 449, Bab Itsbat Ru’yatil Mu’minin Fil Akhirah
Rabbahum Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu juga Shahih Sunan Tirmidzi, kitab Shifatil Jannah, Bab Ma Ja’a fi Ru’yatir
Rabbi Tabaraka Wa Ta’ala, jilid III, no. 2552 dan Shahih Ibnu Majah, I, no. 155/186, hml. 80
Jadi hadits tersebut jelas menunjukkan, bahwa maksud ziyadah (tambahan) pada ayat di atas ialah melihat Allah Azza wa
Jalla, seperti telah dipaparkan di muka.
Juga hadits Abu Hurairah berikut:
‫ َه ْل ُتَض اُّر ْو َن ىِف‬:‫ َه ْل َنَر ى َر َّبَنا َيْو َم اْلِقَياَم ِة ؟ َفَقاَل َر ُس ْو ُل ِهللا صىل هللا عليه وسمل‬، ‫ اَي َر ُس ْو َل ِهللا‬:‫َأن الَّناَس َقاُلْو ا‬
‫ َال اَي َر ُس ْو َل‬:‫ َفَهْل ُتَض اُّر ْو َن ىِف الَّش ْم ِس َلْيَس ُد ْو َهَنا َحَساٌب ؟ َقاُلْو ا‬: ‫ َقاَل‬. ‫ َال اَي َر ُس ْو َل ِهللا‬:‫اْلَقَم ِر َلِي َةَل اْلَبْد ِر ؟ َقاُلْو ا‬
‫ َف َّنْمُك َتَر ْو َنُه َكَذ َكِل …احلديث‬: ‫ َقاَل‬. ‫ِهللا‬.
Sesungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami akan melihat Rabb kami pada
‫ِإ‬
hari kiamat nanti?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya,”Apakah kalian akan mengalami bahaya
(karena berdesak-desakan) ketika melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai
Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan mengalami bahaya (karena
berdesak-desakan) ketika melihat matahari yang tanpa diliputi oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai
Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,”Sesungguhnya, begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”…sampai
akhir hadits. (HR. Bukhari)
Demikianlah sebagian kecil hadits shahih diantara sekian banyak hadits shahih lainnya, yang semuanya menyatakan bahwa
kaum mu’minin kelak akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat. Sebelumnya, beberapa ayat Al Qur’anpun
telah dipaparkan untuk membuktikan hal itu. Sungguh suatu nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada kaum
mu’minin, sebagai tambahan nikmat kepada mereka.
Sebenarnya, masih banyak hadits-hadits lainnya, baik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim di beberapa
tempat dalam kitab shahih masing-masing, maupun yang diriwayatkan oleh imam-imam lain, seperti Imam Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ahmad dan lain-lain. Namun di sini cukuplah kiranya pemaparan beberapa dalil di atas.
Intinya, para ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tentang melihatnya kaum mu’minin kepada Allah pada hari kiamat
mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, wajib bagi setiap insan yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya serta
rasul-rasulNya, untuk mengimani masalah ini. Barangsiapa tidak mengimaninya, sama artinya dengan mendustakan Allah,
kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan pada permulaan
tulisan ini.
Melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan dambaan setiap insan yang benar-benar beriman dan cinta
kepadaNya. Ternyata kelak akan menjadi kenyataan. Bukankah itu merupakan nikmat luar biasa?.Nas’alullah Al Jannah
wan nazhar ila wajhihi Al Karim.

PENYAKIT SYUBHAT DAN SYAHWAT


Syaithan merupakan musuh nyata manusia. Dia selalu berusaha menjerumuskan manusia kedalam jurang
kekafiran, kesesatan dan kemaksiatan. Di dalam menjalankan aksinya itu syaithan memiliki dua senjata ampuh yang telah
banyak makan korban. Dua senjata itu adalah syubhat dan syahwat. Dua penyakit yang menyerang hati manusia dan
merusakkan perilakunya.
Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan
ilmu dan keyakinannya. Sehingga jadilah “perkara ma’ruf menjadi samar dengan kemungkaran, maka orang tersebut tidak
mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. Bahkan kemungkinan penyakit ini menguasainya sampai dia
menyakini yang ma’ruf sebagai kemungkaran, yang mungkar sebagai yang ma’ruf, yang sunnah sebagai bid’ah, yang
bid’ah sebagai sunnah, al-haq sebagai kebatilan, dan yang batil sebagai al-haq”. [Tazkiyatun Nufus, hal: 31, DR. Ahmad
Farid]
Penyakit syubhat ini misalnya: keraguan, kemunafikan, bid’ah, kekafiran, dan kesesatan lainnya.
Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat)
adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Fitnah syahwat ini akan
menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini.
Penyakit syahwat ini misalnya: rakus terhadap harta, tamak terhadap kekuasaan, ingin populer, mencari pujian, suka
perkara-perkara keji, zina, dan berbagai kemaksiatan lainnya.

KEKHAWATIRAN RASULULLAH TERHADAP PENYAKIT SYUBHAT DAN SYAHWAT


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan fitnah (kesesatan) syahwat dan fitnah syubhat terhadap
umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َّن ِم َّم ا َأْخىَش َعَلْي ْمُك َش َهَو اِت اْلَغِّي يِف ُبُط وِنْمُك َو ُفُر وِج ْمُك َو ُم ِض اَّل ِت اْلِفِنَت‬
Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada
‫ِإ‬
kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. [HR. Ahmad dari Abu Barzah Al-Aslami. Dishahihkan oleh
Syaikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah, hal: 21]
Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah
fitnah syubhat. Kedua fitnah ini sesungguhnya juga telah menimpa orang-orang zaman dahulu dan telah membinasakan
mereka. Allah berfirman.
(Keadaan kamu hai orang-oang munafik dan musyirikin adalah) seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka
lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah
menikmati bagian mereka, dan kamu telah nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati
bagian mereka, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu,
amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi. [At Taibah :69]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Allah menggabungkan antara “menikmati bagian” dengan
“mempercakapkan (hal yang batil)”, karena kerusakan agama itu kemungkinan:
a. Terjadi pada keyakinan yang batil dan mempercakapkannya (hal yang batil)
b. Atau terjadi pada amalan yang menyelisihi i’tiqad yang haq.
Yang pertama adalah bid’ah-bid’ah dan semacamnya. Yang kedua adalah amalan-amalan yang fasiq. Yang pertama dari
sisi syubhat-syubhat. Yang kedua dari sisi syahwat-syahwat.
Oleh karena itulah Salafush Shalih dahulu menyatakan: “Waspadalah kamu dari dua jenis manusia: Pengikut hawa-nafsu
yang telah disesatkan oleh hawa-nafsunya (inilah fitnah syubhat-pen), pemburu dunia yang telah dibutakan oleh dunianya
(ini fitnah syahwat-pen)”.
Mereka juga menyatakan: “Waspadailah kesesatan orang ‘alim (ahli ilmu) yang durhaka (karena terkena fitnah syahwat-
pen), dan kesesatan ‘abid (ahli ibadah) yang bodoh (karena terkena fitnah syubhat-pen), karena kesesatan keduanya itu
merupakan kesesatan tiap-tiap orang yang tersesat.”
Maka yang itu (orang ‘alim yang durhaka) menyerupai (orang-orang Yahudi) yang dimurkai, orang-orang yang mengetahui
al-haq, tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan yang ini (‘abid yang bodoh) menyerupai (orang-orang Nashara) yang sesat,
orang-orang yang beramal tanpa ilmu.” [Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55, tahqiq Syaikh Khalid Abdul Lathif As-Sab’
Al-‘Alami]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata: “Firman Allah Azza wa Jalla : “kamu telah nikmati bagianmu”
mengisyaratkan pada mengikuti hawa-nafsu syahwat, ini merupakan penyakit para pelaku maksiat. Dan firman Allah: “Dan
kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya” mengisyaratkan pada mengikuti
syubhat-syubhat, ini merupakan penyakit para pelaku bid’ah, pengikut hawa-nafsu, dan perdebatan-perdebatan. Dan sangat
sering keduanya (penyakit itu) berkumpul. Maka jarang engkau dapati orang yang aqidahnya ada kerusakan, kecuali hal itu
nampak pada lahiriyahnya.” [Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55]

JENIS-JENIS FITNAH SYUBHAT


1. Di antara fitnah syubhat terbesar adalah kekafiran. Karena sesungguhnya orang-orang kafir itu berada di dalam
kesesatan tetapi mereka menyangka berada di atas kebenaran dan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:
Katakanlah:”Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya”.
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur
terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu
penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. [Al Kahfi : 103 – 105]
Lihatlah orang-orang kafir tersebut! Amalan mereka terhapus dan sia-sia, tetapi mereka menyangka telah berbuat
sebaik-baiknya!! Alangkah ruginya mereka!!!
2. Di antara fitnah syubhat yang tak kalah dahsyat adalah kemunafikan.
Simaklah firman Allah Azza wa Jalla.
Dalam hati mereka (orang-orang munafik) ada penyakit (syubhat; keraguan), lalu Allah menambah penyakit itu;
dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan.” [Al Baqarah : 10-11]
Perhatikanlah orang-orang munafik ini, mereka nyata-nyata berbuat kerusakan, tetapi mereka menyangka mengadakan
perbaikan!
3. Di antara bentuk fitnah syubhat yang lain adalah fitnah bid’ah dan mengikuti hawa-nafsu. Fitnah ini menyebabkan
umat terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan.
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata: “Adapun fitnah syubuhat (syubhat-syubhat), maka telah
diriwayatkan dari Nabi dengan banyak jalan bahwa umat beliau akan berpecah-belah menjadi lebih dari 70 kelompok,
sesuai dengan perbedaan riwayat-riwayat jumlah kelebihan dari 70 (yang shahih dan terpilih 73 kelompok-pen), dan
bahwa seluruh kelompok tersebut di dalam neraka kecuali satu saja, yaitu kelompok yang berada di atas apa yang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya ada padanya”. [Kasyful Kurbah, hal: 19]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َأاَل َّن َمْن َقْبَلْمُك ِم ْن َأْه ِل اْلِكَتاِب اْفَرَت ُقوا َعىَل ِثْنَتِنْي َو َس ْب ِع َني ِم ًةَّل َو َّن َه ِذِه اْلِم َةَّل َس َتْفِرَت ُق َعىَل َثاَل ٍث َو َس ْب ِع َني‬
‫ِإ‬
‫ِثْنَتاِن َو َس ْب ُع وَن يِف الَّناِر َو َو اِح َد ٌة يِف اْلَجَّنِة َو َيِه اْلَج َم اَعُة َز اَد اْبُن ْحَي ِإىَي َو ْمَع ٌر و يِف َح ِد يَثِهْي َم ا َو َّنُه َس َيْخ ُر ُج ِم ْن‬
‫ُأَّم يِت َأْقَو اٌم َجَتاَر ى ِهِب ْم ِتَكْل اَأْلْه َو اُء اَمَك َيَتَج اَر ى اْلْلَكُب ِلَص اِح ِب ِه َو َقاَل ْمَع ٌر و اْلْلَكُب ِبَص اِح ِب ِه اَل ِإ َيْب َقى ِم ْنُه ِع ْر ٌق َو اَل‬
‫َم ْفِص ٌل اَّل َدَخُهَل‬
Ketahuilah, sesungguhnya Ahlul Kitab sebelum kamu telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan
‫ِإ‬
sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah-belah menjadi 73 agama. 72 di dalam neraka, dan sati di dalam
sorga, yaitu Al-Jama’ah. (Di dalam hadits Ibnu ‘Amr dan Yahya ada tambahan:) Dan sesungguhnya akan muncul
beberapa kaum dari kalangan umatku yang hawa-nafsu menjalar pada mereka sebagaimana virus rabies menjalar
pada tubuh penderitanya. Tidak tersisa satu urat dan persendian kecuali sudah dijalarinya. [HR. Abu Dawud,
Ahmad, Darimi, Ibnu Abi Ashim. Al-Hakim, dan lainnya. Dishahihkan oleh Al-Hakim, disetujui Adz-Dzahabi,
juga Syeikh Al-Albani di dalam Dzilalul Jannah I/7]
Perhatikanlah firqah-firqah yang ada di kalangan umat Islam ini, mereka semua mengaku di atas al-haq, sedangkan
mereka saling menyatakan sesat terhadap kelompok yang lain. Alangkah besarnya syubhat yang ditanamkan syaithan
ini!

JENIS-JENIS FITNAH SYAHWAT


Macam-macam fitnah syahwat ini sumbernya terangkum dalam “kenikmatan kehidupan dunia” sebagaimana Allah Azza
wa Jalla firmankan:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali Imran :14]
Maka di antara fitnah syahwat adalah:
a. Fitnah Wanita.
Inilah fitnah pertama dan terbesar serta paling berbahaya bagi laki-laki! Rasulullah sudah memperingatkan hal ini
di dalam sabda beliau:
‫َم ا َتَر ْكُت َبْع ِد ي ِف ْتَنًة َأَّرَض َعىَل الِّر َج اِل ِم َن الِّنَس اِء‬
Tidaklah aku menginggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebioh berbahaya terhadap laki-laki daripada
wanita. [HR. Bukhari no: 5096, Muslim no: 2740, dan lainnya, dari Usamah bin Zaid]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataan: “Hadits ini menunjukkan bahwa
fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar daripada fitnah lainnya. Hal itu dikuatkan firman
Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita…” (Ali-Imran:14), yang Allah menjadikan wanita termasuk “hubbu syahawat” (kecintaan perkara-
perkara yang diingini), bahkan Dia menyebutkannya pertama sebelum jenis-jenis yang lain sebagai isyarat
bahwa wanita-wanita merupakan pokok hal itu”. [Fathul Bari]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kebanyakan yang merusakkan kekuasaan dan negara adalah mentaati
para wanita”. [Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 257]
Karena fitnah wanita, seseorang dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan karenanya. Seperti:
memandang wanita yang bukan mahramnya, menyentuhnya, berpacaran, bahkan sampai berbuat zina!
Demikian juga banyak pemuda atau orang tua yang menyimpan foto-foto wanita kekasihnya, atau artis film,
penyanyi, dan lainnya, yang menyebabkan hatinya menjadi sakit, atau bahkan mati, karena dikuasai bayang-
bayang wanita pujaannya itu!
Termasuk fitnah ini adalah laki-laki yang mentaati istri untuk memuaskan kesenangannya di dalam bersolek,
berhias, dan bersenang-senang, sehingga berusaha mendapatkan harta berbagai cara, baik halal atau haram! Atau
mencintai istri secara berlebihan sehingga lebih mengutamakannya dari siapapun bahkan orang-tuanya! Atau
bahkan lebih mantaati istri daripada mentaati Allah dan Rasul-Nya!! Sehingga suami lebih memilih menemani
istrinya daripada melaksanakan ketaatan, baik, shalat berjama’ah di masjid, berjihad fi sabililah dan lainnya.
Demikian juga digunakannya wanita sebagai media iklan, atau pelicin untuk meraih jabatan, kepuasan atasan,
dan tujuan duniawi lainnya.
Wanita yang menggunakan daya-tariknya atau bahkan menjual tubuhnya untuk mendapatkan harta. Semua itu
merupakan fitnah berbahaya yang ditimbulkan wanita.
b. Fitnah Anak.
Allah mengingatkan fitnah anak ini di dalam firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang
besar. [At Taghaabun: 14-15]
c. Di antara fitnah syahwat adalah saling berlomba meraih dunia dan rakus terhadap harta sehingga menimbulkan
iri, dengki, hasad dan saling menjauhi antar umat. Hal itu disebabkan dibukanya kemakmuran dan kemewahan
hidup oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َذ ا ُفِتَح ْت َعَلْي ْمُك َفاِر ُس َو الُّر وُم َأُّي َقْو ٍم َأْنْمُت َقاَل َع ْب ُد الَّر َمْحِن ْبُن َع ْو ٍف َنُقوُل اَمَك َأَم َر اَن اُهَّلل َقاَل َر ُس وُل اِهَّلل َص ىَّل‬
‫ِإاُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َأْو َغَرْي َذ َكِل َتَتَناَفُس وَن َّمُث َتَتَح اَس ُد وَن َّمُث َتَتَد اَبُر وَن َّمُث َتَتَباَغُض وَن َأْو ْحَن َو َذ َكِل َّمُث َتْنَط ِلُقوَن يِف‬
‫َم َس اِكِني اْلُم َهاِج ِر يَن َفَتْجَع ُلوَن َبْع َض ُهْم َعىَل ِر َقاِب َبْع ٍض‬
Jika Persia dan Romawi dibukakan pada kamu, menjadi kaum yang mana kamu nanti? Abdurrahaman bin
‘Auf berkata: “Kami akan berkata sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasulullah. (Beliau berkata):
“Atau (kamu akan melakukan) selain itu, kamu akan saling berlomba (meraih dunia), kemudian kamu akan
saling hasad, kemudian kamu akan saling menjauhi, kemudian kamu akan saling membenci, atau
semacamnya, kemudian kamu akan berangkat ke rumah-rumah orang-orang muhajirin, lalu sebagian kamu
memukul leher sebagian yang lain. [HR. Muslim, Ibnu Majah, dan lainnya dari Abdulah bin Amr bin Al-
Ash]
Dalam hadits lain beliau bersabda:
‫َفَو اِهَّلل اَل اْلَفْقَر َأْخىَش َعَلْي ْمُك َو َلِكْن َأَخ ىَش َعَلْي ْمُك َأْن ُتْبَس َط َعَلْي ُمُك اُّدل ْنَيا اَمَك ُبِس َط ْت َعىَل َمْن اَك َن َقْبَلْمُك‬
‫َفَتَناَفُس وَها اَمَك َتَناَفُس وَها َو ْهُتِلَكْمُك اَمَك َأْه َلَكُهْتْم‬
Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kamu. Tetapi aku khawatir atas kamu jika dunia
dihamparkan atas kamu sebagaimana telah dihamparkan atas orang-orang sebelum kamu, kemudian kamu
akan saling berlomba (meraih dunia) sebagaimana mereka saling berlomba (meraih dunia), kemudian dunia
itu akan membinasakan kamu, sebagaimana telah membinasakan mereka.” [HR. Bukhari, Muslim, Ahmad,
dan lainnya dari Amr bin Auf Al-Anshari]
d. Tamak Terhadap Asy-Syaraf (kemuliaan, kedudukan, kehormatan, gengsi). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitakan tentang bahaya tamak terhadap asy-syaraf dengan sabdanya:
‫َم ا ِذ ْئَباِن َج اِئَع اِن ُأْر ِس اَل يِف َغٍمَن ِبَأْفَس َد َلَها ِم ْن ِح ْر ِص اْلَمْر ِء َعىَل اْلَم اِل َو الَرَّش ِف ِدِل يِنِه‬
Tidaklah dua srigala lapar yang dilepas pada seekor kambing lebih merusakkannya daripada ketamakan
seseorang terhadap harta dan kehormatan (yang merusakkan) agamanya. [HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu
Hibban dari Ka’b bin Malik Al-Anshari. Dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Shuwar
Minal Fitan, hal: 38]

BENTENG FITNAH SYUBHAT DAN SYAHWAT


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Asal seluruh fitnah (kesesatan) hanyalah dari sebab: mendahulukan fikiran
terhadap syara’ (agama) dan mendahulukan hawa-nafsu terhadap akal.
Yang pertama adalah asal fitnah syubhat, yang kedua adalah asal fitnah syahwat. Fitnah syubhat-syubhat ditolak dengan
keyakinan, adapun fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Oleh karena itulah Alloh menjadikan kepemimpinan agama
tergantung dengan dua perkara ini.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Dan Kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. [As Sajdah:24]
Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan akan dapat diraih kepemimpinan dalam agama. Alloh juga
menggabungkan dua hal itu di dalam firmanNya:
Dan mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. [Al
Hasr :3]
Maka mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran yang menolak syubhat-syubhat, dan saling menasihati supaya
menetapi kesabaran yang menghentikan syahwat-syahwat.
Allah juga menggabungkan antara keduanya di dalam firmanNya:
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan
ilmu-ilmu yang tinggi. [Ash Shaaffat :45]
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat akan ditolak. Dan dengan kesempurnaan ilmu dan
keyakinan, fitnah syubhat akan ditolak [Mawaridul Amaan, hal: 414-415]

MEMBERSIHKAN HATI DARI FITNAH SYAHWAT DAN FITNAH SYUBHAT

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َو َأُّي َقـْلٍب‬، ‫ َفـَأُّي َقـْلٍب ُأِرْش َبـَها ُنـِكَت ِف ـْيـِه ُنـْكـَتـٌة َس ْو َد اُء‬، ‫ُتـْع ـَر ُض اْلـِفـَتـُن َعَلـى اْلـُقـُلـْو ِب اَك ْلـَح ِص ْيـِر ُع ـْو ًدا ُع ْو ًدا‬
‫ َفـاَل َتـُّرُض ُه ِف ـْتـَنـٌة َم ـا َد اَم ِت‬، ‫ َعَلـٰى َأْبـَيـَض ِم ْثـِل الَّص َفا‬: ‫ َح ٰىَّت َتِص ْيـَر َعَلـٰى َقـْلَبْيـِن‬، ‫َأْنـَكـَر َها ُنـِكَت ِف ـْيـِه ُنـْك َتـٌة َبْي َض اُء‬
‫ اَّل َم ا ُأِرْش َب‬، ‫ اَل َيْع ِر ُف َمْع ُر ْو ًفـا َو اَل ُيـْنـِكُر ُمْنَكـًر ا‬: ‫ اَك ْلُكْو ِز ُم ـَج ِّخ ـًيا‬، ‫ َو اآْلَخ ُر َأْس َو ُد ُم ـْر اَب ًّدا‬، ‫الَّس ٰم ـَو اُت َو اَأْلْر ُض‬
‫ِإ‬
‫ِم ْن َه َو اُه‬.
Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang
menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam, sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut),
niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua : yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi
licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak
(noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik),
tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang
dicintai oleh hawa nafsunya.”

TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. Imam Muslim dalam Shahiih-nya (no. 144),
2. Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/405)
3. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4218).

SYARAH HADITS:
Menurut bahasa, kata fitnah –bentuk tunggal dari kata fitan- berarti musibah, cobaan dan ujian. Makna kata ini berasal dari
perkataan: ‫َفَتْنُت اْلِفَّض َة َو الَّذ َهَب‬, artinya aku uji perak dan emas dengan api agar dapat dibedakan antara yang buruk dan yang
baik.
Menurut istilah (terminologi), kata fitnah disebutkan berulang dalam al-Qur’ân pada 72 ayat, dan seluruh maknanya
berkisar pada ketiga makna di atas.
Setiap hari hati manusia didera oleh fitnah. Fitnah terbagi dua macam, yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat (dan ini
adalah fitnah yang paling besar). Keduanya bisa ada dalam diri seseorang, atau hanya salah satunya saja. Fitnah syahwat
adalah fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sanjungan, wanita, dan yang lainnya. Fitnah syubhat adalah
fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) menjelaskan tentang fitnah syubhat dan syahwat, “Fitnah syubhat ada karena
lemahnya pengetahuan dan sedikitnya ilmu, apalagi jika dibarengi dengan jeleknya niat serta terturutinya hawa nafsu, maka
itu adalah fitnah dan musibah yang besar. Maka katakanlah semaumu tentang orang sesat dan niatnya jelek, yang menjadi
hakimnya adalah hawa nafsunya bukan petunjuk, dibarengi dengan lemahnya pengetahuan, tidak banyak tahu tentang
ajaran yang dibawa Rasulullah, maka dia termasuk salah satu dari yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
“… Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya …” [an-Najm/53:23]
Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan seseorang dari jalan Allâh Azza
wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla berfirman :
(Allâh berfirman), ‘Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan
menyesatkan engkau dari jalan Allâh. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.’” [Shâd/38:26]
Dan ujung dari fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Dialah fitnahnya orang munafiqin, fitnahnya ahlul bid’ah
sesuai dengan tingkatan kebid’ahan mereka. Mereka berbuat bid’ah dikarenakan fitnah syubhat yang menyebabkan al-haq
menjadi tersamar bagi mereka dengan kebathilan, petunjuk tersamarkan dengan kesesatan.
Dan seseorang tidak akan selamat dari fitnah ini kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
berhukum dengannya dalam masalah agama yang kecil maupun yang besar, yang zhahir maupun bathin, dalam masalah
keyakinan dan perbuatan, hak-haknya dan syariatnya. Maka dia menerima hakikat iman, syariat Islam, dan apa-apa yang
Allâh tetapkan berupa sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, serta nama-nama-Nya, dan apa-apa yang Allâh nafikan dari-Nya.
Sebagaimana dia menerima dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah
raka’atnya, kadar nishab zakat dan orang-orang yang berhak menerimanya, kewajiban berwudhu dan mandi junub, serta
puasa Ramadhan. Jadi dia tidak boleh menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul dalam satu
urusan agama dan tidak dalam urusan agama yang lain, tetapi dia (harus) menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai Rasul dalam segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat dalam ilmu dan amal, dia tidak mengambil
(syari’at) kecuali darinya. Jadi petunjuk itu tidak keluar dari perkataan dan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , dan semua yang tidak sesuai dengannya (dengan syari’at yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa) adalah
kesesatan.
Jenis fitnah yang kedua yaitu fitnah syahwat. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan fitnah tersebut dalam firman-Nya :
(Keadaan kamu kaum munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu,
dan lebih banyak harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati
bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal
yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Mereka
itulah orang-orang yang rugi.” [at-Taubah/9:69]
Maksudnya, bersenang-senanglah dengan bagian kalian di dunia dan syahwatnya. al-Khalâq yaitu bagian yang telah
ditentukan. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “‫( َو ُخ ْض ُتْم َكاَّلِذ ي َخ اُضوا‬dan kamu mempercakapkan (hal-hal
yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya…” Percakapan yang bathil ini adalah syubhat.
Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan dalam ayat tersebut apa-apa yang bisa menimbulkan kerusakan hati dan agama, yaitu
bersenang-senang dengan dunia (berupa harta dan anak-anak) dan percakapan-percakapan yang bathil. Karena kerusakan
agama itu bisa terjadi dengan sebab keyakinan bathil dan membicarakannya, atau dengan perbuatan yang tidak sesuai
dengan ilmu yang benar. Yang pertama adalah bid’ah dan sejenisnya, dan yang kedua adalah kefasikan amalan. Kerusakan
pertama merupakan kerusakan dari segi syubhat, dan yang kedua dari segi syahwat.
Karena inilah Ulama salaf berkata, “Berhati-hatilah dari dua jenis manusia : Pengekor hawa nafsu yang terfitnah oleh hawa
nafsunya dan pecinta dunia yang telah dibutakan oleh dunia.”
Mereka juga berkata, “Berhati-hatilah dari fitnah orang alim yang fajir (menyimpang), dan orang yang suka beribadah
tetapi bodoh, karena fitnah mereka berdua adalah fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.”
Asal atau akar dari semua fitnah itu adalah perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at, dan hawa nafsu daripada akal.
Yang pertama merupakan akar fitnah syubhat, dan yang kedua adalah akar fitnah syahwat.
Fitnah syubhat itu harus ditangkal dengan keyakinan, dan fitnah syahwat ditangkal dengan kesabaran. Karena itulah Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kepemimpinan agama bergantung kepada dua perkara ini (sabar dan yakin). Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama
mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [as-Sajdah/32:24]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam agama akan dapat diraih. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menyatukan keduanya juga dalam firman-Nya:
“…Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” [al-‘Ashr/103:3]
Maka saling menasehati dalam kebenaran akan dapat melawan syubhat, dan saling menasehati dalam kesabaran akan
menghentikan syahwat. Allâh menyatukan keduanya dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan
ilmu-ilmu (yang tinggi).” [Shâd/38:45]
Al-Aidii adalah kekuatan dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada-Nya, al-Abshâr adalah ilmu
dalam agama Allâh. Perkataan para Ulama salaf pun berkisar pada pengertian tersebut. Maka dengan kesempurnaan akal
dan kesabaran, fitnah syahwat dapat dilawan, dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat dapat dilawan.
Wallahul musta’an.”
Penyakit syahwat juga dijelaskan dengan ayat dan hadits. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan,
anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik.” [Ali ‘Imrân/3:14]
Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebaikan
itu bukan dengan syahwat, akan tetapi kebaikan itu yaitu apa-apa yang disediakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi siapa
saja dari para hamba-Nya yang bertakwa dan selamat dari tujuan syahwat ini dan bersembunyi dari syahwat dengan apa-
apa yang sudah dihalalkan oleh Allâh, serta sabar atas apa yang diharamkan oleh Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
Katakanlah: Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu. Untuk orang-orang yang
bertaqwa (kepada Allâh), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allâh. Dan Allâh Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya. [Ali ‘Imrân/3:15]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa saja di antara mereka yang bersabar terhadap fitnah, niscaya akan selamat dari
fitnah yang lebih besar. Sebaliknya, siapa saja yang terbenam dalam fitnah, niscaya akan jatuh ke dalam fitnah yang lebih
buruk lagi. Jika orang yang tengah hanyut dalam fitnah segera bertaubat dengan benar niscaya dia akan selamat. Namun,
jika ia tetap tenggelam di dalamnya berati orang itu berada di atas jalan orang yang binasa. Karena itulah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َم ا َتَر ْكُت َبْع ِد ْي ِف ْتَنًة َيِه َأُّرَض َعىَل اِلّر َج اِل ِم َن اِلّنَس اِء‬.
“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.(HR.
Bukhari & Muslim)
Penyakit syahwat juga dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga orang yang di dalam hatinya ada penyakit
menginginkan sesuatu…” [al-Ahzâb/33: 32]
Hati yang sakit akan terganggu oleh syahwat sekecil apa pun dan tidak akan mampu menangkal syubhat yang
mendatanginya. Sementara hati yang sehat dan kuat, meski sering didatangi syahwat atau syubhat, namun ia berhasil
menghalaunya dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla dan dengan kekuatan iman dan kesehatannya. Sedangkan penyakit
syubhat adalah sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh…” [Al-Baqarah/2: 10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َّن ِلـُكـِّل ُأَّم ـٍة ِف ْتَنـًة َو ِف ْتَنـُة ُأَّم ـِتـي اْلـَم ـاُل‬.
Setiap ummat itu ada fitnahnya, dan fitnahnya ummatku adalah harta.( Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2336), Ahmad
‫ِإ‬
(IV/160), Ibnu Hibban (no. 2470-al-Mawârid), dan al-Hâkim (IV/318), lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau berkata,
“Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-
Shahîhah (no. 592).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
‫َم ا َتَر ْكُت َبْع ِد ْي ِف ْتَنًة َيِه َأُّرَض َعىَل اِلّر َج اِل ِم َن اِلّنَس اِء‬
Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.( Shahih:
HR. al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.)
Fitnah ini akan masuk ke dalam hati manusia yang merupakan sebab hati menjadi sakit. Dan fitnah ini banyak sekali
macamnya.
Di antara Jenis Fitnah Syahwat:
1. Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang perempuan yang bukan mahram,
membaca majalah porno, melihat gambar-gambar yang terbuka auratnya, menonton film cabul, menonton TV,
sinetron, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… ‫… َفِز َنـى اْلـَع ْيـَنيْـِن الـَّنَظ ـُر‬
… dan zinanya kedua mata adalah dengan memandang… (Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6612), Muslim (no.
2657 (20)), Ahmad (II/276) dan Abu Dawud (no. 2152).
Menjaga pandangan dan kemaluan termasuk dalam tazkiyatun nufus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.” [an-Nûr/24:30]
2. Ikhtilâth (campur-baur laki-laki dan perempuan), khalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan), pacaran,
mabuk asmara (kasmaran), dan sebagainya. Pacaran hukumnya haram dalam Islam.
3. Bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram, dan sebagainya. Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hukumnya haram.
4. Zina, kumpul kebo, nikah mut’ah, dan sebagainya. Nikah mut’ah sama dengan zina. Zina itu haram dan dosa
besar.
5. Homosex dan sodomi yang merupakan perbuatan kaum Luth. Hukumnya haram dan dosa besar.
6. Onani dan masturbasi. Hukumnya haram.
Adapun di antara jenis fitnah syubhat adalah sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh … [al-Baqarah/2:10]
Qatâdah, Mujâhid, dan lain-lain rahimahumullaah menafsirkan, “Di hatinya ada penyakit, yaitu penyakit syakk (keragu-
raguan).”
Fitnah syubhat adalah fitnah kesesatan, maksiat, bid’ah, kezhaliman, kebodohan, keyakinan, pemikiran, pemahaman yang
sesat, aliran-aliran yang sesat, dan yang lainnya. Fitnah syahwat membuat rusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala . Dan fitnah syubhat membuat rusaknya ilmu dan keyakinan. Tatkala manusia dihadapkan pada fitnah
berupa syahwat dan syubhat, maka hati manusia akan terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Hati yang ketika datang fitnah langsung menyerapnya seperti spons yang menyerap air, lalu muncul titik hitam di
tubuhnya. Ia terus menyerap setiap fitnah yang ditawarkan kepadanya sehingga tubuhnya menghitam dan miring. Bila
sudah hitam dan miring ia akan berhadapan dengan dua malapetaka yang sangat bahaya:
1. Tidak dapat membedakan mana yang ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (buruk).
Terkadang penyakit ini semakin parah sehingga ia menganggap yang ma’ruf adalah munkar dan yang munkar
adalah ma’ruf. Yang sunnah dianggap bid’ah dan yang bid’ah dianggap sunnah. Yang benar dianggap salah dan
yang salah dianggap benar.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :

‫َه ـَلـَك َمْن َلـْم َيْع ِر ْف َقْلُبـُه اْلـَم ْع ُر ْو َف َو ُيْنـِكْر َقْلُبـُه اْلـُم ْنـَكـَر‬.
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. (Atsar
shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-
Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (VII/257), “Rawi-rawinya
adalah rawi-rawi kitab ash-Shahîh.”
2. Menjadikan hawa nafsu sebagai sumber hukum yang lebih tinggi daripada apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , selalu tunduk kepada hawa nafsu dan mengikuti kemauannya.
Kedua: Hati putih yang telah disinari oleh cahaya iman yang terang benderang. Jika hati semacam ini ditawari fitnah, ia
akan mengingkari dan menolaknya sehingga sinarnya menjadi lebih kuat dan lebih terang.
Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam menampung
segala yang datang dan syubhat-syubhat, ia menyerapnya sehingga yang keluar dari busa tadi adalah syubhat-syubhat yang
diserapnya tadi. Namun jadikanlah hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes ke dalamnya)
sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya dan tidak menempel di kaca. Dia melihat syubhat-syubhat
tersebut dengan kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohannya. Karena kalau tidak demikian, apabila hatimu
menyerap setiap syubhat yang datang kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala syubhat.
Wajib diperhatikan oleh setiap muslim dan muslimah bahwa hati manusia senantiasa berbolak balik. Hati ini tidak mudah
dikendalikan. Hati sangatlah mudah untuk berubah. Bisa jadi, di pagi hari seseorang masih dalam keadaan beriman, namun
sore harinya berubah kafir, atau sore hari ia beriman tapi di pagi harinya ia berubah kafir. Di pagi hari ia masih mengikuti
Sunnah, namun di sore harinya ia meninggalkan Sunnah. Di pagi hari ia memulai dengan amal-amal ketaatan namun di sore
hari ia bermaksiat. Pagi hari ia memanfaatkan waktu dengan amal-amal yang bermanfaat, namun di sore harinya ia
mengerjakan hal-hal yang sia-sia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َيِب ْيُع‬، ‫ َأْو ُيْم يِس ُم ـْؤ ِم ًنـا َو ُيْص ِب ُح اَك ِف ًر ا‬، ‫ ُيْص ِب ُح الَّر ُج ُل ُمْؤ ِم ًنا َو ُيْم يِس اَك ِف ًر ا‬، ‫اَب ِد ُر ْو ا اِب َأْلَمْع ـاِل ِف َتًنا َكِقَط ِع الَّلْي ِل اْلـُم ْظ ِمِل‬
‫ِد ْيَنُه ِبَع َر ٍض ِم َن اُّدل ْنَيا‬.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih sebelum kedatangan fitnah-fitnah itu yang seperti potongan malam yang
gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan
beriman dan di pagi hari menjadi kafir karena ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit.
( Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid),
dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
Inilah hati, yang selalu berbolak-balik karena ia berada di antara jari dari jari-jemari Allâh Yang Maha Penyayang.
Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada ummatnya untuk memperbanyak permohonan kepada
Allâh agar diberikan ketetapan hati.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan :
‫ َثـّبِـْت َقـْلِبـْي َعَلـٰى ِد ْيـِنـَك‬، ‫َيـا ُم ـَقـِلّـَب اْلـُقـُلـْو ِب‬
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Anas Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh ! Kami telah beriman kepadamu dan kepada apa (ajaran) yang
engkau bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir atas kami?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

‫ ِإ َّن اْلـُقـُلْو َب َبـْيـَن ُأْص ُبـَع ـْيـِن ِم ْن َأَص اِبِع الّٰلـِه ُيـَقِلّـُبـَهـا َكـْيـَف َيـَش اُء‬، ‫َنـَع ْم‬.
Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-
jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.(HR. Tirmidzi)
Hadits-hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, ‘Aisyah, Shahabat-Shahabat lainnya Radhiyallahu
anhum.
Al-Qur-an adalah penawar dari penyakit syahwat dan syubhat. Sebab, al-Qur’ân berisi bukti-bukti dan dalil-dalil mutlak
yang bisa membedakan antara haq (benar) dan bathil sehingga penyakit-penyakit syubhat yang merusak ilmu, keyakinan,
dan pemahaman bisa hilang. Karena seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dalil dari al-Qur’ân dan as-Sunnah
dengan pemahaman yang benar.
Al-Qur’ân juga dapat mengobati penyakit syahwat karena di dalamnya terdapat hikmah dan petuah yang baik melalui
targhîb (anjuran), tarhîb (peringatan), anjuran untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan mengutamakan akhirat, contoh-
contoh dan kisah-kisah yang mengandung banyak pelajaran dan petuah. Sehingga, apabila hati yang sehat mengetahui hal
itu, ia akan menyukai hal-hal yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat, dan membenci segala yang merugikan dirinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Dan Kami turunkan dari al-Qur’ân sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Sedangkan bagi orang yang zhalim (al-Qur’ân) itu hanya akan menambah kerugian.” [Al-Isrâ’/17:82]
Setiap orang hendaklah mempelajari tanda-tanda (ciri-ciri) hati yang sakit dan hati yang sehat agar dapat mengetahui
kondisi hatinya secara tepat. Bila hatinya sakit, ia harus berusaha untuk mengobatinya dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih serta senantiasa menjaga kesehatannya, mudah-mudahan kita meninggal dunia
dengan hati yang selamat (sehat). Karena hati yang baik, sehat, dan selamatlah yang akan diterima oleh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala pada hari Kiamat.

FAWAA-ID:
1. Hati adalah tempat ujian.
2. Hati manusia setiap hari dimasuki oleh fitnah, baik fitnah syahwat maupun fitnah syubhat.
3. Fitnah syahwat berkaitan dengan fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sedangkan fitnah syubhat
berkaitan dengan fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
4. Sumber fitnah syubhat yaitu perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at sedangkan asal fitnah syahwat
mendahulukan hawa nafsu daripada akal.
5. Fitnah syubhat adalah fitnahnya orang-orang munafik dan ahlul bid’ah karena fitnah syubhat ini membuat mereka
tidak memberdakan antara yang haq dan yang bathil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Semuanya menjadi rancu
6. Fitnah syubhat bisa ditangkal dengan keyakinan dan fitnah syubhat ditolak dengan kesabaran.
7. Hidup dan bersihnya hati merupakan pokok segala kebaikan, adapun mati dan gelapnya hati adalah pokok segala
keburukan.
8. Seseorang tidak akan selamat dari fitnah syubhat dan syahwat kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam .
9. Fitnah syahwat bisa merusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan fitnah syubhat merusak
ilmu dan keyakinan.
10. Wajib bagi kita berhati-hati dalam berbicara dan beramal, jangan mengikuti langkah-langkah setan yang telah
mengotori hati manusia dengan fitnah syubhat dan syahwat.
11. Orang yang terkena fitnah syubhat atau syahwat tidak bisa membedakan lagi antara yang ma’ruf dan munkar, kecuali
mengikuti hawa nafsunya.
12. Obat yang paling mujarab untuk membersihkan hati adalah dengan menuntut ilmu syar’i berdasarkan al-Qur’ân dan
Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, ikhlas, beriman dengan
keimanan yang benar, serta menjauhkan perbuatan nifak dan bid’ah.
13. Selalu berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ َثـّبِـْت َقـْلِبـْي َعَلـٰى ِد ْيـِنـَك‬، ‫َيـا ُم ـَقـِلّـَب اْلـُقـُلـْو ِب‬
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca. Dan mudah-mudahan Allâh melindungi
kita dari fitnah syahwat dan syubhat dan menunjuki kita di atas sunnah, menetapkan hati kita di atas Islam dan
Sunnah, serta diberikan istiqamah sampai akhir hayat.

ISTIQOMAH

Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah


Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke
kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan
semua bentuk larangan-Nya. Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali. Di antara ayat yang
menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:
1. Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
2. Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan
dan Qotadah,
3. Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah
dan As Sudi. Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling
bertentangan.
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan
memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput “Janganlah takut dan janganlah bersedih”.
Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi
dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para
malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan
mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan.
Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga
ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya
Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”
Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14).
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup
semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits
Abu Usamah dikatakan, “selain engkau”]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman
kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu .” Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”7
Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa
istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya
Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan
mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6).
Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat
bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar
(memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”

Kiat Agar Tetap Istiqomah


Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.
Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan
di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim:
27)
Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits
berikut.
‫ َفَذ َكِل َقْو ُهُل ( ُيَثِّب ُت اُهَّلل اِذَّل يَن آَمُنوا‬، ‫اْلُمْس ُمِل َذ ا ُس ِئَل ىِف اْلَقِرْب َيْش َهُد َأْن َال َهَل َّال اُهَّلل َو َأَّن ُم َح َّم ًد ا َر ُس وُل اِهَّلل‬
‫ِإ ِإ‬ ‫ِإ‬
) ‫اِب ْلَقْو ِل الَّثاِبِت ىِف اْلَح َياِة اُّدل ْنَيا َو ىِف اآلِخ َر ِة‬
“Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.”
Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan
mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab
pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.
Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan
dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah
karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna
dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa
menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.
Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup
salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan
tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan
yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan pertolongan
Allah.
Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada
jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)11 menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan
(hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)
Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”;
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).”
(QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. 12 Alasannya, karena Al Qur’an adalah
petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44).
Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi
orang-orang beriman.”13 Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk
bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.” Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan
yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya
menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan
memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus
istiqomah.
Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan
tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja
dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‫َأَحُّب اَألَمْع اِل ىَل اِهَّلل َتَع اىَل َأْد َو ُم َها َو ْن َقَّل‬
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu‫ ِإ‬walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun
‫ِإ‬
ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.(HR. Muslim)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik
dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan
melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan
membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan
akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja
dilakukan.”
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang
konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana
beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.” 17 Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena
meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata padanya,
‫ اَك َن َيُقوُم الَّلْي َل َفَرَت َك ِق َياَم الَّلْي ِل‬، ‫ َال َتُكْن ِم ْثَل ُفَالٍن‬، ‫اَي َع ْب َد اِهَّلل‬
”Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia
tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari)
Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk
beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika
seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal
akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.
Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-
kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari
kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang
yang beriman.” (QS. Hud: 11)
Contohnya kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami
berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar
terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya’: 68-70)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
‫آِخ َر َقْو ِل ْبَر اِه َمي ِح َني ُأْلِقَى ىِف الَّناِر َح ْس َىِب اُهَّلل َو ِنْع َم اْلَو ِك يُل‬
“Akhir perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah
‫ِإ‬
sebagai penolong dan sebaik-baik tempat bersandar).” 19 Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi
ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu pula kita ketika hendak
istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting dari
kisah seorang Nabi.
Begitu pula kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam firman Allah,
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-
benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia
akan memberi petunjuk kepadaku”.” (QS. Asy Syu’aro: 61-62).
Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Musa ‘alaihis salam ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan
pertolongan Allah yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh. Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali
mempelajari kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini.
Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,
“Betapa banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang sholih, pen) membuat hati menjadi hidup karena
mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang fasik, pen) membuat hati ini
mati karena melihat mereka.”20 Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya akan membuat hati semakin
hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita. Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah
kisah-kisah para artis, yang menjadi public figure. Walaupun mereka hidup, bukan malah membuat hati semakin hidup.
Mengetahui kisah-kisah mereka mati membuat kita semakin tamak pada dunia dan gila harta. Wallahul muwaffiq.
Imam Abu Hanifah juga lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau
rahimahullah mengatakan,
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena
dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.”
Begitu pula yang dilakukan oleh Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai Ibnul Mubarok, “Kedua mataku ini tidak pernah melihat pemberi nasehat
yang paling bagus dari umat ini kecuali Ibnul Mubarok.”22
Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang
menanyakan pada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian,
sedangkan aku selalu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” 23 Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah merasa
kesepian karena sibuk mempelajari jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati
akan terus kokoh.
Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.
Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas kebenaran.
Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta
keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang
bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak
(pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb
kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan
teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada
mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”
(QS. Ali ‘Imran: 146-148).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
“Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap
orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah: 250)
Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
‫َر َّبَنا اَل ُتِز ْغ ُقُلوَبَنا َبْع َد ْذ َهَد ْيَتَنا َو َه ْب َلَنا ِم ْن ُدَل ْنَك َر َمْحًة َّنَك َأْنَت اْلَو َّهاُب‬
‫ِإ‬
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
‫ِإ‬
kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi
(karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
‫اَي ُم َقِّلَب اْلُقُلوِب َثِّب ْت َقْلىِب َعىَل ِد يِنَك‬
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di
atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering
beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
‫اَي ُأَّم َس َلَم َة َّنُه َلْيَس آَد ِم ٌّى َّال َو َقْلُبُه َبَنْي ُأْص ُبَع ِنْي ِم ْن َأَص اِبِع اِهَّلل َفَم ْن َش اَء َأَقاَم َو َمْن َش اَء َأَز اَغ‬
“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa
menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi)
Dalam riwayat lain dikatakan,
‫َّن اْلُقُلوَب ِبَيِد اِهَّلل َع َّز َو َج َّل ُيَقِّلَهُبا‬
“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad)
‫ِإ‬
Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.
Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi
adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan
Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka
sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101).
Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan
kebaikan dan sering menasehati kita.
‫ َال َيْع َد ُم َك ِم ْن َص اِح ِب اْلِم ْس ِك َّم ا‬، ‫ َو ِكِري اْلَح َّد اِد‬، ‫َم َثُل اْلَج ِليِس الَّص اِلِح َو اْلَج ِليِس الَّس ْو ِء َمَكَثِل َص اِح ِب اْلِم ْس ِك‬
‫ِإ‬ ‫ َو ِكُري اْلَح َّد اِد ْحُي ِرُق َبَد َنَك َأْو َثْو َبَك َأْو ِجَتُد ِم ْنُه ِر ًحيا َخِبيَثًة‬، ‫ َأْو ِجَتُد ِر َحيُه‬، ‫َتْش ِرَت يِه‬
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan
pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli
darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau
pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak
agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat
memberikan manfaat dalam agama dan dunia.” Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang
sholih.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.”
Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika
orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih
lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa
diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul
dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera
mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan
nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin
dan tenang”.30
Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang
baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma
kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan
menyemangati kepada kebaikan.
Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik,
apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan
bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari
pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.
ISTIQAMAH DALAM MENETAPI KEBENARAN DAN KETAATAN KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA
TA’ALA

‫ َو اْعَلُمْو ا َأَّنُه َلْن َيْنُج َو‬، ‫ َقاِر ُبْو ا َو َس ِّد ُد ْو ا‬: ‫ َقاَل َر ُس ْو ُل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل‬: ‫َقاَل‬، ‫َع ْن َأْيِب ُه َر ْيَر َة َر َيِض ُهللا َع ْنُه‬
‫ َّال أْن َيَتَغَّم َد َيِن ُهللا ِبَر َمحٍة ِم ْنُه َو َفْض ٍل‬، ‫ َو َال أاَن‬: ‫ َو اَل َأْنَت اَي َر ُس ْو َل ِهللا ؟ َقاَل‬:‫ َقاُلْو ا‬. ‫َأَح ٌد ِم ْنْمُك ِبَع َم ِهِل‬.
‫ِإ‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersikaplah
yang lurus dan tetaplah dalam kebenaran. Dan ketahuilah, bahwasanya tidak ada seorang pun dari kalian yang
selamat karena amal perbuatannya”. Para sahabat bertanya, “Termasuk engkau, wahai Rasûlullâh?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk aku, hanya saja Allâh meliputi diriku dengan rahmat dan karunia-
Nya.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 2816 (76).
2. Ahmad, II/495.
3. Ibnu Majah, no. 4201.
4. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Ausath, no. 4284.
5. Al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihab, no. 626.
6. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 4194. dan lainnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh para imam ahli hadits dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillâh, ‘Aisyah, dan lainnya
Radhiyallahu anhum.

SYARAH HADITS
Hadits ini dimasukkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya, Riyâdhush-Shâlihîn, Bab al-Istiqamah, Bab
ke-8 (no. 86). Hadits ini menunjukkan bahwa bersikap istiqamah sesuai dengan kemampuan, yaitu dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Bersikaplah yang lurus dan tetaplah dalam kebenaran,” yakni bersikaplah pertengahan
dalam perkara-perkara yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya kepada kalian dan berusahalah untuk mendekatinya
(melaksanakannya) semampu kalian.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (‫“ )َس ِّدُد ْو ا‬tetaplah dalam kebenaran,” yaitu berusahalah kalian dengan sungguh-
sungguh agar amalan-amalan kalian mencapai kebenaran sesuai dengan kemampuan kalian. Yang demikian itu karena
walaupun seseorang sudah mencapai ketakwaan, tetap saja sebagai manusia ada kesalahan, sebagaimana yang disabdakan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
‫ َو َخ ُرْي اْلَخ َّط اِئَنْي الَّتَّو اُبْو َن‬،‫ُّلُك َبْيِن آَد َم َخ َّط اٌء‬
Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat (dari
kesalahannya itu).( Hasan: HR at-Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251), dan Ahmad (III/198). At-Tirmidzi
berkata: “Hadits ini gharib”. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ (no. 4515).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

‫ َفَيْغِفُر َلُهْم‬، ‫ َّمُث َلَج اَء ِبَقْو ٍم ُيْذ ِنُبْو َن َفَيْس َتْغِفُر ْو َن َهللا‬، ‫َلْو َلْم ُتْذ ِنُبْو ا َذَل َه َب ُهللا ِبْمُك‬
Jika kalian tidak berbuat salah, maka Allâh akan menghilangkan kalian dan menggantikan kalian dengan suatu kaum
yang mereka berbuat salah, kemudian mereka meminta ampun kepada Allâh. Lalu Allâh mengampuni mereka.(HR.
Muslim)
Maka manusia diperintahkan untuk berbuat yang lurus dan menetapi kebenaran sesuai dengan kemampuannya.
Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla adalah:
Pertama, amal shalih yang dilakukan secara kontinyu (terus menerus) meskipun sedikit.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َو َّن َأَحَّب اَأْلَمْع اِل ىَل ِهللا َم اَداَم َو ْن َقَّل‬،‫ َف َّن َهللا اَل َيَم ُّل َح ىَّت َتَم ُّلْو ا‬، ‫ ُخ ُذ ْو ا ِم َن اَأْلَمْع اِل َم اُتِط ْي ُقْو َن‬، ‫اَي َأَهُّيا الَّناُس‬

‫ ِإ‬manusia. Kerjakanlah
Wahai sekalian
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
amalan-amalan
‫ِإ‬
sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Allâh tidak
bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan secara terus-
menerus walaupun sedikit.(HR. Bukhari & Muslim)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
‫ َو َأَّن َأَحَّب اَأْلَمْع اِل ىَل ِهللا َأْد َو ُم َها َو ْن َقَّل‬، ‫ َو اْعَلُمْو ا َأْن َلْن ُيْد ِخ َل َأَح َد ْمُك َمَع ُهُل اْلَج َّنَة‬،‫َس ِّد ُد ْو ا َو َقاِر ُبْو ا‬
‫ ِإ‬dan bersikaplah
Tetaplah dalam kebenaran
‫ِإ‬ yang lurus. Ketahuilah, bahwasanya amalan seseorang tidak dapat
memasukkannya ke dalam surga. Dan bahwasanya amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan
secara terus-menerus walaupun sedikit.(HR. Bukhari)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
‫أَحُّب اَأْلَمْع اِل ىَل هللا َأْد َو ُم َها َو ْنَقَّل‬.
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Amalan yang paling dicintai oleh Allâh yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.( Shahîh: HR
Ahmad (VI/165), Muslim (no. 783 (218)), dan al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihab (no. 1303) dari ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma.
Kedua, amal-amal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla adalah yang dikerjakan sesuai dengan Sunnah, sederhana,
mudah, dan tidak takalluf (memberat-beratkan diri) dalam mengerjakannya. Karena sesungguhnya Allâh Subhanahu wa
Ta’ala menginginkan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya.
Allâh Ta’ala berfirman:
…Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… [al-Baqarah/2:185].
Yang penting lagi, seluruh amal shalih wajib dikerjakan dengan ikhlas semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla dan sesuai
dengan contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kedua hal ini, ikhlas dan ittiba`, merupakan syarat diterimanya
amal.
Islam memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ama-amal ketaatan secara terus-menerus, seperti shalat
berjama’ah bagi laki-laki di masjid, shalat malam (tahajjud, shalat witir), membaca al-Qur`ân, dzikir; semuanya harus
dilakukan secara kontinyu, bukan hanya saat bulan Ramadhan saja. Begitu juga sedekah, infaq, shalat-shalat sunnah
rawatib, harus dilaksanakan secara kontinyu meskipun sedikit. Kita juga wajib istiqamah, berpegang teguh di atas Sunnah.
Kita wajib istiqamah dalam mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, istiqamah dalam melaksanakan Sunnah dan
menjauhkan dari dari bid’ah, istiqamah dalam ketaatan dan menjauhi maksiat, istiqamah dalam berpegang teguh kepada al-
Qur`ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shâlih, serta istiqamah dalam menuntut ilmu syar’i dan
mengamalkannya. Kita juga wajib menjauhkan diri dari larangan-larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seumur hidup kita.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َو اْعَلُمْو ا َأَّنُه َلْن َيْنُج َو َأَح ٌد ِم ْنْمُك ِبَع َم ِهِل‬
(dan ketahuilah, bahwasanya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya), yaitu tidak ada
seseorang yang selamat dari neraka karena amal perbuatannya. Yang demikian itu karena amalan tidak memenuhi apa-apa
yang semestinya dilakukan kepada Allâh Azza wa Jalla dari rasa syukur, dan juga apa-apa yang wajib dilakukan oleh
hamba-Nya terhadap hak-hak Allûh, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala meliputi hamba-Nya dengan rahmat-Nya, maka
Allâh mengampuninya.
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal
perbuatannya, maka para sahabat bertanya, “Termasuk engkau?” Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
“Termasuk aku.” Sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak selamat dari neraka karena amal perbuatannya,
hanya saja Allâh meliputinya dengan rahmat-Nya.
Hal itu menunjukkan bahwa walaupun manusia telah mencapai derajat wali, ia tetap tidak selamat karena amal
perbuatannya, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika saja Allâh tidak menganugerahinya dengan
mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, maka amalan-amalannya tidak bisa menyelamatkannya.
Jika seseorang berkata, ada nash-nash dari al-Qur`ân dan Hadits yang menunjukkan bahwa amal shâlih bisa menyelamatkan
seseorang dari neraka dan memasukkannya ke surga, seperti firman Allâh Ta’ala:
Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu karena perbuatan yang telah kamu kerjakan.’[az-Zukhruf/43:72].
Dan juga firman-Nya,
(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan
(kepada mereka), “Salâmun ‘alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan” – an-Nahl/16
ayat 32), maka bagaimana menyatukan ayat ini dengan hadits tersebut?
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Jawabannya yaitu: Pertama, maksud dalam an-Nahl/16 ayat 32, yaitu masuklah ke
tempat tinggal dan istana-istana surga karena apa yang telah kamu kerjakan. Dan maksud kata ‘masuk’ di sini bukan kata
asalnya. Kedua, boleh jadi hadits tersebut sebagai penjelas ayat ini, yaitu masuklah ke surga karena apa yang telah kamu
kerjakan dengan rahmat Allâh dan karunia-Nya atas kalian, karena pembagian tempat tinggal di surga adalah dengan
rahmat Allâh. Begitu juga asal masuk surga yaitu dengan rahmat-Nya, dimana Allâh memberi ilham kepada manusia atas
apa-apa yang mereka dapatkan.”
‘Iyadh rahimahullah berkata, “Termasuk dari rahmat Allâh yaitu Dia memberi taufiq dalam beramal dan hidayah kepada
ketaatan. Dan semua itu tidak didapat oleh manusia karena amalannya, tetapi itu semua karena rahmat Allâh dan karunia-
Nya.”
Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata, “Jawabannya ada empat: Pertama, bahwa sukses dalam beramal adalah rahmat Allâh.
Kalau bukan karena rahmat Allâh, maka tidaklah tercapai iman dan ketaatan yang menjadi sebab keselamatan. Kedua,
bahwa keuntungan seorang hamba itu milik tuannya, maka amalannya juga berhak untuk tuannya. Jadi apapun yang
dikaruniakan kepadanya dari balasan dan ganjaran, maka itu karena karunianya. Ketiga, terdapat dalil dalam beberapa
hadits bahwa seseorang masuk surga karena rahmat Allâh, adapun tingkatan mereka sesuai dengan amalan-amalannya.
Keempat, bahwa amal ketaatan dikerjakan pada waktu sebentar (tidak lama), sedangkan ganjarannya tak ada habisnya.
Maka nikmat yang tidak ada habisnya tersebut merupakan balasan dari apa-apa yang habis dengan sebab karunia Allâh,
bukan balasan dari amalan.”
Kesimpulannya, menyatukan kedua nash tersebut yaitu bahwa yang dinafikan adalah masuknya seseorang ke surga karena
amalnya sebagai balasan. Adapun yang ditetapkan yaitu bahwa amal merupakan sebab, bukan ganti. Tidak diragukan lagi,
bahwa amalan merupakan sebab seseorang masuk surga dan selamat dari neraka, tetapi ia bukan sebagai ganti, dan bukan
satu-satunya yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga. Tetapi karunia dan rahmat Allâh-lah yang merupakan sebab
seseorang masuk ke dalam surga. Kedua hal tersebut yang menyampaikan seseorang ke surga dan menyelamatkannya dari
neraka.
Yang wajib kita imani dan yakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Kasih Sayang
kepada hamba-hamba-Nya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫…َلْو َأَّن َهللا َعَّذ َب َأْهَل َمَس اَو اِتِه َو َأْهَل َأْر ِض ِه َلَع َّذ ُهَبْم َو ُه َو َغُرْي َظ اِلٍم َلُهْم َو َلْو َر َمِحُهْم َلاَك َنْت َر َمْحُتُه َخ رْي ًا َلُهْم ِم ْن َأَمْع اِلِهْم‬
Jika seandainya Allâh menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, maka Allâh tidak berbuat zhalim dengan menyiksa
mereka. Jika seandainya Allâh merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu benar-benar lebih baik bagi mereka daripada
amal perbuatannya…(Shahîh: HR Abu Dawud (no. 4699), Ibnu Majah (no. 77), Ahmad (V/185). Hadits ini
dishahîhkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (no. 3932), dari Sahabat Zaid bin
Tsabit Radhiyallahu anhu .
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
… ‫َأْر َح ُم ِبِك َمْن َأَش اُء ِم ْن ِع َباِد ْي‬، ‫ َأْنِت َر َمْحْيِت‬: ‫… َقاَل ُهللا َتَباَر َك َو َتَع اىَل ِلْلَجَّنِة‬
…Allâh Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada surga, “Engkau adalah rahmat-Ku. Aku merahmati siapa saja yang Aku
kehendaki dari hamba-hamba-Ku denganmu…”.(Shahîh: HR al-Bukhari (no. 4850), Muslim (no. 2846), dan lainnya
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
FAWÂ-ID
1. Wajib untuk istiqamah dalam melakukan amal-amal ketaatan.
2. Berlaku sederhana dalam melaksanakan ketaatan, tidak berlebihan, dan tidak meremehkan.
3. Amal yang dicintai oleh Allâh adalah yang kontinyu terus-menerus meskipun sedikit.
4. Wajib beramal dengan ikhlas dan mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
5. Janganlah seseorang bangga diri dengan amalannya walaupun dia telah mengerjakan banyak amalan shalih, karena itu
semua hanya sesuatu yang kecil dibandingkan hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh hamba-Nya.
6. Hendaklah manusia selalu memperbanyak dzikir kepada Allâh, meminta kepada-Nya agar Allâh meliputinya dengan
rahmat-Nya. Dan bacalah do’a seperti yang dicontohkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ َف َّنُه اَل َيْم ِلُكَها اَّل َأْنَت‬، ‫َالَّلُهَّم ْيِّن َأْس َأَكُل ِم ْن َفْض َكِل َو َر َمْحِتَك‬.
Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
kepada-Mu karunia-Mu dan rahmat-Mu, karena tidak ada yang
‫ِإ‬
memilikinya kecuali hanya Engkau.( Shahîh: HR Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` dan ath-Thabrani,
Majma’uz-Zawâ-id (X/159). Lihat juga Shahîhul-Jâmi’ (no. 1278), Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1543).

7. Hadits ini menunjukkan semangat para sahabat Radhiyallahu anhum dalam memperoleh ilmu. Karena ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal
perbuatannya”, mereka meminta penjelasan, apakah keumuman ini mencakup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau tidak? Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa itu mencakup dirinya.
8. Karunia dan rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya lebih luas daripada amal perbuatan mereka.
9. Bimbingan mengenai cara memperoleh kebaikan, yaitu dengan istiqamah pada syari’at Allâh tanpa berlebih-lebihan,
dan tidak pula meremehkannya.
10. Amal perbuatan tidak dapat memasukkan manusia ke surga, melainkan karena rahmat Allâh Azza wa Jalla dan
karunia-Nya. Namun, tingkatan mereka di surga didasarkan pada amal perbuatan masing-masing.

KEUTAMAAN ISTIQAMAH

Allâh Azza wa Jalla berfirman:


Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allâh,” kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.
Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa
yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allâh) Yang Maha
Pengampun, Maha Penyayang”. [Fushshilat/41:30-32].
Maksudnya, mereka beriman kepada Allâh Yang Maha Esa kemudian istiqamah di atasnya dan di atas ketaatan hingga
Allâh mewafatkan mereka.
Tentang ayat di atas, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Mereka mengikhlaskan amal semata-mata karena Allâh
dan melaksanakan ketaatan sesuai dengan syari’at Allâh.”
Ayat ini menunjukkan bahwa para malaikat akan turun menuju kepada orang-orang yang istiqamah ketika kematian
menjemput, di dalam kubur, dan ketika dibangkitkan. Para malaikat itu memberikan rasa aman dari ketakutan ketika
kematian menjemput, menghilangkan kesedihannya dengan sebab berpisah dengan anaknya karena Allâh adalah pengganti
dari hal itu, memberikan kabar gembira berupa ampunan dari dosa dan kesalahan, diterimanya amal, dan kabar gembira
dengan surga yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati
manusia.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini:
‫“ َتَتَنَّز ُل َع َلْيِهُم اْلَم اَل ِئَك ُة‬Maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka,” yakni di saat kematian sambil berkata, ‫َأاَّل َتَخ اُفوا‬
“janganlah kamu merasa takut,” yaitu dari perkara-perkara akhirat yang akan mereka hadapi, ‫“ َو اَل َتْح َز ُنوا‬dan janganlah kamu
bersedih hati,” yaitu dari perkara-perkara dunia yang telah kalian tinggalkan, seperti anak-anak, keluarga, harta, agama,
karena sesungguhnya Kami akan menggantinya. ‫“ َو َأْبِش ُروا ِباْلَج َّن ِة اَّلِتي ُكْنُتْم ُتوَع ُد وَن‬Dan bergembiralah kamu dengan
(memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu,” lalu mereka diberi kabar gembira dengan hilangnya keburukan dan
tercapainya kebaikan.
Firman Allâh, ‫ُّد ْنَيا َو ِفي اآْل ِخ َرِة‬FF‫“ َنْح ُن َأْو ِلَياُؤ ُك ْم ِفي اْلَحَي اِة ال‬Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan
akhirat,” yaitu para malaikat berkata kepada orang-orang mukmin ketika kematian, ‫“ َنْح ُن َأْو ِلَي اُؤ ُك ْم‬Kamilah pelindung-
pelindungmu”; yakni pendamping-pendamping kalian di dalam kehidupan dunia, kami menunjukkan, mengarahkan, dan
melindungi kalian dengan perintah Allâh. Begitu juga kami akan bersama kalian di akhirat, menemani kesendirian kalian di
alam kubur, ketika ditiupnya sangkakala, dan mengamankan kalian pada hari kebangkitan dan berkumpulnya manusia,
serta membawa kalian melintasi ash-shirâth al-mustaqîm, dan menyampaikan kalian ke surga yang penuh nikmat.
Firman Allâh, ‫“ َو َلُك ْم ِفيَها َم ا َتْش َتِهي َأْنُفُس ُك ْم‬di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan,” yaitu di dalam
surga kalian akan memperoleh segala yang kalian pilih yang diinginkan oleh jiwa kalian dan disenangi oleh diri kalian. ‫َو َلُك ْم‬
‫“ ِفيَها َم ا َتَّدُع وَن‬Dan memperoleh apa yang kamu minta,” yaitu apapun yang kalian minta akan kalian dapatkan dan tersedia di
hadapan kalian, sebagaimana yang kalian inginkan.
Firman Allâh, ‫” ُن ُزاًل ِم ْن َغ ُف وٍر َرِح يٍم‬Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allâh) Yang Maha Pengampun, Maha
Penyayang,” yaitu hidangan, pemberian, dan kenikmatan dari Rabb Yang Maha Pengampun atas dosa-dosa kalian, Maha
Mengasihi kalian serta Maha lembut, di mana Dia mengampuni, memaafkan, menyayangi, dan mengasihi (kalian).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda:
: ‫ َقاَل‬. ‫ ُّلُكَنا َنْكَر ُه اْلَمْو َت‬، ‫ اَي َر ُس وَل ِهللا‬: ‫ُقْلَنا‬. ) ‫ َو َمْن َكِر َه ِلَقاَء ِهللا َكِر َه ُهللا ِلَقاَء ُه‬، ‫َمْن َأَحَّب ِلَقاَء ِهللا َأَحَّب ُهللا ِلَقاَء ُه‬
‫ َفَلْيَس ْيَش ٌء‬، ‫ َو َلِكَّن اْلُم ْؤ ِم َن ِإ َذ ا ُحَرِض َج اَء ُه اْلَبِش ُري ِم َن ِهللا َع َّز َو َج َّل ِبَم ا ُه َو َص اِئٌر ِإ َلْي ِه‬، ‫(َلْيَس َذ اَك َكَر اِه َيَة اْلَمْو ِت‬
‫ َو َّن اْلَفاِج َر َأِو اْلاَك ِف َر ِإ َذ ا ُحَرِض َج اَء ُه ِبَم ا ُه َو َص اِئٌر‬. ‫ َفَأَحَّب ُهللا ِلَقاَء ُه‬، ‫َيُكوَن َقْد َلِقَي َهللا َع َّز َو َج َّل‬ ‫َأَحَّب َلْي ِه ِم ْن َأْن‬
‫ِإ‬
)‫ َو َكِر َه ُهللا ِلَقاَء ُه ِإ‬، ‫ َفَكِر َه ِلَقاَء ِهللا‬، ‫َم اَيْلَقاُه ِم َن الِّرَّش‬ ‫ِإ َلْي ِه ِم َن الِّرَّش َأْو‬.
Barangsiapa menyukai perjumpaan dengan Allâh, niscaya Allâh suka untuk menjumpainya. Dan barangsiapa
membenci perjumpaan dengan Allâh, niscaya Allâh benci menjumpainya.” Kami bertanya, ”Ya Rasûlullâh, kami
semuanya benci kepada kematian.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Bukan itu yang dimaksud
benci kematian. Akan tetapi jika seorang Mukmin berada dalam detik kematiannya, maka datanglah kabar gembira
dari Allâh Ta’ala tentang tempat kembali yang ditujunya. Maka tidak ada sesuatu pun yang lebih dicintainya daripada
menjumpai Allâh Ta’ala, maka Allâh pun suka menjumpainya. Dan sesungguhnya orang yang jahat atau kafir jika
berada dalam detik kematiannya, maka datanglah berita tentang tempat kembali yang dituju berupa keburukan atau
apa yang akan dijumpainya berupa keburukan, lalu dia benci bertemu dengan Allâh, maka Allâh pun benci
menemuinya.(HR. Ahmad)
Berbagai Wasilah (Cara) Agar Tetap Teguh Di Atas Istiqamah. Agar tetap teguh di atas istiqamah maka seseorang
harus melakukan hal-hal berikut:
1. Taubat nasuha.
2. Senantiasa mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik.
3. Selalu berusaha untuk selalu konsekuen dan konsisten dalam ketaatan kepada Allâh danRasul-Nya.
4. Muraqabatullâh, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allâh Ta’ala baik dalam keadaan rahasia maupun terang-
terangan.
5. Muhasabah, yaitu menginstrospeksi segala amal perbuatan yang telah dikerjakan.
6. Mujâhadah, yaitu berjuang sungguh-sungguh menggembleng jiwa di atas ketaatan kepada Allâh Ta’ala.
7. Ikhlas dalam beramal dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasûlullâh).
8. Berpegang teguh kepada Sunnah dan menjauhi bid’ah.
9. Menjaga shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid.
10. Berani dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
11. Senantiasa menuntut ilmu syar’i.
12. Takut kepada Allâh Ta’ala dengan mengingat pedihnya siksa neraka.
13. Mencari teman yang shâlih.
14. Menjaga hati, lisan, dan anggota badan serta sabar dari hal-hal yang diharamkan.
15. Mengetahui langkah-langkah setan.
16. Senantiasa berdzikir dan berdo’a agar diteguhkan di atas istiqamah.
Diantara do’a yang sering Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baca ialah:
‫اَي ُم َقِّلَب اْلُقُلْو ِب َثِّب ْت َقْلْيِب َعىَل ِد ْيِنَك‬.
Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.( Shahîh: HR at-Tirmdizi
(no. 3522) dan Ahmad (VI/302, 315) dari Ummu Salamah radhiyallâhu ’anha.
Wallâhua’lam.
KEWAJIBAN MENUTUP AURAT DAN BATASANNYA
Jika melihat kehidupan masyarakat di sekitar, banyak kita jumpai kaum wanita keluar rumahnya dengan tidak mengenakan
jilbab, atau bahkan memakai rok mini yang mengumbar aurat mereka, begitu pula kaum pria, banyak di antara mereka tidak
menutup aurat. Anehnya, keadaan itu dianggap biasa, tidak dianggap sebuah kemaksiatan yang perlu di ingkari. Seakan
menutup aurat bukan sebuah kewajiban dan membuka aurat bukan sebuah dosa. Bahkan sebaliknya, terkadang orang yang
menutup auratnya di anggap aneh, lucu dan asing. Inilah fakta yang aneh pada zaman sekarang. Kenapa bisa seperti itu ?
Jawabnya, karena jauhnya mereka dari agama Islam sehingga mereka tidak mengerti apa yang menjadi kewajiban termasuk
kewajiban menjaga aurat. Oleh kerena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan mencoba membahas tentang kewajiban
menutup aurat, batasan-batasanya dan siapa yang bertanggung jawab menjaganya ?

PENGERTIAN AURAT DAN KEWAJIBAN MENUTUPNYA


Aurat adalah suatu angggota badan yang tidak boleh di tampakkan dan di perlihatkan oleh lelaki atau perempuan kepada
orang lain. [Lihat al-Mausû’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 31/44]
Menutup aurat hukumnya wajib sebagaimana kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla:
Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha mengatahui apa yang
mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–
putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung. [an-Nûr/24:31]
Dan Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. [al-A’râf/7:31]
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang di sebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma, beliau
berkata:
‫اَك َنْت اْلَمْر َأُة َتُط وُف اِب ْلَبْيِت َو َيِه ُع ْر اَي َنٌة … َفَزَن َلْت َه ِذِه اآْلَيُة ُخ ُذ وا ِز يَنَتْمُك ِع ْنَد ِّلُك َم ْس ِج ٍد‬
Dahulu para wanita tawaf di Ka’bah tanpa mengenakan busana … kemudian Allâh menurunkan ayat :
‫اَي َبيِن آَد َم ُخ ُذ وا ِز يَنَتْمُك ِع ْنَد ِّلُك َم ْس ِج ٍد‬
Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid…[HR. Muslim, no. 3028]
Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada istri-istri nabi dan wanita beriman untuk menutup aurat mereka
sebagaimana firman-Nya :
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[al-Ahzâb/33:59]
Dengan menutup aurat hati seorang terjaga dari kejelekan Allâh Azza wa Jalla berfrman :
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. [al-Ahzâb/33:53]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegur Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma ketika beliau datang
ke rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan busana yang agak tipis. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun memalingkan mukanya sambil berkata :
‫اَي َأَمْس اُء َّن اْلَمْر َأَة َذ ا َبَلَغِت اْلَم ِح يَض َلْم َيْص ُلْح َأْن ُيَر ى ِم َهْنا اَّل َه َذ ا َو َه َذ ا‬
‫ِإ‬
Wahai Asma ! Sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
dan ini (beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan).[HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218.
Hadist ini di shahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah didatangi oleh seseorang yang menanyakan perihal aurat yang harus di tutup
dan yang boleh di tampakkan, maka beliau pun menjawab :
‫اْح َفْظ َع ْو َر َتَك إ اَّل ِم ْن َز ْو ِج َك َأْو َم ا َم َلَكْت َيِم يُنَك‬.
Jagalah auratmu kecuali terhadap (penglihatan) istrimu atau budak yang kamu miliki.[HR. Abu Dâwud, no.4017;
Tirmidzi, no. 2794; Nasa’i dalam kitabnya Sunan al-Kubrâ, no. 8923; Ibnu Mâjah, no. 1920. Hadist ini dihasankan
oleh Syaikh al-Albâni]
Wanita yang tidak menutup auratnya di ancam tidak akan mencium bau surga sebagaimana yang di riwayatkan oleh Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata :
‫ َقْو ٌم َم َع ُهْم ِس َياٌط َأَكْذ اَن ِب اْلَبَقِر َيِرْض ُبوَن َهِبا‬،‫ِم ْن َأْه ِل الَّناِر َلْم َأَر َمُها‬
‫ ِص ْنَفاِن‬: ‫َقاَل َر ُس وُل اِهَّلل َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل‬
‫ اَل َيْد ُخ ْلَن اْلَج َّنَة َو اَل ِجَيْد َن‬، ‫ٌت ُر ُء وُس ُهَّن َأَكْم َثاِل َأْس ِنَم ِة اْلُبْخ ِت اْلَم اِئِةَل‬
‫ َو ِنَس اٌء اَك ِس َياٌت َعاِر اَي ٌت َم اِئاَل ٌت ُم ِم ياَل‬، ‫الَّناَس‬
‫ َو َّن ِر َحيَها َلُتوَج ُد ِم ْن َم ِس رْي ٍة َكَذ ا َو َكَذ ا‬،‫ِر َحيَها‬
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah ‫ ِإ‬aku
lihat: (yang pertama adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (yang
kedua adalah) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk
mengikuti mereka, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak
akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” [HR. Muslim, no. 2128]
Dalam riwayat lain Abu Hurairah menjelaskan. bahwasanya aroma Surga bisa dicium dari jarak 500 tahun. [HR. Malik dari
riwayat Yahya Al-Laisiy, no. 1626]
Dan diharamkan pula seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya atau wanita melihat aurat wanita lainnya, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َو َال‬، ‫ َو َال ُيْف يِض الَّر ُج ُل ىَل الَّر ُج ِل يِف الَّثْو ِب اْلَو ا ِحِد‬، ‫ َو َال اْلَمْر َأُة ىَل َع ْو َر ِة اْلَمْر َأِة‬، ‫َال َيْنُظ ُر الَّر ُج ُل ىَل َع ْو َر ِة الَّر ُج ِل‬
‫ِإ‬ ‫ْل ِحِد ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ُتْف يِض اْلَمْر َأُة ىَل اْلَمْر َأَة يِف الَّثْو ِب َوا‬
Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita
‫ِإ‬
(lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang wanita bersama
wanita lainnya dalam satu kain.” [HR. Muslim, no. 338 dan yang lainnya]
Begitu pentingngnya menjaga aurat dalam agama Islam sehingga seseorang di perbolehkan melempar dengan kerikil orang
yang berusaha melihat atau mengintip aurat keluarganya di rumahnya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

‫َلْو اَّط َلَع يِف َبْيِتَك َأَح ٌد َو َلْم َتْأَذ ْن ُهَل َخ َذ ْفَتُه َحِبَص اٍة َفَفَقْأَت َع ْي َنُه َم ا اَك َن َعَلْي َك ِم ْن ُج َناٍح‬
Jika ada orang yang berusaha melihat (aurat keluargamu) di rumahmu dan kamu tidak mengizinkannya lantas kamu
melemparnya dengan kerikil sehingga membutakan matanya maka tidak ada dosa bagimu. [HR. Al-Bukhâri, no. 688,
dan Muslim, no. 2158].

BATASAN-BATASAN AURAT.
1. Pertama. Aurat Sesama Lelaki
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang batasan aurat sesama lelaki, baik dengan kerabat atau
orang lain. Pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur Ulama yang mengatakan bahwa aurat
sesama lelaki adalah antara pusar sampai lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat sedangkan paha dan
yang lainnya adalah aurat. Adapun dalil dalam hal ini, semua hadistnya terdapat kelemahan pada sisi sanadnya , tetapi
dengan berkumpulnya semua jalur sanad tersebut menjadikan hadist tersebut bisa di kuatkan redaksi matannya
sehingga dapat menjadi hujjah. [Lihat perkataan Syaikh al-Albâni dalam kitabnya Irwâ’ 1/297-298, dan Fatawa al-
Lajnah ad-Dâimah, no. 2252]
2. Kedua. Aurat Lelaki Dengan Wanita
Jumhur Ulama sepakat bahwasanya batasan aurat lelaki dengan wanita mahramnya ataupun yang bukan mahramnya
sama dengan batasan aurat sesama lelaki. Tetapi mereka berselisih tentang masalah hukum wanita memandang lelaki.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama, Ulama Syafiiyah berpendapat bahwasanya tidak boleh seorang wanita melihat aurat lelaki dan
bagian lainnya tanpa ada sebab. Dalil mereka adalah keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya. [an-Nûr/24:31]
Dan hadist Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata :
‫ُكْنُت ِع ْنَد َر ُس وِل اِهَّلل َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َو ِع ْنَد ُه َم ْيُم وَنُة َفَأْقَبَل اْبُن ُأِّم َم ْكُتوٍم َو َذ َكِل َبْع َد َأْن ُأِم ْر اَن اِب ْلِح َج اِب‬
‫ اْح َتِج َبا ِم ْنُه ! َفُقْلَنا اَي َر ُس وَل اِهَّلل َأَلْيَس َأَمْع ى َال ُيْب ُرِص اَن َو َال َيْع ِر ُفَنا َفَقاَل الَّنُّىِب‬: ‫َفَقاَل الَّنُّىِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل‬
‫ َأَفَعْم َياَو اِن َأْنُتَم ا َأَلْس ُتَم ا ُتْب َرِص اِنِه‬: ‫َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل‬
Aku berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah
Ibnu Ummi Maktum Radhiyallahu anhu -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasûlullâh, bukankah ia
buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya,
“Apakah kalian berdua buta ? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia ?. [HR. Abu Dâwud, no. 4112; Tirmidzi,
no. 2778; Nasa’i dalam Sunan al- Kubrâ, no.9197, 9198) dan yang lainnya namun riwayat ini adalah riwayat yang
dha’îf, dilemahkan oleh Syaikh al-Albâni]
Dan mereka juga berdalil dengan qiyas: yaitu sebagaimana di haramkan para lelaki melihat wanita seperti itu pula di
haramkan para wanita melihat lelaki.
Pendapat yang kedua adalah pendapat Ulama di kalangan mazhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria lain
selain auratnya. Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia
berkata :
‫ َح ىَّت َأُكوَن َأاَن‬، ‫اْلَح َبَش ِة َيْلَع ُبوَن ىِف اْلَمْس ِج ِد‬ ‫ َو َأاَن َأْنُظ ُر ىَل‬، ‫َر َأْيُت الَّنَّىِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َيْس ُرُت ىِن ِبِر َد اِئِه‬
‫الَّلْهِو‬ ‫ َفاْقُد ُر وا َقْد َر اْلَج اِر َيِة اْلَح ِد يَثِة الِّس ِّن اْلَح ِر يَص ِة َع ِإىَل‬، ‫اِذَّل ى َأْس َأُم‬
Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah
orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas.
Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda [HR. Al-Bukhâri, no.5236; Muslim,
no.892 dan yang lainnya]
3. Ketiga. Aurat Lelaki Dihadapan Istri
Suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat pernikahan, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para
Ulama bahwasanya seorang suami atau istri boleh melihat seluruh anggota tubuh pasangannya. Adapun hal ini
berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. [al-Ma’ârij/70:29-30]
Dan hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata:
‫ ُكْنُت َأْغَتِس ُل َأاَن َو الَّنُّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل ِم ْن اَن ٍء َو اِحٍد ِم ْن َج َناَبٍة‬: ‫َقاَلْت‬
‫ِإ‬
“Aku mandi bersama dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dalam keadaan junub.
[HR. Al-Bukhâri, no. 263 dan Muslim, no. 43]
4. Keempat. Aurat Wanita Dihadapan Para Lelaki Yang Bukan Mahramnya
Diantara sebab mulianya seorang wanita adalah dengan menjaga auratnya dari pandangan lelaki yang bukan
mahramnya. Oleh kerena itu agama Islam memberikan rambu-rambu batasan aurat wanita yang harus di tutup dan
tidak boleh ditampakkan. Para Ulama sepakat bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang harus di tutup,
kecuali wajah dan telapak tangan yang masih diperselisihkanoleh para Ulama tentang kewajiban menutupnya. Dalil
tentang wajibnya seorang wanita menutup auratnya di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya adalah firman
Allâh Azza wa Jalla :
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin,
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang
harus di tutup. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َو َهَّنا َذ ا َخ َر َج ْت ِم ْن َبْي ِتـَها اْس َتْش ـَر َفَها الَّش ْيـَط اُن‬،‫اْلَمْر َأُة َع ْو َر ٌة‬
Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya [HR. Tirmidzi,no.
‫ ِإ ِإ‬1173; Ibnu
Khuzaimah, no. 1686; ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, no. 10115 dan yang lainnya]
5. Kelima. Aurat Wanita Di depan Mahramnya
Mahram adalah seseorang yang haram di nikahi kerena adanya hubungan nasab, kekerabatan dan persusuan. Pendapat
yang paling kuat tentang aurat wanita di depan mahramnya yaitu seorang mahram di perbolehkan melihat anggota
tubuh wanita yang biasa nampak ketika dia berada di rumahnya seperti kepala, muka, leher, lengan, kaki, betis atau
dengan kata lain boleh melihat anggota tubuh yang terkena air wudhu. Hal ini berdasarkan keumuman ayat dalam
surah an-Nûr, ayat ke-31, insyaAllâh akan datang penjelasannya pada batasan aurat wanita dengan wanita lainnya.
Dan hadist Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
‫اَك َن الِّر َج اُل والِّنَس اُء َيَتَو َّض ُئْو َن ْيِف َز َم اِن َر ُس ْو ِل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل ِمَج ْي ًع ا‬
Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara
bersamaan [HR. Al-Bukhâri, no.193 dan yang lainnya]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bisa jadi, kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab dan tidak dilarang pada saat itu
kaum lelaki dan wanita melakukan wudhu secara bersamaan. Jika hal ini terjadi setelah turunya ayat hijab, maka
hadist ini di bawa pada kondisi khusus yaitu bagi para istri dan mahram (di mana para mahram boleh melihat anggota
wudhu wanita). [Lihat Fathul Bâri, 1/300]
6. Keenam. Aurat Wanita Di Depan Wanita Lainnya
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang aurat wanita yang wajib di tutup ketika berada di depan
wanita lain. Ada dua pendapat yang masyhûr dalam masalah ini :
a. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa aurat wanita di depan wanita lainnya seperti aurat lelaki dengan lelaki
yaitu dari bawah pusar sampai lutut, dengan syarat aman dari fitnah dan tidak menimbulkan syahwat bagi orang
yang memandangnya.
b. Batasan aurat wanita dengan wanita lain, adalah sama dengan batasan sama mahramnya, yaitu boleh
memperlihatkan bagian tubuh yang menjadi tempat perhiasan, seperti rambut, leher, dada bagian atas, lengan
tangan, kaki dan betis. Dalilnya adalah keumuman ayat dalam surah an-Nûr, ayat ke-31. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, [an-Nûr/24:31]
Yang dimaksud dengan perhiasan di dalam ayat di atas adalah anggota tubuh yang biasanya di pakaikan
perhiasan.
Imam al- Jasshâs rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah bolehnya seseorang
menampakkan perhiasannya kepada suaminya dan orang-orang yang disebutkan bersamanya (yaitu mahram)
seperti ayah dan yang lainnya. Yang terpahami, yang dimaksudkan dengan perhiasan disini adalah anggota tubuh
yang biasanya di pakaikan perhiasan sepert wajah, tangan, lengan yang biasanya di pakaikan gelang, leher, dada
bagian atas yang biasanya di kenakan kalung, dan betis biasanya tempat gelang kaki. Ini menunjukkan bahwa
bagian tersebut boleh dilihat oleh orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas (yaitu mahram). Hal senada
juga di ungkapkan oleh imam az-Zaila’i rahimahullah.
Syaikh al-Albâni rahimahullah menukil kesepakatan ahlu tafsir bahwa yang di maksud pada ayat di atas adalah
bagian tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan seperti anting, gelang tangan, kalung, dan gelang kaki.
Pendapat Yang terkuat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu aurat wanita dengan wanita lain adalah
seperti aurat wanita dengan mahramnya karena dalil yang mendukung lebih kuat. Wallahu a’lam.
7. Batasan aurat wanita di depan suami.
Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan
perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi
akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh
istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun
suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain)
memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang
tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allah ta’ala berfirman dalam
kitab-Nya,
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar
memandangi perhiasan istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan untuk
menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya.
[Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku
sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam
keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap
pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan),
berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya
untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-
Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]
Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.
8. Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya.
Aurat seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di depan kaum
lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni (VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam
kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa
sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara perempuannya
atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu
mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri
saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,
‫ َو َال ُيْف يِض الَّر ُج ُل ىَل الَّر ُج ِل يِف الَّثْو ِب اْلَو ا‬، ‫ َو َال اْلَمْر َأُة ىَل َع ْو َر ِة اْلَمْر َأِة‬، ‫َيْنُظ ُر الَّر ُج ُل ىَل َع ْو َر ِة الَّر ُج ِل‬
‫ِإ‬ ‫ َو َال ُتْفيِضِإ اْلَمْر َأُة ىَل اْلَمْر َأَة يِف الَّثْو ِب ِإ اْلَو ِحِد‬، ‫ ِحِد‬.
‫ َو َال َتْنُظ ُر اْلَمْر َأُة ىَل ُع ـْر َيِة اْلَمْر َأِة‬، ‫ َو َال َيْنُظ ُر ِإالَّر ُج ُل ىَل ُع ـْر َيِة الَّر ُج ِل‬: ‫ و يف روية‬.
‫ِإ‬
“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat
‫ِإ‬
wanita (lainnya). Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang
wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita
lainnya” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no. 2793),
Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu “anhu]
Makna “uryah ( ‫( )عـرية‬aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan
Lengkap Nikah (hal. 100)]
Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di depan wanita kafir, maka sebagian ulama
berpendapat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah,
karena lafazh ‫ أو نسآئهن‬yang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada wanita-wanita
muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga
wanita muslimah tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi
(no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22) dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “‫ أو نسآئهن‬bermakna wanita secara umum, baik dia seorang
muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang
bukan mahram, sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan
wanita kafir. [Lihat Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan
Fataawaa al-Mar’ah (I/73)]
Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama,
karena pada awal ayat tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allah ta’ala memulai perintah hijab dengan lafazh ‫وقل للمؤمنت‬
yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu ‫ أو نسآئهن‬lebih
dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
9. Batasan aurat wanita di depan para budak.
Di dalam ayat di atas, disebutkan ‫ أو ما ملكت أيمنهن‬atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat
ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya
adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu’ al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak
diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
10. Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh ‫أِو التبعين غير أولى اإلرب ة من الرج ال‬, , “Maknanya adalah para
pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan
usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat).
[Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut
memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan
kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah
secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa
nampak darinya.
11. Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita
Maksud lafazh ‫ أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النس آء‬adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang
keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke
ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai
mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia
tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]

Catatan Penting
Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh
ditampakkan di depan para mahram, yaitu:
1. Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada
penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika
hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal itu
terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
2. Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman dari kemungkinan adanya orang-orang
asing yang dapat melihatnya dan ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di
mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga kehormatan dan
kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus
dalam Syarah al-Arba’un al-Uswah (no. 26)]
3. Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak
darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat
senantiasa terjaga.

SIAPAKAH YANG BERTANGGUNG JAWAB MENJAGA AURAT?


Agama Islam selaras dengan fitrah manusia. Selama fitrah tersebut masih suci, tidak di nodai dengan maksiat, maka
menjaga aurat bagian dari pembawaan manusia sejak lahir, sebagaimana nabi Adam q dan istrinya ketika nampak aurat
mereka yang sebelumnya tertutup akibat memakan buah yang terlarang. Dengan fitrahnya, nabi Adam q dan istrinya
menutup auratnya dengan daun-daun surga, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
Maka syaithan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai
buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun
surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu
dan aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua ? [al-
A’râf/7:22]
Namun, ketika fitrah ini mulai hilang dari bani Adam dan ketika sifat malu pada diri mereka mulai terkikis, maka harus ada
yang mengontrol dan mengingatkan mereka dalam menjaga aurat. Sebab, mempertontonkan aurat merupakan sebuah
kemungkaran yang harus di ingkari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َو َذ َكِل َأْض َع ُف ا َمياِن‬، ‫ َف ْن َلْم َيْس َتِط ْع َفِب َقْلِب ِه‬، ‫ َف ْن َلْم َيْس َتِط ْع َفِب ِلَس اِنِه‬، ‫َمْن َر َأى ِم ْنْمُك ُمْنَكًر ا َفْلُيَغْرِّي ُه ِبَيِدِه‬
‫ِإْل‬ ‫ِإ‬
Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia
‫ِإ‬
tidak mampu maka dengan lisannya, jika dia tidak bisa maka dengan hatinya dan itu adalah selemah –lemah iman.
[HR. Muslim, no.49 dan yang lainnya]
Mengubah kemungkaran dengan tangan adalah hak dari ulill amri (pemerintah) atau orang yang memiliki kekuasan, seperti
ayah kepada anaknya, atau suami terhadap istrinya. Seorang bapak berkewajiban menjaga aurat anak perempuannya jika
dia sudah baligh. Mereka berkewajiban melarang anak perempuan mereka berdandan atau berpakaian yang tidak menutup
aurat ketika keluar rumah. Begitu pula seorang suami, ia juga berkewajiban menjaga aurat istrinya, seperti menyuruhnya
berbusana yang menutup anggota tubuhnya, menyuruhnya berjilbab jika keluar rumah. Dan jika sudah diberi nasehat
dengan cara yang baik, suami boleh memberikan sangsi kepada istrinya yang tetap membuka auratnya, yaitu dengan pisah
ranjang, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Karena membuka aurat bagian dari nusyûz
(meninggalkan salah satu kewajiban) seorang istri kepada suaminya. Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang sangsi nusyûz :
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûz maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allâh Maha Tinggi lagi maha besar. [An-Nisâ’/4:34]
Pemerintah juga mempunyai peranan penting dalam menjaga aurat masyarakat, sehingga mereka tidak seenaknya
berpakaian dan berpenampilan yang mengumbar aurat di depan umum. Tatanan sebuah masyarakat akan rusak jika hal ini
tidak dilarang, sebab akan terjadi berbagai macam kemungkaran seperti perzinahan, pemerkosaan dan yang lainnya.
Pemerintah harus ikut andil dalam menjaga aurat masyarakat kerena itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab mereka
sebagai pihak yang berwenang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ َفاَأْلِم ُري اِذَّل ي َعىَل الَّناِس َر اٍع َعَلِهْي ْم َو ُه َو َم ْس ُئوٌل َع ُهْنْم‬، ‫ َو ُّلُكْمُك َم ْس ُئوٌل َع ْن َر ِع َّيِتِه‬،‫ ُّلُكْمُك َر اٍع‬.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan di tanya tentang kepemimpinannya, seorang amir maka dia
adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. [HR. al-Bukhâri , no. 893,2409,2554;
dan Muslim, no.1829]
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Wajib bagi waliyul amri (pemerintah) melarang perempuan yang keluar (rumahnya)
dengan berdandan dan bersolek, dan juga melarang mereka berpakaian yang menampakkan auratnya. [at-Thuruq al-
Hukmiah, hlm. 238]
Jika terjadi pelangggaran dalam masalah ini pemerintah boleh memberikan sangsi terhadap pelakunnya, dan hal ini di
benarkan dalam agama Islam. Masalah jenis sangsi, dikembalikan kepada kebijakan hakim. Kerena pelanggaran tidak
menutup aurat termasuk hukum ta’zîr dan bukan bagian dari hukum hudud. Wallâhu a’lam.

BERTAUBAT KEPADA ALLAH


‫ َيآاَهُّيا الَّناُس ُتْو ُبْو ا ىَل ِهللا َو اْس َتْغِفُر ْو ُه َف يِّن‬: ‫ َقاَل َر ُس ْو ُل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل‬: ‫َع ِن ْاَألَغِّر ْبِن َيَس اٍر اْلُم َز يِن َقاَل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫َأُتْو ُب يِف اْلَيْو ِم ِم اَئَة َم َّر ٍة‬.
Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian
manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada
Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”

MAKNA TAUBAT
Asal makna taubat ialah:
‫الُّر ُج ْو ُع ِم َن اَّذل ْنِب‬.
(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:
‫اَت َب ىَل ِهللا َيُتْو ُب َتْو ًاب َو َتْو َبًة َو َمَتاًاب ِبَم ْع ىَن َأاَن َب َو َر َجَع َع ِن اَملْع ِص َيِة ىَل الَّط اَعِة‬.
‫ِإ‬
(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).
‫ِإ‬
‫ْا ْعَرِت اُف َو الَّنَد ُم َو ْا ْقَالُع َو اْلَع ْز ُم َعىَل َأَّال ُيَع اِو َد ْا ْنَس اُن َم ا اْقَرَت َفُه‬:َ ‫الَّتْو َبُة‬.
‫ِإل‬
(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi
‫ِإل‬ ‫ِإل‬
perbuatan itu).

SYARAH HADITS
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang
harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena
sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus
segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “: …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. (An Nur : 31). Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) … (At Tahrim : 8). Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu
dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus
menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang
mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa
hari Kiamat. (Hud : 3).
Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya
segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh
ditunda.”
Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah
wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”
Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa
kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap
anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang
tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek,
menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa
hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya
(ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke
tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya,
baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.
Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik,
kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu
bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu
hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu
majelisnya.

‫ َر ِّب اْغِفْر يِل َو ُتْب َعَّيَل‬، ‫َع ِن اْبِن َمُع َر َقاَل ِإ ْن ُكَّنا َلَنُع ُّد ِلَر ُس ْو ِل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل يِف اْلَم ْج ِلِس اْلَو اِحِد ِم اَئَة َم َّر ٍة‬
‫ِإ َّنَك َأْنَت َتَّو اُب الَّر ِح ُمْي‬.
“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya
Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”( HR At Tirmidzi )no. 3434), Abu Dawud (no. 1516), Ibnu
Majah (no. 3814). Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat.
Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat. Dalam sebuah
hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
‫ َّن َهللا َيْبُس ُط َيَد ُه اِب لَّلْي ِل ِلَيُتْو َب ُم ِس ُئي الَهَّناِر َو َيْبُس ُط َيَد ُه اِب لَهَّناِر ِلَيُتْو َب ُم ِس ُئي الَّلْي ِل َح ىَّت َتْط ُلَع الَّش ْمُس ِم ْن َم ْغِرَهِبا‬.
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat
‫ِإ‬
orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima
taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat” (HR. Muslim)
Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di
setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya,
kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan
kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan
dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air
bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus
tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar,
tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.
Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang
pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
” Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka),
atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu,
maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya
itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. [Al
An’am/6:158]
Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada
seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-
orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih”. [An Nisa`/4 : 18].
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ِإ َّن َهللا َيْقَبُل َتْو َبَة اْلَع ْب ِد َم ا َلْم ُيَغْر ِغ ْر‬.
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan”.( Hadits shahih
riwayat At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253). Lafazh hadits ini menurut Imam At
Tirmidzi.

SYARAT-SYARAT TAUBAT
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:
1. ِ‫(اِإل ْقَالُع‬al iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah
lakukan.
2. ‫( الَّنَد ُم‬an nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.
3. ‫( َاْلَع ْز ُم‬al ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
4. Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu
syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya,
maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa
ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.
Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang
dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َم ا ِم ْن َر ُج ٍل ُيْذ ِنُب َذ ْنبًا َّمُث َيُقْو ُم َفَيَتَط َّهُر َّمُث ُيَص ىِّل َّمُث َيْس َتْغِفُر َهللا َّال َغَفَر ُهللا ُهَل َّمُث َقَر َأ َه َذ ِه اآلَيَة (َو اِذَّل ْيَن َذ ا‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َفَع ُلْو ا َفاِح َش ًة َأْو َظ َلُمْو ا َأْنُفَس ُهْم َذ َكُر ْو ا َهللا َفاَس َتَغَفُر ْو ا ُذِل ُنْو ِهِب ْم‬.
“Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun
kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya”.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:
‫َو اِذَّل يَن َذ ا َفَع ُلوا َفاِح َش ًة َأْو َظ َلُم وا َأْنُفَس ُهْم َذ َكُر وا اَهَّلل َفاْس َتْغَفُر وا ُذِل ُنوِهِب ْم َو َمْن َيْغِفُر اُّذل ُنوَب اَّل اُهَّلل َو َلْم ُيُّرِص وا‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َعٰىَل َم ا َفَع ُلوا َو ْمُه َيْع َلُم وَن‬
“Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui”. [Ali ‘Imran : 135].”( Hadits hasan
riwayat At Tirmidzi (no. 406), Ahmad (I/10), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395), Abu Dawud Ath Thayalisi
(no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.

TINGKATAN MANUSIA YANG BERTAUBAT KEPADA ALLAH


Tingkatan Pertama : Yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya hingga akhir hayatnya. Ia tidak berkeinginan untuk
mengulangi lagi dosanya dan ia berusaha membereskan semua urusannya yang ia pernah keliru (salah). Tetapi ada sedikit
dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil ini,
namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sabiqun bil khairat. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah ..” [Fathir/35 : 32)]
Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Nafsu yang demikian dinamakan nafsu
muthmainnah.
Tingkatan Kedua : Yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua perkara ketaatan dan
menjauhkan semua dosa-dosa besar, tetapi ia terkena musibah, yaitu sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja.
Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya. Orang-orang ini akan
mendapakan janji kebaikan dari Allah Subhanahu w Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.
Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunanNya…” [An Najm/53 : 32].
Dan nafsu yang demikian dinamakan nafsu lawwamah.
“Dan aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri)”. [Al Qiyamah/75: 2].
Tingkatan Ketiga : Orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia
mengerjakan lagi sebagian dari dosa-dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap
menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allah. Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat
dan berkeinginan agar Allah mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allah firmankan:
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. [At Taubah/9 : 102].
Nafsu inilah yang disebut nafsu mas-ulah
Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya dan mengakhirkannya. Bahkan ada kemungkinan,
sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat Maut telah diperintah Allah k untuk mencabut ruhnya, sedangkan
amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.
Tingkatan Keempat : Yaitu orang yang bertaubat, tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi
melakukan dosa-dosa dan maksiat, tidak peduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, serta tidak ada rasa
menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan
yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa. Bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang
yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Nafsu yang demikian ini dinamakan nafsul ammarah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. [Yusuf/12 : 53].
Tingkatan keempat ini sangat berbahaya, dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khatimah (akhir
kehidupan yang jelek).

JANJI ALLAH KEPADA ORANG YANG BERTAUBAT DAN ISTIQAMAH DALAM TAUBATNYA
1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫الَّتاِئُب ِم َن اَّذل ْنِب َمَكْن َال َذ ْنَب ُهَل‬.
“Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa”.(HR. Ibnu Majah)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka
dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al Furqan/25 : 70].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َلَيَتَم َّنَّنَي َأْقَو اٌم َلْو َأْكُرَث ْو ا ِم َن الَّس ْيَئاِت اِذَّل ْيَن َبَّد َل ُهللا َع َّز َو َج َّل َس ِّيَئاِهِت ْم َح َس َناٍت‬.
“Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita
menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan”.
( Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no.
5359), dari sahabat Abu Hurairah.
2. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat,
dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [At Taubah/9 : 104]
Juga firmanNya:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian
tetap (istiqamah) di jalan yang benar”.[Thaha/20 : 82].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َمْن اَت َب َقْبَل َأْن َتْط ُلَع الَّش ْمُس ِم ْن َم ْغِرَهِبا اَت َب ُهللا َعَلْي ِه‬.
“Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya”.(HR. Muslim)
3. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ُّلُك َبيِن آَد َم َخ َّط اٌء َو َخ ُرْي اْلَخ َّط اِئَنْي الَّتَّو اُبْو َن‬.
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”
(Hadits hasan riwayat Ahmad (III/198), At Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251) dan Al Hakim (IV/244).
Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 4515), dari sahabat Anas.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َّمُث َيْغِفُر َلُهْم َو ُه َو اْلَغُفْو ُر الَّر ِح ُمْي‬، ‫ َلَخ َلَق ُهللا َخ ْلًقا ُيْذ ِنُبْو َن َّمُث َيْس َتْغِفُر ْو َن‬،‫َلْو َأَّن اْلِع َباَد َلْم ُيْذ ِنُبْو ا‬.
“Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat
dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.( Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246), dari Abu
‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 967-970).

TERAPI MUJARAB AGAR BISA ISTIQAMAH DALAM TAUBAT DAN TIDAK TERUS-MENERUS
BERBUAT DOSA DAN MAKSIAT
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-
penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan
kembali kepada agama yang benar.
Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang
tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat
tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:
1. Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang
yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.
2. Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan
musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.
3. Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.
4. Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa
khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
5. Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah
‫ َأُع ْو ُذ ِبَك ِم ْن ِّرَش َم ا‬، ‫الَّلُهَّم َأْنَت َر ْيِّب َال َهَل َّال َأْنَت َخ َلْقَتْيِن َو َأاَن َع ْب ُد َك َو َأاَن َعىَل َع ْهِد َك َو َو ْعِد َك َم ا اْس َتَط ْع ُت‬
‫ِإ ِإ‬
‫ َأُبْو ُء َكَل ِبِنْع َم ِتَك َعَّيَل َو َأُبْو ُء ِبَذ ْنْيِب َفاْغِفْر ْيِل َف َّنُه َال َيْغِفُر اُّذل ُنْو َب َّال َأْنَت‬، ‫َص َنْع ُت‬.
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau,
Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu
semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu
(yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak
ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau”.( HR Al Bukhari (no. 6306, 6323), Ahmad (IV /122-125)
dan An Nasa-i (VIII/279-280).
Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah
‫َر َّبَنا اْغِفْر َلَنا ُذ ُنوَبَنا َو َرْس اَفَنا يِف َأْمِر اَن َو َثِّب ْت َأْقَد اَمَنا َو انْرُص اَن َعىَل اْلَقْو ِم اْلاَك ِف ِر يَن‬
“Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan ‫ِإ‬ dalam urusan
kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.[Ali ‘Imran : 147].
‫َر َّبَنا َظ َلْمَنا َأنُفَس َنا َو ن َّلْم َتْغِفْر َلَنا َو َتْر ْمَح َنا َلَنُكوَنَّن ِم َن اْلَخاِرِس يَن‬
“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni ‫ِإ‬ kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”.[Al A’raf : 23].

FIQHUL HADITS
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:
1. Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
2. Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
3. Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
4. Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah
(perbaikan).
5. Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
6. Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah
terbit dari barat (hari Kiamat).
7. Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
8. Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.
“… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
[Al Baqarah/2 : 222].
Wallahu a’lamu bish shawab.
TAUBAT NASHUHA
Manusia tidak lepas dari kesalahan, besar maupun kecil, disadari maupun tanpa disengaja. Apalagi jika hawa nafsu
mendominasi jiwanya. Ia akan menjadi bulan-bulanan berbuat kemaksiatan. Ketaatan, seolah tidak memiliki nilai berarti.
Meski manusia dirundung oleh kemaksiatan dan dosa menumpuk, bukan berarti tak ada lagi pintu untuk
memperbaiki diri. Karena, betapapun menggunung perbuatan maksiat seorang hamba, namun pintu rahmat selalu terbuka.
Manusia diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Yaitu dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan yang bisa
mengantarkannya ke jurang neraka. Taubat yang dilakukan haruslah total, yang dikenal dengan taubat nashuha. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َر َو اُه الْرِّت مِـِذ ُّي‬. ‫ُّلُك َبْيِن آَد َم َخ َط اٌء َو َخ ُرْي اْلَخ َّط اِئَنْي الَّتَّو ُبْو َن‬
Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat. (HR
At Tirmidzi, no.2499 dan dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, no. 4391.)
‫َلْو َأَّن اْلِع َباَد َلْم ُيْذ ِنُبْو ا َلَخ َلَق ُهللا اْلَخلَق ُيْذ ِنُبْو َن َّمُث َيْغِفُر َلُهْم َر واه اْلَح اُمِك‬
Seandainya hamba-hamba Allah tidak ada yang berbuat dosa, tentulah Allah akan menciptakan makhluk lain yang
berbuat dosa kemudian mengampuni mereka.( HR Al Hakim, hlm. 4/246 dan dishahihkan Al Albani dalam Silsilah
Shahihah, no. 967.)
Dengan bertaubat, kita dapat membersihkan hati dari noda yang mengotorinya. Sebab dosa menodai hati, dan
membersihkannya merupakan kewajiban. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya seorang
mukmin bila berbuat dosa, maka akan (timbul) satu titik noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan (perbuatan
tersebut) dan memohon ampunan (kepada Allah), maka hatinya kembali bersih. Tetapi bila menambah (perbuatan dosa),
maka bertambahlah noda hitam tersebut sampai memenuhi hatinya. Maka itulah ar raan (penutup hati) yang telah
disebutkan Allah dalam firmanNya
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. [Al
Muthaffifin:14]
Allah juga menganjurkan kita untuk segera bertaubat dan beristighfar, karena hal demikian jauh lebih baik
daripada larut dalam dosa. Allah berfirman.
Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung
dan tidak (pula) penolong di muka bumi. [At Taubah : 74]
Rasulullah sendiri telah memberikan contoh dalam bertaubat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak bertaubat dan
beristighfar, sampai-sampai para sahabat menghitungnya sebanyak lebih dari seratus kali dalam satu majlis, sebagaimana
Nafi’ maula Ibnu Umar telah menyatakan :
‫اَك َن اْنُن َمُع ُر ُيَع ُّد ِلَر ُس وِل اِهَّلل َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل يِف اْلَم ْج ِلِس اْلَو اِحِد ِم اَئُة َم َّر ٍة ِم ْن َقْبِل َأْن َيُقوَم َر ِّب اْغِفْر يِل َو ُتْب‬
‫َعَّيَل َّنَك َأْنَت الَّتَّو اُب اْلَغُفوُر َر ََو اُه الْرِّت ِمِذ ي‬
Ibnu Umar pernah menghitung (bacaan istighfar) Rasulullah n dalam suatu majlis sebelum bangkit darinya seratus
‫ِإ‬
kali, (yang berbunyi) : Ya Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha penerima
taubat lagi Maha pengampun. (HR At Tirmidzi, no. 3434 dan dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no.556.)

PENGERTIAN TAUBAT NASHUHA


Yang dimaksud dengan taubat nashuha, adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dari dosa yang pernah
dilakukannya, baik sengaja ataupun karena ketidaktahuannya, dengan jujur, ikhlas, kuat dan didukung dengan ketaatan-
ketaatan yang mengangkat seorang hamba mencapai kedudukan para wali Allah yang muttaqin (bertakwa) dan (ketaatan)
yang dapat menjadi pelindung dirinya dari setan.

HUKUM DAN ANJURAN TAUBAT NASHUHA


Hukum taubat nashuha adalah fardhu ‘ain (menjadi kewajiban setiap individu) atas setiap muslim. Dalilnya :
Firman Allah :
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [An Nuur : 31].
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya. [At Tahriim : 8].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‫ َر َو اُه ُم ْس ـٌمِل‬.ٍ‫اَي َأَهُّيا اِذَّل يَن َء اَمُنوا ُتوُبوا ىَل ِهللا َف ْيِّن َأُتْو ُب ىَل ِهللا ْيِف اْلَيْو ِم ِم اَئَة َم َّر ة‬
‫ِإ‬
Wahai, kaum mukminin. Bertaubatlah kepada Allah, karena saya juga bertaubat kepada Allah sehari seratus kali.( HR
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Muslim (17/24) dengan Syarh Nawawi, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar.)
Umat Islam juga telah bersepakat tentang kewajiban bertaubat, sebagaimana dinyatakan Imam Al Qurthubi : “(Para ulama)
umat telah ijma’ (bersepakat) bahwa hukum bertaubat adalah fardhu (wajib) atas seluruh mukminin” . Ibnu Qudamah juga
menyatakan demikian .

KELUASAN RAHMAT ALLAH DAN KEUTAMAAN TAUBAT NASHUHA


Manusia hendaklah jangan khawatir jika taubatnya tidak diterima, karena rahmat Allah sangat luas, sebagaimana do’a para
malaikat yang dijelaskan dalan firmanNya :
Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang
bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala. [Al
Mu’min:7].

SYARAT TAUBAT NASHUHA


Agar taubat nashuha bisa diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, ada beberapa syarat yang harus dipenuhinya :
1. Islam.
Taubat yang diterima hanyalah dari seorang muslim. Adapun orang kafir, maka taubatnya ialah dengan masuk
memeluk Islam. Allah berfirman.
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila
datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan “Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang “. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi
orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. [An Nisaa’ : 18].
2. Ikhlash.
Taubat yang diterima secara syari’at, hanyalah yang didasari dengan keikhlasan. Taubat karena riya` atau tujuan
duniawi, tidak dikatakan sebagai taubat syar’i. Allah berfirman.
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan
tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang
beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. [An
Nisaa’ : 146].
3. Mengakui dosanya.
Taubat tidak sah, kecuali setelah mengetahui perbuatan dosa tersebut dan mengakui kesalahannya, serta berharap
selamat dari akibat buruk perbuatan tersebut.
4. Penuh penyesalan.
Taubat hanya bisa diterima dengan menunjukkan penyesalannya yang mendalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
‫الَّنَد ُم َتْو َبٌة َر َو اُه اْبُن َم اَج ه‬
Penyesalan adalah taubat.( HR Ibnu Majah, no. 4252 dan Ahmad no. 3568 dan yang lainnya. Hadits ini
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ Al Shaghir, no. 6678.)
5. Meninggalkan kemaksiatan dan mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya.
Orang yang bertaubat wajib meninggalkan kemaksiatannya dan mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya,
jika berupa harta atau yang sejenisnya. Kalau berupa tuduhan fitnah atau yang sejenisnya, maka dengan cara
meminta maaf. Apabila berupa ghibah (menggunjing), maka dengan cara memohon dihalalkan (ditoleransi)
selama permohonan tersebut tidak menimbulkan pengaruh buruk yang lain. Bila ternyata berimplikasi buruk,
maka cukuplah dengan mendoakannya untuk meraih kebaikan.
6. Masa bertaubat sebelum nafas berada di kerongkongan (sakaratul maut) dan sebelum matahari terbit di arah barat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ َر َو اُه الْرِت ِمِذ ي‬. ‫َّن َهللا َيْقَبُل َتْو َبَة اْلَع ْب ِد َم ا َلْم ُيَغْر ِغ ْر‬
Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum nafasnya berada di kerongkongan. (HR At
‫ِإ‬
Tirmidzi no. 3537 dan dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir no.1899.)
‫ َر َو اُه أبو َد اُو د َو َأَمْحُد‬.‫اْلِهْج َر ُة َال َتْنَقِط ُع َح ىَّت َتْنَقِط َع اْلَتْو َبُة َو َال َتْنَقِط ُع اْلَتْو َبُة َح ىَّت َتْط ُلَع الَش ْمُس ِم ْن َم ْغِرَهِبا‬
Hijrah tidak terputus sampai terhentinya (masa untuk) taubat, dan taubat tidak terputus sampai matahari
terbit dari sebelah barat.( HR Abu Dawud, no. 2479 dan Ahmad dalam Musnad (3/99) dan dishahihkan
dalam Shahih Al Jami’, no. 7469.)
7. Istiqamah setelah bertaubat.
Allah berfirman.
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang
telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan. [Huud : 112].
8. Mengadakan perbaikan setelah taubat.
Allah berfirman.
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah
“Salaamun-alaikum. Rabb-mu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa
yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya
dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al
An’am : 54].

YANG HARUS DIINGAT KETIKA BERTAUBAT


1. Meyakini bahwa Allah Maha mengetahui dan Maha melihat. Allah mengetahui segala yang tersembunyi dan yang
disembunyikan di dalam hati. Meskipun kita tidak melihatnya, tetapi Dia pasti melihatnya.
2. Lihat keagungan Dzat yang Anda durhaai, dan jangan melihat kepada kecilnya obyek maksiat, sebagaimana
firmanNya.
Kabarkan kepada hamba-hambaKu, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azabKu adalah azab yang sangat pedih. [Al Hijr : 49- 50].
3. Ingatlah, bahwa dosa itu semuanya jelek dan buruk, karena ia menjadi penghalang dalam mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
4. Meninggalkan tempat-tempat kemaksiatan dan teman-teman yang berperangai buruk, yang biasa membantunya
berbuat dosa, serta memutus hubungan dengan mereka selama mereka belum berubah menjadi baik.

HAL-HAL YANG MENGHALANGI TAUBAT


Di antara hal-hal yang menghalangi dosa ialah :
1. Bid’ah dalam agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َّن َهللا َحَجَب َالَّتْو َبَة َع ْن َص اِح ِب ِّلُك ِبْد َعٍة‬
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah. [Ash-Shahihah No. 1620]
‫ِإ‬
2. Kecanduan minuman keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َمْن ِرَش َب اْلَخ ْم َر َلْم ُتْقَبْل ُهَل َص اَل ٌة َأْر َبِع َني َلْي ًةَل َف ْن اَت َب اَت َب اُهَّلل َعَلْي ِه َف ْن َعاَد اَك َن َح ًّقا َعىَل اِهَّلل َتَع اىَل َأْن‬
‫َيْس ِقَيُه ِم ْن َهَنِر اْلَخ َباِل ِق يَل َو َم ا َهَنُر اْلَخ َباِل َقاَل ِإَص ِد يُد َأْه ِل الَّناِر َر َو اُه ِإَأَمْحد‬
Barangsiapa yang minum khamr (minuman keras), maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam.
Jika ia bertaubat, maka Allah akan menerimanya. Namun, bila mengulangi lagi, maka pantaslah bila Allah
memberinya minuman dari sungai Khibaal. Ada yang bertanya: “Apa itu sungai Khibaal?” Beliau
menjawab,”Nanah penduduk neraka.( HR Ahmad (2/189) dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’
Ash Shaghir, no. 6188)

SHALAT ISTIKHARAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan mereka, dan supaya mereka
memohon kebaikan didalamnya. Yaitu, dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti bagi apa
yang biasa dilakukan pada masa jahiliyyah, berupa ramal-meramal, memohon kepada berhala dan melihat peruntungan.
Yang dimaksud istikhoroh adalah memohon kepada Allah manakah yang terbaik dari urusan yang mesti dipilih
salah satunya.

Dalil Disyariatkannya Shalat Istikhoroh


Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
‫ اَمَك ُيَعُمِّل الُّس وَر َة ِم َن اْلُق ْر آِن َيُق وُل‬، ‫اَك َن َر ُس وُل اِهَّلل – صىل هللا عليه وسمل – ُيَعُمِّل َأَحْص اَبُه اِالْس ِتَخ اَر َة ىِف اُألُم وِر ِّلُك َها‬
، ‫ َو َأْس َتْقِد ُر َك ِبُق ْد َر ِتَك‬، ‫« َذ ا َّمَه َأَح ُد ْمُك اِب َألْمِر َفْلْرَي َك ْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر يَض ِة َّمُث ِلَيُق ِل الَّلُهَّم ىِّن َأْس َتِخ ُري َك ِبِع ْلِم َك‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
– ‫ الَّلُهَّم َف ْن ُكْنَت َتْعُمَل َه َذ ا اَألْم َر‬، ‫ َو َأْنَت َعَّالُم اْلُغُيوِب‬، ‫ َو َتْعُمَل َو َال َأْعُمَل‬، ‫ َف َّنَك َتْقِد ُر َو َال َأْقِد ُر‬، ‫َو َأْس َأَكُل ِم ْن َفْض َكِل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ َو َيْرِّس ُه‬، ‫َّمُث ُتَس ِّم يِه ِبَع ْي ِنِه – َخ ًرْي ا ىِل ىِف َعاِج ِل َأْمِر ى َو آِج ِهِل – َق اَل َأْو ىِف ِد يىِن َو َم َع اىِش َو َعاِق َب ِة َأْم ِر ى – َفاْق ُد ْر ُه ىِل‬
‫ الَّلُهَّم َو ْن ُكْنَت َتْعُمَل َأَّن ُه ٌّرَش ىِل ىِف ِد يىِن َو َم َع اىِش َو َعاِق َب ِة َأْم ِر ى – َأْو َق اَل ىِف َعاِج ِل َأْم ِر ى‬، ‫ َّمُث اَب ِر ْك ىِل ِف يِه‬، ‫ىِل‬
» ‫ َّمُث َر ِّض ىِن ِبِه‬، ‫ َو اْقُد ِإْر َىِل اْلَخ َرْي َح ْيُث اَك َن‬، ‫َو آِج ِهِل – َفاِرْص ْفىِن َع ْنُه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan.
Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an. Kemudian beliau bersabda, “Jika
salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain
shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a: “Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa
as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub.
Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw
fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta
ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu,
waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih”
Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan
kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku
tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara
yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku
di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut
untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara
tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka
palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya.”

Shalat ini adalah seperti yang disebutkan di dalam hadits berikut.


Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita ; ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan
istikharah kepada kami dalam (segala) urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-Qur’an. Beliau bersabda.
‫ َالَّلُهَّم يِّن َأْس َتِخ ُرْي َك ِبِع ْلِم َك َو َأْس َتْقِد ُر َك ِبُقْد َر ِتَك‬: ‫ َّمُث ْلَيُقْل‬، ‫ َفْلْرَي َكْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر ْيَض ِة‬، ‫َذ َّمَه َأَح ُد ْمُك ْاِب َألْمِر‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ َالَّلُهَّم ْن ُكْنَت َتْعُمَل َأَّن َه َذ ا ْا َأل َرْم‬. ‫َو َأْس َأَكُل ِم ْن َفْض َكِل اْلَع ِظ ِمْي َف َّنَك َتْقِد ُر َو َال َأْقِد ُر َو َتْعُمَل َو َال َأْعُمَل َو َأْنَت َعَّالُم اْلُغُيْو ِب‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ َو ْن‬، ‫ َعاِج ِل َأْمِر ي َو آِج ِهِل ) َفاْقُد ْر ُه ْيِل َو َيْرِّس ُه ْيِل َّمُث اَب ِر ْك ْيِل ِف ْيِه‬: ‫َخٌرْي ْيِل ْيِف ِد ْيْيِن َو َم َع اْيِش َو َعاِق َبِة َأْمِرْي (اَ ْو َقاَل‬
‫ ْيِف َعاِج ِل َأْمِر ي آِج ِهِل ) َفاِرْص ْفُه َع يِّن ِإ‬: ‫ُكْنَت َتْعُمَل َأَّن َه َذ ا ْاَألْم ٌّرَش ْيِف ِد ْي َم َع اْيِش َعاِق ِة َأْمِرْي (َأْو َقاَل‬
‫َو‬ ‫َو َب‬ ‫َر ْيِل ْيِن َو‬
‫ َو ُيَس ِّم ي َح اَج َتُه‬: ‫َو اِرْص ْفْيِن َع ْنُه َو اْقُد ْر َيِل اْلَخ َرْي َح ْيُث اَك َن َّمُث َأْر ِض ْيِن ِبِه َقاَل‬
“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan
shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan : (‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu
yang sangat agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak kuasa sama sekali, Engkau mengetahui
sedang aku tidak, dan Engkau Mahamengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan
ini (kemudian menyebutkan langsung urusan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan
akhir urusanku” –atau mengucapkan : “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka tetapkanlah ia
bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan jika Engkau
mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku” –atau mengucapkan:
“Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya,
serta tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha
dengan ketetapan tersebut), Beliau bersabda : “Hendaklah dia menyebutkan keperluannya” (Diriwayatkan oleh Al-
Bukhari)

Dapat saya katakan, di dalam hadits tersebut terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik, yaitu.
Pertama : Di dalam hadits ini, shalat istikharah disyariatkan. Dan di dalamnya juga, shalat istikharah terkesn wajib.
Kedua ; Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa shalat istikharah itu disyariatkan dalam segala urusan, baik urusan
itu besar maupun kecil, penting maupun tidak
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah itu disunnatkan dalam segala urusan, sebagaimana yang secara
jelas disampaikan oleh nash hadits shahih ini’
Juga perlu saya katakan, bahwa mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan serta
menunaikan semua yang disunatkan dan meninggalkan yang makruh tidak perlu shalat istikharah
Memang benar, shalat istikharah ini mencakup yang wajib dan yang sunnat yang harus dipilih serta hal-hal yang waktunya
cukup luas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah ini mencakup urusan-urusan besar maupun kecil.
Berapa banyak masalah kecil menjadi sumber masalah besar?”
Ketiga : Di dalamnya juga terdapat pengertian bahwa shalat istikharah itu dua rakaat di luar shalat wajib
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :”Yang tampak bahwa shalat istikharah ini dapat dikerjakan dengan dua
rakaat shalat sunnat rawatib, tahiyatul masjid, dan shalat-shalat sunnat lainnya.
Perlu saya katakan, maksudnya –wallahu a’lam- jika ada keinginan untuk melakukan suatu hal, maka hendaklah segera
mengerjakan shalat istikharah ini. Dan menurut lahiriyah ungkapan Imam An-Nawawi rahimahullah, sama saja shalat itu
diniati dengan niatkan istikharah maupun tidak. Dan itu juga yang tampak pada lahiriyah hadits.
Al-Iraqi mengemukakan : Jika keinginan melakukan sesuai itu muncul sebelum mengerjakan shalat sunnat rawatib atau
yang semisalnya, lalu dia mengerjakan shalat dengan tidak berniat untuk beristikharah, kemudian setelah shalat muncul
keinginan untuk memanjatkan do’a istikharah, maka secara lahir, hal tersebut sudah mencukupi.
Keempat : Di dalamnya disebutkan : “Istikharah itu tidak bisa dilakukan pada saat ragu-ragu, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
‫َذ ا َّمَه َاَح ُد ْمُك ْاِب لَأل ْمِر‬
“Jika salah seorang di antara kalian mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu. Dan, karena semua do’a menunjukkan
‫ِإ‬
kepada hal tersebut”.
Dan jika seorang muslim merasa ragu dalam suatu hal, maka hendaklah dia memilih salah satu dari kedua hal tersebut dan
memohon petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut. dan setelah istikharah, dia biarkan semua berjalan apa adanya. Jika
baik, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan padanya dan memberikan berkah kepadanya dalam hal tersebut. Dan
jika tidak, mudah-mudahan Dia memalingkan dirinya dari hal tersebut serta memudahkan kepada yang lebih baik dengan
seizin-Nya yang Mahasuci lagi Mahatinggi.
Kelima : Selain itu, di dalamnya juga terkandung pengertian, tidak ada penetapan bacaan surat atau beberapa ayat tertentu
pada kedua rakaat tersebut setelah bacaan Al-Fatihah.
Keenam : Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa pemilihan itu terlihat dengan dimudahkannya urusan itu dan
diberikannya berkah padanya. Dan jika tidak demikian, maka orang yang beristikharah itu akan dipalingkan darinya dan
diberikan kemudahan padanya untuk memperoleh kebaikan dimana pun kabaikan itu berada.
Ketujuh : Selain itu, jika seorang muslim mengerjakan shalat istikharah, maka akan terlihat apa yang dia inginkan, baik
dadanya lapang atau tidak.
Az-Zamlakani mengatakan :”Jika seseorang mengerjakan shalat istikharah dua rakaat untuk suatu hal, maka hendaklah
setelah itu dia melakukan apa yang tampak olehnya, baik hatinya merasa senang maupun tidak, karena padanya kebaikan
itu berada sekalipun jiwanya tidak menyukainya”. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Di dalam hadits tersebut tidak ada syarat
adanya kesenangan diri’
Kedelapan : Saat pemanjatan do’a istikarah itu berlangsung setelah salam. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
‫ َّمُث ْلَيُقْل‬، ‫ َفْلْرَي َكْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر ْيَض ِة‬، ‫َذ ا َّمَه َأَح ُد مُك اِب ّألْمِر‬
“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat
‫ِإ‬
dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan ..”
Karena lahiriyahnya do’a itu dipanjatkan setelah mengerjakan shalat dua rakaat, yaitu setelah salam. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa do’a istikharah itu dipanjatkan sebelum salam.

Faedah Mengenai Shalat Istikhoroh


Pertama: Hukum shalat istikhoroh adalah sunnah dan bukan wajib. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
‫َذ ا َّمَه َأَح ُد ْمُك اِب َألْمِر َفْلْرَي َكْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر يَض ِة‬
“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain
‫ِإ‬
shalat fardhu”
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi seseorang, lalu ia bertanya mengenai Islam. Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat lima waktu sehari semalam.” Lalu ia tanyakan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
» ‫ َّال َأْن َتَّط َّو َع‬، ‫َه ْل َعَّىَل َغُرْي َها َقاَل « َال‬
‫ِإ‬
“Apakah aku memiliki kewajiban shalat lainnya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak ada,
kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah.”(HR. Bukhari & Muslim)
Kedua: Dari hadits di atas, shalat istikhoroh boleh dilakukan setelah shalat tahiyatul masjid, setelah shalat rawatib, setelah
shalat tahajud, setelah shalat Dhuha dan shalat lainnya. Bahkan jika shalat istikhoroh dilakukan dengan niat shalat sunnah
rawatib atau shalat sunnah lainnya, lalu berdoa istikhoroh setelah itu, maka itu juga dibolehkan. Artinya di sini, dia
mengerjakan shalat rawatib satu niat dengan shalat istikhoroh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َذ ا َّمَه َأَح ُد ْمُك اِب َألْمِر َفْلْرَي َكْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر يَض ِة‬
“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain
‫ِإ‬
shalat fardhu.” Di sini cuma dikatakan, yang penting lakukan shalat dua raka’at apa saja selain shalat wajib.
Al ‘Iroqi mengatakan, “Jika ia bertekad melakukan suatu perkara sebelum ia menunaikan shalat rawatib atau shalat sunnah
lainnya, lalu ia shalat tanpa niat shalat istikhoroh, lalu setelah shalat dua rakaat tersebut ia membaca doa istikhoroh, maka
ini juga dibolehkan.”
Ketiga: Istikhoroh hanya dilakukan untuk perkara-perkara yang mubah (hukum asalnya boleh), bukan pada perkara yang
wajib dan sunnah, begitu pula bukan pada perkara makruh dan haram. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
‫اَك َن َر ُس وُل اِهَّلل – صىل هللا عليه وسمل – ُيَعُمِّل َأَحْص اَبُه اِالْس ِتَخ اَر َة ىِف اُألُم وِر ِّلُك َها‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abi Jamroh bahwa yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah khusus walaupun
lafazhnya umum.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits tersebut bahwa istikhoroh hanya
khusus untuk perkara mubah atau dalam perkara sunnah (mustahab) jika ada dua perkara sunnah yang bertabrakan, lalu
memilih manakah yang mesti didahulukan.”
Contohnya, seseorang tidak perlu istikhoroh untuk melaksanakan shalat Zhuhur, shalat rawatib, puasa Ramadhan, puasa
Senin Kamis, atau mungkin dia istikhoroh untuk minum sambil berdiri ataukah tidak, atau mungkin ia ingin istikhoroh
untuk mencuri. Semua contoh ini tidak perlu lewat jalan istikhoroh.
Begitu pula tidak perlu istikhoroh dalam perkara apakah dia harus menikah ataukah tidak. Karena asal menikah itu
diperintahkan sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-
hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An Nur: 32)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اَي َمْع َرَش الَّش َباِب َمِن اْس َتَط اَع ِم ْنُمُك اْلَباَء َة َفْلَيَزَت َّو ْج‬
“Wahai para pemuda, jika salah seorang di antara kalian telah mampu untuk memberi nafkah, maka
menikahlah.”(HR. Bukhari & Muslim)
Namun dalam urusan memilih pasangan dan kapan tanggal nikah, maka ini bisa dilakukan dengan istikhoroh.
Sedangkan dalam perkara sunnah yang bertabrakan dalam satu waktu, maka boleh dilakukan istikhoroh. Misalnya
seseorang ingin melakukan umroh yang sunnah, sedangkan ketika itu ia harus mengajarkan ilmu di negerinya. Maka pada
saat ini, ia boleh istikhoroh.
Bahkan ada keterangan lain bahwa perkara wajib yang masih longgar waktu untuk menunaikannya, maka ini juga bisa
dilakukan istikhoroh. Semacam jika seseorang ingin menunaikan haji dan hendak memilih di tahun manakah ia harus
menunaikannya. Ini jika kita memilih pendapat bahwa menunaikan haji adalah wajib tarokhi (perkara wajib yang boleh
diakhirkan).
Keempat: Istikhoroh boleh dilakukan berulang kali jika kita ingin istikhoroh pada Allah dalam suatu perkara. Karena
istikhoroh adalah do’a dan tentu saja boleh berulang kali. Ibnu Az Zubair sampai-sampai mengulang istikhorohnya tiga
kali. Dalam shahih Muslim, Ibnu Az Zubair mengatakan,
‫ىِّن ُم ْس َتِخ ٌري َر ىِّب َثَالاًث َّمُث َعاِز ٌم َعىَل َأْمِر ى‬
“Aku melakukan istikhoroh pada Rabbku sebanyak tiga kali, kemudian aku pun bertekad menjalankan urusanku
‫ِإ‬
tersebut.”(HR. Muslim)
Kelima: Do’a shalat istikhoroh yang lebih tepat dibaca setelah shalat dan bukan di dalam shalat. Alasannya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
… ‫َذ ا َّمَه َأَح ُد ْمُك اِب َألْمِر َفْلْرَي َكْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر يَض ِة َّمُث ِلَيُقِل الَّلُهَّم ىِّن َأْس َتِخ ُري َك‬
‫ِإ‬
“Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain
‫ِإ‬
shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a: “Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika …”
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui dalil yang shahih yang menyatakan bahwa
do’a istikhoroh dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud (sebelum salam) kecuali landasannya adalah dalil yang sifatnya
umum yang menyatakan bahwa ketika sujud dan tasyahud akhir adalah tempat terbaik untuk berdo’a. Akan tetapi, hadits ini
sudah cukup sebagai dalil tegas bahwa do’a istikhoroh adalah setelah shalat. ”
Keenam: Istikhoroh dilakukan bukan dalam kondisi ragu-ragu dalam satu perkara karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َذ ا َّمَه َأَح ُد ْمُك اِب َألْمِر َفْلْرَي َكْع َر ْكَعَتِنْي ِم ْن َغِرْي اْلَفِر يَض ِة‬
““Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain
‫ِإ‬
shalat fardhu”. Begitu pula isi do’a istikhoroh menunjukkan seperti ini. Oleh karena itu, jika ada beberapa pilihan,
hendaklah dipilih, lalu lakukanlah istikhoroh. Setelah istikhoroh, lakukanlah sesuai yang dipilih tadi. Jika memang pilihan
itu baik, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka nanti akan dipersulit.
Ketujuh: Sebagian ulama menganjurkan ketika raka’at pertama setelah Al Fatihah membaca surat Al Kafirun dan di rakaat
kedua membaca surat Al Ikhlas. Sebenarnya hal semacam ini tidak ada landasannya. Jadi terserah membaca surat apa saja
ketika itu, itu diperbolehkan.
Kedelepan: Melihat dalam mimpi mengenai pilihannya bukanlah syarat dalam istikhoroh karena tidak ada dalil yang
menunjukkan hal ini. Namun orang-0rang awam masih banyak yang memiliki pemahaman semacam ini. Yang tepat,
istikhoroh tidak mesti menunggu mimpi. Yang jadi pilihan dan sudah jadi tekad untuk dilakukan, maka itulah yang
dilakukan. Terserah apa yang ia pilih tadi, mantap bagi hatinya atau pun tidak, maka itulah yang ia lakukan karena tidak
dipersyaratkan dalam hadits bahwa ia harus mantap dalam hati. Jika memang yang jadi pilihannya tadi dipersulit, maka
berarti pilihan tersebut tidak baik untuknya. Namun jika memang pilihannya tadi adalah baik untuknya, pasti akan Allah
mudahkan.

Tata Cara Istikhoroh


Pertama: Ketika ingin melakukan suatu urusan yang mesti dipilih salah satunya, maka terlebih dahulu ia pilih di antara
pilihan-pilihan yang ada.
Kedua: Jika sudah bertekad melakukan pilihan tersebut, maka kerjakanlah shalat dua raka’at (terserah shalat sunnah apa
saja sebagaimana dijelaskan di awal).
Ketiga: Setelah shalat dua raka’at, lalu berdo’a dengan do’a istikhoroh:
، ‫ َو َتْعُمَل َو َال َأْعُمَل‬، ‫ َف َّنَك َتْق ِد ُر َو َال َأْق ِد ُر‬، ‫ َو َأْس َأَكُل ِم ْن َفْض َكِل‬، ‫ َو َأْس َتْقِد ُر َك ِبُقْد َر ِتَك‬، ‫الَّلُهَّم ىِّن َأْس َتِخ ُري َك ِبِع ْلِم َك‬
‫ الَّلُهَّم َف ْن ُكْنَت َتْعُمَل َه َذ ا اَألْم َر – َّمُث ُتَس ِّم يِه ِبَع ْي ِن ِه – ِإَخ ًرْي ا ىِل ىِف َعاِج ِل َأْم ِر ى َو آِج ِهِل – َق اَل‬، ‫َو َأْنَت ِإ َعَّالُم اْلُغُيوِب‬
‫ الَّلُهَّم َو ْن ُكْنَت َتْعُمَل َأَّنُه ٌّرَش ىِل‬، ‫ َّمُث اَب ِر ْك ىِل ِف يِه‬، ‫ َو َيْرِّس ُه ىِل‬، ‫َأْو ىِف ِد يىِن َو َم َع اىِش َو َعاِق َب ِة ِإَأْم ِر ى – َفاْق ُد ْر ُه ىِل‬
، ‫ َو اْق ُدِإ ْر َىِل اْلَخ َرْي َح ْيُث اَك َن‬، ‫ىِف ِد يىِن َو َم َع اىِش َو َعاِق َبِة َأْمِر ى – َأْو َقاَل ىِف َعاِج ِل َأْم ِر ى َو آِج ِهِل – َفاِرْص ْفىِن َع ْن ُه‬
‫َّمُث َر ِّض ىِن ِبِه‬
[Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan
kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah
mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di
akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah
untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama,
penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku,
takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya]
Keempat: Lakukanlah pilihan yang sudah dipilih di awal tadi, terserah ia merasa mantap atau pun tidak dan tanpa harus
menunggu mimpi. Jika itu baik baginya, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka pasti ia akan palingkan ia dari
pilihan tersebut.

ADAB-ADAB SAFAR

Adab-Adab Sebelum Safar


1. Melakukan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdo’a dengan do’a
Istikharah.
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada
kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan al-Qur-an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apabila seseorang di antara kalian
mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan shalat sunnat (Istikharah) dua raka’at
kemudian membaca do’a:
“‫ َو َتْعُمَل َو َال‬، ‫ َف َّنَك َتْقِد ُر َو َال َأْقِد ُر‬،‫ َو َأْس َأَكُل ِم ْن َفْض َكِل اْلَع ِظ ِمْي‬، ‫ َو َأْس َتْقِد ُر َك ِبُقْد َر ِتَك‬، ‫الَّلُهَّم ْيِّن َأْس َتِخ ُرْي َك ِبِع ْلِم َك‬
‫ ِإَخٌرْي ْيِل ْيِف ِد ْييِن َو َم َع اْيِش َو َعاِق َبِة‬-‫َو ُيَس ِّم ى َح اَج َتُه‬- ‫ َالَّلُهَّم ْن ُكْنَت َتْعُمَل َأَّن َه َذ ا ْا َألْم َر‬، ‫ ِإ َو َأْنَت َعَّالُم اْلُغُيْو ِب‬، ‫َأْعُمَل‬
‫ِإ‬
‫ َو ْن ُكْنَت َتْعُمَل َأَّن َه َذ ا ْاَألْم َر ٌّرَش ْيِل ْيِف ِد ْيْيِن‬، ‫ َعاِج ِهِل َو آِج ِهِل َفاْقُد ْر ُه ْيِل َو َيْرِّس ُه ْيِل َّمُث اَب ِر ْك ْيِل ِف ْيِه‬: ‫َأْو َقاَل‬- ‫َأْمِرْي‬
‫ِإ‬
‫ َفاِرْص ْفُه َع ْيِّن َو اِرْص ْفْيِن َع ْنُه َو اْقُد ْر َيِل اْلَخ َرْي َح ْيُث اَك َن َّمُث َأْر ِض ْيِن‬- ‫ َعاِج ِهِل َو آِج ِهِل‬: ‫َأْو َقاَل‬- ‫َو َم َع اْيِش َو َعاِق َبِة َأْمِرْي‬
‫ِبِه‬.”
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon
kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu
sesuatu dari anugerah-Mu Yang Mahaagung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa,
Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan Engkau-lah Yang Mahamengetahui hal yang ghaib. Ya
Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendak-nya menyebutkan
persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya ter-hadap diriku -atau Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian
berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam
agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku, atau -Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…
Di dunia atau akhirat,’- maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku dari padanya, takdirkan
kebaikan untukku dimana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.” [HR. Al-
Bukhari no. 1162, 6382 dan 7390]
2. Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan yang telah diperbuatnya dan beristighfar dari
setiap dosa yang dilakukannya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia melakukan safar dan
tidak mengetahui pula takdir yang menimpanya.
Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫َم ا َح ُّق اْمِر ٍئ ُم ْس ٍمِل ُهَل يَش ٌء ُيْو ْيِص ِف ْيِه َيِب ْيُت َلْي َلَتِنْي َّال َو َو ِص َّيُتُه َم ْكُتْو َبٌة ِع ْنَد ُه‬.
‫ِإ‬
“Tiada hak bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang di dalamnya (harus) diwasiatkan, lantas ia
bermalam sampai dua malam melainkan wasiat itu harus (sudah) ditulis olehnya.” ]HR. Al-Bukhari no. 2738,
Muslim no. 1627, Abu Dawud no. 2862, Ibnu Majah no. 2702, lihat Irwaa-ul Ghaliil no. 1652]-penj.
Bagi seorang yang hendak safar hendaknya mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya kepada
pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, segera
menyelesaikan perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat kepada ahli warisnya dengan dihadiri para
saksi, dan meninggalkan uang belanja kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan kebutuhan
pokok yang dapat mencukupinya. Hendaknya seorang yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari
sumber yang halal lagi baik.
3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih. Sebagaimana hadits:
‫َالَّر اِكُب َش ْي َط اٌن َو الَّر اِك َباِن َش ْي َط ااَن ِن َو الَّثَالَثُة َر ْكٌب‬.
“Satu pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaitan, dan tiga pengendara
(musafir) ialah rombongan musafir.”( Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/186), Abu Dawud (no. 2607),
Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (II/978) dan at-Tirmidzi (no. 1674), ia berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Hadits
ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Sil-silah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 62) dan Shahiih
Sunan Abi Dawud (II/494).
4. Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih, yaitu orang yang dapat membantu menjaga
agamanya, menegurnya apabila lupa, membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila ia tidak tahu.
5. Mengangkat pemimpin, yaitu hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan dalam safar, sebagaimana hadits:
‫ َذ ا اَك َن َثَالَثٌة ْيِف َس َفٍر َفْلُيَؤ ِّم ُر ْو ا َأَح َد ْمُك‬.
“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka
‫ِإ‬
sebagai ketua rombongan.”( Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2609). Disha-hihkan oleh Syaikh al-
Albani t dalam Shahiihul Jaami’ (no. 763) dan Shahiih Sunan Abi Dawud (II/495).
Dan yang dipilih sebagai ketua rombongan adalah orang yang mempunyai akhlak yang paling baik, paling dekat
dengan teman-temannya, paling dapat mengutamakan kepentingan orang lain (tidak egois) dan senantiasa mencari
kesepakatan rombongan (ketika ada perbedaan pendapat)
6. Disunnahkan untuk melakukan safar (perjalanan) pada hari Kamis dan berangkat pagi-pagi ketika akan melakukan
perjalanan. Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu :
‫ َو اَك َن ِحُي ُّب َأْن ْخَي ُر َج َيْو َم اْلَخ ِم ْيِس‬، ‫َأَّن الَّنَّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َخ َر َج َيْو َم اْلَخ ِم ْيِس ْيِف َغْز َو ِة َتُبْو َك‬.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis dan telah
menjadi kebiasaan beliau untuk keluar (bepergian) pada hari Kamis.”( Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.
2950) dan Abu Dawud (no. 2605). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (V/162) karya Syaikh al-Albani
rahimahullah.)
Di dalam riwayat yang lain,
‫َلَقَّلَم ا اَك َن َر ُس ْو ُل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل ْخَي ُر ُج َذ ا َخ َر َج ْيِف َس َفٍر إ َّال َيْو َم اْلَخ ِم ْيِس‬.
‫ِإ‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bepergian senantiasa melakukannya pada hari Kamis.” [HR.
Al-Bukhari no. 2949]
Sedangkan dalil tentang disunnahkannya untuk berangkat pagi-pagi ketika hendak melakukan perjalanan adalah:
‫َالَّلُهَّم اَب ِر ْك ُِألَّم ْيِت ْيِف ُبُكْو ِر َها‬
“Ya Allah, berkahilah ummatku pada pagi harinya.” [HR. Abu Dawud no. 2606, at-Tirmidzi no. 1212, ia berkata:
“Hadits ini hasan.”]
Dan sangat disukai untuk memulai bepergian pada waktu ad-Dulajah, yaitu awal malam atau sepanjang malam,
sebagaimana hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫َعَلْي ْمُك اِب ُّدل ْلَج ِة َف َّن اَألْر َض ُتْط َو ى اِب لَّلْي ِل‬.”

‫ِإ‬
“Hendaklah kalian bepergian pada waktu malam, karena seolah-olah bumi itu terlipat pada waktu malam.” [HR.
Abu Dawud no. 2571, al-Hakim II/114, I/445, hasan]
7. Berpamitan kepada keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpamitan kepada para Sahabatnya ketika akan safar (bepergian),
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan do’a kepada salah seorang di antara mereka, dengan do’a:
‫َأْس َتْو ِد ُع َهللا ِد ْيَنَك َو َأَم اَنَتَك َو َخ َو اِتَمْي َمَع َكِل‬.
“Aku menitipkan agamamu, amanahmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada Allah.” [HR. Ahmad II/7, 25, 38,
at-Tirmidzi no. 3443, Ibnu Hibban no. 2376, al-Hakim II/97, dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.
Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 14]
Makna ‫( َأْسَتْو ِد ُع َهللا ِد ْيَنَك‬aku titipkan agamamu), yaitu aku memohon kepada Allah agar berkenan menjaga agamamu
(agar istiqamah dalam ketaatan kepada Allah). Sedangkan yang dimaksud dengan amanah adalah keluarga dan orang-
orang yang selainnya serta harta yang dititipkan, dijaga dan dikuasakan kepada orang kepercayaan atau wakilnya atau
yang semakna dengan itu.
Makna ‫( َخ َو اِتْيَم َع َم ِلَك‬perbuatanmu yang terakhir), yaitu do’a untuknya agar akhir perbuatannya baik (husnul khatimah).
Hal ini karena, amalan terakhir merupakan amalan yang paling menentukan baginya di Akhirat kelak dan sebagai
penghapus perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan.
8. Ketika keluar rumah dianjurkan membaca do’a:
‫ِبْس ِم اِهَّلل َتَو ْلَّكُت َعىَل اِهَّلل َال َح ْو َل َو َال ُقَّو َة َّال اِب ِهَّلل‬
‫ِإ‬
(Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya). (HR. Abu
Daud no. 5095 dan Tirmidzi no. 3426, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1605.
Atau bisa pula dengan do’a:

‫ َأْو َأَهْجَل َأْو ْجُيَهَل عَّيل‬، ‫ َأْو َأْظ َمِل َأْو ُأْظ َمَل‬، ‫ َأْو َأِز َّل َأْو ُأَز َّل‬، ‫الَّلُهَّم إ يِّن َأُعوذ ِبَك َأْن َأِض َّل َأْو ُأَض َّل‬
[Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang lain, dari ketergelinciran
diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku
atau dijahilin orang lain].( HR. Abu Daud no. 5094 dan Ibnu Majah no. 3884, dari Ummu Salamah. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2442.)

Adab-Adab Ketika Safar


1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga
kali: “ ‫ ُهللا َأْك َبُر‬,‫ ُهللا َأْك َبُر‬,‫ُهللا َأْك َبُر‬,” kemudian berdo’a:
“ ‫ اَلَّلُهَّم اَّن َنْس َأَكُل يِف‬، ‫ َو اَّن ىَل َر ِّبَنا َلُم ْنَقِلُبْو َن‬، ‫ُس ْب َح اَن اِذَّل ْي َّخَسَر َلَنا َه َذ ا َو َم ا ُكَّنا ُهَل ُم ْقِر ِنَنْي‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ اَلَّلُهَّم َأْنَت الَّص اِح ُب‬، ‫ِإ اَلَّلُهَّم َه ِّوْن َعَلْي َنا َس َفَر اَن َه َذ ا َو اْط ِو َع َّنا ُبْع َد ُه‬، ‫ َو ِم َن اْلَع َم ِل َم ا َتْر ىَض‬،‫َس َفِر اَن َه َذ ا اْلَّرِب َو الَّتْقَو ى‬
‫ اَلَّلُهَّم ْيِّن َأُع ْو ُذ ِبَك ِم ْن َو ْعَثاِء الَّس َفِر َو آَكَبِة اْلَم ْنَظ ِر َو ُس ْو ِء اْلُم ْنَقَلِب يِف اْلَم اِل‬، ‫يِف الَّس َفِر َو اْلَخ ِلْي َفُة ْيِف ْاَألْه ِل‬
‫ِإ‬
‫َو ْا َألْه ِل‬.”
“Mahasuci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu. Dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon
kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu ridha. Ya Allah,
mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam
perjalanan dan yang mengurus keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan
dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”( HR.
Muslim no. 1342 dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, at-Tirmidzi no. 3444, Abu Dawud no. 2599,
Ahmad II/144 dan 150 dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 548.)
Dalam hadits yang lain:
‫ َو َدْع َو ِة‬، ‫اَك َن َر ُس ْو ُل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َذ ا َس اَفَر َيَتَع َّو ُذ ِم ْن َو ْعَثاِء الَّس َفِر َو آَكَبِة اْلُم ْنَقَلِب َو اْلَح ْو ِر َبْع َد اْلَكْو ِر‬
‫ َو ُس ْو ِء اْلَم ْنَظ ِر يِف ْا َألْه ِل َو اْلِإَم اِل‬، ‫اْلَم ْظ ُلْو ِم‬.
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan jauh, beliau berlindung kepada Allah
dari kelelahan perjalanan, perubahan yang menyedihkan, kekurangan setelah kelebihan, do’a orang-orang yang
teraniaya serta pemandangan yang buruk dalam keluarga dan hartanya.” [HR. Muslim no. 1343 (426)]
2. Bertakbir (mengucapkan ‫( ُهللا َأْك َبُر‬Allahu Akbar)) ketika sedang jalan mendaki dan bertasbih (mengucapakan ‫ُسْبَح اَن هللا‬
(Subhanallaah) ketika jalan menurun.
Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
‫ُكنَّا َذ ا َص ِع ْد اَن َكْرَّب اَن َو َذ ا َنَز ْلَنا َس َّبْحَنا‬.
‫ِإ‬
“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar) dan apabila jalan menurun membaca
‫ِإ‬
tasbih (Subhanallaah).” [HR. Al-Bukhari no. 2993-2994, Ahmad III/333, ad-Da-rimi no. 2677, an-Nasa-i dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah no. 541 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 516]
3. Memperbanyak mengucapkan do’a, berdasarkan hadits:
، ‫ َثَالُث َدَع َو اٍت ُم ْس َتَج ااَب ٌت َال َش َّك ِف ِهْي َّن َدْع َو ُة اْلَم ْظ ُلْو ِم‬: ‫ َقاَل َر ُس ْو ُل ِهللا َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل‬: ‫َع ْن َأْيِب ُه َر ْيَر َة َقاَل‬
‫ َو َدْع َو ُة اْلَو اِدِل َعىَل َو ِدَل ِه‬، ‫َو َدْع َو ُة اْلُم َس اِف ِر‬.
Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga
do’a yang pasti dikabulkan (mustajab) dan tidak ada keraguan lagi tentang-nya, do’anya seorang yang dizhalimi,
do’anya musafir (orang yang melakukan perjalanan), do’a buruk orang tua terhadap anaknya.’” [HR. Ah-mad
II/434, Abu Dawud no. 1536, At-Tirmidzi no. 2741. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah oleh Imam al-Albani
no. 596]
4. Melantunkan sya’ir dan puisi, sebagaimana hadits Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
“Kami bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Khaibar, kemudian kami terus
bergerak ketika malam, lalu berkatalah seseorang kepada Amir bin Akwa’, ‘Tidakkah engkau perdengarkan
kepada kami sya’ir-sya’ir kegembiraanmu?’ Hal ini dikarenakan Amir adalah seorang penyair, kemudian beliau
(Amir) turun dari tunggangannya dan memberikan semangat kepada orang-orang, seraya berkata: ‘Ya Allah, jika
tidak karena Engkau pasti kami tidak akan pernah mendapatkan petunjuk, tidak pula kami bershadaqah dan tidak
pula kami shalat (hingga akhir do’a).’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapakah
yang bersenandung itu?’ Mereka menjawab: ‘Amir bin al-Akwa’.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: ‘Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya…’” [HR. Al-Bukhari no. 2477 dan Muslim no.
1802 (124)]
5. Beristirahat ketika sedang melakukan perjalanan.
Hal tersebut merupakan belas kasih kita kepada hewan tunggangan, di samping memanfaatkannya untuk tidur dan
beristirahat. Namun demikian, perlu memperhatikan keadaan tempat pemberhentian dan sebaiknya menjauhkan diri
dari jalanan, terutama pada waktu malam hari, karena banyak serangga-serangga dan hewan melata yang berbisa, juga
binatang buas berkeliaran pada malam hari di jalan-jalan untuk memudahkan gerak mereka, di samping mereka
memunguti makanan yang berjatuhan (dari para musafir) atau yang lainnya di jalanan tersebut boleh jadi akan
didatangi oleh mereka dan terganggu. Apabila seseorang membuat tenda, maka sudah seharusnya ia menjauhkan diri
dari jalanan (saat malam hari).

Adab-Adab Setelah Safar (Bepergian)


1. Mengucapkan do’a Safar (bepergian), sebagaimana telah disebutkan pada halaman 67.
Kemudian menambahkannya dengan lafazh do’a:
‫آِيُبْو َن اَت ِئُبْو َن َعاِبُد ْو َن ِلَر ِّبَنا َح اِم ُد ْو َن‬.
“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim no. 1345,
Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Shahabat
Anas bin Malik Radhiyallahua anhu]
Apabila kembali dari bepergian dan melalui bukit atau melalui tempat yang luas lagi tinggi, bertakbir tiga kali
kemudian berdo’a:
، ‫ َعاِبُد ْو َن‬، ‫ اَت ِئُبْو َن‬، ‫ ُهَل اْلُم ُكْل َو ُهَل اْلَحْم ُد َو ُه َو َعىَل ِّلُك ْيَش ٍء َقِد ْيٌر آِيُبْو َن‬،‫َال َهل َّال ُهللا َو ْح َد ُه َال ِرَش ْيَك ُهَل‬
‫ِإ ِإ‬
‫ َص َد َق ُهللا َو ْعَد ُه َو َنَرَص َع ْب َد ُه َو َه َز َم اَألْح َز اَب َو ْح َد ُه‬، ‫ ِلَر ِّبَنا َح اِم ُد ْو َن‬، ‫َس اِج ُد ْو َن‬.
“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan
dan segala pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah
dan bersujud, serta selalu memuji Rabb kami. Dialah Yang membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan
menghancurkan segala musuh dengan ke-Maha-esaan-Nya.” [HR. Al-Bukhari no. 1797, Muslim no. 1344 (428)]
Dan sangat disukai (dianjurkan) untuk mengulang do’a tersebut:
‫آِيُبْو َن اَت ِئُبْو َن َعاِبُد ْو َن ِلَر ِّبَنا َح اِم ُد ْو َن‬.
“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim no. 1345,
Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Sahabat
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]
Hal ini berdasarkan perkataan Anas Radhiyallahu anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengucapkan
hal tersebut hingga kami tiba di Madinah. [HR. Muslim no. 1345 (429)]
2. Memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya kepada keluarganya dan tidak disukai untuk datang kembali dari
bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarganya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah melarang seseorang mengetuk pintu rumah keluarganya di waktu malam. Hal ini berdasarkan hadits
berikut,
‫َهَنى الَّنُّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َأْن َيْط ُر َق َأْهُهَل َلْي ًال‬.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk mengetuk (pintu rumah) keluarganya
pada waktu malam hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1801, Muslim no. 715 (184), dan lafazh ini berdasarkan riwayat al-
Bukhari]-penj.
Dan di dalam hadits lainnya disebutkan:
‫ اَك َن َالَيْد ُخ ُل َّال ُغْد َو ًة َأْو َع ِش َّيًة‬،‫اَك َن الَّنُّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل َالَيْط ُر ُق َأْهُهَل‬.
‫ِإ‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengetuk pintu (rumah keluarganya), tidak pula masuk
(ke rumah, setelah pulang dari bepergian) kecuali pada pagi hari atau sore hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1800 dan
Muslim no. 1928 (180), lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan hikmah, di balik dari pelarangan tersebut, dimana beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ْيَك َتْم َتِش َط الَّش ِع َثُة َو َتْس َتِح َّد اْلُم ِغ ْي َبُة‬.
“Agar keluarganya mempunyai waktu terlebih dahulu untuk merapikan diri, berhias, menyisir rambut yang kusut
dan dapat bersolek setelah ditinggal pergi.” [HR. Muslim no. 715 (181)]
3. Shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar (perjalanan), sebagaimana hadits berikut:
‫ َّن الَّنَّيِب َص ىَّل ُهللا َعَلْي ِه َو َس َمَّل اَك َن َذ ا َقِد َم ِم ْن َس َفٍر ًحُضى َدَخ َل اْلَمْس ِج َد َفَص ىَّل َر ْكَعَتِنْي َقْبَل َأْن ْجَي ِلَس‬.
“Sesungguhnya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tiba dari bepergian pada saat Dhuha, beliau
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
masuk ke dalam masjid dan kemudian shalat dua raka’at sebelum duduk.” [HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim
no. 2769, lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Sedangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Aku pernah bepergian bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kami telah tiba di kota Madinah, beliau berkata kepadaku:
‫ُاْدُخ ِل اْلَمْس ِج َد َفَص ِّل َر ْكَعَتِنْي‬.
“Masuklah masjid dan shalatlah dua raka’at.” [HR. Al-Bukhari no. 3087]

Do’a ketika Safar adalah Do’a yang Mustajab


Safar (perjalanan jauh) adalah suatu hal yang menyulitkan. Namun di saat sulit semacam itu, Allah memberikan kita
kesempatan untuk banyak berdo’a dan di situlah waktu mustajab, mudah dikabulkan do’a.
Saudaraku … Dalam sebuah hadits disebutkan,
‫ َو َدْع َو ُة اْلَو اِدِل َعىَل َو ِدَل ِه‬، ‫ َو َدْع َو ُة اْلُم َس اِف ِر‬، ‫ َدْع َو ُة اْلَم ْظ ُلوِم‬: ‫َثاَل ُث َدَع َو اٍت ُم ْس َتَج ااَب ٌت اَل َش َّك ِف ِهي َّن‬
“Tiga waktu diijabahi (dikabulkan) do’a yang tidak diragukan lagi yaitu: (1) do’a orang yang terzholimi, (2) do’a
seorang musafir, (3) do’a orang tua pada anaknya.” (HR. Ahmad 12/479 no. 7510, At Tirmidzi 4/314 no. 1905, Ibnu
Majah 2/1270 no. 3862. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengatakan bahwa safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan). Dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الَّس َفُر ِق ْط َع ٌة ِم َن اْلَع َذ اِب‬
“Safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan)”. (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)
Artinya safar itu benar-benar akan mendapati kesulitan. Coba bayangkan jika Anda melakukan safar dari luar negeri
kembali ke kampung halaman. Apalagi jika safar tersebut mesti transit di beberapa kota. Yang sebelumnya mungkin
ditempuh dalam waktu 9 jam, karena mesti transit di kota lain, akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hampir 24
jam. Apalagi keadaan di kendaraan atau pesawat yang kurang menyenangkan karena kita tidak bisa tidur sebagaimana
layaknya. Badan tidak bisa direbahkan ke kasur yang empuk. Sungguh amat menyulitkan.
Karena kondisi sulit dalam safar, hati pun akhirnya pasrah. Saat hati begitu pasrah, itulah saat mudah diijabahinya do’a.
Saat kepasrahan hati pada Rabb ‘azza wa jalla, itulah hakekat ‘ubudiyah (penghambaan), penghinaan, dan menundukkan
diri pada-Nya. Akhirnya seorang hamba pun mengikhlaskan diri beribadah pada-Nya. Jika kondisi seseorang demikian,
maka doa yang ia panjatkan akan makin mudah diijabahi. Semakin lama seseorang bersafar, semakin dekat pula do’a itu
dikabulkan.
Wahai saudaraku … Manfaatkanlah waktu ketika engkau bersafar untuk banyak memohon segala kemudahan dari Allah
Ta’ala. Mintalah kemudahan dari-Nya atas urusan safarmu. Begitu pula mohonlah pada Allah agar dimudahkan dalam
urusan dunia lainnya, begitu pula jangan lupakan yang utama doa agar diberi berbagai kemudahan dalam hisab di akhirat.
Jangan lupa doakan atas kebaikan diri, dijauhkan dari kejelekan diri, begitu pula doakan kebaikan bagi istri, anak, orang
tua, kerabat dan saudara muslim lainnya.
Dzikir saat safar yang bisa diamalkan agar safar jadi lebih berkah: Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan
perjalanan, hendaklah mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca,
‫ُس ْب َح اَن اِذَّل ى َّخَسَر َلَنا َه َذ ا َو َم ا ُكَّنا ُهَل ُم ْقِر ِنَني َو اَّن ىَل َر ِّبَنا َلُم ْنَقِلُبوَن الَّلُهَّم اَّن َنْس َأَكُل ىِف َس َفِر اَن َه َذ ا اْلَّرِب َو الَّتْق َو ى‬
‫َو ِم َن اْلَع َم ِل َم ا َتْر ىَض الَّلُهَّم َه ِّوْن َعَلْي َن ا َس َفَر اَن َهِإ َذ اِإ َو اْط ِو َع َّن ا ُبْع َد ُه الَّلُهَّم ِإ َأْنَت الَّص اِح ُب ىِف الَّس َفِر َو اْلَخ ِليَف ُة ىِف‬
‫اَألْه ِل الَّلُهَّم ىِّن َأُعوُذ ِبَك ِم ْن َو ْعَثاِء الَّس َفِر َو آَكَبِة اْلَم ْنَظ ِر َو ُس وِء اْلُم ْنَقَلِب ىِف اْلَم اِل َو اَألْه ِل‬
(Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai
‫ِإ‬
kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini.
Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan
dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)
(HR. Muslim)

Safar bagian dari Adzab


Betapa pun majunya teknologi, pasti namanya safar atau melakukan perjalanan jauh akan terasa sulit. Safar ini disebut
bagian dari adzab (siksa). Karena orang yang menjalani safar akan sulit makan-minum dan tidur. Bahkan segala yang
dicintai sementara akan ditinggalkan.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
‫ َف َذ ا َقىَض ْهَنَم َتُه َفْلُيَع ِّج ْل ىَل َأْه ِهِل‬، ‫ َيْم َنُع َأَح َد ْمُك َط َع اَم ُه َو َرَش اَبُه َو َنْو َم ُه‬، ‫الَّس َفُر ِق ْط َع ٌة ِم َن اْلَع َذ اِب‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur.
Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no.
1927).
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
a. Yang dimaksud adzab dalam hadits di atas adalah rasa sakit yang timbul dari kesulitan yang dihadapi ketika
berkendaraan dan berjalan sampai harus meninggalkan hal-hal yang disukai. (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
b. Disebutkan bahwa seorang musafir akan sulit makan, minum dan tidur. Tiga hal ini adalah tiga rukun kehidupan
di mana ketika safar akan terasa sulit dan capek dan inilah siksa yang dirasakan. (Syarh Al Bukhari, Ibnu Batthol)
c. Anjuran untuk bersegera kembali dari safar kepada keluarganya ketika urusan safarnya telah selesai. (Syarh Al
Bukhari, Ibnu Batthol)
d. Solusi agar terlepas dari kesulitan tersebut adalah segera kembali dari safar. Sebagaimana ada riwayat dari Ibnu
‘Umar yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi,
‫َو َأَّنُه َلْيَس ُهَل َد َو اء اَّل ْرُس َعة الَّس رْي‬
‫ِإ‬
“Tidak ada obat (solusi) dari sulitnya safat selain mempercepat dalam melakukan perjalanan (pulang).” (Fathul
Bari, Ibnu Hajar)
e. Hadits ini mengandung pelajaran bahwa berpisah jauh dari keluarga tidaklah mengenakkan jika safar yang
dilakukan bukan hajat yang penting. (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
f. Hadits ini memerintahkan untuk bersegera kembali pada keluarga lebih-lebih jika khawatir bisa melalaikan
keluarga jika pergi jauh. Karena sekali lagi berada di samping keluarga lebih menjaga kemaslahatan agama dan
dunia. Begitu pula menetap di suatu tempat akan menguatkan jama’ah dan menguatkan dalam beribadah. (Fathul
Bari, Ibnu Hajar)
g. Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang marfu’ (sampai pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-),
‫َس اِف ُر وا َتِص ُّح وا‬
“Bersafarlah, maka kalian akan sehat.” Dikatakan tidak bertentangan karena sehat tidak selamanya harus
dengan bersafar. (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
h. Al Khottobi berdalil bahwa untuk menyiksa orang yang telah berbuat zina adalah mengasingkan dirinya, artinya
memerintahkan dia pergi jauh dan ini tentu bagian dari siksa. Sebagaimana safar adalah bagian dari siksa (adzab).
(Fathul Bari, Ibnu Hajar)
i. Imam Al Haromain pernah ditanya, “Kenapa safar dikatakan bagian dari adzab?” Beliau segera menjawab,
‫َأِلَّن ِف يِه ِف َر اق اَأْلْح َباب‬
“Karena safar akan meninggalkan segala yang dicintai.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
Benar juga kata Imam Al Haromain. Semuanya suka akan nikmatnya makan-minum dan tidur, juga senang
berada di sisi keluarga, istri dan anak tercinta. Ketika bersafar, maka kenikmatan tersebut sementara akan hilang.
Itulah bagian dari adzab (siksa).
Agar setiap safar kita menjadi mudah dan penuh berkah, jangan lupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang satu ini.
Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan, hendaklah mengucapkan, “Allahu akbar,
Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca,
‫ُس ْب َح اَن اِذَّل ى َّخَسَر َلَنا َه َذ ا َو َم ا ُكَّن ا ُهَل ُم ْق ِر ِنَني َو اَّن ىَل َر ِّبَن ا َلُم ْنَقِلُب وَن الَّلُهَّم اَّن َنْس َأَكُل ىِف َس َفِر اَن َه َذ ا اْلَّرِب‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َو الَّتْقَو ى َو ِم َن اْلَع َم ِل َم ا َتْر ىَض الَّلُهَّم َه ِّوْن َعَلْي َنا َس ِإَفَر اَن َه َذ ا َو اْط ِو َع َّن ا ُبْع َد ُه الَّلُهَّم َأْنَت الَّص اِح ُب ىِف الَّس َفِر‬
‫َو اْلَخ ِليَفُة ىِف اَألْه ِل الَّلُهَّم ىِّن َأُعوُذ ِبَك ِم ْن َو ْعَثاِء الَّس َفِر َو آَكَبِة اْلَم ْنَظ ِر َو ُس وِء اْلُم ْنَقَلِب ىِف اْلَم اِل َو اَألْه ِل‬
(Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak
‫ِإ‬
mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan
kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai
dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang
jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan,
dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga) (HR. Muslim no. 1342).

Jarak Safar
Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat. Ada tiga
pendapat dalam hal ini:
1. Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km.
Inilah pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,
‫َو اَك َن اْبُن َمُع َر َو اْبُن َع َّباٍس – رىض هللا عهنم – َيْقَرُص اِن َو ُيْف ِط َر اِن ىِف َأْر َبَع ِة ُبُر ٍد َو َىْه ِس َّتَة َع َرَش َفْر ًخَسا‬
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika
bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-.
Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al Irwa’ 565)
Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.
2. Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.
Inilah pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َال ُتَس اِف ِر اْلَمْر َأُة َثَالَثَة َأاَّي ٍم ِإ َّال َم َع ِذ ى َمْح َر ٍم‬
“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086
dan Muslim no. 1338).
Begitu pula berdalil dengan hadits ‘Ali, ia berkata,

‫ َثَالَثَة َأاَّي ٍم َو َلَياِلُهَيَّن ِلْلُم َس اِف ِر َو َيْو ًم ا َو َلْي ًةَل ِلْلُم ِقِمي‬-‫صىل هللا عليه وسمل‬- ‫َجَع َل َر ُس وُل اِهَّلل‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap
khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan batasan jarak safar.
3. Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.
Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri.
Ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak kurang dari
yang tadi disebutkan. Namun ketika itu beliau sudah mengqashar shalat.
‫صىل هللا عليه‬- ‫َع ْن ْحَي ىَي ْبِن َيِز يَد اْلُهَناِّىِئ َقاَل َس َأْلُت َأَنَس ْبَن َم اٍكِل َع ْن َقِرْص الَّص َالِة َفَقاَل اَك َن َر ُس وُل اِهَّلل‬
‫ َذ ا َخ َر َج َم ِس َري َة َثَالَثِة َأْم َياٍل َأْو َثَالَثِة َفَر اَخِس – ُش ْع َبُة الَّش اُّك – َص ىَّل َر ْكَعَتِنْي‬-‫وسمل‬
“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar
‫ِإ‬
shalat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3
farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at (qashar
shalat).” (HR. Muslim no. 691).
Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,
‫َو ُه َو َأّحَص َح ِد يث َو َر َد يِف َبَيان َذ َكِل َو َأَرْص حه‬
“Itulah hadits yang paling shahih yang menerangkan masalah jarak safar untuk bisa mengqashar shalat. Itulah
hadits yang paling tegas.” (Fathul Bari, 2: 567)
Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi pendapat di atas, mereka menyanggah bahwa jarak yang
dimaksud dalam hadits adalah jarak saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar, bukan jarak tujuan
yang ingin dicapai.
Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
‫ َو ِب ِذ ى‬، ‫َع ْن َأَنِس ْبِن َم اٍكِل – رىض هللا عنه – َقاَل َص ىَّل الَّنُّىِب – صىل هللا عليه وسمل – اِب ْلَم ِد يَنِة َأْر َبًع ا‬
‫اْلُح َلْي َفِة َر ْكَعَتِنْي‬
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua
raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690).
Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan
batasan untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat. Berbagai pendapat yang
diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi. Dalil yang menyebutkan adanya batasan tidak bisa dijadikan
alasan karena saling kontradiksi.
Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran
jarak tertentu dalam mayoritas safar. Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa
makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita
juga harus menetapkan demikian pula.
Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. Begitu pula tetap berlaku
berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al
Fatawa, 24: 12-13).
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. Selama suatu perjalanan disebut safar baik
menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar shalat. Kalau mau disebut safar, maka ia akan
berkata, “saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).
Kalau sulit untuk menentukan itu safar ataukah tidak, maka pendapat jumhur (mayoritas ulama) bisa digunakan
yaitu memakai jarak 85 km. Berarti jika telah menempuh jarak 85 km dari akhir bangunan di kotanya, maka
sudah disebut safar. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai