Anda di halaman 1dari 3

Adab Makan Rasulullah Makan dengan 3 Jari

Rasulullah Makan dengan 3 Jari


Tiga Jari Dan Menjilatinya
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam biasa makan menggunakan tiga jari (Ibu jari, jari telunjuk dan
jari tengah). Setelah makan, beliau biasa menjilati jari-jari tersebut sebelum mencucinya.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya (no. 2032) :

‫ «َك اَن َر ُسوُل ِهللا َص َّلى‬:‫ َق اَل‬،‫ َع ْن َأِبيِه‬، ‫ َع ِن اْب ِن َك ْع ِب ْب ِن َماِلٍك‬،‫ َع ْن َعْبِد الَّر ْح َم ِن ْب ِن َس ْع ٍد‬،‫ َع ْن ِه َش اِم ْب ِن ُعْر َو َة‬، ‫ َأْخ َبَر َن ا َأُبو ُمَع اِو َي َة‬،‫َح َّد َث َن ا َي ْح َيى ْبُن َي ْح َيى‬
‫ َو َي ْلَع ُق َيَدُه َقْب َل َأْن َي ْم َس َح َها‬، ‫»ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َي ْأُك ُل ِبَثاَل ِث َأَصاِبَع‬
Menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Hisyam
bin Urwah dari Abdurrahman bin Sa’d dari Ka’ab bin Malik dari Bapaknya yang berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam itu makan dengan menggunakan tiga jari, dan menjilati jari-jari tersebut,
sebelum membasuhnya.”

Penggunaan tiga jari ini, menunjukan ketawadhuan beliau dan sifat beliau yang tidak rakus dengan
makanan. Yang demikian itu berlaku bagi makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari,
adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk
menggunakan lebih dari tiga jari ataupun dengan sendok misalnya. Namun, makanan yang bisa dimakan
dengan menggunakan tiga jari, maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari saja, karena hal itu
merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.

Berjama’ah
Nabi shallallahu’alaihiwasallam biasa makan berjama’ah dalam satu piring besar, sebab keberkahan
turun pada sunnah dalam makan berjama’ah ini.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya (no. 3764, shahih)
‫ َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬، ‫ َأَّن َأْص َح اَب الَّن ِبِّي‬،‫ َع ْن َج ِّدِه‬،‫ َع ْن َأِبيِه‬،‫ َح َّد َث ِني َو ْح ِش ُّي ْبُن َح ْر ٍب‬:‫ َق اَل‬، ‫ َح َّد َث َن ا اْلَو ِليُد ْبُن ُمْس ِلٍم‬، ‫َح َّد َث َن ا ِإْب َر اِهيُم ْبُن ُموَس ى الَّر اِز ُّي‬
‫ َو اْذ ُك ُروا اْس َم ِهَّللا َع َلْيِه ُيَباَر ْك َلُك ْم ِفيِه‬، ‫ «َف اْج َت ِمُعوا َع َلى َط َع اِم ُك ْم‬:‫ َق اَل‬، ‫ َن َع ْم‬:‫ «َفَلَع َّلُك ْم َت ْف َت ِر ُقوَن ؟» َق اُلوا‬:‫ َق اَل‬،‫ َيا َر ُسوَل ِهَّللا ِإَّن ا َن ْأُك ُل َو اَل َن ْش َبُع‬:‫»َق اُلوا‬
Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Ar-Razi, menceritakan kepada kami Al-Walid bin
Muslim yang berkata: menceritakan kepada saya Wahsyi bin Harb dari Bapaknya, dari Kakeknya,
“Sesungguhnya para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata, “Wahai Rasulullah
sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang”. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan
sendiri-sendiri?”. Mereka menjawab, “Iya”. Nabi lantas bersabda, “Makanlah secara bersama-sama,
dan sebutlah nama Allah sebelumnya (Bismillah), maka pastilah makanan tersebut akan diberkahi.”
Akan tetapi, hal ini bukan merupakan larangan bagi makan sendirian.
Allah berfirman,
‫َلْي َس َع َلْي ُك ْم ُج َن اٌح َأْن َت ْأُكُلوا َج ِميًع ا َأْو َأْش َت اًت ا‬
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61).
Ibn Katsir menyatakan dalam Tafsirnya (6/86),
‫ َو ِإْن َك اَن اَأْلْك ُل َمَع اْل َج َماَع ِة َأْف َضَل َو َأَبَر َك‬،‫ َو َمَع اْل َج َماَع ِة‬،‫َفَهِذِه ُر ْخ َص ٌة ِمَن ِهَّللا َت َع اَلى ِفي َأْن َي ْأُك َل الَّر ُجُل َو ْح َدُه‬
“Ini merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah Ta’ala. Seorang boleh makan dengan cara sendiri-
sendiri, atau bersama beberapa orang/berjama’ah (dalam satu wadah makanan) meskipun makan
dengan cara berjama’ah itu lebih berkah dan lebih utama.”
Lalu Ibnu Katsir menyebutkan hadits diatas.

Lesehan
Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa makan dengan lesehan, karena beliau tidak suka makan sambil
bersandar.
Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 128, hasan):
‫ «َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا‬:‫ َق اَل‬، ‫ َع ِن اْب ِن َعَّباٍس‬، ‫ َع ْن َسِعيِد ْب ِن ُجَب ْي ٍر‬، ‫ َع ْن ُمْس ِلٍم اَأْلْع َو ِر‬، ‫ َن ا َأُبو ِإْس َماِع يَل اْلُمَؤ ِّدُب‬، ‫ َن ا َي ْح َيى ْبُن َأُّيوَب اْلَم َق اِبِر ُّي‬، ‫َأْخ َبَر َن ا اْلَب َغ ِو ُّي‬
‫ َو ُيِجيُب َد ْع َو َة اْلَم ْم ُلوِك‬،‫ َو َي ْع َت ِقُل الَّش اَة‬، ‫ َو َي ْأُك ُل َع َلى اَأْلْر ِض‬، ‫»َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َي ْج ِلُس َع َلى اَأْلْر ِض‬
Al-Baghawi mengabarkan kepada kami, menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub al-Maqabiri,
menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, meceritakan kepada kami Muslim al-A’war dari
Said bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
biasa duduk diatas lantai, makan diatas lantai (lesehan), memerah kambing, dan memenuhi undangan
seorang budak”.
Al-Haitsami (9/20) berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani, dan sanadnya hasan”.
Bahkan Beliau shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah memiliki meja makan, tempat beliau makan
dirumahnya adalah tikar dari kulit,
Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 620, shahih),
‫ َما َأَك َل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع َلى ِخَو اٍن‬:‫ َي ُقوُل‬، ‫ َع ْن َأَن ٍس‬،‫ َع ْن َقَت اَدَة‬، ‫ َع ْن ُيوُنَس‬،‫ َح َّد َث ِني َأِبي‬، ‫ َن ا ُمَع اُذ ْبُن ِه َش اٍم‬،‫ َن ا ُبْن َد اٌر‬،‫َح َّد َث َن ا ُمَح َّم ُد ْبُن َي ْح َيى‬
‫ َع َلى َهِذِه – َلُس ْف َر ٌة‬:‫ َع َلى َما َي ْأُكُلوَن ؟ َقاَل‬:‫ ُقْلُت ِلَقَت اَدَة‬. ‫ َو اَل ُخ ِبَز َلُه ُمَر َقٌق‬،‫َو اَل ِفي ُس ُك ُّر َج ٍة‬
Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, menceritakan kepada kami Bundar, menceritakan
kepada kami Mu’adz bin Hisyam, menceritakan kepada saya Bapak dari Yunus dari Qatadah dari Anas
bin Malik yang berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah makan di meja makan
ataupun dari mangkuk kecil, beliau juga tidak pernah dibuatkan roti yang lembut”. Yunus bertanya
kepada Qatadah, “lantas dimana beliau makan?”. Qatadah menjawab, “Diatas alas makan dari kulit”.
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Bukhori (no. 5415).

Piring besar
Beliau juga biasa makan bersama-sama dalam satu tempat makan besar yang dinamai al-Gharra, yang
biasa diangkat oleh 4 orang,
Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 621, shahih)
‫ َك اَنْت ِللَّن ِبِّي‬:‫ َي ُقوُل‬، ‫ َس ِمْع ُت َعْبَد ِهَّللا ْب َن ُبْس ٍر‬:‫ َق اَل‬، ‫ َن ا ُمَح َّم ُد ْبُن َعْبِد الَّر ْح َم ِن ْب ِن ِع ْر ٍق‬،‫ َو ُع ْث َماُن ْبُن َسِعيٍد‬، ‫ َن ا َأُبو ُعَمَر‬، ‫ َن ا اْلَح ْو ِط ُّي‬، ‫َأْخ َبَر َن ا اْبُن َأِبي َع اِص ٍم‬
‫ َي ْح ِم ُلَها َأْر َبَع ُة ِر َج اٍل‬،‫ اْلَغ َّر اُء‬:‫َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقْص َع ٌة ُيَق اُل َلَها‬
Mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Ashim, menceritakan kepada kami Al-Hauthi, menceritakan
kepada kami Abu ‘Umar dan Utsman bin Sa’id. Menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abdurrahman bin Auf yang berkata: aku mendengar Abdullah bin Busr mengatakan, “Nabi
shallallahu’alaihi wasallam mempunyai tempat makan besar (nampan) yang dinamai al-gharra dan bisa
diangkat oleh 4 orang”.
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Abu Dawud (no. 3773).
Abu Syaikh meriwayatkan juga (no. 622, shahih), dengan lafazh:
‫َك اَن ِلَر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َج ْف َن ٌة َلَها َأْر َبُع ِح َلٍق‬
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memiliki sebuah tempat makan yang memiliki 4 buah pegangan”.

Cara duduk beliau ketika makan


Nabi shallallahu’alaihi wasallam membenci segala cara duduk untuk makan dengan bersandar (tentu
saja kecuali orang yang terpaksa atau sakit).
Sebagaimana dalam riwayat Shahih Bukhori (no. 5398):
‫ «َال آُك ُل ُم َّت ِك ًئ ا‬: ‫ َق اَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬:‫ َي ُقوُل‬، ‫ َس ِمْع ُت َأَبا ُجَح ْي َفَة‬، ‫ َع ْن َع ِلِّي ْب ِن اَألْق َم ِر‬،‫ َح َّد َث َن ا ِمْس َع ٌر‬، ‫»َح َّد َث َن ا َأُبو ُنَع ْي ٍم‬
Menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, menceritakan kepada kami Mis’ar dari Ali bin Al-Aqmar yang
mendengar Abu Hudzaifah berkata: bersabda Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam: “Saya tidak
makan sambil bersandar”.
Terdapat beberapa riwayat tentang cara beliau shallallahu’alaihi wasallam duduk untuk makan. Dan
semuanya itu tercakup dalam duduk yang tidak bersandar.
Ada riwayat dari Abu Hasan bin al-Muqri dalam Syamailnya sebagaimana disebutkan dalam takhrij al-
Ihya karya al-Iraqi (1/432):
‫َك اَن ِإذا قعد َع َلى الَّط َع ام استوفز َع َلى ركبته اْلُيْس َر ى َو أَقام اْلُيْم َن ى‬
“Bahwa (Nabi shallallahu’alaihi wasallam) ketika duduk untuk makan beliau menekuk lututnya yang kiri
dan menegakkan kaki kanan”.
Tetapi sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh al-’Iraqi.
Ada juga hadits yang shahih dalam riwayat Muslim (no. 2044),
، ‫ َح َّد َث َن ا َأَن ُس ْبُن َماِلٍك‬، ‫ َع ْن ُمْص َع ِب ْب ِن ُس َلْي ٍم‬،‫ َح َّد َث َن ا َح ْف ُص ْبُن ِغ َياٍث‬: ‫ َقاَل َأُبو َب ْك ٍر‬، ‫ ِك اَل ُهَما َع ْن َح ْف ٍص‬،‫ َو َأُبو َس ِعيٍد اَأْلَش ُّج‬، ‫َح َّد َث َن ا َأُبو َب ْك ِر ْبُن َأِبي َش ْي َب َة‬
‫ «َر َأْي ُت الَّن ِبَّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُم ْق ِعًيا َي ْأُك ُل َت ْم ًر ا‬:‫»َق اَل‬
Menceritakan kepada kami Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Abu Sa’id al-Asyaj, keduanya dari Hafsh.
Abu Bakar berkata: Menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Mush’ab bin Sulaim.
Menceritakan kepada kami Anas bin Malik yang berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wasallam
memakan kurma sambil duduk muq’iy”.
Hanya saja, Para ulama berbeda pendapat tentang duduk muq’iy ini, sampai kurang lebih 3 atau 4
pendapat. Diantara pendapat itu ada yang mengatakan bahwa duduk muq’iy itu seperti duduk yang
disebutkan dihadits dhaif diatas tadi.
Akan tetapi jalan tengah bagi semua riwayat dan pendapat itu adalah dikembalikan pada hadits
dibencinya makan sambil duduk bersandar diawal tadi. Semua cara duduk untuk makan yang dibenci
adalah semua cara duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, baik ke belakang ataupun ke
samping dan tidak terbatas dengan duduk tertentu.
Ibnu Hajar mengatakan,
‫َو ِإَذ ا َث َب َت َك ْو ُن ُه َم ْك ُروًها َأْو ِخ اَل ُف اَأْلْو َلى َفاْلُمْس َت َح ُّب ِفي ِص َف ِة اْلُج ُلوِس ِلآْل ِك ِل َأْن َي ُك وَن َج اِثًيا َع َلى ُر ْك َب َت ْيِه َو ُظ ُهوُر َق َدَمْيِه َأْو َي ْن ِص ُب الِّر ْج َل اْلُيْم َن ى َو َي ْج ِلُس‬
‫َع َلى اْلُيْس َر ى‬
“Jika sudah pasti bahwasanya makan sambil bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka
posisi duduk yang dianjurkan ketika makan, adalah dengan (jatsa) menekuk kedua lutut dan
menduduki bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri.”
(Fathul Baari 9/542).

Peringatan
Diantara kebiasaan manusia adalah duduk makan bersandar dengan tangan kiri yang diletakkan di
lantai, padahal duduk seperti itu termasuk cakupan dalam duduk bersandar (Fathul Baari, 9/541).
Maka hati-hatilah dengan kebiasaan ini.
Saran
Bagi yang ingin mengetahui kebiasaan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lainnya rujuki: Kitab Adab
al-Mufrad karya Imam Bukhori, Syamail Muhammadiyah karya Imam Tirmidzi, Ahlaqun Nabi wa
Adabuhu karya Abu Syaikh dan lainnya banyak sekali. Lebih baik lagi kalau yang hadits-haditsnya
telah ditakhrij shahih dan dhaifnya, dan telah diberi keterangan kata-kata yang sulitnya.
Jangan terpaku dengan Kitabu Adab, Kitab Himpunan.

Sumber: http://rumahku-indah.blogspot.com/2012/03/adab-makan-rasulullah-shallallahualaihi.html

Anda mungkin juga menyukai