Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MATERIAL KOMPOSIT

POLIMER & KERAMIK

ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN TERMAL MATERIAL


KOMPOSIT BERBASIS
SERAT ALAM

DISUSUN OLEH:
Kelompok:7
Rahmaddin j Siregar : 210120163

Yansa Nurdja : 210120135

darpan ariga : 210120168

DOSEN PENGAMPU : FERRI SAFRIWARDY, S.T.,M.T

PRODI TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah


Subhanallahuwata’ala, karena telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada
penulis pada penyelesaian tugas makalah kelompok 7. Selawat dan salam Allah
anugerahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad sallahu’alaihi wasallam
yang telah membawa umatnya dari alam jahiliyah ke alam yang berilmu
pengetahuan.

Alhamdulillah pada kesempatan kali ini penulis dapat menyelesaikan


penulisan makalah kelompok 7 yang berjudul “Analisis Sifat Mekanik Dan
Termal Material Komposit Berbasis Serat Alam” yang merupakan salah satu
syarat yang harus diselesaikan mahasiswa Teknik Mesin agar dapat
mempresentasikan hasil makalahnya Universitas Malikusaleh.

Penulis sadar makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik
maupun saran di harap kan dapat di berikan kepada pembaca untuk lebih
menyempurnakan makalah ini semoga ada manfaatnya terimakasi.

LHOKSEUMAWE, 20 Februari
2024

Penulis kelompok 7
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Material komposit serat alam telah banyak diaplikasi dalam dunia industri
otomotif karena serat alam memilikibeberapa keunggulan yaitu low density, low
cost, ramah lingkungan dan sifat mekanik yang sebanding dengan serat sintetis,
contohnya adalah kenaf, sisal, flax, pisang dan jute (koronis et al., 2013 &
Subasinghe et al., 2015). Penggunaan komposit serat alam pada kendaraan juga
dapat mengurangi berat kendaraan sehingga dapat menekan konsumsi bahan
bakar. Pada kendaraan biasanya komposit serat alam diaplikasikan untuk
pembuatan spare tire cover, door inner panel, roof inner panel dan seat back
(Asilah, 2011 & Mallick, 2007).

Komposit kenaf/PP merupakan salah satu material komposit berbasis serat


alam yang diaplikasi oleh banyak industri otomotif. Beberapa industri otomotif
yang mengaplikasikannya adalah industri otomotif MercedezBenz dalam
pembuatan komponen interior mobil mercedez benz E class dan industri otomotif
ToyotaMotorCorporationdalam pembuatan panel dan spare tire covermobil
(Holbery & Houston, 2006 & Asilah, 2011). Pengaplikasian komposit serat alam
kenaf/PP oleh industri-industri otomotif tersebut merupakan salah satu bentuk
regulasi dari revolusi hijau yang tertuang dalam European Union’s Directive on
end-life of Vehicle/ELVs pada tahun 2015 yang menekankan bahwa semua
komponen mobil harus menggunakan material yang 85% - 95% dapat didaur
ulang(Peijs, 2003).

Seiring dengan semakin luasnya pemanfaatan komposit serat alam dalam


industri otomotif, membuat perkembangan penelitian material komposit berbasis
serat alam menjadi semakin pesat. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menggunakan beragam serat alam dan metode dengan tujuan untuk mendapatkan
komposit serat alam yang memiliki nilai mekanik yang tinggi atau meningkatkan
nilai mekanik dari komposit serat alam yang sudah ada dengan menambahkan
material penguat lainnya. Salah satu material penguat yang sering digunakan
adalah kalsium karbonat (CaCO3), karena kalsium karbonat mudah ditemukan
dan harganya yang terjangkau (Firdaus et al., 2002). Selain itu, penambahan
kalsium karbonat kedalam material komposit dapat meningkatkan kekuatan dan
kekakuannya, dengan begitu dapat meningkat nilai mekaniknya (Luqman, 2017).

Pada penelitian tentang pengaruh penambahan kalsium karbonat pada komposit


serat alam kenaf/HDPE dengan variasi fraksi massa kalsium karbonat 0%, 10%,
20% dan 30% yang difabrikasi dengan metode hotpress, Abdul Aziz etal. (2016)
menyatakan bahwa penambahan kalsium karbonat yang optimum didapatkan pada
penambahan fraksi massa sebanyak 20% dengan nilai kekuatan fleksural sebesar
35 MPa. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Suharty et al. (2012)
mengenai pengaruh penambahan kalsium karbonat terhadap kuat tarik komposit
kenaf/PP dengan variasi 0% dan 7%, komposit difabrikasi dengan metode hot
press yang sebelumnya material digiling menggunakan alat Laboplastomill. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa komposit kenaf/PP pada penambahan kalsium
karbonat 7% memiliki nilai kuat lebih besar dibandingkan komposit kenaf/PP
tanpa penambahan kalsium karbonat dengan nilai kuat tarik masing-masing 28
MPa dan 25 MPa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nilai mekanik dari
komposit serat alam akan meningkat seiring dengan penambahan kalsium
karbonat.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penjelasan diatas sebagai berikut :
1. untuk meningkatkan performa mekanik material agar lebih sesuai dengan
kebutuhan aplikasi tertentu.
2. Mengidentifikasi potensi peningkatan daya tahan terhadap beban dinamis,
seperti kejutan atau gaya benturan, untuk meningkatkan aplikabilitas material
dalam lingkungan yang berbeda.
3. untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan dan ketebalan yang
memungkinkan aplikasi yang lebih efisien.
4. Menganalisis sifat mekanik untuk memastikan peningkatan durabilitas dan
umur layanan material komposit berbasis serat alam.
5. Memahami karakteristik termal untuk memastikan aplikasi material komposit
dapat berfungsi secara optimal dalam berbagai kondisi suhu.

1.3 Rumusan masalah


Adapun permasalahan pada pembahasan ini dapat di rumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Serat Alam Memengaruhi Kekuatan Tarik dan Kekakuan Material
Komposit?
2. Bagaimana Interaksi Antara Serat Alam dan Matriks Mempengaruhi Kualitas
Bonding dalam Material Komposit?
3. Bagaimana Variabilitas Bahan Alam pada Serat Mempengaruhi Konsistensi
Sifat Mekanik Material?
4. Apa Tantangan Utama dalam Menyusun Proses Manufaktur untuk Material
Komposit Berbasis Serat Alam?
5. Bagaimana Material Komposit Menanggapi Perubahan Lingkungan,
Terutama Terkait dengan Suhu dan Kelembaban?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian komposit

Komposit adalah suatu bahan yang terdiri dari dua atau lebih jenis bahan yang
berbeda, yang digabungkan bersama untuk menciptakan sifat-sifat yang unik atau
meningkatkan kinerja keseluruhan. Bahan-bahan ini disebut sebagai fase matriks
(matriks material atau matriks dasar) dan penguat (serat atau partikel). Matriks
berfungsi sebagai pengikat dan mendukung struktur keseluruhan, sementara
penguat memberikan kekuatan atau sifat-sifat khusus pada komposit.

Komposit dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, mulai dari material yang
digunakan dalam industri manufaktur hingga material yang digunakan dalam
konstruksi dan rekayasa. Komposit berpenguat serat alam maupun buatan
merupakan jenis komposit yang banyak dikembangkan guna menjadi bahan
alternatif pengganti logam.

Komposit berpenguat serat banyak diaplikasikan pada alat-alat yang


membutuhkan perpaduan dua sifat dasar yaitu kuat namun juga ringan. Komposit
memiliki sifat mekanik yang lebih bagus dari logam, kekakuan jenis dan kekuatan
jenisnya lebih tinggi dari logam. Komposit memiliki banyak keunggulan,
diantaranya berat yang lebih ringan, kekuatan yang lebih tinggi, tahan korosi, dan
memiliki biaya perakitan yang lebih murah. Unsur utama penyusun komposit
yaitu pengisi (filler) yang berupa serat sebagai kerangka dan unsur pendukung
lainnya yaitu matriks. Pengisi (filler) dan matriks merupakan dua unsur yang
diperlukan dalam pembentukan material komposit.

2.2 Karakteristik Serat Alam

Komponen kimia utama dari tanaman hidup adalah air. Berdasarkan atas
berat kering maka dinding sel semua tanaman terdiri dari polimer berbasis gula
(karbohidrat) yang berkombinasi dengan lignin, bahan ekstraktif, protein, pati,
dan bahan anorganik dengan jumlah yang lebih rendah. Komponen kimia
didistribusikan melalui dinding luar sel yang terdiri dari lapisan dinding primer
dan sekunder. Komposisi kimia bervariasi pada tiap tanaman bahkan pada
berbagai bagian didalam tanaman yang sama. Komposisi kimia juga bervariasi
dalam tanaman tergantung pada lokasi geografis, umur, iklim dan kondisi tanah
yang berbeda (Rowell et al., 2000). Komposisi dari beberapa serat yang umum
digunakan, ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas
kandungan serat adalah selulosa selanjutnya hemiselulosa, lignin dan sejumlah
kecil lilin dan pektin.

Tabel 1 Komposisi beberapa biofiber (Suryanto et al., 2014b)


Untuk menentukan kuantitas dari komponen penyusun serat alam umumnya
digunakan metode analisa secara kimia dengan metode Klasson sedangkan secara
kualitatif dan semikuantitatif dengan mengenali gugus fungsi tertentu sebagai
bagian dari komponen serat dengan menggunakan teknik spektroskopi infra
merah. Adapun spektrum dari gugus fungsi komponen serat ditunjukkan pada
Tabel 2. Adapun struktur kimia dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin
ditunjukkan pada Gambar 1.

Holoselulosa

Kombinasi dari selulosa dan hemiselulosa disebut holoselulosa dan jumlahnya


berkisar 65-70% berat kering tanaman. Polimer ini terbuat dari gula sederhana,
terutama, D- glukosa, D-mannosa, D-galaktosa, D-xylosa, L-arabinosa, asam D-
glukuronat, dan jumlah yang lebih kecil dari gula-gula lain seperti L-rhamnosa
dan D-fukosa. Polimer ini kaya akan kelompok hidroksil yang berperan untuk
penyerapan air melalui ikatan hidrogen.
Tabel 2 Spektrum serapan dari
lebih tinggi dibanding serat glass merupakan salah satu dari kelemahan-
kelemahan semua serat alam. Rentangan yang luas ini disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan di dalam struktur serat karena kondisi-kondisi lingkungan
secara menyeluruh selama pertumbuhan. Serat-serat alam dapat diproses dengan
berbagai cara untuk menghasilkan unsur-unsur penguat yang mempunyai sifat
mekanis yang berbeda.

Modulus elastisitas dari serat alam seperti kayu adalah sekitar 10 GPa. Serat
selulosa memiliki modulus sampai dengan 40 GPa dapat diperoleh dari kayu
melalui proses kimia pulping. Serat-serat seperti itu, dapat dibagi lagi lebih
lanjut melalui hidrolisis yang diikuti oleh disintegrasi mekanis menjadi
mikrofibril dengan modulus elastis mencapai 70 GPa. Kalkulasi teoritis modulus
elastis dari rantai selulosa sudah mencapai nilai sampai dengan 250 GPa
(Bledzki & Gassan, 1999).

Selulosa
Selulosa merupakan komponen struktural yang paling penting dari hampir
semua dinding sel tanaman hijau, terutama di banyak serat alam seperti rami,
goni, rami, kapas, dll. Polimer selulosa terdiri dari karbon, hidrogen dan
oksigen, dengan gambaran struktur selulosa ditunjukkan pada Gambar 1.
Selulosa adalah senyawa polisakarida (C6H10O5)n yang dapat diturunkan
menghasilkan glukosa (C6H12O6). Unit terkecil yang berulang adalah selobiosa
(C6H11O5)2O dibentuk oleh kondensasi dua unit glukosa dan oleh karena itu
juga dikenal sebagai anhydroglucose (glukosa minus air). Masing-masing
satuan berulang berisi tiga kelompok hidroksil. Kelompok hidroksil ini dan
kemampuannya untuk mengikat hidrogen memainkan peran yang utama di
dalam mengarahkan struktur kristalin dan juga mengembangkan sifat fisika dari
selulosa (Summerscales et al., 2010).

Kebanyakan tanaman tersusun atas selulosa berkristal tinggi dan mungkin


berisi sebanyak 80 persen daerah kristal. Bagian yang tersisa memiliki densitas
yang lebih rendah dan disebut sebagai selulosa amorf. Selulosa merupakan
polimer dengan derajat polimerisasi (DP) sekitar 10,000, bersifat kuat,
berkristal molekul tanpa percabangan. Selulosa padat membentuk suatu
struktur mikrokristal dengan daerah amorf pada orde yang rendah. Selulosa
juga terbuat dari batang kristal mikrofibril dan terbagi menjadi 4 kelompok
yaitu selulosa I, selulosa II, selulosa III, dan selulosa IV. Selulosa I merupakan
bentuk alami dari selulosa yang terdiri atas 2 jenis yaitu selulosa Iα dan
selulosa Iβ tergantung pada sumber selulosanya. Yang membedakan antara
selulosa Iα dan selulosa Iβ adalah bentuk kristalnya dimana selulosa Iα
memiliki struktur triklinik dan selulosa Iβ memiliki struktur monoklinik,
seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Kelompok selulosa yang lain merupakan
bentukan dari selulosa I dengan berbagai cara (Pérez & Samain, 2010).

Sifat kimia selulosa adalah tahan terhadap alkali kuat (17.5% berat) tetapi
dengan mudah terhidrolisis oleh asam menjadi gula yang larut air dan selulosa
relatif tahan terhadap agen pengoksida dengan ketahanan panas serat selulosa
adalah mencapai temperatur 211 - 280°C tergantung pada jenis seratnya
(Suryanto, 2015).

2.3 Karakteristik Proses Pembuatan Komposit

Menurut Febrianto (2011) Vacuum Assited Resin Infusion merupakan


metode pembuatan material komposit dengan aplikasi tekanan rendah untuk
mengatur jalannya resin menjadi laminer. Material yang menjadi matriks
diletakan disebuah cetakan kemudian dilakukan vakum untuk menarik resin
masuk dan mengalir ke dalam matriks. Setelah matriks teraliri resin, maka
tabung vakum akan menghisap sisa resin yang tertinggal, sehingga tebalnya
sama. Metode Vacuum Assited Resin infusion ada 2 jenis, metode Surface
Infusion dan metode Interlaminar Infusion. Pada Surface Infusion, resin di
alirkan melewati permukaan lamina, dengan kerugian terbesar pada biaya
pengoperasian mesin dan kompleksitas yang meningkat jika aplikasi ini
digunakan pada skala besar. Sedang pada metode Interlaminar Infusioni, resin
dialirkan di antara lamina, sehingga ketebalan resin tetap terjaga pada ruang
antar lamina dan aliran resin lebih cepat karena melewati ruang yang sama rata.
Oleh sebab itu, metode ini memiliki keuntungan yang besar jika diaplikasikan
pada skala besar.

Menurut Nyior dan Mgbeahuru (2018) bahan komposit yang diproses dengan
menggunakan metode compression moulding menghasilkan sifat mekanik yang
lebih baik dibandingkan dengan komposit yang diproduksi dengan metode hand
lay-up. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan tarik dan modulus Young
dari sampel yang dihasilkan oleh metode compression moulding masing-masing
meningkat sebesar 77% dan 47% (pada komposisi serat yang optimal)
dibandingkan dengan metode hand lay-up. Hasil lain juga menunjukkan bahwa
kekuatan impak dari komposit dengan metode compression moulding lebih besar
yaitu 11,5 kJ/m2 dibandingkan metode hand lay-up yang mempnyai kekuatan
impak 7 kJ / m2.

Proses pembuatan komposit dapat dilakukan dengan proses pressured


sintering. Pressured sintering adalah suatu metode yang mengaplikasikan proses
kompaksi dan sintering. Penelitian tentang komposit HDPE-sampah organik
dengan variasi suhu sintering HDPE menghasilkan bahwa peningkatan waktu
sintering dari 5 menit sampai dengan 20 menit akan meningkatkan ikatan antar
partikel serbuk. Semakin meningkatnya ikatan antar partikel serbuk maka akan
meningkatkan kekuatan bending, kekuatan impak dan kekuatan geser tekan
berturut-turut sebesar 61,50%; 109,43% dan 80,84% (Ibnuwibowo, 2012).

2.4 Pengujian Sifat Termal Komposit


Sifat termal suatu bahan merupakan salah satu sifat yang cukup
penting,untuk diketahui agar bahan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Untuk mengetahui sifat termal suatu bahan diperlukan suatu metode
pengukuran yang disebut analisis termal. TGA merupakan pengukuran
perubahan berat suatu bahan sebagai fungsi waktu. Hasil analisis berupa
rekaman diagram yang kontinu dimana reaksi dekomposisi. Berat suatu
bahan yang dibutuhkan saat dianalisis beberapa milligram, yang dipanaskan
pada laju konstan (Rahmayanti, 2016).

Pada umumnya ada dua metode pemanasan sampel yang digunakan


untuk mengetahui sifat termal material. Dengan metode termogravimetri
isotermal (statis), sampel akan dipanaskan pada suhu konstan. Sedangkan
metode termogravimetri un-isotermal (dinamis), perubahan berat sampel
akan diamati seiring dengan perubahan waktu dan suhu. Suhu atau
temperatur akan meningkat pada kecepatan yang hampir sama dan mewakili
kecepatan pemanasan (°C.min-1). Kurva analisis termogravimetri (TGA)
menunjukkan hubungan penurunan berat terhadap suhu. Analisis termal
memungkinkan pemantauan reaksi, kecepatan degradasi, penurunan berat
sampel, perubahan suhu degradasi, perubahan eksotermik dan endotermik
(Markova et al., 2018).

Analisis termogravimetri (TGA) sering digunakan untuk mempelajari


stabilitas dan degradasi polimer. Dalam TGA, massa sampel dipantau secara
terus-menerus sementara sampel diletakkan dalam keadaan atmosfer yang
terkendali dengan suhu terprogram pada tingkat pemanasan yang konstan.
Kehilangan massa pada awal pemanasan, biasanya disebut sebagai awal
degradasi. Degradasi polimer adalah proses kompleks yang mungkin
melibatkan kombinasi dari depolimerisasi dan mekanisme lainnya.
Pemanasan secara konstan TGA berguna untuk mengidentifikasi dan
mengukur komponen dalam sampel, akan tetapi hal itu tidak mungkin terjadi
ketika dekomposisi komponen terjadi secara bersamaan (Artiaga et al.,
2002).

Sebagian besar material mengalami perubahan fisika dan kimia ketika


panas diberikan kepada material tersebut, dan dalam hal ini biasanya
merupakan perubahan yang tidak diinginkan terhadap sifat dari material
tersebut. Terdapat dua perbedaan dalam perubahan ini, yaitu dekomposisi
termal dan degradasi termal. Dekomposisi termal merupakan proses
perubahan

struktur kimia yang disebabkan oleh termal. Sedangkan degradasi termal


merupakan proses dimana panas meneybabkan kenaikan temperatur dari
suatu material, yang menyebabkan kehilangan atau perubahan sifat fisik,
mekaik, atau elektrik (Beyler & Hirschler, 2002).

Pada penelitian yang dilakukan Hung et al. (2017) Analisis TGA


digunakan untuk mengetahui perilaku dekomposisi termal dari empat jenis
bahan lignoselulosa. Empat jenis serat lignoselulosa (LFs) yaitu cemara Cina
(Cunninghamia lanceolata), pinus merah Taiwan (Pinus taiwanensis), trema
arang India (Trema orientalis) dan bambu makino (Phyllostachys makinoi),
dipilih dan dimasukkan ke dalam high-density polyethylene (HDPE) untuk
memproduksi komposit kayu-plastik (WPC) dengan metode Flat Platen
Pressing.

Gambar 2.7 Analisis TGA variasi serat lignoselulosa (Hung et al., 2017)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Adapun penjelasan diatas dapat disimpulkan dari permasalahan yang ada


sebagai berikut :

1. Serat alam dapat memengaruhi kekuatan tarik dan kekakuan material


komposit melalui kontribusi kekuatan intrinsik serat tersebut. Serat alam
yang memiliki kekuatan tarik tinggi akan memberikan kontribusi positif
pada kekuatan tarik material komposit.
2. Interaksi antara serat alam dan matriks material sangat penting dalam
menentukan kualitas bonding dalam material komposit. Kualitas bonding
ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan serat dan matriks untuk saling
berikatan.
3. Variabilitas bahan alam pada serat, seperti perbedaan dalam struktur
selulosa atau komposisi kimia, dapat memengaruhi konsistensi sifat
mekanik material komposit. Variabilitas ini dapat menjadi tantangan
dalam mencapai konsistensi yang tinggi dalam performa material.
4. Tantangan utama dalam menyusun proses manufaktur untuk material
komposit berbasis serat alam melibatkan pemastian distribusi serat yang
seragam, orientasi serat yang optimal, dan pengaturan kondisi
manufaktur yang sesuai dengan sifat-sifat serat alam.
5. Material komposit berbasis serat alam cenderung menunjukkan respons
yang berbeda terhadap perubahan lingkungan, terutama terkait suhu dan
kelembaban. Pada suhu dan kelembaban tertentu, serat alam dapat
menyerap air, mempengaruhi sifat mekanik dan dimensi material.
3.2 Saran

Dalam pembuatan makalah agar dapat memahami isi materinya agar dapat
menjelaskan secara Detail dalam presentasi makalah nya nantinya, lalu
kedepannya dalam pembuatan makalah agar dapat bekerjasama dalam kelompok
nya supaya dapat memudahkan proses pembuatan makalah nya nanti.
DAFTAR PUSTAKA

Artiaga, R., et al. (2002). Separation of Overlapping Processes from


TGA Data and Verification by EGA. Journal of ASTM
International Vol XX, No. X.

Balfas, A. (2012). Analisis Termal Bionanokomposit Filler Serat Kulit


Rotan.Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Beyler & Hirschler, M. M. (2002). Thermal Decomposition of


Polymers. Billmeyer, F. (1994). Text Book of
Polimer Science, New York.

Bismarck, A., Mishra, S., Lampke, T., 2005. Plant Fibers as Reinforcement
for Green Composites. In: Mohanty, A.K., Misra, M., and Drzal,
L.T. (Ed.), Natural Fibers, Biopolymer, and Biocomposites. CRC
Press Tailor and Francis group, Boca Raton.

Bledzki, A.K., Gassan, J., 1999. Composites reinforced with cellulose based
fibres. Carbon N. Y. 24, 221–274.

Cousins, W.J., 1976. Elastic Modulus of Lignin as Related to Moisture


Content. Wood Sci.
Technol. 10, 9–17.

Anda mungkin juga menyukai