Anda di halaman 1dari 7

RUU DKJ Salah Konsep Mengurus Jakarta

koran.tempo.co/read/berita-utama/486015/ruu-dkj-salah-konsep-mengurus-jakarta

Deretan gedung bertingkat dilihat dari pinggiran Banjir Kanal Barat di kawasan Petamburan, Jakarta, 9
Oktober 2023. Tempo/Tony Hartawan. tempo : 170833025582.9916396

JAKARTA – Kontroversi pada Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) tak
hanya pada wacana penunjukan Gubernur Jakarta oleh presiden. RUU yang baru disetujui sebagai
inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat ini juga memuat rencana pembentukan kawasan aglomerasi yang
mencakup Jakarta dan kabupaten/kota di sekitarnya. Kelak juga bakal dibentuk dewan kawasan
aglomerasi yang dipimpin oleh wakil presiden.

1/7
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan rencana pembentukan dewan kawasan
aglomerasi dilatarbelakangi kajian pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara, Kalimantan
Timur. Selama ini, sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta dibekap banyak persoalan, seperti banjir,
kemacetan, polusi udara, dan kependudukan.

Karena itu, menurut politikus Partai Golkar tersebut, pengembangan Daerah Khusus Jakarta perlu
terintegrasi dengan daerah di sekitarnya melalui pembentukan kawasan aglomerasi. "RUU ini harus
membuat Jakarta lebih baik dari sebelumnya," kata Doli pada Kamis, 7 Desember lalu. "Kalau mau
menyelesaikan macet, polusi, banjir, tidak bisa Jakarta sendiri."

Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 5 Desember lalu, menyetujui RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi
rancangan undang-undang inisiatif Dewan. RUU ini akan segera dibahas bersama pemerintah dan
ditargetkan rampung paling lambat pada pertengahan Februari tahun depan, selepas Pemilihan Umum
2024. Dua hari terakhir, RUU ini menjadi perbincangan publik lantaran memuat Pasal 10 yang akan
memberikan wewenang kepada presiden untuk menunjuk Gubernur Jakarta.

Kondisi tanggul pantai di kawasan Muara Baru, Jakarta, 2 Oktober 2023. TEMPO/Subekti.

Adapun rencana pembentukan kawasan aglomerasi diatur dalam Pasal 51 sampai Pasal 60. Pada
bagian ketentuan umum RUU tersebut dijelaskan bahwa kawasan aglomerasi merupakan kawasan
perkotaan dalam konteks perencanaan wilayah yang menyatukan pengelolaan beberapa kota dan

2/7
kabupaten dengan kota induk, sekalipun berbeda dari sisi administrasi. Kawasan ini disiapkan sebagai
satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global.

Rencananya, seperti tertuang dalam Pasal 51, kawasan aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi
Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.
Sinkronisasi pembangunan di kawasan aglomerasi ini akan mencakup dokumen tata ruang serta
dokumen perencanaan pembangunan di kabupaten/kota tersebut. Kelak, dokumen rencana tata ruang itu
akan disatukan dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional.

RUU Daerah Khusus Jakarta juga mengatur pembuatan Rencana Induk Pembangunan Kawasan
Aglomerasi. Muatannya berisi program dan kegiatan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota. Program itu mencakup pengelolaan transportasi, sampah, limbah,
lingkungan hidup, banjir, air minum, energi, kesehatan, infrastruktur wilayah, penataan ruang, dan
kependudukan.

Untuk mengkoordinasikan semua urusan tersebut, RUU merancang pembentukan dewan kawasan
aglomerasi. Lembaga baru ini, seperti dimuat dalam Pasal 55 ayat 3 RUU DKJ, akan dipimpin oleh wakil
presiden. RUU ini tak mengatur lebih detail soal dewan kawasan aglomerasi, kecuali soal tugasnya
sebagai koordinator, pengawas, dan evaluator pelaksanaan program di kawasan aglomerasi. Ketentuan
lebih lanjut soal dewan kawasan aglomerasi ini akan diatur dalam peraturan presiden.

3/7
Kawasan perkantoran di Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, 21 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Serupa dengan Versi Pemerintah


Rencana pembentukan kawasan aglomerasi dalam draf RUU buatan DPR tersebut sebenarnya tak jauh
berbeda dengan draf versi pemerintah. Naskah RUU yang disusun pemerintah itu disetor ke Senayan
pada awal September lalu.

Bedanya, seperti tertuang dalam dokumen RUU Daerah Khusus Jakarta versi pemerintah tertanggal 6
September 2023, kawasan aglomerasi itu bernama kawasan regional Jabodetabek. Kabupaten Cianjur
tak disebutkan di dalamnya. Sedangan koordinator penyusunan dokumen rencana tata ruang dan
pembangunan adalah dewan kawasan Jabodetabek. Sama dengan draf versi DPR, dewan kawasan ini
juga akan dipimpin oleh wakil presiden selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

Seorang pejabat pemerintah yang mengikuti penyusunan RUU Daerah Khusus Jakarta mengungkapkan
rencana pembentukan kawasan ini bukan ide baru. Pemerintah sejak awal ingin menjadikan Jakarta dan
daerah penyangganya sebagai kesatuan pengembangan. "Nanti diikat dengan program pembangunan
yang terintegrasi," katanya.

4/7
Baca Juga:

Pesona Jakarta tanpa Status Ibu Kota

Tebang Pilih Atasi Polusi Jakarta

Polusi Udara dan Ekonomi Jakarta

Akar Pangkal Banjir Jakarta

Upaya Meredam Macet di Ibu Kota

Dia mencontohkan, selama ini masalah transportasi tak kunjung teratasi karena adanya sekat
kewenangan antar-pemerintah daerah. Begitu pula dengan penanggulangan banjir. "Misalnya, Bogor
nanti harus tunduk, seperti diminta menanam tanaman atau menjaga hutan untuk mencegah banjir lewat
kewenangan aglomerasi," kata sumber Tempo tersebut. "Tapi daerah otonom tetap eksis."

Menurut dia, wapres diperlukan untuk memimpin dewan kawasan karena selama ini sekat kewenangan
tak hanya antar-pemerintah daerah, tapi juga dengan kementerian dan lembaga. Dia mencontohkan,
pemerintah DKI Jakarta selama ini punya kemampuan anggaran untuk membenahi sejumlah situ yang
menjadi wadah penampungan air dan pencegah banjir. Namun, karena kewenangan tersebut berada di
pemerintah pusat, rencana pemerintah DKI Jakarta tak bisa berjalan karena tak mendapatkan izin.

"Jadi, begitu banjir, yang disalahkan DKI. Padahal sumber masalah mungkin adalah kewenangan di
pusat," kata pejabat tersebut. "Dengan konsep aglomerasi, kementerian dan lembaga harus tunduk pada
desain pengembangan kawasan."

5/7
Pekerja mengoperasikan alat berat untuk mengeruk sedimentasi pada Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta, 14
November 2023. Pengerukan yang dilakukan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta tersebut bertujuan menjaga kapasitas
waduk sebagai pengendali banjir. TEMPO/Tony Hartawan

Dinilai Salah Konsep


Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengkritik rencana DPR dan pemerintah
memberikan tugas baru kepada wakil presiden untuk memimpin dewan kawasan aglomerasi Jakarta.
“Lebih baik wakil presiden, yang disebutkan sebagai ketua dewan aglomerasi, mengurus masalah
nasional yang masih banyak,” ujarnya.

Nirwono menilai keberadaan dewan kawasan aglomerasi ataupun nama lainnya tidak diperlukan.
Pembentukan badan baru semacam ini, kata dia, tidak akan efektif dan efisien mengatasi persoalan di
Jakarta dan daerah sekitarnya. "Malah akan menambah ribet birokrasi dan koordinasi pengembangan
kawasan tersebut," kata Nirwono.

Dia mengatakan konsep kawasan aglomerasi yang ditawarkan dalam RUU Daerah Khusus Jakarta
cukup dipimpin langsung oleh seorang gubernur. Agar punya kewenangan lintas wilayah, kedudukan
Gubernur Daerah Khusus Jakarta bisa disetarakan dengan menteri. “Jadi Gubernur Daerah Khusus
Jakarta yang mengkoordinasikannya, bukan dewan kawasan yang dipimpin wakil presiden,” kata
Nirwono.

6/7
Baca Juga:

Menuju Megapolitan Jakarta

Jakarta Perlu Menjadi Megapolitan

Namun, menurut Nirwono, skema yang paling optimal dalam mengembangkan kawasan khusus Jakarta
bukan seperti itu. Pemerintah, kata dia, semestinya membuat terobosan dengan memasukkan kota dan
kabupaten, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, sebagai bagian dari Daerah Khusus Jakarta.
Dia mengingatkan, selama ini yang menjadi masalah dalam pengembangan kawasan tersebut adalah
sulitnya koordinasi di antara otoritas pemerintahan di setiap daerah karena adanya perbedaan
kepentingan politik. “Padahal, secara teknis, warga di Jabodetabek itu sehari-hari menjadi satu,” ujarnya.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berharap
DPR dan pemerintah melibatkan partisipasi publik yang bermakna dalam menyusun RUU Daerah
Khusus Jakarta. Jika tidak, dia khawatir kebijakan yang dibuat kelak justru menimbulkan penolakan
sehingga berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik. “Setiap perubahan pasti membutuhkan
adaptasi warga. Karena itu, keterlibatan masyarakat dalam RUU DKJ ini mutlak dipenuhi,” kata Titi.
“Supaya benar-benar bisa aplikatif dan bukan justru sebaliknya, menuai kontroversi dan antipati.”

IMAM HAMDI | AGOENG

Imam Hamdi

7/7

Anda mungkin juga menyukai