Anda di halaman 1dari 4

periodesiasi sastra indonesia berdasarkan pembeda estetik

A. Periode Balai Pustaka: 1920-1940


Jenis sastra pada periode ini adalah roman, ada juga cerita pendek, yang terkumpul
dalam buku Hamka Di Dalam Lembah Kehidupan (1940). Karya penting dalam periode
ini di antaranya ialah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Siti Nurbaya, Pertemuan
Abas St. Pamuntjak Ns, Salah Pilih, Karena Mentua, Katak Hendak Menjadi
Lembu, Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar, Kehilangan Mestika karya Selasih,
Salah Asuhan karya Abdul Muis, Ni Rawit dan Sukreni Gadis Bali karya Panji Tisna, dan
karya-karya Hamka Di Bawah Lindungan Kaabah, Tenggelamnya Kapal Van der
Wijk, Merantau ke Deli.
a. Ciri-ciri struktur Estetik
1. gaya bahasa menggunakan perumpamaan klise, pepatah-pepatah, dan peribahasa,
namun menggunakan bahasa percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat
sastra lama;
2. alur roman sebagian besar alur lurus, ada juga yang menggunakan alur sorot balik,
seperti Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Kaabah;
3. teknik penokohan dan perwatakan banyak digunakan analisis langsung dan deskripsi
fisik; tokoh-tokohnya berwatak datar;
4. pusat pengisahan menggunakan orang ketiga bersifat romantik-ironik lebih-lebih roman
awal, pelaku cerita diperlakukan seperti boneka, misalnya Siti Nurbaya. Ada juga
pengisahan dengan metode orang pertama, misalnya Kehilang Mestika dan Di Bawah
Lindungan Kaabah;
5. banyak digresi, yaitu banyak sisipan peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan
inti cerita, seperti uraian adat, dongeng-dongeng, syair, dan pantun nasihat;
6. bersifat didaktis, sifat ini berpengaruh sekali pada gaya penceritaan dan struktur
penceritaannya. Semua ditujukan pada pembaca untuk memberi nasihat; dan
7. bercorak romantik, melarikan diri dari masalah sehari-hari yang menekan.
b. Ciri-ciri Ekstra Estetik
1. masalah adat, terutama masalah kawin paksa permaduan;
2. pertentangan paham antara kaum tua (pertahankan adat lama) dan kaum muda
(paham kehidupan modern);
3. latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah;
4. cerita bermain di zaman sekarang, bukan di zaman antah berantah; dan
5. cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, masalah masih bersifat kedaerahan.

B. Periode Pujangga Baru: 1930-1945


Karya-karya sastra yang penting di antaranya Nyanyi Sunyi, Buah Rindu karya Amir
Hamzah; Layar Terkembang dan Tebaran Mega karya St. Takdir Alisjahbana, Rindu
Dendam J.E. Tatengkeng, Belenggu karya Armijn Pane, karya-karya Sanusi Pane Madah
Kelana, Manusia Baru, Sandyakalaning Majapahit, percikan Permenungan dan Bebas
Sari karya Rustam Effendi, Bandi Mataram dan Indonesia Tumpah Darahku karya
Muhamad Yamin.
Ciri-ciri struktur estetiknya
a. Puisi:
1. puisinya puisi baru bukan pantun dan syair lagi; ada jenis baru, yaitu soneta berasal
dari Barat; ada juga balada tetapi belum dikenal betul;
2. pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah;
3. bahasa kiasan utama ialah perbandingan;
4. bentuknya simetris. Ini pengaruh puisi lama; ada periodisitas dari awal sampai akhir
sajak, tiap barisnya pada umumnya terdiri dari dua kata;
5. gaya ekspresi aliran romantik tampak dalam gaya pengucapan perasaan, pelukisan
alam indah, tenteram, dan sebagainya;
6. gaya sajaknya diafan atau polos, hubungan antara kalimat jelas, kata-katanya serebral,
hampir tak digunakan kata-kata yang ambigu seperti simbolik dan metafora implisit;
dan
7. persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama.

C. Periode Angkatan 45: 1940-1955


Karya-karya sastra yang penting: Deru Campur Debu, Kerikil Tajam karya Chairil Anwar,
Tiga Menguak Takdir kumpulan sajak Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin; karya
Idrus dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Atheis novel Achdiat K. Miharja, kumpulan
sajak Sitor Situmorang; Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak dan Wajah Tak Bernama,
karya-karya Pramoedya Ananta Toer: Subuh, Perburuan, Keluarga Gerilya dan Mereka
yang Dilumpuhkan karya Muchtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok dan Si
Jamil.
a. Ciri-ciri struktur estetik
Puisi:
1. puisi bebas, tak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan (rima);
2. gayanya ekspresionisme;
3. aliran dan gaya realism;
4. pilihan kata (diksi) untuk mencerminkan pengalaman batin yang yang dalam dan untuk
intensitas arti; mempergunakan kosakata bahasa sehari-hari sesuai dengan aliran
realism;
5. bahasa kiasan yang dominan metafora dan simbolik; kata-kata, frasa, dan kalimat-
kalimat ambigu menyebabkan arti ganda dan banyak tafsir;
6. gaya sajaknya prismatik dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-
baris dan kalimat-kalimatnya implisit;
7. gaya pernyataan pikiran berkembang menjadi gaya sloganis; dan
8. gaya ironi dan sinisme menonjol.
b. Ciri-ciri Ekstra Estetik:
Puisi
1. individualism menonjol, dalam arti, kesadaran kepada keberadaan diri pribadi terpancar
dengan kuat dalam sajak-sajak periode ini;
2. mengekspresikan kehidupan batin/kejiwaan manusia lewat peneropongan batin sendiri;
3. mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanism universal) tampak jelas,
seperti tentang kesengsaraan hidup, hak-hak asasi manusia;
4. masalah kemasyarakatan: mengemukakan kepincangan dalam masyarakat, seperti
gambaran perbedaan menyolok antara golongan kaya dan miskin; dan
5. Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
D. Periode Angkatan 50: 1950-1970
Secara intrinsik struktur estetik Angkatan 45 dan Angkatan 50 sukar dibedakan sebab
gaya Angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan oleh Angkatan 50. Hanya saja mereka
menambahkan unsur kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan. Pada
masa ini muncul partai politik, seperti. PNI mempunyai LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional), partai Islam mempunyai Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia),
PKI mempunyai Lekra ( Lembaga Kebudayaan Rakyat). Corak kesusastraan Indonesia
pada periode ini bermacam-macam Lekra dengan ide komunisme dengan semboyan
“seni untuk rakyat” dan “politik sebagai panglima”.
Sastrawan yang menulis pada periode ini pada dekade 50-an diantaranya Kirdjomulyo,
WS Rendra, Ajib Rosidi, Toto Bachtiar, Ramadhan KH, Nugroho Notosanto, Subagio
Sastrowardojo, Mansur samin, N.H. Dini, Trisnojuwono, Rijono Pratikno, Alexandre Leo,
Jamil Suherman, Hartojo Andangjaja, dan sebagainya.
Sastrawan Lekra yang menonjol diantaranya Bakri Siregar (angkatan 45), Klara Akustia
(A.S. Dharta), S. Ananta, H.R. Bandaharo, dan Sabron Aidit.
Sastrawan dekade 60-an diantaranya: Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Darmanto
Jt, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Taufik Ismail, Kunto Wijoyo, Fudoli Zaini,
Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Abdul Hadi W.M.
a. Ciri struktur estetik
1. puisi epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada,
dengan gaya yang lebih sederhana dari puisi lirik;
2. gaya mantra mulai nampak dalam balada-balada;
3. gaya ulangan mulai berkembang (meskipun sudah dimulai oleh Angkatan 45)
4. gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan karya gaya Angkatan 45;
5. gaya slogan dan retorik makin berkembang.
Ciri ekstra estetik
Puisi:
1. ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh
penderitaan;
2. mengungkapkan masalah-masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, perbedaan
kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup; dan
3. banyak mengemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-
pokok sajak balada.

E. Periode Angkatan 70: 1965-sekarang (1984)


a. Ciri struktur estetik
Puisi
1. puisi bergaya mantra, menggunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa:
ulangan kata, frasa, atau kalimat berupa paralisme, kombinasi dengan hiperbola dan
enumerasi untuk mendapatkan efek sebanyak-banyaknya. Disamping itu, dieksploitasi
tipografi yang sugestif. Juga digunakan kata nonsense yang berupa kata (bunyi) tak
berarti, kata diputus-putus, dibalik secara metatesis suku katanya, diulang berkali-kali
salah satunya. Semua itu untuk mendapatkan makna baru.
2. dipergunakan kata-kata daerah secara menyolok untuk memberi warna lokal dan
ekpresivitas;
3. dipergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapatkan makna baru;
4. puisi-puisi imajisme menggunakan teknik tak langsung berupa gambaran-
gambaran (imaji-imaji) dengan lukisan-lukisan atau cerita kiasan (alegori dan parable);
5. gaya penulisan yang prosais, ini berhubungan dengan gaya puisi imajisme; dan
6. puisi lugu, mempergunakan teknik pengungkapan ide secara polos, dengan kata-
kata serebral, kalimat-kalimat biasa atau polos.

b. Ciri-ciri ekstra estetik


Puisi:
1. mengemukakan kehidupan batin religious yang cenderung ke mistik;
2. cerita, lukisan yang bersifat alegoris atau parable;
3. menuntut hak-hak asasi manusia: kebebasan, hidup merdeka, bebas dari
penindasan, menuntut kehidupan yang layak, bebas dari pencemaran kehidupan
modern; dan
4. mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah,
dan kritik atas penyelewengan.

Anda mungkin juga menyukai