Anda di halaman 1dari 3

Nama: Sri Nanda Utami

NIM: 1810723007

Tidak baku tidak berarti salah

Holy Adib

18:03 WIB - Sabtu, 17 Agustus 2019

Manakah kata yang benar, analisa atau analisis? Pertanyaan tentang kata yang benar atau salah seperti
itu merupakan salah satu pertanyaan yang sering diajukan pengguna bahasa Indonesia.

Jika penanya bermaksud mengetahui bentuk baku dan tidak baku sebuah kata, pertanyaannya bukan
begitu karena bentuk baku tidak berhubungan dengan benar atau tidaknya sebuah kata.

Menganggap bentuk baku sebagai bentuk yang benar dan bentuk tidak baku sebagai bentuk yang tidak
benar telah menjadi salah kaprah di tengah masyarakat. Oleh karena itu, saya akan menjelaskan
masalah tersebut agar tidak lagi yang menganggap bentuk yang baku sebagai kata yang benar,
setidaknya pembaca tulisan ini.

Manakah kata yang benar, analisa atau analisis? Keduanya benar. Manakah bentuk yang baku? Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bentuk yang baku ialah analisis, sedangkan analisa merupakan
bentuk tidak baku.

Meskipun begitu, analisa bukanlah kata yang salah karena juga sering dipakai oleh penutur bahasa
Indonesia. Analisa diserap dari bahasa Belanda, analyse, sedangkan analisis diserap dari bahasa Inggris,
analysis.

Analisa dan analisis telah disesuaikan bentuknya sesuai dengan morfologi bahasa Indonesia. Oleh sebab
itu, bentuk analisa dan analisis tidak menyalahi prinsip bahasa Indonesia.

Bolehkah bentuk yang tidak baku dipakai? Boleh, apalagi bentuk tidak baku yang pemakaiannya sangat
bersaing dengan bentuk baku, seperti mesjid (tidak baku menurut KBBI) dan masjid (baku menurut
KBBI).
Memilih kata yang akan dipakai merupakan hak penutur. Namun, memakai kata baku disarankan dalam
situasi resmi.

Dalam situasi tidak resmi, misalnya percakapan sehari-hari, tidak ada larangan menggunakan kata tidak
baku. Penjelasan lebih panjang mengenai situasi resmi dan penggunaan bahasa baku akan saya tulis
dalam kesempatan lain.

Kembali ke soal bentuk baku dan tidak baku tadi, pada kasus kata serapan Inggris dan Belanda yang
berakhir dengan –al (unsur serapan dari bahsa Inggris) dan –il (unsur serapan dari bahsa Belanda),
misalnya, J.S. Badudu dalam buku Inilah Bahasa Indonesia yang Benar (1983) halaman 77 dan 78
berpendapat bahwa semua kata serapan dalam bahasa Indonesia yang berakhir dengan –il harus diubah
bentuknya menjadi kata yang berakhir dengan –al, misalnya strukturil, formil, rasionil menjadi
struktural, formal, rasional—maksudnya, kata serapan berakhiran –al merupakan bentuk baku.

Alasannya, dengan mengambil bentuk –al, bukan –il, ada kesejajaran bentuk antara kata-kata bentukan
yang seasal morfem dasarnya dan bentuknya lebih mirip. Misalnya, formal dan formalitas lebih
berdekatan bentuknya daripada formil dan formalitas.

Bahasa Indonesia modern menggunakan kata serapan Inggris dan telah meninggalkan kata serapan
Belanda. Meskipun demikian, beberapa kata serapan Belanda masih dipakai karena beberapa alasan.

Badudu (1983) mengemukakan alasan-alasan tersebut pada kasus kata yang berakhir dengan –il dan –al.
Ia beralasan bahwa kalau ada dua bentuk kata yang berbeda karena yang satu berakhir dengan –il dan
yang satu lagi dengan –al dan berbeda pula maknanya, kedua bentuk tersebut harus dibiarkan.

Misalnya, kata moril (serapan Belanda, moreel; dalam bahasa Inggris moral, morally, morale) dan kata
moral (serapan Belanda, moraal; dalam bahasa Inggris moral) berbeda maknanya dalam bahasa
Indonesia. Bantuan moril, misalnya, tidak bisa diubah menjadi bantuan moral.

Alasan Badudu tersebut bukanlah persoalan prinsip, melainkan masalah keselarasan. Jadi, memakai
bentuk strukturil, formil, rasionil sebenarnya tidak salah secara prinsip bahasa Indonesia, melainkan
hanya tidak selaras dengan bentuk lain.

Meskipun begitu, ada pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum menggunakan sebuah bentuk
dari dua bentuk: apa alasan memilih satu bentuk tersebut? Misalnya, mengapa Anda memakai
strukturil, bukan struktural? Padahal, mayoritas penutur bahasa Indonesia saat ini menggunakan
struktural.

Kalau Anda punya alasan yang rasional memakai bentuk sebuah kata, bukan cuma alasan ketidaksukaan
terhadap kata baku tanpa faktor yang jelas, silakan pakai bentuk tersebut.

Saya memakai bentuk seperti struktural, formal, rasional karena seleras dengan bentuk lainnya,
misalnya strukturalisasi, strukturalisme, formalitas, formalistis, rasionalitas, rasionalisasi.

Selain itu, saya tak punya alasan menggunakan strukturil, formil, rasionil. Saya juga berpendapat bahwa
kita perlu memakai bentuk yang baku—tentu saja dalam situasi resmi—agar sejalan dengan politik
bahasa nasional yang dijalankan pemerintah dalam mengembangkan dan membina bahasa Indonesia
menjadi bahasa Indonesia modern.

Oleh karena bahasa Indonesia modern memakai kata serapan Inggris, kata serapan Belanda, seperti
analisa, konfrontir, strukturil sudah ditinggalkan. Meskipun begitu, saya tidak menyalahkan orang yang
memakai bentuk yang berakhir dengan –a (analisa), -ir (konfrontir), dan –il (strukturil) karena
bagaimanapun bentuk-bentuk seperti itu menyimpan jejak bahwa kita pernah sangat akrab dengan kata
serapan Belanda sebelum kata serapan Inggris membanjiri bahasa Indonesia.

Bagaimana dengan bentuk yang salah? Bentuk yang salah merupakan bentuk yang menyalahi prinsip
bahasa Indonesia. Misalnya, shalat. Kata ini mengandung deret konsonan /sh/, tetapi pemakainya
menganggapnya gabungan konsonan.

Jadi, dalam bahasa Indonesia shalat merupakan bentuk yang salah karena gabungan konsonan
(melambangkan satu bunyi konsonan) dalam bahasa Indonesia saat ini hanyalah /kh/, /ng/, /sy/, /ny/,
misalnya pada kata khazanah, nyaring, bunyi, nyanyi.

KBBI menganggap shalat sebagai bentuk tak baku dari salat. Bagi saya, shalat merupakan bentuk yang
salah, bukan tak baku. Bentuk yang salah adalah bentuk yang menyalahi prinsip bahasa Indonesia.

Meskipun begitu, tidak berarti bahwa bentuk kata shalat tidak boleh dipakai. Silakan pakai bentuk
tersebut jika Anda menganggap bahwa salat tidak mewakili makna shalat, tetapi miringkan tulisannya.

Anda mungkin juga menyukai