Anda di halaman 1dari 24

Jurnal Ekonomi Pembangunan

Volume 12, Nomor 2, Desember 2011, hlm.163-186

INTENSITAS PERDAGANGAN DAN KESELARASAN SIKLUS


BISNIS DI ASEAN-4 DAN UNI EROPA *

Etty Puji Lestari


Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka
Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang 15418, Indonesia, Telepon (021)7490941 Ext 2106
E-mail: ettypl@ut.ac.id

Diterima 25 April 2011 / Disetujui 2 Oktober 2011

Abstract: The main objective of this research is to empirically analyze how the business cycle
of ASEAN-4 (namely Indonesia, Malaysia, Thailand, and Philippines) economies are influ-
enced by increased trade with European Union especially Netherland and Germany. Increased
trade can lead business cycles across trading partners to be patterned in either direction, to-
wards convergence or divergence. We used regression and vectorautoregression (VAR) me-
thods for this research. Regression methods is based panel data whereas VAR is based on the
time series analysis. There are four variables, which are business cycle, trade intensity, fiscal
policy coordination and monetary policy coordination. This research conclude that trade
intensity and monetary policy coordination are the major channel though which the business
cycles of ASEAN-4 economies become synchronized. This has important implications for the
formation of a currency union.
Keywords: business cycle, trade intensity, synchronization, monetary policy

Abstrak: Tujuan utama penelitian ini, menganalisis secara empiris bagaimana siklus bisnis
pada perekonomian di ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina) dipengaruhi
oleh meningkatnya perdagangan dengan Uni Eropa. Peningkatan perdagangan dapat mempe-
ngaruhi pergerakan siklus bisnis mitra dagang menjadi konvergen atau divergen. Kita meng-
gunakan metode regresi dan vectorautoregression (VAR) dalam penelitian ini. Metode regresi
berbasis data panel sedangkan metode VAR berbasis pada analisis time series. Ada empat
variabel yang digunakan yaitu siklus bisnis, intensitas perdagangan, koordinasi kebijakan
fiskal dan koordinasi kebijakan moneter. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa intensitas
perdagangan dan koordinasi kebijakan moneter merupakan faktor dominan yang menyebabkan
siklus bisnis pada perekonomian ASEAN-4 menjadi lebih selaras. Kondisi ini berimplikasi
pentingnya penggunaan mata uang bersama.
Kata kunci: siklus bisnis, intensitas perdagangan, keselarasan, kebijakan moneter

PENDAHULUAN dunia. Saat ini dapat dikatakan hampir semua


kawasan telah melakukan kerjasama bidang
ekonomi untuk memperlancar aktivitas inves-
Salah satu fenomena yang menandai era glo-
tasi dan perdagangan dengan membentuk inte-
balisasi adalah terjadinya proses integrasi di
grasi ekonomi (Achsani, 2008). Kerjasama ini
berbagai belahan dunia terutama dalam bidang
dimaksudkan untuk memperkuat ekonomi ka-
ekonomi. Integrasi ini penting dilakukan ma-
wasan dalam mempersiapkan diri memasuki
sing-masing kawasan agar dapat bersaing
perdagangan bebas WTO. Kesuksesan Uni Ero-
dengan kawasan lainnya dalam menghadapi
pa juga menjadi pendorong semakin cepatnya
arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan
perkembangan aktivitas blok-blok ekonomi dan

perdagangan dari berbagai kawasan.
Hasil Penelitian Hibah Doktor DIKTI 2009.
ASEAN (Association of South East Asian bentuk Special Coordinating Committee of ASEAN
Nation) yang didirikan di Bangkok pada tahun Nations (SCCAN). Tujuannya adalah untuk
1967 merupakan salah satu integrasi ekonomi mengadakan dialog dengan pihak Masyarakat
yang ada di kawasan Asia Tenggara. Saat ini Eropa (ME). ASEAN Brussels Committee (ABC)
anggota ASEAN sudah mencapai 10 negara yang beranggotakan para Duta Besar negara-
yaitu Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, negara ASEAN di Brussels, berfungsi melaksa-
Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, nakan konsultasi antara kedua pihak. Selanjut-
Myanmar, dan Kamboja (www.asean.org). Me- nya ASEAN-EU membentuk Joint Cooperation
reka melakukan berbagai kerjasama berbagai Committee (JCC). Komite ini mengadakan per-
bidang untuk meningkatkan kesejahteraan ber- temuan sekurang-kurangnya sekali dalam seta-
sama. Upaya untuk meningkatkan pertum- hun dan membahas serta mengawasi pelaksa-
buhan ekonominya dilakukan melalui berbagai naan kerjasama di bidang ekonomi dan pem-
kesepakatan. bangunan.
Keberhasilan Uni Eropa membentuk satu Penurunan tarif yang terjadi di Asia Timur
pasar tunggal mengilhami ASEAN untuk mela- pada tahun 1980 memberikan sinyal positif bagi
kukan hal yang sama. Pada KTT ASEAN Okto- semua negara untuk meningkatkan volume
ber 2002 di Kamboja, Singapura mengusulkan perdagangannya. Kondisi ini berdampak terha-
agar di tahun 2020 dibentuk pasar tunggal dap peningkatan integrasi perdagangan teruta-
ASEAN mencontoh keberhasilan pembentukan ma bagi negara yang sudah terintegrasi per-
pasar tunggal Eropa yang diberlakukan di ka- ekonomiannya seperti ASEAN yang tercermin
wasan Uni Eropa (Achsani, 2008). Ide ini akhir- dari meningkatnya Gross Domestic Bruto/GDP
nya terwujud dengan ditandatanganinya Bali negara-negara di ASEAN (www.asean.org).
Concorde II pada tanggal 7 Oktober 2003 yang Statistik perdagangan di ASEAN juga me-
menyepakati terbentuknya ASEAN Commu- nunjukkan peningkatan yang pesat, terutama
nity pada tahun 2020 dengan tiga pilar utama: setelah adanya penurunan tarif pada tahun
ASEAN Security Community, ASEAN Economic 1980-an (lihat Rana (2007) serta Shin dan Wang
Community dan ASEAN Socio-Culture Commu- (2004)). Pada kurun waktu tersebut integrasi
nity. perdagangan antarnegara menunjukkan per-
Hubungan kerjasama ASEAN-Uni Eropa forma tertinggi yang berarti semakin besar pula
(UE) dirintis pada 1972 ketika ASEAN mem- terjadinya keselarasan siklus bisnis. Isu kesela-

Tabel 1. Nilai Perdagangan ASEAN dengan Negara Lain (dalam milyar $)


Persentase dari total Perdagangan
Nilai
Negara Mitra ASEAN
Ekspor Impor Total Ekspor Impor Total
ASEAN 189.176,8 163.594,5 352.771,4 25,2 25,0 25,1
Jepang 81.284,9 80.495,6 161.780,5 10,8 12,3 11,5
USA 96.943,5 64.252,5 161.196,0 12,9 9,8 11,5
European Union-25 94.471,8 66.118,1 160.589,9 12,6 10,1 11,4
China 65.010,3 74.950,9 139.961,2 8,7 11,5 10,0
Korea 25.670,0 26.849,7 52.519,6 3,4 4,1 3,7
Australia 23.148,5 13.262,8 36.411,4 3,1 2,0 2,6
India 18.928,1 9.774,6 28.702,7 2,5 1,5 2,0
Taiwan 9.032,0 12.876,9 21.908,9 1,2 2,0 1,6
Hong Kong, SAR 13.784,0 6.409,0 20.193,0 1,8 1,0 1,4
Total sepuluh besar 617.449,9 518.584,6 1.136.034,6 82,2 79,3 80,9
Lainnya 133.257,9 135.513,2 268.771,1 17,8 20,7 19,1
Total 750.707,8 654.097,8 1.404.805,7 100,0 100,0 100,0
Sumber: ASEAN Database Trade, 2007

164 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
rasan siklus bisnis menjadi sangat penting ka- Fase ekspansi merupakan fase awal di
rena jika intensitas perdagangan di negara- mana perekonomian mengalami ekspansi mele-
negara ASEAN meningkat dan siklus bisnis bihi ketinggian siklus sebelumnya. Di dalam
bergerak sama maka kemungkinan diberlaku- ekspansi terdapat beberapa periode termasuk
kannya mata uang bersama akan semakin dalam periode peningkatan dan penurunan
besar. pertumbuhan ekonomi yang sering disebut
Data perdagangan yang dilakukan oleh siklus pertumbuhan (Botha, 2004). Ekspansi
ASEAN dengan Uni Eropa pada tahun 2006 merupakan suatu periode di mana permintaan
mencatat nilai ekspor ASEAN mencapai dan produksi mengalami peningkatan dan ke-
94.471,8 milyar US$, sedangkan nilai impornya percayaan konsumen juga meningkat sehingga
66.118,1 milyar US$ (lihat Tabel 1). Apabila angka penjualan juga meningkat. Inflasi dan
diprosentase maka share perdagangan ini men- suku bunga juga mengalami kenaikan selama
capai 12,6 persen untuk ekspor dan 10,1 untuk periode ekspansi.
impor dari nilai keseluruhan perdagangan Fase kedua adalah fase kontraksi. Ekspansi
ASEAN (www.asean.org). Pangsa ini mendu- bisnis meningkat sampai puncaknya sesudah-
duki posisi kedua di bawah Amerika Serikat. nya diikuti oleh fase kontraksi. Selama fase ini
Tingginya share ekspor negara ASEAN kepada beberapa faktor seperti penjualan, harga, pro-
Uni Eropa ini membuktikan bahwa kegiatan duksi dan tenaga kerja mulai menurun. Penu-
perdagangan dengan Eropa memberikan pros- runan ini biasanya akan diikuti oleh penurunan
pek yang sangat baik terhadap kinerja perda- suku bunga. Apabila penurunan ini terjadi
gangan ASEAN. secara drastis dan dalam jangka panjang maka
Salah satu hal yang berkaitan dengan ma- akan terjadi resesi. Resesi ini biasanya didefini-
salah integrasi ekonomi adalah kegiatan perda- sikan sebagai penurunan BC secara dua kuartal
gangan dan keselarasan (syncronization) siklus berturut-turut. Ini terjadi biasanya kurang dari
bisnis. Siklus bisnis (business cycle) atau juga satu tahun sampai satu tahun dan berimbas
dikenal sebagai siklus ekonomi (economic cycle) pada kontraksi beberapa sektor ekonomi. Resesi
adalah pola jangka panjang pertumbuhan (eks- dimulai pada puncak siklus bisnis dan berakhir
pansi) dan resesi (kontraksi) ekonomi. Menurut titik terendah/trough.
penelitian yang dilakukan oleh Centre for Inter- Fase ketiga adalah fase pemulihan (reco-
national Business Cycle Research di Universitas very). Adakalanya dalam suatu perekonomian
Columbia New York, antara tahun 1854 dan terjadi perulangan permintaan dan kenaikan
1945 ekspansi ekonomi rata-rata berlangsung 29 produksi. Fase recovery bergerak sampai ke
bulan sementara masa kontraksi berlangsung ekspansi periode baru dan siklus bisnis dimulai
21 bulan (Botha, 2004). Namun demikian, sejak kembali. Recovery merupakan fase transisional
berakhirnya Perang Dunia II, siklus ekspansi yang dimulai dari titik ekonomi terendah atau
telah memanjang hingga hampir dua kali lipat, trough sampai perekonomian pulih kembali dan
yaitu rata-rata 50 bulan, sementara siklus kon- kembali ke semula. Secara umum, pertumbuh-
traksi memendek hingga rata-rata berlangsung an yang paling kuat terjadi pada fase recovery
hanya 11 bulan. namun durasinya paling pendek dibanding fase
Siklus bisnis juga dapat didefinisikan seba- resesi (Botha, 2004). Menurut teori siklus bisnis,
gai deviasi dari output terhadap tren (Mithal, saat terjadi booming ekonomi, kredit akan
2004; Botha, 2004). Dalam konteks ini timbul bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh
periode ekspansi dan kontraksi terhadap aktivi- sehingga masa kemakmuran akan berbalik
tas perekonomian. Siklus bisnis berdampak ter- menjadi krisis. Siklus bisnis dianggap sebagai
hadap inflasi, pengeluaran pemerintah, ketena- irama ekonomi dan juga sebagai bagian dari
gakerjaan, penjualan, produksi dan beberapa ketidakseimbangan moneter.
aspek perekonomian (Botha, 2004). Siklus bisnis Peningkatan perdagangan dengan bebe-
terdiri dari beberapa tahapan yang berbeda rapa negara terutama dengan negara-negara di
yaitu fase ekspansi, fase kontraksi, dan fase Asia Timur semakin berkembang. Beberapa
recovery.

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 165
studi menyatakan bahwa peningkatan perda- gangan dan korelasinya dengan siklus bisnis
gangan yang cepat akan menyebabkan pening- antara dua negara tergantung pada dominasi
katan pertumbuhan pendapatan yang cepat inter industri dan intra industri. Semakin besar
pula. Implikasi penting dari meningkatnya per- perdagangan inter industri cenderung akan
dagangan adalah pada negara yang terintegrasi mengurangi korelasi siklus bisnis antar mitra
perdagangannya maka kinerja makroekonomi- dagang. Sementara itu peningkatan perdagang-
nya lebih meningkat dibanding negara yang an intra industri akan cenderung meningkatkan
belum terintegrasi. Pengaruh penting negara korelasi siklus bisnis (literatur lebih lanjut lihat
mitra dagang menjadi faktor yang esensial un- Zebregs, 2004; Cortinhas, 2007; Shin dan Wang,
tuk mengetahui fluktuasi siklus bisnis pereko- 2004; Teng dan Way, 2005; dan Rana, 2007). Se-
nomian domestik (Shin dan Wang, 2005). Me- cara teoritis integrasi perdagangan akan me-
ningkatnya kegiatan perdagangan dengan ne- nimbulkan efek terhadap peningkatan perda-
gara lain dapat menyebabkan siklus bisnis me- gangan, peningkatan efisiensi ekonomi, dan
reka bergerak secara divergen maupun konver- daya saing yang tinggi yang pada gilirannya
gen (Fiess, 2005). Sebagai contoh jika perda- akan meningkatkan kesejahteraan.
gangan terjadi seperti teori Heckser-Ohlin atau Sementara itu terdapat beberapa peneliti
Ricardo maka semakin besar spesialisasi indus- yang memberikan argumentasi sebaliknya. Ka-
tri berakibat pada berkurangnya keselarasan jian yang dilakukan oleh Eric (2007) menyata-
siklus bisnis (lihat Frankel dan Rose (1998), kan bahwa negara yang terintegrasi sektor per-
Rana (2007), Rana (2006), Shin dan Wang (2004) dagangannya akan cenderung menurunkan
serta Teng dan Way (2005)). Sebaliknya, jika siklus bisnisnya. Hal ini terjadi karena adanya
peningkatan perdagangan terjadi pada perda- spesialisasi industri yang diterapkan oleh ne-
gangan intra industri maka siklus bisnis dengan gara tersebut. Spesialisasi industri akan mem-
mitra dagang akan menjadi selaras. Keselarasan perkuat daya saing dan kemandirian ekonomi
siklus bisnis (business cycle syncronization) meng- negara yang bersangkutan sehingga tidak ter-
indikasikan adanya keselarasan pergerakan gantung dengan negara lain.
variabel-variabel makroekonomi. Siklus bisnis diyakini akan bergerak sepan-
Analisis tentang pergerakan siklus bisnis jang waktu sebagai dampak dari adanya glo-
menarik dikaji karena akan mempengaruhi ke- balisasi (Botha, 2004). Salah satu perubahan
bijakan ekonomi dan kelembagaan. Banyak pe- yang terjadi adalah keselarasan siklus bisnis
neliti percaya bahwa ada korelasi yang kuat antar negara, terutama negara yang melakukan
antara integrasi perdagangan dengan siklus integrasi perdagangan seperti yang terjadi di
bisnis. Beberapa peneliti menganalisis perge- ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia, Thailand dan
rakan pada agregat ekonomi makro yang Filipina) dan Uni Eropa. Faktor tersebut diya-
dialami suatu negara yang terintegrasi secara kini dapat mempengaruhi volatilitas siklus bis-
ekonomi dengan negara lain. Ada tiga alasan nis dan secara alamiah memungkinkan terjadi-
mengapa analisis tersebut dilakukan (Loayza, et nya chaos pada siklus bisnis. Penelitian ini ingin
al, 2001). Pertama, shock yang dihadapi oleh su- membuktikan bagaimana keselarasan siklus
atu negara biasanya akan berdampak kepada bisnis di ASEAN-4 dipengaruhi oleh mening-
negara lain melalui integrasi perdagangan dan katnya intensitas perdagangan dengan Uni Ero-
transaksi pasar uang. Kedua, negara yang terin- pa pada periode 1980-2008.
tegrasi dalam suatu group apabila salah satu
anggotanya mengalami shock maka akan me-
METODE PENELITIAN
nimbulkan dampak yang sama dengan negara
lain dalam group tersebut. Ketiga, shock yang
melanda sektor tertentu mungkin akan menye- Penelitian ini menggunakan sampel enam nega-
babkan pergerakan dalam agregat output jika ra yaitu ASEAN-4 yang terdiri dari Indonesia,
struktur ekonomi negara sama. Malaysia, Thailand dan Filipina serta dua nega-
Dampak dari peningkatan integrasi perda-

166 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
ra Uni Eropa yaitu Belanda dan Jerman.1 Ren- masukkan variabel koordinasi kebijakan fiskal
tang waktu yang dipilih adalah tahun 1980 dan kebijakan moneter dalam analisis. Hal ini
sampai 2008. Sumber data diperoleh dari Inter- dilakukan dengan asumsi bahwa semakin me-
national Financial Statistic, Direction of Trade dan ningkat intensitas perdagangan akan semakin
Government Financial Statistic terbitan Interna- memerlukan koordinasi kebijakan-kebijakan
tional Monetary Funds. tersebut. Dampak dari pengenaan kebijakan-
Penelitian ini menggunakan dua pengujian kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap
yaitu pengujian regresi dengan data panel dan pergerakan siklus bisnis.
pengujian Vector Autoregression (VAR). Variabel Pemilihan variabel koordinasi kebijakan
yang digunakan ada empat yaitu siklus bisnis fiskal (fiscal policy coordination/FPC) diperoleh
(BC) atau siklus bisnis, intensitas perdagangan, dari perhitungan koefisien korelasi rasio penge-
koordinasi kebijakan fiskal dan koordinasi luaran pemerintah dengan PDBsepasang nega-
kebijakan moneter. Pemilihan keempat variabel ra menggunakan pendekatan five year moving
tersebut didasarkan pada previous study yang average. Sementara itu koordinasi kebijakan mo-
dilakukan oleh Shin dan Wang (2004), Teng dan neter (monetary policy coordination/MPC) diukur
Way (2005), dan Rana (2007). dari koefisien korelasi bilateral interest rate de-
Variabel siklus bisnis (business cycle/BC) ngan pendekatan five year moving average seperti
diperoleh dari koefisien korelasi Produk Do- yang digunakan Rana (2007).
mestik Bruto/PDB bilateral menggunakan pen- Penambahan beberapa variabel tersebut,
dekatan five year moving average, mengikuti dapat dibuat model persamaan, yaitu:
kajian yang sudah dilakukan oleh Shin dan
Wang (2004), Rana (2007) serta Teng dan Way BC ( i , j ) t   0   1 .TI ( i , j ) t   2 FIS (i , j ) t 
(2005). Variabel intensitas perdagangan (trade
intensity/TI) diperoleh dari perhitungan terms of
 3 MON (i, j )t  ijt (2)
trade yang diolah menggunakan formula
Frankel dan Rose (1998). Perhitungan ini meng- dimana BC adalah siklus bisnis; TI (trade inten-
adopsi penelitian dilakukan oleh Teng dan Way sity) adalah intensitas perdagangan yang dihi-
(2005) serta Shin dan Wang (2005). Variabel tung menggunakan formula Frankel dan Rose
intensitas perdagangan dihitung dengan for- (1998); FIS adalah koordinasi kebijakan fiskal
mula sebagai berikut: dan MON adalah variabel kordinasi kebijakan
moneter. Penelitian menggunakan data panel
dengan metode seemingly unrelated regression/
, (1) SUR dalam analisisnya seperti yang digunakan
Teng dan Way (2005).

dimana Xijt = total nominal ekspor dari negara i Pengujian Regresi Data Panel
ke negara j pada periode waktu t; Mijt = total
Model perhitungan regresi menggunakan data
nominal impor dari negara i ke negara j pada
panel. Data panel atau sering disebut pooled data
periode waktu t; Xij + Mij = nilai keseluruhan
merupakan kombinasi dari data time series yang
ekspor dan impor negara i (j) pada periode
memiliki observasi temporal biasa pada suatu
waktu t.
unit analisis dengan data cross section yang
Selanjutnya untuk melihat keselarasan per-
memiliki observasi-observasi pada suatu unit
gerakan siklus bisnis, maka penelitian ini me-
analisis pada suatu titik waktu tertentu. Ciri
khusus yang melekat pada time series adalah
1
Perlu diingat bahwa ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agus-
adanya urutan numerik di mana interval antar
tus 1967 sehingga pilihan dimulainya penelitian pada tahun observasi atas sejumlah variabel bersifat
1980 didasarkan asumsi bahwa data perdagangan untuk konstan dan tetap, sedangkan pada data cross
ASEAN-4 sudah tersedia. sedangkan untuk sampel Uni Ero-
section adalah suatu unit analisis pada suatu
pa dipilih sampel dua negara terbesar yang melakukan ke-
giatan perdagangan dengan ASEAN yaitu Jerman dan Be- titik waktu tertentu dengan observasi atas
landa (lihat www.asean.org)

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 167
sejumlah variabel (Kuncoro, 2007). Dengan Pengujian Vector Autoregression
mengakomodasi informasi baik yang terkait
VAR merupakan alat analisis yang dapat
dengan variabel-variabel cross section maupun
digunakan baik untuk memproyeksikan sistem
time series, data panel secara substansial mampu
variabel-variabel runtut waktu maupun meng-
menurunkan masalah omitted-variables, model
analisis dampak dinamis dari faktor gangguan
yang mengabaikan variabel yang relevan
yang terdapat dalam sistem variabel tersebut.
(Gujarati, 2003).
Selain itu, VAR juga berguna untuk mengetahui
Selain alasan pragmatis, metode data panel
adanya hubungan timbal balik (interrelationship)
digunakan untuk mengatasi interkorelasi di
antara variabel-variabel ekonomi, maupun di
antara variabel-variabel bebas yang pada akhir-
dalam pembentukan model ekonomi berstruk-
nya dapat mengakibatkan tidak tepatnya pe-
tur (Hadi, 2003). Dengan menggunakan VAR,
naksiran regresi. Dalam sebuah penelitian ter-
penelitian ini mencoba mencari ada tidaknya
kadang ditemukan suatu persoalan mengenai
korelasi timbal balik (interrelationship) antara
ketersediaan data (data avaibility) untuk mewa-
variabel intensitas perdagangan, perdagangan
kili variabel yang digunakan dalam penelitian.
intra industri, koordinasi kebijakan fiskal, koor-
Melalui penggabungan data time series dan cross
dinasi kebijakan moneter dan kebijakan nilai
section (pooling), maka jumlah observasi bertam-
tukar dengan keselarasan siklus bisnis di antara
bah secara signifikan tanpa melakukan treat-
negara dalam sampel.
ment apapun terhadap data.
Kerangka analisis yang praktis dalam VAR
Penggunaan metode data panel ini memi-
akan memberikan informasi yang sistematis
liki beberapa keunggulan, pertama, data panel
dan mampu menaksir dengan baik informasi
mampu memperhitungkan heterogenitas indi-
dalam persamaan yang dibentuk dari data time
vidu secara eksplisit dengan mengijinkan varia-
series. Selain itu perangkat estimasi dalam
bel spesifik individu. Kedua, kemampuan me-
model VAR mudah digunakan dan diintepre-
ngontrol heterogenitas individu ini, pada
tasikan. Perangkat estimasi yang akan diguna-
gilirannya menjadikan data panel dapat digu-
kan dalam model VAR ini adalah fungsi impulse
nakan untuk menguji dan membangun model
respon dan variance decompotition. Ada beberapa
perilaku yang lebih kompleks. Ketiga, data
keuntungan dari metode VAR (Gujarati, 2003)
panel mendasarkan diri pada observasi cross
yaitu: (1) VAR mampu melihat lebih banyak
section yang berulang-ulang (time series), sehing-
variabel dalam menganalisis fenomena eko-
ga metode data panel cocok untuk digunakan
nomi jangka pendek dan jangka panjang; (2)
sebagai study of dynamic adjusment. Keempat,
VAR mampu mengkaji konsistensi model empi-
tingginya jumlah observasi memiliki implikasi
rik dengan teori ekonometrika, dan (3) VAR
pada data yang lebih informatif, lebih variatif,
mampu mencari pemecahan terhadap persoal-
kolinearitas antarvariabel yang semakin ber-
an variabel runtun waktu yang tidak stasioner
kurang, dan peningkatan derajat kebebasan
(non stasionary) dan regresi lancung (spurious
(degree of freedom), sehingga dapat diperoleh
regresion) atau korelasi lancung (spurious corre-
hasil estimasi yang lebih efisien. Kelima, data
lation) dalam analisis ekonometrika (Gujarati,
panel dapat digunakan untuk mempelajari
2003).
model-model perilaku yang kompleks. Keenam,
Pendekatan tradisional yang selama ini
data panel dapat meminimalisir bias yang
sering dilakukan dalam menentukkan bentuk
mungkin ditimbulkan oleh agregasi data indivi-
hubungan jangka panjang adalah penggunaan
du. Keunggulan-keunggulan tersebut di atas
analisis kointegrasi. Sementara model lain yang
memiliki implikasi pada model yang dipakai
kemukakan oleh Sims et,al (1991) dikenal
dan tidak harus dilakukan pengujian asumsi
dengan VAR (Gujarati, 2003). Metodologi ini
klasik dalam model data panel, sesuai apa yang
didasarkan atas reaksi terhadap pendekatan
ada dalam beberapa literatur yang digunakan
ekonometri tradisional untuk menangani model
dalam penelitian ini (Unair, 2009; Gujarati,
simultan (multi-equation simultaneous models).
2003).
Kunci penting dari pendekatan ini adalah

168 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
pembagian variabel-variabel menjadi variabel Untuk menguji stasioneritas data dilaku-
endogen ke dalam model dan variabel yang kan dengan uji akar unit (unit root test). Uji akar
diperlakukan sebagai variabel eksogen. VAR unit dapat dipandang sebagai uji stasioneritas
telah banyak digunakan dalam ekonomi makro. karena pada prinsipnya uji ini dimaksudkan
VAR mampu melakukan peramalan lebih baik untuk mengamati apakah koefisien tertentu
dibanding model persamaan struktural (Guja- dari model autoregressive yang ditaksir mempu-
rati, 2003). Misalnya model VAR sebagai ber- nyai nilai satu atau tidak. Namun demikian
ikut. model autoregressive memiliki distribusi yang
tidak baku seperti uji t dan uji f yang tidak
Yt  Yt 1   t (3) cukup layak dipakai guna menguji hipotesa
yang dibuat. Penelitian ini menggunakan uji
dimana vektor Yt  Yt , Z t . Lakukan turunan Dickey-Fuller (DF). Uji ini perlu karena inferen-
pertama menjadi : sia ekonometrika biasa seperti Ordinary Least
Square (OLS) dan Vector Autoregression (VAR)
yt  yt 1    1 yt 1   t t dan hanya berlaku untuk data yang bersifat stasio-
ner.
yt   yt 1   t (4) Ada dua uji yang akan dipakai dalam pe-
nelitian ini seperti dikembangkan oleh Dickey
Jika semua variabel terintegrasi I(1) maka dan Fuller (1981) (lihat Gujarati, 2003). Peng-
semua variabel M pada sisi kiri adalah I(0). ujian ini dilakukan dengan penaksiran auto-
Matrik  menghasilkan kombinasi linier dari regressive sebagai berikut:
variabel dalam Yt. Namun seperti yang dilihat,
tidak semua kombinasi linier terkointegrasi X t    X t 1  u t (6)
meskipun model representasi VAR dipastikan
ada (Handoyo, 2002). Jika mengasumsikan
untuk data time series diasumsikan parameter
model ini sebagai unrestricted VAR maka hasil
matriks koefisien harus diperingkat. Implikasi-  adalah positif. Xt menjadi non stasioner jika
nya, jika variabel benar-benar terkointegrasi parameter  sama dengan atau lebih dari satu.
maka koefisien matriksnya tidak akan kehilang-
Time series pada persamaan (5) stasioner jika 
an kesesuaiannya (goodnes of fit) (Greene, 2000).
< 1. Proses pengujiannya dilakukan dengan
Jika Xt menjadi kolom vektor dari sejumlah
mengaplikasikan OLS kedalam persamaan (6)
p komponen dengan I maka sistem yang dapat
ditulis dalam jumlah order VAR yang terbatas ˆ
dan lihatlah hasil  yaitu nilai estimasi dari  .
(restricted VAR) seperti berikut : Selanjutnya dilakukan uji t (t-test) pada hipote-
 =1 melawan Ha:  <1. Jika s ˆ
sis nol Ho:
X t     xt 1  ...  Tkxt  k   t ˆ
(5) merupakan standar error estimasi dari  maka
uji statistik (t-statistic/TS) dirumuskan sebagai
dimana t = 1,2,3…t dan  t independen, E(  t )=0 berikut :

dan covariance (  t ) =  . Model koreksi kesa- ˆ  1


TS 
lahan (ECM) terjadi ketika matrik  dibatasi. sˆ (7)
Hanya variabel  xt yang menunjukkan masih
ada hubungan jangka panjang dimana masing- penolakan Ho berimplikasi pada data yang sta-
masing variabel tidak berubah nilainya. Dalam sioner.
jangka pendek variabel  xt tidak cocok dengan Dengan melakukan prosedur di atas terda-
keseimbangan masa lalu dan sisi kiri adalah pat berbagai permasalahan (Gujarati, 2003). Per-
penyesuaian dari ketidakcocokannya (Gujarati, tama keberadaan variabel dependen kelamban-
2003). an dari persamaan (6) menandakan estimator

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 169
Tabel 2. Nilai Kritis untuk t1*
Jumlah sample n Nilai t biasa
Nilai kritis dari t1*
25 50 100 500  (n=)
Tingkat sig 0,01 -3,75 -3,58 -3,51 -3,44 -3,43 -2,33
Tingkat sig 0,05 -3,00 -2,93 -2,89 -2,87 -2,86 -1,65
Tingkat sig. 0,10 -2,63 -2,60 -2,58 -2,57 -2,57 -1,28

Pada situasi seperti ini yang dianggap


OLS, ˆ akan bias pada sampel kecil. Hal ini sahih adalah t-rasio dengan simbol t1*.t1* yang
ˆ
bisa ditunjukkan dengan cara  akan bias ke disebut sebagai statistic DF (Dickey Fuller
bawah (biased downward). Oleh karena itu uji statistic). Beberapa nilai kritis Dickey Fuller un-
statistik persamaan (7) tidak dapat dipercaya tuk t1* ditunjukkan pada Tabel 2 yang sebagian
dan jika tetap digunakan dapat disimpulkan diambil dari nilai tabel t standar. Sebagai
ˆ catatan bahwa untuk menolak hipotesa nol dari
bahwa  <1 dan dikatakan bahwa Xt stasioner, non stasioner, statistic t1* harus lebih negatif
padahal kenyataannya tidak demikian. Kedua, dari yang disarankan dengan tabel t biasanya.
jika Ho:  = 1 benar dan prosesnya adalah non Apabila pengujian stasioneritas menunjukkan
stasioner maka standar distribusi dengan sam- bahwa seri data suatu peubah tidak stasioner
pel besar menjadi tidak valid (invalid). Kita maka harus dilihat perbedaan tingkat pertama-
tidak dapat mengandalkan uji statistik pada nya (first difference) (∆Yt = Yt – Yt-1) dengan
persamaan sebagai distribusi normal bahkan menarik diferensiasi dari peubah endogennya
untuk sampel besar. Distribusi dari uji statistik maka data menjadi stasioner pada kondisi 1.
tidak baku (standar) dan bahkan tidak simetris. Bila perbedaan tingkat pertama tidak stasioner
Permasalahan ini dikemukankan pertama juga, maka dilanjutkan dengan melihat perbe-
kali oleh D.A Dickey dan W.F Fuller (lihat daan tingkat kedua, dan seterusnya sampai
Dickey dan Fuller, 1979) pertama dengan me- diperoleh kondisi stasioner. Pada akhirnya
nulis kembali persamaan (7) menjadi: proses ini akan menghasilkan derajat integrasi
dari peubah tersebut.
X t     * X t 1  u t , *    1 (8) Penentuan Lag Optimal Model VAR
Untuk dapat melakukan estimasi model VAR
dengan pengujian Ho:  =1 melawan Ha:  < 1 maka perlu ditentukan seberapa banyak varia-
dalam persamaan (6) sama dengan pengujian bel lag length dibutuhkan dalam model. Di
Ho:  *=0 melawan Ha:  *<0 pada persamaan dalam model autoregresi dimana peran waktu
(8). Pengujian terakhir sering disebut uji akar sangat berpengaruh maka peranan lag didalam
unit (unit root test). model menjadi sangat penting. Penentuan lag
Ahli ekonometri yang dipelopori oleh length juga bertujuan untuk mendapatkan mo-
Dickey dan Fuller telah mengembangkan se- del yang tepat untuk diestimasi, dimana model
buah studi simulasi dengan menabulasi distri- tersebut ditentukan oleh banyaknya jumlah lag
busi t-rasio sampel besar dengan menguji hipo- yang digunakan (Tabel 3).
Penentuan jumlah lag dalam model VAR
tesa nol (Ho) yaitu  *=0. Dengan alasan ada- ditentukan pada kriteria informasi yang direko-
nya bias kebawah (downward biased) distribusi t mendasikan oleh Final Prediction Error (FPE),
ˆ Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Crite-
rasio pada nol seperti jika estimator OLS  *
rion (SC), dan Hannan-Quinn (HQ). Tanda bin-
yang tidak bias tetapi pada nilai yang kurang
tang pada lag optimal menunjukkan lag opti-
dari nol (lihat Greene, 2000).
mal yang direkomendasikan oleh kriteria di

170 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
Tabel 3. Penentuan Lag Optimal

Kriteria Rumus
Final Prediction Error (FPE)
 RSS  T  k
 T  X T k
 
Akaike Information Criterion (AIC)
 RSS  (2k / T )
 T X e
 
Schwarz Information Criterion (SIC)
 RSS  kj / T
 T XT
 

atas. Beberapa rumus yang biasa dipakai untuk VMA (vector moving average). Jika dituliskan
menentukan lag optimal. dalam bentuk matriks aljabar dari bentuk stan-
dar VAR maka akan didapat persamaan ber-
Impulse Response Function dari Model VAR ikut:
Fungsi Impulse Respon adalah untuk mengeta-
 y t   y    a11 a12   e1t i 
 z    z    a
hui pengaruh shock dalam perekonomian maka
digunakan metode impulse respon function. Sela-  t    i 0  22 a 22  e2t i 
ma koefisien pada persamaan struktural VAR (9)
di atas sulit untuk diintepretasikan maka ba-
dimana {yt} dan {zt} mempunyai hubungan
nyak praktisi menyarankan menggunakan im-
dengan {e1t} dan {e2t} secara berurutan. Dengan
pulse respon function. Fungsi impulse respon
menggunakan {εyt} dan {εzt}, selanjutnya dengan
menggambarkan tingkat laju dari shock variabel
menggunakan operasi matriks aljabar maka
yang satu terhadap variabel yang lainnya pada
vector error dapat ditentukan menjadi:
suatu rentang periode tertentu. Sehingga dapat
dilihat lamanya pengaruh dari shock suatu
 e1t   1  b12   yt 
e   1 /(1  b12 b21 ) b
variabel terhadap variabel lain sampai penga-
ruhnya hilang atau kembali ke titik keseim-  2t   21 1   zt 
bangan. Fungsi ini akan melacak respon dari (10)
variabel tergantung apabila terdapat shock da-
Moving average representation dalam persamaan
lam u1 dan u2. Impulse response digunakan
(9) dan (10) dapat ditulis dengan kaitan {εyt} dan
untuk melihat efek gejolak (shock) suatu standar
{εzt} secara berulang menjadi:
deviasi dari variabel inovasi terhadap nilai
sekarang (current time values) dan nilai yang
 y t   y     11 (i )  12 (i )   yt i 
 z    z     (i )  (i )  
akan datang (future values) dari variabel-varia-
bel endogen yang terdapat dalam model yang  t    i 0  21 22   zt 1  (11)
diamati.
Impulse Response Function menggambarkan
respon dari setiap variabel terhadap struktural Empat satuan koefisien 11(i), 12(i), 21(i), dan
inovasi variabel lainnya dalam model pada 22(i) inilah yang disebut dengan impulse res-
periode waktu bersamaan. Estimasi impulse ponse function (IRF).
response dapat dilihat pada saat ini dan akan dimana: Фij( i ) adalah efek dari struktural shock
datang. Selanjutnya model VAR dapat ditulis pada y dan z; Фij( 0 ) adalah impact multipliers;
sebagai suatu vektor rata-rata bergerak atau Σ Фij( i ) adalah cumulative multipliers.
Σ Фij( i ) = pada saat n ∞ = long run multipliers

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 171
Variance Decomposition dari Siklus Bisnis φ12 (0)ε zt+n + φ12 (1)ε zt+n-1 + ... +
φ12 (n-1)ε zt+1 (15)
The Cholesky Decomposition atau biasa disebut
juga dengan the variance decomposition memberi-
Variance dari forecast error Yt+n periode n ke
kan informasi mengenai variabel inovasi yang
depan adalah σy (n)2, dimana:
relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya
test ini merupakan metode lain untuk meng- σy(n)2 = σ2y [φ11(0)2 + φ11(1)2 + ... + φ11(n-1)2] +
gambarkan sistem dinamis yang terdapat da- σ2z [φ12(0)2 + φ12(1)2 + ... + φ12(n-1)2] (16)
lam VAR. Test ini digunakan untuk menyusun
perkiraan error variance suatu variabel, yaitu Forecast error variance decomposition adalah pro-
seberapa besar perbedaan antara variance sebe- porsi dari σy(n)2 terhadap shock y dan shock z.
lum dan sesudah shock, baik shock yang berasal Sehingga forecast error variance decomposition
dari diri sendiri maupun shock dari variabel pada shock y adalah:
lain.
Variance decompotition akan memberikan
informasi mengenai proporsi dari pergerakan σ2y [φ11(0)2 + φ11(1)2 + ... + φ11(n-1)2] / σy(n)2 (17)
pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap
shock variabel yang lain pada periode saat ini Sementara itu forecast error variance decomposi-
dan periode yang akan datang. Variance decom- tion pada shock z adalah :
position memisahkan variasi perubahan shock
dari setiap variabel terhadap variabel lain
σ2z [φ11(0)2 + φ11(1)2 + ... + φ11(n-1)2] / σy(n)2 (18)
dalam model. Setiap variabel perubahan dalam
model diasumsikan tidak berkorelasi. Variance
decomposition menggambarkan besarnya sum- Hipotesis Penelitian
bangan pengaruh dari suatu variabel perubah- Meningkatnya intensitas perdagangan akan
an terhadap variabel lain dalam model. Bentuk mendorong meningkatnya permintaan dan
VMA dari variabel x pada satu periode didepan penawaran barang antarnegara yang pada
di tuliskan sebagai berikut: gilirannya akan meningkatkan keterkaitan hu-
bungan antarnegara. Akibatnya perekonomian

X t 1  X    i  t 1i akan semakin konvergen dan korelasi siklus
i 0
bisnisnya menjadi lebih selaras. Pendapat ini
(12)
didukung oleh kajian yang sudah dilakukan
Forecast error pada satu periode ke depan ada- oleh Shin dan Wang (2004) serta Rana (2007).
lah : Dengan proposisi tersebut maka dapat dikemu-
 kakan hipotesis 1: intensitas perdagangan me-
et X t 1  X    i t 1i (13) miliki pengaruh positif terhadap keselarasan
i 0 siklus bisnis.
Meningkatnya perdagangan internasional
Peramalan satu periode kedepan dilambangkan
akan memerlukan beberapa koordinasi kebijak-
dengan φ0 ε t+1 . Forecast error pada periode n ke
an, salah satunya adalah koordinasi kebijakan
depan adalah:
fiskal. Adanya koordinasi kebijakan fiskal akan

menyebabkan shock kebijakan fiskal tersebut
X t  n  et X t 1  X    i  t 1i (14) akan menjadi relatif sama antarnegara sehingga
i 0 siklus bisnisnya menjadi lebih selaras (Frankel
dan Rose, 1998). Berdasarkan proposisi tersebut
Forecast error pada n periode ke depan untuk
maka dapat dikemukakan hipotesis 3: koor-
variabel y adalah: dinasi kebijakan fiskal memiliki pengaruh
positif terhadap keselarasan siklus bisnis.
Yt+n – et yt+n = φ11 (0)ε yt+n + φ11 (1)ε yt+n-1 + ... +
Semakin terintegrasi perekonomian suatu
φ11 (n-1)ε yt+1
negara maka akan memerlukan koordinasi ke-

172 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
bijakan moneter karena masing-masing negara data statistik yang menyatakan bahwa intensi-
memiliki kebijakan dan sistim moneter yang tas perdagangan keenam negara dalam sampel
berbeda-beda. Bagi negara yang sudah terinte- menunjukkan trend yang terus meningkat. Ke-
grasi, beberapa kesepakatan bidang moneter beradaan ASEAN-4 sebagai mitra dagang nega-
dibuat untuk memudahkan dalam melakukan ra Uni Eropa (dalam hal ini Jerman dan
kerjasama terutama bidang perdagangan. Se- Belanda) sangat penting terutama untuk pe-
makin meningkat koordinasi kebijakan moneter ningkatan kerjasama perdagangan antara
pada negara yang terintegrasi perdagangannya ASEAN secara umumnya dengan Uni Eropa
maka akan semakin selaras siklus bisnisnya. (www.asean.org).
Pernyataan ini didukung oleh kajian yang Hasil perhitungan untuk variabel koordi-
sudah dilakukan oleh Shin dan Wang (2004) nasi kebijakan moneter memberikan pengaruh
dan Rana (2007). Proposisi ini mendasari hipo- yang positif dan signifikan terhadap keselaras-
tesis 4: koordinasi kebijakan moneter memi- an siklus bisnis pada level kepercayaan satu
liki pengaruh positif terhadap keselarasan persen. Temuan ini sesuai dengan hipotesis
siklus bisnis. yang dikemukakan bahwa bahwa semakin me-
ningkat intensitas perdagangan akan memerlu-
kan berbagai koordinasi kebijakan terutama
HASIL DAN PEMBAHASAN
koordinasi kebijakan moneter. Kenyataannya
beberapa kesepakatan kerjasama di bidang mo-
Pengujian Data Panel neter sudah diterapkan di ASEAN. Menteri
Dari hasil perhitungan data panel yang disaji- Keuangan ASEAN telah menandatangani Mi-
kan pada Tabel 4 menggunakan metode See- nisterial Understanding on ASEAN Cooperation in
mingly Unrelated Regression/SUR memperlihat- Finance di Thailand tahun 1997. Ministerial Un-
kan bahwa intensitas perdagangan memberikan derstanding tersebut menjadi kerangka pening-
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap katan kerjasama di bidang keuangan yang
keselarasan siklus bisnis pada level kepercaya- mencakup keuangan dan perbankan, pasar
an satu persen, artinya meningkatnya intensitas uang dan modal, masalah-masalah pabean,
perdagangan akan semakin meningkatkan ke- asuransi, perpajakan dan pengembangan SDM
selarasan siklus bisnis. Hasil ini sesuai dengan di sektor keuangan. Para Menteri juga telah me-
hipotesis yang menyatakan bahwa semakin nandatangani ASEAN Agreement on Customs
meningkat intensitas perdagangan maka akan yang bertujuan untuk membantu mempercepat
berpengaruh positif terhadap keselarasan siklus realisasi AFTA karena mencakup aturan-aturan
bisnisnya. Temuan ini mendukung argumentasi yang memfasilitasi perdagangan intra-ASEAN
Rana (2007) serta Shin dan Wang (2004) yang dan arus investasi. Semakin tinggi tingkat
menyatakan semakin banyak negara melaku- koordinasi kebijakan moneter yang disepakati
kan intensitas dengan negara lain maka akan maka akan cenderung meningkatkan keselaras-
berdampak terhadap kesamaan pergerakan an siklus bisnisnya. Hasil ini sesuai dengan
siklus bisnis. Argumentasi ini diperkuat oleh kajian yang sudah dilakukan Rana (2007) serta

Tabel 4. Hasil Perhitungan Regresi dengan Metode SUR


Seemingly Unrelated Regression
Variabel
Koefisien t-statistik
TI 70,94167 (52.31783)*
MON 0,202863 (8,067341)*
FIS -0,108964 (-3,487150)*
Observation 174
R-Squared -30.196371
Sumber: data di olah
Catatan: * signifikan pada level 1 persen; ** signifikan pada level 5 persen; *** signifikan pada level 10 persen.

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 173
Teng dan Way (2005). Semakin tinggi defisit anggaran pemerin-
Temuan yang berbeda terdapat pada varia- tah, akan berdampak semakin rentannya se-
bel koordinasi kebijakan fiskal. Hasil perhitung- buah perekonomian. Berbagai upaya dilakukan
an menyatakan bahwa koordinasi kebijakan fis- untuk menutup defisit, di antaranya adalah
kal memberikan hasil yang negatif dan sig- reformasi perpajakan, melalui utang luar negeri
nifikan terhadap keselarasan siklus bisnis. Hasil dan meningkatkan produksi domestiknya. Tu-
ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyata- juannya adalah meningkatkan produksi nasio-
kan bahwa semakin meningkatnya integrasi nal dan pertumbuhan ekonomi, memperluas
perdagangan akan membutuhkan lebih banyak lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan
koordinasi kebijakan fiskal. Indikasi ini mem- mengatasi inflasi (Suparmoko, 2000).
perkuat argumentasi yang menyatakan bahwa Salah satu upaya yang sudah dilakukan
semakin tinggi defisit anggaran akan berdam- untuk mengatasi masalah defisit antara lain
pak semakin rentannya sebuah perekonomian. melalui pemberian stimulus fiskal. Gambar 1
Berbagai upaya dilakukan untuk menutup defi- memperlihatkan pemberian stimulus fiskal di
sit, di antaranya meningkatkan produksi do- beberapa negara. Kelompok G-20 memberikan
mestiknya. Selama ini penanganan kebijakan stimulus fiskal kepada negara-negara yang
fiskal bersifat divergen dan disesuaikan dengan mengalami defisit anggaran pada fase pertama
perekonomian negara masing-masing. Hasil pada tahun 2009 sebanyak 1,4 trilyun dolar
negatif ini relevan dengan kajian yang sudah (www.fiskal.depkeu.go.id). Pada negara ber-
dilakukan oleh Shin dan wang (2005). kembang seperti Indonesia yang mengalami de-
Ketidakselarasan siklus bisnis ini antara fisit anggaran 2,5 persen diberikan stimulus
lain disebabkan oleh perbedaan dalam pen- fiskal sebesar 1,4 persen, sedangkan untuk
anganan masalah kebijakan fiskal. Penerapan negara maju seperti Jepang yang mengalami
kebijakan fiskal pada tiap negara bersifat inter- defisit anggaran 7,1 persen diberikan stimulus
nal dan cenderung divergen. Penanganan ma- fiskal sebesar 3,1 persen.
salah defisit anggaran disesuaikan dengan Faktor lain yang juga menurunkan kese-
struktur perekonomiannya masing-masing. Ka- larasan siklus bisnis adalah krisis ekonomi yang
rena memiliki sifat internal maka sejauh ini terjadi pada tahun 1997 yang berakibat membe-
koordinasi kebijakan fiskal belum dilakukan se- sarnya defisit transaksi berjalan pada neraca
cara intensif. pembayaran, serta menurunnya daya saing eks-

Sumber: www.fiskal.depkeu.go.id

Gambar 1. Program Stimulus Fiskal di Beberapa Negara

174 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
por negara-negara di Asia Tenggara. Menurun- perlu dilakukan uji derajat integrasi untuk
nya daya saing ekpor memang berkaitan de- mengetahui pada derajat ke berapa data-data
ngan nilai mata uang yang cenderung over- tersebut stasioner.
valued dan hal ini terutama menimpa Baht Thai- Secara umum hasil pengujian terlihat bah-
land yang selama bertahun-tahun, nilainya wa variabel BC sudah lolos uji akar unit sehing-
tetap terhadap dolar AS. Hasil negatif ini seru- ga tidak perlu diteruskan dengan uji derajat
pa dengan penelitian yang dilakukan Teng dan integrasi. Pada negara Malaysia, Thailand, dan
Way (2005) yang juga menemukan bahwa koor- Jerman sudah stasioner pada derajat keperca-
dinasi kebijakan fiskal pada ASEAN-5 serta yaan satu persen, sedangkan Belanda stasioner
India dan China cenderung menurunkan siklus pada derajat kepercayaan lima persen. Semen-
bisnis. tara itu Indonesia dan Filipina stasioner pada
derajat kepercayaan sepuluh persen.
Hasil Pengujian Akar Unit Pada pengujian variabel intensitas perda-
Dari hasil perhitungan uji akar unit dapat di- gangan hanya Belanda yang sudah lolos pada
lihat bahwa secara keseluruhan semua variabel uji akar unit, sedangkan lima negara lainnya
sudah stasioner (lihat Tabel 5). Dalam uji ini tidak lolos sehingga harus dilakukan uji derajat
hanya variabel kurs yang tidak lolos uji akar integrasi 1. Pada Jerman, Malaysia dan Indone-
unit sehingga harus diteruskan dengan uji sia sudah stasioner pada derajat kepercayaan
derajat integrasi satu. Hal ini menunjukkan ada satu persen, namun untuk Thailand dan Fili-
masalah dengan akar unit yang menggambar- pina stasioner pada derajat kepercayaan sepu-
kan situasi non stasioner. Untuk selanjutnya luh persen. Perhitungan pada variabel koordi-
nasi kebijakan moneter memperlihatkan bahwa

Tabel 5. Uji Akar Unit dan Uji Derajat Integrasi I

Negara Variabel Uji Akar Unit Derajat Integrasi 1


Indonesia BC 3,584677**
TI 0,567722 -5,733068*
MPC -2,638936 -3,456246**
FPC -4,275077*
Malaysia BC -3,898484
TI -0,795151 -4,825984*
MPC -2,479869 -5,213031*
FPC -2,280551 -4,420069*
Filipina BC -3,185213**
TI -1,378927 -2,860993***
MPC -2,620286 -4,662211*
FPC -3,042284**

Thailand BC -3,555491
TI -0,104350 -2,780867***
MPC -1,363675 -4,518456*
FPC -1,953676 -4,479065*
Jerman BC -3,830016
TI -1,376398 -4,984260*
MPC -2,484451 -5,266130*
FPC -2,938832***

Belanda BC -6,316442*
TI -2,895523***
MPC -2,560670 3,655497**
FPC -3,712854
Sumber: data di olah
Catatan: * signifikan pada level 1 persen; ** signifikan pada level 5 persen; *** signifikan pada level 10 persen.

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 175
seluruh negara tidak lolos uji akar unit sehing- Tabel 6.
ga harus diteruskan dengan uji derajat integrasi Tanda (*) bintang menunjukkan rekomen-
1. Pada pengujian derajat integrasi 1 empat ne- dasi kelambanan (lag) dari masing-masing kri-
gara yaitu Malaysia, Thailand, Pilipina, dan teria statistik yang dipakai. Dari hasil perhi-
Jerman sudah stasioner pada derajat keperca- tungan diperoleh hasil bahwa empat dari lima
yaan lima persen, sedangkan Indonesia dan kriteria pengujian kelambanan optimal di atas
Belanda stasioner pada derajat kepercayaan (LR, FPE, AIC, dan HQ) pada empat negara
sepuluh persen. yaitu Indonesia, Thailand, Jerman, dan Belanda
Hasil perhitungan untuk variabel koordi- menunjukkan lag optimal sebesar satu kuartal
nasi kebijakan fiskal terlihat bahwa untuk nega- dan hanya dua negara yaitu Malaysia dan Fili-
ra Indonesia, Filipina, Jerman dan Belanda su- pina yang menyarankan dua kuartal. Dengan
dah lolos uji akar unit sehingga tidak perlu hasil ini maka kelambanan optimal yang di-
diteruskan untuk uji derajat integrasi. Semen- sarankan dipakai dalam model VAR adalah se-
tara itu Thailand dan Malaysia tidak lolos uji besar satu kuartal.
akar unit sehingga perlu dilakukan uji derajat
Hasil Estimasi VAR
integrasi 1. Pada uji derajat integrasi 1 ini
Malaysia dan Thailand sudah stasioner pada Setelah dilakukan uji akar unit, uji derajat inte-
derajat kepercayaan satu persen. grasi dan uji kelambanan optimal, berikutnya
dilakukan estimasi dengan metode VAR untuk
Pengujian Vector Autoregression melihat estimasi jangka panjangnya. Hasil esti-
masi model VAR selengkapnya disajikan pada
Penentuan lag length juga bertujuan untuk men-
Tabel 7. Dari hasil perhitungan secara keselu-
dapatkan model yang tepat untuk diestimasi,
ruhan diketahui bahwa seluruh variabel memi-
dimana model tersebut ditentukan oleh ba-
liki nilai koefisien determinasi antara 27 persen
nyaknya jumlah lag yang digunakan. Hasil dari
sampai 94 persen, artinya sebanyak lebih dari
uji kelambanan optimal VAR disajikan pada

Tabel 6. Hasil Uji Kelambanan


INDONESIA
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 198,8272 NA 6,35E-12 -14,43164 -14,23967 -14,37456
1 261,8700 102,7365* 1,98E-13 -17,91630 -16,95642* -17,63088*
2 279,2940 23,23203 1,95E-13* -18,02178* -16,29400 -17,50802
MALAYSIA
0 139,5009 NA 5,14E-10 -10,03710 -9,845127 -9,980018
1 210,5709 115,8178 8,85E-12 -14,11636 -13,15648* -13,83094
2 231,5468 27,96795* 6,69E-12* -14,48495* -12,75717 -13,97119*
THAILAND
0 147,0656 NA 2,94E-10 -10,59745 -10,40547 -10,54036
1 223,7433 124,9563* 3,34E-12* -15,09210* -14,13222* -14,80667*
2 233,4780 12,97967 5,80E-12 -14,62800 -12,90022 -14,11424
FILIPINA
0 180,4862 NA 2,47E-11 -13,07305 -12,88108 -13,01597
1 255,5546 122,3336 3,16E-13 -17,44849 -16,48861* -17,16306
2 279,3225 31,69064* 1,94E-13* -18,02389* -16,29611 -17,51013*
JERMAN
0 184,3345 NA 1,86E-11 -13,35811 -13,16613 -13,30102
1 246,3077 100,9935* 6,27E-13* -16,76353* -15,80366* -16,47811*
2 261,5075 20,26644 7,27E-13 -16,70426 -14,97648 -16,19050
BELANDA
0 203,6485 NA 4,44E-12 -14,78878 -14,59680 -14,73169
1 238,2789 56,43468* 1,14E-12* -16,16881* -15,20893* -15,88338*
2 250,6532 16,49911 1,62E-12 -15,90024 -14,17245 -15,38648

176 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
Tabel 7. Hasil Perhitungan VAR

BC TI FIS MON
Indonesia 0,606575 0,939548 0,454268 0,606383
Malaysia 0,931956 0,609539 0,582918 0,776413
Filipina 0,875046 0,611557 0,889336 0,825451
Thailand 0,949711 0,712784 0,581268 0,720834
Jerman 0,420398 0,386566 0,673159 0,903781
Belanda 0,279261 0,289638 0,564260 0,726557
Sumber: data diolah

27 persen variasi variabel independen mampu Sementara itu pengujian parsial dengan
menjelaskan variabel dependennya. Hasil per- uji-t untuk Indonesia dan Malaysia diketahui
hitungan terendah diperoleh negara Belanda masing-masing memiliki enam hubungan antar
karena hanya memiliki koefisien determinasi 27 variabel yang lolos uji-t (lihat Tabel 8). Dipan-
persen, artinya hanya 27 persen dari variabel dang dari sudut kecepatan variabel yang mem-
independen mampu menjelaskan variabel pengaruhi variabel dependen sendiri maka
dependennya. variabel koordinasi kebijakan fiskal, BC, inten-

Tabel 8. Hubungan Variabel Dependen dan Independen

Kecepatan Mempengaruhi
Negara
Dengan Lag Variabel Sendiri Dengan Lag Variabel Lain
Indonesia FPC_INA(-1)  FPC INA FPC_INA(-1)  -BC_INA
MPC_INA(-1)  MPC_INA MPC_INA(-1) BC_INA
TI_INA(-1)  TI_INA
BC_INA(-1) BC_INA
Malaysia FPC_MAS(-1)  FPC MAS FPC_MAS(-1) BC_M
FPC_MAS(-2)  FPC MAS
BC_MAS(-1) BC_MAS
MPC_MAS(-1) MPC_MAS
TI_MAS(-1) TI_MAS
Filipina FPC_PHIL(-1)  FPC_PHIL FPC_PHIL(-1)  -BC_PHIL
FPC_PHIL(-2)  -FPC_PHIL BC_PHIL(-2)  FPC_PHIL
BC_PHIL(-1)  BC_PHIL MPC_PHIL(-1)  -TI_PHIL
MPC_PHIL(-1)  MPC_PHIL MPC_PHIL(-2)  FPC_PHIL
TI_PHIL(-1)  TI_PHIL MPC_PHIL(-2)  BC_PHIL
TI_PHIL(-1)  -FPC_PHIL
TI_PHIL(-2)  FPC_PHIL
Thailand FPC_THA(-1) FPC_THA FPC_THA(-1) BC_THA
BC_THA(-1) BC_THA BC_THA(-1)- MPC_THA
MPC_THA(-1)  MPC_THA MPC_THA(-1) BC_THA
TI_THA(-1)  BC_THA
TI_THA(-1) –-> -MPC_THA
Jerman BC_JRM(-1) BC_JRM TI_JRM(-1) -BC_JRM
TI_JRM(-1) TI_JRM FPC_JRM(-1) BC_JRM
FPC_JRM(-1) FPC_JRM MPC_JRM(-1)  BC_JRM
MPC_JRM(-1) MPC_JRM MPC_JRM(-1)  TI_JRM
Belanda BC_BLD(-1)  BC_BLD BC_BLD(-1)-MPC_BLD;
MPC_BLD(-1)  MPC_BLD FPC_BLD(-1)  BC_BLD
TI_BLD(-1)  TI_BLD
FPC_BLD(-1)  FPC_BLD

Catatan: tanda (-) menunjukkan hubungan yang negatif

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 177
ssitas perdag gangan dan n koordinasii kebijakan man daan Belanda, masing-ma asing diketaahui
m
moneter kon nsisten pada a lag 1, sedaangkan jika memilikki delapan d dan enam hubungan
h a
antar
d
dilihat dari kecepatan
k variabel
v dalaam mempe- variabel yang loloss uji-t. Apab bila dilihat dari
n
ngaruhi variabel lain ma aka variabell koordinasi sudut keecepatan meempengaruh hi antar variiabel
k
kebijakan fisskal dan moneter akan mempenga-
m kelambaanan terhadaap variabel dependen sen-
ruhi variabel BC. Dari hasil h tersebuut tidak di- diri makka variabel kkoordinasi kebijakan
k fisskal,
teemukan hub bungan kaussalitas dua arah
a di anta- kebijakan moneter, iintensitas peerdagangan dan
ra keempat variabel
v terseebut. BC konssisten pada lag 1. Pada Jerman, hubu ung-
Hasil yaang sedikit berbeda terrdapat pada an kau usalitas duaa arah dittunjukkan oleh
p
pengujian un ntuk Filipina a. Pengujiann parsial de- hubungaan antarvarriabel koord dinasi kebijaakan
n
ngan uji-t untuk
u Filipin
na diketahu ui memiliki moneterr dan siklus bbisnis sedangkan di Belaanda
d
dua belas hu ubungan an ntarvariabel yang lolos tidak dittemukan hubungan kau usalitas dua arah
a
u
uji-t. Dipand dang dari su udut kecepattan mempe- di antaraa kelima variabel tersebu
ut.
n
ngaruhi anttarvariabel kelambanan n terhadap
v
variabel dependen sendiri maka varriabel koor- Hasil Peengujian Im
mpulse Resp
ponses
d
dinasi kebijak kan fiskal koonsisten padda lag 1 dan
Impulse Response
R Funnction mengggambarkan res-
2 sedangkan
2, n untuk variiabel BC, inttensitas per-
pon darii setiap variaabel terhadaap struktural ino-
d
dagangan dan koordin nasi kebijakaan moneter
vasi variabel lainnyaa dalam mod del pada periode
k
konsisten pada lag 1. Hu ubungan kau usalitas dua
waktu bersamaan.
b Estimasi impulse
i respponse
a
arah ditunjukkan oleh hubungan
h anntarvariabel
dapat diilihat pada mmasa sekaran ng dan di waaktu
k
koordinasi keebijakan fiskkal dan sikluus bisnis.
yang ak kan datang. Pengujian impulse respponse
Pengujiaan parsial deengan uji-t untuk
u Thai-
untuk Inndonesia dap pat dilihat pa
ada Gambar 2.
laand diketah hui memilik ki delapan hubungan
Hassil pengujiaan memperllihatkan bahwa
a
antarvariabel l yang lolos uji-t sepertii pada Tabel
respon variabel
v GDP P terhadap koordinasi
k k
kebi-
8 Dipandang
8. g dari sudutt kecepatan mempenga-
m
jakan fisskal adalah k
ketika ada shhock dari kennaik-
ruhi antarvariabel kelam mbanan terh hadap varia-
an koord dinasi kebijakan fiskal maka damp pak-
b dependen
bel n sendiri ma aka variabell koordinasi
nya terh hadap GDP mula-mula mengalamii pe-
k
kebijakan fisskal, kebijakkan moneterr, intensitas
nurunan n pada perio ode ke 1 dan n mencapai titik
p
perdagangan n dan BC ko onsisten padaa lag 1. Jika
terendah h pada perioode ke 3 kemmudian naik dan
d
dipandang d
dari sudut kecepatan mempenga-
m
stabil paada periode ke 8. Walaupun kenaik kan-
ruhi antarvariabel kelam mbanan terh hadap varia-
nya semmakin lama semakin beesar sampai de-
b yang lain
bel n maka terda apat lima hu ubungan an-
ngan peeriode ke 8 namun kenaikan terseebut
taarvariabel. Hubungan
H kausalitas
k d
dua arah di-
tidak meencapai titik keseimbang gan.
tuunjukkan oleh hubung gan antarvarriabel koor-
Penngujian variaabel GDP teerhadap koo ordi-
d
dinasi kebijak kan moneterr dan siklus bisnis
nasi kebbijakan moneeter adalah ketika
k ada shock
s
Pengujiaan parsial dengan
d uji-t untuk Jer-
dari ken naikan koordinasi keb bijakan mon neter

Gamb
bar 2. Impulse Response Indonesia

1
178 Jurnal Ekonomi Pembaangunan Vollume 12, Nom
mor 2, Desem
mber 2011: 1633-186
Gambar 3. Impulse
I Resp
ponse Malay
ysia

maka dampaknya a terhadap GDP mulaa-mula meengalami keenaikan sam mpai titik puncaknya
p
mengaalami kenaik kan dan men ncapai puncaknya paada periode ke 2 selan njutnya turu un sampai
pada periode
p ke 3 dan selanju utnya meng galami peeriode ke 5 dan menin ngkat kembaali sampai
penuru unan sampa ai periode ke 10. Dilihaat dari paada periode ke 7 dan selanjutnyaa bergerak
responn variabel GD DP terhadap p variabel in
ntensi- staabil namun tidak sampa ai mengalammi keseim-
tas perrdagangan maka
m adalahh ketika adaa shock baangan.
dari kenaikan
k in
ntensitas perrdagangan maka n impulse reesponse untu
Pengujian uk Filipina
dampaaknya terhad dap GDP mula-mula
m m
meng- daapat dilihat pada Gambbar 4. Apab bila dilihat
alami kenaikan
k da an mencapaai kestabilann pada daari respon variabel GDP P terhadap koordinasi
k
periode ke 6 nam mun tidak saampai meng galami keebijakan fisk
kal maka ketika
k ada shock dari
keseim
mbangan. keenaikan koo ordinasi keebijakan fisk kal maka
Peengujian imp pulse responsse untuk Maalaysia daampaknya teerhadap GD DP mula-mu ula meng-
dapat dilihat pad da Gambar 3. 3 Apabila dilihat
d alaami penurun nan signifikan dan men ncapai titik
dari reespon variab bel GDP terh hadap koordinasi terrendah pad da periode ke 3 kemu udian naik
kebijakkan fiskal adalah
a ketik
ka ada shockk dari sam periode ke 8 dan selanjutnya stabil
mpai pada p
kenaikkan koordin nasi kebijak kan fiskal maka sam mpai perioode 10. Wa alaupun ken naikannya
dampaaknya terhad dap GDP mula-mula
m m
meng- sem makin lamaa semakin besar
b sampaai dengan
alami penurunan
p pada periodde ke 1 dan men- peeriode ke 8 namun ken naikan terseebut tidak
capai titik
t terendaah pada perriode ke 3 kemu-
k meencapai titik
k keseimbang gan.
dian naik dan stab bil pada periiode ke 8. Walau-
W Respon vvariabel GDP P terhadap koordinasi
k
pun keenaikannya semakin lam ma semakin besar keebijakan monneter mempeerlihatkan baahwa keti-
sampai dengan peeriode ke 8 namun ken naikan kaa ada shock d
dari kenaikann koordinasii kebijakan
tersebuut tidak menncapai titik keseimbanga
k an. mo oneter mak ka dampak knya terhad dap GDP
Diilihat dari reespon variabbel GDP terh hadap mu ula-mula meengalami keenaikan dan mencapai
koordiinasi kebijakkan moneter adalah ketik ka ada puuncaknya paada periode ke 4 dan seelanjutnya
shock dari
d kenaikan n koordinasii kebijakan mone-
m meengalami peenurunan sam mpai period
de ke 8 dan
ter mak ka dampakn nya terhadap p GDP mulaa-mula keemudian meeningkat lag gi sampai periode
p 10.
mengaalami kenaik kan dan men ncapai puncaknya Haasil pengujiian untuk respon
r variiabel GDP
pada periode
p ke 4 dan selanju utnya meng galami terrhadap intennsitas perda
agangan mem mperlihat-
penuru unan sampai periode kee 8 dan kem mudian kaan bahwa kettika ada shocck dari kenaiikan inten-
stabil sampai
s perio
ode 10. Hasill pengujian untuk sittas perdaganngan maka dampaknyaa terhadap
responn variabel GD DP terhadap p variabel in
ntensi- GD DP mula-mu ula mengala ami kenaikaan sampai
tas perrdagangan memperlihat
m kan bahwa ketika
k peeriode ke 2 d
dan selanjutnya mengalami penu-
ada shoock dari kenaikan intenssitas perdagaangan unan sampai titik puncaknya pada periode
ru p ke
maka dampaknya a terhadap GDP mulaa-mula 3 selanjutnya
s m
meningkat lagi
l sampai periode
p ke

Intensiitas Perdagan
ngan dan Keeselarasan Siklus Bisnis (Etty
( Puji Lesstari) 179
Gamb
bar 4. Impullse Responsee Filipina

8 selanjutnyaa bergerak sttabil. maka keetika ada shoock dari ken naikan intensitas
Pengujiaan impulse reesponse untu uk Thailand perdagan ngan, damp paknya terhaadap GDP mula-
m
d
dapat dilihaat pada Gam mbar 5. Apaabila dilihat mula meengalami kenaikan samp pai periode ke 3
d
dari respon variabel GD DP terhadap p koordinasi dan selaanjutnya men ngalami pennurunan sam mpai
k
kebijakan fisskal maka keetika ada shock dari ke- titik punncaknya pad da periode kek 7 selanjuttnya
n
naikan koord dinasi kebijaakan fiskal maka dam- bergerak k stabil samp
pai periode 10.
1
p
paknya terhaadap GDP mula-mula mengalami Hassil pengujiaan impulse response un ntuk
p
peningkatan signifikan dan mencap pai puncak- Jerman dapat dilihaat pada Gam mbar 6. Apaabila
n pada peeriode ke 3 dan selanjutnya meng-
nya dilihat dari respon n variabel GDP terhaadap
a
alami penurrunn sampa ai periode ke 8 dan koordinaasi kebijakaan fiskal maka
m ketika ada
s
selanjutnya s
stabil sampai periode ke 10. shock dari kenaikan koordinasi kebijakan fiiskal
Hasil pengujian
p untuk
u respo
on variabel maka dampaknya
d terhadap GDP
G mula-mmula
G
GDP terhaddap koordin nasi kebijakaan moneter stabil saampai perio ode ke 4 dand selanjuttnya
m
memperlihat tkan bahwa ketika adaa shock dari meningk kat sampai p periode 7 daan stabil sam
mpai
k
kenaikan kooordinasi kebijakan mon neter maka periode 10. Walaup pun kenaik kannya sem makin
d
dampaknya terhadap GDP
G mula-mmula meng- lama sem makin besarr sampai den ngan period de ke
a
alami kenaik kan dan men ncapai puncaaknya pada 8 namun n kenaikan teersebut tidak mencapai titik
p
periode ke 4 dan selanju utnya mengaalami penu- keseimbangan.
runan sampaai periode kee 9 dan kemu udian stabil Dilihat dari resp
pon variabeel GDP terhaadap
s
sampai perio ode 10. Dilihhat dari resp
pon variabel koordinaasi kebijakan n moneter memperlihat
m tkan
G
GDP terhadaap variabel intensitas peerdagangan bahwa ketika
k ada sshock dari keenaikan koo ordi-

Gamb
bar 5. Impulsse Response Thailand

1
180 Jurnal Ekonomi Pembaangunan Vollume 12, Nom
mor 2, Desem
mber 2011: 1633-186
Gambar 6.. Impulse Ressponse Jermaan

nasi kebijakan
k moneter
m m
maka dampaaknya sellanjutnya staabil sampai periode
p ke 10.
1
terhadap GDP mula-mula men ngalami pennurun- Dilihat daari respon variabel
v GDP P terhadap
an padda periode kek 2 dan selaanjutnya meening- kooordinasi keb bijakan monneter adalah ketika ada
kat sammpai puncaknya pada periode ke 6 dan shoock dari kenaikan koord dinasi kebijak
kan mone-
selanju
utnya menga alami penurrunan sampai pe- terr maka damp paknya terh
hadap GDP mula-mula
m
riode 10.
1 Dilihat dari
d respon variabel
v GDDP ter- meengalami keenaikan dan mencapai puncaknya
p
hadap variabel in ntensitas peerdagangan maka paada periode ke 5 dan seelanjutnya mengalami
m
adalahh ketika ada shock dari keenaikan inteensitas peenurunan saampai period de ke 10. Hasil
H peng-
perdaggangan mak ka dampakny ya terhadapp GDP ujiian untuk reespon variab bel GDP terrhadap va-
mula-m mula menga alami kenaik kan hingga pun- riaabel intensitaas perdagan
ngan maka ad dalah keti-
caknyaa pada perio ode 4 selanjuutnya meng galami kaa ada shock dari kenaik kan intensittas perda-
penuru unan sampaii periode ke 10. gaangan maka dampaknya a terhadap GDP
G mula-
Peengujian imppulse responsse untuk Beelanda mu ula mengalaami kenaikan n sampai peeriode ke 3
dapat dilihat pad da Gambar 7. 7 Apabila dilihat
d daan selanjutny ya mengalammi penurunan sampai
dari reespon variabbel GDP terh hadap koordinasi peeriode 10.
kebijakkan fiskal maka
m ketika ada
a shock daari ke-
naikann koordinasi kebijakan fiiskal, dampaaknya Va
ariance Deco
omposition
n dari GDP
terhadap GDP mula-mula men ngalami pennurun-
Vaariance decom
mposition memisahkan variasi
v per-
an signnifikan perio
ode ke 3 dan n selanjutny
ya me-
ubbahan shockk dari setiaap variabel terhadap
ngalammi peningkattan sampai periode ke 6 dan
vaariabel lain d
dalam modeel. Setiap varriabel per-

Gambar 7. Impulse Ressponse Belanda

Intensiitas Perdagan
ngan dan Keeselarasan Siklus Bisnis (Etty
( Puji Lesstari) 181
Tabel 9. Variance Decomposition untuk Indonesia

Period S.E. GDP_BLD MPC_BLD TI_BLD FPC_BLD


1 0,028541 100,0000 0,000000 0,000000 0,000000
2 0,035516 89,88222 0,385265 0,030031 9,702483
3 0,038544 81,48699 1,104525 0,027709 17,38078
4 0,039720 77,15924 1,876643 0,045297 20,91882
5 0,040165 75,50121 2,485618 0,121467 21,89171
6 0,040381 75,01061 2,860496 0,234939 21,89396
7 0,040522 74,86564 3,046203 0,343550 21,74461
8 0,040616 74,78516 3,121131 0,422461 21,67125
9 0,040672 74,72034 3,145280 0,469271 21,66511
10 0,040701 74,67478 3,150931 0,492750 21,68154
Cholesky Ordering: GDP_BLD MPC_BLD TI_BLD FPC_BLD

ubahan dalam model diasumsikan tidak berko- busi shock variabel kebijakan fiskal terhadap
relasi. Variance decomposition menggambarkan GDP sebesar 9,7 persen, setelah itu kontribu-
besarnya sumbangan pengaruh dari suatu va- sinya selalu mengalami kenaikan sekitar 11 per-
riabel perubahan terhadap variabel lain dalam sen sampai dengan periode ke 10 yaitu sebesar
model. 21,7 persen (Tabel 9).
Hasil analisis untuk pengujian Indonesia Dari hasil analisis untuk pengujian Malay-
diketahui bahwa variance decomposition dari sia untuk keempat variabelnya sangat fluktua-
variabel GDP menjelaskan bahwa pada periode tif. Pengujian variance decomposition dari varia-
ke 1 dipengaruhi oleh variabel itu sendiri yaitu bel GDP menjelaskan bahwa pada periode bah-
100 persen. Namun pada periode ke 2 nilainya wa variabel GDP dipengaruhi oleh variabel
terus menurun sampai 74,6 persen pada pe- sendiri yaitu sebesar 99,8 persen. Sementara itu
riode 10. Kontribusi shock variabel koordinasi kontribusi shock variabel koordinasi kebijakan
kebijakan moneter terhadap GDP mula-mula moneter terhadap GDP mula-mula hanya sebe-
hanya sebesar 0,38 persen pada periode ke 2 sar 2,52 persen pada periode ke 2 dan terus
dan terus mengalami kenaikan sampai periode mengalami kenaikan sampai periode ke 6 yaitu
ke 10. Sementara itu kontribusi shock variabel sebesar 17 persen dan selanjutnya menurun
intensitas perdagangan terhadap GDP sebesar sampai periode ke 10 (16,6 persen). Sementara
0,03 persen, setelah itu kontribusinya selalu itu kontribusi shock variabel intensitas perda-
mengalami kenaikan, sampai dengan periode gangan terhadap GDP sebesar 0,97 persen,
periode ke 10 yaitu sebesar 0,49 persen. Kontri- setelah itu kontribusinya selalu mengalami

Tabel 10. Variance Decomposition untuk Malaysia


Period S.E. FPC_MAS GDP_MAS MPC_MAS TI_MAS
1 0,237512 0,168657 99,83134 0,000000 0,000000
2 0,327378 1,192972 95,30811 2,526539 0,972379
3 0,354370 9,424666 79,48570 10,35083 0,738799
4 0,360753 17,87807 65,44979 15,58287 1,089280
5 0,366248 19,68199 61,87384 16,97681 1,467368
6 0,369106 19,70937 61,78758 17,02548 1,477565
7 0,369630 20,86289 60,66870 16,80561 1,662793
8 0,369796 21,48339 59,70991 16,69912 2,107581
9 0,369934 21,36548 59,56000 16,65885 2,415665
10 0,370196 21,44062 59,45229 16,60745 2,499643
Cholesky Ordering: FPC_MAS GDP_MAS MPC_MAS TI_MAS

182 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
Tabel 11. Variance Decomposition untuk Filipina

Period S.E. FPC_PHIL GDP_PHIL MPC_PHIL TI_PHIL


1 0,144985 1,924340 98,07566 0,000000 0,000000
2 0,256274 7,000694 90,22077 2,540931 0,237602
3 0,316142 19,59702 45,90825 32,39062 2,104111
4 0,344977 22,46082 31,60184 42,33314 3,604199
5 0,358730 24,21914 30,14031 41,86855 3,772009
6 0,370967 24,07214 30,15341 42,08368 3,690769
7 0,384813 22,25961 28,10797 45,82072 3,811698
8 0,395540 20,58613 25,61352 49,68879 4,111550
9 0,401628 19,92850 24,45036 51,23928 4,381865
10 0,405617 19,93354 24,39648 51,15955 4,510428
Cholesky Ordering: FPC_PHIL GDP_PHIL MPC_PHIL TI_PHIL

kenaikan, sampai dengan periode periode ke 10 itu kontribusinya selalu mengalami kenaikan,
yaitu sebesar 2,49 persen. Kontribusi shock sampai dengan periode periode ke 10 yaitu
variabel kebijakan fiskal terhadap GDP sebesar sebesar 4,51 persen. Kontribusi shock variabel
0,16 persen pada periode ke 1, setelah itu kebijakan fiskal terhadap GDP sebesar 1,92
kontribusinya selalu mengalami kenaikan, sam- persen pada periode ke 1, setelah itu kontribu-
pai dengan periode periode ke 10 yaitu sebesar sinya selalu mengalami kenaikan sekitar 0,3
21,4 persen (Tabel 10). persen sampai dengan periode ke 10 yaitu sebe-
Hasil analisis untuk pengujian Filipina di- sar 0,40 persen (Tabel 11).
ketahui bahwa variance decomposition dari varia- Hasil pengujian variance decomposition Thai-
bel GDP menjelaskan bahwa pada periode ke 1 land diketahui variabel GDP pada periode ke 1
dipengaruhi oleh variabel itu sendiri yaitu 98 dipengaruhi oleh variabel itu sendiri yaitu 88,25
persen. Namun pada periode ke 2 nilainya terus persen. Namun pada periode ke 2 nilainya terus
menurun sampai 24,39 persen pada periode 10. menurun sampai tinggal 40,17 persen pada
Kontribusi shock variabel koordinasi kebijakan periode 10. Kontribusi shock variabel koordinasi
moneter terhadap GDP mula-mula hanya kebijakan moneter terhadap GDP mula-mula
sebesar 2,54 persen pada periode ke 2 dan terus hanya sebesar 9,3 persen pada periode ke 2 dan
mengalami kenaikan sampai periode ke 10 terus mengalami kenaikan sampai periode ke
yaitu sebesar 51,16 persen. Sementara itu 10 sebesar 28,53 persen. Sementara itu kontri-
kontribusi shock variabel intensitas perdagang- busi shock variabel intensitas perdagangan ter-
an terhadap GDP sebesar 0,23 persen, setelah hadap GDP sebesar 0,8 persen, setelah itu kon-

Tabel 12. Variance Decomposition untuk Thailand

Period S.E. FPC_THA GDP_THA MPC_THA TI_THA


1 0,189425 11,74819 88,25181 0,000000 0,000000
2 0,229417 24,92954 64,89364 9,373195 0,803622
3 0,245407 28,76772 50,87793 19,19426 1,160082
4 0,252262 28,54002 44,62672 25,71852 1,114742
5 0,255801 27,56776 42,71509 28,61953 1,097620
6 0,258478 27,13426 42,45672 28,95242 1,456600
7 0,261120 27,14929 42,22856 28,39113 2,231019
8 0,263846 27,10699 41,60910 28,08304 3,200880
9 0,266573 26,81080 40,83662 28,22813 4,124451
10 0,269218 26,40833 40,17833 28,53847 4,874873
Cholesky Ordering: FPC_THA GDP_THA MPC_THA TI_THA

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 183
Tabel 13. Variance Decomposition untuk Jerman
Period S.E. GDP_JRM TI_JRM FPC_JRM MPC_JRM
1 0,022592 100,0000 0,000000 0,000000 0,000000
2 0,027838 73,57500 5,020612 11,87000 9,534390
3 0,032525 53,91095 10,37029 16,63002 19,08873
4 0,035470 45,71102 13,90497 16,53048 23,85353
5 0,036821 42,77757 16,11182 15,75429 25,35633
6 0,037292 41,82742 17,40897 15,36598 25,39763
7 0,037448 41,49042 18,06069 15,25955 25,18935
8 0,037560 41,24979 18,28948 15,19746 25,26327
9 0,037701 40,96983 18,28383 15,09347 25,65288
10 0,037861 40,66109 18,17714 14,96597 26,19580
Cholesky Ordering: GDP_JRM TI_JRM FPC_JRM MPC_JRM

tribusinya selalu mengalami kenaikan, sampai selalu mengalami kenaikan, sampai dengan
dengan periode periode ke 10 yaitu sebesar 4,87 periode periode ke 10 yaitu sebesar 18,17 per-
persen. Kontribusi shock variabel kebijakan fis- sen. Kontribusi shock variabel kebijakan fiskal
kal terhadap GDP sebesar 11,74 persen, setelah terhadap GDP sebesar 11,87 persen pada perio-
itu kontribusinya selalu mengalami kenaikan de ke 1, setelah itu kontribusinya selalu meng-
sekitar 13 persen sampai dengan periode ke 10 alami kenaikan hingga puncaknya pada perio-
yaitu sebesar 26,40 persen (Tabel 12). de ke 3 sebesar 16,6 persen dan kemudian terus
Dari hasil analisis untuk pengujian Jerman menurun hingga periode periode ke 10 yaitu
untuk keempat variabelnya sangat fluktuatif. sebesar 14,9 persen (Tabel 13).
Pengujian variance decomposition dari variabel Dari hasil analisis untuk pengujian Belanda
GDP menjelaskan bahwa pada periode bahwa dimulai dari pengujian variance decomposition
variabel GDP dipengaruhi oleh variabel sendiri dari variabel GDP yang menjelaskan bahwa
yaitu sebesar 100 persen. Sementara itu kon- pada periode bahwa variabel GDP dipengaruhi
tribusi shock variabel koordinasi kebijakan oleh variabel sendiri yaitu sebesar 99,8 persen.
moneter terhadap GDP mula-mula hanya sebe- Sementara itu kontribusi shock variabel koor-
sar 9,53 persen pada periode ke 2 dan terus dinasi kebijakan moneter terhadap GDP mula-
mengalami kenaikan sampai periode ke 10 mula hanya sebesar 0,38 persen pada periode
(26,19 persen). Sementara kontribusi shock ke 2 dan terus mengalami kenaikan sampai
variabel intensitas perdagangan terhadap GDP periode ke 10 (3,15 persen). Sementara itu kon-
sebesar 5,02 persen, setelah itu kontribusinya tribusi shock variabel intensitas perdagangan

Tabel 14. Variance Decomposition untuk Belanda

Period S.E. GDP_BLD MPC_BLD TI_BLD FPC_BLD


1 0,028541 100,0000 0,000000 0,000000 0,000000
2 0,035516 89,88222 0,385265 0,030031 9,702483
3 0,038544 81,48699 1,104525 0,027709 17,38078
4 0,039720 77,15924 1,876643 0,045297 20,91882
5 0,040165 75,50121 2,485618 0,121467 21,89171
6 0,040381 75,01061 2,860496 0,234939 21,89396
7 0,040522 74,86564 3,046203 0,343550 21,74461
8 0,040616 74,78516 3,121131 0,422461 21,67125
9 0,040672 74,72034 3,145280 0,469271 21,66511
10 0,040701 74,67478 3,150931 0,492750 21,68154
Cholesky Ordering: GDP_BLD MPC_BLD TI_BLD FPC_BLD

184 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186
terhadap GDP sebesar 0,03 persen, setelah itu penelitian yang akan datang mungkin akan
kontribusinya selalu mengalami kenaikan, sam- lebih baik dilakukan penelitian dengan sampel
pai dengan periode periode ke 10 yaitu sebesar seluruh negara ASEAN sehingga lebih mewa-
0,49 persen. Kontribusi shock variabel kebijakan kili keberadaan ASEAN seutuhnya. Sementara
fiskal terhadap GDP sebesar 9,7 persen pada itu untuk Uni Eropa yang diwakili oleh Jerman
periode ke 1, setelah itu kontribusinya selalu dan Belanda juga tidak dapat mencerminkan
mengalami kenaikan, sampai dengan periode perilaku Uni Eropa secara keseluruhan. (2) Peri-
periode ke 10 yaitu sebesar 21,68 persen (Tabel laku data yang tidak stabil menjadi fenomena
14). tersendiri karena akan memberikan interpretasi
hasil yang berbeda, bias, bahkan tidak sesuai
dengan teori. Hal ini sangat menyulitkan pene-
SIMPULAN
liti. Shock akibat krisis ekonomi tahun 1998
menyebabkan hasil yang berbeda. Saran untuk
Meningkatnya intensitas perdagangan bukan penelitian yang akan datang adalah mengeli-
merupakan persyaratan mutlak yang menjamin minir data yang anomali akibat terjadinya shock
terjadinya keselarasan siklus bisnis di ASEAN- ekonomi; dan (3) Variabel yang dipakai dalam
4. Meningkatnya keselarasan siklus bisnis juga penelitian ini adalah variabel bentukan dan
banyak dipengaruhi oleh variabel lain terutama cukup rumit sehingga menimbulkan kesulitan
koordinasi kebijakan moneter. Hasil kajian ini dalam hal justifikasi dan definisi operasional
mengimplikasikan pentingnya mata uang ber- variabel. Peneliti yang akan datang dapat
sama khususnya untuk negara-negara yang menggunakan variabel sekunder yang tersedia
sudah terintegrasi perekonomiannya seperti atau jika tetap ingin menggunakan variabel
ASEAN-4. Asumsinya, biaya yang dikeluarkan bentukan harus bekerja lebih keras untuk dapat
suatu negara yang sudah bergabung dalam meyakinkan pembaca dalam memahami hasil
mata uang bersama akan menurun apabila penelitiannya.
intensitas perdagangan semakin meningkat
(Shin dan Wang, 2004; Frankel dan Rose, 1998; Ucapan Terima Kasih
Rana, 2007).
Terima kasih banyak disampaikan kepada
Hasil pengujian VAR memperlihatkan bah-
DIKTI yang telah memberikan beasiswa peneli-
wa empat kriteria pengujian kelambanan opti-
tian dalam skim Hibah Doktor 2009 dan Lem-
mal (LR, FPE, AIC, dan HQ) pada sembilan
baga Penelitian Universitas Diponegoro yang
negara merekomendasikan lag optimal sebesar
telah memfasilitasi penelitian ini.
dua kuartal. Dengan hasil tersebut maka kelam-
banan (lag) optimal yang disarankan dipakai
dalam model VAR adalah sebesar satu kuartal. DAFTAR PUSTAKA
Sementara itu hasil perhitungan VAR secara
keseluruhan diketahui bahwa seluruh variabel
Achsani, Noer Azam. 2008. Integrasi Ekonomi
memiliki nilai koefisien determinasi antara 27
ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman.
persen sampai 94 persen, artinya sebanyak le-
bih dari 56 persen variasi variabel independen Artikel. diakses dari http://www.brigh-
mampu menjelaskan variabel dependennya. ten.or.id/index.php?view=article&catid
Pengembangan model penelitian empiris =40:noer-azam-achsani&id=64:integrasi-
dalam penelitian ini masih menyisakan keterba- ekonomi-asean3-antara-peluang-dan-
tasan yang dapat dikemukakan sebagai berikut: ancaman&tmpl=component&print=1
(1) Sampel yang digunakan adalah ASEAN-4 &page= pada tanggal 21 Januari 2009
atau kurang dari separuh dari anggota kese- ASEAN Secretariat, ASEAN Database Trade, 2007.
luruhan ASEAN dengan pertimbangan keterse- diakses dari http://www.aseansec. org/64.
diaan data penelitian dalam rentang periode
htm.
1980-2008 sehingga hasil penelitian tidak dapat
dijeneralisasi sebagai perilaku ASEAN. Untuk Botha, Ilse. 2004. Modelling the Business Cycle of

Intensitas Perdagangan dan Keselarasan Siklus Bisnis (Etty Puji Lestari) 185
South Africa: Linear VS Non Linear Methods. Loayza, Norman. Humberto López and Angel
Disertasi. Rand Afrikaans University. Ubide. 2001. Comovement and Sectoral In-
Cortinhas, Carlos. 2007. Intra Industry Trade and terdependence: Evidence for Latin America,
Business Cycle in ASEAN. Journal of Ap- East Asia, and Europe. IMF Staff Papers. Vol.
plied Economic. Vol. 39. 893-902 48, No. 2, pp. 367-396.
Eric C.Y. Ng. 2007. Vertical Specialization, Intra Mittal, Rashi. 2004. ASEAN Monetary Union – a
industry Trade and Business Cycle Com- Possibility? A Comparison of ASEAN Eco-
ovement. Working Paper. Minneapolis: Fed- nomic Indicators with that of Euro Zone.
eral Reserve Bank of Mineapolis Thesis. California: Public Policy Department
Stanford University.
Fiess, Norbert. 2005. Business Cycle Syncronization
and Regional Integration: A Case Study for Rana, Pradumna.B. 2007. Trade Intensity and
Central America. Working Paper. diakses Business Cycle Syncronization: The Case of
dari www.worldbank.org. Tanggal 23 Janu- East Asia. Working Paper Series on Regional
ari 2009. Economic Integration. No.10. Asian Devel-
opment Bank.
Frankel, Jeffrey, and Andrew Rose. 1998. The En-
dogeneity of the Optimum Currency Area Shin, Kwanho dan Yunjong Wang. 2004. Trade
Criteria. Economic Journal 108 (449): 1009–25. Integration and Business Cycle Synchroni-
Greene, W.H. 2000. Econometric Analysis, Fourth zation in East Asia. Asian Economic Papers
Edition. New Jersey: Prentice Hall. Syamsudin dan Anton A Setyawan. 2008. Foreign
Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometric, Co- Direct Investment (Fdi), Kebijakan Industri,
lumbus: McGraw-Hill, Inc. dan Masalah Pengangguran: Studi Empirik
Hadi, Yonathan S. 2003. Analisis Vector Auto Re- di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan
gression (VAR) terhadap Korelasi Antara FE UMS. Vol. 9, No.1, Juni 2008, hal. 107 –
Pendapatan Nasional dan Investasi Peme- 119. Surakarta: BPPE.UMS.
rintah di Indonesia, 1983/1984 – 1999/2000. Teng, Kwek Kian dan Way, Cho Cho. 2005. Trade
Jurnal Keuangan dan Moneter. Volume 6 No- Integration and Business Cycle Syncroniza-
mor 2 Desember 2003. tion: The Case of India, China with ASEAN-
Handoyo, Rossanto. D. 2002. Permintaan Uang 5. didownload dari www. pes.org.ph/faea/
M1 di ASEAN-4, Indonesia, Malaysia, Si- downloads/paper/3/pararell3b1.pdf pada
ngapura dan Thailand, Estimasi Data Non tanggal 9 Januari 2009.
Stasioner, 1981.1-1999.4. Thesis. Universitas Unair, Fakultas Ekonomi. 2009. Modul Pelatihan
Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan. Ekonometrika Vector Autoregression. Sura-
Kuncoro, Mudrajad. 2007. Metode Kuantitatif; Teori baya: Universitas Airlangga
dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi Zebregs, Harm. 2004. Intraregional Trade in Emer-
Ketiga. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Per- ging Asia. IMF Policy Discussion Paper.
cetakan STIM YKPN.

186 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 2, Desember 2011: 163-186

Anda mungkin juga menyukai