Anda di halaman 1dari 3

Pengembara Mimpi Di Naungan Bumi Pertiwi

Bukan salahku apabila raga ini tidak memiliki tujuan berlabuhnya.


Bukan salahku apabila jiwa ini terpaku sangat dalam di lautan
kegelapan. Toh, mereka bilang aku hanyalah segelintir hama
menyusahkan yang harus dibasmi. Terkadang aku merenung, apakah
semuanya salahku kalau fisik ini tidak sesempurna orang lainnya. Ketika
orang lain bisa merekam indahnya gugusan bintang lewat indra
penglihatan mereka, aku tidak bisa, aku memiliki keterbatasan dalam
melihat, sebut saja tunanetra. Aku hanya seorang insan pemimpi yang
terus berlayar tanpa tahu dimanakah pelabuhan yang menjadi tujuanku
hidupku selama ini.

Hari ini tepat 10 hari sebelum aku berulang tahun, sama seperti
tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun aku tidak begitu menantikan
hari itu tiba. Bagiku memiliki pesta besar, kue-kue enak dan kehangatan
suasana ulang tahun adalah hal yang mustahil. Beruntunglah anak-anak
yang masih bisa merasakan lezatnya masakan Ibu, mempunyai Ayah
yang mereka jadikan tokoh utama dalam cerita superhero. Aku hanya
bisa menyebut nama Ayah dan Bunda disetiap bait doa yang
kulayangkan kepada Tuhan disana, berharap mereka dijaga dengan baik
sementara aku disini mengemban mimpiku ditengah keterbatasan yang
ada.
Pagi ini ketika aku sedang duduk menikmati merdunya kicauan
burung di taman, sebuah bola sepak entah darimana asalnya melayang
dan tepat mengenai tongkat yang biasanya menuntunku berjalan,
spontan aku terkejut dan jatuh, aku bisa mendengar dengan jelas suara
seorang anak yang meneriakiku, “Heh yang disana! Kembaliin bola kami
dong kesini” soraknya padaku. Aku ingin, aku sangat ingin
mengembalikan bola itu pada mereka, tetapi aku tidak bisa meraba
dimana keberadaan bola tersebut. Mereka terus-terusan meneriakiku
dengan makian seperti “Woy, anak buta! Ambilin bola kami cepet, kami
nggak peduli kamu bisa melihat bolanya atau enggak, kamu kembalikan
bola kami atau kami patahin tongkat jelekmu itu” ancam mereka.
Rasanya makian tersebut terdengar seperti angin yang berhembus, itu
berlalu begitu saja karena sudah terlalu sering telingaku mencerna
makian-makian yang tak ada habisnya.

Kali ini, segerombolan anak itu benar-benar menghampiriku karena


aku tidak bisa mengembalikan bolanya pada mereka. Mereka, anak-
anak jahat itu merebut paksa tongkat yang sedang aku genggam. Aku
terus berteriak-teriak memohon kepada mereka agar tidak merusak
tongkat itu. Saat itu aku menangis memikirkan bagaimana dulu Ayah
bekerja keras banting tulang siang dan malam demi membelikan
tongkat itu untuk dijadikan hadiah ulang tahunku yang ke-7 tahun,
ulang tahun terakhir dimana aku bisa tersenyum bahagia. Tongkat yang
membuatku merasakan bahwa Ayah selalu bersamaku dan mengiringi
setiap langkahku. Mereka tertawa dengan angkuh dan menginjak-injak
tongkat berhargaku, memukul tongkat itu ke arah punggungku,
membenturkannya ke aspal. Tangan dan kakiku gemetar, bahkan untuk
menangis saja sesak. Aku tidak bisa menjaga apa yang kuanggap
berharga, maaf Ayah.
Langit dan laut saling membantu, mencipta awan hujan pun turun
dengan syahdu, seolah berusaha menemaniku dengan setiap rintiknya.
Anak-anak itu sudah meninggalkan jejaknya sejak tadi, meninggalkan
tongkatku yang kini tak berbentuk lagi. Entah sudah berapa banyak
keluhanku kepada Tuhan, kali ini aku memutuskan untuk tidak
mengeluh, aku tahu begitu banyak insan rapuh yang mengirimkan
keluhannya kepada Tuhan, aku harus memberikan kesempatan pada
yang lain. Aku pun melangkahkan kakiku yang basah terkena hujan
menuju rumah. Betapa beruntungnya aku dikelilingi banyak orang-
orang baik. Minggu lalu, warga sekitar bersama-sama membuat tali
yang dapat menuntunku ke rumah, mereka bilang ini antisipasi apabila
tongkatku rusak atau hilang. Aku selalu menemukan alasan untuk
bersyukur setiap harinya.

“Nenek, aku pulang..” ucapku sebelum memasuki rumah. Nenek


yang sedari tadi sedang sibuk memotong sayuran langsung
memusatkan pandangannya pada diriku yang sudah basah kuyup. “Ya
ampun, Nduk. Kenapa hujan-hujanan begini? Kan jadi basah kuyup.
Nenek ambilin handuk dulu ya, kamu guyur rambutmu pakai air hangat,
biar nggak sakit” ucapnya dengan nada khawatir.

Anda mungkin juga menyukai