Anda di halaman 1dari 3

Kesabaran Bintang

Oleh : Istikomah

Seperti tahun-tahun sebelumnya, warga desa berbondong menuju pemakaman umum


untuk melakukan ziarah masal mendoakan sanak famili yang sudah mendahului menghadap
Yang Maha Kuasa.

“Ibuk, Ibuk, berarti besok siang kita tak boleh makan dan minum ya?” tanya bocah
lelakiku yang bersiap hendak ikut ayahnya berziarah.

“ Yang namanya puasa ya gak boleh to, Sayang,” jawabku sembari membantu
merapikan lipatan sarung yang ia kenakan.

“Ntar kalau Bintang haus gimana, dong,” tanyanya lagi.

“Ya harus bersabar sampai waktunya berbuka. Kan puasa itu melatih manusia untuk
bersabar,” aku tersenyum.

“Sudah siap? Ayuk berangkat!” Ayah menggandeng putra kedua kami itu menuju ke
pemakaman.

***

Semua jamaah sudah memenuhi mushola hingga ke pelataran. Karena malam pertama
Ramadhan seperti ini, hampir semua warga sekitar Mushola Sabilillah mengikutinya. Namun
di pertengahan bulan, sudah dipastikan akan berkurang karena sebagaimana fitrahnya seorang
perempuan akan mengalami datang bulan sehingga tidak bisa mengikuti ibadah sunah di
malam bulan penuh berkah ini.

Suara muadzin mulai menyerukan iqomah disusul suara imam memulai sholat isya’
diikuti para makmum. Para jamaah begitu qusyu’ hingga shalat tarawih berlangsung. Namun
ketika sampai pada separuh tarawih, Bintang yang berada di sebelahku (karena barisan lelaki
sudah penuh) mulai nampak gelisah.

“Buk, sholatnya kok banyak sekali. Kapan selesainya? Bintang capek,” bisiknya usai
salam.
“Sebentar lagi, Sayang. Ayo semangat dong. Jangan sampai kalah sama setannya lho
ya?” jawabku sembari berbisik. Masih dengan raut muka yang masam, ia kembali mengikuti
tarawih hingga selesai.

Sepulang dari Mushola, bocah yang masih duduk di bangku TK B itu begitu bangga
mendapatkan pujian dari ayahnya karena tarawihnya yang lengkap tak terlewat satu pun.
Kemudian kami terbiasa meluangkan waktu beberapa menit untuk tadarus di rumah.
Sementara Bintang melancarkan beberapa hafalan surat pendek yang ia pelajari di sekolah.
Nonton TV tetap menjadi sebuah hiburan untuk berkumpul bersama keluarga sembari
memberikan pemahaman kepada si Bintang mengenai puasa Ramadhan. Sengaja kami
memilih waktu di sela-sela bersenda gurau karena lebih rileks dan tidak berkesan
menegangkan.

“Sekarang cepat tidur, gih. Jangan sampai besok terlambat makan sahur,” kata Ayah
sambil mengusap kepala putranya.

“Siap, Bos!” jawab bocah kecil itu sambil meletakkan tangan kanan di pelipis meniru
seorang tentara yang mematuhi perintah komandannya. Bergegas Ia menuju kamar,
merebahkan tubuh mungilnya tanpa lupa melafalkan doa sebelum tidur.

***

“Ibuk, ini sudah waktunya sahur, ya?”

“Aduh pinternya, Ibuk baru saja mau bangunin tapi sudah bangun sendiri.”

“Kan Bintang anak sholeh, Buk. Bintang mau puasa biar bisa masuk surga.”

“Aamiin. Ayah bangga padamu, Nak.”

Kami merasa sangat bangga memiliki seorang anak yang begitu penurut dan pintar
sepertinya. Sungguh karunia yang sangat luar biasa bagi kami sebagai orang tuanya. Tanpa
rasa malas ia pun menikmati makan sahur pertamanya. Kami sengaja membiasakan sahur
mendekati imsak, agar tak terlalu lama menunggu Subuh tiba. Usai sholat subuh, Bintang dan
Ayahnya melakukan jalan santai sebagai olah raga ringan di bulan suci Ramadhan.
Sementara aku menunaikan tugas rumah tangga sebagaimana umumnya.
Bulan Ramadhan ini, Bintang tetap masuk sekolah seperti biasa. Hanya saja, waktu
dalam kegiatan belajar mengajar dikurangi. Jadi, dia bisa pulang satu jam lebih awal dari
biasanya.

“Ibuk, Bintang haus. Bintang juga lapar,” rajuknya setelah melepaskan seragam
sekolah.

“E, ini kan puasa, Sayang. hayo, lupa ya?” jawabku kemudian.

“Tapi Bintang haus dan lapar banget, Buk. Gak tahan,” rajuknya lagi.

“Sabar, kan puasa itu harus sabar. Yuk, kita nonton TV biar tidak berasa,” aku terus
berusaha menghiburnya. Akhirnya ia mulai melupakan haus dan lapar yang dirasakan.
Namun itu pun tak berlangsung lama. Ketika acara TV mulai tak ada yang ia sukai, ia pun
kembali merajuk lagi.

“Katanya anak sholeh, harus sabar dong,” hiburku lagi.

“Tapi kalau nanti Bintang mati bagaimana?”

Aku tersenyum mendengar jawaban polosnya. Kucoba berupaya untuk terus


menghiburnya dan memberikan pengertian tentang kesabaran puasa. Akhirnya, ia pun
terlelap setelah mendengarkan cerita anak islami yang kubacakan. Beberapa jam kemudian ia
terbangun dan melihat jam sudah menunjuk ke angka dua.

“Ibuk, kok sudah jam dua. Kan aku puasa bedug. Berarti sudah lewat, aku gak boleh
makan dan minum lagi huaa ...” bocah kecil itu menangis menjatuhkan beberapa pukulan
kecil ke arahku.

Dengan sabar kutenangkan dia dengan memberikan penjelasan sesuai batas pikirnya.
Akhirnya ia pun bergegas sholat dhuhur dan berbuka puasa. Begitulah kisah Bintang saat
berlatih puasa Ramadhan tahun ini. Semoga di tahun yang akan datang ia bisa menjalani
puasa sehari penuh. Amin.

Anda mungkin juga menyukai