031/Bet.Fil./Fil./VIII/2020
Pendahuluan
Indonesia berada di situasi dilematis antara dunia pendidikan dan outputnya: jika sistem
pendidikan Indonesia sudah berjalan dengan baik, mengapa masih banyak terjadi pelanggaran
nilai-nilai moral dalam tata hidup bersama? Masyarakat Indonesia dewasa kemudian mengkritisi
hakekat dan tujuan pendidikan Indonesia. Beragam tinjauan kritis-akademis pun kemudian
bermunculan dalam pergumulan kembali tentang hakekat pendidikan Indonesia. Dalam beragam
tinjauan kritis maupun pergantian kurikulum pendidikan di Indonesia, satu poin yang ditekankan
sedemikian rupa dalam sistem pendidikan Indonesia adalah pengembangan pendidikan karakter
dan moral bagi para siswa.1 Sudah menjadi rahasia umum bahwa karakter pendidikan Indonesia
lebih menekankan kemampuan akademis daripada dimensi karakter dan moral.
Public Agenda,2 sebuah organisasi internasional non-profit yang membantu para pemimpin
dan anggota masyarakat dalam memetakan isu-isu kompleks, dalam surveynya menunjukkan
bahwa para siswa, orang tua maupun pihak sekolah menginginkan proporsi pendidikan moral dan
karakter yang cukup besar dalam kurikulum pendidikan (Public Agenda, 1994 dan 1997). Secara
global, krisis pendidikan karakter dan moral tampaknya sudah mencapai titik puncak. Pendidikan
karakter dan moral menjadi kebutuhan setiap manusia di segala tempat.
Salah satu tokoh yang dapat dipelajari pemikirannya berkaitan dengan pendidikan karakter
dan moral adalah Lawrence Kohlberg (1981). Kohlberg mengembangkan studi tentang
pendidikan, penalaran dan perkembangan moral. Tulisan ini akan lebih banyak mengulas
pemikiran Lawrence Kohlberg dan kritik atas pemikirannya.
1
Konsep ini bisa dilihat dalam pembaharuan Kurikulum 2013 di link:
http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/Paparan/Paparan%20Wamendik.pdf .
2
Public Agenda didirikan pada tahun 1975 oleh seorang ilmuwan sosial dan penulis Daniel Yakenlovich bersama
dengan mantan Sekretaris Negara AS Cyrus Vance. Public Agenda didirikan dengan tujuan membantu masyarakat
umum untuk memahami isu-isu tentang kebijakan penting, juga membantu para pemimpin dunia untuk melihat sudut
pandang publik atas fenomena tertentu.
3
Sebagai pembanding, bisa dilihat di https://www.britannica.com/biography/Lawrence-Kohlberg atau juga dari John
Snarey & Peter Samuelson, “Pendidikan Moral dalam Tradisi Perkembangan Kognisi: Ide-Ide Revolusioner Lawrence
Kohlberg”, dalam Larry P. Nucci & Darcia Narvaez, Handbook Pendidikan Moral dan Karakter, terj. Imam
Baehaeqie dan Derta Sri W., Bandung: Penerbit Nusa Media, 2014.
1 | www.betangfilsafat.org
BETANG FILSAFAT
031/Bet.Fil./Fil./VIII/2020
hak pribadi dan juga mengenai kapitalisme. Sejak masih bersekolah di pendidikan dasar, ia juga
sering dihukum karena memberontak atas tindakan sekolah yang sewenang-wenang.
Setelah ia lulus SMA di Phillips Academy (Andover, Massachusetts), Lawrence Kohlberg
memutuskan bergabung dengan US Merchant Marine dan melakukan perjalanan ke Eropa pada
akhir Perang Dunia II. Dalam perjalanan itulah ia kemudian menyaksikan dan mengalami
perjumpaan dengan para korban kekejaman Nazi, yaitu kaum Yahudi. Perjumpaan ini menjadi
begitu penting bagi pemikiran Kohlberg karena dari pengalaman inilah ia memiliki “alasan moral
untuk membangun identitasnya” (Snarey & Samuelson, 2008).
Setelah masa kerjanya di US Merchant Marine selesai, Lawrence Kohlberg kemudian
kembali ke Eropa lagi dan bergabung sebagai anggota kru kapal Paducah. Kapal ini disewa oleh
Haganah, sebuah organisasi militer Zionis. Kapal ini digunakan untuk menyelundupkan kaum
pengungsi Yahudi Eropa. Hal yang cukup penting untuk diperhatikan dalam pilihan Kohlberg
untuk membantu para pengungsi Yahudi Eropa ini adalah disposisi moralnya pada saat itu:
manakah yang lebih penting antara mematuhi hukum ataukah membantu kaum tertindas ini untuk
merdeka dan memiliki negara sendiri di Palestina? Selain itu, Kohlberg juga menilai tindakan
Holocaust yang dilakukan oleh Nazi Jerman merupakan suatu tindakan yang benar-benar
mengerikan dan “aneh” dari sisi logika pendidikan.
Pada tahun 1948, Kohlberg kembali ke Amerika dan masuk Universitas Chicago. Di sana
ia menekuni studi Psikologi selama setahun dan memperoleh gelar Doktor Psikologi pada tahun
1958. Selama menyelesaikan studi doktoralnya, Kohlberg tertarik pada pemikiran Jean Piaget.
Piaget merupakan seorang psikolog yang menekuni bidang pengembangan moral. Piaget ini yang
kemudian banyak juga mempengaruhi pemikiran Kohlberg.
2 | www.betangfilsafat.org
BETANG FILSAFAT
031/Bet.Fil./Fil./VIII/2020
Tahap amoral dialami oleh anak-anak yang baru lahir hingga usia 2 tahun. Pada tahap ini,
anak-anak belum memiliki pemahaman tentang moralitas dan aturan.
2. Moralitas Heteronom
Dalam moralitas ini, manusia digerakkan atas dasar rasa hormat atas otoritas atau aturan
tertentu, jadi, moralitas yang mendasarinya adalah kekuasaan ataupun legalitas. Dengan
demikian, moralitas dilihat dari dimensi “hitam-putih”. Jika bersalah, seseorang akan
dihukum sebagai konsekuensinya.
3. Moralitas Otonom
Perspektif moralitas otonom melihat kesetaraan antar sesama manusia, sikap saling
menghormati dan penghargaan atas hakekat kemanusiaan sebagai dasar dalam berelasi.
Manusia dalam moralitas otonom ini sudah “meninggalkan” mentalitas taat pada otoritas
atau aturan sebagai satu-satunya kebenaran. Dengan nalarnya, manusia bisa
mempertimbangkan apa yang baik dan benar bagi sosietasnya.
Dalam perspektif Piaget, manusia yang berkembang secara kognitif akan terarah pada
moralitas otonom karena ia sudah mengerti hakekat dari moralitas. Piaget juga membagi tahapan
perkembangan moral manusia menjadi empat tahap. Gagasan Piaget tentang moralitas heteronom
dan otonom ini kemudian nantinya dielaborasi oleh Lawrence Kohlberg dalam teorinya tentang
tahap-tahap perkembangan moral.
Dari penjelasan singkat di atas, bisa dipahami jika Jean Piaget menentang dengan keras
gagasan Emile Durkheim (1858-1917) yang menyatakan bahwa pengetahuan moral merupakan
warisan dari guru atau orang tua. Dengan demikian, pendidikan menurut Durkheim bersifat
indoktrinasi kebajikan moral. Bagi Durkheim, sosialisasi moral merupakan tugas dari lembaga
pendidikan walaupun ia menyadari bahwa manusia memiliki tiga unsur moralitas seperti semangat
disiplin, keterikatan sosial dan otonomi yang menyebabkannya memiliki pilihan bebas (Durkheim,
Moral Education, 1925).
3 | www.betangfilsafat.org
BETANG FILSAFAT
031/Bet.Fil./Fil./VIII/2020
Menurut Durkheim, pendidikan hanya menjadi nyata dan hidup ketika anak dimasukkan dalam
suatu kelompok sosial. Dari kelompok dan proses sosial yang terjadi di dalamnya, anak bisa belajar
tentang moralitas. Dengan demikian, Kohlberg menyimpulkan bahwa perkembangan kognitif-
moral anak dilakukan oleh anak itu sendiri dengan mengelaborasi realitas sosial yang ia hidupi.
Dalam pemahaman ini, pendidikan moral anak jelas terjadi dalam sebuah lembaga pendidikan
yang memberikan ruang bagi anak untuk menalar dan mengelaborasi sendiri penilaian moral yang
ia butuhkan dalam memahami realitas sosial di hadapannya.
4 | www.betangfilsafat.org
BETANG FILSAFAT
031/Bet.Fil./Fil./VIII/2020
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri atau juga orang lain. Relasi manusia dilihat
seperti pasar: berjalan sejauh kebutuhan dipenuhi.
2. Tingkat II: Konvensional
Dalam tingkatan ini, kebaikan dilihat sejauh anak bisa melakukan apa yang diharapkan
oleh orang lain. Tingkatan ini biasanya juga disebut tingkat konformitas. Namun bukan
hanya soal konformitas, loyalitas pada kelompok di luar dirinya (keluarga, sekolah,
pertemanan) menjadi suatu nilai yang baik. Anak mulai mengidentifikasikan dirinya
dengan kelompok lain. Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap:
Tahap III: Orientasi Anak yang Baik
Dalam tahapan ini, anak menyesuaikan diri dengan kelompok lain, bahkan ia bisa
bersikap altruistik. Anak tidak lagi mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Ia
menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menjaga relasi dengan kelompok
lainnya. Agar dinilai sebagai anak yang baik, ia bertindak sesuai dengan harapan
kelompoknya.
Tahap IV: Moralitas Pelestarian Otoritas dan Peraturan Sosial
Dalam tahap ini, loyalitas pada kelompok berganti ke arah loyalitas pada hukum.
Hukum dan peraturan dilihat sebagai fondasi yang mempertahankan kelompok
sosial. Jika ia tidak menaati aturan kelompok, ia akan menjadi pribadi yang ditolak
oleh kelompok tersebut.
3. Tingkat III: Pasca-Konvensional
Pada tingkat ini, manusia memelihara moralitas yang ia terima sendiri. moralitas bagi
manusia di tingkat ini tidak lagi berasal dari ucapan orang ataupun hukum yang berlaku.
Manusia di tingkat ini sudah bisa memperoleh nilai-nilai moral yang sahih dan bersifat
universal untuk kemudian dijadikan sebagai miliknya sendiri. Tingkat ini dibagi menjadi
dua tahap:
Tahap V: Moralitas Kontrak Sosial dan Hak-Hak Individu
Dalam tahap ini, manusia menemukan kebenaran setelah mempertimbangkan hak-
hak individu secara umum yang telah dikaji secara kritis. Legalitas hukum memang
diperhatikan, namun tetap prioritas utama adalah kesejahteraan masyarakat. Dalam
tahap ini, keyakinan moral memang lebih fleksibel menyesuaikan demi keuntungan
kelompok yang lebih besar. Manusia mencari opsi terbaik dari yang baik.
Tahap VI: Moralitas Prinsip-Prinsip Individu dan Conscience
Dalam tahap keenam ini, kebenaran berasal dari suara hati individu manusia setelah
ia memahami prinsip-prinsip universal tentang moralitas keadilan, HAM dan
penghormatan terhadap martabat manusia. Rasionalitas yang dimiliki oleh manusia
memampukan ia untuk memiliki prinsip-prinsip moral yang tegas. Ketika ada
hukum yang mungkin bertentangan dengan prinsip moralnya ini, ia tak akan segan-
segan untuk menentang atau tidak mematuhinya.
5 | www.betangfilsafat.org
BETANG FILSAFAT
031/Bet.Fil./Fil./VIII/2020
Penutup
6 | www.betangfilsafat.org
BETANG FILSAFAT
031/Bet.Fil./Fil./VIII/2020
DAFTAR PUSTAKA
Blatt, M. & Kohlberg, L. “The Effects of Classroom Moral Discussion upon Children’s Level of
Moral Judgments” dalam Journal of Moral Education, IV. 1975.
Durkheim, E. Moral Education: A Study in The Theory and Application of The Sociology of
Education. New York: Free Press. 1925.
Hock, R. Roger. Fourty Studies That Changed Psychology. New Jersey: Prentice Hall. 1999.
Kohlberg, L. "The Child as a Moral Philosopher" dalam PSYCHOLOGY TODAY, Vol. 2, No. 4.
1968.
Kohlberg, L. & Turiel, E. “Moral Development and Moral Education” dalam Lesser, G.
Psychology and Educational Practice. Chicago: Scott Foresman. 1971.
Piaget, J. The Moral Judgement of The Child. New York: Free Press. 1932.
Suparno, Paul. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. 2001.
7 | www.betangfilsafat.org