Anda di halaman 1dari 21

PENDIDIKAN LIBERAL

Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan


seseorang, yaitu sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya
menjadi bekal dalam kehidupan ditengah masyarakat. Pendidikan tidak pernah lekang
oleh waktu, akan terus menerus menjadi isu yang menarik dan aktual untuk dibahas.
Dewasa ini, pendidikan tengah diuji untuk mampu memberikan jawaban yang
menyulitkan, yakni antara melegitimasi atau melanggengkan sistem dan struktur
sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan kritis dalam melakukan
perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil. Kedua peran
pendidikan tersebut hanya bisa dijawab melalui pemilihan paradigma dan ideologi
pendidikan yang mendasarinya (Fakih 2008: xii). Setidaknya ada tiga ideologi yang
berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kritis (Henry
Giroux dan Aronowitz 1985 dalam Fakih 2008: xiii). Perbedaan dari ketiga ideologi
tersebut adalah bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya.
Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh
pendidikan dengan ideologi tertentu. Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang
ideologi pendidikan liberal saat ini.

A. Pengertian Ideologi Liberal


Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian.
Kata kerja Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata logi yang berasal
dari bahasa Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi Ideologi mempunyai arti
pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas
atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari
menurut Kaelan idea disamakan artinya dengan cita-cita. Antoine Destutt de Tracy
(1754-1836M), seorang bangsawan yang bersimpati pada revolusi Perancis (1789),
pengikut rasional gerakan pancerahan, menciptakan istilah ideologi Pada 1796. Ia

1
memandang ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia yang mampu
menunjukkan arah yang benar menuju masa depan.
Pengertian ideologi, juga dikemukakan oleh Eagleton bahwa ideologi
dipahami sebagai cara pandang terhadap dunia, termasuk didalamnya nilai-nilai, ide,
maupun simbol-simbol yang bermakna dalam hidup seseorang atau masyarakat.
Dalam arti ini ideologi memiliki makna netral positif. Namun Eagleton juga
mencatat, bahwa ideologi juga bisa bermakna negatif, yakni ideologi sebagai ide-ide
yang membenarkan kekuatan politik dominan di masyarakat, ide-ide palsu yang
membenarkan struktur kekuasaan tertentu, komunikasi yang terhambat akibat
kepentingan, dan cara berpikir identitas yang melihat dunia secara hitam putih
(Eagleton 1991).
Sementara itu, ONeill (2008) mengatakan bahwa ideologi adalah pola
gagasan yang mengarahkan dan menggerakkan tindakan-tindakan dalam pendidikan
dipandang sebagai sistem nilai atau keyakinan yang mengarah dan menggerakkan
suatu tindakan sosial. Dengan demikian ideologi pendidikan membahas dan mengkaji
sistem nilai atau pola gagasan yang menggerakkan tindakan pendidikan inilah yang
sering dalam posisi out side kesadaran kita (pendidikan). Sehingga subjek pendidikan
sering awam atau mungkin pura-pura awam dengan sistem nilai atau gagasan
tersebut. Implikasinya orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan, utamanya
peserta didik, terpasung dan terformat oleh pola gagasan yang berada di luar
kesadarannya. Akibatnya dunia pendidikan dijadikan alat legitimasi penguasa untuk
mempertahankan status quo dengan cara memasung kebebasan akademik atas
nama asas Pancasila.
Liberal memiliki arti bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka)
(KBBI 2001). Golongan liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada
masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan
persoalan politik dan ekonomi masyarakat, sehingga tugas pendidikan tidak ada
kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian,
kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan

2
ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan dengan cara memecahkan masalah-
masalah yang ada dalam dunia pendidikan (Fakih 2008: xiii-xiv).
Paradigma ideologi pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam
teori ilmu pengetahuan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat yang sesuai dengan paham, teori dan tujuan yang merupakan satu
program sosial politik yang bebas berpandangan luas dan terbuka. Paradigma Liberal,
berangkat dari keyakinan bahwa tidak ada masalah dalam sistem yang berlaku
ditengah masyarakat, masalahnya terletak pada mentalitas, kreativitas, motivasi,
ketrampilan teknis, serta kecerdasan anak didik. Paradigma pendidikan liberal
kemudian menimbulkan suatu kesadaran, yang dengan meminjam istilah Freire
(1970) disebut sebagai kesadaran naf. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran
ini adalah lebih melihat `aspek manusia` menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achevement' dianggap
sebagai penentu perubahan sosial. Kaum liberal menganalisa, mengapa suatu
masyarakat miskin, dikarenakan kesalahan masyarakat itu sendiri, yakni mereka tidak
memiliki jiwa kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun. Oleh karena
itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu
perubahan (Fakih 2008: vii)

B. Prinsip Dasar Ideologi Pendidikan Liberal


Prisip-prinsip dasar ideologi pendidikan liberal (Oneill 2008: 355-356)
meliputi:
1. Seluruh hasil kegiatan belajar adalah pengetahuan personal melalui pengalaman
personal (relatifisme psikologis).
2. Seluruh hasil kegiatan belajar bersifat subyektif dan selektif (subyektifisme).

3
3. Seluruh hasil kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian inderawi
(empirisme, behaviorisme, materialisme dan empirisme biologis).
4. Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses pemecahan masalah secara aktif
dalam pola coba dan salah (trial and error) (pragmatisme dan instrumentalisme).
5. Cara belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan oleh perintah-
perintah eksperimental yang mencirikan metoda ilmiah, dan pengetahuan terbaik
adalah yang paling selaras dengan (atau yang paling mungkin berdasarkan)
pembuktian ilmiah yang sudah dianggap sahih sebelumnya (eksperimentalisme
filosofis dan eksperimentalisme ilmiah).
6. Pengalaman paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
selanjutnya dan karena itu juga paling penting artinya (psikologis
developmentalistis).
7. Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi
emosional dari perilaku (hedonisme psikologis).
8. Sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman sosial mengarahkan dan mengendalikan sifat-
sifat hakiki dan isi pengalaman personal, dan dengan begitu juga mengarahkan dan
mengendalikan pengetahuan personal (relatifisme budaya).
9. Penyelidikan kritis dari jenis yang punya arti penting hanya bisa berlangsung
dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis yang memiliki komitmen terhadap
ungkapan umum pemikiran dan perasaan individual (demokrasi sosial).
10. Jika dalam kondisi-kondisi yang optimal, anak yang berpotensi rata-rata bisa
menjadi efektif secara personal dan bertanggungjawab secara sosial.
Prinsip-prinsip dasar tersebut diatas, secara ringkas, dapat dikatakan bahwa
manusia dalam mencari kesenangan/kenikmatan dan kebahagiaan menuntut adanya
perilaku efektif. Perilaku efektif menuntut adanya pemikiran efektif, dengan
menggunakan kecerdasan terlatih yang didasarkan pada ilmu pengetahuan serta nalar.
Ilmu dan nalar menuntut adanya kebudayaan yang mendukung. Sedangkan budaya
yang mendukung harus disertai nilai-nilai moral kemanusiaan (kebebasan berbicara,
kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan semacamnya). Semua itu akan

4
menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan dalam sebuah pola sinergisme positif
(Oneill 2008: 352).

C. Liberalisme, Neoliberalisme dalam Pendidikan


1. PandanganLiberalismedanNeoliberalisme
Idealisme liberal sesungguhnya adalah produk dari modernisasi Barat yang
telah menggilas cara pandang lama yang membuat cara berpikir manusia
dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya. Ide modernisme yang menonjol adalah
pencerahan (enlightment), sebuah proses kesadaran dari belenggu adat dan budaya
kegelapan yang memasung pikiran manusia selama berabad-abad.
Liberalisme klasik melahirkan banyak pemikir yang memiliki cita-cita untuk
mengangkat individu menjadi pemilik dunianya secara otonom dan membebaskan
diri dari penghalang yang memasung kebebasan indvidu untuk mengekspresikan diri
sebagai manusia. Karenanya liberalisme dan individualisme biasa menjadi suatu hal
yang tak terpisahkan. Keduanya membentuk suatu ideologi dan cara pandang yang
sangat penting bagi awal-awal pertumbuhan ide-ide modern di Barat.
Tradisi berpikir liberal dapat diidentifikasi menjadi enam prinsip dasar yang
pernah disebutkan oleh Julio Teehankee (Soyomukti, 2015: 142), seorang pemikir
liberal asal Filipina:
a) Individualisme; Kaum liberal percaya bahwa pribadi atau individu adalah
sesuatu yang sangat penting. Seluruh kebijakan liberal mengarah atau
diarahkan untuk memmberikan ruang kepada kebebasan dan hak-hak
individu. Bagi liberal, individualisme lebih penting dari kolektivisme.
b) Rasionalisme; Kaum liberal percaya bahwa dunia memiliki struktur yang
rasional, yang dapat dipahami secara logis. Keteraturan dunia bisa dipahami
lewat deliberasi pikiran dan pencarian kritis terus menerus.
c) Kebebasan; Tak ada kata yang lebih penting bagi seorang liberal selain
kebebasan. Kebebasan adalah kemampuan untuk berpikir dan bertindak sesuai

5
dengan mata hati (conscience) dan determinasi. Seluruh filosofi liberalisme
berangkat dari kebebasan manusia.
d) Tanggungjawab; Kebebasan tanpa tanggungjawab dalah keliaran. Orang
sering salah memahami liberalisme sebagai liarisme. Liberalisme adalah
kebebasan plus tanggung jawab.
e) Keadilan; Kaum liberal percaya bahwa keadilan adalah nilai moral yang harus
dijunjung tinggi, Keadilan bukan berarti mengorbankan hak seseorang demi
membela hak yang lainnya. Keadilan adalah pemberian kesempatan kepada
setiap individu untuk bersaing dan menggapai hak-haknya,
f) Toleransi; Sebuah sikap menerima atau menghormati pandangan atau
tindakan orang lain, sekalipun pandangan atau tindakan itu belum tentu
disetujuinya. Toleransi adalah dasar bagi kebersamaan dan kerukunan hidup.
Tanpa toleransi, kebebasan tidak dapat ditegakkan.
Idealismenya seperti itu, meskipun pada kenyataannya nilai-nilai ideal dalam
banyak hal tidak terwujud. Terlalu banyak teriak kebebasan, tetapi dia tidak berbuat
apa-apa untuk memperolehnya atau sudah mendapatkan kebebasan untuk dirinya
sendiri, tetapi membiarkan orang lain terpasung, atau kebebasan yang mengasingkan.
Kebebasan semacam ini kadangkala tak berakar pada relaitas.
Para pencetus liberalisme sesungguhnya menggagas nilai-nilai yang
dianggapnya ideal bagi watak manusia, mereka memandang tiap orang pada dasarnya
dilahirkan bebas, dan memiliki nilai-nilai moral yang berbeda. John Rawl misalnya
mengatakan: Bahwa kita memiliki satu konsep mengenai kebaikan yang lebih baik
dari pada konsep lain tidaklah relevan dari sudut pandang moral.
Liberalisme dewasa ini menerima tesis Weber bahwa nilai-nilai bukanlah
bagian dunia objektif. Dunia nilai adalah soal pilihan individu. Pandangan bahwa
dunia tidak mengandung nilai-nilai objektif sering bersamaan dengan pandangan
mereka mengenai kebebasan, yaitu individu bebas untuk memilih nilainya sendiri.
Mendasari tekanan liberal atas kebebasan orang untuk memilih konsep-konsep
mereka sendiri tentang kebaikan adalah kegagalan liberalisme untuk menghadapi

6
kearbitreran kebabasan ini, yang mana orang dikosongkan dari standar-standar untuk
mengerahkan pilihan mereka. Kenyataan yang menindas kebebasan ini adalah proses
rasionalisasi, tujuan-tujuan konsumsi, dan kekuasaan yang didesakkan secara social.
Inilah yang membuat Ross Poole menyakini bahwa liberalisme adalah nihilisme.
Sedangkan paham neoliberalisme sesungguhnya merupakan eksistensi dari
paham kapitalisme liberal, yaitu paham liberalisme yang sudah mengarah pada sektor
ekonomi, paham ekonomi politik free market. Paham yang membatasi peran
pemerintah dalam mengelola pasar, dan pengekangan pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah.
2. SekilasSejarahLiberalismedanNeoliberalisme
Benih-benih pemikiran liberal dapat dirunut dari zaman sebelumnya, Filsuf
yang dianggap punya sumbangan bagi pemikiran liberal adalah Aristoteles (Athena,
384-322SM). Karya yang bejudul Politik dianggap telah memberi kontribusi bagi
tradisi menghormati hak-hak individu. Meskipun tak disebutkan istilah hak dan
bahkan ia masih menyetujui perbudakan, ia dianggap memiliki andil dalam
memberikan pandangan tentang pemerintahan yang berbeda dengan pemikiran filsuf
kuno pada zamannya.
Pada abad ke 15 muncullah seorang pemikir liberal bernama Niccolo
Machievelli (Florence, 1469-1527), yang terkenal dengan bukunya Il Principle. Ia
disebut sebgai penggagas filsafat politik realistis. Ia menginginkan bentuk
pemerintahan republik, tentara warga Negara, pemisahan kekuasaan, perlindungan
kepemilikan pribadi, dan pengendalian pengeluaran pemerintah diperlukan sebagai
bentuk kebebasan sebagai dasar republik. Ia menulis secara panjang lebar perlunya
inisiatif individual sebagai hal yang sangat penting bagi pemerintahan yang stabil. Ia
berpandangan bahwa kebebasan adalah keutamaan yang harus dilindungi pemerintah,
dan rakyat yang baik akan membuat hukum yang baik. Jadi pemikiran anti Negara
dan pengagum kebebasan individual yang dipahami para liberalis modern banyak
dipengaruhi oleh pemikir Italia ini.

7
John Locke (Inggris, 1632-1704) yang melontarkan gagasan pemerintah
dengan persetujuan yang diperintah (government with the concent of the governed)
dan hak-hak natural seperti hak untuk hidup, kebebasan, dan toleransi. Kepemilikan
pribadi juga ditegaskan.
Adam Smith (Inggris, 1723-1790), sering dianggap sebagai pendiri ekonomi
liberal modern yang meletakkan dasar-dasar pemikiran liberal dalam ilmu ekonomi;
perdagangan dan kompetisi bebas.8 Pemikirannya dikembangkan oleh Friedrich von
Hayek (1899- 1992) yang dikenal sebagai bapak neoliberalisme yang membangkitkan
lagi ide pasar bebas pada akhir abad 19. Hayek menganggap Negara harus diatur
dengan hukum, tetapi harus menghindari intervensi terhadap masalah individu dan
pasar. Pemikirannya dielaborasi lebih jauh oleh Milton Friedman (Amerika Serikat,
1912-2006). Liberalisme dan neoliberalisme yang merupakan keberlanjutannya
sangat dominan pada era sekarang. Milton Friedman berpendapat bahwa
perkembangan moneter merupakan unsur penting yang menentukan dalam
perkembangan produksi, kesempatan kerja, dan penentuan harga-harga; bahwa
pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan unsur paling bisa diandalkan dalam
perkembangan moneter; beredar berpengaruh terhadap tingkat inflasi dan GNP dalam
jangka panjang.
Penyeru liberalisme yang paling bergaung pada akhir abad 20 adalah Francis
Fukuyama yang berkeyakinan bahwa liberalisme adalah akhir dari sejarah dan tak
mungkin akan dikalahkan oleh ideologi lain karena ideologinya sangat ideal dan
sesuai dengan manusia.
Ramalan Fukuyama yang dilontarkan sejak hampir 20 tahun itu adalah kisah
tentang kemenangan abadi demokrasi-liberal (kapitalisme-neoliberal), yang
berangkat dari fakta bahwa ekonomi- politik free market telah diterima secara meluas
oleh mayoritas pemerintah di dunia waktu itu.
Provokasi Fukuyama tentang akhir sejarah mendapatkan penolakan yang
keras dan meluas dari berbagai kalangan, di antaranya Jacques Derrida. Kritik yang
terpenting adalah menyamaratakan perbedaan besar antara yang ideal dan yang riil

8
dalam kiatannya dengan demokrasi liberal. Pernyataan yang gegabah Fukuyama
dalam pengantar bukunya yang terkenal itu berbunyi, Sementara sejumlah Negara
saat ini mungkin gagal menciptakan demokrasi liberal yang stabil, dan negara-negara
lain mungkin justru merosot ke dalam bentuk-bentuk pemerintahan lain yang lebih
primitif seperti teokrasi atau kediktatoran militer, sedangkan idealitas dari demokrasi
liberal tak dapat disempurnakan lagi.
3. PengaruhPahamLiberalismedanNeoliberalismeterhadapPendidikan
Pengaruh paham liberalisme tidak hanya pada politik, sosial, dan ekonomi,
tetapi juga pada pendidikan. Yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan serta mengidentifikasi
problem dan upaya perubahan sosial secara inskremental demi menjaga stabilitas
jangka panjang.
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang
individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya
kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme.
Pengaruh liberalisme dan neoliberalisme dalam pendidikan dapat dianalisis
dengan melihat komponen-komponen sebagi berikut:
a) Komponen pengaruh filsafat Barat tentang manusia universal, yaitu manusia yang
rasional liberal. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep manusia
rasional liberal seperti pertama, semua manusia memiliki potensi sama dalam
intelektual; kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh
akal; ketiga, individualis, yakni adanya anggapan manusia adalah atomistik dan
otonom. Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan
bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil
karena ketertarikan anggotanya yang tidak stabil.
b) Sekolah; Kaitannya dengan sekolah, pendidikan liberal menganggap tujuan
sekolah menyediakan informasi dan ketrampilan yang diperlukan oleh siswa
supaya belajar sendiri secara efektif. Sekolah mengajar siswa bagaimana

9
menyelesaikan masalah praktis melalui penerapan tata cara penyelesian masalah
secara perseorangan maupun kelompok, berdasarkan metode-metode ilmiah-
rasional. Jadi pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk pemecahan masalah
praktis.
Tradisi liberal mengajarkan suatu sistem pendidikan yang jauh dari model
doktriner dan berusaha menghilangkan tradisi-tradisi pengekangan terhadap
individu atau pencekokan-pencekokan dogma feodalistik yang menyokong
tatanan politik yang otoriter dan totaliter. Tekanan pada cita-cita kebebasan dan
individualisme dan ketidaksukaannya pada kolektivisme dan aturan membuat
pendidikan liberal kebablasan karena anak didik kehilangan kedisiplinan yang
seharusnya didapat dari upaya mendisiplinkan mereka lewat pendidikan sekolah
dan lembaga-lembaga yang harus mengatur siswa agar terlatih disiplin. Kaum
liberalis berkeyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk
urusan masalah pendidikan. Namun mereka beranggapan masalah pendidikan
tidak akan ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi
masyarakat. Tetapi pendidikanlah yang bisa menyesuaikan dengan perubahan
arah politik dan perkembangan dunia perekonomian.
Ide-ide sentral pendidikan berdasarkan toeri ini berkisar pada penerapan dari
konsep-konsep rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Pendidikan adalah
distribusi demokratis dari rasionalitas, dengan perlakuan yang berimbang antara
kebebasan dan kesamaan, antara hak dan kewajiban, pada subjek anak didik.
Secara logis perkembangan teori sumber daya manusia ini adalah penyebaran
secara demokratis dari rasionalitas, dengan pemerataan jalan yang serasi dengan
asas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan (liberty, equality, and fraternity).
Walaupun teori ini dianggap cukup menjanjikan dalam dunia pendidikan,
sebagaimana diungkap oleh John Dewey dan pengikut- pengikutnya bahwa anak
yang aktif mental dan fisik akan mendatangkan kebaikan-kebaikan pada anak
maupun masyarakat. Misalnya, bila anak yang mempunyai cukup kebebasan
untuk mempelajari suatu kemungkinan besar akan menyerapnya dengan baik. Ini

10
berarti akan berguna bagi dirinya. Dan bila hal semacam ini dialami oleh banyak
orang, maka akan berguna bagi masyarakat.
Akan tetapi ada beberapa kelemahan dalam teori ini sebagaimana diungkap oleh
Kneller bahwa pandangan di atas cukup logis, tetapi mengandung kelemahan,
yaitu:
1) Tidak jelasnya kriteria yang digunakan untuk mengukur atau menentukan apa
yang disebut kebaikan atau kegunaan tersebut. Bila hal itu diserahkan saja
kepada subjek didik akan keluarlah pendapat yang bermacam-macam yang
sifatnya individualistis.
2) Sekolah hendaknya menjadi replika dari masyarakat. Justru dalam titik inilah
letak idealisme dari progresivisme. Sekolah berbeda bila dibandingkan
dengan masyarakat pada umumnya, karena sekolah adalah masyarakat
khusus. Masyarakat khusus, yaitu masyarakat belajar. Jadi ruang lingkup
gerak sekolah sebagai masyarakat lebih sempit dibandingkan dengan
masyarakat pada umumnya.
Akan tetapi, kalau kenyataan di atas dikaji dalam perspektif paradigma
pendidikan menurut Giroux and Aronowtz yang mengategorikan pendekatan
pendidikan menjadi tiga aliran, yakni pendekatan konservatif, liberal dan kritis
serta mengupas bagaimana masing-masing paradigma pendidikan tersebut
berimplikasi terhadap sub sistem pendidikan lainnya, yaitu kesadaran manusia,
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical
consciousness), kesadaran naif (naival consciousness), dan kesadaran kritis
(critical consciousness).

c) Pandangan Liberal tentang anak dan siswa sebagai berikut:


1) Individu dipandang sebagai pribadi yang unik, yang menemukan kepuasaan
terbesar dalam mengungkapkan dirinya menanggapi kondisi-kondisi yang
berubah. Anak umumnya cenderung menjadi baik berdasarkan konsekuensi-
konsekuensi alamiyah dari perilakunya sendiri.

11
2) Anak adalah individu yang merupakan unit psikologis yang relatif otonom,
yang bergerak dalam menanggapi kondisi- kondisi personal dan sosial yang
selalu berubah- individualisme psikologis.
3) Ketidaksetaraan moral antar-perorangan sehubungan dengan nilai intrinsik
mereka sebagai perorangan, dan percaya pada kesetaraan fundamental antar-
perorangan jika persoalannya sampai kepada penerapan kecerdasan praktis
demi memecahkan masalah praktis yang sifatnya personal maupun sosial,
dipadukan dengan ketidaksetaraan yang sangat nyata.
4) Sifat-sifat kurikulum yang dibuat pun harus menekankan pada keefektifan
personal, berpusat pada masalah praktis.
d) Pandangan Liberal berkaitan dengan infra struktur, rasio perbandingan guru dan
murid, fungsi guru:
1) Infra-struktur; membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan peralatan
sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium.
2) Usaha menyehatkan rasio perbandingan antara guru dan murid.
3) Berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan
yang lebih efesien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group
dynamics), learning by doing, experimental learning, cooperative learning,
contextual teaching- learning (CTL) dan lain sebagainya.
4) Modernisasi dan pembaruan pembelajaran yang berpusat pada keaktifan dan
kebebasan individu katakanlah student centered education- masalah-masalah
yang terjadi di masyarakat bukannya berkurang atau hilang, melainkan dari ke
hari justru bertambah dan semakin menumpuk, hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan (liberal) telah mengalami kegagalan.
5) Fungsi guru diganti sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran.
6) Menonjolkan pembelajaran yang berfalsafah konstruktivisme; yaitu, masing-
masing anak mengkonstruk pengetahuannya sendiri-sendiri.
e) Demokrasi Pendidikan; Pendidikan liberal memandang bahwa dirinya punya cita-
cita kemanusiaan sebagaimana diidealkan para pencetus, penggagas, dan

12
praktisinya, ternyata tujuannya untuk memanusiakan manusia gagal. Demokrasi
dalam tradisi liberalisme adalah demokrasi bebas yang hanya slogan yang dalam
kenyataan tak diikuti dengan tindakan untuk memberikan mayoritas warga
bersuara, sekolah masih banyak yang elitis.
f) Kompetisi; Konsep penting dari pendidikan liberal dan neoliberal adalah
kompetisi atau persaingan. Hampir semua sekolah, taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi, didasarkan ideologi kompetisi. Sistem pemeringkatan adalah
salah satu wujud kompetisi. Mulai pendidikan dasar hingga tinggi, siswa
diorientasikan berkompetisi. Kompetisi bisa memberi manfaat, baik individual
maupun sosial, tetapi dengan kondisi-kondisi tertentu. Orang yang sudah kuat dan
mapan dalam ekonomi, pendidikan, dan modal tidak fair jika berkompetisi
dengan mereka yang lemah. Ini bukan kompetisi yang sehat, tetapi bias menjadi
eksploitasi dan kontraproduktif. Ketika ideologi kompetisi dijadikan basis
pendidikan, pendidikan tidak akan peduli dengan nasib mereka yang kalah.
Pendidikan tidak akan peduli dengan pertanyaan: akan dikemanakan mereka yang
bodoh, tidak mampu, dan miskin? Pertanyaan seperti ini tidak hanya tidak relevan
bagi kaum neoliberal, tetapi sudah jelas jawabannya: mereka akan jadi
pecundang, tersingkir, dan jadi warga kelas dua di masyarakat. Ini adalah
konsekuensi logis dari ideologi kompetisi.
Ketika ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan, sesungguhnya pendidikan
kita hanya didesain untuk kepentingan para pemenang, yaitu mereka yang cerdas,
pandai, dan kuat modal ekonomi dan modal sosial. Pendidikan kita tidak didesain
untuk kepentingan orang-orang miskin, tidak mampu, bodoh, dan lemah modal
ekonomi dan sosial. Dengan demikian, sebenarnya ideologi kompetisi hanya
menjustifikasi privilese orang-orang yang sudah kuat. Ada banyak efek dehuman
lainnya akibat ideology kompetisi dikalangan pelajar diantaranya
1) Hedonisme dan trendisme
Anak-anak yang kalah bersaing dalam ranah akademis dan lain-lain justru
akan lari pada kebiasaan hedonism. Perilaku tersebut adalah mencari

13
kesenangan dengan cara memamerkan kekayaan. Ia akan menunjukkan
dirinya dan akan selalu tampil trendi pada semua kegiatan sekolah. Selain itu
sekolah tidak mampu menahan serangan massif budaya massa yang hedonis
dan trendisme dimana artis merupakan panutan kata-kata para artis lebih
banyak menginspirasi pelajar disbanding para guru di sekolah.
2) Pacaran; Konsep dan praktik cinta yang melemahkan
Hal yang tidak kalah pentinngya dalam kehidupan remaja adalah perilaku
pacaran di sekolah maupun di kampus; mahasiswa sekarang kegiatannya
hanya menghabiskan waktu berdua bersama pacarnya. Bayangkan kuliah
duduk bareng, pulang bareng, makan bareng, lalu pulang menuju kos (tidak
jarang ada yang melakukan aktivitas seksual layaknya suami istri). Baru
setelah libido tersalurkan , bosan lalu berpisah dan baru beriteraksi dengan
temannya yang lain. Mereka menganggap kuliah sekedar sampingan dimana
libido dan nafsunya tumpul pada gadis cantik padahal kita tentu paham
interaksi yang hanya dengan itu-itu saja (pacar) tidak akan membuat otak
berkembang. Seharusnya libido dan nafsunya diarahkan untuk mencari dan
mengungkap misteri ilmu pengetahuan.
g) Pendidikan Komersial; Liberalisme yang mempengaruhi sektor ekonomi yang
pada akhirnya melahirkan neoliberalisme, dan neoliberalisme ini melahirkan
kapitalisme, dan kapitalisme mempengaruhi dunia pendidikan dalam segala
bentuk. Kapitalisme pendidikan akan melahirkan komersialisasi pendidikan.
Walaupun demikian, ada dua pengertian yang kontroverisal dalam pengertian
komersialisasi sebagai berikut: Pertama, Komersialisasi pendidikan yang
mengacu pada lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan mahal.
Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok
masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut
dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak meperdagangkan
pendidikan. Pemungutan biaya yang tinggi adalah untuk memfasilitasi jasa
pendidikan serta menyediakan infrastruktur pendidikan yang bermutu, seperti

14
menyediakan fasilitas teknologi informasi, laboratorium dan perpustakaan yang
baik, serta memberikan kepada para guru atau dosen gaji menurut standar. Sisa
anggaran yang mereka peroleh ditanamkan kembali dalam bentuk infrastruktur
pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme
pendidikan nasional, akan tetapi perlu dicermati juga, karena dapat
pendiskriminasian dalam pendidikan nasional. Kedua, komersialisasi pendidikan
yang mengacu kepada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang
pendaftaran, dan uang kuliah saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban
pendidikan. Dalam hal ini, Samuel Bowles dan Herbet Gintis mengeluhkan model
sekolah yang diorganisasi seperti perusahaan, keduanya melihat bahwa organisasi
ekonomi kapitalis mempengaruhi hubungan- hubungan antara pelbagai elemen
pendidikan di sekolah yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana ekonomi
diorganisasi untuk menghasilkan produksi
h) Kapitalisme Pendidikan; Pola kapitalisasi pendidikan di Indonesia tidak lepas dari
grand design paham kapitalisme global. Jika dulu ketika pemerintah kolonial
Belanda hanya memberikan kesempatan pada penduduk pribumi (inlander) untuk
sekolah sampai SR, sementara itu golongan ningrat (borjuis) saja yang
mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Beberapa faktor munculnya kapitalisme pendidikan di Indonesia antara lain;
Pertama, Orientasi pendidikan bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
atau membangun karakter bangsa menuju sempurna (insan kamil), akan tetapi
berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk memenuhi
kebutuhan teknis perusahaan asing (multi national corporation) yang sangat jelas
pro Barat dan kapitalis (neoliberal). Pandangan bahwa pendidikan sebagai
instrumen dari industri dan sekaligus pendidikan menjadi sub koordinat dari
sektor industri dengan konsep link and macth. Walaupun konsep ini gagal dengan
sendirinya ketika Indonesia dilanda multi krisis dan banyak industri nasional yang
runtuh. Kedua, pandangan baru dalam melihat pendidikan sebagai bagian dari
investasi masa depan (human investment). Ketiga, maraknya kodifikasi

15
pendidikan itu adalah secara matematis pangsa pasar dan tidak akan pernah habis.
Keempat, swastanisasi pendidikan yang menjadikan sekolah lanjutan dan
Perguruan Tinggi seperti perusahaan yang menarik biaya sebanyak- banyaknya
dari siswa. Kelima, makin kompetitifnya tingkat persaingan antara pengelola
lembaga pendidikan sehingga tidak mungkin lagi menempuh cara-cara
konvensional (dari mulut ke mulut atau melalui brosur saja) untuk memasarkan
lembaga mereka.
Identifikasi pengaruh liberalis dan neoliberalisme ke dunia pendidikan di atas, dapat
diklasifikasikan menjadi 3 model, yaitu:
1. Liberalisme Metodis; Kaum liberalisme metodis adalah mereka yang bersikap
bahwa metode-metode pengajaran harus disesuaikan dengan jaman, namun
tujuan pendidikan, isi tradisionalnya secara fundamental tidak memerlukan
penyesuaian yang penting. Maria Montessori sebagai tokoh liberalisme
metodis- mengusulkan tentang cara mengajar yang baru tetapi sasaran-sasaran
atau isi pendidikan tetap dipertahankan. Oleh karena itu definisi liberal
metodis adalah seseorang yang mengusulkan sebuah cara baru dalam
mengajar tetapi ia tidak bersikap kritis terhadap tujuan-tujuan dan isi
pendidikan yang sudah ada.

2. Liberalisme Direktif; Aliran ini menginginkan perubahan yang mendasar


dalam hal tujuan sekaligus dalam hal cara kerja sekolah-sekolah sebagaimana
adanya. Penganut aliran ini menganggap wajib belajar adalah perlu dan
memilih untuk mempertahankan beberapa keperluan dasar serta mengajukan
penetapan tentang isi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Di sisi lain
mereka bersikap bahwa cara tradisional (baik sasaran, isi, dan metode)
memerlukan perombakan secara radikal dari orientasi awal yakni cara
otoritarian tradisional ke arah yang lebih tepat yaitu mengajar setiap anak
untuk berpikir secara efektif bagi dirinya sendiri.
3. Liberalisme Non Direktif; Kaum liberalisme non direktif akan sepakat

16
terhadap pandangan bahwa tujuan dan cara pelaksanaan pendidikan perlu
diarahkan pada pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan masalah-
masalahnya secara efektif. Namun mereka ingin mengurangi seluruh batasan
dengan cara melenyapkan hal-hal seperti wajib belajar dan pengajaran mata
pelajaran wajib, kemudian mengganti wewenang lembaga dengan kebebasan
para siswa untuk memilih apakah mereka ingin belajar atau tidak, apa yang
ingin dipelajari dan memberi mereka kebebasan untuk memilih pengalaman-
pengalamnan pendidikan apapun yang mereka anggap paling relevan dengan
kebutuhan-kebutuhan personil mereka. Dengan kata lain siswa sendirilah yang
menentukan apakah mereka ingin belajar sesuatu atau tidak menetapkan
kapan, di mana, dan sejauh mana mereka ingin belajar.

D. Penutup
Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu aliran dalam pendidikan dewasa
ini yang mulai menjadi mainset berfikir dalam memahami makna dari pendidikan itu
sendiri baik dikaji dari makna filosofosnya maupun makna normatifnya. Berkaitan
dengan pendidikan, kaum liberal beranggapan bahwa persoalan pendidikan terlepas
dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal
berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar
pendidikan yaitu dengan menyelesaikan masalah yang diarahkan pada penyesuaian
atas sistem dan struktur sosial yang berjalan. Yang lebih diperhatikan adalah
bagaimana meningkatkan kualitas dari proses belajar mengajar sendiri, fasilitas dan
kelas yang baru, modernisasi peralatan sekolah, penyeimbangan rasio guru-murid.
Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan
pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group
dynamics) 'learning by doing', 'experimental learning', bahkan Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) sebagainya (Fakih 2008: xiv).
Kaum Liberal sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah politik, dan
excellence haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan

17
bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda.
Mereka tidak melihat hubungan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik
dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi
salah satu aliran liberal yakni structural functionalisme justru dimaksud sebagai
sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru
dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai
tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik
(Fakih 2008: xiv). Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran
tentang pendidikan yang berarti berbagai macam pelatihan. Akar dan pendidikan ini
adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan
kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi
problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas
jangka panjang.
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang
individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya
kelas liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-
komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang
model manusia universal yaitu manusia yang rational liberal. Ada beberapa asumsi
yang mendukung konsep manusia rational liberal yaitu: semua manusia memiliki
potensi sama dalam intelektual, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat
ditangkap oleh akal, individualis yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah
atomistik dan otonom (Bay 1988). Menempatkan individu secara atomistik,
membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat
dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil Pengaruh liberal
ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses
persaingan antar murid. Perankingan untuk menentukan murid terbaik, adalah
implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat
dalam berbagai pendekatan andragogy seperti dalam training management,
kewiraswastaan, dan training-training yang lain. Berbagai pelatihan pengembangan

18
masyarakat (community Development) seperti usaha bersama, pertanian umumnya
berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini (Fakih 2008: xiv-xv).
Komponen kedua adalah Positivisme. Positivisme sebagai suatu paradigma
ilmu sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan
Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan,
metode dan teknik ilmu alam yang memahami realitas. Positivisme sebagai suatu
aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu-ilrnu sosial yang dikembangkan dengan
mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya
universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan
hukum teori (Schroyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal
dianggap appropriate untuk semua fenomena.
Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati
dengan positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak
memihak, rasional dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang
bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode
scientific. Dengan kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan nilai
dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial. Pendidikan dan
pelatihan dalam positivistik bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi
keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan pasar kerja. Dalam pola pemikiran
positivistik, murid dididik untuk tunduk pada struktur yang ada. Paradigma liberal
pendidikan biasanya lebih melanggengkan sistem yang ada dengan melahirkan anak-
anak didik yang berperan dalam mempertahankan sistem tersebut.
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini.
Pendidikan liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi liberal kapitalisme.
Dalam konteks lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem
developmentalisme, dimana sistem tersebut ditegakkan pada suatu asumsi bahwa akar
underdevelopment karena rakyat tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme.
Pendidikan harus membantu peserta didik untuk masuk dalam sistem

19
developmentalisme tersebut, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dalam
kompetisi didalam sistem kapitalis.
Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha
menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia
pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun
terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan
upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana
dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita (Fakih, 2002). Kenyataan
lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya sekolah dan kuliah. UGM yang dulu
dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi. Rencana menjadikan universitas negeri
sebagai PTBHP sebagai langkah awal privatisasi pendidikan juga nyata sebagai
langkah liberalisasi. Di level sekolah, elitisme pendidikan mengancam kesempatan
rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan memadai.
Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan reformasi yang
dilakukan pun sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas baru dan gedung baru;
kapitalisme pun mengarahkan bagaimana agar pembelajaran dapat lebih efektif-
efisien, dan dihitung dalam bentuk untung rugi serta balikan investasinya karena
mengandaikan Education as human investment. Liberalisme yang diagung-agungkan
dan diacu oleh sistem pendidikan kita telah merusakkan sendi-sendi negara bangsa
Indonesia. Pendidikan kita rusak-rusakan, dan Depdiknas merupakan satu dari dua
Departemen terkorup di Indonesia satunya lagi Depag. Mulai afair buku paket,
korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS, carut marutnya
pelaksanaan ujian Nasional, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada siswinya;
di kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai
bunuh diri dan seks bebas. Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu tidak
dapat diabaikan begitu saja.

20
Daftar Pustaka

Fakih, Mansour dan Toko Raharjo. 2002. Pendidikan yang membebaskan .


Yogyakarta.

-----------.2008. Ideologi Dalam Pendidikan: Sebuah Pengantar Ideologi-Ideologi


Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Oneill, William F. 2008. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka


Pelajar.

Soyomukti, Nurani. 2015. Teori-Teori Pendidikan: dari Tradisional, Neo Liberal,


Marxis-Sosial, Hingga Postmodern. Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media

21

Anda mungkin juga menyukai