Anda di halaman 1dari 19

PENDIDIKAN MORAL LAWRENCE KOHLBERG

Oleh Trio Kurniawan, M. Fil. (Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino,


Founder Betang Filsafat)

Pendahuluan

Indonesia berada di situasi dilematis antara dunia pendidikan dan outputnya:


jika sistem pendidikan Indonesia sudah berjalan dengan baik, mengapa masih
banyak terjadi pelanggaran nilai-nilai moral dalam tata hidup bersama?
Masyarakat Indonesia dewasa kemudian mengkritisi hakekat dan tujuan
pendidikan Indonesia. Beragam tinjauan kritis-akademis pun kemudian
bermunculan dalam pergumulan kembali tentang hakekat pendidikan Indonesia.
Dalam beragam tinjauan kritis maupun pergantian kurikulum pendidikan di
Indonesia, satu poin yang ditekankan sedemikian rupa dalam sistem pendidikan
Indonesia adalah pengembangan pendidikan karakter dan moral bagi para siswa.
[1] Sudah menjadi rahasia umum bahwa karakter pendidikan Indonesia lebih
menekankan kemampuan akademis daripada dimensi karakter dan moral.

Public Agenda,[2] sebuah organisasi internasional non-profit yang membantu


para pemimpin dan anggota masyarakat dalam memetakan isu-isu kompleks,
dalam surveynya menunjukkan bahwa para siswa, orang tua maupun pihak
sekolah menginginkan proporsi pendidikan moral dan karakter yang cukup
besar dalam kurikulum pendidikan (Public Agenda, 1994 dan 1997). Secara
global, krisis pendidikan karakter dan moral tampaknya sudah mencapai titik
puncak. Pendidikan karakter dan moral menjadi kebutuhan setiap manusia di
segala tempat.

Salah satu tokoh yang dapat dipelajari pemikirannya berkaitan dengan


pendidikan karakter dan moral adalah Lawrence Kohlberg (1981). Kohlberg
mengembangkan studi tentang pendidikan, penalaran dan perkembangan moral.
Tulisan ini akan lebih banyak mengulas pemikiran Lawrence Kohlberg dan
kritik atas pemikirannya.

Riwayat Singkat Lawrence Kohlberg


Lawrence Kohlberg[3] lahir pada tanggal 25 Oktober 1927 di Bronxville, USA
dalam sebuah keluarga yang cukup mapan dan meninggal pada tanggal 19
Januari 1987. Sejak kecil, Lawrence sudah dididik untuk memiliki kepekaan
moral kaum kelas atas tentang kebebasan individu, hak-hak pribadi dan juga
mengenai kapitalisme. Sejak masih bersekolah di pendidikan dasar, ia juga
sering dihukum karena memberontak atas tindakan sekolah yang sewenang-
wenang.

Setelah ia lulus SMA di Phillips Academy (Andover, Massachusetts), Lawrence


Kohlberg memutuskan bergabung dengan US Merchant Marine dan melakukan
perjalanan ke Eropa pada akhir Perang Dunia II. Dalam perjalanan itulah ia
kemudian menyaksikan dan mengalami perjumpaan dengan para korban
kekejaman Nazi, yaitu kaum Yahudi. Perjumpaan ini menjadi begitu penting
bagi pemikiran Kohlberg karena dari pengalaman inilah ia memiliki “alasan
moral untuk membangun identitasnya” (Snarey & Samuelson, 2008).

Setelah masa kerjanya di US Merchant Marine selesai, Lawrence Kohlberg


kemudian kembali ke Eropa lagi dan bergabung sebagai anggota kru
kapal Paducah. Kapal ini disewa oleh Haganah, sebuah organisasi militer
Zionis. Kapal ini digunakan untuk menyelundupkan kaum pengungsi Yahudi
Eropa. Hal yang cukup penting untuk diperhatikan dalam pilihan Kohlberg
untuk membantu para pengungsi Yahudi Eropa ini adalah disposisi moralnya
pada saat itu: manakah yang lebih penting antara mematuhi hukum ataukah
membantu kaum tertindas ini untuk merdeka dan memiliki negara sendiri di
Palestina? Selain itu, Kohlberg juga menilai tindakan Holocaust yang dilakukan
oleh Nazi Jerman merupakan suatu tindakan yang benar-benar mengerikan dan
“aneh” dari sisi logika pendidikan.

Pada tahun 1948, Kohlberg kembali ke Amerika dan masuk Universitas


Chicago. Di sana ia menekuni studi Psikologi selama setahun dan memperoleh
gelar Doktor Psikologi pada tahun 1958. Selama menyelesaikan studi
doktoralnya, Kohlberg tertarik pada pemikiran Jean Piaget. Piaget merupakan
seorang psikolog yang menekuni bidang pengembangan moral. Piaget ini yang
kemudian banyak juga mempengaruhi pemikiran Kohlberg.

 
“Berguru” pada Jean Piaget

Lawrence Kohlberg, dalam mengembangkan gagasannya tentang Teori


Perkembangan Moral, banyak membaca karya-karya Jean Piaget (1896-1980).
Jean Piaget merupakan seorang filsuf, ilmuwan dan psikolog perkembangan
asal Swiss. Ia menjadi terkenal berkat penelitiannya tentang anak-anak dan
Teori Perkembangan Kognitifnya. Piaget juga merupakan “Bapak Perintis” teori
Konstruktivis dalam perkembangan kognitif.

Secara sederhana, Teori Konstruktivisme meyakini bahwa pengetahuan


dibentuk oleh murid atau orang yang belajar (Suparno, 2016). Pengetahuan
bukanlah “pemberian” dari guru, melainkan murid sendiri yang menerima,
mengolah dan kemudian mengkonstruksinya menjadi pengetahuan milik murid
tersebut. Peran aktif dari murid untuk mengelaborasi informasi dari guru
ataupun pihak lain begitu dominan dalam proses ini. Tanpa adanya murid yang
berproses, tidak akan ada pengetahuan baru dalam diri murid tersebut.

Piaget (1932: 193-194) membagi penalaran moral ke dalam tiga tahap:

1. Amoral

Tahap amoral dialami oleh anak-anak yang baru lahir hingga usia 2 tahun. Pada
tahap ini, anak-anak belum memiliki pemahaman tentang moralitas dan aturan.

2. Moralitas Heteronom

Dalam moralitas ini, manusia digerakkan atas dasar rasa hormat atas otoritas
atau aturan tertentu, jadi, moralitas yang mendasarinya adalah kekuasaan
ataupun legalitas. Dengan demikian, moralitas dilihat dari dimensi “hitam-
putih”. Jika bersalah, seseorang akan dihukum sebagai konsekuensinya.

3. Moralitas Otonom

Perspektif moralitas otonom melihat kesetaraan antar sesama manusia, sikap


saling menghormati dan penghargaan atas hakekat kemanusiaan sebagai dasar
dalam berelasi. Manusia dalam moralitas otonom ini sudah “meninggalkan”
mentalitas taat pada otoritas atau aturan sebagai satu-satunya kebenaran.
Dengan nalarnya, manusia bisa mempertimbangkan apa yang baik dan benar
bagi sosietasnya.

Dalam perspektif Piaget, manusia yang berkembang secara kognitif akan terarah
pada moralitas otonom karena ia sudah mengerti hakekat dari moralitas. Piaget
juga membagi tahapan perkembangan moral manusia menjadi empat tahap.
Gagasan Piaget tentang moralitas heteronom dan otonom ini kemudian nantinya
dielaborasi oleh Lawrence Kohlberg dalam teorinya tentang tahap-tahap
perkembangan moral.

Dari penjelasan singkat di atas, bisa dipahami jika Jean Piaget menentang
dengan keras gagasan Emile Durkheim (1858-1917) yang menyatakan bahwa
pengetahuan moral merupakan warisan dari guru atau orang tua. Dengan
demikian, pendidikan menurut Durkheim bersifat indoktrinasi kebajikan moral.
Bagi Durkheim, sosialisasi moral merupakan tugas dari lembaga pendidikan
walaupun ia menyadari bahwa manusia memiliki tiga unsur moralitas seperti
semangat disiplin, keterikatan sosial dan otonomi yang menyebabkannya
memiliki pilihan bebas (Durkheim, Moral Education, 1925).

Perkawinan Gagasan Piaget dan Durkheim dalam Pemikiran Lawrence


Kohlberg

Kohlberg menyadari bahwa gagasan Piaget begitu mempengaruhi cara


berpikirnya tentang perkembangan kognitif manusia. Bagi Kohlberg, benarlah
adanya fakta bahwa seorang anak akan mengalami perkembangan kognitif
dalam tahapan-tahapan yang baku. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya
ini, penalaran moral dari anak tersebut juga akan berkembang.

Kohlberg melihat anak-anak sebagai filosof moral (Kohlberg, 1968). Anak-anak


secara sadar dan aktif mulai membangun dunianya, memahami realitasnya dan
memberikan penilaian atas kesehariannya. Mereka punya banyak cara untuk
membuat sebuah penilaian moral, walau penilaian tersebut tidak
diindoktrinasikan oleh guru atau orang tua mereka sebelumnya.
Namun berbeda dengan Piaget yang secara terang-terangan mengkritik gagasan
Durkheim, Kohlberg sendiri melihat bahwa apa yang diajarkan oleh Durkheim
ada benarnya, terutama mengenai gagasan bahwa pendidikan moral bukanlah
soal penilaian pribadi, melainkan kolektif. Menurut Durkheim, pendidikan
hanya menjadi nyata dan hidup ketika anak dimasukkan dalam suatu kelompok
sosial. Dari kelompok dan proses sosial yang terjadi di dalamnya, anak bisa
belajar tentang moralitas. Dengan demikian, Kohlberg menyimpulkan bahwa
perkembangan kognitif-moral anak dilakukan oleh anak itu sendiri dengan
mengelaborasi realitas sosial yang ia hidupi. Dalam pemahaman ini, pendidikan
moral anak jelas terjadi dalam sebuah lembaga pendidikan yang memberikan
ruang bagi anak untuk menalar dan mengelaborasi sendiri penilaian moral yang
ia butuhkan dalam memahami realitas sosial di hadapannya.

Tahapan Perkembangan Moral

Lawrence Kohlberg, dalam teorinya tentang tahapan perkembangan moral,


banyak terinspirasi dari pemikiran Jean Piaget. Menurut Kohlberg, manusia
berkembang secara moral melalui tiga tahap yang sejalan dengan perkembangan
kognitif manusia. Ia meyakini bahwa dengan semakin berkembangnya kognisi
manusia maka kemampuan manusia untuk memberikan penilaian moral yang
baik juga akan berkembang.

Kemampuan untuk memberikan penilaian moral ini tentu dilakukan dalam


proses pendidikan. Dalam proses tersebut, para guru, misalnya, memberikan
pertanyaan seputar hal-hal baik dan jahat, benar dan salah untuk menilai
tindakan anak. Anak kemudian akan terus belajar untuk membuat penilaian
moral yang baik dan benar karena kognisinya juga terus dididik. Hal yang tak
bisa dilupakan tentunya bahwa pendidikan moral anak ini juga terjadi dalam
relasinya dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya.

Kohlberg membagi proses perkembangan moral manusia ke dalam tiga tahapan


yaitu tahap pra-konvensional, tahap konvensional dan pasca konvensional
(Kohlberg, 1971):

1. Tingkat I: Pra-Konvensional
Pada tingkatan ini, anak bersikap responsif terhadap label-label kultural tentang
apa yang baik atau buruk. Sikap responsif ini diterjemahkan dalam
konsekuensi-konsekuensi hukuman yang bisa ia terima. Jika berbuat baik, ia
akan dipuji. Jika berbuat tidak baik, ia akan dihukum. Moralitasnya muncul
dalam bentuk kepatuhan kepada otoritas yang bisa memberikan pujian atau
hukuman. Tingkat ini dibagi menjadi 2 tahap:

 Tahap I: Orientasi Kepatuhan dan Ketakutan atas Hukuman

Pada tahapan ini, anak terorientasi pada hukuman yang mungkin ia terima atas
kesalahan yang ia lakukan, ataupun ganjaran jika ia berbuat baik. Moralitas
suatu tindakan dinilai atas akibat fisik yang bisa ia terima. Itulah sebabnya anak
pada tahap ini begitu ego-sentris. Ia tidak memikirkan pribadi lain di luar
dirinya.

 Tahap II: Orientasi Naif Egoistis

Pada tahapan ini, anak melihat kebaikan hanya dalam perspektif kebutuhan,
minat dan kepentingannya saja. Di sisi lain, ia tahu bahwa orang lain juga
melakukan hal yang sama, namun ia membiarkannya saja. Kebenaran dilihat
sejauh tindakan bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri atau juga orang lain.
Relasi manusia dilihat seperti pasar: berjalan sejauh kebutuhan dipenuhi.

2. Tingkat II: Konvensional

Dalam tingkatan ini, kebaikan dilihat sejauh anak bisa melakukan apa yang
diharapkan oleh orang lain. Tingkatan ini biasanya juga disebut tingkat
konformitas. Namun bukan hanya soal konformitas, loyalitas pada kelompok di
luar dirinya (keluarga, sekolah, pertemanan) menjadi suatu nilai yang baik.
Anak mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok lain. Tingkat ini
dibagi menjadi dua tahap:

 Tahap III: Orientasi Anak yang Baik


Dalam tahapan ini, anak menyesuaikan diri dengan kelompok lain, bahkan ia
bisa bersikap altruistik. Anak tidak lagi mementingkan kepentingan dirinya
sendiri. Ia menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menjaga relasi dengan
kelompok lainnya. Agar dinilai sebagai anak yang baik, ia bertindak sesuai
dengan harapan kelompoknya.

 Tahap IV: Moralitas Pelestarian Otoritas dan Peraturan Sosial

Dalam tahap ini, loyalitas pada kelompok berganti ke arah loyalitas pada
hukum. Hukum dan peraturan dilihat sebagai fondasi yang mempertahankan
kelompok sosial. Jika ia tidak menaati aturan kelompok, ia akan menjadi pribadi
yang ditolak oleh kelompok tersebut.

3. Tingkat III: Pasca-Konvensional

Pada tingkat ini, manusia memelihara moralitas yang ia terima sendiri. moralitas
bagi manusia di tingkat ini tidak lagi berasal dari ucapan orang ataupun hukum
yang berlaku. Manusia di tingkat ini sudah bisa memperoleh nilai-nilai moral
yang sahih dan bersifat universal untuk kemudian dijadikan sebagai miliknya
sendiri. Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap:

 Tahap V: Moralitas Kontrak Sosial dan Hak-Hak Individu

Dalam tahap ini, manusia menemukan kebenaran setelah mempertimbangkan


hak-hak individu secara umum yang telah dikaji secara kritis. Legalitas hukum
memang diperhatikan, namun tetap prioritas utama adalah kesejahteraan
masyarakat.  Dalam tahap ini, keyakinan moral memang lebih fleksibel
menyesuaikan demi keuntungan kelompok yang lebih besar. Manusia mencari
opsi terbaik dari yang baik.

 Tahap VI: Moralitas Prinsip-Prinsip Individu dan Conscience

Dalam tahap keenam ini, kebenaran berasal dari suara hati individu manusia
setelah ia memahami prinsip-prinsip universal tentang moralitas keadilan, HAM
dan penghormatan terhadap martabat manusia. Rasionalitas yang dimiliki oleh
manusia memampukan ia untuk memiliki prinsip-prinsip moral yang tegas.
Ketika ada hukum yang mungkin bertentangan dengan prinsip moralnya ini, ia
tak akan segan-segan untuk menentang atau tidak mematuhinya.

Metode Pendidikan Moral Kohlberg

Teladan Moral. Menurut Snarey dan Samuelson (2014), salah satu pendidikan
moral Kohlberg yang kurang dikenali adalah teladan moral. Bagi Kohlberg,
keteladanan moral merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan dasar
anak karena nilai-nilai moral hanya menjadi hidup dalam sikap manusia. Dari
keteladanan ini, anak bisa belajar tentang contoh moralitas yang sebenarnya.
Dengan memberikan keteladanan moral, para pendidik moral mewujudnyatakan
prinsip-prinsip moral sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh aspek
rasional anak.

Diskusi Dilema Moral. Kohlberg meyakini bahwa pendidikan moral bagi anak
sangat tepat jika dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, secara khusus untuk
mata pelajaran yang berkaitan dengan humaniora ataupun ilmu sosial. Di dalam
mata pelajaran tersebut, anak diberikan kesempatan untuk berdiskusi tentang
moralitas. Para pendidik cukup memberikan kasus dilema moral dan anak
diberikan kesempatan untuk memberikan alasan atas pendapatnya mengenai
kasus dilema moral tersebut. Selain itu, dalam The Effects of Classroom Moral
Discussion upon Children’s Level of Moral Judgment (1975), Blatt dan
Kohlberg menemukan bahwa kualitas perkembangan moral anak jauh lebih
pesat ketika anak ditempatkan dalam kelompok umur yang sebaya.

Sekolah Komunitas Keadilan. Pada tahun 1974, Kohlberg mendirikan Sekolah


Komunitas Keadilan. Keunikan dari sekolah ini adalah siswa dan guru memiliki
hak dasar yang sama, yang telah mereka sepakati bersama dalam pertemuan
komunitas mingguan. Cara terbaik menurut Kohlberg adalah anak harus belajar
dari lingkungan sosial di mana ia hidup, dalam hal ini sekolah bisa menjadi
salah satu opsi. Konsep pendidikan komunitas adil ini kemudian banyak
diadopsi di sekolah-sekolah lain.

 
Kritik atas Pemikiran Lawrence Kohlberg

Salah satu kritik yang disampaikan oleh Roger R. Hock (1999) mengenai
gagasan Kohlberg adalah inkonsistensi antara perkembangan kognitif-moral
seseorang dengan perilakunya. Belum bisa dipastikan bahwa tingkat
perkembangan moral anak dapat menjamin kualitas perilaku moralnya. Tentu
masih ada faktor lain yang mempengaruhi perilaku moral manusia.

Kritik lainnya adalah mengenai universalitas pemikiran Kohlberg. Gagasan


konsep pendidikan moral yang dimunculkan oleh Kohlberg tampaknya hanya
sesuai jika dilaksanakan di Eropa dengan iklim demokratis. Konsep ini masih
mendapat kesulitan jika ditempatkan di dalam konteks Asia yang dikelilingi
oleh aturan budaya, moralitas agama, aturan adat dan konsep moralitas bangsa
timur.

Penutup

Lawrence Kohlberg dalam pengalaman maupun gagasannya telah menunjukkan


bahwa pendidikan moral merupakan hal yang fundamental bagi manusia.
Sejalan dengan itu, ia telah menunjukkan fakta bahwa perkembangan moral
manusia bisa berjalan beriringan dengan perkembangan kognitifnya. Proses ini
bisa terlaksana dalam lingkungan pendidikan dimana guru memberikan
pendidikan moral dan anak belajar langsung dari lingkungan sosialnya.

Indonesia, dengan segala krisis kesadaran moral dan budayanya, tentu saja bisa
memasukkan pendidikan moral dalam kurikulum pendidikannya. Membiasakan
anak untuk berpikir kritis, ilmiah dan penuh pertimbangan moral merupakan
bagian dari tujuan pendidikan nasional. Tidak cukup manusia Indonesia menjadi
cerdas, ia juga harus bermoral agar dapat bertindak secara baik dan benar dalam
kesehariannya.
Tahapan-tahapan
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam
tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8]
[9]
 Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori
perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam
tahapan-tahapan ini.[10][11] Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang
berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan
untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan
diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap
sebelumnya.[10][11]
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada
pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat
menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang
berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari
suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat
pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk
egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri
pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang
dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap
salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum.
Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah
tindakan itu.[12] Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut
pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya.
Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya,
perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling
diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya
sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk
juga punggungmu.”[4] Dalam tahap dua perhatian kepada
oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat
intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam
tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap
lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani
kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,
perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif
secara moral.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau
orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari
suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan
dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari
tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan
memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan
atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak
baik untuk memenuhi harapan tersebut,[4] karena telah
mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran
tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan
interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat,
rasa terima kasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi
aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial
yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan
peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini;
'mereka bermaksud baik…'.[4]
Dalam tahap empat, adalah penting untuk
mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran
moral dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama
sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti
dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar
hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada
kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila
seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral,
sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan
moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat
‘hakikat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan
pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-
konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai
memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan
adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif
seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau
dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar
atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau
yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat
sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-
aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus
diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk
sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh
melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada
penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada
penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal.
Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen
terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak
mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai
kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis.
Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut
dan bukannya secara hipotetis secara kondisional
(lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa
dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa
yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of
ignorance dari John Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah
hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah
menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang
bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud
pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa
kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya
secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang
bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.[11]

Contoh dilema moral yang digunakan


Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam
disertasi aslinya pada tahun 1958.[2] Selama kurang lebih 45
menit dalam wawancara semi-terstruktur yang direkam,
pewawancara menggunakan dilema-dilema moral untuk
menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan
partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang
menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang
membuat keputusan moral. Partisipan tersebut diberi
serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis, seperti apa
yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya
dilakukan, juga justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu
dianggap benar atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap
bentuk dan struktur dari jawaban-jawaban tersebut dan bukan
pada isinya; melalui serangkaian dilema moral diperoleh skor
secara keseluruhan.[2][9]
Dilema Heinz
Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian
awalnya adalah dilema apoteker: Heinz Mencuri Obat di
Eropa.[5]
Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat
semacam kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat
menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang
baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama.
Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker
menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut.
Ia membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya
$2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari
perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang dia
kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000,
setengah dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada
apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan memintanya untuk
dapat menjual obat dengan lebih murah atau memperbolehkan
dia melunasinya di kemudian hari. Tetapi si apoteker
mengatakan: “Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya
akan mencari uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa dan
membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi
istrinya.

Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat


bagi isterinya? Mengapa?[5]
Dari sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan
perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori Kohlberg
berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh
partisipanlah yang signifikan, bentuk dari repon mereka.[7]

Kritik
Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori
tersebut terlalu menekankan pada keadilan dan mengabaikan
norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan
menilai secara adekuat orang yang menggunakan aspek moral
lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa
teori Kohlberg terlalu androsentrik[15] Teori Kohlberg semula
dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang
menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi
bahwa hal tersebut membuat tidak adekuatnya teori itu dalam
menggambarkan pandangan seorang perempuan. Walaupun
penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya
perbedaan pola yang signifikan antar jenis kelamin,[10][11] teori
perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan
perhatiannya pada norma keadilan. Ia mengembangkan teori
penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian.[15]
Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral
dicapai terutama oleh penalaran formal. Salah satu kelompok
yang berpandangan demikian, social intuitionists,
mengemukakan bahwa orang sering membuat keputusan moral
tanpa mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan,
hukum, hak asasi manusia, dan norma etika yang abstrak.
Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh
Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat dianggap
hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan intuitif. Ini
berarti bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap
tindakan moral dibanding apa yang dikemukakan oleh
Kohlberg.
Tahap perkembangan moral Kohlberg - Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas

Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg

28 Maret 2020   11:54 Diperbarui: 28 Maret 2020   15:20 42385 1 0

Lihat foto

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertama-tama mari kita berkenalan dulu dengan Lawrence Kohlberg. Lawrence


Kohlberg lahir di New York 25 Oktober 1927, dia meraih gelar doktoral dalam
bidang psikologi di Chicago University pada tahun 1958. Lawrence Kohlberg
pernah menjadi profesor di 3 universitas ternama yaitu Yellow University,
Chicago University, dan Harvard University. Lawrence Kohlberg meninggal di
Wintrhop, Amerika pada 19 Januari 1987, karena bunuh diri. Tahap-tahap
penerapan moral menurut Kohlberg, menurut Kohlberg perkembangan
seseorang ada 3 level yaitu pra konvensional, konvensional, dan pasca
konvensional. Konvensional berasal dari bahasa latin konvinire yang berarti
menyesuaikan. 

Pada level Pra Konvensional, seseorang menilai perihal yang baik dan buruk
berdasarkan faktor-faktor diluar dirinya, seperti hubungan sebab-akibat,
ganjaran dan hukuman, serta yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Level ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu, orientasi hukuman dan kepatuhan,
orientasi minat pribadi. 

Pada tahap pertama yakni orientasi hukuman dan kepatuhan, seseorang menilai
baik buruknya suatu perilaku berdasarkan rasa takut terhadap hukuman,
misalnya, seorang anak merasa benar apabila ia  mematuhi perkataan orang
tuanya dan merasa bersalah apabila melanggar perintah orang tuanya, penalaran
moral seperti itu, pertama-tama didasari oleh kesadaran, bahwa ia tidak patuh ia
akan mendapatkan hukuman yang menimbulkan rasa sakit dan perasaan tidak
nyaman. Disana tampak bahwa sikap egosentrisme sangat menonjol. Seseorang
pertama-tama melakukan kebaikan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari
sakitnya hukuman, ia belum sampai pada pemahaman, bahwa berbuat baik itu
akan memberi manfaat  positif dan juga bagi orang lain. Pada tahap kedua yaitu
orientasi minat pribadi, prinsip job desc berlaku. Seseorang melakukan
perbuatan baik, pertama-tama, akan mengharap imbalan, ia sudah menyadari
bahwa orang lain juga punya kepentingan dan keinginan yang sama dengan
dirinya, oleh karena itu perbuatan baik dapat digunakan sebagai instrumen atau
alat untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain. Sebagai contoh kita bisa
melihat perilaku anak-anak kecil  yang baru mau disuruh melakukan sesuatu
ketika diiming-imingi hadiah yang menarik. Jadi seseorang ditahap ini bisa saja
kelihatan sangat baik tapi sebenarnya maksud utama dari perbuatan baiknya itu
adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. 
Pada level Konvensional, seseorang mulai menyesuaikan sikapnya dengan
harapan orang-orang tertentu atau dengan tertib sosial yang berlaku dalam
masyarakat tertentu. Ia mulai keluar dari sikap egois yang mementingkan diri
sendiri dan mulai melihat kebahagiaan dan kenyamanan orang lain sebagai
sesuatu yang patut diperjuangkan. Disini seseorang juga  mulai menaruh
orientas tata tertib sosial atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Level ini dibagi kedalam 2 tahap yaitu  orientasi anak baik dan orientasi hukum
dan ketertiban. Pada tahap ketiga yaitu orientasi anak baik, seseorang menganut
prinsip bahwa saya adalah anak baik, karena telah mengetahui ada baiknya
melakukan seperti itu. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan
orang lain , membantu orang lain dan sesuai dengan yang diharapkan orang lain.
Oleh karena itu, ia akan selalu berusaha mematuhi norma-norma dalam
kelompoknya agar tidak merasa malu dan bersalah . Disini unsur setia kawan
dan loyalitas dalam kelompok sangat di unggul-unggulkan. Hal ini terbiasa
terjadi misalnya, dalam kelompok-kelompok remaja atau abg, biasanya anak-
anak remaja lebih memilih untuk berbohong demi melindungi temannya dari
pada dianggap penghianat oleh kelompoknya. Pada tahap ke empat yaitu
orientasi hukuman dan ketertiban makna kelompok diperluas. Seseorang mulai
menyadari bahwa diluar kelompok lokal seperti keluarga, teman sebaya,  teman
sekolah, organisasi-organisasi, himpunan-himpunan, dan sebagainya . Masih
ada kelompok yang lebih luas seperti, suku bangsa, agama, dan negara. Yang
menyadari bahwa bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok yang lebih besar
itu, dan dengan demikian memiliki kewajiban untuk menaati hukum yang
berlaku. Penekanannya adalah mematuhi hukum secara  mutlak agar ketertiban
sosial agar terjamin. Kebanyakan orang dewasa sudah berada ditahap ini. 

Pada level Pasca Konvensional, hidup baik mulai dipandang sebagai tanggung
jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Disini
seseorang mulai menyadari bahwa hukum tidak dapat diterima secara mentah-
mentah  hukum bukanlah sesuatu yang harus ditaati secara mutlak  melainkan
sesuatu yang terlebih dahulu harus melalui proses  penilaian-penilaian
berdasarkan prinsip yang muncul didalam hati nurani. Level ini juga dibagi
menjadi dua tahap yaitu, kontrak sosial egalistis dan prinsip etika universal.
Pada tahap kelima, yaitu kontrak sosial egalistis segi hukum masih ditekankan
namun, seseorang belum menyadari bahwa sesuatu hukum tertentu bekum tentu
bisa diterapkan dalam seluruh segi kehidupan  manusia. Disini orang mulai
berpikir bahwa  hukum itu dapat diubah dan disesuaikan dengan konteks atau
situasi yang ada sejauh dapat memberi suatu manfaat sosial atau demi
kepentingan dan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, dapat diselenggarakan
persetujuan demokratis kontrak sosial dan konsensus bebas agar tercapai
kesepakatan baru. Pada tahap keenam yaitu, orientasi pada prinsip hati nurani
yang berlaku universal, seseorang mulai menyadari bahwa didalam lubuk
hatinya sebenarnya terdapat prinsip-prinsip yang berlaku universal. Prinsip-
prinsip yang berlaku universal tersebut adalah prinsip-prinsip yang menjunjung
tinggi nilai-nilai dan martabat kemanusiaan,  seperti prinsip keadilan, ketulusan
dalam membantu orang lain, persamaan hak manusia  dan hormat nilai suatu
kehidupan. Prinsip-prinsip iti bersifat universal karena dapat diberlakukan di
setiap situasi, tempat, saman dan segala aspek manusia. Seseorang yang berbeda
oad tahap ini, mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati
nurani pribadi yang berlaku secara universal  tersebut. Ia akan mengalami
penyesalan yang mendalam ketika melanggar prinsip-prinsip hati nurani
tersebut. Hati nurani itu sendiri adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan
perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau
sistem nilai seseorang. 

Dapat disimpulkan bahwa bagi Kohlberg, hujum tertinggi adalah prinsip hati
nurani yang berlaku universal, sayangnya prinsip-prinsip itu tidak selalu
dimiliki. Oleh karena itu dibutuhkan kepekaan hati nurani yang sangat besar
ketika menghadapi sosialitas atau persoalan-persoalan. Prinsip-prinsip ini
seringkali bertentangan dalam aturan-aturan  yang ada dalam masyarakat
tertentu, bukan pertama-tama karena egoisme pribadi atau mencari keuntungan
pribadi melainkan karena menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta
hormat terhadap martabat sesamanya. 
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Teori Perkembangan
Moral Menurut Kohlberg",

Anda mungkin juga menyukai