EKSKRESI OBAT
DOSEN PENGAMPU:
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Farmakologi Dasar mengenai ekskresi
obat sesuai dengan waktu yang telah diberikan, dalam penyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan namun demikian kami telah berusaha semaksimal mungkin
agar hasil dari tulisan ini tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada.
Atas dukungan dari berbagai pihak akhirnya kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada dosen yang
mengajar mata kuliah Farmakologi Dasar yang memberikan pengajaran dan arahan
dalam penyusunan makalah ini, dan tidak lupa kepada teman-teman semua yang telah
ikut berpartisipasi membantu kami dalam upaya penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Setelah obat memberikan efek yang menguntungkan (efek terapi), obat harus
diolah dan selanjutnya akan dibuang oleh tubuh. Dalam farmakologi, proses-proses
yang berhubungan dengan pemrosesan dan pembuangan senyawa obat disebut
metabolisme dan ekskresi obat (Wahyono, 2013)
Proses ekskresi adalah proses yang sangat penting bagi semua makhluk hidup.
Ekskresi adalah suatu proses dimana produk sisa metabolism dan materi tidak berguna
lainnya dikeluarkan dari suatu organisme. Setelah melalui proses metabolisme, obat
akan termasuk kedalam produk sisa dan berbahaya bila terus menerus di dalam tubuh,
oleh sebab itu harus dibuang melalui sistem ekskresi (Ningsih, 2019).
1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi ekskresi obat
2. Mengetahui jalur-jalur ekskresi obat dan obat apa saja yang diekskresikan
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi ekskresi obat
4. Mengetahui definisi dari Sirkulasi Enterohepatik
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan,
hewan,mineral maupun zat kimia tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa
sakit, memperlambat proses penyakit dan atau menyembuhkan penyakit. Namun di sisi
lain, obat juga memiliki efek farmakologi yang dapat mengganggu kesehatan apabila
terlalu sering dikonsumsi. Oleh karena itu, obat juga perlu mengalami eliminasi melalui
proses ekskresi untuk keperluan detoksifikasi obat tersebut. Apabila obat tidak
diekskresi maka obat akan tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada
organisme bersangkutan. (Priyanto, 2008)
3
Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu,
paru, kelenjar saliva, kelenjar susu, dan kelenjar keringat, Organ terpenting untuk
ekskresi obat adalah ginjal. Pada sistem ekskresi manusia, ginjal berperan sangat
penting untuk membersihkan darah, menjaga jumlah dari mineral yang ada di
dalamnya, serta menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya
bersama dengan air dalam bentuk urin. (Moh Anief, 2012)
4
kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin
melalui cela antara sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat
protein plasma mengalami filtrasi disana. Plasma darah yang mengalir akan
ditekan pada glomerulus sehingga menjadi urin primer, suatu ultra filtrat
yang hampir bebas protein. Filter sesungguhnya adalah membran basal
yang terletak di bawah endotelium kapiler. Membran ini dapat melewatkan
air dan bagian plasma yang berbobot molekul rendah melalui pori-porinya
dengan bebas, sedangkan sel darah dan bagian plasma yang besar
molekulnya akan ditahan intravasal. (Gunawan, 2012)
Zat-zat yang dapat disaring tanpa batas adalah zat dengan bobot
molekul sampai sekitar 10.000, dengan demikian komponen dengan bobot
molekul rendah yang ada di urin primer kurang lebih sama konsentrasinya
dengan yang ada dalam plasma darah. Untuk senyawa dengan bobot
molekul di antara 10.000 sampai 50.000 daya saringnya terbatas. Karena
albumin, yang merupakan protein plasma terkecil sudah mempunyai bobot
molekul sekitar 70.000, maka protein praktis tak dapat melewati filter
ginjal tersebut. Kapiler-kapiler glomeruli akan menyaring plasma darah
sedemikian rupa sehingga setiap molekul obat yang berat molekulnya
dibawah 20.000 akan melewati glomeruli sedangkan albumin plasma
dengan berat molekul 68.000 tidak dapat melewati glomeruli. Obat-obat
yang terikat pada albumin plasma tidak dapat melewati glomeruli
misalnya, fenilbutazon terikat 98% pada albumin maka kadar dalam filtrat
glomeruli hanya 1/50 dari konsentrasinya dalam plasma. (Wahyono, 2013)
Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi
glomerulus masuk ke tubulus. Filtrasi glomerulus menghasilkan
ultrafiltrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar
dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam
darah. Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada kecepatan filtrasi
glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk partikel, dan
jumlah pori glomerulus. Laju filtrasi glomerulus meningkat pada:
5
a. Kenaikan tekanan darah dalam kapiler glomerulus
b. Pada peningkatan luas permukaan filtrasi pada kondisi
glomerulus yang tenang
c. Pada pengurangan protein plasma akibat berkurangnya ikatan
protein dengan bahan obat
Disamping besarnya pori, filtrasi glomerulus terutama bergantung
pada tekanan filtrasi efektif yang ada pada glomerulus serta pada
banyaknya glomerulus yang masih berfungsi. Tekanan filtrasi efektif
didapat dengan mengurangi tekanan darah dalam kapiler glomerulus (50
mmHg) dengan tekanan osmotik koloid plasma darah yaitu 25 mmHg serta
tekanan dalam kapsul bowman sekitar 17 mmHg. (Wahyono, 2013)
Syarat terjadinya filtrasi glomerulus yang merata adalah pasokan darah
yang tetap secara menyeluruh, jadi tekanan kapiler glomerulus tetap. Ini
akan tercapai oleh adanya suatu autoregulasi miogenik yang ada dalam vas
afferen. Jika terjadi peningkatan tekanan arteri otot polos vas afferen akan
menciut, jika tekanan turun otot polos akan berelaksasi dan dengan cara ini
akan menahan supaya tekanan kapiler tetap. Hanya pada tekanan di bawah
90 dan dibawah 190 mmHg akan menurunkan atau menaikkan aliran darah
ke ginjal. (Gunawan, 2012)
2) Sekresi Aktif di Tubulus
Filtrasi glomeruli hanya menghasilkan paling banyak 20% dari seluruh
obat yang terdapat dalam darah yang bisa mencapai ginjal. Sisanya 80%
akan dikeluarkan ke lumen tubuli oleh suatu mekanisme transpor aktif,
yang bergerak melawan gradient konsentrasi sehingga akan mengurangi
jumlah obat dalam plasma sampai nihil. Oleh karena itu, sekresi tubuli ini
merupakan mekanisme eliminasi obat yang paling cepat melalui ginjal.
Misalnya pada penisilin, kecepatan eliminasi penisilin via ginjal sangat
tinggi karena penisilin disekresikan secara aktif kedalam lumen tubuli
ginjal. (Moh Anief, 2012)
6
Sekresi tubulus proksimal merupakan proses transpor aktif, jadi
memerlukan carrier (pembawa) dan energi. Sekresi aktif dari dalam darah
ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-
glikoprotein (P-gp) dan MRP (Multidrug-Resistance Protein) yang
terdapat di membrane sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni
MRP untuk anion organik dan konjugat (Contoh: penisilin, probenesid,
glukuronat, sulfat dan konyugat glutation), dan P-gp untuk kation
anorganik dan zat netral (misal: kuinidin, digoksin). (Hakim et al., 2012)
Karena banyak obat yang disekresikan secara aktif dengan cara yang
sama, dapat terjadi kompetisi antara obat-obat tersebut. Terjadi
kompetisi antara asam-asam organik maupun basa-basa organik. Hal ini
dimanfaatkan untuk memperpanjang masa kerja obat. Contoh: untuk
memperpanjang masa kerja ampisilin, diberikan bersama probenesid,
probenesid akan menghambat sekresi aktif ampisilin di tubulus ginjal
ARkarena berkompetisi untuk transporter membrane yang sama. (Hakim
et al., 2012)
3) Reabsorpsi di Sepanjang Tubulus
Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami
reabsorpsi kembali ke sirkulasi sistemik. Reabsorpsi pasif terjadi di
sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena
derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan
untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau
obat basa. Obat-obat yang mempunyai kelarutan dalam lemak yang tinggi
akan berdifusi secara pasif masuk kembali melewati sel-sel epitel tubuli
sehingga terjadi reabsorpsi obat secara pasif. Dengan demikian, obat-obat
yang mudah larut dalam lemak akan diekskresikan secara lambat sekali.
Sebaliknya, obat-obat yang polar akan tetap tinggal dalam filtrat sebab
membran tubuli tidak permeable untuk obat-obat yang terionisasi dan
kurang larut dalam lemak. (Ningsih, 2019)
7
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk
non-ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses
reabsorbsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat
ionisasi. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga
reabsorbsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya
bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang
berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. (Ningsih, 2019)
Reabsorbsi pasif bergantung pada pH urine yang ada di ginjal. Bila pH
asam maka obat-obatan yang bersifat asam lemah akan diserap kembali
sehingga tidak dieksresikan dan bila pada suasana basa maka obat-obat
asam tadi akan terionisasi sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Begitu
sebaliknya dengan obat-obat basa yang akan dieksresi kembali pada
suasana basa. Hal ini dapat dimanfaatkan pada kasus keracunan. Pada
pasien yang keracunan phenobarbital (obat asam lemah) maka kelebihan
phenobarbital yang ada di dalam darah dapat cepat dikeluarkan dengan
memberikan natrium bikarbonat yang bersifat basa sehingga phenobarbital
dapat cepat dieksresi dari tubuh melalui urin. (Ningsih, 2019)
Banyak obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah akan berubah
derajat ionisasinya bila pH lingkungan diubah, hal ini akan sangat
memengaruhi ekskresinya melalui ginjal. Istilah ion trapping effect berarti
bahwa suatu obat yang bersifat basa akan diekskresikan lebih cepat dalam
urine yang asam karena pH yang rendah dalam tubuli akan meningkatkan
ionisasi dan menghambat reabsorpsi obat. Efek ion trapping ini dapat
digunakan secara klinik misalnya pada tindakan yang disebut forced
alkaline diuresis, dengan kondisi suatu obat diuretika dikombinasi dengan
infus natrium bikarbonat untuk meningkatkan pH urine. Dengan cara ini
ekskresi obat-obat tertentu yang berupa asam dapat dipercepat, misalnya
pada keracunan barbiturate atau aspirin. Demikian juga pengasaman
(asidifikasi) urine dapat digunakan untuk meningkatkan ekskresi obat basa,
seperti keracunan amfetamin. (Ningsih, 2019)
8
2.2.2 Empedu dan usus (dengan feses)
Ekskresi obat yang kedua adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar
bersama feses. Sistem tranpor hati berfungsi untuk memindahkan berbagai
substansi dari plasma ke dalam empedu. Hati mengeluarkan zat racun bersama
dengan getah empedu melalui saluran empedu, masuk ke usus dan akan
dikeluarkan dalam bentuk tinja atau feses. Transporter membrane P-gp dan
MRP terdapat di membran kanalikulus sel hati dan mensekresi aktif obat-obat
dan metabolit ke dalam empedu dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk
anion organik dan konyugat (glukuronat dan konyugat lain), dan P-gp untuk
kation organik, steroid, kolesterol dan garam empedu. Beberapa
mikroorganisme yang hidup di usus (flora usus) dapat mengubah struktur obat,
mengaktivasi atau menonaktifkan obat tertentu, dan mempengaruhi cara obat
diekskresikan melalui usus. Senyawa yang diekskresikan adalah senyawa BM
> 500 senyawa dengan gugus polar yang kuat (konjugat glukoronida) ekskresi
melalui difusi maupun transport aktif. Contoh: Penisilin, Rifampisin, dan
Tetrasiklin merupakan contoh obat yang langsung diekskresikan melalui
empedu dengan mekanisme pengangkutan aktif. (Mutschler, 2013)
9
2.2.3 Paru-Paru (dengan udara ekspirasi)
10
Seluruh permukaan tubuh terbungkus oleh lapisan tipis yang sering kita
sebut kulit. Kulit merupakan benteng pertahanan tubuh kita yang utama karena
berada di lapisan anggota tubuh yang paling luar dan berhubungan langsung
dengan lingkungan sekitar. Kulit berfungsi sebagai alat ekskresi karena
mengeluarkan keringat melalui kelenjar keringat yang tersebar di seluruh
bagian tubuh. Keringat adalah cairan yang diproduksi terutama oleh kelenjar
yang terdistribusi secara luas di permukaan kulit yang hangat. Ekskresi obat
oleh kelenjar keringat dapat terjadi namun tidak signifikan secara kuantitatif
karena volume keringat yang dihasilkan kecil. Tujuan utama produksi keringat
adalah pengaturan panas. Akibatnya, jumlah keringat yang dihasilkan sangat
bergantung pada kondisi lingkungan. Contoh: paraldehyde,amfetamin, kokain,
morfin, etanol dapat di eliminasi melalui kelenjar keringat. (Handayani, 2021)
2.2.5 ASI
Salah satu proses ekskresi obat adalah melalui air susu ibu (ASI), tetapi
obat yang terekskresikan pada ASI masih berada dalam jumlah kecil.
Walaupun, jumlah obat yang diekskresikan sedikit,ada beberapa hal yang
dapat menyebabkan suatu obat mencapai dosis yang dapat menimbulkan efek
bagi bayi yang menyusu. Ekskresi obat melalui air susu ibu penting, bukan
karena jumlah yang tereliminasi tetapi karena obat-obat yang di ekskresi
merupakan sumber yang memberikan efek yang tidak diinginkan pada bayi
yang baru lahir. Obat yang diberikan kepada ibu hendaknya dipilih yang relatif
11
aman, serta diberikan paling lambat 30-60 menit setelah menyusui atau 3-4
jam sebelum ibu menyusui yang berikutnya, agar diperoleh ekskresi dalam air
susu yang terendah. Obat dimakan ibu kemudian dieksresikan dalam ASI,
sebagian dalam jumlah sedikit dan sebagian dalam jumlah cukup berpengaruh
pada bayi (Schaefer & Lawrence, 2015).
Mekanisme masuknya obat ke dalam ASI dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Difusi Pasif
Difusi pasif terjadinya disebabkan karena adanya perbedaan
konsentrasi pada kedua barrier, barrier ini bisa berupa cairan atau
lemak. Pada difusi ini cairan dapat melalui pori-pori kecil pada
membrane sel alveoli pada payudara atau dapat melalui celah sempit
yang ada di antara sel. Akibat celah sempit yang berada di dalam sel
alveoli, maka molekul-molekul atau obat yang dapat masuk hanya yang
memiliki BM (berat molekul) kurang dari 200 Dalton (Hale, 2004).
Masuknya obat tergantung dari sifatnya, jika mudah larut dalam air
maka akan melewati barrier cairan,sedangkan yang mudah larut dalam
lemak akan melewati membran seperti yang terdiri dari bahan lipid,
yaitu lipoprotein, glikolipid, dan lemak bebas. (Seotjaningsih, 1997).
b. Difusi Terfasilitasi
Difusi terfasilitasi menggunakan karier dan bertindak sebagai karier
dalam hal ini adalah enzim-enzim atau protein tertentu. pada Difusi
terfasilitasi ini dapat terjadi melalui perbedaan konsentrasi atau
konsentrasi yang sama pada kedua sisi barier. obat atau bahan yang
mudah larut dalam air akan lebih mudah untuk berdifusi
(Seotjaningsih, 1997).
c. Difusi Aktif
Pada difusi aktif di sini tidak berbeda jauh dengan menggunakan
karier tetapi membutuhkan energi untuk perpindahannya karena harus
menuju ke daerah dengan konsentrasi yang lebih tinggi. bahan atau obat
12
yang bisa berdifusi ke dalam ASI menggunakan bantuan glukosa, asam
amino, kalsium, natrium dan magnesium (Seotjaningsih, 1997).
Ada beberapa obat dengan karakteristik tertentu dapat masuk atau
dikeluarkan melalui ASI. Hal ini karena obat harus melewati epitel alveoli
sebelum masuk ke dalam ASI. Jadi, epitel alveoli yang menjadi pemisah antara
kompartemen ASI dan kompartemen plasma. Karakteristik obat yang dapat
bercampur ke dalam ASI atau yang dapat keluar melalui ASI yaitu:
1. Obat yang bersifat larut dalam lemak
Obat yang bersifat larut dalam lemak akan semakin banyak masuk ke
dalam ASI karena akan sangat mudah untuk melewati membrane sel
alveoli payudara yang di batasi oleh lipid. Selain itu payudara
mengandung banyak lipid daripada plasma,sehingga obat larut lipid
akan cenderung terkonsentrasi dalam ASI, Seperti kloramfenikol yang
larut dalam lemak. (Schaefer & Lawrence, 2015).
2. Ukuran Molekul Obat
Semakin besar ukuran molekul obat maka akan semakin sulit untuk
menembus membrane kapiler dan masuk ke dalam ASI. Obat yang
memiliki berat molekul besar tidak dapat melewati membrane kapiler,
contohnya seperti heparin yang memiliki berat molekul 6.000-20.000
dalton. Kebanyakan obat yang memiliki berat molekul kecil seperti
parasetamol (<200 Dalton) akan mudah melewati pori membrane sel
alveoli (Breitzka, 1997).
3. Obat yang terionisasi (pengaruh pH)
Plasma darah memiliki pH sekitar 7,4 dan ASI memiliki pH sekitar
6,8 sehingga plasma relatif sedikit lebih basa daripada ASI. Obat yang
bersifat basa lemah di plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak
terionisasi serta mudah menembus membrane alveoli dan kapiler
payudara.Sesampainya di ASI obat yang bersifat basa tersebut akan
mudah terionisasi sehingga tidak mudah untuk melewati membrane
13
untuk kembali ke plasma. Fenomena tersebut dikenal sebagai “trapped
ion”. seperti morfin yang bersifat basa lemah. (Depkes RI, 2006).
4. Ikatan Protein → Obat yang berikatan lemah dengan protein
plasma
Semakin banyak obat yang terikat protein, maka akan semakin
sedikit obat yang masuk ke dalam ASI. Karena, obat yang terikat
dengan protein plasma tidak dapat tersebar ke jaringan, seperti
masuknya fenitoin yang cenderung tetap berada di dalam plasma.
Hanya obat yang tidak terikat plasma yang dapat tersebar ke
jaringan,contohnya adalah litium. (Hale, 2004)
Apabila obat dengan karakteristik diatas diminum oleh ibu menyusui dan
masuk ke dalam ASI, akumulasi obat didalam tubuh bayi dapat terjadi dan
dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan (Wells et al., 2015)
a. pH urin
pH urin, yang bervariasi dari 4,5 hingga 8,0, sangat mempengaruhi
reabsorpsi dan ekskresi obat karena pH urin menentukan keadaan ionisasi asam
atau basa lemah. Pengasaman urin meningkatkan reabsorpsi dan menurunkan
ekskresi asam lemah, dan sebaliknya, menurunkan reabsorpsi basa lemah.
Alkalinisasi urin mempunyai efek sebaliknya. Dalam beberapa kasus overdosis,
prinsip-prinsip ini digunakan untuk meningkatkan ekskresi basa lemah atau
asam; misalnya, urin dibuat basa untuk meningkatkan ekskresi asam
asetilsalisilat. Sejauh mana perubahan pH urin mengubah laju eliminasi obat
tergantung pada kontribusi jalur ginjal terhadap eliminasi total, polaritas bentuk
tidak terionisasi, dan derajat ionisasi molekul. (Nuryati, 2017)
Urin yang bersifat basa akan banyak mengekskresikan zat aktif yang
bersifat asam lemah dan sebaliknya pH urin yang asam akan banyak
mengekskresikan zat aktif yang bersifat basa lemah. Pengaruh PH Urin
14
terhadap proses ekskresi adalah jika PH urin tidak mengekskresikan zat aktif
yang sesuai maka akan terjadi reabsorspi karena terbentuk senyawa yang tidak
terionisasi yang cendereung larut dalam lemak (Lipofilik). Sebaliknya, jika urin
mengekskresikan zat aktif yang sesuai maka senyawa yang terbentuk akan
terionisasi sehingga akan lebih mudah larut dalam air dan akan diekskresi
dalam urin lebih cepat. Contoh: pengasaman (asidifikasi) urine dapat digunakan
untuk meningkatkan ekskresi obat basa, seperi keracunan amfetamin. (Nuryati,
2017)
b. Usia
Ekskresi obat melalui ginjal biasanya menurun seiring bertambahnya usia,
dan klirens ginjal seseorang pada usia 80 tahun dianggap kira-kira setengah dari
jumlah pada usia 30 tahun. Akibatnya, obat-obatan yang sebagian besar
diekskresikan oleh ginjal mungkin perlu diberikan setengah dosis untuk pasien
lanjut usia, untuk mengurangi risiko efek samping (Ningsih, 2019).
Usia mempengaruhi proses ekskresi. Penjrunan fungi organ menurun 30%
pada saat usia 65 tahun. Usia lansia dengan usia muda akan berbeda laju
ekresinya. Usia Lansia maka laju ekskresi dan kemampuan untuk
mengekskresikan obatnya lebih rendah dari pada usia lebih muda. Jika ekskresi
lambat, maka akan banyak obat yang menumpuk sehingga dapat menyebabkan
efek samping. Obat golongan barbiturat, seperti amobarbital dan phenobarbital
sebaiknya dihindari pada pasien lansia. Kemampuan untuk mengekskresi dan
mengeliminasi barbiturat berkurang, sehingga berisiko menyebabkan overdosis
pada penggunaan dosis yang lebih rendah. (Ningsih, 2019).
c. Interaksi Obat
Beberapa obat dapat mempercepat ekskresi obat lainnya. Hal ini terjadi
karena obat-obatan tersebut dapat meningkatkan aktivitas enzim metabolisme
obat di hati. Akibatnya, obat-obatan yang dimetabolisme di hati akan lebih
cepat dieliminasi dari tubuh. Contoh: interaksi rifampisin dan kontrasepsi oral
15
(pil KB). Rifampisin adalah antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi
tuberculosis dan infeksi lainnya. Rifampisin dapat meningkatkan aktivitas
enzim yang terlibat dalam metabolisme obat di hati. Akibatnya, rifampisin
dapat mempercepat ekskresi kontrasepsi oral (pil KB), yang dapat mengurangi
efektivitas kontrasepsi oral dan meningkatkan risiko kehamilan yang tidak
diinginkan. (Nuryati, 2017).
d. Penyakit (Patologis)
Kondisi patologis artinya ada kelainan/ penyakit. Jika hal tersebut terjadi
pada organ ekskresi akan mempengaruhi efektifitas atau laju ekskresi zat
tersebut (Nuryati, 2017). Gangguan ginjal menyebabkan perlambatan ekskresi
obat, sehingga memperpanjang waktu paruhnya. Obat yang waktu paruhnya
Panjang umumnya frekuensi pemakaiannya relatif jarang, karena durasi obat
relatif panjang. Oleh karena itu, pada kebanyakan obat dosisnya akan dikurangi
kalau pasien mengalami gangguan ginjal. Contoh obat yang mempengaruhi
adalah Ranitidin, terjadinya penurunan eliminasi ranitidin pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, yang berisiko meningkatkan efek samping obat yang
tidak diharapkan (Ningsih, 2019).
16
Bila obat larut-lipid, obat dapat direabsorbsi oleh usus dan mengalami siklus
enterohepatik. Sedangkan obat yang larut-air akan tetap tinggal di usus dan
diekskresikan bersama feses. Contoh obat yang mengalami siklus enterohepatik
antara lain adalah digoksin (diekskresikan ke empedu dalam bentuk tanpa
konjugasi), morfin,dan kloramfenikol yang semuanya ditransformasi dalam
bentuk glukuronida. (Moh Anief, 2012).
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ekskresi merupakan proses mengeliminasi bahan yang tidak lagi dipergunakan
dalam tubuh untuk dikeluarkan ke luar tubuh. Ekskresi obat adalah proses pengeluaran
zat-zat sisa metabolisme obat yang sudah tidak digunakan oleh tubuh. Apabila obat
tidak diekskresikan maka obat tersebut akan tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan
ketoksikan pada organisme bersangkutan.
Organ-organ yang berperan dalam proses ekskresi obat sangat banyak. Yakni
ginjal (urin), empedu dan usus (feses), kulit (keringat) dan Paru-paru (dengan udara
ekspirasi), dan dengan melalui ASI (air susu ibu).
3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat dijadikan referensi dan dipergunakan seperlunya dan
diharapkan untuk pemakalah berikutnya agar lebih mengembangkan isi dari makalah
ini.
18
DAFTAR PUSTAKA
Breitzka, R. L., Sandritter, T.L & Hatzopoulos, F. K., 1997. Principles of drug transfer
into breast milk and drug disposition in the nursing infant. International
Lactation Consultant Association. 13 (2):155-158
Handayani, Sri. 2021. Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Kota Bandung: CV.
Media Sains Indonesia
Mutschler, Ernst. 2013. Dinamika Obat: Farmakologi dan Toksikologi Edisi Kelima.
Bandung: Penebit ITB
19
Schaefer, C. & Lawrence, R. A., 2015. Drugs During Pregnancy and Lactation
(treatment options and risk assessment). Third Edition. United Kingdom:
Academic Press
Soetjaningsih, D., 1997. ASI: Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. 2nd. Jakarta :EGC
Wahyono, Djoko. 2013. Farmakokinetika Klinik: Konsep Dasar dan Terapan dalam
Farmasi Klinik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
20