Anda di halaman 1dari 38

―POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA RENTAN TAHUN 1950-1965‖

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Pasca


Kemerdekaan

Dosen Pengampu :

Aprilia Tri Aristina S. Pd, M. Pd.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 4

Ahmad Vaizin 2113033011


Adi kurniawan 2113033015
Marlian Adi Saputra 2113033019
Syafa Putri Talisa 2113033031
Siti Diandra Ovelia 2113033045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahhirobbil‘aalamiin, dengan memanjatkan segala puji dan
syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan taufik dan hidayah serta
inayahNya kepada penulis sehingga penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan waktunya. Sholawat beserta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW, yang kita nanti-
nantikan syafa‘atnya diakhir nanti. Aamiin.

Kami sadar, bahwa kami sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam
proses pembelajaran masih banyak kekurangannya, baik dalam penulisan makalah
atau isi dari makalah ini sendiri. Pembuatan makalah dari mata kuliah sejarah
Indonesia pasca kemerdekaan dengan judul ―Politik Luar Negeri Indonesia Rentan
Tahun 1950-1965‖. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa
yang akan datang.

Penulis juga mengucapkan terima kasih khususnya kepada dosen mata


kuliah Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan ibu Aprilia Tri Aristina, S.Pd., M.Pd.
yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini. Demikian, semoga makalah
ini dapat bermanfaat. Wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bandar Lampung, 12 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAAN ............................................................................. 4

2.1 Bentuk Politik Luar Negeri Indonesia Setelah Pengakuan Kedaulatan .... 4
2.2 Konstelasi Politik Dunia Pada Masa Demokrasi Liberal Dan Terpimpin 5
2.3 Sikap Dan Posisi Indonesia Dalam Situasi Perang Dingin ....................... 10
2.4 Bentuk Kerjasama Indonesia Dengan Negara-Negara Lain Dalam Tahun
1950-1965 ................................................................................................. 11
2.5 Politik Bebas Aktif Indonesia Selama Tahun1950-1965 .......................... 15
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 32

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 32


3.2 Saran……………………………………………………………………..32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan luar negeri Indonesia pada periode tahun 1950-1965 adalah masa
yang penting dan menentukan dalam sejarah politik dan diplomasi Indonesia.
Setelah meraih kemerdekaan pada tahun 1945 dan menjalani periode perjuangan
merebut pengakuan internasional, Indonesia memasuki fase awal pembentukan
kebijakan luar negeri yang independen. Pada periode ini, Indonesia berjuang
untuk memperoleh pengakuan dan membangun jaringan hubungan diplomatik
dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini merupakan tantangan besar mengingat
kondisi geopolitik saat itu, termasuk persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur
yang berdampak pada dinamika hubungan internasional.
Pemerintah Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, menjalankan
politik luar negeri yang berdasarkan pada prinsip-prinsip seperti nasionalisme,
anti-imperialisme, dan netralitas aktif. Indonesia menjadi salah satu pendiri
Gerakan Non-Blok pada tahun 1961, yang memperkuat peran negara ini dalam
forum internasional dan menekankan pentingnya menghormati kedaulatan
nasional dan kebebasan dari campur tangan asing. Selama periode ini, Indonesia
juga menghadapi tantangan besar dalam mengatasi konflik dengan Belanda terkait
penyelesaian status Irian Barat (sekarang Papua). Tuntutan Indonesia untuk
mengakhiri kolonialisme di wilayah tersebut menjadi salah satu fokus utama
kebijakan luar negeri pada saat itu. Berbagai upaya diplomasi, termasuk melalui
PBB, dilakukan untuk mencapai penyelesaian yang adil dan damai.
Di samping itu, Indonesia juga terlibat aktif dalam mendukung perjuangan
kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Pemerintah Indonesia
mendukung gerakan dekolonisasi di berbagai negara dan memberikan bantuan
politik, diplomatik, dan materiil kepada gerakan kemerdekaan di wilayah tersebut.
Pada periode ini, Indonesia juga menjalin hubungan dengan negara-negara di Asia
Tenggara melalui pembentukan organisasi regional seperti Masyarakat Ekonomi
Asia Tenggara (SEATO) dan Dewan Perhimpunan Asia Tenggara (ASEAN).
Upaya-upaya ini bertujuan untuk memperkuat solidaritas antarnegara di
kawasan dan mempromosikan kerjasama ekonomi, politik, dan keamanan.

1
Namun, periode tahun 1950-1965 juga melihat meningkatnya ketegangan politik
dan sosial di dalam negeri Indonesia. Perpecahan politik dan konflik ideologis
yang melibatkan berbagai kelompok dan kepentingan mendorong perubahan besar
dalam kebijakan luar negeri Indonesia.Dalam kesimpulan, periode tahun 1950-
1965 merupakan masa yang signifikan dalam sejarah hubungan luar negeri
Indonesia. Pada masa tersebut, Indonesia berjuang untuk memperoleh pengakuan
internasional, menghadapi tantangan dalam menyelesaikan konflik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk Politik Luar Negeri Indonesia setelah pengakuan
kedaulatan?
2. Bagaimana konstelasi politik dunia pada masa demokrasi liberal dan
terpimpin ?
3. Bagaimana sikap dan posisi Indonesia dalam situasi perang dingin ?
4. Bagaimana bentuk kerjasama Indonesia dengan negara-negara lain dalam
tahun 1950-1965 ?
5. Bagaimana Politik bebas aktif Indonesia selama tahun1950-1965 ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara garis besar tujuan
penulisan makalah ini diantaranya untuk mengetahui:
1. Bagaimana bentuk Politik Luar Negeri Indonesia setelah pengakuan
kedaulatan?
2. Bagaimana konstelasi politik dunia pada masa demokrasi liberal dan
terpimpin ?
3. Bagaimana sikap dan posisi Indonesia dalam situasi perang dingin ?
4. Bagaimana bentuk kerjasama Indonesia dengan negara-negara lain dalam
tahun 1950-1965 ?
5. Bagaimana Politik bebas aktif Indonesia selama tahun1950-1965 ?

2
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat pembuatan makalah ini adalah agar dapat digunakan sebagai bahan
ajar mata kuliah Sejarah Indonesia Pasca kemedekaan. Setelah membaca makalah
ini pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang Sejarah dalam perjalanan
Hubungan Luar Negeri Indonesia dalam rentan Tahun 1950-1965.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bentuk Politik Luar Negeri Indonesia Setelah Pengakuan Kedaulatan

Sejak setelah diadakannya Konferensi Meja Bundar pada tangal 23 Agustus 1949 di Den
Hag,maka babak baru dalam pemerintahan Indonesia telah dimulai (Pramoedya,2014). Dalam
hal ini sesuai dengan kesepakatan kedua negara pada konferensi tersebut, system
pemerintahan Indonesia haruslah berbentuk serikat. Yakni di mana dalam satu negara
terdapat negaranegara bagian di dalamnya. Selanjutnya terkait dengan hubungan diplomatic
kedua negara tersebut, pemerintah Indonesia pada waktu itu mencoba menjalin hubungan
baik dengan pemerintah Belanda. Hal yang dilakukan pemerintah Indonesia pada waktu juga
merupakan satu usaha yang dilakukan guna mendapatkan kejelasan mengenai status dari Irian
Barat yang masih dikuasai oleh pemerintah Belanda. Di mana salah satu isi kesepakatan dari
KMB menyebutkan bahwa masalah Irian Barat akan diadakan perundingan tersendiri dalam
waktu satu tahun setelah pengakuan kedaulatan atas RIS.
Akan tetapi hingga akhir tahun 1949, pemerintah Indonesia pun pada waktu itu belum
mendapatkan kejelasan terkait masalah Irian Barat. Bahkan sampai pada kembalinya bentuk
negara Indonesia ke dalam bentuk negara kesatuan, masalah Irian Barat pun belum
terselesaikan. Kembalinya negara Indonesia menjadi Negara Kesatuan yang didahului
pembubaran negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17 Agustus 1950, yang dimana
dalam pembentukan negara kesatuan tersebut bukan semata-mata kehendak dari pemerintah
pada waktu itu akan tetapi adanya desakan dari sebagian besar rakyat negara-negara federal
yang menghendaki agar negara federal tersebut dibubarkan dan bergabung ke dalam negara
Republik Indonesia (Marwati: 370-371.). Sehubungan dengan dibubarkannya negara
Republik Indonesia Serikat maka kabinet serta segala bentuk kementrian yang berada di
dalamnya juga ikut dibubuarkan yang dimana pada waktu itu jalannya pemerintahan di dalam
Republik Indonesia Serikat dipimpin oleh kabinet Moh. Hatta.
Sehubungan dengan hal tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca pembubaran
RIS mengalami kekosongan kebinet dalam artian NKRI pada waktu itu belum memiliki
seorang perdana menteri untuk menjalankan pemerintahan negara. Dalam hal ini NKRI pada
awal kembalinya menganut sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer yang dimana
presiden hanya sebagai pemimpin negara tapi yang menjalankan pemerintahan adalah
seorang perdana menteri. Terkait dengan hal itu, pada masa awal dari kambalinya NKRI
4
yakni dari tahun 1950-1959, terdapat tujuh kabinet yang pernah memimpin jalannya
pemerintahan negara Indonesia yakni, kabinet Natsir ( 7 September 1950-21 Maret 1951),
kabinet Sukiman (27 April 1951-23 Februari 1952), kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni
1953) dan kabinet Ali Sastroamidjojo I (1 Agustus 1953-24 Juli 1955), kabinet Burhanuddin
Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956), kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4
Maret 1957) dan kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959) (Adi Sudirman, 2014).
Pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), merupakan sebuah masa dimana
kedudukan partai politik sangatlah kuat. Dalam hal ini segala kebijakan yang akan diambil
pada waktu itu tidak perlu melibatkan pemimpin negara atau persiden, karena kedudukan
presiden pada waktu itu hanyalah mengesahkan apa yang telah menjadi keputusan dari
parlemen. Terkait dengan bentuk sistem pemerintahan yang bersifat Demokrasi Parlementer
yang diamana seorang perdana menteri yang bertanggung jawab dalam hal pemerintahan
sedangkan presiden hanya sebagai kepala negara, maka dari itu pada tanggal 6 September
1950, secara resmi kabinet Natsir mulai memimpin jalannya pemerintahan NKRI
(Marwati:308).

2.2 Konstelasi Politik Dunia Pada Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi
Terpimpin

Konstelasi politik dunia pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin Indonesia
yang terjadi antara tahun 1950 dan 1965 dibentuk setelah Perang Dunia II dan dimulainya
Perang Dingin. Berikut adalah beberapa aspek kunci dari lanskap politik global selama
periode tersebut:

1. Perang Dingin (Blok Barat dan Blok Timur)

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, ada dua pola pikir tentang bagaimana hubungan
AS-Uni Soviet terhadap negara lain dan bagaimana hubungan antarnegara. Winston
Churchill, seorang realis, menghendaki pembagian wilayah pengaruh antara AS dan Uni
Soviet secara jelas, khususnya di Eropa. Sementara Roosevelt, seorang idealis menghendaki
suatu kerjasama dan hubungan komplementer bagi tiap negara dengan mendudukkan negara-
negara besar sebagai penjamin - penjaga perdamaian dunia. Hasilnya dibentuklah PBB
dengan menempatkan lima negara besar sebagai pemegang hak veto. Namun dalam
prakteknya tujuan ideal ini tidak berjalan dengan semestinya, karena baik AS dan Uni Soviet

5
selalu memandang curiga dan merasa terancam satu sama lain. Akibatnya, terjadilah perang
dingin antara Uni Soviet sebagai blok Timur dan Amerika Serikat sebagai blok Barat
(McNamara 1989, 23).
Baik AS maupun Uni Soviet melihat keduanya saling bermusuhan dan menjadikan negara
ketiga sebagai ladang perluasan pengaruh mereka. AS menyebarkan Liberalisme melalui
perluasan perdagangan dan bantuan ekonomi dengan dalih demi perjuangan hak azasi
manusia, sementara Uni Soviet menyebarkan Komunisme melalui pemberian persenjataan
serta isu perjuangan pembebasan melawan imperialisme-kolonialisme. Konflik di sejumlah
negara Dunia Ketiga tidak lepas dari kepentingan dan ambisi kedua negara adidaya tersebut.
Perang Dingin merupakan suatu kondisi dunia yang hidup dalam bayangan perang nuklir,
suatu kondisi dimana dunia diwarnai hubungan ketegangan "damai tetapi tidak damai" karena
pelatuk konflik perang nuklir masing-masing pihak siap meledak (Kort 1998, 4). Dalam
perkembangannya, perang dingin semakin menajam seiring dengan perlombaan senjata
antara AS-Uni Soviet. Masing-masing berusaha saling mengungguli baik dalam varitas
maupun kualitas. Usaha peredaan ketegangan sudah dilakukan, namun sebegitu jauh masih
bersifat ambivalen.
Konflik diantara kedua negara ini diperlihatkan dengan persaingan yang dilakukan oleh
keduanya dalam menanamkan pengaruh dan ideologinya, AS menyebarkan pengaruh
liberalisme dengan cara memperluas jalur perdagangan dan memberikan bantuan ekonomi
dengan dalih memperjuangkan HAM (Hak Asasi Manusia). Sedangkan Uni Soviet
menyebarkan pengaruh komunisnya dengan memberi bantuan persenjataan serta isu
perjuangan pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme. Persaingan di antara kedua
negara juga ditunjukan dalam bidang militer, dimana kedua negara ini saling
mengembangkan persenjataan terutama senjata nuklir. Hal inilah yang menyebabkan negara-
negara lain yang tidak terlibat dalam perang dingin merasa khawatir.
Menurut Robert McNamara, dikutip dari jurnal Meninjau kembali Konflik Perang Dingin
bahwasannya terjadinya konflik perang dingin itu dikarenakan oleh AS yang telah salah
persepsi terhadap Ideologi Komunis yang menekankan "Class Struggle". Pertama, doktrin
Socialism in one country, yang diartikan oleh pihak barat bahwa Uni Soviet ingin menjadi
satu-satunya negara sosialis yang menguasai dunia. Kecurigaan Amerika Serikat ini semakin
membesar karena pengaruh komunis yang semakin meluas dan banyak negara-negara yang
menjadi komunis.

6
Kedua, persepsi AS tersebut diperkuat dengan ditemukannya dokumen yang
membenarkan perluasan pengaruh Uni Soviet. Pada bulan April 1950, Dewan Keamanan
Nasional AS menemukan Dokumen NSC-68 berisi bahwa Moscow (Uni Soviet) punya
kewenangan absolut atas Dunia. Menurut dokumen ini, untuk mencapai kewenangan itu, bisa
dilakukan cara-cara subversi ataupun kekerasan. Dokumen tersebut menyatakan:

...to impose its absolute authority over the rest of the world.....the complete subversion
or forcible destruction of the machinery government and structure society in the
countries of the non-Soviet world and their replacement by an apparatus and
structure subservient to and controlled from the Kremlin (McNamara, 1989: 43).

Di samping itu juga ditemukan Dokumen A 1949 NSC tentang perlunya tindakan
ofensif pada negara-negara satelit di Eropa Timur, ataupun negara yang tidak mematuhi
komunisme internasional dibawah Uni Soviet Kebenaran dokumen ini menurut AS, terlihat
pada sikap keras Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan PBB karena tidak mau menerima
wakil rezim komunis Cina (1950). Sejak itu AS berusaha mengurung atau mengekang
pengaruh komunisme Uni Soviet dengan beberapa langkah. Secara politik menyebarkan
ideologi liberalisme-demokrasi sebagai ideologi negara yang humanis dengan secara
bersamaan menyebarkan isu bahaya komunis. Disamping itu AS mengeluarkan Uni Soviet
dari kelompok Eropa. Secara ekonomi, memberi bantuan ekonomi pada negara-negara
(dunia) ketiga, tak terkecuali negara-negara Eropa dengan program Marshall Plan
sebagaimana digagas oleh sekretaris negara George C Marshall.
Konflik ideologi-politik berimplikasi pada persaingan militer. Ibarat persaingan suatu
perusahaan dalam pasar yang sama, mereka sama-sama berkompetisi mencari metode
optimal untuk menghasilkan mekanisme pasar yang lebih menguntungkan. Uni Soviet
berhasil "menguasai" negara-negara Eropa Timur. Melihat hal ini AS tidak ingin
"Finlandianisasi" kawasan Eropa akan terus berlangsung untuk itu dibentuklah aliansi NATO
(North Atlantic Treaty Organization) pada tahun 1954. Sementara pada kawasan lain ia
menjalin hubungan dengan Cina Nasionalis (1954), membentuk ANZUS (1951), SEATO
(1954), serta mengadakan perjanjian dengan Iran, Turki dan Pakistan (McNamara, 1989: 46).
Menanggapi kondisi ini, Uni Soviet membentuk WTO (Warsawa Treaty Organization) 1955.
mendirikan Cominform (Communist Information Bureau), serta meningkatkan inovasi militer
dengan berhasil diluncurkannya satelit sputnik (1957).

7
Langkah-langkah yang dilakukan AS untuk mengekang penyebaran pengaruh
komunis yakni, secara politik menyebarkan ideologi liberal-demokrasi sebagai ideologi yang
humanis dan secara bersamaan menyampaikan bahaya komunis. Selain itu, AS juga
mengeluarkan Uni Soviet dari kelompok Eropa. Dalam bidang ekonomi, tindakan yang
dilakukan AS antara lain yakni memberi bantuan ekonomi kepada negara-negara dunia
ketiga, serta negara-negara Eropa dengan program Marshal Plan yang digagas oleh George C
Marshal. Namun kemudian, ada beberapa negara yang menolak bantuan-bantuan tersebut,
dan menyatakan dirinya tidak termasuk dalam salah satu blok, inilah cikal-bakal munculnya
kelompok Non-Blok.

2. Gerakan Non-Blok

Gerakan Non Blok (Non Aligned Movement) merupakan gerakan negara-negara di Asia
dan Afrika yang tidak memihak Blok manapun dalam Perang Dingin (Cold War). Negara-
negara Non Blok menganut prinsip politik untuk tidak terikat pada salah satu Blok, baik Blok
Barat (dipimpin oleh Amerika Serikat) maupun Blok Timur (dipimpin oleh Uni Sovyet).
Blok Barat yang berhaluan liberal mempunyai anggota negara- negara dari benua Eropa
dan luar Eropa. Anggota Blok Barat, adalah Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Jerman Barat,
Belgia, Norwegia, Yunani, Turki, Portugal, Kanada, dan Australia. Blok Timur yang
menganut paham komunis terdiri dari negara-negara sebagai berikut. Jerman Timur,
Polandia, Hongaria, Bulgaria, Rumania, Cekoslovakia, dan Albania. Perang Dingin sendiri
muncul setelah Perang Dunia Il berakhir. Pada masa itu Amerika Serikat (AS) dan Uni
Sovyet yang bersekutu dalam Perang Dunia II akhirnya bersimpang jalan karena
pemerintahannya menganut ideologi yang berbeda. Oleh karena itu negara-negara Barat yang
lain menuduh Uni Sovyet telah menggunakan "tirai besi" untuk melindungi negaranya. Blok
Barat juga mencurigai Uni sovyet yang memperkuat persenjataan dengan senjata nuklir.
Negara-negara yang tidak bergabung dengan kedua Blok itu mencemaskan perdamaian dunia
akan terancam.
Oleh karena itu perlu digalang kerjasama dalam menghadapi dua blok yang sedang
bersaing. Negara-negara yang tidak termasuk ke dalam Blok Timur maupun Barat,
digolongkan dalam kelompok dunia ketiga. Pada umumnya negara-negara itu pernah
mengalami penjajahan dan sepakat untuk menghapus penjajahan dalam segala bentuknya.
Pada tahun 1955 diadakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung yang berlangsung pada

8
tanggal 18 - 25 April. KAA diprakarsai oleh lima negara Asia, yaitu Indonesia, India, Birma,
Pakistan, dan Srilanka. KAA kemudian menghasilkan prinsip Dasasila Bandung.
Selanjutnya, beberapa negara setuju untuk membentuk suatu organisasi yang bebas dari
pengaruh dua negara adikuasa, yaitu AS dan Uni Sovyet. Organisasi tersebut dinamakan
Gerakan Non Blok (Non Aligned Movement). Penggagasnya, adalah Presiden Soekarno
(Indonesia), Presiden Josep Broz Tito (Yugoslavia), Presiden Gamal Abdul Nasser (Mesir),
Perdana Menteri Pandit Jawaharlal Nehru (India), Sekou Toure (Guinea), dan Perdana
Menteri Kwame Nkrumah (Ghana).
Pada tanggal 16 September 1961 diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-
negara Non Blok yang pertama di Beograd, Yugoslavia. Negara-negara yang diundang untuk
menghadiri KTT tersebut adalah negara-negara yang menganut politik bebas yang didasarkan
pada hidup berdampingan secara damai, tanpa menekankan perbedaan sistem sosial politik di
negara masing-masing.
Gerakan Non Blok senantiasa memberi dukungan bagi gerakan-gerakan pembebasan
nasional untuk mencapai kemerdekaan. Gerakan Non Blok tidak berpihak pada salah satu
Blok dan menolak berbagai persekutuan militer. Jika ada anggota negara Non Blok terikat
oleh perjanjian militer bilateral dengan salah satu negara. besar atau menjadi anggota pakta
pertahanan regional, perjanjian itu tidak boleh dikaitkan secara langsung dalam pertentangan
ne- gara-negara besar. Jika ada pangkalan militer asing di wilayahnya maka hal itu juga tidak
boleh dikaitkan dalam pertentangan kedua Blok yang ada.
Pendirian Gerakan Non-Blok sebenarnya merupakan reaksi atas terjadinya Perang
Dingin. yang memecah dunia menjadi Blok Barat dan Blok Timur. Sejumlah negara
berkembang yang tidak ingin terlibat dalam konflik di antara kedua blok tersebut, kemudian
berupaya untuk meredakan ketegangan dunia. Dengan bersatu padu, negara-negara tersebut
menghimpun kekuatan agar mempunyai pengaruh dalam percaturan politik dunia melalui
Gerakan Non-Blok. Oleh karena itu, Gerakan Non-Blok didirikan dengan mengutamakan
prinsip-prinsip, yaitu:
1. saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan;
2. perjanjian non agresi;
3. tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain:
4. kesetaraan dan keuntungan bersama;
5. menjaga perdamaian.

9
Selain prinsip-prinsip tersebut, Gerakan Non-Blok juga mempunyai beberapa tujuan.
Pertama, mengembangkan solidaritas antarsesama negara berkembang dalam mencapai
persamaan, kemakmuran, dan kemerdekaan. Kedua, turut serta dalam meredakan ketegangan
dunia akibat perseteruan antara Blok Barat dan Blok Timur. Ketiga, menahan pengaruh buruk
yang berasal dari Blok Barat dan Blok Timur.
KTT Gerakan Non Blok di Beograd, Yugoslavia dihadiri oleh 25 orang kepala negara
atau pemerintahan yang mencakup 12 negara dari Asia, 11 negara dari Afrika, 1 negara dari
Eropa, dan 1 negara dari Amerika Latin. Gerakan Non Blok terbentuk karena lahirnya
negara-negara adikuasa pada era Perang Dingin. Oleh karena itu diperlukan sebuah organisasi
untuk memperjuangkan tata dunia yang lebih adil. Hal ini disebabkan mayoritas anggota
Gerakan Non Blok merupakan negara berkembang.
Sejak pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I Non-Blok di Belgrade tahun
1961, rangkaian KIT Non-Blok terus diselenggarakan oleh anggota-anggota GNB. Anggota-
anggota penting GNB, diantaranya Yugoslavia, India, Mesir, Indonesia, Pakistan, Kuba,
Kolombia, Venezuela, Afrika Selatan, Iran. dan Malaysia. Meskipun organisasi ini
dimaksudkan untuk menjadi aliansi yang dekat seperti NATO atau Pakta Warsawa, negara-
negara anggotanya tidak pernah mempunyai kedekatan. Akhirnya, banyak anggota GNB
yang diajak beraliansi oleh salah satu blok negara adidaya. Misalnya, Kuba, mempunyai
hubungan yang dekat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Selain itu, India yang
bersekutu dengan Uni Soviet untuk melawan Tiongkok selama beberapa tahun. Lebih buruk
lagi, beberapa anggota bahkan terlibat konflik dengan anggota lainnya, seperti konflik antara
India dan Pakistan, serta konflik antara Iran dan Irak. Gerakan ini sempat terpecah pada saat
Uni Soviet menginvasi Afganistan pada tahun 1979. Ketika itu, seluruh sekutu Soviet
mendukung invasi, sedangkan anggota GNB, terutama negara dengan mayoritas
penduduknya muslim, tidak mungkin melakukan hal yang sama terhadap Afghanistan akibat
adanya perjanjian nonintervensi sesuai kesepakatan GNB.

2.3 Sikap dan Posisi Indonesia Pada Masa Perang Dingin

Perang Dingin yang terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menimbulkan
perpecahan menjadi kubu-kubu yang berlandaskan ideologi berbeda. Amerika Serikat dengan
ideologi liberalnya dan Uni Soviet dengan ideologi komunisnya. Hal ini tentunya
menyebabkan masalah baru dikarenakan setiap kubu mulai melakukan usaha dalam menarik
negara negara yang berada di kawasan Asia dan juga Afrika untuk dapat mendukung paham
10
mereka masing masing. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan sebuah dorongan yang
sangat kuat dari para pemimpin di dunia ketiga agar dapat keluar dalam tekanan dari kedua
kubu tersebut.
Pada saat itu Indonesia dipelopori oleh Presiden Soekarno diikuti juga perdana menteri
dari India diantaranya adalah Jawaharlal Nehru dan juga beberapa pimpinan negara lain di
kawasan Asia dan Afrika telah merasakan dampaknya bahwa polarisasi yang sudah terjadi di
masa perang dingin pada umumnya tidak jauh berbeda dengan adanya kolonialisme namun
hal ini di bentuk dengan sedemikian rupa dengan cara yang lain (Akbar, Subagyo, &
Oktaviani, 2020). Pada akhirnya di tahun 1960an, negara-negara yang merdeka telah
melakukan pembentukan dalam Gerakan Non-Blok (GNB) , gerakan ini menjadi tekad suatu
negara merdeka yang tanpa memihak Blok Barat ataupun Blok Timur. GNB juga mempunyai
tujuan untuk menciptakan perdamaian dunia dengan berdasarkan terhadap prinsip hidup yang
dapat berdampingan secara damai untuk menentang berbagai paham seperti imperalisme,
neokolonialsme, kolonialisme juga menentang dalam perbedaan warna kulit termasuk
Zionisme dalam berbagai bentuk sebuah dominasi, ekspansi dan juga dalam pemusatan
bentuk kekuasaan (Natasya, 2003).
Indonesia menjadi salah satu Negara pelopor pembentukan proses Gerakan Non-Blok
yang dilandaskan prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia hal ini tentunya
tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang berada di alinea pertama yaitu ―sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia
harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan‖. Selain itu
juga Indonesia memiliki prinsip untuk melaksankan ketertiban dunia dengan berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Prinsip itulah yang kemudian menjadi
salah satu penggerak dalam menjalankan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif oleh
karena itulah Indonesia mendukung proses terbentuknya GNB (Haryanto, 2014).
.
2.4 Bentuk kerjasama Indonesia terhadap Negara lain tahun 1950-1965

Pada tahun 1950-1965, Indonesia terlibat dalam berbagai bentuk kerjasama dengan
negara-negara lain. Berikut ini beberapa contoh kerjasama yang terjadi pada periode tersebut:

11
1. Gerakan Non Blok

Politik luar negeri bebas dan aktif ini sudah merupakan suatu politik yang diterima secara
mantap oleh masyarakat Indonesia. Ketika tahun 1951 Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo
dan Duta Besar Amerika Merle Cochran menandatangani perjanjian kerjasama keamanan
dengan Amerika Serikat terkait dengan Mutual Security Act (MSA), terjadi krisis politik di
Indonesia yang menjatuhkan kabinet Sukiman. Kerjasama tersebut dinilai sangat merugikan
politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Kabinet Sukiman dituduh telah
memasukkan Indonesia ke dalam Blok Barat. Salah satu ciri ekspresi politik bebas aktif
adalah politik nonblok. Dalam hal ini, Indonesia bebas memilih jalan dalam perpolitikan
dunia. Tidak ada tekanan baik dalam maupun luar. Indonesia tidak kemudian jatuh ke tangan
Blok Barat maupun Blok Timur. Indonesia mencoba untuk berdiri di tengah-tengah (di antara
dua karang) dan tidak memihak AS maupun Soviet. Karena jika memihak salah satunya akan
melunturkan semangat dan makna dari ‗bebas‘ itu sendiri. (Nugroho, 1965).
Munculnya gerakan non-blok sebagai suatu organisasi kekuatan telah memulai suatu
tahap baru di dunia. Gerakan ini telah melontarkan suatu konsep baru mengenai hubungan
internasional, menggeser perimbangan kekuatan di dunia, dan tampil ke muka untuk ikut
menyelesaikan masalah-masalah internasional. Lagi pula gerakan non-blok ikut
mempengaruhi perubahan intern negeri-negeri non-blok di bidang politik, ekonomi dan
sosial, dan membuat mereka sadar akan kenyataan-kenyataan dewasa ini. Dengan demikian
gerakan non-blok adalah sangat penting, tidak hanya berdasarkan apa yang telah dicapainya
melainkan juga berdasarkan apa yang dicegahnya. Lahirnya gerakan ini merupakan akhir
tahap hubungan internasional yang satu dan permulaan tahap yang lain. Organisasi aksinya
telah melancarkan suatu gerakan global yang mendukung emansipasi dan mengetengahkan
isyu-isyu penting dalam hubungan internasional. (Non-blok, 1976).

2. Konferensi Asia Afrika

Sebelum Konferensi Asia Afrika dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan konferensi


pendahuluan sebagai persiapan. Konferensi pendahuluan tersebut yang pertama adalah
Konferensi Kolombo. Konferensi ini diselenggarakan di Kolombo, ibu kota negara Sri Lanka
pada tanggal 28 April s.d. 2 Mei 1954. Konferensi dihadiri oleh lima orang perdana menteri
yakni Perdana Menteri Pakistan Muhammad Ali Jinnah, Perdana Menteri Sri Lanka Sir John

12
Kotelawala, Perdana Menteri Birma (Myanmar) U Nu, Perdana Menteri Indonesia Ali
Sastroamijoyo, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru. (Nugroho, 1965).
Terselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang bertempat di Bandung pada
tahun 1955 ini adalah wadah bagi berjalannya proses pembentukan GNB. Setelah
berakhirnya Perang Dunia II yang dimenangkan oleh sekutu telah menciptakan dua blok
negara super power yakni antara Blok Barat yang menganut sistem kapitalis di mana
Amerika Serikat sebagai pemimpinnya dan Blok Timur yang menganut ideologi komunis di
mana Uni Soviet sebagai pemimpinnya. Hal ini telah menciptakan permasalahan baru di
belahan dunia, sehingga menjadi faktor pemicu Perang Dingin. Isu yang terjadi pada masa itu
yakni tentang pengembangan senjata nuklir oleh kedua blok yang mengancam keamanan
dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada saat itu belum berhasil meredakan
ketegangan antara kedua blok tersebut, sedangkan negaranegara di kawasan Asia dan Afrika
telah menderita akibat masalah yang ditimbulkan. (Non et al., 2020).

3. Konfrontasi Indonesia Malaysia

Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang kemudian dikenal dengan politik


Konfrontasi, ialah sebuah perang urat syaraf tentang masa depan Malaysia, Brunei, Sabah
dan Sarawak. Hal ini terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1963 hingga
1966. Perang ini berasal dari keinginan pemerintah Malaysia yang ingin membentuk Federasi
Malaya (FM) atau lebih dikenal dengan Persekutuan Tanah Melayu. Tahun 1961 FM
menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam wilayahnya. Hal ini tidak sesuai
dengan Persetujuan Manila, maka keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno. Soekarno
menganggap pembentukan Federasi Malaysia (FM) yang sekarang dikenal sebagai Malaysia
sebagai ―boneka Inggris‖ yang merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru.
Dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di
Indonesia. (Patrick Witton, 2003: 944) Pelanggaran perjanjian internasional dengan konsep
The Macapagal Plan melalui perjanjian Manila pada 31 Juli 1963, kemudian tanggal 3
Agustus 1963 juga tanggal 5 Agustus 1963 tentang dekolonialisasi yang harus
mengikutsertakan seluruh rakyat Sarawak dan Sabah. (Masa & Tahun, 1966).

4. Hubungan Indonesia Dengan Tiongkok Sekitar Tahun 1960

Tahun 1960-an adalah periode menguatnya hubungan Indonesia dengan Republik Rakyat
Tiongkok yang berhaluan komunis, sementara Indonesia belum mengakui Republik
13
Tiongkok nasionalis, yang dibuktikan dengan diterimanya satu Tiongkok dalam Konferensi
Asia Afrika yang dihadiri oleh wakil Republik Rakyat Tiongkok yaitu Zhou Enlai. Hubungan
yang menguat dan saling akrab antara pimpinan Republik Rakyat Tiongkok dengan pimpinan
Republik Indonesia Sukarno diikuti pula oleh keakraban pimpinan Partai Komunis Indonesia
yang terlihat berkunjung menemui Mao Zedong sebulan sebelum peristiwa 30 Septermber
1965. Kedekatan Partai Komunis Indonesia dengan pimpinan Republik Rakyat Tiongkok ini
kemudian menjadikan sikap sebagian besar rakyat Indonesia menaruh kecurigaan akan
adanya semacam bantuan dan kerjasama terselubung antara Partai Komunis Indonesia denga
Republik Rakyat Tiongkok. Masyarakat Indonesia sebagian besar menolak ideologi komunis
yang dianggap tidak beragama tersebut. Sementara sikap politik pimpinan Indonesia saat itu
terkesan memberikan restu tentang kegiatan kegiatan Partai Komunis Indonesia, dimana
tampak dalam salah satu perhelatannya membawa poster atau foto foto tokoh atau pemimpin
ideologi komunis diantaranya foto Mao Zedong. Kondisi ini semakin diperparah dengan
beredarnya berita bahwa Partai Komunis Indonesia berniat mengadakan pembentukan
anggota semi militer yang dipersenjatai dan berasal dari kaum buruh dan tani diluar pasukan
reguler Angkatan bersenjata Republik Indonesia. Anggota dari milisi tersebut nantinya akan
diberi nama angkatan ke lima dan akan mendapatkan perlengkapan sebanyak seratus ribu
pucuk senjata ringan dari Republik Rakyat Tiongkok. Berita ini semakin memperparah sikap
antipati dari rakyat Indonesia non anggota Partai Komunis Indonesia. Setelah Gerakan 30
September 1965, banyak demonstrasi menyerang Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok
yang dilakukan kalangan yang berasal dari luar Partai Komunis Indonesia. Bahwa saat itu
tidak ditemukan bukti langsung keterlibatan negara Republik Rakyat Tiongkok tentang
pengiriman senjata seperti sebelumnya telah diwartakan dalam media masa Indonesia saat itu,
rakyat Indonesia tidak peduli (Zhou 2019).

5. Hubungan Dan Dukungan Uni Soviet Terhadap Indonesia

Selama dekade terakhir era Stalin, dalam kaitannya dengan Indonesia, Uni Soviet
menuinjukkan dukungan yang konsisten terhadap perjuangan diplomasi Indonesia. Sebagai
bukti, pada awal 1946, yakni pada awal dimulainya persidangan-persidangan DK PBB, Uni
Soviet melalui Delegasi Soviet Ukraina telah mengajukan permasalahan Indonesia pada
sidang ke-12 DK PBB. Dimitry Manuilsky, ketua delegasi tersebut, adalah diplomat pertama
yang mengusulkan dibicarakannya masalah Indonesia di forum tersebut. Surat Manuilsky
tanggal 21 Januari 1946. dalam catatan PBB merupakan surat ketiga dalam sejarah yang
14
ditujukan pada DK PBB. Dalam sidang ke-12 dibicarakan tentang masuknya pasukan Sekutu
dibawah pimpinan Inggris, yang ditumpangi oleh pasukan NICA Belanda, dan pertempuran
yang terjadi di akhir tahun 1945 yang menimbulkan banyak korban dari pihak Indonesia. Uni
Soviet menyatakan bahwa Inggris telah menyalahi mandat yang diberikan Sekutu. Dukungan
Uni Soviet selanjutnya ditunjukkan saat terjadinya serangan militer I dan II yang dalam
historiografi Indonesia dikenal dengan Agresi Belanda I dan II. Dalam catatan PBB, justru
Uni Sovietlah yang pertama kali menyebut tindakan Belanda sebagai sebuah agresi, di saat
negara-negara lain di DK PBB ragu untuk menamakan apa yang telah dilakukan Belanda di
Indonesia. Uni Soviet dengan tegas dan lugas menyatakan bahwa tindakan Belanda tersebut
adalah sebuah Agresi militer. (Fahrurodji, 2017).

2.5 Menganalisis Politik Bebas Aktif Indonesia Selama Tahun 1950-1965

Pelaksanaan Politik Luar Negeri di Idonesia merupakan pelaksanaan dari rencana


politik dan pelaksanaan kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Pada pembahasan Bab
ini akan dibahas mengenai latar belakang pelaksnaaan Politik Luar Negeri di di Indonesia,
kondisi politik awal kemerdekaan di Indonesia, Politik Luar Negeri Indonesia pada masa RIS
dan Demokrasi liberal, dan kondisi pemerintahan pada masa demokrasi terpimpin. Politik
Luar Negeri merupakan suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalin
hubungan dengan Negara lain. Indonesia sebagai Negara yang baru merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945 tentunya perlu untuk menjalin kerjasama dengan luar negeri dalam rangka
membangun bangsa. Kebijakan politik bebas aktif adalah pendekatan yang diadopsi oleh
Indonesia dalam hubungannya dengan negara-negara lain selama periode 1950-1965.
Kebijakan ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Indonesia pertama, Soekarno, pada
Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Prinsip dasar dari politik bebas aktif
adalah netralitas dan ketidakalihan. Indonesia berusaha untuk tetap netral dan tidak terlibat
dalam blok politik manapun, seperti Blok Barat atau Blok Timur, selama Perang Dingin.
Prinsip ini diadopsi sebagai upaya untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan
negara, serta untuk mendapatkan dukungan dan kerjasama dari negara-negara di dunia yang
berbeda.
Dalam praktiknya, politik bebas aktif mengandalkan diplomasi, hubungan bilateral,
dan partisipasi aktif dalam forum-forum internasional. Indonesia aktif terlibat dalam Gerakan
Non-Blok, yang mengadvokasi netralitas dan otonomi negara-negara di dunia. Selain itu,
Indonesia juga aktif dalam kerja sama ekonomi dan budaya dengan negara-negara di Asia
15
dan Afrika, khususnya melalui Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok. Politik bebas
aktif juga mencerminkan semangat nasionalisme dan kepemimpinan Indonesia dalam
pergerakan anti-kolonial dan dekolonisasi. Indonesia memainkan peran penting dalam
mendukung kemerdekaan negara-negara baru di Asia dan Afrika, serta berjuang untuk
mengakhiri kolonialisme dan imperialisme. Namun, pada periode akhir 1950-an hingga awal
1960-an, politik bebas aktif mengalami perubahan. Soekarno mengambil langkah-langkah
yang lebih radikal dan mengadopsi kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia, yang
merupakan negara baru yang dipandang oleh Indonesia sebagai kolonialisme baru. Kebijakan
ini menyebabkan ketegangan dan konflik dengan negara-negara tetangga, terutama dengan
Malaysia dan Singapura. Perubahan politik bebas aktif ini juga terkait dengan ideologi
nasionalis yang semakin berpengaruh dalam pemerintahan Indonesia saat itu. Konsep
"Guided Democracy" (Demokrasi Terpimpin) diperkenalkan, di mana kekuasaan politik
dikuasai oleh Soekarno dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal ini mengakibatkan
pembatasan kebebasan politik dan oposisi di Indonesia. Pada tahun 1965, politik bebas aktif
mengalami perubahan signifikan dengan pecahnya Gerakan 30 September dan peristiwa
G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia). Pemerintahan Soekarno
digulingkan oleh Angkatan Darat dan digantikan oleh Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto.

A. Kabinet Parlementer Pada Masa Pemerintahan Soekarno

Pemerintahan pada masa Demokrasi Parlementer dijalankan oleh tujuh kabinet


dengan masa jabatan berbeda. Ketujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir dengan masa jabatan
antara 6 September 1950 ±18 April 1951, Kabinet Sukiman dengan masa jabatan antara 26
April 1951 ±26 April 1952, Kabinet Wilopo dengan masa jabatan antara 19 Maret 1952 ±2
Juni 1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan masa jabatan antara 31 Juli 1953 ±24 Juli
1955, Kabinet Burhanuddin Harahap dengan masa jabatan antara 12 Agustus 1955 ±3 Maret
1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dengan masa jabatan antara 24 Maret 1956 ±14 Maret
1957, dan Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dengan masa jabatan antara 9 April 1957 ±10
Juli 1959 (Matroji, 2002: 69-70). Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh ketujuh
kabinet tersebut, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban rakyat, meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat, mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu, menyelesaikan
masalah dan memperjuangkan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia, dan melaksanakan
Politik Luar Negeri yang Bebas Aktif. Selain itu, pada masa Demokrasi Parlementer ini juga
16
dibentuk konstituante, sebuah lembaga yang bertugas untuk menyusun dan menetapkan
Undang-Undang Dasar (UUD) baru bagi Indonesia.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem yang dianut
oleh bangsa Indonesia pada tahun 1949-1959 adalah sistem demokrasi Liberal yaitu sistem
politik yang melindungi secara konstitusional hakhak individu dari kekuasaan pemerintah.
Dalam demokrasi liberal, keputusankeputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau
langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang
tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar
kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi. Pada kabinet pertama
belum memiliki Menteri Pertahanan, dan fungsi Kementerian Pertahanan Negara ada di
dalam Kementerian Keamanan Rakyat, yang dipimpin oleh Menteri Keamana Rakyat, yakni
mantan SodanchoSuprijadi. Sebagaimana diketahui bahwa Suprijadi tidak pernah menduduki
posisi sebagai Menhan dan selanjutnya posisi Menhan digantikan oleh Sulyadikusumo
sebagai Menteri ad interim pada 20 Oktober 1945. Pada masa kabinet Sjahrir ke-1 yaitu
periode 14 November 1945-12 Maret 1946 fungsi pertahanan Negara juga masih berada di
bawah wewenang Menteri Keamanan Rakyat, yang dijabat oleh Mr. Amir Sjarifuddin.
Namun pada kabinet Sjahrir ke-2 periode 12 Maret – 2 Oktober 1946, dibentuk Kementerian
Pertahanan yang dijabat oleh Mr. Amir Sjarifuddin. Di dalam kabinet ini fungsi pertahanan
keamanan mulai ditekankan. Dalam Perjalanannya, jabatan Menteri Pertahanan sering dijabat
rangkap oleh satu orang, seperti PM Amir Sjarifuddin pada kabinetnya (3 Juli – 11 November
1947), yang menunjukan betapa pentingnya fungsi pertahanan Negara dalam menghadapi
beragam konflik yang terjadi pada saat itu. Pada periode Kabinet Hatta ke-1 periode 29
Januari 1948 – 4 Agustus 1949, saat Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI dalam
keadaan darurat akibat tekanan tentara Belanda, Wapres Drs. Moh. Hatta merangkap sebagai
Menteri Pertahanan ad interim. Namun pada 15 Juli 1949 jabatan Menhan dipegang oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Sri Sultan juga menjabat Menhan pada masa Kabinet Hatta
ke-2 dan Kabinet Republik Indonesia Serikat hingga 6 September 1950, dan kemudian
menjabat lagi pada beberapa kabinet berikutnya hingga mundur atas permintaan sendiri pada
2 Juni 1953. Pada kabinet Pembangunan I di Era Orde Baru, mulai 6 Juni 1968 jabatan
Menteri Pertahanan Keamanan dirangkap Persiden RI Jenderal TNI Soeharto.

17
B. Kondisi Politik Indonesia Periode Awal Kemerdekaan (1945-1949)

Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno yang
didampingi oleh Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia. Pada masa awal-awal
kemerdekaan, arah kebijakan Politik Luar Negeri dan diplomasi Indonesia lebih ditujukan
untuk memperolehpengakuan internasional atas proses dekolonisasi dan menentang segala
macam bentuk penjajahan di atas dunia (Wuryandari, 2008). Agenda Politik Luar Negeri
Indonesia pada saat itu lebih banyak ditentukan oleh kepentingan politik domestik, daripada
sematamata mengikuti tekanan lingkungan internasional (Wuryandari, 2008). Hal ini
dikarenakan Indonesia adalah sebuah Negara yang baru merdeka yang belum secara penuh
mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Negara-Negara di dunia. Sedangkan syarat suatu
Negara diakui sebagai suatu Negara yang berdaulat penuh adalah mendapatkan pengakuan
dari Negara-Negara di dunia bahwa Negara tersebut adalah sebuah Negara baru yang telah
merdeka dan berdaulat.
Orientasi kebijakan Indonesia pada saat itu adalah mempertahankan kedaulatan dan
membentuk otoritas Negara itu sendiri, sambil menata kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Soekarno sebagai aktor sentral (dalam hal ini berperan sebagai seorang
presiden) berusaha memainkan peranannya sebagai seorang nasionalis sejati yang
mempertahankan keutuhan bangsa dan Negaranya. Sejak Bung Hatta menyampaikan
pidatonya berjudul ‖Mendajung Antara Dua Karang‖ (1948), Indonesia menganut Politik
Luar Negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk
dalam salah satublok Negara-Negara superpowe, menentang pembangunan pangkalan militer
asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan Negara-Negara besar.
Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di
dunia internasional. Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai
kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh
Pemerintah dalam hubungannya dengan Negara-Negara asing atau organisasi-organisasi
internasional dan regional yang diarahakan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa (Jusuf,
1989).
Politik Luar Negeri Bebas Aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam
pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya
pelaksanaan 44 Politik Luar Negeri Bebas Aktif ini juga disesuaikan dengan konstelasi
politik internasional pada saat itu. Politik Luar Negeri yang dijalankan oleh Soekarno pada
masa awal kemerdekaan lebih bersifat High profile yang mengutamakan sembooyan anto
18
kolonialisme dan imperalisme. Pemerintahan Soeharto lebih mengutamakan pembangunan
dan memperdulikan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, Soekarno memilih untuk
menerapkan Politik Luar Negeri Bebas Aktif sehingga tidak menggangu politik dalam negeri
(Wuryandari, 2008). Presiden Soekarno pada masa itu diasosiasikan dengan kelompok
Negara-Negara komunis. Kedekatannya dengan para pemimpin Negara komunis
menyebabkan kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahannya terkesan mendekati
garis kiri dan Indonesia dikenal sebagai Negara yang bersahabat dengan Negara-Negara
komunis. Soekarno punya agenda politik luas yang mencakup gagasan-gagasan kiri.
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno telah
membawa Indonesia pada aliran arah kiri dengan Poros Jakarta-Phnom Penh-
HanoiPyongyang-Peking yang beliau buat. Poros ini kemudian menempatkan Indonesia pada
posisi yang aneh di kalangan Negara- Negara Barat. Puncaknya adalah keluarnya Indonesia
dari keanggotaan Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Namun, Soekarno sendiri menyatakan
bahwa dirinya bukan seorang komunis Konsep Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas
Aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian
dunia. Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk
solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (Non-Aligned
Movement / NAM). Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya dunia menjadi dua
kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Uni Soviet). Konsep Politik
Luar Negeri yang Bebas Aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum
terlepas dari belenggu penjajah. Selain itu pada masa ini, konsep Politik Luar Negeri
Indonesia cenderung berlawanan dengan konsep hegemoni NegaraNegara barat dalam bentuk
kebijakan-kebijakan luar negeri Negara-Negara tersebut, khususnya Negara-Negara besar.
Prioritas utama Politik Luar Negeri dan diplomasi Indonesia pascakemerdekaan hingga tahun
1950an lebih ditujukan untuk menentang 45 segala macam bentuk penjajahan di atas dunia,
termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang
belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui Politik
Bebas Aktifnya (Wuryandari, 2008).
Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan sekutu membuat
Indonesia memberikan perhatian ekstra pada bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang
telah digapai dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas
dalam menentukan strategi agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia. Berkaitan
dengan penggunaan instrumen Politik Luar Negeri, instrumen Politik Luar Negeri yang

19
dominan digunakan pada masa pemerintahan Soekarno adalah diplomasi. Diplomasi
ditempuh untuk memuluskan jalan Indonesia dalam mendapatkan pengakuan dari Negara-
Negara di dunia akan kemerdekaannya. Selain itu, diplomasi juga dominan dipilih karena
sesuai dengan konteks pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia yang berprinsip Bebas
Aktif. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa cita-cita bangsa tidak mungkin dicapai tanpa
diplomasi untuk memperoleh dukungan internasional (Wuryandari, 2008). Strategi ganda
Indonesia dalam menjalankan kebijakan luar negerinya pada masa revolusi di atas pada
tingkatan tertentu menunjukkan ambivalensi. Pada satu sisi, pendekatan pertama melalui
perjuangan fisik di atas jelas menunjukkan optimisme dan kepercayaan yang tinggi dari
Indonesia bahwa Indonesia dengan kemampuannya sendiri bisa melawan kekuatan asing,
khususnya dengan Belanda yang secara militer lebih kuat. Pada sisi lain, pendekatan yang
juga menekankan pada diplomasi menggunakan bantuan pihak ketiga jugamenunjukkan sisi
lemah dalam kebijakan luar negeri Indonesia (Wuryandari, 2008).
Suatu kebijakan dalam menentukan strategi politik tentunya memiliki hubungan
dengan keadaan di dalam negeri. Suatu Negara akan menerapkan kebijakan yang lebih
mengutamakan dan menguntungkan bagi Negara. Dalam menjalankan hubungan
internasional suatu Negara dapat menerapkan kebijakan yang mengutamakan keadaan dalam
negeri Pada masa Orde lama kebijakan luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh semangat
patriotisme pasca kolonial dan juga pada awal Perang Dingin ditingkat internasional. Pasca
kemerdekaan Indonesia tahun 1945, agenda 46 utama kebijakan luar negeri Indonesia, seperti
halnya yang dilakukan oleh Negara lain didunia ini ketika baru memproklamirkan
kemerdekaannya, adalah mencari pengakuan dari Negara-Negara lain didunia. Hal yang sama
juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat itu sehingga fokus utama kebijakan luar negeri
Indonesia saat itu diarahkan kepada upaya pencarian pengakuan dari Negara lain yang diikuti
dengan pembukaan hubungan diplomatik dengan berbagai Negara di dunia (ilham, 2020).

C. Politik Luar Negeri Indonesia Periode RIS dan Demokrasi Liberal (1949- 1959)

Sejak setelah diadakannya Konferensi Meja Bundar pada tangal 23 Agustus 1949 di
Den Hag, maka babak baru dalam pemerintahan Indonesia telah dimulai. Dalam hal ini sesuai
dengan kesepakatan kedua Negara pada konferensi tersebut, system pemerintahan Indonesia
haruslah berbentuk serikat. Yakni di mana dalam satu Negara terdapat Negara- Negara
bagian di dalamnya. Selanjutnya terkait dengan hubungan diplomatic kedua Negara tersebut,
pemerintah Indonesia pada waktu itu mencoba menjalin hubungan baik dengan pemerintah
20
Belanda. Hal yang dilakukan pemerintah Indonesia pada waktu juga merupakan satu usaha
yang dilakukan guna mendapatkan kejelasan mengenai status dari Irian Barat yang masih
dikuasai oleh pemerintah Belanda. Di mana salah satu isi kesepakatan dari KMB
menyebutkan bahwa masalah Irian Barat akan diadakan perundingan tersendiri dalam waktu
satu tahun setelah pengakuan kedaulatan atas RIS (Pramodya 2014).
Akan tetapi hingga akhir tahun 1949, pemerintah Indonesia pun pada waktu itu belum
mendapatkan kejelasan terkait masalah Irian Barat. Bahkan sampai pada kembalinya bentuk
Negara Indonesia ke dalam bentuk Negara kesatuan, masalah Irian Barat pun belum
terselesaikan. Kembalinya Negara Indonesia menjadi Negara Kesatuan yang didahului
pembubaran Negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17 Agustus 1950, yang dimana
dalam pembentukan Negara kesatuan tersebut bukan semata-mata kehendak dari pemerintah
pada waktu itu akan tetapi adanya desakan dari sebagian besar rakyat Negara-Negara federal
yang menghendaki agar Negara federal tersebut dibubarkan dan bergabung ke dalam Negara
Republik Indonesia. Sehubungan dengan dibubarkannya Negara Republik Indonesia Serikat
maka kabinet serta segala bentuk kementrian yang berada di dalamnya juga ikut dibubuarkan
yang dimana pada waktu itu jalannya pemerintahan di dalam Republik Indonesia Serikat
dipimpin oleh kabinet Moh. Hatta. Sehubungan dengan hal tersebut, Negara Kesatuan
Republik Indonesia pasca pembubaran RIS mengalami kekosongan kebinet dalam artian
NKRI pada waktu itu belum memiliki seorang perdana menteri untuk menjalankan
pemerintahan Negara. Dalam hal ini NKRI pada awal kembalinya menganut sistem
pemerintahan Demokrasi Parlementer yang dimana presiden hanya sebagai pemimpin Negara
tapi yang menjalankan pemerintahan adalah seorang perdana menteri. Terkait dengan hal itu,
padamasa awal dari kambalinya NKRI yakni dari tahun 1950-1959, terdapat tujuh kabinet
yang pernah memimpin jalannya pemerintahan Negara Indonesia yakni, kabinet Natsir ( 7
September 1950-21 Maret 1951), kabinet Sukiman (27 April 1951-23 Februari 1952), kabinet
Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953) dan kabinet Ali Sastroamidjojo I (1 Agustus 1953-24 Juli
1955), kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956), kabinet Ali
Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret 1957) dan kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli
1959) (Sudirman, 2014).
Pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), merupakan sebuah masa dimana
kedudukan partai politik sangatlah kuat. Dalam hal ini segala kebijakan yang akan diambil
pada waktu itu tidak perlu melibatkan pemimpin Negara atau persiden, karena kedudukan
presiden pada waktu itu hanyalah mengesahkan apa yang telah menjadi keputusan dari

21
parlemen. Berbeda dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, dalam hal ini ia
juga memiliki hak preogratif dalam parlemen. Dimana hal tersebut sudah merupakan ciri-ciri
dari sebuah sistem pemerintahan parlementer, dalam hal ini sebagai berikut :
a. Dikepalai oleh soerang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala
Negara dikepalai oleh presiden atau raja.
b. Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif, sedangkan presiden atau raja
diseleksi berdasarkan undang-undang.
c. Perdanan menteri memiliki hak preogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
d. Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada keuasaanlegislatif.
e. Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
f. Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
g. kontrol terhadap Negara, alokasi terhadap sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol.
h. Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang untuk memperjuangkan dirinya.
Terkait dengan bentuk sistem pemerintahan yang bersifat Demokrasi Parlementer
yang diamana seorang perdana menteri yang bertanggung jawab dalam hal pemerintahan
sedangkan presiden hanya sebagai kepala Negara, maka dari itu pada tanggal 6 September
1950, secara resmi kabinet Natsir mulai memimpin jalannya pemerintahan NKRI.

D. Politik Luar Negeri Indonesia Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Demokrasi terpimpin sendiri merupakan sebuah sistem pemerintahan yang dimana


segala kebijakan dipusatkan kepada pemimpin Negara atau presiden yang dimana seorang
presiden memiliki kekuasaan penuh dan tidak terbatas masanya atau yang biasa dikenal
dengan istilah otokrasi. Dalam hal ini adapun yang menjadi ciri-ciri dari sistem pemerintahan
demokrasi parlementer pada waktu itu menurut Sudirman (2011: 385) adalah:
a. Dominasi presiden. Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelengaraan
pemerintahan.
b. Terbatasnya peran partai politik.
c. Meluasnya peran militer sebagai unsur politik.
d. Berembangnya pengaruh partai komunis di Indonesia.
Berdasarkan ciri-ciri dari sistem pemerintahan demokrasi terpimpin tersebut, maka
dari pada itu ada pun yang menjadi program kerja dari pemerintah Indonesia di bawah
pimpinan Presiden Soekarno, adalah sebagai berikut:
22
a. Penyelengaraan keamanan dalam negeri.
b. Pembebasan Irian Barat.
c. Melengkapi sandang pangan rakyat.
Terkait dengan beberapa program kerja yang akan dilakukan oleh kabinet kerja
pimpinan Presiden Soekarno, maka dalam hal ini adapun yang menjadi perkemabangan
hubungan diplomatik Indonesai dengan Negara lain 49 sampai pada akhir tahun 1959 adalah
adanya beberapa penandatanganan surat perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dengan bebarapa Negara. Sehubungan dengan hal itu, adapun Negara-
Negara yang melakukan hubungan diplomatik dengan Indonesia pada masa itu yakni Turkey
dan Australia. dalam hal ini, penandatanganan perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dengan Turkey dilakukan di Ankara pada tanggal 14 September 1959. Sedangkan
dengan pemerintah Australia dilakukan di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1959, yang
dimana pada penandatanganan perjanjian waktu itu pemerintah Indonesia diwakili oleh
Soewito Koesoemowidagdo sedangkan yang mewakili pemerintah Australia adalah L. R. Mc
Intyre. Terkait dengan perjanjian perdagangan yang dilakukan pada waktu itu, pemerintah
Indonesia hanya mengandalkan hasil bumi untuk di tukarkan dengan barang-barang yang
dimana di dalam negeri Indonesia sendiri belum bisa diproduksi. Berdasarkan dari beberapa
perkembangan diplomatik yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1960, dapat dilihat dari
bebrapa Negara yang menjadi tujuan kunjungan keNegaraan Indonesia sebagian besar
memberikan dukungan tehadap pemerintah Indonesia terhadap usahanya untuk memasukkan
Irian Barat dalam wilayah pemerintahan Republik Indonesia. Kedekatan Indonesia dengan
Negara-Negara komunis pada saat itu ternyata mempengaruhi agresivitas Politik Luar Negeri
Indonesia. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor determinan yang mempengaruhi pola
pembentukan kebijakan pelaksanaan Politik Luar Negeri. Faktor pertama, kondisi politik
dalam negeri pasca proklamasi masih kurang stabil dan diwarnai pertentangan basis
pencarian dan pemilihan ideologi Negara. Faktor kedua, kondisi ekonomi Indonesia yang
sangat kacau dan terpuruk,di antaranya ditandai dengan inflasi yang sangat tinggi bahkan
hingga mencapai 600%. Faktor ketiga, pengambilan keputusan pada saat itubersifat sangat
sentral dan sangat terpaku pada sosok kharismatik Soekarno. Soekarno menjadi tokoh
andalan Indonesia dalam forum internasional, bahkan karena hal tersebut, Soekarno juga
dinobatkan sebagai ―Presiden Seumur Hidup‖ oleh rakyat Indonesia. Sentralisasi peran
Soekarno ini juga yang akhirnya mendorong beliau melakukan pendekatan-pendekatan 50
―terpimpin‖ hingga akhirnya terbentuk Demokrasi Terpimpin Pancasila yang menggantikan

23
Demokrasi Parlementer RIS. Faktor keempat, lingkungan internasional pada saat itu berada
pada masa Perang Dingin, di mana dunia terbagi menjadi dua kekuatan besar, yaitu Blok
Barat dan Blok Timur. Kepentingan Indonesia sendiri adalah dalam rangka menjaga dan
memelihara integritas politik bangsa Indonesia yang baru merdeka sebagai fondasi bagi
nation-building dan state-building. Di sinilah Indonesia menentukan posisinya dalam
kerangka Politik Luar Negeri Bebas-Aktif. (Pusponegoro dan Notosusanto, 2012).
Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil
sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti Konferensi
Meja Bundar, Konferensi Asia Afrika, Konferensi Irian barat dan Malaysia, dan politik
poros-porosan Jakarta- PekingHanoi-Phnom Penh-Pyong Yang. Kepentingan nasional yang
paling utama ketika itu tidak lain adalah untuk memperoleh pengakuan internasional atas
kedaulatan Negara Indonesia yang sudah diproklamasikan pada Agustus 1945 (Wuryandari,
2008).
Konferensi dan kebijakan tersebut merupakan wujud usaha yang dilakukan oleh
pemerintahan Soekarno untuk mendapatkan pengakuan dari Negara lain. Namun, ada yang
menilai bahwa konferensi dan kebijakan tersebut tidak murni untuk mencari dan
mendapatkan pengakuan dari Negara lain, tetapi juga memperlihatkan bahwa Politik Luar
Negeri Indonesia masih rapuh. Pemimpin-pemimpin Indonesia belum memberikan perhatian
besar pada Politik Luar Negeri. Pada waktu kemerdekaan bangsa diproklamirkan, Politik
Luar Negeri merupakan suatu wilayah diskursus yang banyak dikenal, yang oleh Rosihan
Anwar diistilahkan dengan sebutan ―terra incognita‖ (Wuryandari, 2008).
Indonesia Tahun 1956 Konstituante tidak berhasil merumuskan UndangUndang Dasar
baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia. Bahkan, masing-
masing partai politik mementingkan kepentingan partai demi tujuan partainya tercapai. Oleh
sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik Negara Indonesia semakin buruk dan
kacau. Keadaan yang semakin bertambah kacau itu sangat membahayakan dan mengancam
keutuhan Negara dan bangsa Indonesia karena selain Konstituante gagal menetapkan UUD
yang baru juga timbulnya berbagai pemberontakan di 51 Indonesia yaittu: DI/TI di Jawa
Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, PRRI di Sumatera dan RMS
di Maluku. banyak Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti
dengan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar
lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi
kemacetan sidang Konstituante namun konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi

24
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat
undang-undang dasar baru. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan
pemerintahan Negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa
tokoh partai politik diantaranya Soewirjo ketua umum PNI mengajukan usul kepada Presiden
Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Waktu itu pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 dianggap sebagai langkah
terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5
Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
(1) Pembubaran Konstituante.
(2) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950,
(3) Pembentukkan MPRS Revolusi politik di Indonesia pada masa itu bukan
mendirikan kekuatan segolongan atasan saja juga tidak mendirikan kekuasaan
diktatorial kaum proletar, tapi harus mendirikan kekuasaan gotong-royong,
kekuasaan menerapkan demokrasi yang menjamin terkonsentrasinya seluruh
kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat (Abdulgani, 2001)
Menurut Irham (2019) bahwa Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan
pada Negara-Negara kapitalis, seperti NegaraNegara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan
Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu
NegaraNegara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan Negara-Negara kornunis
umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan
lama yang telah mapan yakni Negara-Negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis
(Nekolim).
Perwujudan poros anti imperialisme dan kolonialisme itu dibentuk poros Jakarta -
Phnom Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di
forum internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-Negara komunis. Selain itu,
pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan
pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan Negara federasi Malaysia yang dianggap
proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan Negara-Negara blok
Nefo. Para pemimpin PKI, Aidit, Njoto, dan lain-lain yang menuliskan statemen politik
mereka dalam slogan-slogan Demokrasi Terpimpin dan menegaskan sikap mendukung

25
Manipol juga harus mendukung Nasakom dan Resopim. Keadaan sosial-politik massa
Demokrasi Terpimpin yang lebih condong ke kiri akibat unsur-unsur PKI yang amat kental.
Oleh karenanya yang menjadi obyek jargon-jargon perjuangannya adalah BTI (Barisan Tani
Indonesia). BTN adalah organisasi massa petani yang terhubung ke Partai Komunis Indonesia
(PKI). Solehudin dan Kasdi (2015)
Jalan revolusi dengan melenyapkan kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap
lawan. Untuk itu mereka ciptakan kelompok bagi teman seperjuangannya, dan lawan bagi
yang dianggap sebagai musuh. Di lain pihak PKI memanfaatkan betul kampanye perebutan
kembali Irian Barat yang mencapai puncaknya pada 1961-1962 pada penekanan yang
terkandung dalam konsep-konsep yang berfungsi menjustifikasi pada kampanye untuk
membangkitkan antusiasme publik. Slogan yang digunakan Soekarno pada pidato 13
Desember 1961, menyerukan rakyat menggagalkan pembentukan Negara merdeka Papua,
bersiap mengibarkan bendera merah-putih di tanah Irian Barat dan menyiapkan diri bagi
mobilisasi umum dengan semboyan Trikora. Atas dasar Trikora tersebut maka dimulailah
konfrontasi Indonesia terhadap Belanda dalam membebaskan Irian Barat yang pada tanggal 2
Januari 1962 dibentuklah Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Hingga akhir tahun
1962 Komando Mandala cukup berhasil melakukan konfrontasi di Irian Barat. Kesatuan
menjadi kunci penting keberhasilan konfrontasi pembebasan Irian Barat sehingga dapat
mendudukkan dan mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian
Barat. Perjuangan konfrontasi ini hingga awal tahun 1963 telah memulai fase eksploitasi
sehingga mampu menduduki pos-pos pertahanan musuh yang penting.Menurut Liana (2018)
bahwa:
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin juga
terlihat dari konfrontasinya terhadap Malaysia. Malaysia yang mulai melakukan
upaya-upaya kolonialisme di wilayah Asia Tenggara dengan upaya pembentukan
Negara Federasi Malaysia. Hubungan antara Indonesia dan Malaysia menjadi
terganggu Indonesia berpendirian bahwa gagasan Federasi Malaysia merupakan
proyek Neokolonialis Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia.

Usaha-usaha diplomasi yang tidak membuahkan hasil sejak April 1963 yang
diprakarsai oleh Filipina untuk meredakan ketegangan Indonesia dan Filipina hingga di
tengah-tengah kemacetan diplomasi tahun1964 P residen Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964
mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Usaha kekuatan militer akhirnya digalakkan

26
demi tujuan Politik Luar Negeri Indonesia yang menginginkan penghapusan imperialisme
dan kolonialisme di dunia terutama dalam hal ini menghadapi neo-kolonialisme Malaysia.
Masa pemerintahan Orde Lama tidak bisa dilepaskan terhadap dua model pemerintahan yang
dijalankan pada waktu itu yakni Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi
liberal sendiri merupakan sistem pemerintahan yang dimana kepala pemerintahannya di
pimpin oleh perdana menteri sedangkan presiden hanya bertanggung jawab sebagai kepala
Negara. Sedangkan Demokrasi terpimpin merupakan sistem pemerintahan di mana kepala
pemerintahan sekaligus kepala Negara di pegang oleh seorang Presiden. Beralihnya sistem
pemerintahan Indonesia dari sistem pemerintahan parlementer ke sistem pemerintahan
Demokrasi terpimpinmengakibatkan semua kebijakan dipusatkanpada pemimpin Negara
dalam hal ini Presiden Republik indonesia yaitu Soekarno. Hal ini mengakibatkan presiden
Soekarno lebih aktif dalam Politik Luar Negeri indonesia. Kemudian tidak bisa di lepaskan
keadaan politik dalam negeri Indonesia dengan adanya Gerkan 30 September 1965
(Kusumaningtyas, 2013). Kondisi Politik Luar Negeri pada orde lama menemui beberapa
masalah karna pemerintah orde lama melakukan konfrontasi dan keluarya Indonesia dari
PBB karna faktor anti imfrealisme pemerintahan Orde Lama. Hal ini membuat Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Lama semakin dijauhi di dunia internasional.
Konfrontasi dengan Malaysia merupakan awal mula permusuhan kedua Negara ini
yakni adanya perbedaan ideologi politik antara kedua Negara tersebut dimana indonesia
cenderung anti -barat sedangkan Malaysia cenderung probarat. Selain dari pada itu, pada
waktu itu pemerintah Indonesia juga mendapatkan tuduhan dari Tengku Abdul Rahman
sebagai bagian kendi dari pemberontakan yang dilakukan oleh Azahari di Kalimantan Utara
pada tanggal 8 Desember 1962, yang pada waktu Azahari di Manila melakukan proklamasi
dan mendeklarasikan dirinya sebagai seorang perdana menteri Kalimantan Utara dengan
wilayah Brunai, Sarawak dan Sabah. Terkait dengan adanya tuduhan tersebut Ketua Umum
PNI, Ali Sastroamidjojo memberikan reaksi dengan membantah tuduhan tersebut. Hal ini
membuat kemarahan dari Teuku Abdul Rahman yang kemudian mengeluarkan pernyataan
kepada Presiden Soekarno yakni jangan campuri urusan Kalimantan Utara (SN, 2009).
Selain dari pada itu pembentukan Negara Malaysia membuat Presiden Soekarno
kembali merasa curiga, bahwa pembentukan Negara tersebut merupakan usaha yang
dilakukan kekuatan kekeuatan neokolonialisme untuk mengepung Indonesia. Dimana
kecurigan tersebut didasari pada pandangan Presiden Soekarno terhadap Indonesia sebuah
Nefo akan di kepung oleh kekuatan Oldefo. Hal ini didasari pada posisi Indonesia sendiri

27
yang di mana seblah utaranya berbatasan dengan Malaysia. 56 Pada sekitar tahun 1960an
tepatnya mulai dari tahun 1959 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh
Soekarno hingga masa demokrasi terpimpin berakhir di tahun 1965, kebijakan luar negeri
Indonesia dibawah Presiden Soekarno mengalami perubahan luar biasa yakni kebijakan yang
semula tidak bersifat militan atau cenderung diplomasi berubah menjadi sebuah kebijakan
perjuangan yang bersifat militan atau konfrontasi dalam melawan
imperialisme,kolonialisme,dan khusunya neo-kolonialisme (Irhamna, 2020).
Pada zaman demokrasi terpimpin ini juga Soekarno mengatakan bahwa terdapat dua
kekuatan yang ada pada saat itu, yaitu OLDEFOS dan NEFOS.OLDEFOS atau Old
Established Forces berarti suatu kekuatan yang bersifat mengeksploitasi banyak sumber daya
khususnya ekonomi,contohnya Negara-Negara penjajah seperti Inggris dan Belanda,
sedangkan yang dimaksud NEFOS itu ialah New Emerging Forces atau bisa disebut kekuatan
baru, pihak yang tergolong dalam NEFOS ini ialah salah satunya Indonesia dan
NegaraNegara yang baru merdeka.Soekarno mengatakan bahwa Negara-Negara yang
tergolong dalam NEFOS harus tetap berjuang agar mendapatkan kemerdekaan secara
sempurna (Kusumaningtyas, 2013).
Soekarno pada saat itu merupakan pengaruh paling besar atas kebijakan Politik Luar
Negeri Indonesia.Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan Soekarno pada saat itu sangat bersifat
militan dan konfrontatif melawan barat yaitu dimulai dari kebijakan melawan Belanda dalam
merebut Irian, melawan Inggris yaitu saat berdirinya Federasi Malaya pada tahun
1963.Soekarno mengatakan bahwa sistem eksploitatif harus segera berubah sebelum
Indonesia dapat berkembang secara ekonomi (Irhamna, 2020).
Kebijakan-kebijakan luar negeri militan Soekarno sama sekali tidak menyasar
Negara-Negara komunis, hal ini dapat dibuktikan dari Soekarno meminta bantuan kepada Uni
Soviet dalam konfrontasi dengan Malaysia dan meminta bantuan lebih khususnya dalam
bidang ekonomi kepada mereka dan puncaknya yaitu saat Indonesia semakin mendekat
kepada Cina pada tahun 1964-1965.Sikap Soekarno yang hanya reaktif kepada barat namun
tidak kepada timur itu sangat berbeda dengan pernyataan Jenderal Ahmad Yani pada 1965
yaitu ancaman utama Indonesia berasal dari utara yang berarti Cina,namun lagi-lagi Soekarno
membantah dengan mengatakan bahwa ancaman datang dari semua arah. Dalam demokrasi
terpimpin ini, banyak hal yang mendasari
Soekarno dalam kebijakan-kebijakannya, antara lain pada saat melawan Belanda
dalam merebut Irian. Pada awalnya Perdana Menteri Belanda sudah mengajukan kebijakan

28
kepada sidang umum PBB yaitu berupa The Luns Plan yang berisi bahwa sudah saatnya
mempertimbangkan Belanda untuk mundur dari Irian dan mengakhiri kedaulatannya,dan
digantikan oleh pemerintahan dari PBB dan membentuk suatu komisi studi. Namun salah
satu tokoh di Amerika mengtakan bahwa rencana memberi PBB administrasi dan membentuk
komisi tersebut malah dapat membuat Uni Soviet semakin menyetir Indonesia.Tapi pada
akhirnya The Luns Plan ini tetap gagal,namun ketika ini gagal Komisi Papua yang
sebelumnya setuju dengan The Luns Plan pada 1 Desember 1961 malah mengubah nama
menjadi Papua Barat dan sudah mengibarkan bendera sendiri berdampingan dengan bendera
Belanda, melihat ini Soekarno geram dan mengerahkan rakyat Indonesia dalam aksi melawan
hal tersebut yaitu dengan gerakan TRIKORA yang bertujuan untuk memobilisasi masyarakat
Indonesia dalam membebaskan Papua (Arifin dkk, 2020). Sama hal nya dengan gerakan
Soekarno dalam merebut Irian, tindakan Soekarno dalam mengganyang Malaysia didasari
oleh pemikirannya yang sangat anti terhadap neo kolonialisme. Gerakan Ganyang Malaysia
ini disebabkan oleh rencana pembentukan Federasi Malaya yang didalamnya akan tergabung
juga Sabah,Sarawak,dan juga Brunei.Bung Karno sangat menentang hal tersebut dan ia
berkata bahwa pembentukan ini merupakan cikal bakal neo-kolonialisme Inggris di
Asia.Rakyat dan tokoh-tokoh Malaysia sangat tidak setuju dengan pernyataan Bung Karno ini
dan malah balik menjelekkan Indonesia hingga puncaknya yaitu saat rakyar Malaysia
berdemonstrasi di depan KBRI Kuala Lumpur dengan menginjak-injak lambang Negara yaitu
Garuda Pancasila, hal tersebut sangat membuat Soekarno geram dan melancarkan gerakan
Ganyang Malaysia pada 27 Juli 1963 (Brunnel, 1966).
Selain kebijakan merebut Irian Barat dari tangan Belanda dan mengganyang
Malaysia, Presiden Pertama Republik Indonesia juga membuat kebijakan lainnya yaitu
membuat poros-poros seperti Nefos-Oldefos dan JakartaPeking. Soekarno mengusung ide
Nefos-Oldefos yakni untuk membagi dunia menjadi dua bagian melalui penggalangan
dukungan antara Negara-Negara di Asia,Afrika,Amerika Latin,maupun Eropa Selatan yang
baru merdeka untuk terlepas dari jeratan imperialisme dan kolonialisme, dan juga neo-
kolonialisme 58 bangsa barat atau Oldefos yang masih menjadi ancaman Negara-Negara
yang baru merdeka tersebut, maka Soekarno mengistilahkan Negara – Negara yang merdeka
dan masih berjuang untuk terbebas imperalisme dan kolonialisme tersebut sebagai New
Emerging Forces (Weinstein, 1971).
Poros Jakarta – Peking juga tidak terlepas dari peran Indonesia sebagai Negara yang
melawan penjajahan gaya baru atau neokolonialisme.Soekarno mengusung poros ini sebagai

29
salah satu poros yang terdepan yaitu disebabkan untuk mencari dukungan langsung dari Cina
dalam proses konfrontasi terhadap Malaysia, hal ini dikarenakan Malaysia sendiri disokong
langsung oleh Inggris sedangkan Indonesia belum memiliki dukungan atau backup dari
Negara manapun. Politik Luar Negeri RI pada masa Soekarno pada proses maupun akhirnya
memang cenderung sangat mutlak terhadap keinginan Soekarno sendiri, bahwa yang
Soekarno sangat inginkan ialah agar bangsa-bangsa yang baru merdeka dapat dijauhkan dari
segala bentuk imperialisme, kolonialisme, maupun neo-kolonialisme (nekolim) yang dapat
merusak tatanan bangsa yang baru merdeka tersebut pada perkembangannya, hubungan
kedua Negara ini semakin memburuk dimana pada waktu itu pada tanggal 30 Januari 1963,
Kamaruddin H Idris selaku Duta besar Malayasia untuk Indonesia untuk waktu yang
tidak di tentukan di panggil kembali oleh pemerintah Malaysia (Sunarti, 2014). Pemutusan
hubungan diplomatik merupakan bentuk dari ketidak senangan Pemerintah Indonesia terkait
dengan pembentukan Federasi Malaya. Selain dari pada itu bentuk ketidak senangan terkait
pembentukan Federasi Malaysia juga di respon oleh masyarakat Indonesia, dimana pada
waktu itu terjadi demonstrasi berujung pada pembakaran gedung kedutaan Inggris dan
Malaya di Indonesia. Hal tersebut kemudian juga disusul dengan Deklarasi Federasi Malaysia
pada tanggal 16 september 1963. Sehari setelah pendeklarasian tersebut indonesia juga
mengambil tindakan pemutusan hubungan diplomatik dengan Negara Malaya (Arifin dkk,
2019).
Konfrontasi menentang pembentukan Federasi Malaysia memasuki tingkatan perang.
Presiden Soekarno pada tanggal 16 Mei 1964 mengeluarkan surat keputusan untuk
pembentukan Komando Siaga untuk menyelenggarakan operasi-operasi militer dalam usaha
mempertahankan wilayah Indonesia dan membantu perjuangan rakyat-rakyat Malaya,
Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabbah dengan mempergunakan segala pasukan bersenjata
maupun sukarelawan. Selain upaya militer upaya diplomasi juga 59 digalakkan secara
bersamaan dengan melalui PBB namun. Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia pada
masa Demokrasi Terpimpin dalam bidang ekonomi tidak lepas dari prinsip-prinsip ekonomi
dalam negeri yaitu ekonomi terpimpin. Hubungan ekonomi Indonesia dengan pihak-pihak
luar sangat diutamakan untuk mampu menjalin hubungan ekonomi internasional dengan
Negara-Negara luar namun sebisa mungkin Indonesia mandiri dan tidak bergantung pada
bangsa lain.
Kusmayadi (2018) menjelaskan bahwa: Politik Luar Negeri dijalankan oleh Soekarno
dilakukan demi kepentingan nasional. Pada era pemerintahannya, kepentingan nasional

30
utama bagi bangsa Indonesia adalah pengakuan akan kedaulatan politik dan pembentukan
identitas bangsa (nation building). Kepentingan nasional tersebut diterjemahkan dalam suatu
kebijakan luar negeri, tujuannya mencari dukungan juga pengakuan terhadap kedaulatan
bangsa, serta untuk menunjukkan karakter bangsa Indonesia kepada Negara-Negara lain.
Implementasi dari kepentingan nasional tersebut adalah melakukan hubungan bersama
Negara-Negara di Asia-Afrika yang baru terbebas dari penjajahan. Kepentingan nasional
untuk menunjukkan karakter adalah dengan menonjolkan karakter bangsa Indonesia sebagai
bangsa mandiri dan tidak bersedia ada di bawah tekanan bangsa lain. Oleh sebab itu, pada
masa kepemimpinannya, Soekarno sangat menolak semua bentuk penindasan oleh Negara
lain.

31
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada awal kemerdekaan Indonesia, tujuan utama politik luar negerinya adalah
menyebarkan berita kemerdekaannya kepada masyarakat internasional dan memperoleh
pengakuan kemerdekaan secara de facto. Indonesia bergabung dengan PBB pada tahun 1950,
yang menunjukkan bahwa Indonesia telah diakui sebagai negara merdeka. Mohammad Hatta
memperkenalkan konsep politik luar negeri ―bebas aktif‖, yang memposisikan Indonesia
sebagai subjek dalam hubungan luar negerinya, bukan sebagai objek. Kebijakan luar negeri
Indonesia pada periode ini ditandai dengan nasionalisme ekonomi yang kuat, yang lebih kuat
dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pada masa Orde Baru, politik luar negeri
difokuskan pada penguatan keamanan dan stabilitas nasional, serta pembangunan ekonomi
Indonesia terikat oleh hukum dan kebiasaan internasional dalam hubungan luar negeri dan
politik luar negerinya/ Kebijakan luar negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah-langkah
yang diambil pemerintah Indonesia dalam hubungannya dengan negara lain, organisasi
internasional, dan subjek hukum internasional lainnya untuk mengatasi masalah internasional
guna mencapai tujuan nasional. Pada tahun 1960, Presiden Sukarno menyampaikan pidato di
Majelis Umum PBB, yang menguraikan kebijakan luar negeri Indonesia dan komitmennya
terhadap anti-kolonialisme dan anti-imperialisme..

3.2 Saran
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah.

32
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan. (tt a). Nasionalisme Asia. Jakarta: Prapantja.
Abdurakhman, Arif Pradono. (2019). Explore Sejarah Indonesia Jilid 3 untuk SMA/MA
Kelas XII. Bandung: Penerbit Duta.
Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia (Jogjakarta: Diva Press, 2014). Hlm 372-
Akbar, T. H., Subagyo, A., & Oktaviani, J. (2020). Realisme Dalam Kepentingan Nasional
Indonesia Melalui Forum Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok
(GNB). Jurnal Dinamika Global, 5(1): 123-139.
Akbar, T. H., Subagyo, A., & Oktaviani, J. (2020). Realisme Dalam Kepentingan Nasional
Indonesia Melalui Forum Konferensi Asia Afrika (KAA) Dan Gerakan Non Blok
(GNB). Dinamika Global: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 5(01), 123-139.
Arifin, A. (2020). Paradigma Baru Public Relations Teori, Strategi& Riset (C. R. Anwar
(ed.); Cetakan ke). Pustaka Indonesia Jakarta.
Brunnel, 1966. Indonesia Dibawah Rezim Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Bulan Bintang
Dipoyudo, K. (1976). Suatu Tinjauan atas Gerakan Non-Blok. Analisis CSIS, 5(8), 25-37.
Djoened, Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2012. Sejarah Nasional Indonesia
V (Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda). Jakarta: Balai Pustaka.
358 halaman.
Fahrurodji, A. (2017). Dari Druzhba ke Mirnoye Sosushyestvovaniye: Diplomasi Uni Soviet-
Indonesia dalam Era Stalin dan Kruschev, 1945-1964. Jurnal Sejarah, 1(1).
Haryanto, A. (2014). Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indoensia: Perspektif
Teori Peran. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, 4(2): 17-27.
Helmi, Alfian Jusuf. (1989). Diplomasi dari desa ke kota-kota dunia . Jakarta.
Hidayadi, T., & Nugrahani, H. S. D. (2020). Stereotip Warga Tionghoa Dalam Geopolitik
Hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Muqoddima Jurnal Pemikiran dan Riset
Sosiologi, 1(2), 133-144.
Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2020..
Irham (2019 , 27 Juni). Mewaspadai Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme).
Diakses 03 Januari 2016.
Irhamna, 2020. Dekrit Presiden (Studi Perbandingan Dekrit 5 Juli 1959 Jurnal Swarnadwipa
Volume 1, Nomor 3, hlm. 169-178

33
Kasdi, Aminuddin. Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/ BTI di Jawa Timur (1960—
1965), Yogyakarta: Penerbit Jendela, 1990.
Kusmayadi, Y. (2017). Politik Luar Negeri Republik Indonesia Pada Masa Konfrontasi
Indonesia-Malaysia Tahun 1963-1966. Jurnal Artefak, 4(1), 23-34.
Kusumaningtyas, 2013 Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia, Setelah Perubahan
Dengan Delapan Negara Maju, Kencana Perdana Media, Jakarta.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Op.Cit., Hlm 307.
Matroji. 2002. Sejarah. Jakarta: Erlangga
McNamara, Robert S,(1989) Out of the Cold: New Thinking for American Foreign Policy in
the 21 th Century London : Bloomsbury.
Mohsmmad Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1992). Hlm 23.
Natasya, N. (2003). Gerakan Non-Blok dalam Masa Kepemimpinan Indonesia 1992-1995.
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Nugroho, A. S. (2016). Soekarno dan diplomasi Indonesia. Sejarah dan Budaya: Jurnal
Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 10(2), 125-130.
Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil, Kronik Revolusi
Indonesia (Vol.V; Jakarta: KPG, 2014). Hlm 201.
Pramoedya Ananta Toer, Koeslah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. (1946). Kronik Revolusi
Indonesia Jilid II. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Salamah, Lilik. (2008). Meninjau Kembali Konflik Perang Dingin: Liberalisme dan
Komunisme. Jurnal Global dan Strategis. Vol. 2. No. 2.
Soeyono, Nana Herlina, Sudarini Suhartono. Sejarah SMP/MTs Kls IX (KTSP). Jakarta:
Grasindo.
Sudirman. 2014. ―Islam Politik di Indonesia (Analisis Historis Terhadap Pergerakan Politik
Masyumi 1945-1960‖. Thesis Program Pasca Sarjana IAIN Medan Sumatra Utara.
Sunarti, Budiman, Ekonomi Berdikari Soekarno. Depok: Komunitas Bambu, 2014.
Syarifuddin. (2021). Bahan Pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia VI. Palembang: Bening
Media Publishing.
Terbitan: (2009); Ganyang Malaysia : Hubungan Indonesia-
Malaysia sejak konfrontasi sampai konflik Ambalat oleh: Arifin Suryo Nugroho, et
al.

34
Tim Ganesha Operation. (2017). Pasti Bisa Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas XII.
Bandung: Penerbit Duta.
Trade agreement between the Republic of Indonesia and the People‘s Republic of Bulgaria
(perjanjian perdagangan antara Repyblik Indonesia dan Republik Bulgaria), Tahun
1959.
Weinstein, 1971 PERJUANGAN BANGSA INDONESIA MEREBUT IRIAN BARAT.
Wuryandari, Ganewati (Ed), (2008). Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik
Domestik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zhou, Taomo. 2019. Revolusi,Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok, Dan Etnik
Tionghoa, 1945-1967. Jakarta 10270.

35

Anda mungkin juga menyukai