Anda di halaman 1dari 32

Liver failure atau gagal hati adalah kondisi medis yang merujuk pada kerusakan organ hati sehingga

hati tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Kondisi ini perlu segera ditangani dengan
tepat karena bisa menurunkan kualitas hidup hingga berisiko mengancam nyawa.

Mari kenali penyebab, gejala, diagnosis, hingga pengobatan gagal hati selengkapnya melalui ulasan di
bawah ini

Apa itu Gagal Hati (Liver Failure)?

Liver failure atau gagal hati adalah kondisi medis di mana organ hati mengalami kerusakan sehingga
tidak dapat berfungsi dengan baik. Gagal hati adalah kondisi yang dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu gagal hati akut dan gagal hati kronis. Berikut masing-masing penjelasannya.

Gagal hati akut: Gangguan fungsi hati yang terjadi dalam jangka waktu pendek, bahkan hanya
berlangsung selama beberapa hari atau beberapa minggu. Umumnya, gagal hati akut bisa muncul
tanpa disertai dengan gejala awal.

Gagal hati kronis: Salah satu jenis gagal hati yang proses perburukan kondisinya terjadi secara
bertahap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Penyebab Gagal Hati

Penyebab utama terjadinya gagal hati adalah kerusakan pada sel-sel di dalam organ hati. Adapun
sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal hati adalah sebagai berikut:

Kelainan genetik, seperti gangguan metabolik pada penyakit Wilson.

Sirosis hati.

Infeksi virus, seperti virus hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, dan hepatitis E.

Konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan.

Overdosis obat, seperti acetaminophen (parasetamol).

Paparan zat kimia beracun, seperti zat karbon tetraklorida.

Gangguan autoimun (hepatitis autoimun).

Penyakit kanker, baik yang berasal dari organ hati maupun kanker pada organ tubuh lain yang
menyebar (metastasis) ke organ hati..

Penyalahgunaan NAPZA dan penggunaan jarum suntik secara bergantian.

Fatty liver (perlemakan hati).

Infeksi parasit, misalnya schistosoma.

Sepsis.

Gangguan pembuluh darah di hati, seperti sindrom Budd-Chiari.

Intoleransi fruktosa.

Penumpukan zat besi berlebih di dalam tubuh.

Sindrom Reye.
Galaktosemia.

Cholangitis.

Mengonsumsi jamur liar yang beracun.

Oksalosis.

Defisiensi antitripsin alfa-1.

Defisiensi lipase asam lisosom (LAL-D).

Sindrom Alagille.

Adenoma hati.

Gejala Gagal Hati

Secara umum, gejala awal gagal hati cenderung ringan dan serupa dengan gejala gangguan sistem
pencernaan lain, seperti nyeri perut bagian atas, mual, kehilangan nafsu makan, diare, dan lain-lain.
Namun, saat kondisi sudah semakin memburuk, terdapat sejumlah gejala gagal hati yang perlu
diwaspadai, antara lain:

Kulit terasa gatal akibat gangguan metabolisme bilirubin (zat pigmen kuning) di dalam tubuh.

Kelelahan yang luar biasa.

Urine berwarna gelap seperti teh.

Muntah darah.

BAB berdarah atau berwarna hitam.

Penyakit kuning.

Mudah mengalami memar atau perdarahan karena organ hati tidak mampu memproduksi zat
pembeku darah.

Merasa kebingungan atau disorientasi.

Penurunan berat badan secara drastis.

Rambut rontok.

Asites (penumpukan cairan di perut).

Edema tungkai atau penumpukan cairan di kaki yang membuat kaki bengkak.

Telapak tangan memerah dan payudara membesar akibat penumpukan hormon estrogen di dalam
tubuh.

Sulit tidur.

Bau napas yang manis atau apek.

Tidak sadarkan diri.

Komplikasi Gagal Hati


Jika tidak segera ditangani dengan tepat, gagal hati berisiko menyebabkan sejumlah komplikasi,
seperti:

Mudah mengalami perdarahan.

Mudah terserang infeksi.

Gangguan metabolisme tubuh.

Ensefalopati hepatik.

Gagal ginjal.

Cerebral edema (pembengkakan otak).

Diagnosis Gagal Hati

Sebelum menegakkan diagnosis, dokter dapat melakukan wawancara medis atau anamnesis untuk
mengetahui keluhan serta riwayat kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan untuk
mendeteksi gejala gagal hati yang dapat diidentifikasi secara fisik, seperti pembengkakan pada perut,
kulit dan mata menguning, nyeri pada perut bagian atas, dan lain-lain.

Selain itu, sejumlah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis
gagal hati adalah:

Fibroscan (transient elastrography), yaitu prosedur noninvasif yang memanfaatkan ultrasonografi


untuk memeriksa tingkat kekakuan atau kekerasan organ hati.

Pemeriksaan fungsi hati dengan memeriksa sampel darah untuk menguji tingkat pembekuan darah
dan mendeteksi kadar enzim serta protein yang diproduksi oleh hati seperti kadar bilirubin dan
SGOT/SGPT.

Teknik pencitraan, seperti CT scan, MRI, dan rontgen.

Biopsi hati.

Analisis gas darah.

Pengobatan Gagal Hati

Apakah gagal hati bisa sembuh? Jika disebabkan oleh overdosis obat, gagal hati biasanya masih bisa
disembuhkan dengan memberikan penawarnya. Namun, jika organ hati telah mengalami kerusakan
yang cukup parah, seperti akibat sirosis, kondisi tersebut cenderung tidak bisa disembuhkan dan
pengobatan yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan bagian organ hati yang masih sehat.

Jika tidak memungkinkan, dokter dapat melakukan transplantasi hati apabila memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi dan minim efek samping.

Pada dasarnya, pengobatan gagal hati dilakukan untuk menjaga kestabilan kondisi tubuh pasien serta
menangani penyebab yang mendasarinya. Adapun sejumlah metode pengobatan yang dapat
dilakukan untuk menangani gagal hati adalah:
Konsumsi obat-obatan yang diresepkan oleh dokter, contohnya seperti acetylcysteine untuk
memulihkan kondisi gagal hati akut yang disebabkan oleh overdosis obat acetaminophen
(paracetamol). Namun obat yang diberikan tentu saja tergantung pada penyebab, sehingga lain
penyebab akan lain pula obat yang diberikan.

Perawatan suportif, seperti transfusi darah jika pasien mengalami perdarahan, pemberian infus
untuk menjaga tekanan darah normal, pemberian obat pencahar untuk membantu mengeluarkan
racun dari dalam tubuh, dan lain-lain.

Cara Mencegah Gagal Hati

Gagal hati adalah kondisi yang dapat dicegah dengan menghindari faktor risiko yang dapat memicu
berkembangnya penyakit liver. Adapun sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko
terjadinya gagal hati adalah:

Melakukan vaksinasi hepatitis secara rutin.

Menghindari penggunaan barang pribadi bersama, seperti alat cukur dan sikat gigi.

Tidak berbagi jarum suntik atau menyalahgunakan NAPZA.

Melakukan praktek hubungan seksual yang aman, seperti menggunakan kondom dan tidak bergonta-
ganti pasangan.

Membatasi konsumsi minuman beralkohol.

Mengonsumsi obat-obatan sesuai dengan dosis dan anjuran dokter.

Menjaga berat badan ideal.

Menggunakan alat pelindung diri dengan baik jika bekerja di lingkungan yang berisiko terpapar zat
kimia beracun.

Membatasi konsumsi telur, keju, dan daging merah.

Menjaga tekanan darah dan kadar gula darah agar tetap normal.

Mengurangi konsumsi garam.

Mencuci tangan setelah dari toilet dan sebelum makan.

Apabila Anda menemukan gejala seperti ulasan di atas, segera kunjungi Siloam Hospitals terdekat
untuk mendapatkan diagnosis serta penanganan yang tepat dari dokter kami. Untuk memudahkan,
manfaatkan fitur Cari Dokter yang memungkinkan Anda dalam menemukan informasi jadwal serta
reservasi pertemuan dengan dokter terkait.

Tersedia pula aplikasi MySiloam yang bisa diunduh melalui Appstore atau Playstore untuk
memudahkan Anda dalam mengakses semua layanan kesehatan dari Siloam Hospitals.Mari unduh
aplikasinya sekarang dan jaga selalu kesehatan Anda #BersamaSiloam!

Artikel ini dibuat dan diterbitkan oleh Siloam Hospitals, baca selengkapnya di:
*https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apai-itu-gagal-hati*
Dapatkan informasi atau layanan kesehatan terkini Siloam Hospitals di:

*Instagram*: https://instagram.com/siloamhospitals/

*Contact Center*: (021)1-500-181

*Siloam-At-Home*: https://wa.me/628111950181

Download aplikasi MySiloam untuk kemudahan pelayanan kesehatan Anda:

*IOS*: https://apple.co/3PYwuZK

*Android*: https://bit.ly/SiloamPS

Gagal hati adalah kondisi ketika sebagian besar organ hati mengalami
kerusakan sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kondisi ini
bisa terjadi bertahap dalam waktu bertahun-tahun atau terjadi seketika. Gagal
hati harus segera ditangani karena berisiko menyebabkan kematian.
Organ hati memiliki sejumlah fungsi penting, antara lain membuang racun dari dalam tubuh,
membantu proses penggumpalan darah, dan membantu tubuh melawan infeksi. Seseorang
akan berada dalam kondisi serius apabila sejumlah fungsi tersebut tidak berjalan normal
atau terganggu.

Gagal hati umumnya ditandai dengan mata dan kulit yang menguning, serta perut yang
membengkak karena penimbunan cairan. Penyebab gagal hati sangat beragam, tetapi yang
paling sering adalah infeksi virus hepatitis, konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan,
dan overdosis obat paracetamol.

Penyebab Gagal Hati


Gagal hati disebabkan oleh kerusakan pada sel-sel di organ hati. Kerusakan tersebut dapat
terjadi tiba-tiba atau berkembang dalam jangka panjang. Beberapa faktor yang bisa
menyebabkan gagal hati adalah:

 Sirosis
 Infeksi virus, terutama hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis E
 Kanker, baik yang bermula di hati maupun yang bermula dari bagian tubuh lain
kemudian menyebar ke hati
 Cholangitis
 Penggunaan obat paracetamol yang berlebihan
 Konsumsi obat antiinflamasi nonsteroid, antikejang, dan obat herbal
 Kecanduan alkohol
 Penyalahgunaan NAPZA
 Paparan racun, misalnya zat karbon tetraklorida
 Sistem kekebalan tubuh yang menyerang tubuh sendiri (hepatitis autoimun)
 Penyakit pembuluh darah di hati, seperti sindrom Budd-Chiari
 Gangguan metabolik, misalnya penyakit Wilson
 Reaksi tubuh atas infeksi berat (sepsis)
 Penyakit lainnya, misalnya penyumbatan pembuluh darah di hati, penumpukan zat
besi dalam tubuh, intoleransi fruktosa, sindrom Reye, dan galaktosemia

Gejala Gagal Hati


Gejala awal gagal hati cenderung ringan dan mirip dengan gejala pada kondisi lain, yaitu
sakit perut bagian atas, diare, lelah, mual, dan hilang nafsu makan. Bila kondisi organ hati
makin memburuk, gejala yang lebih serius akan muncul. Gejala pada gagal hati tingkat lanjut
tersebut meliputi:

 Mudah mengalami memar dan perdarahan


 Kulit dan mata menguning
 Penumpukan cairan di perut
 Muntah darah atau BAB berdarah (berwarna hitam)
 Kesadaran berkabut dan bicara kacau
 Tidak sadarkan diri

Kapan harus ke dokter


Bila Anda berisiko terserang hepatitis atau belum pernah menerima vaksin hepatitis, segera
ke dokter untuk berkonsultasi. Dokter akan menjelaskan mengenai pentingnya melakukan
vaksin.
Penderita infeksi virus yang berkepanjangan, seperti hepatitis B atau hepatitis C, atau seorang
pecandu alkohol, konsultasikan dengan dokter gastroenterohepatologi terkait cara mencegah
kerusakan hati lebih lanjut.
Melalui pemeriksaan rutin, dokter dapat mengetahui kerusakan hati lebih awal sehingga
tindakan dapat diberikan lebih cepat guna mencegah kerusakan lebih lanjut. Penanganan
harus segera dilakukan bila penderita gagal hati mengalami gejala gagal hati tingkat lanjut.

Diagnosis Gagal Hati


Untuk menentukan gagal hati, dokter akan bertanya kepada pasien terkait konsumsi obat,
konsumsi minuman beralkohol dan penggunaan NAPZA, serta riwayat penyakit yang
diderita.
Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik guna mendeteksi tanda gagal hati,
seperti perut membengkak, nyeri di perut bagian kanan atas, serta mata dan kulit menguning.
Ada beberapa pemeriksaan tambahan yang akan dilakukan dokter untuk mendiagnosis gagal
hati, di antaranya:

Tes fungsi hati


Tes fungsi hati dilakukan untuk mengetahui kemampuan fungsi hati, dengan memeriksa
sampel darah pasien. Melalui sampel darah pasien dokter dapat mengetahui kadar enzim dan
protein yang diproduksi hati, termasuk kadar bilirubin, yang membuat kulit menjadi kuning.
Selain melakukan uji fungsi hati, tes darah juga bisa dilakukan untuk melihat waktu
pembekuan darah yang menjadi tidak normal saat terjadi gagal hati.

Pemindaian dan biopsi


Dokter dapat melakukan pemindaian dengan USG, CT scan, atau MRI, guna melihat struktur
organ hati. Pada beberapa kasus, dokter juga akan mengambil sampel jaringan (biopsi) pada
hati pasien, untuk mengetahui penyebab kerusakannya.

Pengobatan Gagal Hati


Organ hati yang rusak hingga menimbulkan gagal hati bisa kembali menjadi normal, tetapi
bisa juga tidak. Sebagai contoh, gagal hati akibat overdosis obat paracetamol biasanya masih
dapat kembali normal.
Bila kerusakan organ hati sudah cukup parah dan fungsinya tidak dapat kembali normal,
seperti pada sirosis, pengobatan bertujuan untuk menyelamatkan bagian hati yang masih
sehat. Jika tidak memungkinkan, organ hati pasien perlu diganti dengan hati yang sehat dari
pendonor. Prosedur ini disebut transplantasi hati.
Tidak ada metode khusus untuk mengatasi gagal hati. Pengobatan yang diberikan hanya
bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi tubuh hingga hati dapat kembali berfungsi
normal. Pengobatan tersebut meliputi:

 Pemberian infus untuk menjaga tekanan darah normal


 Transfusi darah bila mengalami perdarahan
 Obat pencahar untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh
 Suntik gula bila kadar gula darah turun
Untuk menjaga bagian organ hati yang masih sehat, dokter akan menyarankan pasien
melakukan beberapa hal berikut:

 Menghindari konsumsi obat tanpa anjuran dari dokter


 Tidak mengonsumsi minuman beralkohol
 Membatasi konsumsi daging merah, keju, dan telur
 Mengurangi konsumsi garam di menu makanan
 Menjaga kadar gula darah dan tekanan darah normal
 Mempertahankan berat badan ideal

Komplikasi Gagal Hati


Kegagalan fungsi hati dapat menyebabkan sejumlah kondisi serius, seperti:

 Perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah


 Pembengkakan otak akibat penimbunan cairan di otak
 Gagal ginjal yang terjadi pada penderita penyakit hati yang parah, yang disebut juga
sebagai sindrom hepatorenal
 Mudah terserang infeksi

Pencegahan Gagal Hati


Gagal hati bisa dicegah dengan mencegah timbulnya penyakit liver atau hati. Cara yang dapat
dilakukan antara lain:

 Melakukan vaksinasi hepatitis, yaitu vaksin hepatitis A atau vaksin hepatitis B


 Tidak berbagi pemakaian barang pribadi, seperti alat cukur
 Berhenti menggunakan NAPZA, apalagi sampai berbagi jarum suntik
 Melakukan hubungan seksual yang aman, yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan
menggunakan kondom
 Membatasi konsumsi minuman beralkohol
 Tidak mengonsumsi paracetamol melebihi dosis yang dianjurkan
 Menggunakan obat herbal dengan aman
 Menjaga berat badan ideal dan rutin berolahraga
 Mencuci tangan sebelum makan dan setelah dari toilet
 Menggunakan alat pelindung diri di tempat kerja untuk melindungi diri dari paparan
zat kimia beracun
 Gagal hati akut merupakan perkembangan yang cepat dari kerusakan fungsi hati
dengan karakteristik berupa kondisi tidak normal dari pemeriksaan fungsi hati tanpa
adanya penyakit hati kronik yang mendasari.[1]
 Gagal hati akut digambarkan sebagai adanya perkembangan koagulopati dan
penurunan tingkat kesadaran terkait dengan gangguan fungsi hati yang disebut
ensefalopati hepatikum.[2]

Sumber Gambar: www.myupchar.com, Wikimedia Commons, 2019.

 Gagal hati akut memiliki tiga subkategori yakni gagal hati hiperakut, gagal hati akut
(fulminan), gagal hati subakut (subfulminan). Selain gagal hati akut, ada yang dikenal
dengan gagal hati acute on chronic dimana pasien memiliki riwayat penyakit hati
sebelumnya namun tanpa sirosis dan gagal hati acute on cirrhosis yang merupakan
kondisi dimana sirosis terjadi pada hati.[1]
 Patofisiologi gagal hati akut adalah terjadinya nekrosis dan apoptosis yang
menyebabkan aktivasi kaskade dan semakin meningkatnya komponen stress oksidatif
sehingga kematian hepatosit makin meningkat.[3,4,5]
 Hal yang hampir sama terjadi pada gagal hati acute on chronic, dimana terjadi
penurunan motilitas usus, peningkatan pH gaster, penurunan konsentrasi asam
empedu menyebabkan pertumbuhan bakteri abnormal yang disebut disbiosis.
Disbiosis ini berperan dalam mengaktifkan sitokin inflamasi dan menyebabkan
kegagalan multiorgan.[6,7]
 Berbagai etiologi turut berperan dalam perkembangan gagal hati akut yakni obat-obat
tertentu salah satunya overdosis paracetamol, bahan toksik, infeksi virus hepatitis
maupun non-hepatotropik, penyakit autoimun, oklusi vaskuler, hepatitis
iskemik, Wilson Disease, infiltrasi keganasan, dan kehamilan. Sedangkan etiologi
gagal hati acute on chronic yakni dipengaruhi dua faktor yakni intrahepatik (hepatitis
akut dan alkohol) dan ekstrahepatik (infeksi).[6,8]
 Faktor risiko gagal hati akut meliputi overdosis obat dan konsumsi obat hepatotoksik
berkepanjangan, infeksi virus hepatitis akut, dan riwayat konsumsi alkohol.[9]
 Diagnosis gagal hati memerlukan anamnesis yang kuat terkait gejala, faktor risiko dan
etiologi. Pemeriksaan fisik dan penunjang diperlukan untuk memberikan informasi
tambahan terkait etiologi sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat.
 Penatalaksanaan gagal hati dapat diberikan sesuai etiologi yang mendasari. Secara
umum manajemen gagal hati meliputi tatalaksana non medikamentosa,
medikamentosa dan pembedahan. Penatalaksanaan medikamentosa disesuaikan
dengan etiologi dan transplantasi hati merupakan terapi definitif pada gagal hati.[3]
 Prognosis gagal hati tergantung pada tingkat kerusakan hati yang terjadi dan
kegagalan multiorgan yang terlibat. Penatalaksanaan komplikasi harus diupayakan
untuk mencegah kerusakan multiorgan yang lebih parah.[12,37]
 Komplikasi
 Komplikasi gagal hati terkait dekompensasi akut yang terjadi berupa edema serebri,
koagulopati, gagal ginjal, gangguan metabolik, sepsis.[4,12]
 Prognosis
 Tingkat keparahan kerusakan hati dan kegagalan multiorgan yang terjadi
mempengaruhi prognosis gagal hati. Berbagai skoring telah dikembangkan untuk
menilai prognosis pasien gagal hati.[37]
 Penilaian dengan skoring Model for End Stage Liver Disease (MELD) dan kadar
galectin-9 yakni protein yang diekspresikan oleh sel kupfer pada DILI mampu
memberikan prediksi terhadap risiko kematian. Skor MELD≥30 dan kadar galectin-9
serum >690 pg/ml lebih memiliki risiko kematian tinggi.[39]
 Beberapa faktor berperan dalam memperburuk prognosis gagal hati akut, antara lain
derajat ensefalopati, perburukan nilai pemeriksaan laboratorium termasuk faktor
koagulasi, bertambahnya usia.[35]
 Chronic Liver Failure-Sequential Organ Failure Assesment (CLIF-SOFA) lebih baik
dibandingkan parameter lainnya dalam memprediksi kematian gagal hati acute on
chronic pada 28 hari dan 90 hari.
 Adapun faktor yang memperburuk prognosis acute-on-chronic liver failure antara
lain peningkatan bilirubin, usia dan peningkatan INR, penurunan Thyroid Stimulating
Hormone, penurunan triiodotironin bebas, perubahan hemodinamik, gangguan
transpor dan metabolisme besi, peningkatan nilai Neutrophile Lymphocyte
Ratio, kehadiran infeksi, Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) atau
sepsis.[35]
 Patofisiologi gagal hati amat kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme terutama
keterlibatan respon imun yang pada akhirnya akan menyebabkan berbagai komplikasi
multiorgan.
 Gagal Hati Akut
 Patofisiologi gagal hati akut tergantung dari etiologi yang mendasari. Secara umum,
hepatosit mengalami nekrosis atau apoptosis sebagai perlawanan terhadap patogen
atau toksin. Nekrosis akan terjadi bila hepatosit mengalami deplesi adenosin trifosfat
(ATP) sedangkan apoptosis akan mengaktifkan jalur kaskade dan berakibat kematian
hepatosit.[3,4]
 Stres oksidatif yang terjadi akan menghasilkan reactive oxygen species (ROS)
kemudian ROS akan mengaktifkan c-Jun N-terminal kinase (JNK) lewat kaskade
sehingga terjadi disfungsi mitokondria dan nekrosis hepatosit berlanjut. Kejadian ini
akan menghasilkan Damage Associated Molecular Patterns (DAMPs) yang akan
mengaktifkan makrofag hati dan inflammasome.[5]
 Multiprotein kompleks intrasel yang disebut dengan inflammasome berfungsi
merespon sinyal bahaya seluler dan mengaktifkan caspase-1 serta melepaskan IL-1b
dan IL-18. Sitokin proinflamasi dikeluarkan sehingga semakin banyak sel-sel
peradangan yang datang dan lebih banyak kematian hepatosit.[7]
 Pada hati yang berfungsi normal, amonia akan didetoksifikasi membentuk urea.
Sedangkan pada disfungsi hati terjadi hiperamonemia. Amonia akan melintasi sawar
darah-otak dan menyebabkan asterosit menghasilkan glutamine yang dikatalisis oleh
enzim glutamin sintase sebagai sisa metabolisme amonia dan glutamate. Akumulasi
glutamine menyebabkan pembengkakan asterosit akibat gradien osmotik dan
pembentukan Reactive Oxygen species (ROS).[11,12] Penurunan sintesis faktor
pembekuan darah, peningkatan penggunaan faktor pembekuan dan penurunan jumlah
trombopoietin merupakan penyebab terjadinya koagulopati pada gagal hati akut.[4]
 Gagal Hati Acute on Chronic
 Gagal hati kronik (salah satunya sirosis hepatis) bisa mengalami eksaserbasi yang
disebut dengan gagal hati acute on chronic. Kerusakan hepatosit akan mengaktifkan
kaskade proinflamasi dan terjadi peningkatan leukosit, sitokin dan kemokin termasuk
IL-6 dan IL-8.[12]
 Penurunan motilitas usus, peningkatan pH gaster, penurunan konsentrasi asam
empedu menyebabkan pertumbuhan bakteri abnormal yang disebut disbiosis.
Selanjutnya terjadi fenomena translokasi bakteri dimana toksin masuk ke dalam usus.
 Bakteri akan menginduksi Pathogen-Associated Molecular Pattern (PAMPS) dan
faktor virulensi sedangkan hepatosit yang denaturasi melalui Damage Associated
Molecular Pattern (DAMPS) akan mengaktifkan sitokin pro-inflamasi.[6]
 Imunopatogenik berperan dalam terjadinya kerusakan multiorgan pada gagal hati
kronik. Disbiosis yang terjadi dikaitkan kejadian ensefalopati hepatikum. Hal ini
dikarenakan pada penelitian dengan uji tikus sirosis yang bebas kuman tidak terjadi
hiperamonemia dan edema serebri.[6,13]

Gagal hati akut paling sering disebabkan oleh obat-obatan dan


virus hepatitis. Manifestasi utama adalah penyakit kuning,
koagulopati, dan ensefalopati. Diagnosis bersifat
klinis. Pengobatan terutama bersifat suportif, terkadang dengan
transplantasi hati dan/atau terapi spesifik
(misalnya, N - asetilsistein untuk toksisitas asetaminofen ).
(Lihat juga Struktur dan Fungsi Hati serta Evaluasi Pasien dengan
Gangguan Hati .)
Gagal hati dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, namun tidak
ada sistem yang diterima secara universal (lihat tabel Klasifikasi Gagal
Hati ).
MEJA
Klasifikasi Gagal Hati*

Etiologi Gagal Hati Akut


Secara keseluruhan, penyebab paling umum dari gagal hati akut adalah
 Virus, terutama hepatitis B
 Obat-obatan dan racun, paling sering asetaminofen
Di negara-negara dengan sanitasi yang buruk, virus hepatitis biasanya
dianggap sebagai penyebab paling umum; di negara-negara yang mempunyai
sanitasi yang efektif, racun biasanya dianggap sebagai penyebab paling umum.
Secara keseluruhan, penyebab virus yang paling umum adalah hepatitis B ,
sering kali disertai koinfeksi hepatitis D ; hepatitis C bukanlah penyebab
umum. Kemungkinan penyebab virus lainnya termasuk cytomegalovirus , virus
Epstein-Barr , virus herpes simplex , human herpesvirus 6, parvovirus
B19 , virus varicella-zoster , virus hepatitis A , virus hepatitis E (terutama jika
tertular selama kehamilan), dan virus yang menyebabkan demam berdarah
( lihat Ikhtisar Infeksi Arbovirus, Arenavirus, dan Filovirus ).
Racun yang paling umum adalah asetaminofen ; toksisitas berhubungan
dengan dosis. Faktor predisposisi gagal hati yang disebabkan
oleh asetaminofen termasuk penyakit hati yang sudah ada sebelumnya,
penggunaan alkohol kronis, dan penggunaan obat-obatan yang menginduksi
sistem enzim sitokrom P-450 (misalnya antikonvulsan). Racun lainnya termasuk
antibiotik (terutama amoksisilin /klavulanat), halotan, senyawa besi, isoniazid ,
obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), beberapa senyawa dalam produk
herbal, dan jamur Amanita phalloides (lihat Cedera Hati Akibat Obat ). Beberapa
reaksi obat bersifat istimewa.
Penyebab yang kurang umum termasuk
 Gangguan pembuluh darah
 Gangguan metabolisme
 Hepatitis autoimun
Penyebab vaskular termasuk trombosis vena hepatik ( sindrom Budd-
Chiari ), hepatitis iskemik , trombosis vena portal , dan sindrom obstruksi
sinusoidal hepatik (juga disebut penyakit oklusi vena hepatik ), yang terkadang
disebabkan oleh obat atau racun. Penyebab metabolik termasuk perlemakan
hati akut pada kehamilan , sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan nilai tes
hati, dan trombosit rendah), sindrom Reye , dan penyakit Wilson . Penyebab
lainnya termasuk hepatitis autoimun , infiltrasi hati metastatik, sengatan
panas, dan sepsis. Penyebabnya tidak dapat ditentukan hingga 20% kasus.
Patofisiologi Gagal Hati Akut
Pada gagal hati akut, terjadi malfungsi beberapa sistem organ, seringkali
karena alasan yang tidak diketahui dan mekanisme yang tidak
diketahui. Sistem yang terkena dampak termasuk
 Hepatik: Hiperbilirubinemia hampir selalu muncul pada saat
presentasi. Derajat hiperbilirubinemia merupakan salah satu
indikator beratnya gagal hati. Koagulopati akibat gangguan sintesis
faktor koagulasi di hati sering terjadi. Terdapat nekrosis
hepatoseluler, yang ditandai dengan peningkatan kadar
aminotransferase.
 Kardiovaskular: Resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan
darah menurun, menyebabkan sirkulasi hiperdinamik dengan
peningkatan denyut jantung dan curah jantung.
 Otak: Terjadi ensefalopati portosistemik, kemungkinan akibat
peningkatan produksi amonia oleh zat nitrogen di usus. Edema
serebral sering terjadi pada pasien dengan ensefalopati berat
akibat gagal hati akut; herniasi uncal mungkin terjadi dan biasanya
berakibat fatal.
 Ginjal: Untuk alasan yang tidak diketahui, cedera ginjal akut terjadi
pada hingga 50% pasien. Karena kadar nitrogen urea darah (BUN)
bergantung pada fungsi sintetik hati, kadarnya mungkin sangat
rendah; dengan demikian, tingkat kreatinin lebih baik menunjukkan
cedera ginjal. Seperti pada sindrom hepatorenal , ekskresi natrium
urin dan natrium fraksional menurun bahkan ketika diuretik tidak
digunakan dan tidak ada cedera tubulus (seperti yang mungkin
terjadi jika penyebabnya adalah toksisitas asetaminofen ).
 Imunologis: Defek sistem imun berkembang; mereka termasuk
opsonisasi yang rusak, kekurangan komplemen, dan disfungsi sel
darah putih dan sel pembunuh. Translokasi bakteri dari saluran
pencernaan meningkat. Infeksi pernapasan dan saluran
kemih serta sepsis sering terjadi; patogen dapat berupa bakteri,
virus, atau jamur.
 Metabolik: Alkalosis metabolik dan
respiratorik dapat terjadi lebih awal. Jika syok terjadi, asidosis
metabolik dapat terjadi. Hipokalemia sering terjadi, sebagian
karena penurunan tonus simpatis dan penggunaan
diuretik. Hipofosfatemia dan hipomagnesemia dapat
terjadi. Hipoglikemia dapat terjadi karena glikogen hati habis dan
glukoneogenesis serta degradasi insulin terganggu.
 Paru: Edema paru nonkardiogenik dapat terjadi.
Gejala dan Tanda Gagal Hati Akut
Manifestasi khasnya adalah perubahan status mental (biasanya bagian
dari ensefalopati portosystemic ) dan penyakit kuning . Manifestasi penyakit
hati kronis seperti asites bertentangan dengan tingkat keparahan penyakit ini,
namun bisa juga terjadi pada gagal hati subakut. Gejala lain mungkin tidak
spesifik (misalnya malaise, anoreksia) atau disebabkan oleh kelainan
penyebab. Fetor hepaticus (bau napas apak atau manis) dan disfungsi motorik
sering terjadi. Takikardia, takipnea, dan hipotensi dapat terjadi dengan atau
tanpa sepsis. Tanda-tanda edema serebral dapat berupa obtundasi, koma,
bradikardia, dan hipertensi. Pasien dengan infeksi terkadang memiliki gejala
lokal (misalnya batuk, disuria ), namun gejala ini mungkin tidak ada. Meskipun
rasio normalisasi internasional (INR) berkepanjangan, perdarahan jarang
terjadi kecuali pasien berada dalam koagulasi intravaskular
diseminata (DIC). Hal ini karena pasien dengan gagal hati akut memiliki
distribusi faktor pro dan antikoagulan yang seimbang dan, jika ada, pasien ini
lebih sering mengalami hiperkoagulabilitas ( 1, 2 ).
Referensi gejala dan tanda
 1. Hugenholtz GC, Adelmeijer J, Meijers JC, dkk : Ketidakseimbangan
antara faktor von Willebrand dan ADAMTS13 pada gagal hati akut:
Implikasi terhadap hemostasis dan hasil klinis. Hepatologi 58(2):752-761,
2013. doi: 10.1002/hep.26372
 2. Lisman T, Bakhtiari K, Adelmeijer J, dkk : Pembentukan trombin utuh
dan penurunan kapasitas fibrinolitik pada pasien dengan cedera hati
akut atau gagal hati akut. J Tromb Haemost 10(7):1312-1319, 2012. doi:
10.1111/j.1538-7836.2012.04770.x
Diagnosis Gagal Hati Akut
 Perpanjangan rasio normalisasi internasional (INR) menjadi ≥ 1,5
dan manifestasi klinis ensefalopati pada pasien tanpa riwayat
penyakit hati kronis sebelumnya
 Untuk mengetahui penyebabnya: riwayat penggunaan obat,
paparan racun, tes serologi virus hepatitis , penanda autoimun, dan
tes lain berdasarkan kecurigaan klinis.
Gagal hati akut harus dicurigai jika pasien tanpa penyakit hati kronis atau
sirosis yang mendasarinya mengalami ikterus akut dan/atau peningkatan
transaminase yang disertai dengan koagulopati dan perubahan status
mental. Pasien dengan penyakit hati yang diketahui mengalami dekompensasi
akut tidak dianggap mengalami gagal hati akut melainkan gagal hati akut-
kronis, yang memiliki patofisiologi berbeda dengan gagal hati akut.
Tes laboratorium untuk memastikan keberadaan dan tingkat keparahan gagal
hati meliputi enzim hati dan kadar bilirubin serta INR. Gagal hati akut biasanya
dianggap terkonfirmasi jika sensorium berubah dan INR > 1,5 pada pasien yang
mempunyai bukti klinis dan/atau laboratorium adanya cedera hati akut. Bukti
sirosis menunjukkan bahwa gagal hati bersifat kronis.
Pasien dengan gagal hati akut harus menjalani tes komplikasi. Tes yang
biasanya dilakukan selama evaluasi awal meliputi hitung darah lengkap (CBC),
elektrolit serum (termasuk kalsium, fosfat, dan magnesium), tes fungsi ginjal,
dan urinalisis. Jika gagal hati akut dipastikan, gas darah arteri (ABG), dan
golongan darah serta skrining juga harus dilakukan. Amonia plasma
direkomendasikan untuk membantu memprediksi prognosis karena kadar
amonia yang lebih tinggi ( > 150 hingga 200) memprediksi peningkatan risiko
edema serebral ( 1 ). Jika pasien mengalami sirkulasi hiperdinamik dan
takipnea, kultur (darah, urin, cairan asites) dan rontgen dada harus dilakukan
untuk menyingkirkan infeksi. Jika pasien mengalami gangguan atau
perburukan status mental, terutama pasien dengan koagulopati, CT kepala
harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya edema serebral
atau kecilnya kemungkinan terjadinya perdarahan intrakranial.
Untuk menentukan penyebab gagal hati akut, dokter harus mengambil riwayat
lengkap racun yang tertelan, termasuk obat resep dan obat bebas, produk
herbal, dan suplemen makanan. Pemeriksaan yang dilakukan secara rutin
untuk mengetahui penyebabnya antara lain
 Tes serologi virus hepatitis (misalnya, antibodi IgM terhadap virus
hepatitis A [IgM anti-HAV], antigen permukaan hepatitis B [HBsAg],
antibodi IgM terhadap antigen inti hepatitis B [IgM anti-HBcAg],
antibodi terhadap virus hepatitis C [anti- NKT])
 Penanda autoimun (misalnya, antibodi antinuklear, antibodi anti-
otot polos, kadar imunoglobulin)
Pengujian lain dilakukan berdasarkan temuan dan kecurigaan klinis, sebagai
berikut:
 Perjalanan baru-baru ini ke negara-negara yang sanitasinya buruk:
Tes hepatitis A, B, D, dan E
 Wanita usia subur: Tes kehamilan
 Usia < 40 tahun, anemia hemolitik, dan pola yang menunjukkan
tingkat alkali fosfatase yang rendah dengan rasio alkali
fosfatase/bilirubin total < 4 dan tingkat aspartat aminotransferase
(AST) lebih besar daripada tingkat alanine aminotransferase (ALT),
dengan peningkatan ALT dan AST ( meskipun biasanya < 2000):
periksa kadar ceruloplasmin untuk penyakit Wilson
 Kecurigaan adanya kelainan dengan kelainan struktural
(misalnya sindrom Budd-Chiari , trombosis vena portal , metastasis
hati ): Ultrasonografi dan terkadang pencitraan lainnya
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui adanya komplikasi
(misalnya, perubahan kecil pada tanda-tanda vital yang berhubungan dengan
infeksi), dan ambang batas pengujian harus rendah. Misalnya, dokter tidak
boleh berasumsi bahwa memburuknya status mental disebabkan oleh
ensefalopati; dalam kasus seperti itu, CT kepala dan sering kali tes glukosa di
samping tempat tidur harus dilakukan. Karena tingginya risiko infeksi,
American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) menyarankan
untuk mempertimbangkan pengawasan kultur darah setiap 48 jam. Pengujian
laboratorium rutin (misalnya INR harian, elektrolit serum, tes fungsi ginjal,
glukosa darah, dan ABG) harus sering diulang dalam banyak kasus. Namun,
pengujian mungkin perlu lebih sering (misalnya, glukosa darah setiap 2 jam
pada pasien dengan ensefalopati berat).
Referensi diagnosa
 1. Bernal W, Hall C, Karvellas CJ, dkk : Amonia arteri dan faktor risiko
klinis untuk ensefalopati dan hipertensi intrakranial pada gagal hati
akut. Hepatologi 46(6):1844-1852, 2007. doi: 10.1002/hep.21838
Pengobatan Gagal Hati Akut
 Langkah-langkah yang mendukung
 N - Asetilsistein untuk toksisitas asetaminofen
 Terkadang transplantasi hati
(Lihat juga pedoman praktik Asosiasi Amerika untuk Studi Penyakit Hati
[AASLD] Penatalaksanaan Gagal Hati Akut: Pembaruan 2011 dan Pedoman
Praktis Asosiasi Eropa untuk Studi Penyakit Hati tentang Penatalaksanaan
Gagal Hati Akut [Fulminan] .)
Bila memungkinkan, pasien harus dirawat di unit perawatan intensif di pusat
yang mampu melakukan transplantasi hati . Pasien harus diangkut sesegera
mungkin karena perburukan penyakit dapat terjadi dengan cepat dan
komplikasi (misalnya perdarahan, aspirasi, syok yang memburuk) menjadi lebih
mungkin terjadi seiring dengan perkembangan gagal hati.
Terapi suportif intensif adalah pengobatan andalan. Obat-obatan yang dapat
memperburuk manifestasi gagal hati akut (misalnya hipotensi, sedasi) harus
dihindari atau digunakan dalam dosis serendah mungkin.
Untuk hipotensi dan cedera ginjal akut, tujuan pengobatan adalah
memaksimalkan perfusi jaringan. Perawatan termasuk cairan IV dan biasanya,
sampai sepsis disingkirkan, antibiotik empiris. Jika hipotensi tidak dapat
disembuhkan terhadap sekitar 20 mL/kg larutan kristaloid, dokter harus
mempertimbangkan pengukuran tekanan kapiler paru untuk memandu terapi
cairan. Jika hipotensi menetap meskipun tekanan pengisian cukup, dokter
harus mempertimbangkan penggunaan penekan
(misalnya dopamin , epinefrin , norepinefrin ).
Untuk ensefalopati, kepala tempat tidur ditinggikan 30° untuk mengurangi
risiko aspirasi; intubasi harus dipertimbangkan sejak dini. Saat memilih obat
dan dosis obat, dokter harus meminimalkan sedasi sehingga mereka dapat
memantau tingkat keparahan ensefalopati. Propofol adalah obat induksi yang
biasa digunakan untuk intubasi karena melindungi terhadap hipertensi
intrakranial dan mempunyai durasi kerja yang singkat, memungkinkan
pemulihan yang cepat dari sedasi. Tidak ada bukti bahwa pengobatan
seperti laktulosa atau rifaximin membantu meringankan ensefalopati pada
gagal hati akut, meskipun pengobatan tersebut berguna pada ensefalopati
portosystemic . Selain itu, laktulosa dapat menyebabkan ileus dan
menghasilkan gas yang membuat usus membengkak, yang dapat menjadi
masalah jika laparotomi diperlukan (misalnya, untuk transplantasi hati)
( 1 ). Tindakan yang diambil untuk menghindari peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) dan menghindari penurunan tekanan perfusi serebral:
 Untuk menghindari peningkatan TIK secara tiba-tiba: Stimulus yang
dapat memicu manuver Valsava dihindari
(misalnya, lidokain diberikan sebelum penghisapan endotrakeal
untuk mencegah refleks muntah).
 Untuk menurunkan aliran darah serebral untuk
sementara: Mannitol (0,5 hingga 1 g/kg, diulang satu atau dua kali
sesuai kebutuhan) dapat diberikan untuk menginduksi diuresis
osmotik, dan kemungkinan hiperventilasi singkat dapat digunakan,
terutama bila dicurigai adanya
herniasi. (Namun, manitol dikontraindikasikan pada cedera ginjal
akut dan osmolalitas serum harus diperiksa sebelum memberikan
dosis kedua.)
 Untuk memantau ICP: Tidak jelas apakah atau kapan risiko
pemantauan ICP (misalnya infeksi, perdarahan) lebih besar
daripada manfaatnya karena dapat mendeteksi edema serebral
secara dini dan dapat menggunakan ICP untuk memandu terapi
cairan dan pressor; beberapa ahli merekomendasikan pemantauan
seperti itu jika ensefalopati parah. Namun, tidak ada data yang
menunjukkan bahwa pemantauan ICP berdampak pada kematian
( 2 ). Sasaran pengobatan adalah ICP < 20 mm Hg dan tekanan
perfusi serebral > 50 mm Hg.
 Untuk mengurangi edema serebral: Terapi penggantian ginjal pada
gagal hati akut membantu membersihkan amonia dan
memprediksi penurunan angka kematian jika dimulai sejak
dini. Pedoman Asosiasi Eropa untuk Studi Hati (EASL) tentang gagal
hati akut merekomendasikan pertimbangan terapi penggantian
ginjal pada pasien dengan gagal hati dan peningkatan amonia yang
nyata dan/atau ensefalopati progresif (1 ) .
Kejang diobati dengan fenitoin ; benzodiazepin dihindari atau hanya digunakan
dalam dosis rendah karena menyebabkan sedasi.
Infeksi diobati dengan obat antibakteri dan/atau antijamur; pengobatan
dimulai segera setelah pasien menunjukkan tanda-tanda infeksi (misalnya
demam; tanda-tanda lokal; penurunan hemodinamik, status mental, atau
fungsi ginjal). Karena tanda-tanda infeksi mirip dengan gejala gagal hati akut,
infeksi kemungkinan besar akan diobati secara berlebihan sambil menunggu
hasil kultur.
Defisiensi elektrolit mungkin memerlukan suplementasi natrium, kalium,
fosfat, atau magnesium.
Hipoglikemia diobati dengan infus glukosa terus menerus
(misalnya dekstrosa 10% ), dan glukosa darah harus sering dipantau karena
ensefalopati dapat menutupi gejala hipoglikemia.
Koagulopati diobati dengan plasma beku segar jika terjadi perdarahan atau
jika prosedur invasif direncanakan. Plasma beku segar sebaiknya dihindari
karena dapat menyebabkan kelebihan volume dan memperburuk edema
serebral. Selain itu, ketika plasma beku segar digunakan, dokter tidak dapat
mengikuti perubahan rasio normalisasi internasional (INR), yang penting
karena INR merupakan indeks keparahan gagal hati akut dan kadang-kadang
merupakan kriteria untuk transplantasi. Faktor VII rekombinan kadang-kadang
digunakan sebagai pengganti atau dengan plasma beku segar pada pasien
dengan kelebihan volume. Perannya terus berkembang. H2 blocker dapat
membantu mencegah perdarahan gastrointestinal.
Dukungan nutrisi mungkin diperlukan jika pasien tidak bisa
makan. Pembatasan protein yang ketat tidak diperlukan; 60 g/hari dianjurkan.
Toksisitas asetaminofen akut diobati
dengan N - asetilsistein . Karena toksisitas asetaminofen kronis sulit
didiagnosis, penggunaan N - asetilsistein harus dipertimbangkan jika tidak ada
penyebab gagal hati akut yang jelas. Apakah N - asetilsistein memiliki sedikit
efek menguntungkan pada pasien dengan gagal hati akut akibat kondisi lain
masih dalam penelitian.
Transplantasi hati menghasilkan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 1
tahun sekitar 84% ( 3 ). Transplantasi dianjurkan jika prognosis tanpa
transplantasi lebih buruk. Namun, prediksi sulit dilakukan dan skor, seperti
kriteria King's College dan skor APACHE II (Acute Physiologic Assessment and
Chronic Health Evaluation II), tidak cukup sensitif dan spesifik untuk digunakan
sebagai satu-satunya kriteria transplantasi; oleh karena itu, kriteria ini
digunakan sebagai tambahan dalam penilaian klinis (misalnya, berdasarkan
faktor risiko).
Informasi lebih lanjut mengenai gagal hati akut dapat ditemukan
dalam pedoman Asosiasi Eropa untuk Studi Hati (EASL) .
Referensi pengobatan
 1. Asosiasi Eropa untuk Studi Hati : EASL Pedoman praktis klinis
mengenai pengelolaan gagal hati akut (fulminan). J Hepatologi 66:1047-
1081, 2017. doi: 10.1016/j.jhep.2016.12.003
 2. Karvelas CJ, Fix OK, Battenhouse H, dkk : Hasil dan komplikasi
pemantauan tekanan intrakranial pada gagal hati akut: Sebuah studi
kohort retrospektif. Crit Care Med 42:1157-1167, 2014. doi:
10.1097/CCM.0000000000000144
 3. Administrasi Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan (HRSA) : Jaringan
Pengadaan dan Transplantasi Organ (OPTN)/Registrasi Ilmiah Penerima
Transplantasi (STRT) Laporan Data Tahunan 2020: Hati.
Prognosis Gagal Hati Akut
Prediksi prognosis bisa jadi sulit. Variabel prediktif yang penti

Definisi
Gagal hati adalah kehilangan fungsi hati. Gagal hati dapat terjadi secara cepat/akut atau
secara lambat/kronik. Gagal hati akut dapat terjadi selama beberapa hari atau minggu, paling
cepat 48 jam. Sementara itu, gagal hati kronik biasanya terjadi akibat penyakit hati yang
sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Penyebab
Gagal hati akut dan kronik memiliki penyebab yang berbeda. Gagal hati akut dapat
disebabkan oleh dosis parasetamol yang terlalu tinggi, obat-obatan yang diresepkan dokter,
suplemen herbal, hepatitis dan virus lainnya, toksin, penyakit autoimun, gangguan pembuluh
darah di hati, penyakit metabolik, kanker, syok, dan heat stroke.

Gagal hati akut yang disebabkan oleh parasetamol dapat terjadi karena mengonsumsi obat
tersebut dalam dosis yang terlalu banyak satu kali, atau dosis yang melebihi normal selama
beberapa hari. Sementara itu, obat-obatan resep dokter yang dapat menyebabkan gagal hati
akut dapat berupa antibiotik, antinyeri, dan antikejang. Suplemen herbal yang sudah diketahui
terkait dengan gagal hati akut adalah kava, efedra, skullcap, dan pennyroyal.

Virus-virus yang dapat menyebabkan gagal hati akut dapat berupa virus hepatitis A, B, dan E,
serta virus Epstein-Barr, sitomegalovirus, dan virus herpes simpleks. Toksin yang dapat
menyebabkan gagal hati akut di antaranya adalah toksin dari jamur Amanita phalloides, serta
karbon tetraklorida, yang ditemukan pada pendingin, lilin, dan pernis.

Penyakit yang dapat menyebabkan gagal hati akut dapat berupa hepatitis autoimun, yaitu
kondisi ketika sel kekebalan tubuh menyerang sel-sel hati, penyakit Wilson, serta perlemakan
hati akut saat kehamilan. Syok yang dapat menyebabkan gagal hati adalah syok berupa
kegagalan organ, misalnya akibat infeksi hebat (sepsis). Heat stroke adalah sebuah kondisi
ketika seseorang melakukan aktivitas fisik yang ekstrem pada cuaca panas.

Sementara itu, gagal hati kronik biasanya merupakan hasil dari sirosis atau pengerasan hati.
Sirosis dapat disebabkan oleh penggunaan alkohol jangka panjang, hepatitis B, hepatitis C,
dan hemokromatosis atau penyakit bawaan yang menyebabkan kadar besi di hati terlalu
tinggi.

Faktor Risiko
Faktor risiko gagal hati sangat tergantung dari penyebabnya. Misalnya, hepatitis E dan
penyakit hati autoimun lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Sementara itu,
hepatitis B dan C banyak terjadi pada orang-orang yang memiliki riwayat transfusi darah,
penggunaan jarum suntik untuk obat-obatan resep ataupun obat-obatan terlarang, orang
bertato, orang yang memiliki pasangan seksual lebih dari satu, tenaga kesehatan yang
berurusan dengan cairan tubuh pasien, dan sebagainya. Selain itu, konsumsi alkohol berlebih
juga dapat menjadi faktor risiko gagal hati, terutama gagal hati kronik. Gagal hati yang
disebabkan oleh penyakit bawaan seperti penyakit Wilson dapat pula diketahui dari riwayat
penyakit keluarga.

Gejala
Gejala gagal hati akut dapat berupa kuning pada kulit dan bagian putih bola mata (sklera),
nyeri pada perut bagian kanan atas, gejala saluran cerna lain seperti mual atau muntah dan
penurunan nafsu makan, pembengkakan perut yang berisi cairan, pembengkakan kaki, rasa
tidak enak badan (malaise), bingung atau disorientasi, mengantuk, napas berbau apek, tremor
atau getaran pada anggota gerak tubuh yang terjadi tanpa disadari, mudah berdarah terutama
pada lambung, perdarahan saluran cerna atas dapat bermanifestasi dengan gejala muntah
darah atau tinja berwarna hitam pekat, serta diare.

Gejala gagal hati kronik biasanya baru muncul apabila stadium penyakit sudah cukup parah
untuk menyebabkan gejala.

Diagnosis
Diagnosis gagal hati dimulai dari pertanyaan mengenai onset atau kapan gejala muncul.
Dokter dapat menanyakan berbagai faktor risiko terkait gagal hati untuk menentukan apakah
gagal hati terjadi secara akut atau kronik, misalnya seperti riwayat penggunaan alkohol,
penggunaan obat-obatan baik obat resep dokter atau obat-obatan terlarang, penggunaan obat
herbal, riwayat keluarga dengan penyakit serupa, faktor risiko hepatitis seperti perjalanan ke
daerah endemis, transfusi darah, kontak seksual, pekerjaan, dan tindik, serta racun hati seperti
jamur, pelarut organik, dan fosfor pada kembang api.

Pemeriksaan langsung kepada penderita juga dapat dilakukan oleh dokter untuk mencari
adanya kuning, nyeri pada perut bagian kanan atas, tekanan darah tinggi disertai denyut nadi
lambat, pembengkakan perut dan kaki, serta adanya muntah darah atau BAB hitam.

Pemeriksaan laboratorium memiliki peran yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis,
mencari komplikasi, dan memerkirakan tingkat kesembuhan penderita. Pemeriksaan ini dapat
mencakup pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah trombosit, pemeriksaan
pembekuan darah, enzim hati, bilirubin, amonia serum, gula darah, laktat, analisis gas darah,
kreatinin, fosfat, penanda autoimun seperti antinuclear antibodies (ANA), kadar
parasetamol, serta toksikologi obat-obatan terlarang.

Selain itu, pemeriksaan untuk mengetahui adanya infeksi virus juga dapat dilakukan dengan
pemeriksaan antigen-antibodi. Kultur darah dapat pula dilakukan apabila penderita dicurigai
mengalami infeksi bakteri. Apabila ada kecurigaan terhadap penyakit hati autoimun, kanker
pada hati atau pada bagian tubuh lainnya, serta infeksi virus herpes simpleks, pengambilan
jaringan hati dapat dilakukan.
Pemeriksaan pencitraan ultrasonografi (USG) dapat dilakukan untuk mencari penumpukan
cairan di perut serta melihat bentuk pembuluh darah hati. Pemeriksaan computed tomography
scan (CT scan) juga dapat membantu melihat bentuk hati serta adanya massa atau tumor di
sekitar hati. Tidak hanya itu, CT scan dapat pula dilakukan pada kepala, untuk mencari
adanya perdarahan di dalam kepala yang sama-sama dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, seperti halnya gagal hati akut yang dapat menyebabkan kerusakan otak.

Tata Laksana
Gagal hati, terutama akut, merupakan kondisi kegawatdaruratan. Apabila penderita datang
dalam keadaan tidak sadar atau koma, tenaga kesehatan akan berusaha menjaga agar jalan
napas tetap terbuka dengan bantuan selang napas (intubasi). Selain itu, pemasangan selang
makan dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan pada lambung dan memberikan makan
kepada penderita.

Apabila penderita sadar, pengobatan yang dilakukan dapat bervariasi tergantung penyebab
gagal hati. Misalnya, apabila gagal hati disebabkan oleh keracunan parasetamol, jamur, dan
sebagainya, obat-obatan tertentu dapat diberikan sebagai penangkal racun tersebut. Apapun
penyebab gagal hatinya, sangat mungkin penderita memerlukan perawatan intensif di unit
intensif (intensive care unit, ICU).

Apabila sisa bagian hati yang masih dapat bekerja tinggal sedikit, dokter dapat menyarankan
Anda untuk menjalani transplantasi hati. Namun, prosedur ini hanya dapat dilakukan di pusat
rujukan nasional di Indonesia.

Komplikasi
Komplikasi gagal hati dapat berupa pembengkakan otak akibat penumpukan cairan.
Penumpukan cairan ini terjadi karena pembuluh darah hati menyempit, dan dapat terjadi pada
otak, perut, dan kaki. Namun, yang paling berbahaya adalah otak, karena dapat mematikan.
Selain itu, komplikasi lainnya adalah gangguan pembekuan darah, karena banyak faktor
pembekuan darah yang dihasilkan oleh hati. Selain itu, infeksi seperti pada paru (pneumonia)
dan saluran kemih seringkali terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang menurun. Tidak
hanya itu, gagal hati juga memengaruhi kerja ginjal sehingga gagal ginjal dapat terjadi
sebagai komplikasi.
Pencegahan
Pencegahan gagal hati dapat dilakukan dengan berbagai langkah sebagai berikut:

 Ikuti anjuran dosis yang tertera pada obat, misalnya pada kertas yang ada bersama
dengan bungkus obat.
 Sebutkan seluruh obat-obatan Anda kepada dokter, karena pengobatan tanpa
resep dan herbal dapat berinteraksi dengan obat resep dokter
 Batasi atau hindari minum alkohol, maksimal 1 gelas per hari untuk perempuan
dan 2 gelas per hari untuk laki-laki
 Hindari tindakan berisiko seperti penggunaan obat-obatan terlarang, penggunaan
jarum suntik bersama, berhubungan seks tanpa kondom. Berhati-hatilah ketika hendak
menato atau menindik tubuh, cari tempat yang bersih dan aman
 Vaksinasi virus hepatitis
 Hindari kontak dengan darah atau cairan tubuh orang lain, misalnya dengan
menghindari penggunaan jarum suntik, pisau cukur, dan sikat gigi bersama
 Jangan memakan jamur liar, karena sulit untuk membedakan jamur yang beracun
dan tidak beracun
 Hati-hati dalam menggunakan semprotan aerosol seperti pembunuh serangga,
pembunuh jamur, cat, dan bahan kimia beracun lainnya. Pastikan ruangan memiliki
aliran udara yang baik
 Awasi cairan yang menyentuh tubuh Anda. Saat menggunakan pembunuh
serangga, misalnya, lindungi kulit Anda dengan sarung tangan, baju berlengan
panjang, topi, dan masker
 Jaga berat badan ideal karena obesitas dapat menyebabkan perlemakan hati, yang
selanjutnya dapat menyebabkan gagal hati kronik

Kapan Harus ke Dokter?


Segeralah ke dokter apabila Anda atau orang di sekitar Anda tiba-tiba kuning pada kulit atau
matanya, mengalami nyeri pada perut bagian kanan atas, serta tiba-tiba mengalami gangguan
kesadaran seperti mengantuk, mengamuk, atau koma. Kecurigaan terhadap gagal hati
semakin kuat apabila orang tersebut memiliki riwayat penyakit hati, obesitas, mengonsumsi
alkohol berlebih, atau menggunakan obat-obatan terlarang secara rutin.

agal hati akut adalah timbulnya komplikasi parah dengan cepat setelah gejala pertama
penyakit hati (seperti penyakit kuning ) muncul, dan menunjukkan bahwa hati mengalami
kerusakan parah (kehilangan fungsi 80–90% sel hati). Komplikasinya adalah ensefalopati
hepatik dan gangguan sintesis protein (yang diukur dengan kadar albumin serum dan waktu
protrombin dalam darah). Klasifikasi tahun 1993 mendefinisikan hiperakut dalam waktu 1
minggu, akut dalam waktu 8–28 hari, dan subakut dalam waktu 4–12 minggu; [1] kecepatan
berkembangnya penyakit dan penyebab yang mendasarinya sangat mempengaruhi hasil akhir. [2]
Tanda dan gejala [ sunting ]
Gambaran utama dari gagal hati akut adalah penyakit kuning yang timbul dengan cepat,
kelemahan, dan akhirnya, perubahan status mental yang dapat dimulai dengan kebingungan
ringan namun berkembang menjadi koma, yang dikenal sebagai ensefalopati hepatik. [3]

Ensefalopati dan edema serebral [ sunting ]


Pada ALF, ensefalopati hepatik menyebabkan edema serebral , koma , herniasi otak , dan
akhirnya kematian. Deteksi ensefalopati merupakan hal penting dalam diagnosis ALF. Hal ini
dapat bervariasi dari defisit halus pada fungsi otak yang lebih tinggi (misalnya suasana hati,
konsentrasi pada tingkat I) hingga koma yang dalam (tingkat IV). Pasien dengan gejala gagal
hati akut dan hiperakut mempunyai risiko lebih besar mengalami edema serebral dan
ensefalopati derajat IV. Patogenesisnya masih belum jelas, namun kemungkinan besar
disebabkan oleh beberapa fenomena . Ada penumpukan zat beracun
seperti amonia , merkaptan , serotonin dan triptofan di otak. Hal ini mempengaruhi
tingkat neurotransmitter dan aktivasi neuroreseptor . Autoregulasi aliran darah otak terganggu,
dan berhubungan dengan glikolisis anaerobik dan stres oksidatif . Astrosit sel saraf rentan
terhadap perubahan ini, dan mereka membengkak, mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial. Mediator inflamasi juga memainkan peran penting. [2] [4] [5]
Sayangnya, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial , seperti papiledema dan hilangnya
refleks pupil , tidak dapat diandalkan, dan terjadi pada akhir proses penyakit. Pencitraan CT otak
juga tidak membantu dalam mendeteksi edema serebral secara dini, namun sering dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan perdarahan intra-serebral . Pemantauan tekanan intrakranial
invasif melalui rute subdural sering direkomendasikan; namun, risiko komplikasi harus
dibandingkan dengan manfaat yang mungkin didapat (1% perdarahan fatal). [6] Tujuannya adalah
untuk mempertahankan tekanan intrakranial di bawah 25 mm Hg, dan tekanan perfusi serebral di
atas 50 mm Hg. [2]

Koagulopati [ sunting ]
Koagulopati adalah ciri utama ALF lainnya. Hati mempunyai peran sentral dalam sintesis hampir
semua faktor koagulasi dan beberapa
inhibitor koagulasi dan fibrinolisis . Nekrosis hepatoseluler menyebabkan
gangguan sintesis banyak faktor koagulasi dan penghambatnya. Yang pertama menghasilkan
perpanjangan waktu protrombin yang banyak digunakan untuk memantau tingkat keparahan
cedera hati . Terdapat disfungsi trombosit yang signifikan (dengan kelainan trombosit kuantitatif
dan kualitatif). Trombositopenia progresif dengan hilangnya trombosit yang lebih besar dan lebih
aktif hampir terjadi secara universal. Trombositopenia dengan atau tanpa DIC meningkatkan
risiko perdarahan intraserebral. [7]

Gagal ginjal [ sunting ]


Gagal ginjal sering terjadi, terjadi pada lebih dari 50% pasien ALF, baik akibat gangguan awal
seperti parasetamol yang mengakibatkan nekrosis tubular akut , atau akibat sirkulasi
hiperdinamik yang menyebabkan sindrom hepatorenal atau gagal ginjal fungsional. Karena
gangguan produksi urea, urea darah tidak mewakili derajat kerusakan ginjal. [ kutipan diperlukan ]

Peradangan dan infeksi [ sunting ]


Sekitar 60% dari seluruh pasien ALF memenuhi kriteria sindrom inflamasi sistemik terlepas dari
ada atau tidaknya infeksi. [8] Hal ini sering kali berkontribusi terhadap kegagalan multi
organ . Gangguan mekanisme pertahanan tubuh akibat gangguan opsonisasi , kemotaksis , dan
pembunuhan intraseluler, secara substansial meningkatkan risiko sepsis. Sepsis bakteri
sebagian besar disebabkan oleh organisme gram positif dan sepsis jamur diamati masing-
masing pada 80% dan 30% pasien. [7]

Gangguan metabolisme [ sunting ]


Hiponatremia merupakan temuan yang hampir universal akibat retensi air dan pergeseran
transpor natrium intraseluler akibat penghambatan Na/K ATPase [ rujukan ?] . Hipoglikemia (akibat
berkurangnya simpanan glikogen di hati dan hiperinsulinemia ), hipokalemia , hipofosfatemia ,
dan alkalosis metabolik sering terjadi, tidak bergantung pada fungsi ginjal. Asidosis laktat terjadi
terutama pada overdosis parasetamol (juga dikenal sebagai asetaminofen) .

Kompromi hemodinamik dan kardio-pernapasan [ sunting ]


Sirkulasi hiperdinamik , dengan vasodilatasi perifer akibat resistensi pembuluh darah
sistemik yang rendah , menyebabkan hipotensi . Ada peningkatan kompensasi curah
jantung . Insufisiensi adrenal telah dilaporkan pada 60% kasus ALF, dan kemungkinan
berkontribusi terhadap gangguan hemodinamik. [9] Ada juga transportasi dan
pemanfaatan oksigen yang tidak normal . Meskipun pengiriman oksigen ke jaringan cukup,
terdapat penurunan pengambilan oksigen jaringan, yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan
asidosis laktat. [10]
Komplikasi paru terjadi pada 50% pasien. [11] Cedera paru-paru parah
dan hipoksemia mengakibatkan kematian yang tinggi. Kebanyakan kasus cedera paru parah
disebabkan oleh ARDS , dengan atau tanpa sepsis . Perdarahan paru , efusi
pleura , atelektasis , dan pirau intrapulmonal juga berkontribusi terhadap kesulitan pernapasan.

Kehamilan terlambat [ sunting ]


Pada akhir kehamilan, fungsi hati menurun secara signifikan, yang dapat dengan mudah
dipantau melalui tes darah. Manifestasi klinis awal ALF pada akhir kehamilan antara lain
hipodinamia, penurunan nafsu makan, urin berwarna kuning tua, penyakit kuning parah, mual,
muntah, dan kembung. [12] Di antara pasien yang kematiannya disebabkan oleh ALF pada akhir
kehamilan, sebagian besar pernah mengalami persalinan pervaginam. [13]

Penyebab [ sunting ]
Penyebab umum gagal hati akut adalah overdosis parasetamol (asetaminofen) , reaksi istimewa
terhadap obat (misalnya tetrasiklin , troglitazon ), konsumsi alkohol berlebihan ( hepatitis
alkoholik parah ), hepatitis virus ( hepatitis A atau B — sangat jarang terjadi pada hepatitis
C ), perlemakan hati akut pada kehamilan , dan idiopatik (tanpa penyebab yang jelas). Sindrom
Reye adalah gagal hati akut pada anak yang menderita infeksi virus (misalnya cacar
air ); tampaknya penggunaan aspirin mungkin memainkan peran penting. Penyakit
Wilson (akumulasi tembaga herediter) jarang muncul bersamaan dengan gagal hati akut. Gagal
hati akut juga disebabkan oleh keracunan jamur topi kematian ( Amanita phalloides )
serta spesies jamur penghasil amatoxin lainnya. Strain Bacillus cereus tertentu — spesies
bakteri umum yang sering menjadi penyebab keracunan makanan — dapat menyebabkan gagal
hati fulminan melalui produksi cereulide , [14] racun yang
menghancurkan mitokondria di hepatosit yang terkena , sehingga mengakibatkan kematian
sel. Meskipun sebagian besar kasus infeksi B. cereus dapat diatasi oleh sistem kekebalan tubuh
dan tidak memengaruhi hati, kasus parah yang mengakibatkan kerusakan hati dapat berakibat
fatal [15] [16] [17] [18] [19] tanpa pengobatan segera atau transplantasi hati .

Patofisiologi [ sunting ]

Diagram sistem hepatobilier


Pada sebagian besar gagal hati akut (ALF), terjadi nekrosis hepatoseluler luas yang dimulai
pada distribusi sentrizonal dan berlanjut ke saluran portal . Derajat
peradangan parenkim bervariasi dan sebanding dengan durasi penyakit . [7] [20] [21]
Zona 1 (periportal) terjadi pada keracunan fosfor atau eklampsia. Zona 2 (zona tengah),
meskipun jarang, terlihat pada demam kuning . Zona 3 (sentrilobular) terjadi karena cedera
iskemik, efek toksik, paparan karbon tetraklorida, atau konsumsi kloroform. Pada overdosis
asetaminofen akut, toksifikasi terjadi, sebagian besar di Zona III yang memiliki tingkat mikro-
enzim P450 tertinggi. Fakta tersebut seiring dengan menurunnya tingkat oksigen di Zona III
membantu menjelaskan mengapa zona ini lebih disukai sebagai salah satu lokasi awal
kerusakan.

Diagnosa [ sunting ]
Semua pasien dengan bukti klinis atau laboratorium hepatitis akut sedang hingga berat harus
segera menjalani pengukuran waktu protrombin dan evaluasi status mental secara cermat. Jika
waktu protrombin memanjang ≈ 4-6 detik atau lebih (INR ≥ 1,5), dan terdapat bukti
perubahan sensorium , diagnosis ALF harus dicurigai kuat, dan rawat inap di rumah sakit wajib
dilakukan. [22] Pemeriksaan laboratorium awal harus ekstensif untuk mengevaluasi etiologi dan
tingkat keparahannya.
Analisis laboratorium awal [22]

 Waktu protrombin /INR


 Hitung darah lengkap
 Kimia
o Tes fungsi hati: AST , ALT , alkaline
fosfatase , GGT , bilirubin total , albumin
o Kreatinin , urea/ nitrogen urea darah , natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, kalsium, magnesium, fosfat
o Glukosa
o Amilase dan lipase
 Gas darah arteri , laktat
 Golongan darah dan skrining
 Kadar parasetamol (asetaminofen), pemeriksaan toksikologi
 Serologi virus hepatitis : IgM anti-HAV, HBSAg , IgM anti-HBc , anti-HCV
 Penanda autoimun : ANA , ASMA , LKMA , kadar imunoglobulin
 Tingkat seruloplasmin (bila dicurigai penyakit Wilson)
 Tes kehamilan (wanita)
 Amonia (arteri jika memungkinkan)
 Status HIV (memiliki implikasi untuk transplantasi )
Anamnesis harus mencakup tinjauan cermat terhadap kemungkinan paparan terhadap infeksi
virus dan obat-obatan atau racun lainnya. Dari riwayat dan pemeriksaan klinis, kemungkinan
penyakit kronis yang mendasari harus disingkirkan karena mungkin memerlukan
penatalaksanaan yang berbeda.
Biopsi hati yang dilakukan melalui rute transjugular karena koagulopati biasanya tidak
diperlukan, kecuali pada penyakit ganas yang kadang-kadang terjadi. Seiring dengan
berlanjutnya evaluasi, beberapa keputusan penting harus diambil; seperti apakah pasien akan
dirawat di ICU, atau apakah pasien akan dipindahkan ke fasilitas transplantasi. Konsultasi
dengan pusat transplantasi sedini mungkin sangat penting karena kemungkinan perkembangan
ALF yang cepat.

Definisi [ sunting ]
Gagal hati akut didefinisikan sebagai "perkembangan pesat disfungsi hepatoseluler, khususnya
koagulopati dan perubahan status mental (ensefalopati) pada pasien yang sebelumnya tidak
memiliki penyakit hati". [23] halaman 1557
Diagnosis gagal hati akut didasarkan pada pemeriksaan fisik, temuan laboratorium, riwayat
pasien, dan riwayat kesehatan masa lalu untuk menentukan perubahan status mental,
koagulopati, kecepatan timbulnya penyakit, dan tidak adanya penyakit hati sebelumnya yang
diketahui. [23] halaman 1557
Definisi yang tepat dari "cepat" agak dipertanyakan, dan terdapat sub-divisi berbeda yang
didasarkan pada waktu dari timbulnya gejala hati pertama hingga timbulnya ensefalopati. Salah
satu skema mendefinisikan "gagal hati akut" sebagai perkembangan ensefalopati dalam waktu
26 minggu setelah timbulnya gejala hati. Hal ini dibagi lagi menjadi "gagal hati fulminan", yang
memerlukan timbulnya ensefalopati dalam waktu 8 minggu, dan "subfulminan", yang
menggambarkan timbulnya ensefalopati setelah 8 minggu tetapi sebelum 26 minggu. [24] Skema
lain mendefinisikan "hiperakut" sebagai permulaan dalam 7 hari, "akut" sebagai permulaan
antara 7 dan 28 hari, dan "subakut" sebagai permulaan antara 28 hari dan 24 minggu. [23] halaman 1557

Pengobatan [ sunting ]
Kriteria Rumah Sakit King's College
untuk transplantasi hati pada gagal hati akut [25]

Pasien dengan toksisitas parasetamol


pH <7,3 atau
Waktu protrombin > 100 detik dan kadar
kreatinin serum > 3,4 mg/dL (> 300 mol/L)
jika pada ensefalopati derajat III atau IV

Pasien lain
Waktu protrombin > 100 detik atau
Tiga variabel berikut :

 Usia < 10 tahun atau > 40 tahun


 Menyebabkan:
o Hepatitis C atau E
o hepatitis halotan
o reaksi obat yang istimewa
 Durasi penyakit kuning sebelum ensefalopati > 7 hari
 Waktu protrombin > 50 detik
 Kadar bilirubin serum > 17,6 mg/dL (> 300 mol/L)

Kekhawatiran umum [ sunting ]


Karena ALF sering menyebabkan penurunan status mental secara cepat dan potensi kegagalan
multiorgan, pasien harus dirawat di unit perawatan intensif . [26] Untuk pasien yang tidak berada di
pusat transplantasi, kemungkinan perkembangan ALF yang cepat membuat konsultasi dini
dengan fasilitas transplantasi menjadi penting. Oleh karena itu, rencana pemindahan ke pusat
transplantasi harus dimulai pada pasien dengan kelainan mental. Pemberian obat penawar atau
terapi spesifik secara dini dapat mencegah perlunya transplantasi hati dan mengurangi
kemungkinan hasil yang buruk. Tindakan yang tepat untuk mengatasi penyebab spesifik ALF
dijelaskan secara rinci pada bab ini. [27]

Komplikasi neurologis [ sunting ]


Pasien dengan ensefalopati derajat I-II harus dipindahkan ke fasilitas transplantasi hati dan
terdaftar untuk transplantasi. Pertimbangkan pemindaian tomografi komputer (CT) otak untuk
menyingkirkan penyebab lain dari perubahan atau gangguan status mental. Stimulasi dan hidrasi
berlebihan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan harus
dihindari. Agitasi yang tidak dapat dikendalikan dapat diobati dengan benzodiazepin kerja
pendek dalam dosis kecil. Laktulosa dapat dipertimbangkan pada tahap ini. Laporan awal dari
ALFSG pada 117 pasien menunjukkan bahwa penggunaan laktulosa dalam 7 hari pertama
setelah diagnosis dikaitkan dengan sedikit peningkatan waktu bertahan hidup, namun tidak ada
perbedaan dalam tingkat keparahan ensefalopati atau hasil keseluruhan. Untuk pasien yang
berkembang menjadi ensefalopati derajat III-IV, umumnya diperlukan intubasi untuk
perlindungan jalan napas. Banyak pusat kesehatan menggunakan propofol untuk sedasi karena
dapat mengurangi darah otak. Kepala tempat tidur harus ditinggikan hingga 30 derajat, dan
elektrolit, gas darah, glukosa, dan status neurologis harus sering dipantau. [28] [29]

Komplikasi kardiovaskular [ sunting ]


Peningkatan curah jantung dan resistensi pembuluh darah sistemik yang rendah merupakan
karakteristik ALF. Kateterisasi arteri pulmonal harus dipertimbangkan. Hipotensi sebaiknya
ditangani dengan cairan, namun dukungan vasopresor sistemik dengan agen seperti epinefrin,
norepinefrin, atau dopamin harus digunakan jika penggantian cairan gagal mempertahankan
tekanan arteri rata-rata 50-60 mm Hg. Agen vasokonstriksi (terutama vasopresin) harus
dihindari. [30]

Komplikasi paru [ sunting ]


Edema paru dan infeksi paru umumnya terlihat pada pasien ALF. Ventilasi mekanis mungkin
diperlukan. Namun, tekanan ekspirasi akhir yang positif dapat memperburuk edema serebral. [31]

Koagulopati dan perdarahan gastrointestinal [ sunting ]


Gangguan sintesis faktor pembekuan hati, fibrinolisis tingkat rendah, dan koagulasi intravaskular
merupakan ciri khas ALF. Trombositopenia sering terjadi dan mungkin juga bersifat
disfungsional. Terapi penggantian hanya dianjurkan jika terjadi perdarahan atau sebelum
prosedur invasif. Vitamin K dapat diberikan untuk mengatasi waktu protrombin yang abnormal,
terlepas dari apakah status gizinya buruk atau tidak. Pemberian faktor VIIa rekombinan telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan; Namun, pendekatan pengobatan ini memerlukan
penelitian lebih lanjut. Penggunaan profilaksis perdarahan gastrointestinal dengan penghambat
histamin-2 (H2) , penghambat pompa proton , atau sukralfat dianjurkan. [32]

Nutrisi, elektrolit, dan gangguan metabolisme [ sunting ]


Pada pasien dengan ensefalopati derajat I atau II, pemberian makanan enteral harus dimulai
sejak dini. Nutrisi parenteral harus digunakan hanya jika pemberian makanan enteral merupakan
kontraindikasi karena meningkatkan risiko infeksi. Pembatasan protein secara berlebihan tidak
membawa manfaat; 60 g/hari protein umumnya masuk akal. Penggantian cairan dengan koloid
(misalnya albumin) lebih disukai daripada kristaloid (misalnya garam); semua larutan harus
mengandung dekstrosa untuk mempertahankan euglisemia. Kelainan elektrolit multipel sering
terjadi pada ALF. Koreksi hipokalemia sangat penting karena hipokalemia meningkatkan
produksi amonia ginjal, yang berpotensi memperburuk ensefalopati. Hipofosfatemia sangat
umum terjadi pada pasien dengan ALF yang diinduksi asetaminofen dan pada pasien dengan
fungsi ginjal utuh. Hipoglikemia terjadi pada banyak pasien dengan ALF dan seringkali
disebabkan oleh penipisan simpanan glikogen hati dan gangguan glukoneogenesis. Konsentrasi
glukosa plasma harus dipantau dan glukosa hipertonik diberikan sesuai kebutuhan. [33]

Infeksi [ sunting ]
Infeksi bakteri dan jamur sering terjadi pada ALF, dengan sebuah penelitian menunjukkan infeksi
yang terbukti melalui kultur pada 80% pasien ALF. Imunitas seluler dan humoral yang rusak
serta adanya kateter, koma, antibiotik spektrum luas, dan obat-obatan yang menekan kekebalan
semuanya merupakan predisposisi terjadinya infeksi. Gejala lokal infeksi seperti demam dan
produksi sputum seringkali tidak ada dan satu-satunya petunjuk adanya proses infeksi yang
mendasarinya mungkin adalah memburuknya ensefalopati atau fungsi ginjal. Harus ada ambang
batas yang rendah untuk sering melakukan kultur (darah, urin, dan sputum), rontgen dada, dan
parasentesis. Bakteri yang masuk melalui kulit, seperti streptokokus dan stafilokokus, cenderung
mendominasi. Pengawasan yang agresif sangat penting karena antibiotik profilaksis hanya
menunjukkan sedikit manfaat. Infeksi jamur, terutama pada penggunaan antibiotik spektrum
luas, juga sering terjadi, dan fungimia yang menyebar merupakan tanda prognosis yang
buruk. [34]

Transplantasi hati [ sunting ]


Munculnya transplantasi telah mengubah tingkat kelangsungan hidup dari 15% pada era
pratransplantasi menjadi lebih dari 60% saat ini. Transplantasi hati diindikasikan untuk banyak
pasien dengan ALF, dan tingkat kelangsungan hidup dapat dicapai sebesar 56-90%. Selain
transplantasi, perawatan kritis yang lebih baik dan kecenderungan terhadap penyebab yang
lebih jinak, seperti asetaminofen, semuanya berkontribusi pada peningkatan tingkat
kelangsungan hidup. Kelangsungan hidup spontan sekarang sekitar 40%. Penerapan
transplantasi pada pasien ALF masih rendah, menunjukkan bahwa potensi penuh dari modalitas
ini mungkin tidak terwujud. Ketersediaan allograft yang tepat waktu merupakan salah satu faktor
utama yang menentukan hasil transplantasi. Dalam penelitian terbesar di AS, hanya 29% pasien
yang menerima cangkok hati, sementara 10% dari keseluruhan kelompok (seperempat pasien
yang terdaftar untuk transplantasi) meninggal dalam daftar tunggu. Seri lain telah melaporkan
tingkat kematian mereka yang terdaftar untuk transplantasi sebesar 40%. Pada ALFSG, tingkat
transplantasi lebih tinggi pada kelompok dengan kelangsungan hidup spontan jangka pendek
yang lebih rendah, sehingga kelangsungan hidup secara keseluruhan serupa pada semua
kelompok: asetaminofen, 73%; akibat obat, 70%; kelompok tak tentu, 64%; dan penyebab
lainnya, 61%. Penyebab kematian 101 pasien yang meninggal dalam periode 3 minggu
termasuk edema serebral, kegagalan multiorgan, sepsis, aritmia atau henti jantung, dan gagal
napas. Waktu rata-rata kematian setelah masuk adalah 5 hari. [34]

Asetilsistein [ sunting ]
N-asetilsistein intravena bermanfaat dalam mengatasi toksisitas asetaminofen tetapi tidak
bermanfaat pada gagal hati akut yang tidak berhubungan dengan asetaminofen. [35] [36]

Prognosis [ sunting ]
Secara historis angka kematian cukup tinggi, melebihi 80%. [37] Dalam beberapa tahun terakhir,
munculnya transplantasi hati dan dukungan perawatan intensif multidisiplin telah meningkatkan
kelangsungan hidup secara signifikan. Saat ini kelangsungan hidup jangka pendek secara
keseluruhan dengan transplantasi lebih dari 65%. [38]
Beberapa sistem penilaian prognostik telah dirancang untuk memprediksi angka kematian dan
untuk mengidentifikasi siapa yang memerlukan transplantasi hati dini. Ini termasuk kriteria
Rumah Sakit King's College , skor MELD , dan kriteria Clichy . [39] [40]

Terminologi [ sunting ]
Sampai saat ini, belum ada nomenklatur yang diterima secara universal. Trey dan Davidson
memperkenalkan istilah gagal hati fulminan pada tahun 1970, yang mereka gambarkan sebagai
"... kondisi yang berpotensi reversibel, akibat dari cedera hati yang parah, dengan
timbulnya ensefalopati dalam waktu 8 minggu sejak munculnya gejala pertama dan dalam waktu
8 minggu setelah gejala pertama muncul. tidak adanya penyakit hati yang sudah ada
sebelumnya". [41] Kemudian, disarankan bahwa istilah fulminan harus dibatasi pada pasien yang
mengalami penyakit kuning hingga ensefalopati dalam waktu 2 minggu. Istilah gagal
hati subfulminan dan gagal hati awitan lambat diciptakan untuk awitan masing-masing antara 2
minggu hingga 3 bulan dan selama 8 minggu hingga 24 minggu. [42] [43] Ungkapan umum gagal hati
akut diusulkan oleh kelompok King's College, yang telah diadopsi dalam artikel ini. Paradoksnya,
dalam klasifikasi ini, prognosis terbaik adalah pada kelompok hiperakut . [44]

Referensi [ sunting ]
1. ^ O'Grady JG, Schalm SW, Williams R (1993). "Gagal hati akut: mendefinisikan ulang
sindrom". Lancet . 342 (8866): 273–5. doi : 10.1016/0140-6736(93)91818-
7 . PMID 8101303 . S2CID 21583699 .
2. ^ O'Grady JG ( 2005Lompat ke: ). "Gagal hati akut" . Jurnal Kedokteran Pascasarjana . 81 (953):
148–54. doi : 10.1136/pgmj.2004.026005 . PMC 1743234 . PMID 15749789 .
3. ^ "Gagal Hati Akut" , LiverTox: Informasi Klinis dan Penelitian tentang Cedera Hati Akibat
Obat , Bethesda (MD): Institut Nasional Diabetes dan Penyakit Pencernaan dan Ginjal,
2012, PMID 31689027 , diambil 2022-10-17
4. ^ Hazell, Alan S.; Butterworth, Roger F. (1999). "Ensefalopati hepatik: Pembaruan
mekanisme patofisiologis". Proses. sosial. Contoh. biologi. medis . 222 (2): 99–
112. doi : 10.1046/j.1525-1373.1999.d01-120.x . PMID 10564534 .
5. ^ Larsen FS, Wendon J (2002). "Edema otak pada gagal hati: prinsip dan manajemen
fisiologis dasar" . Transplasi Hati . 8 (11): 983–
9. doi : 10.1053/jlts.2002.35779 . PMID 12424710 . S2CID 23253577 .
6. ^ Armstrong IR, Pollok A, Lee A (1993). "Komplikasi pemantauan tekanan intrakranial
pada kegagalan hati fulminan". Lancet . 341 (8846): 690–1. doi : 10.1016/0140-
6736(93)90458-S . PMID 8095592 . S2CID 20859855 .
7. ^ Gimson AELompat ke: (1996) . "Gagal hati fulminan dan awitan lambat" . Jurnal Anestesi
Inggris . 77 (1): 90–8. doi : 10.1093/bja/77.1.90 . PMID 8703634 .
8. ^ Schmidt LE, Larsen FS (2006). "Implikasi prognostik dari hiperlaktatemia, kegagalan
banyak organ, dan sindrom respons inflamasi sistemik pada pasien dengan gagal hati
akut yang disebabkan oleh asetaminofen" . Kritik. Perawatan Med . 34 (2): 337–
43. doi : 10.1097/01.CCM.0000194724.70031.B6 . PMID 16424712 . S2CID 23466543
.
9. ^ Harry R, Auzinger G, Wendon J (2002). "Pentingnya klinis dari kekurangan adrenal
pada disfungsi hati akut". Hepatologi . 36 (2): 395–
402. doi : 10.1053/jhep.2002.34514 . PMID 12143048 . S2CID 24090416 .
10. ^ Bihari D, Gimson AE, Waterson M, Williams R (1985). "Hipoksia jaringan selama
kegagalan hati fulminan". Kritik. Perawatan Med . 13 (12): 1034–
9. doi : 10.1097/00003246-198512000-00010 . PMID 3933911 . S2CID 42723731 .
11. ^ Trewby PN, Warren R, Contini S, dkk. (1978). "Insiden dan patofisiologi edema paru
pada gagal hati fulminan" . Gastroenterologi . 74 (5 Pt 1): 859–65. doi : 10.1016/0016-
5085(78)90142-7 . PMID 346431 .
12. ^ Li XM, Ma L, Yang YB, Shi ZJ, Zhou SS (2005). "Ciri-ciri klinis hepatitis fulminan pada
kehamilan" . Dunia J Gastroenterol . 11 (29): 4600–
3. doi : 10.3748/wjg.v11.i29.4600 . PMC 4398717 . PMID 16052697 .
13. ^ Li XM, Ma L, Yang YB, Shi ZJ, Zhou SS (2005). "Faktor prognostik hepatitis fulminan
pada kehamilan". Chin Med J (Bahasa Inggris) . 118 (20): 1754–7. PMID 16313765 .
14. ^ Peltola; dkk. (2004). "Berita tentang cereulide, racun muntah dari Bacillus Cereus " .
15. ^ Takabe F, Oya M (1976). "Otopsi kasus keracunan makanan yang berhubungan
dengan Bacillus cereus ". Ilmu Forensik . 7 (2): 97–101. doi : 10.1016/0300-
9432(76)90024-8 . PMID 823082 .
16. ^ Mahler H; dkk. (1997). "Gagal hati fulminan berhubungan dengan toksin
emetik Bacillus cereus " . N Engl J Med . 336 (16): 1142–
1148. doi : 10.1056/NEJM199704173361604 . PMID 9099658 .
17. ^ Dierick K; dkk. (2005). "Wabah keluarga yang fatal dari keracunan makanan terkait
Bacillus cereus" . J Clin Mikrobiol . 43 (8): 4277–4279. doi : 10.1128/JCM.43.8.4277-
4279.2005 . PMC 1233987 . PMID 16082000 .
18. ^ Shiota, M; dkk. (2010). "Detoksifikasi Cepat Cereulide pada Keracunan
Makanan Bacillus cereus " . Pediatri . 125 (4): e951–e955. doi : 10.1542/peds.2009-
2319 . PMID 20194285 . S2CID 19744459 .
19. ^ Naranjo, M; dkk. (2011). "Kematian Mendadak Seorang Dewasa Muda Terkait
dengan Keracunan Makanan Bacillus cereus " . J Clin Mikrobiol . 49 (12): 4379–
4381. doi : 10.1128/JCM.05129-11 . PMC 3232990 . PMID 22012017 .
20. ^ Boyer JL, Klatskin G (1970). "Pola nekrosis pada hepatitis virus akut. Nilai prognostik
penghubung (nekrosis hati subakut)". N.Inggris. J.Med . 283 (20): 1063–
71. doi : 10.1056/NEJM197011122832001 . PMID 4319402 .
21. ^ Kolodziejczyk, Aleksandra A.; Federici, Sara; Zmora, Niv; Mohapatra, Gayatree; Dori-
Bachash, Mally; Hornstein, Shanni; Leshem, Avner; Reuveni, Debby; Zigmond,
Ehud; Tobar, Ana; Salame, Tomer Meir (Desember 2020). "Gagal hati akut diatur oleh
program yang bergantung pada MYC dan mikrobioma" . Pengobatan Alam . 26 (12):
1899–1911. doi : 10.1038/s41591-020-1102-2 . ISSN 1546-170X . PMID 33106666 . S
2CID 225083103 .
22. ^ Polson J ,Lompat ke: Lee WM (2005). "Makalah posisi AASLD: pengelolaan gagal hati
akut" . Hepatologi . 41 (5): 1179–
97. doi : 10.1002/hep.20703 . PMID 15841455 . S2CID 6216605 .
23. ^ Sleisenger , MarvinLompat ke: H.; Feldman, Mark; Friedman, Lawrence S.; Brandt, Lawrence J.,
penyunting. (2009). Patofisiologi, diagnosis, manajemen penyakit gastrointestinal dan
hati Sleisenger & Fordtran (PDF) (edisi ke-9). Louis, Mo.: Konsultasi MD. ISBN 978-1-
4160-6189-2.
24. ^ Sood, Gagan K. "Gagal Hati Akut" . Mescape . Diakses pada 14 Desember 2011 .
25. ^ O'Grady JG, Alexander GJ, Hayllar KM, Williams R (1989). "Indikator awal prognosis
pada kegagalan hati fulminan". Gastroenterologi . 97 (2): 439–45. doi : 10.1016/0016-
5085(89)90081-4 . PMID 2490426 .
26. ^ Jalan, R (2005). "Gagal hati akut: penatalaksanaan saat ini dan prospek masa
depan". Jurnal Hepatologi . 42 Tambahan (1): S115–
23. doi : 10.1016/j.jhep.2004.11.010 . PMID 15777566 .
27. ^ Polson, J; Lee, WM; Asosiasi Amerika untuk Studi Hati, Penyakit (Mei 2005). "Makalah
posisi AASLD: pengelolaan gagal hati akut" . Hepatologi . 41 (5): 1179–
97. doi : 10.1002/hep.20703 . PMID 15841455 . S2CID 6216605 .
28. ^ Jalan, R (Agustus 2003). "Hipertensi intrakranial pada gagal hati akut: dasar
patofisiologi manajemen rasional". Seminar Penyakit Liver . 23 (3): 271–
82. doi : 10.1055/s-2003-42645 . PMID 14523680 . S2CID 29276705 .
29. ^ Jalan, R; Olde Damink, SW; Deutz, NE; Davies, NA; Taman, OJ; Madhavan, KK; Hay,
PC; Lee, A (27 Juni 2003). "Hipotermia sedang mencegah hiperemia serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang menjalani transplantasi hati untuk
gagal hati akut" . Transplantasi . 75 (12): 2034–
9. doi : 10.1097/01.tp.0000066240.42113.ff . PMID 12829907 . S2CID 41782490 .
30. ^ Murphy, N; Auzinger, G; Bernel, W; Wendon, J (Februari 2004). "Pengaruh natrium
klorida hipertonik pada tekanan intrakranial pada pasien dengan gagal hati
akut" . Hepatologi . 39 (2): 464–
70. doi : 10.1002/hep.20056 . PMID 14767999 . S2CID 20335884 .
31. ^ Wijdicks, EF; Nyberg, SL (Juni 2002). "Propofol untuk mengontrol tekanan intrakranial
pada gagal hati fulminan". Proses Transplantasi . 34 (4): 1220–2. doi : 10.1016/s0041-
1345(02)02804-x . PMID 12072321 .
32. ^ Shami, VM; Caldwell, SH; Hespenheide, EE; Arseneau, KO; Bickston, SJ; Macik, BG
(Februari 2003). "Faktor VII yang diaktifkan rekombinan untuk koagulopati pada gagal
hati fulminan dibandingkan dengan terapi konvensional" . Transplantasi Hati . 9 (2):
138–43. doi : 10.1053/jlts.2003.50017 . PMID 12548507 . S2CID 12007975 .
33. ^ Coklat RS, Jr; Rusia, MW; Lai, M; Shiffman, ML; Richardson, MC; Everhart,
JE; Hoofnagle, JH (27 Februari 2003). "Survei transplantasi hati dari donor dewasa yang
masih hidup di Amerika Serikat" . Jurnal Kedokteran New England . 348 (9): 818–
25. doi : 10.1056/nejmsa021345 . PMID 12606737 .
34. ^ Petani ,Lompat ke: Ditjen; Anselmo, DM; Ghobrial, RM; Yersiz, H; McDiarmid, SV; Cao,
C; Penenun, M; Figueroa, J; Khan, K; Vargas, J; Saab, S; Han, S; Durazo,
F; Goldstein, L; Holt, C; Busuttil, RW (Mei 2003). "Transplantasi hati untuk kegagalan
hati fulminan: pengalaman dengan lebih dari 200 pasien selama periode 17
tahun" . Sejarah Bedah . 237 (5): 666–75, diskusi 675–
6. doi : 10.1097/01.sla.0000064365.54197.9e . PMC 1514517 . PMID 12724633 .
35. ^ Lee WM, Hynan LS, Rossaro L, dkk. (September 2009). "N-asetilsistein intravena
meningkatkan kelangsungan hidup bebas transplantasi pada gagal hati akut non-
asetaminofen tahap awal" . Gastroenterologi . 137 (3): 856–64,
864.e1. doi : 10.1053/j.gastro.2009.06.006 . PMC 3189485 . PMID 19524577 .
36. ^ Siu, Jacky TP; Nguyen, Trina; Ahli Bedah, Ricky D (9 Desember 2020). "N-asetilsistein
untuk gagal hati akut terkait non-parasetamol (asetaminofen)" . Database Tinjauan
Sistematis Cochrane . 2020 (12):
CD012123. doi : 10.1002/14651858.CD012123.pub2 . PMC 8095024 . PMID 33294991
.
37. ^ Rakela J, Lange SM, Ludwig J, Baldus WP (1985). "Hepatitis fulminan: pengalaman
Mayo Clinic dengan 34 kasus". Klinik Mayo. Proses . 60 (5): 289–
92. doi : 10.1016/s0025-6196(12)60534-5 . PMID 3921780 .
38. ^ Ostapowicz G, Fontana RJ, Schiødt FV, dkk. (2002). Hasil studi prospektif gagal hati
akut di 17 pusat perawatan tersier di Amerika Serikat. Ann. Magang. medis . 137 (12):
947–54. doi : 10.7326/0003-4819-137-12-200212170-00007 . PMID 12484709 . S2CID
11390513 .
39. ^ Castaldo, Eric T.; Chari, Ravi S. (2006). "Transplantasi hati untuk kegagalan hati
akut" . HPB . 8 (1): 29–34. doi : 10.1080/13651820500465741 . ISSN 1365-
182X . PMC 2131363 . PMID 18333235 .
40. ^ Yantorno, Silvina E.; Kremers, Walter K.; Ruf, Andrés E.; Trentadue, Julio J.; Podestá,
Luis G.; Villamil, Federico G. (Juni 2007). "MELD lebih unggul dari King's College dan
kriteria Clichy untuk menilai prognosis pada gagal hati fulminan" . Transplantasi
Hati . 13 (6): 822–828. doi : 10.1002/lt.21104 . ISSN 1527-
6465 . PMID 17539002 . S2CID 45783920 .
41. ^ Trey C, Davidson CS (1970). "Penatalaksanaan kegagalan hati fulminan". Kemajuan
dalam Penyakit Hati . 3 : 282–98. PMID 4908702 .
42. ^ Bernuau J, Goudeau A, Poynard T, dkk. (1986). "Analisis multivariat faktor prognostik
pada hepatitis B fulminan". Hepatologi . 6 (4): 648–
51. doi : 10.1002/hep.1840060417 . PMID 3732998 . S2CID 46521479 .
43. ^ Gimson AE, O'Grady J, Ede RJ, Portmann B, Williams R (1986). "Gagal hati awitan
lambat: gambaran klinis, serologis, dan histologis" . Hepatologi . 6 (2): 288–
94. doi : 10.1002/hep.1840060222 . PMID 3082735 . S2CID 30484891 .
44. ^ Sass DA, Shakil AO (2005). "Gagal hati fulminan" . Transplantasi Hati . 11 (6): 594–
605. doi : 10.1002/lt.20435 . PMID 15915484 . S2CID 4730290 .

Anda mungkin juga menyukai