D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
1. Variabel Jarak
Proses ini berlaku untuk seluruh seluruh variabel yang akan menganalisis jarak dari
variabel lingkungan. Dalam analisis ini, variabel jarak yang dimaksud adalah: Jarak dari Areal
Pertanian, Jarak dari Pemukiman, Jarak dari Sungai, Jarak dari Hutan Primer, Jarak dari Hutan
Sekunder, dan Jarak dari Pantai. Sebagai contoh, variabel yang akan digunakan untuk analisis
jarak adalah variabel Jarak dari Hutan Sekunder.
Beberapa langkah yang dilakukan dalam membangun variabel jarak diantaranya adalah:
Membuka data shapefile
Membuat Euclidean Distance
Mengatur Environments data
o Output Coordinates
o Processing Extent
o Raster Analysis
Konversi Raster ke ASCII
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Sebelum melakukan proses menghitung variable jarak, harus memilih terlebih dahulu variable
yang akan digunakan, disini akan memilih variable hutan primer dengan menggunakan tool
pada Processing Toolbox, yaitu: Vector Selection -> Extract by Attribute
Pilih selection attribut “KET” dan value “Hutan Lahan Kering Primer”
Karena data yang akan digunakan/diinput harus dalam bentuk raster image maka perlu diubah
terlebih dari dari format feature ke raster dengan Rasterize menggunakan tools: Raster ->
Conversion -> Rasterize (Vector to Raster).
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Selanjutnya analisis jarak dilakukan dengan menggunakan tool Raster -> Analysis -> Proximity
(Raster Distance).
Input file hasil pemisahan pada step sebelumnya yang sudah berbentuk raster.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Setelah itu potong hasil dari proses tersebut sesuai dengan batas areal kajian, (dalam studi
kasus batas TN Ujung Kulon) dengan menggunakan tool Raster -> Extraction -> Clip Raster by
Mask Layer.
Untuk file input, hasil dari proses Raster Distance dan mask layer adalah .shp dari batas TNUK.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Setelah dipotong sesuai batas areal kajian, lakukan konversi file raster ke format ASCII
(format yang didukung oleh MaxEnt), dengan menggunakan tool Raster -> Conversion ->
Translate (Convert Format).
Proses ini akan sama dengan penyiapan layer variabel jarak yang lain (Jarak dari Pemukiman,
Jarak dari Sungai, Jarak dari Hutan Primer, Jarak dari Hutan Sekunder, dan Jarak dari Pantai).
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
(*note: diusahakan untuk penamaan file, tidak menggunakan spasi, sebagai pengganti spasi bisa
menggunakan “_” (underscore) untuk menghindar kesalahan / error, begitu pula dengan
penamaan folder simpan).
2. Tutupan Lahan
Tutupan lahan merupakan data spasial kategorik yang berisikan informasi tipologi ekosistem
wilayah kajian yang dapat memengaruhi preferensi habitat spesies yang menjadi objek kajian.
Pertama-tama, masukkan Shapefile “TL_TNUK_utm” (Penutupan Lahan TNUK).
Shapefile tersebut memiliki atribut tipologi penutupan lahan sehingga dapat langsung kita
konversi ke dalam data raster. Konversi file menjadi Raster dengan tool Raster -> Conversion
-> Rasterize (Vector to Raster).
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Input file tersebut dan Field yang dipilih “PL2020_ID” , output raster size unit pilih
“georeferenced units”, width & height pixel disesuaikan dengan keinginan.
Konversi hasilnya menjadi format ASCII dengan menggunakan tool Raster -> Conversion ->
Translate (Convert Format).
Informasi Topografi
Informasi topografi merupakan salah satu parameter penting dalam pemodelan distribusi
spesies. Beberapa variabel topografi yang lazim digunakan dalam pemodelan distribusi spesies
adalah ketinggian dan kemiringan dalam unit persen maupun derajat. Jenis data ketinggian dan
kemiringan yang dapat digunakan dalam pemodelan adalah data kategorik dan data kontinu.
Data kategorik seringkali digunakan karena memiliki bias dan uncertainty lebih rendah untuk
menjelaskan probabilitas kehadiran satwaliar sebagai luaran model dibandingkan dengan data
kontinu. Dalam hal ini, kita akan mempertimbangkan ketinggian dan kemiringan lereng sebagai
informasi topografi baik dalam kategotik maupun kontinu.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
3. Variabel Ketinggian
Masukkan file “DEM_TNUK1.tif”
Konversi file tersebut menjadi format ASCII dengan menggunakan tool Raster -> Conversion ->
Translate (Convert Format).
Selanjutnya, pembuatan kelas ketinggian akan dibuat dari data Ketinggian.tif. Lakukan pembagian
kelas ketinggian menggunakan tool Reclassify by table dengan memilih Processing Toolbox di
bagian Raster Analysis.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Lalu pilih Reclassification table -> add row -> isi minimum & maximum sesuai dengan kelas
ketinggian yang kita inginkan, value diisi sesuai nilai ID. Dalam analisis kali ini, kelas ketinggian yang
digunakan adalah: 0 – 100 mdpl, 100– 200 mdpl, 200 – 300 mdpl, 300 – 400 mdpl, 400 – 500 mdpl,
dan >500 mdpl.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Setelah proses selesai, maka data kelas ketinggian akan berupa gambar berikut:
Konversi file tersebut menjadi format ASCII dengan menggunakan tool Raster -> Conversion ->
Translate (Convert Format).
4. Kelerengan
Kemiringan lereng adalah kenampakan permukan alam disebabkan adanya perbedaan ketinggian antar dua
tempat. Sudut yang membentuk 2 ketinggian tersebut biasannya kita sebut sudut kemiringan /slope. Untuk
daerah yang relatif flat (datar) memiliki nilai slope yang kecil. Sedangkan, daerah yang relatif curam memiliki
slope yang tinggi. Kemiringan lahan diukur dalam satuan derajat (º) atau persen (%). Persen kemiringan
akan lebih baik dipahami karena memiliki skala 0 – 100. Kemiringan (slope) maksimum pada satuan derajat
adalah 45º sesuai dengan aturan tangensial dalam trigonometri (Gambar di bawah).
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Untuk memulai membuat data kemiringan, masukan data Ketinggian .tif yang digunakan dalam
pengolahan sebelumnya.
Analisis kelerengan dilakukan dengan menggunakan tool Raster -> Analysis -> Slope.
Setelah muncul dialog box, pilih sesuai default, ceklis “Slope expressed as percent instead of
degress” lalu ok.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Konversi file tersebut menjadi format ASCII dengan menggunakan tool Raster -> Conversion
-> Translate (Convert Format).
Selanjutnya, pembuatan kelas ketinggian akan dibuat dari data Ketinggian.tif. Lakukan
pembagian kelas ketinggian menggunakan tool Reclassify by table dengan memilih
Processing Toolbox di bagian Raster Analysis.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Lalu pilih Reclassification table -> add row -> isi minimum & maximum sesuai dengan kelas
ketinggian yang kita inginkan, value diisi sesuai nilai ID. Dalam analisis kali ini, kelas ketinggian
yang digunakan adalah: 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40%, dan >40%.
Hasilnya akan seperti gambar
berikut:
5. NDVI
Indeks vegetasi atau NDVI adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu
tanaman. Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band
NIR (Near-Infrared Radiation) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan
kondisi vegetasi. Pada kali ini, kita akan mencoba memperoleh data suhu dari citra satelit
Landsat-8 menggunakan Google Earth Engine, cloud computing platform yang dapat
mengakses beberapa citra dalam jumlah yang besar (big-data). Ataupun bisa mendownload
di USGS Earthexplore. Apabila telah selesai, data dapat diunduh via Google Drive akun
masing-masing. Setelah itu akan kita proses lebih lanjut data suhu udara tersebut. Buka data
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
cotra yang telah diunduh dari Google Drive melalui QGIS. Pastikan sudah menginstall RSGIS
plugin pada QuantumGIS.
NDVI = (rNIR-rRED)/(rNIR+rRED)
Dimana:
Sehingga pada Landsat-8, Band 5 merupakan Nir & Band 4 merupakan Red. Maka input
raster Band 4&5 pada project QGIS. Proses dengan menggunakan tool Raster Analysis ->
Raster calculator.
Sesuaikan dengan persamaan NDVI, yaitu; (Band 5-Band4)/(Band 5+Band 4). Reference layer
dipilih pada kedua Band
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Lalu potong sesuai dengan batas areal Kajian (TN Ujung Kulon) menggunakan tool Raster ->
Extraction -> Clip Raster by Mask Layer.
Untuk file input, hasil dari NDVI dan mask layer adalah .shp dari batas TNUK.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Lalu konversi file tersebut menjadi format ASCII dengan menggunakan tool Raster ->
Conversion -> Translate (Convert Format).
6. Variabel Suhu
Suhu merupakan perubah iklim utama yang dapat mempengaruhi distribusi spesies
(O’Donnell dan Ignizio 2012). Data suhu lingkungan dapat diperoleh dari berbagai sumber
seperti: model iklim, data asimilasi iklim, dan data citra satelit. Pada kali ini, ada 2 sumber
data yang kita pakai untuk menganalisis variabel suhu, yaitu dari LST (Land Surface
Temperature) dan cloud data dari WorldClim.
Analisis data suhu dari WorldClim, setelah data diunduh, input data tersebut ke dalam QGIS
project dan juga file .shp batas areal kajian (TN Ujung Kulon).
Selanjutnya raw data dipotong dengan batas areal kajian menggunakan tool Raster ->
Extraction -> Clip Raster by Mask Layer.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Masukan file raw data WorldClim ke dalam kolom input dan mask layernya ada batas TNUK.
Hasilnya akan seperti ini:
Lalu konversi file tersebut menjadi format ASCII dengan menggunakan tool Raster ->
Conversion -> Translate (Convert Format).
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Yang kedua yaitu varibel suhu berdasarkan LST (Land Surface Temperature), Langkah
pertama, input citra Landsat-8 pada Band 10 ke dalam project QGIS. Lalu band tersebut di
warp project terlebih dahulu sesuai dengan UTM.
Selanjutnya, buka tool Raster -> Raster Calculator, pilih output layer lalu masukan persamaan
(0.0003342*Band 10)+0.100, lalu ok.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Lalu buka tool Raster -> Raster Calculator, pilih output layer lalu masukan persamaan
1321.0789/(Ln((774.8853/RumusPertamaLST)+1)), lalu ok.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Hasil pengolahan peta kesesuaian habitat MaxEnt, dapat dilayouting pada QGIS dengan
prosedur sebagai berikut:
1. Pilih file “Axis_kuhlii_avg.asc” pada output hasil running, lalu input file tersebut kedalam
project QGIS.
Untuk mengganti tampilan, pilih klik kanan -> properties -> Symbology ->render type:
singleband pseudocolor.
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Untuk melayout menjadi sebuah peta, tekan Ctrl+P atau pilih New Print Layout. Lalu pilih Add
item -> Add Map.
Lalu tambahkan elemen-elemen peta yang dibutuhkan (Judul peta, skala, arah mata angin,
legenda, dll).
Dede Aulia Rahman, Ph.D
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, IPB University
Setelah itu, Pilih Layout -> Export as PDF / Export to Image, pilih resolusi. Hasilnya akan seperti
ini: