Anda di halaman 1dari 28

Ringkasan Buku Teologi Perjanjian Lama 2

DR. Christoph Barth dan Marie Claire Barth-Formmel, M.Th

Dosen : Marihot Sirait, M.Th.

Nama : Aslen Hutauruk

NIM : 2020.01.922

BAB VI

ALLAH MEMBERIKAN ISRAEL TANAH KANAAN

PENDAHULUAN

Dalam Bab VI dimulai suatu babak baru : Israel masuk ke tanah Kanaan, menetap,

dan berkembang di situ, menjadi satu bangsa di atas tanahnya sendiri.

Masuk ke dalam karya sejarah, sebagaimana Abert de Pury mengatakan, penulisan

sejarah menyangkut tiga tujuan : menanyakan bagaimana kehidupan di masa lampau,

memperhatikan bahan sejarah, dan menafsirkan bahan itu sedemikian rupa sehingga masa

kini dapat dipahami. Tak ada penulisan sejarah yang netral, tanpa penilaian, tanpa tafsiran

dan tanpa tujuan. Sudut pandang penulis diperhitungkan dan dihargai dengan akibat bahwa

sejarah selalu direnungkan ulang agar pelajaran dapat ditarik sampai kini.

PEMBERIAN TANAH KANAAN DAN TEMPATNYA DI DALAM KEPERCAYAAN ISRAEL

Tuhan telah memberikan kepada umat Israel tanah Kanaan menjadi tempat

kediaman dan milik pusaka bersama, sesuai dengan janjiNya kepada bapa leluhur mereka

dahulu. Peristiwa pemberian ini merupakan satu pokok puji-pujian, dasar kepercayaan dan

pengharapan bagi Israel namun juga satu amanat untuk menguduskan hidupnya sebagai

umat Tuhan didalam tanah milik Tuhan sendiri.

Ketika Allah membawa umat-Nya keluar dari Mesir, tempat perbudakan itu, Ia

hendak mengantarkannya pada suatu negeri yang baik, di mana orang-orang itu dapat
bermukim, beribadah, dan berkembang. Exodus (jalan keluar) dan eisodus (jalan masuk) tak

dapat dipisahkan.

Di samping itu, kita mendapatinya pula bertaburan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama

yang lain (mis. Hak. 6:9; Am. 9:15; Neh. 9:8,36; 1 Taw. 16:18) Pada umumnya pokok

tersebut dikalimatkan dalam suatu rumus yang tetap:"TUHAN Memberikan tanah kepada

Israel". Tuhan bertindak sebagai pokok kalimat (subjek). Apa yang dilakukan-Nya dikatakan

dengan k ata kerja "memberi" (br. natan), kata kerja itu dapat dipakai dalam bentuk lampau,

keakanan (terutama sebagai janji) atau kekinian (sedang memberikan).

Objek yang diberikan adalah "tanah" (br.erets, yaitu tanah/bumi atau adamah,

tanah/ladang) sebagai kata pelengkap langsung. Tanah itu sering diperkenalkan sebagai

"tanah yang berlimpah susu dan madu" atau "tanah yang dijanjikan" yang terkadang

ditambah dengan frasa "dengan sumpah" (inilah kesukaan redaktor Deuteronomis). Tanah

itu diberikan kepada Israel (atau Abraham, Yakub, atau suatu suku, suatu angkatan, kamu,

mereka). Tanah itu selalu dimaksudkan sebagai milik bersama.

Rumus ini memainkan peran penting dalam janji Tuhan kepada bapa leluhur, yang

dapat digabungkan dengan janji akan keturunan yang banyak (Kej. 12:7; 13:15-17; 17:8;

24:7; 26:3; 28:4; 35:12; 48:4; Kel. 6:3; 13:1; Im. 20:24; Ul.1:8 dst., bnd. Yeh. 11:17; 20:42;

36:28; Am. 9:15).

Pada saat petani membawa buah sulung kepada Tuhan, ia mengaku: "TUHAN

Membawa kami ke tempat ini dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang

berlimpah-limpah susu dan madu. Oleh sebab itu, di sini aku membawa hasil pertama dari

bumi yang telah Kauberikan kepadaku, ya TUHAN" (Ul. 26:9-10; bnd. 6:23; Yer. 32:21-22;

Neh. 9:8).

Jelas bahwa pokok ini termasuk "kredo" atau pengakuan iman sebagaimana

diungkapkan dalam ibadah umat Israel (bnd. uraian dalam Teologi Per janjian Lama 1, hlm.

9).

Akhirnya, banyak cerita tentang tokoh-tokoh tertentu atau sejarah umat

mengingatkan akan pemberian tanah itu (Bil. 13:2; 15:2; 16:14; 32:7, 9; 35:33;Ul. 1:35; 2:29;
27:3; 31:7; Yos. 1:2, 6, 11, 13, 14-15; 2:9,14; 5:6; 9:24; Hak. 6:9;1 Raj. 8:36, 40, 48;

mazmur-mazmur sejarah seperti Mzm. 78:54-55; 115:11, 44; 06:24; 111:6; 135:12; 136:21).

Dengan demikian, jelas bahwa pemberian tanah Kanaan merupakan tema

kepercayaan Israel yang setingkat dengan Keluaran dari Mesir dan bahwa keduanya tidak

dapat dipisah-pisahkan. Penilaian pokok pemberian tanah Kanaan sebagai tema yang

berdiri sendiri belum lama diakui dalam karya teologi Perjanjian Lama. G. von Rad

mengangkat hasil penelitian Martin Noth dan menjadi pelopor pandangan tersebut.

la diikuti oleh Chr. Barth (dalam buku ini), oleh R. Rentdorff (yang menekankan

hubungan antara janji dan penggenapan, serta keyakinan bahwa umat hanya dapat hidup di

tanah pemberian sejauh ia menjalankan Taurat), serta H.D. Preuss § 9 dan 10 yang

menekankan bahwa tanah yang diberikan dapat juga diambil kembali oleh Tuhan). W.

Zimmerli hanya memandang tanah sebagai salah satu kebaikan Tuhan terhadap umat-Nya

dan W. Brueggemann mengabaikannya dalam teologinya, sekalipun ia mengarang suatu

buku tentang tanah itu.

"Engkau telah membawa umat-Mu Israel keluar dari tanah Mesir dengan tanda-tanda

dan mujizat-mujizat, dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung dan dengan

kedahsyatan yang besar. Dan Engkau telah memberikan kepada mereka negeri ini, seperti

yang Kau telah janjikan dengan sumpah kepada nenek moyang mereka, suatu negeri yang

berlimpah-limpah susu dan madunya" (Yer. 32:21-22).

Kedua ayat ini menampakkan hubungan antara pemberian tanah dan keluaran dari

Mesir (bnd. Teologi Perjanjian Lama 1, Bab II), serta janji kepada leluhur (Bab) yang

penggenapannya ditunda sampai zaman Yosua: "Aku menuntun kamu keluar Mesir dan

memimpin kamu 40 tahun lamanya di padang gurun, supaya kamu menduduki negeri orang

Amori" (Am. 2:10).

Dari gurun yang tandus dan kosong, di mana mereka hidup semata-mata tergantung

kepada Tuhan, mereka diantarkan ke tanah yang memungkinkan mereka hidup dengan

baik, tetapi juga menghadapi cobaan untuk mengikuti cara beribadah orang setempat (bnd.

Bab IV). Chr. Barth masih menulis bahwa tema penciptaan dunia dan khususnya penciptaan
manusia (Bab I) kurang dipikirkan dalam hubungan dengan pemberian tanah. Kini situasi

berubah karena krisis lingkungan hidup. Perkembangan ekologi sebagai ilmu dan filsafat

tentang lingkungan hidup, mendorong kita untuk memikirkan hubungan antara tanah dan

manusia (bnd § 4 di bawah ini).

Undang-undang yang diberikan di Sinai baru kena dalam masyarakat yang bertani di

Kanaan. Kesetiaan umat pada perjanjian diuji di situ.

Sudah jelas pula bahwa tanah Kanan itu merupakan tempat di mana pemerintahan

raja berkembang (Bab VII) dan bahwa pemilihan Yerusalem sebagai tempat di mana nama

Tuhan diam menentukan ibadah dan memungkinkan perkembangan budaya serta

hikmatnya (Bab VI). Akhirnya, para nabi bernubuat di tanah dan mengenai tanah itu (Bab

IX).

Namun, tanah Kanaan tak hanya diberikan Tuhan, tetapi juga diambil dengan kekerasan

dan kenyataan itu menantang orang yang menekankan keadilan Tuhan dan kasih yang

dinyatakan di dalam Injil.

TUHAN SEBAGAI PAHLAWAN PERANG

Tuhan dipuji sebagai pahlawan perang. Dialah dan bukan tentara Israel yang

menang. Dalam kebebasan-Nya la memberikan atau menolak kemenangan umat- Nya.

2.1. Dari awal mula sejarahnya Israel mengalami Tuhan sebagai Pembela bilamana

diancam oleh musuh yang dapat memunahkannya: Nyanyikanlah bagi TUHAN, Sebab la

tinggi luhur kuda dan pengendara (kereta) dilemparkan-Nya ke dalam laut.

TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku, la telah menjadi keselamatanku. TUHAN itu

pahlawan perang, TUHAN itu nama-Nya (Kel. 15: 21 dan 2a, 3). Sebelum pembebasan,

ketika dikejar tentara Mesir, Musa mengatakan, "Janganlah takut, berdirilah tetap dan

lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan hari ini kepadamu; sebab orang

Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya.

Namun, tampaknya yang dimaksudkan itu adalah lambang kehadiran Allah). Dengan

demikian, orang Israel memahami pembebasan dari Mesir dan pembelaan di gurun dalam
terang pertempuran yang terjadi kemudian di tanah Kanaan. Tanah itu jatuh ke dalam

tangan Israel hanya karena Tuhan sendiri yang bertindak. Musa mengatakan, "TUHAN,

Allahmu, yang berjalan di depanmu, Dialah yang akan berperang untukmu sama seperti

yang dilakukan-Nya bagimu di Mesir, di depan matamu, dan di padang gurun, di mana

engkau melihat bahwa

TUHAN, Allahmu, mendukung engkau" (Ul. 1:30-31; melalui perkataan ini, tersimpul

keyakinan mazhab Deuteronomis). Demikian pula Rahab, perempuan Yerikho, mengatakan

kepada kedua pengintai, "Aku tahu bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepadamu

dan bahwa kengerian terhadap kamu menghingapi kami".

Itu sebabnya berulang-ulang Israel menghadapi suku-suku Kanaan berdasarkan

janji: "Janganlah takut kepada mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berperang

untukmu" (UI. 1:29; 3:22; 20:1-4; Yos. 10:14c dan 42b; 23:3, 10b, atau la menyerahkan

musuh ke dalam tanganmu/padamu Bil. 21:34; U1. 1:21; Yos. 8:1; 10:8; 11:6; bnd. juga Ul.

3:21; 30:6-8). Maklum, perang semacam itu dapat disebut "perang TUHAN" (1 Sam. 18:17

mengenai Saul; 1 Sam. 25:28 mengenai Daud dan "Kitab Perang TUHAN" Bil. 21:14).

Sebagai pahlawan perang. Tuhan datang dengan kuat kuasa: TUHAN, ketika

Engkau bergerak dari Seir, ketika Engkau melangkah maju dari daerah Edom,

bergoncanglah bumi, tirislah juga langit, juga awan tiris airnya; gunung- gunung- yakni Sinai

- bergoyang di hadapan TUHAN, di hadapan TUHAN, Allah Israel (Hak. 5:4-5).

Dari langit berperang bintang-bintang dari peredaran mereka memerangi Sisera.

Sungai Kison menghanyutkan musuh, Kison, sungai yang terkenal dari dahulu kala itu (Hak.

5:20-21, bnd. juga Hab. 5:13-15). (Hujan lebat yang jatuh menurut ay. 4b dalam nyanyian

Deborah itu menyebabkan air naik di Sungai Kison dan mengalir dengan deras sehingga

musuh yang mau menyeberanginya hanyut bersama kereta perangnya)

TUHAN datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir; Ia tampak bersinar dari

pegunungan Paran dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus; di

sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala.


la menjadi raja di Yesyurun, ketika kepala-kepala bangsa datang berkumpul, yakni

segala suku Israel bersama-sama (Ul. 33:2, 5; bnd. Mzm 29). (Yesyurun adalah nama

kesayangan untuk Israel yang dipakai dalam puisi dan nubuat; kepala bangsa adalah kepala

suku-suku Israel dalam syair yang sangat kuno itu.)

Demikian pula matahari dan bulan berhenti di atas Gibeon pada pertempuran.

Dengan demikian, tentara lawan menghadapi matahari yang menyilaukan mereka sehinga

mereka tidak dapat melihat dengan baik dan dikalahkan oleh Israel.

Tidak ada yang seperti Allah, hai Yesyurun. la berkendaraan melintasi langit sebagai

penolongmu dan dalam kejayaan-Nya melintasi awan-awan. Allah yang abadi adalah tempat

perlindunganmu. la mengusir musuh dari depanmu dan berfirman: Punahkanlah! (UL. 33:26-

27; bnd. Mzm. 18:8-16)

Allah datang disertai tentara surgawi, yaitu bintang-bintang dan puluhan ribu malaikat

suci, dengan alat berupa awan gelap hujan dan hujan es (bnd. Mzm. 18:13 dan 104:2-9)

halilintar dan api (Mzm. 18:9), bahkan matahari dan bulan diperintahkan-Nya.

Dalam bukunya The Divine Warrior in Early Israel, Patrik Miller menekankan

kemiripan Tuhan dengan Baal. Baal pun datang dari pegunungan (Safon) mengendarai

awan-awan, disertai taufan dan halilintar; ia pun ditemani mahkluk surgawi - atau dewa-dewi

- dan berperang bersama Anat, dewi perang dan sahabat karibnya.

Dua lawan utama dihadapi Baal, pertama-tama Yam (yaitu samudera asal). la

hendak menang untuk meraih kepemimpinan dewan ilahi sebagai kuasa pengatur dan

pengaman (bnd. Tuhan dalam dewan surgawi Mzm. 82:1). Dalam hal ini, peran Baal serupa

dengan peran Marduk di Babel, yang mengalahkan Tiamat, sang naga laut. Unsur mite mula

jadi itu pun dikenakan pada Tuhan (bnd. Yes. 51:9; Ayb. 26:12-13 dst., lih. Bab I.2., hlm. 19

dyb). Akan tetapi, tidak ada mite utuh tentang kemenangan Tuhan atas kekacaubalauan

(khaos) semula itu. Hanya pecahan dari mite bangsa-bangsa yang dipakai sebagi warna-

warni untuk melukiskan kuasa Tuhan sebagai Pencipta dan Penentu sejarah.

Lawan Baal yang kedua adalah Mot, dewa maut, yang membunuh Baal pada musim

rontok, ketika tidak ada lagi tumbuh-tumbuhan yang berkembang. Kemudian, dengan
pertolongan Anat, Baal bangkit kembali pada permulaan musim semi dan mengambil

tempatnya sebagai Raja (bnd. Mitesejajar tentang Osiris dan Isis di Mesir). Mite kesuburan

alam itu dikenal diseluruh Timur Tengah kuno dan menentukan hidup beragama di situ.

Akan tetapi, mite itu serta upacara di sekitar perkawinan suci antara dewa dan dewi itu

ditentang sekeras-kerasnya di Israel oleh mereka yang hendak menghindarkan pembauran

agama (terutama kaum Lewi dan para nabi).

Budaya Timur Tengah kuno, dengan pra-anggapan dan kiasannya merupakan

budaya bersama bangsa-bangsa Kanaan dan Israel. Tuhan diberikan gelar "El" dan sifat-

sifat Pencipta itu pun diakui ada pada Tuhan. Dapat juga dikatakan bahwa ciri-ciri Baal

dipakai untuk Tuhan.

Perang itu bersifat historis. Tuhan menyelamatkan umat pilihan-Nya yang sedang

berdiri dan belum mempunyai tatanan kuat. Beberapa abad kemudian Tuhan akan

menyerang umat-Nya yang tidak setia melalui tentara Asyur dan Babel. Lain hal dengan

Baal; perangnya selalu bernada kosmis dan hanya secara insidental menyangkut bangsa

tertentu di muka bumi.

Baik diingat bahwa Israel memuji Tuhan sebagai Pencipta kosmos dan Pemberi

kehidupan atas prakarsa-Nya sendiri (dan bukan dalam rangka suatu perang kosmis antara

para dewa). Pengakuan ini makin lama makin jelas, apalagi sesudah Pembuangan.

2.2. Di hadapan Tuhan yang mendukung Israel, bangsa-bangsa ketakutan "menjadi kaku

seperti batu" (Kel. 15:16: "dibingungkan dan dikacaukan" (Ul. 7:23; Kel. 14:27;1 Sam. 5:9;

Mzm. 48:4-7), bahkan"panik'" br.: tsirah, bukan berarti "tabuhan", tetapi "panik", Kel. 23:28;

Ul. 7:20; Yos. 24:12). Mereka pun dihalau dan dilenyapkan (Yos. 13:12, 13; 14:12; 15:14

dst.; Hak. 1:19-21, 27-33) dan digantikan oleh orang Israel yang menduduki tanah mereka

sesuai dengan hukum perang, yakni pemenang mengambil alih tanah lawan yang kalah (Ul.

2:12, 21, 22; 9:1-3; 11:23; 12:2; 18:12; 19:1; 31:3; Hak. 11:23-24).

Makin lama makin ditekankan bahwa kemenangan dikerjakan TUHAN karena Israel sendiri

lemah. Sebab bukan dengan pedang mereka menduduki negeri, bukan lengan mereka yang
memberikan kemenangan, melainkan tangan kanan-Mu dan lengan-Mu dan cahaya wajah-

Mu, sebab Engkau berkenan pada mereka (Mzm. 44:4; bnd. ay. 3:7-8).

Dalam cerita Gideon itu keyakinan itu sudah ditemukan. Tujuh tahun lamanya orang Midian

yang berpasukan unta datang merampas hasil panen dan ternak peliharaan. Mereka

bergerak cepat dan orang Israel terdesak. Akhirnya, suatu tentara besar orang Midian dan

Amalek hendak menduduki negeri. Gideon memanggil semua suku di wilayah Utara

(Manasye, Asyer, Zebulon, dan Naftali) untuk menghadapi mereka. Sebanyak 32.000 petani

bersenjata datang. Namun, Tuhan berfirman, "Terlalu banyak rakyat yang bersama-sama

dengan engkau itu dari pada yang Kuhendaki untuk menyerahkan orang Midian ke dalam

tangan mereka, jangan-jangan orang Israel memegah-megahkan diri terhadap Aku" (Hak.

7:2). Pasukan disaring dua kali dan akhirnya terpilihlah 300 orang.

Tema ini pun diangkat Ulangan 8:17-18: "Maka jangan kaukatakan dalam hatimu:

Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.

Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan

kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian

yang dikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini."

Nada yang sama diperdengarkan dalam Mazmur 33:6-19; 20:7-8; 44:7-8, bandingkanlah

dengan Zakharia 4:6. Bukan kekerasan, melainkan Roh Allah yang menang. Dengan

demikian kejayaan militer Israel sangat diremehkan dan pertolongan Tuhan dimuliakan (segi

ini ditekankan oleh Fritz Stolz, JHWHs und Israels Krieg, Zürich, 1972).

2.3. "Sejak permulaan sejarahnya, Israel mengalami dukungan Allah ketika kemenangan

diberikan atas musuhnya. Namun, Perjanjian Lama tetap sadar bahwa Tuhan senantiasa

bebas memberi atau menolak kemenangan Israel sesuai dengan kehendak-Nya yang

kudus. Tuhan tidak pernah menjadi 'Penjamin kemenangan' bagi Israel. Kemenangan itu

senantiasa merupakan karunia Allah dan sekali-kali bukan kewajiban-Nya" (W. Zimmerli,

Grundriss derA.T Theologie, hlm 52). Tuhan menolak kemenangan dalam peperangan yang

tidak direstui-Nya.
Tuhan meninggikan musuh raja di Sion karena ketidakadilan di negeri : Engkau telah

meninggikan tangan kanan para lawannya, telah membuat semua musuhnya bersukacita.

Juga Kaubalikkan mata pedangnya, dan tidak membuat dia dapat bertahan dalam

peperangan. Engkau menghentikan kegemilangannya, dan takhtanya Kaucampakkan ke

bumi (Mzm. 89:43-45; bnd. Yer. 21:4-5).

Terlebih dahulu Tuhan telah menentang Israel Utara: "Orang cepat tidak mungkin

lagi melarikan diri, orang kuat tidak dapat mengunakan kekuatannya, dan pahlawan tidak

dapat melarikan diri. Juga orang yang berhati berani di antara para pahlawan akan

melarikan diri dengan telanjang pada hari itu, "demikianlah firman TUHAN (Am. 2:14-16;

bnd. Hos. 10:9).

3. PEMBERIAN DAN PENDUDUKAN TANAH KANAAN

Tuhan memberikan tanah Kanaan kepada umat-Nya. Di bawah pimpinan osua,

kedua belas suku masuk bersama dan masing-masing menerima bagiannya; semuanya

merelakan dirinya untuk melayani Tuhan. Penduduk setempat kehilangan hak atas tanah

tersebut. Tujuan Keluaran adalah tanah yang aman yang memungkinkan Israel hidup

dengan baik. Terdengar dua suara kesaksian. Yang lebih muda menekankan bahwa Allah

memberikan tanah Kanaan serentak kepada seluruh suku di bawah seorang pemimpin saja.

Suara itu berasal dari abad ke-7, atau ke-6, ketika seluruh Israel Utara telah direbut Asyur

(mungkin dimaksudkan untuk mendorong Yosia mengambil kembali sebagian wilayah yang

dahulu diberikan Tuhan).

Bahan itu ditinjau kembali pada zaman Pembuangan ketika seluruh wilayah yang

dikaruniakan Tuhan itu hilang. Bukan peristiwa masa silam itu yang dipentingkan, melainkan

makna pemberian tanah dan tujuan Tuhan atas umat- Nya. Suara yang lebih tua mengingat

usaha satu atau beberapa suku untuk mengambil alih atau mempertahankan wilayah

tertentu dan kurang memperhatikan keseluruhannya.


BAB VII

ALLAH MENGANGKAT RAJA-RAJA DI ISRAEL

PENDAHULUAN

Allah bertindak di medan sejarah, kenyataan ini tampak dalam pemilihan Abraham,

pembebasan dari Mesir, pembinaan di padang gurun, pengikatan perjanjian di Sinai dan

pemberian tanah Kanaan. Di situ umat Allah menjadi suatu bangsa dan lama-kelamaan

suatu negara yang memerlukan suatu tatanan politik. Sama seperti negara-negara

tetangganya, ia menjadi suatu kerajaan.

1. Segi Teologis

Perkembangan ini mengandung segi teologis, tetapi juga segi sosiologis. Allah

sendirilah raja. la memerintah segenap ciptaan-Nya, dan secara khusus umat-Nya. Ia

hendak mendirikan kerajaan-Nya di dunia ini, yakni suatu ruang di mana manusia mengakui

pemerintahan-Nya dan hidup dalam hubungan yang bertanggung jawab terhadap Allah dan

sesama.

Istilah "kerajaan Allah" memainkan peran kunci dalam Injil. Namun, istilah itu

sebenarnya berakar dalam Perjanjian Lama. Kerajaan Allah diangkat dalam puji-pujian (Yer.

10:7; Mzm. 103:19 dan 145:11-13) dan dalam janji mesianis kepada Daud (1 Taw. 17:14;

28:5; TB-LAI memakai pemerintahan Allah). Yang lebih sering dipakai adalah kata kerja

"memerintah sebagai raja" (malak) (bnd. Kel. 15:18;1 Sam. 8:7 dan 7 kali dalam mazmur

Tuhan Raja). Namun, yang lebih sering lagi digunakan adalah gelar raja (melek) untuk

Tuhan, bahkan dalam naskah tua ("TUHAN, Allah mereka, menyertai mereka, dan sorak-
sorak karena Raja ada di antara mereka", Bil. 23:21b; bnd. Ul. 32:4 dalam berkat Musa dan

Yes. 6:5: "... mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam").

Seorang manusia yang memerintah sebagai raja - dan mengakui Tuhan sebagai

rajanya – bertanggung jawab penuh atas tindakannya. la berdiri di bawah

Allah dan hukum-Nya, baik dalam jabatan maupun hidup pribadinya. Hal itu bertolak

belakang dengan raja-raja sakral di negara-negara tetangga Israel. Di Mesir, firaun memiliki

sifat ilahi. la diperanakkan oleh Amon-Ra, pencipta dan dewa matahari. Dipercaya bahwa

Amon-Ra menghampiri sang permaisuri dalam wujud sang suami. Pada hari pengangkatan

raja baru, asal-usul ilahinya diperkenalkan dan dipuja. Firaun mewujudkan kesatuan antara

Mesir Utara dan Mesir Selatan dan menjamin tatanan kosmos dan masyarakat. Di Sumer

(Babel kuno) "raja turun dari sorga pada awal mulanya" (permulaan daftar raja kuno, dikutip

oleh von Rad).

Sekalipun ia bukan lagi sesosok dewa (sejak Hammurabi, abad ke- 18s.M.), ia tetap

mewakili para dewa terhadap rakyat dan rakyatnya terhadap para dewa. Itu sebabnya pada

perayaan tahun baru, ia menanggalkan kemuli aannya, menanggung hukuman ilahi atas

kesalahan bangsanya, dan naik kembali ke atas takhta untuk memerintah setahun lamanya

dengan penuh wibawa. Di seluruh Timur Tengah kuno, raja diberikan gelar "anak Allah".

Dari sinilah awalnya berdiri negara-negara dengan pemerintahan yang memegang

kuasa mutlak, yang di dalamnya raja menentukan hukum dan tidak boleh dipersalahkan. Di

Israel mulailah situasi yang baru. Pemerintah yang disahkan oleh wakil rakyat berdiri di

bawah hukum dan memimpin suatu negara hukum. Penemuan baru itu menentukan

pengertian negara demokratis modern.

Dalam Bab VIl ini kita hendak melihat sampai di mana raja-raja di Israel memenuhi

jabatan pemerintah yang ditentukan Allah dan di mana mereka gagal. Tetapi sebelum kita

menjalankan tugas tersebut, sepatutnya kita menggariskan secara singkat alasan-alasan

sosiologis yang menyebab kan timbulnya pemerintahan raja di Israel.

2.Segi Sosiologis
Sebagaimana telah diuraikan, edua belas suku Israel tumbuh berdasarkan persatuan orang

Ibri yang datang dari Mesir bersama dengan Musa dan orang Ibri yang berasal dari Kanaan,

serta orang dari suku-suku asli. Mereka hidup di wilayah masing-masing dalam kaum

kerabat dan suku yang dipimpin oleh tua-tua

melalui musyawarah dalam tatanan yang serba egaliter. Mereka saling bertemu dalam

perayaan untuk Tuban yang mereka terima sebagai Allah. Mereka pun dapat saling

mendukung bila diancam bahaya.

Biasanya, serangan datang dari Amalek dan Midian di selatan, dari Amon dan Moab di

sebelah timur, dari Aram di utara; semuanya merupakan kerajaan Semit. Bahaya yang

makin lama makin kuat datang dari kaum Filistin di pantai barat. Mereka datang dari

seberang laut dan tidak bersunat. Kerajaan-kerajaan tetangga itu memiliki tentara

profesional dengan kereta perangatau prajurit yang menunggang unta. Sebaliknya, suku-

suku Israel hanya mengenal tentara rakyat yang terdiri atas petani, peternak, dan tukang

yang kurang terlatih dengan hanya bersenjatakan pedang pendek (kira-kira 50 cm) serta

tombak.

Pada abad ke-12 s.M, situasi keamanan memprihatinkan. Pengarang Deuteronomis

mengetahui penyebabnya, yakni orang Israel telah mengikuti allah lain dan sujud

menyembahnya. Mereka menyimpang dari sikap yang ditempuh oleh nenek moyangnya

pada zaman Musa dan Yosua, yang mendengar perintah Tuhan. Mereka melakukan apa

yang jahat dimata Tuhan (Hak. 2:17b; bnd. Hak. 2:10-12a; 3:7,12; 6:1; 10:6-7; 13:1).

Ketika mereka "berseru pada TUHAN, maka TUHAN Membangkitkan seorang penyelamat

bagi mereka" (Hak. 3:9, 15; bnd. Hak. 4:3; 6:7, 14; 10:10-16). Dalam kerangka teologis inilah

diceritakan riwayat kuno tentang "hakim-hakim", yang kebanyakan menyangkut satu atau

beberapa suku saja.

3. Allah Mengangkat Hakim-hakim

Kata "hakim" ([br.: syofet) berasal dari kata kerja yang berarti: a) menyelamatkan,

membebaskan di medan perang; b) memerintah, mengatur di medan sipil; dan c) mengadili

di medan penghakiman. Pada intinya, Tuhan adalah Hakim (Hak. 11:27). Namun, la pun
sudi membangkitkan hakim-hakim (Hak. 2:16; bnd. disertasi Dr. I.P. Lambe, STT Jakarta,

1970).

Terdapat suatu daftar dari lima hakim yang tidak diketahui lagi panggilan, sikap, dan

kerjanya, yaitu Tola di Isakhar, Yair di Gilead (Hak. 10:1-5) serta Ebsan dari Betlehem, Elam

dari Zebulon dan Abdon di Efraim (Hak. 12:8-15). Besar kemungkinan mereka hanya

bekerja di wilayahnya sendiri.

Hakim yang diangkat Tuhan dapat dilengkapi dengan Roh-Nya (demikianlah Otniel [Hak.

3:9-10]; Gideon [Hak. 6:34), Yefta Hak. 11:29], dan Simson [Hak. 13:25]) atau dibangkitkan

(demikianlah Ehud [Hak. 3:15|), diutus (demikianlah Gideon (Hak. 6:14), atau ditunjuk oleh

tua-tua dan kemudian "membawa seluruh pekara pada TuHAN" (Yefta [Hak. 11:11]). Tuhan

juga dapat memberikan jabatan nabi kepada seorang hakim agar ia mendengar dan

meneruskan firman-Nya seperti halnya Debora (Hak. 4:4) dan Samuel (1 Sam. 3:20). Otniel,

keponakan Kaleb, yang mendapat tanah di Hebron, mengalahkan seorang raja asing,

Kusyan-Risyataim, lalu memerintah selama 40 tahun (Hak 3:7- 11). Ehud, orang Benyamin,

membunuh raja Moab dengan tipu muslihat dan membebaskan sukunya, yang kemudian

dapat hidup aman (Hak. 3:12-29). Gideon, orang Manasye, dipanggil dan diutus Tuhan

dengan perantaraan malaikat, menurut cara yang berdekatan dengan panggilan seorang

nabi (Hak. 6:11-24).

Tugasnya adalah membebaskan suku-suku di Kanaan tengah dari penindasan orang

Midian. Musuh sudah berkumpul di Lembah Yizreel, maka "Roh TUHAN menguasai Gideon;

ditiupnyalah sangkakala" dan pasukan dari empat suku mengikuti dia (Hak. 6:33-35).

Namun, Tuhan hanya mengizinkan 300 prajurit menyerang (Hak. 7:1-8:3). Karena Gideon

dilengkapi dengan kebijaksanaan dan keberanian dan disertai TUHAN, ia pun menang.

Sekalipun hendak diangkat untuk memerintah Israel, ia menolak dengan perkataan "Aku

tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu, tetapi TUHAN

yang memerintah kamu" (Hak. 8:22-23; Ibr. malak). Dari antara 70 anaknya, hanya satu

yang tidak menghormati sikap ayahnya dan berhasil menjadi raja di kota Sikhem, tempat
asal ibunya. Abimelek bertindak menurut cara raja Kanaan dan gagal. Yefta, "seorang

pahlawan yang gagah berani" (Hak. 11-12) di antara orang Gilead, didekati para tua-tua

sukunya untuk membebaskan mereka dari penindasan kerajaan Amon, tetangganya. Yefta

diusir oleh saudara tirinya dan menjadi pemimpin sekelompok orang muda yang mencari

nafkah dengan merampok. la menyadari bahwa sebenarnya ia tidak layak dan "membawa

seluruh pekara ke hadapan TUHAN" (Hak. 11:11). la diberikan hikmat untuk membantah

tuduhan raja Amon dan Roh Tuhan menghinggapinya sehingga ia dapat mengalahkan

musuh. Namun, nazar yang diangkatnya menjadi celaka baginya (putri tunggalnya

dikurbankan demi menepati janjinya: apa yang keluar pintu rumahnya akan dikurbankan

kepada Tuhan).

Selain itu, perselisihan dengan suku Efraim diselesaikan dengan kekerasan. Simson,

pemuda dari suku Dan (Hak. 13-16), juga "digerakkan oleh Roh TUHAN (Hak. 13:25).

Ibunya telah diberitahukan oleh seorang malaikat bahwa "sejak dari kandungan ibunya anak

itu akan menjadi seorang nazir Allah dan dengan dia akan mulai penyelamatan orang Israel

dari tangan orang Filistin" (Hak. 13:5). Kekuatan orang nazir yang luar biasa itu sendiri

ternyata tidak banyak I berguna, malah berkali-kali lenyap oleh tipu muslihat orang Filistin

(Hak. 16:19). Tetapi Roh Tuhan sewaktu-waktu "berkuasa atas dia" (Hak. 14:6, 19; 15:14;

bnd. Hak. 16:28) dan berkat kekuatan baru yang diperolehnya dari Roh itu, Simson menjadi

penyelamat bagi suku dan bangsanya sesuai dengan maksud Tuhan yang semula (Hak.

14:4).

Inilah suatu cerita rakyat yang penuh humor yang segar, tetapi juga menjadi kesaksian

tentang bekerjanya prakarsa Tuhan dalam mengangkat pemimpin-pemimpin yang mampu

menyelamatkan umat-Nya yang tertindas itu. Debora bangkit sebagai "ibu di Israel" (Hak.

5:7). Sama seperti perempuan bijaksana dari zaman Daud yang memperjuangkan

kehidupan kaumnya ketika laki-laki pasrah karena kebebalan atau kebinggunan (bnd.

Abigail, 1 Sam. 25, dan ibu bijkaksana dari Abel Bet-Maakha, 2 Sam. 20:16-22), ia pun

bangkit, mengambil risiko ditolak sebagai perempuan, dan rela mempertaruhkan nyawanya

demi kaumnya. Debora dikenal karena ia biasa duduk di bawah pohon ternama di
pegunungan Efraim dan menasihati orang berdasarkan hukum Tuhan, memutuskan perkara

mereka, dan mengarahkan mereka dengan bijaksana. Sebagai nabiah, ia menerima firman

Tuhan dan memanggil Barak, menyampaikan firman itu, dan menyertai panglima itu dalam

pelaksanaannya (Hak. 4:6-10 dan 14). Tuhan memberikan kemenangan. tetapi musuh

utama, Sisera, dibunuh oleh istri Yahudi seorang Keni yang bernama Yael (yang berarti

YHWH adalah Allah). Sama seperti Miryam, nabiah yang lain itu, Debora mengangkat

nyanyian kemenangan (bnd. Kel. 15:21 dengan Hak. 5).

la memuji Tuhan, Allah Israel yang datang dari selatan, menang atas musuh melalui suku-

suku yang rela dipanggil-Nya dan berjanji bahwa "orang- orang yang mengasihi-Nya

bagaikan matahari terbit dalam kemegahannya" (Hak. 5:31).

4. Peralihan antara Hakim-hakim dan Raja Samuel. Sama seperti Debora, Samuel

adalah seorang hakim dan sekaligus nabi. la diangkat Tuhan sejajar dengan Musa dan

Harun (Yer. 15:1; Mzm. 99:6) untuk memimpin seluruh Israel di zaman peralihan, yakni dari

kehidupan setiap suku sendiri-sendiri, "bila setiap orang berbuat apa yang benar menurut

pandangan sendiri" (Hak 17:6; 21:25; bnd. 18:1; 19;1) pada hidup bersama di bawah raja.

Dalam situasi gawat Tuhan mengangat pemimpin kharismatik (dalam bahasa Yunani,

kharisma berarti pemberian anugerah Tuhan), terutama Debora, Gideon, Yefta, dan Samuel.

Namun, karena ancaman dari pihak luar (Filistin) makin gawat pada bagian terakhir abad ke-

11 s.M., orang-orang terkemuka ingin agar ditentukan suatu pemimpin yang mampu

mempertahankan keamanan dan mengatur masyarakat ke dalam dengan dukungan mereka

itu. Diceritakan babhwa semua tua-tua srael datang ke Rama menemui Samuel dan berkata,

"Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak mengikuti jalanmu, angkatlah sekarang seorang

raja atas kami, agar ia memerintah (syafat) kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain"

(1 Sam. 8:5).

Samuel segan; Tuhan menerangkan bahwa "bukan engkau yang mereka tolak, tetapi

Akulah yang mereka tolak supaya jangan Aku memerintah mereka sebagai raja (malak" (1

Sam 8:7; bnd. 12:12). Para tua-tua diberitahukan [hak raja] (1 Sam 8:10-18) yang akan

mengubah masyarakat egaliter menjadi hierarkis, serta membatasi kemerdekaan dan


keadilan para warga. Namun para tua-tua menjawab, "Harus ada raja atas kami, maka kami

pun akan sama dengan semua bangsa yang lain, raja kami akan menghakimi/memerintah

kami dan memimpin kami dalam perang" (1 Sam. 8:20; bnd. 1 Sam. 12:12-17). Di samping

suara yang sangat kritis terhadap pemerintahan raja (dan barangkali sudah melihat akibat

negatif pemerintahan itu), terdengar pula suara (yang mungkin lebih tua) yang menceritakan

bahwa Tuhanlah yang berprakarsa mengangkat seorang raja (1 Sam. 9:1-10, 16; 11:1-15).

Raja-raja memerintah di Israel dari tahun 1016 sampai 721 s.M. (Israel Utara) dan 586 s.M

(Yehuda) dan mengecewakan. Makin kritis masyarakat atas raja yang sedang memerintah,

makin dinantikan seorang "Raja adil" yang menjalankan pemerintahan Allah di dunia ini.

Harapan mesianis ini hanya terdapat di Israel.

1. PENGANGKATAN RAJA-RAJA DALAM KEPERCAYAAN ISRAEL

Pengangkatan raja, khususnya raja Daud, merupakan karya Tuhan dan pokok puji-pujian

Israel. Pengangkatan raja-raja - bersama pemilihan Yerusalem dan pengutusan nabi-nabi -

merupakan pokok kepercayaan Israel sekalipun tidak muncul dalam naskah pengakuan

iman dan hanya dalam beberapa puji-pujian (Mzm. 78:70-72; Mzm. 132; Neh. 9:27; bnd. 1

Raj. 11:34 ).

Dalam Perjanjian Baru, di Antiokhia, Paulus menyebut pengangkatan kedua raja pertama

dalam rentetan karya besar Allah. Setelah keluaran dari Mesir, 40 tahun di gurun, pemberian

tanah, ia mengatakan, "la memberikan mereka hakim- hakim sampai pada zaman nabi

Samuel. Kemudian mereka meminta seorang raja dan Allah memberikan kepada mereka

Saul bin Kish dari suku Benjamin, empat puluh tahun lamanya. Setelah Saul disingkirkan,

Allah mengangkat Daud menjadi raja mereka Dan dari keturunannya sesuai dengan yang

telah dijanjikan-Nya, Allah telah membangkitkan Juruselamat bagi orang Israel, yaitu

Yesus"(Kis. 13:20-23). Bagaimana hubungan pokok ini dengan pokok-pokok kepercayaan

yang lain?

1. Menurut Alkitab, Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perem puan menurut gambar-

Nya dan memberikan kuasa kepada mereka (Kej. 1:26-28). la pun memberikan tanah
kepada manusia untuk "berbakti kepada-Nya dan memeliharanya" (terjemahan harfiah Kej.

2:15). Dalam kebudayaan lain di Timur Tengah kuno, hanya raja yang dianggap serupa

dengan Allah dan sering juga hanya raja yang memiliki tanah. Jadi, menurut AIkitab, Tuhan

menciptakan manusia sebagai "pejabat raja" yang bertanggung jawab kepada-Nya dan juga

saat ketika ia diurapi oleh para pemimpin Yehuda sebagai raja mereka (2 Sam. 2:4). Lalu,

dua belas tahun kemudian, semua tua-tua dari suku Israel datang ke Hebron dan

mengurapinya sebagai raja atas Israel (5:3).

Selagi Daud memerintah, ada tiga kali upaya untuk melantik seorang penggantinya melalui

kudeta. Yang mengidamkan takhta adalah anaknya, Absalom (2 Sam. 15:10-12), Seba,

orang Benyamin (2 Sam. 20:1-2), serta Adonia, anak Daud juga(1 Raj. 1:5-10, 25-27).

Akhirnva. Daud menuniukkan anaknya, Salomo, dan menyuruh Imam Zadok, Nabi Natan,

dan Benaya mengantarkannya ke Gihon. Sangkakala ditiup dan seluruh rakyat berseru,

"Hidup Raja Salomo" (1 Raj. 1:32-40, 43- 48).

Di Israel Utara tidak ada dinasti tetap sehingga sering timbul pemberontakan. Setelah raja-

raja beribadah kepada dewa-dewi, seorang nabi mengurapi Yehu, yang kemudian diangkat

oleh perwira-perwiranya (2 Raj. 9:12- 13). Di Yehuda Ratu Atalia membunuh semua anak

laki-laki keturunan Daud. Hanya bayi Yoas yang diselamatkan bibinya, Yoseba, istri Imam

Yoyada. Ketika anak itu berusia 7 tahun, ia diantarkan ke Bait Suci oleh Yoyada (Tuhan

mengetahui), diapit oleh para pemimpin, diberikan piagam penobatan oleh imam besar (LAI

menggunakan istilah "hukum Allah" ketimbang"piagam"). la dinobatkan dan diurapi dan

semua berseru, "Hidup raja" (2 Raj. 11:12), lalu ia diantarkan ke istana dan "duduk di atas

takhta kerajaan" (2 Raj. 11:19).

Mazmur-mazmur yang digunakan pada penobatan raja atau perayaan raja yang lain

menambah pengertian, khususnya Mazmur 2:6-7: "Aku telah melantik raja-Ku di Sion ...

anak-Ku engkau" dan Mzm 110:1: "Duduklah di sebelah kanan-Ku."

Roland de Vaux, arkeolog dan sejarawan Prancis, mengusulkan upacara pelantikan sebagai

berikut:

1) Calon raja berdiri di atas tempat yang cukup tinggi di halaman Bait Suci;
2) Raja dikenakan jejamang, mahkota dan lambang jabatan raja lainnya;

3) Raja diserahkan piagam pelantikan berisi nama penobatan, ketetapan-ketetapan

mengenai hak dan kewajibannya, serta firman ilahi tentang pemberian tugas dan janji

penyer

4) Raja diurapi sebagai tanda pemberian tugas dan penyerahan kuasa dari pihak

masyarakat;

5) Raja disambut dengan aklamasi atau sorak-sorai orang banyak;

6) Raja dituntun ke istana, lalu dipersilakan duduk di takhta kerajaan;

7) Para pem-besar dan wakil masyarakat mengangkat sumpah setia kepada raja (Les

Institutions de l'Ancien Testament, Jilid I, Bab V, Paris, 1948). Dari upacara pelantikan itu

tiga acara patut diperhatikan lebih jauh.

2.3. Pengurapan Raja

Sepanjang sejarah kerajaan, raja yang dilantik itu diurapi. Pengolesan dengan minyak tidak

hanya dipakai untuk menyembuhkan dan menguatkan. Dalam budaya kuno minyak

dianggap sebagai zat yang memberikan kekuatan dan wibawa. Sejak milenium ketiga, firaun

diurapi bila naik takhta. Sejak milenium kedua, raja Het dan besar kemungkinan juga raja-

raja Kanaan (bnd. perumpamaan Yotam, Hak. 9:8, 15) diurapi. Demikianlah orang Israel

menerima adat tersebut.

Sepanjang zaman kerajaan, raja-raja di Israel diurapi: Saul (1 Sam. 10:1), Daud (2 Sam. 2:4,

7; 5:3, 17; 1 Taw. 11:3), Absalom (2 Sam. 19:10 ), Salomo (1 Raj. 1:39, 1 Taw. 29:22), Yoas

(2 Raj. 11:12 dan Yoahas (2 Raj. 23:30). Kita kurang menemukan informasi yang cukup di

Israel Utara, hanya dilaporkan bahwa Yehu diurapi (2 Raj. 9).

Pengurapan itu selalu bermakna politik meskipun pengurapan dilakukan di hadapan Tuhan

(2 Sam. 5:3) dan dipersembahkan kurban pada Allah (1 Sam. 11:15). Para tua-tua, kepala

suku, imam, dan rakyat hadir dalam upacara yang mengangkat kepala negara yang akan

bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan bangsanya. Untuk menjalankan

tugas yang berat itu diperlukan berkat Tuhan bagi dia yang akan digelari "raja yang diurapi
Tuhan". Sungguh, gelar "mesiakh" akan diberikan makna yang jauh lebih dalam di kemudian

hari, tetapi segi politis tak akan hilang.

Pengurapan seorang raja di Israel biasanya berlangsung dengan persetujuan para wakil

rakyat sebagai syarat dan dasar hukumnya. Suatu musyawarah dan perundingan

mendahului pengurapan. Wakil-wakil masyarakat tidak menyerahkan begitu saja kekuasaan

pemerintah kepada raja, tetapi hanya kepada raja yang dapat mereka percrcayai, lalu

merundingkan apa tugas dan wibawa masing-masing. Calon raja mengangkat semacam

"sumpah jabatan" (bnd. janji Daud kepada para tua-tua Israel, 2 Sam. 5:3).

Wakil-wakil masyarakat juga menyanggupi kewajibannya sendiri, sesuai dengan "hak-hak

kerajaan" yang disepakati bersama (1 Sam. 10:25). Wewenang masyarakat Israel tidak

selalu diindahkan. Abner, panglima Saul, begitu saja membawa Isybosyet, putra Saul, ke

Mahanaim "serta menjadikan dia raja" atas suku-suku Israel Utara (2 Sam. 2:9). Pengganti

Daud di atas huluan bahwa "TuHAN, Allah Israel, telah memberikan kuasa kerajaan atas

Israel kepada Daud dan anak-anaknya dengan suatu perjanjian garam" (2 Taw. 13:5).

Baik kerajaan yang diperintahkan oleh Daud dan Salomo maupun kerajaan Yehuda yang

masih tinggal kemudian itu ternyata disebut "kerajaan TUHAN" dan raja-rajanya duduk di

atas "takhta TUHAN". Dapat dimengerti bahwa penerjemah TB-LAI keberatan menyalin

ungkapan yang "keterlaluan" itu. Kerajaan Tuhan memang jauh melebihi kerajaan Yehuda

yang kecil mungil itu (bnd. Mzm. 145:8- 13), tetapi Tuhan dengan kerajaan-Nya sendiri telah

melibatkan diri-Nya ke dalam pengangkatan Daud. Maka, mustahil la "melepaskan

pekerjaan tangan-Nya" (Mzm. 138:8).

Kerajaan Timur Tengah Kuno sudah punah semua, demikian juga kerajaan yang ibu

kotanya Yerusalem. Namun, hal yang dimulai Tuhan di situ tetap hidup dan mempunyai

masa depan dalam penantian akan Mesias. Antara lembaga kerajaan yang memusatkan

kuasa pada satu orang dan masyarakat Israel yang egaliter terdapat ketegangan yang tak

pernah reda. Mereka itu langsung melalui tokoh-tokoh tergantur yang diutus Allah, seperti

Musa, Yosua dan tergantung kepada-Nya sebagaimana nyata dalam nada ritual cerita-cerita

tentang mereka. Agar lembaga baru kerajaan dapat diterima di Israel terdapat pula ritual
yang menekankan bahwa raja pun tergantung kepada Tuhan. Ini pun menjadi pola ukur

karya setiap raja.

Dapat ditanyakan apakah para nabi istana - mulai dengan Natan - melihat hubungan antara

Tuhan dan raja sebagai anak angkat-Nya dalam hubungan kekeluargaan di mana Bapa

membina anaknya dan kalau perlu memakai pukulan rotan sebagaimana biasa antara

manusia (bnd. 1 Sam. 7:14). Atau apakah mereka mengikuti pola istana lainnya di Tỉmur

Tengah kuno, yang melihat raja sebagai anak ilahi yang patut ditaati. Kedua pandangan itu

sulit dibedakan lagi.

3. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB RAJA (DAN PEMERINTAH)

Tuhan itu Raja. Ia tidak hanya mengikutsertakan manusia dalam pemerintahan-Nya, tetapi

la menyerahkan tugas tersebut kepada raja dengan janji penyertaan dan menuntut agar

kehendak-Nya dihormati demi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam masyarakat beragama, delegasi kuasa dari pihak Allah pada pemerintah berarti

bahwa pemerintah tersebut bertindak di bawah "Hukum Allah" dan senantiasa perlu

diperingatkan jika ia melanggar kehendak ilahi. Inilah "tugas kenabian". Torah bukan suatu

hukum yang baku dan abadi. Pola dasar memang dinyatakan Tuhan dan tetap berlaku,

tetapi pengalimatan perlu dijelaskan dan dilengkapi agar sesuai dengan keperluan

masyarakat.

Demikianlah "kehendak ilahi" atau "hukum Allah" itafsirkan secara berbeda-beda oleh

manusia yang juga berbeda-beda dalam sikap, budaya, zaman, golongan etnis dan sosial.

Diskusi terbuka di dalam kalangan umat beragama, dan kini antar-umat beragama, penting

agar suatu tafsiran tertentu jangan dijadikan "ideologi" yang dipaksakan atas masyarakat.

Dalam masyarakat majemuk atau sekuler, pemerintah terikat pada hukum yang menunjang

kehidupan manusia, khususnya dalam bentuk hak-hak asasi manusia, Pancasila (di

Indonesia), dan undang-undang yang telah diputuskan oleh lembaga legislatif. Perbedaan

tafsiran bisa saja terjadi, tetapi kesepakatan harus dicari. Lembaga legislatif memainkan

peran penting disitu. la menerima saran partai-partai politik dan lembaga masyarakat yang
lainnya (seperti umat beragama, perserikatan kerja, lembaga ekonomi, dan sebagainya).

Masyarakat harus mengontrol apakah hukum diindahkan dan kuasa tidak disalahgunakan.

Hal itu dilakukan oleh setiap warga berdasarkan kebebasan berpikir, pers, partai politik,

lembaga kemasyarakatan, dan pejabat khusus.

Hukum senantiasa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tafsirannya pun

berkembang melalui peraturan dan petunjuk yang senantiasa dapat disesuaikan dengan

situasi baru. Raja atau pemerintah dapat berhasil atau gagal, entah dalam bidang tertentu

atau secara keseluruhan. Kebijakan, motivasi, situasi dalam hubungan dengan bangsa-

bangsa lain, ataupun iklim ekonomi sangat berpengaruh.

Raja dapat menyalahgunakan kuasanya dan mendatangankan kerugian atau malapetaka.

Jaminan tidak ada. Tugas seorang raja di Israel mirip dengan tugas raja-raja lain di Tỉmur

Tengah kuno. Di antara mereka terdapat pemimpin dengan kesadaran dan budi yang luhur.

Demikian umpamanya Hammurabi, raja atas Sumer dan Akad di kota Babel (sekitar 1700

s.M.) selama 40 tahun. Dalam muka kumpulan undang-undang yang ditetapkan tertulis

demikian: "Anum dan Enlil telah mengangkat aku, Hammurabi, raja yang saleh dan patuh

pada dewa- dewa, untuk menambah kemakmuran rakyat, untuk menegakkan keadilan di

dalam negeri, untuk menghancurkan si jahat dan si durjana." Demikian pula di dalam kata

penutup undang-undang tersebut: "Dewa-dewa agung telah memanggil

aku sehingga aku menjadi gembala yang baik; keadilan adalah tongkat kerajaanku. Aku

memerintah bangsa-bangsa dalam damai sentosa; aku melindungi mereka sesuai dengan

kebijaksanaanku. Aku telah menetapkan undang-undang ini agar jangan si kuat menindas si

lemah, dan supaya keadilan diberi kepada anak yatim piatu dan janda-janda ...". Demikian

juga di Mesir terdapat ajaran pada calon firaun (oleh Merikare, abad ke-22 s.M): "Lakukan

apa yang adil untuk bertahan di dunia. Hiburkan orang yang menangis, jangan menindas

janda-janda, jangan mengambil milik ayah dari anak-anaknya.

Jangan hukumkan yang benar, jangan pakai kekerasan kecuali demi ke- baikan; penjarakan

orang-orang yang bersalah. Jangan mengecualikan para pemberontak dari hukuman bila
rencana mereka terbongkar karena Lorona allah mengenal orang fasik dan mengutuk

darahnya" (Jacques Pirenne, Histoire de la civilisation de l'Egypte ancienne, La Baconnière,

Neuchâtel, 1961).

3.1. Raja Pembebas

Sama seperti Tuhan mengangkat para hakim untuk membebaskan bangsaNya dari

penindasan para musuh, demikian pula la mengangkat raja-raja untuk membebaskan

bangsa dari ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya.

Bangsa Filistin sedang menindas dan menjajah suku-suku Israel yang tidak berdaya lagi

untuk mempertahankan diri. Dalam situasi itu Tuhan menyuruh Samuel untuk mengurapi

Saul menjadi nagid atas Israel dan "menyelamatkan Israel dari tangan orang Filistin'" (1

Sam. 9:16; 10:1).

Daud pun dikatakan "menjadi nagid atas Israel" (1 Sam. 13:14; 25:30; 2 Sam. 5:2; 7:8)

dengan ketentuan bahwa ia akan melakukan perang Tuhan (1 Sam. 25:28), akan

"'menggembalakan" Israel (1 Sam. 5:2; bnd. 1 Sam. 7:7) serta "melepaskan" dan

"menyelamatkan" mereka dari tangan musuhnya (2 Sam. 19:9; bnd. 3:18). Terhadap raja-

raja yang kemudian tidak ada lagi yang diberikan tugas dan kuasa untuk berbuat yang

demikian. Hanya sekali saja kita membaca tentang seorang raja Israel Utara yang telah

diberikan Tuhan sebagai penyelamat (TB- LAl: penolong) bagi bangsanya "sehingga mereka

lepas dari tangan Mazmur ini mengangkat nubuat Nabi Natan pada Daud (1 Sam. 8, berinti

pada ayat 11b dan 16) sebagaimana disampaikan kepada raja-raja keturunan Daud pada

hari pengangkatannya. Mazmur itu menekankan kemenangan militer Daud serta perjanjian

kasih setia antara Tuhan dan Daud (bnd. Mzm. 89:4-5 dan 29-30; Mzm 132:10-11).

Akan tetapi, raja yang tinggi ini pun dilukiskan sebagai ayah yang dikhianati oleh putranya,

Absalom, dan harus melarikan diri (2 Sam. 15:13-15). Dalam banyak mazmur - yang ditulis

oleh atau bagi Daud- ia dilukiskan sebagai orang yang tergantung pada pertolongan Allah.

Dalam kemuliaan dan kelemahan itulah Daud menjadi teladan para pembesar yang sadar

bahwa mereka tetap manusia yang rendah di hadapan Allah.


Pemerintah bertanggung jawab mempertahankan kedaulatan negaranya terhadap agresi

negara lain. Itulah sebabnya suatu pemerintahan memelihara angkatan bersenjata. Perang

defensif lazim, namun perang agresif tidak. Hal itu ditentukan oleh PBB sekalipun ada

negara yang tidak mengindahkan hukum internasional itu.

3.2. Mengadili dengan Benar, Memerintah dengan Bijaksana

Para tua-tua Israel meminta seorang raja untuk membebaskan mereka dari ancaman

bangsa-bangsa lain. Mereka juga meminta seorang raja agar ia melindungi mereka dari

bahaya yang timbul dalam bangsa itu sendiri. Mereka memerlukan seorang yang

menghakimi dengan adil dan memerintah dengan bijaksana. Telah kita lihat bahwa kata

kerja ibrani syafat dapat berarti "membebaskan / menyelamatkan". Namun, kata itu paling

sering berarti "bertindak sebagai hakim". Demikian dikatakan dalam Ulangan 25:1 bahwa

jika ada "... perselisihan atau perkara di antara dua atau beberapa orang, mereka pergi ke

pengadilan (harfiah "keputusan hukum"; Ibr. misypat) dan mereka diadili dengan dinyatakan

siapa yang benar dan siapa yang salah". Pokoknya, hanya Tuhan yang menguji hati dan

batin yang dapat menghakimi dengan adil (Yer. 11:20).

Itu sebabnya orang meminta agar Tuhan menjadi hakim di antara dua oknum (mis. Sara dan

Abraham, Kej. 16:5; Daud dan Saul, 1 Sam. 24:13 dan 16) atau antara bangsa dengan

bangsa (Hak. 11:27) atau antara domba dengan domba, yakni anggota umat (Yeh. 34:17-

22). Orang yang mendapat tuduhan palsu atau difitnah meminta agar Tuhan menghakimi

mereka dan memberikan keadilan kepadanya (Mzm. 7:9; 26:1; 35:24; 43:1).

Tuhan sendirilah Hakim yang Adil (Mzm. 9:5; 7:12; 50:6; 68:6; 75:8; Yes. 33:22; bnd. U1.

10:17). la pun mengangkat orang tertentu untuk mengambil bagian dalam tugas itu,

khususnya para pemimpin umat-Nya. Demikian misalnya Musa (Kel. 18:13), Debora (Hak.

4:4-5), Samuel (1 Sam. 7:15) dan khususnya para raja (bnd. Salomo, 1 Raj. 3:9, dan

keinginan Absalom, entah sebagai penggarnti ayahnya atau pejabatnya, 2 Sam. 15:4).

"Ya Allah, berikanlah hukum (misypat) kepada raja dan keadilan-Mu (tsedakah) kepada

putera raja!
Kiranya ia mengadili umat-Mu dengan keadilan dan orang-orang-Mu yang tertindas dengan

hukum (misypat).

Kiranya ia memberikan keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu,

menolong orang-orang miskin tetapi meremukkan pemeras-pemeras.

4. PEMERINTAHAN RAJA-RAJA ISRAEL DI MATA TUHAN

Di dalam Kitab 1-2 Samuel dan 1-2 Raja-raja terdapat bahan-bahan kuno, yaitu:

a).cerita tentang Samuel dan Saul;

b).cerita tentang Daud (yang besar kemungkinan dikumpulkan dan diterbitkan untukpertama

kali pada pemerintahan Yosia);

c). bahan-bahan dari kitab-kitab sejarah raja-raja Yehuda (dari Rehabeam sampai Zedekia);

d).bahan-bahan dari kitab-kitab sejarah raja-raja Israel (dari Yerobeam I sampai Hosea);

e).cerita tentang nabi-nabi; dan

f).sejumlah cerita yang beredar sendiri-sendiri.

Semua bahan itu dikumpulkan dan disusun berangsur-angsur. Di zaman Yosia cerita

tentang Daud dipakai sebagai pengesahan Dinasti Daud, sedangkan pada waktu

Pembuangan, mazhab Deuteronomis menguraikan apa sebabnya malapetaka itu menimpa

umat, yakni Tuhan setia pada perjanjian yang diikrarkan- Nya, tetapi umat mengkhianatinya

dan harus dihukum meskipun Tuhan tidak meninggalkan umat-Nya. Kitab-kitab Tawarikh

ditulis kemudian dengan mengutamakan ibadah (liturgi, nyanyian, kurban dan sebagainya

dari sudut pandang kaum Lewi).

Untuk ketiga raja pertama, Saul, Daud, dan Salomno, terdapat cerita yang hidup dan

meninjau kepribadian dan pemerintahan dari beberapa sudut, sedangkan untuk raja-raja

kemudian hanya terdapat bahan yang agak kering dan penilaian apakah mereka melakukan

"yang baik" atau "yang jahat" di mata Tuhan. Tidak diperhatikan sampai ke mana mereka

menjalankan tugas menjamin kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan. Yang menjadi

pertanyaan apakah mereka beribadah pada Allah yang Esa saja.


BAB VIII

ALLAH MEMILIH SION / YERUSALEM

PENDAHULUAN

Kota Yerusalem dikenal sejak abad ke-15 SM (barangkali sejak 1800 SM) di Babel

dan di Mesir di bawah nama Uru-Salim. Tidak tahu kapan dan oleh siapa kota ini didirikan,

namun jelas bahwa suku yang termasuk orang Kanaan atau Amori (yaitu Semit) diam disitu

dan suku terakhir bernama Yebus. Dalam abad ke-11 suku-suku Israel berusaha

merebutnya, tetapi gagal.

Daud-lah dengan tentara pribadinya yang berhasil menaklukkannya. Di situ Daud

dan Salomo memerintah dan menaklukkan sejumlah suku bangsa. Dengan membawa tabut

Tuhan kesitu Yerusalem dijadikan pusat ibadah Israel.

Bentuk kota Yerusalem ditempah oleh letaknya pada ujung utara pegunungan

Yehuda.

TEMPAT YERUSALEM DALAM KEPERCAYAAN ISRAEL


Allah telah memilih Yerusalem sebagai gunung milikNya, tempat kehadiranNya dan

pusat kerajaanNya di atas bumi semata-mata agar umatNya memiliki suatu dasar teguh dan

tempat perlindungan yang mantap.

Namun Allah menghakimi Yerusalem yang telah memberontak kepadaNya. Sejak

Aku membawa umatKu Israel keluar dari Mesir, tidak ada kota lain yang Kupilih diantara

segala suku Israel untuk mendirikan rumahKu di sana.

Keluaran dari Mesir diakui pemazmur sebagai dasar pemilihan Israel oleh Tuhan.

Umat Israel menyayangi Yerusalem sebagai pusat ibadah.

Namun pertama-tama dan terutama Yerusalem adalah kota Allah. Tuhan telah

memilihnya sebagai gunung kudus. Suku-suku Israel memandang YHWH sebagai Allah

yang membebaskan dan membimbing mereka serta memberikan tanah pertanian dimana

mereka hidup. Mereka menerima sejumlah gelar ilahi yang menekankan peranan Allah yang

Maha tinggi.

Sebagai Raja, Allah adalah juga hakim. Kebesaran itu diakui oleh orang yang

percaya.

KEDIAMAN YANG DIPILIH TUHAN

Kisah perjalanan tabut Allah memperlihatkan bahwa Tuhan sendirilah yang telah

memilih Yerusalem untuk menjadi tempat kediaman yang baru. Dalam kisah tabut itu, kita

melihat bahwa manusia cenderung meyakini bahwa kehadiran Allah dijamin oleh tabut itu.

Yerusalem pun mempunyai tradisi beribadah kepada Allah yang Maha tinggi pencipta langit

dan bumi.
BAB IX

ALLAH MENGUTUS NABI – NABI

PENDAHULUAN

Umat Yahudi, Kristen dan Islam berakar pada pemeberitaan para nabi yang bangkit

di Timur Tengah. Ketiga umat beragama itu bersama-sama mengaku percaya kepada Allah

yang Esa, pencipta langit dan bumi serta seluruh isinya, Tuhan atas manusia.

Disamping nabi yang diutus Allah, bangkit juga nabi yang tidak diutus. Tidak ada

tanda lahiriah untuk membedakan mana nabi yang diutus Allah dan mana nabi yang tidak

demikian.

CERITA PARA NABI

Tokoh-tokoh zaman dulu telah dilihat sebagai nabi, misalnya Abraham (Kejadian

20:7), panggilan Musa serupa dengan panggilan seorang nabi (Keluaran 3).

PEMELIHARAAN FIRMAN PARA NABI


Baru pada abad ke-8 SM, firman-firman yang disampaikan para nabi mulai diingat,

dicatat, digabung dalam kesatuan kecil, lalu disusun menjadi kesatuan yang lebih luas dan

akhirnya dibukukan.

Di zaman kuno semua buku ditulis tangan. Dalam Alkitab kita mengenal 3 nabi besar

karena bukunya panjang, salah satunya adalah Daniel. Merekalah tokoh-tokoh yang diutus

pada saat tertentu dengan berita khas untuk orang sezaman.

DANIEL SEBAGAI TELADAN ORANG PERCAYA

Bersama dengan tiga teman Yahudinya, Daniel dipilih untuk menerima pendidikan

pegawai negeri. Keempat pemuda itu belajar dengan tekun namun tetap memelihara taurat.

Tuhan mengaruniakan kesehatan dan kecerdasan luar biasa kepada mereka.

Anda mungkin juga menyukai