Anda di halaman 1dari 13

FARMAKOTERAPI HIPERTENSI

Disusun oleh:
Fadhilatul Husna
Dosen : Yenny.M.Farm.Apt

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA


TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “Farmakoterapi
Pada pasien Hipertensi”. Kemudian sholawat beriring salam juga dihaturkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW. Makalah ini merupakan salah satu tugas saya farmakologi. Saya
menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Oleh karena itu,
Akhir kata saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. saya
berharap makalah ini bermanfaat khususnya bagi saya sendiri dan pihak yang telah
membacanya, serta peneliti mendoakan semoga segala bantuan yang telah diberikan
mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin.

Padang, November 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi (tekanan darah tinggi) terjadi ketika tekanan di pembuluh darah
Anda terlalu tinggi (140/90 mmHg atau lebih tinggi). Hal ini biasa terjadi tetapi bisa
menjadi serius jika tidak diobati. Penderita tekanan darah tinggi mungkin tidak
merasakan gejala apa pun. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan
memeriksakan tekanan darah Anda. Perubahan gaya hidup seperti makan makanan
yang lebih sehat, berhenti merokok dan menjadi lebih aktif dapat membantu
menurunkan tekanan darah. Beberapa orang mungkin masih perlu minum obat.
Tekanan darah ditulis dalam dua angka. Angka pertama (sistolik)
melambangkan tekanan pada pembuluh darah saat jantung berkontraksi atau
berdetak. Angka kedua (diastolik) mewakili tekanan di dalam pembuluh darah saat
jantung beristirahat di antara detak jantung.
Hipertensi didiagnosis bila diukur pada dua hari yang berbeda, tekanan darah
sistolik pada kedua hari tersebut ≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik pada
kedua hari tersebut ≥90 mmHg.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi pola makan yang tidak sehat
(konsumsi garam berlebihan, pola makan tinggi lemak jenuh dan lemak trans,
rendahnya asupan buah dan sayur), kurangnya aktivitas fisik, konsumsi tembakau dan
alkohol, serta kelebihan berat badan atau obesitas. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi termasuk riwayat hipertensi dalam keluarga, usia di atas 65 tahun, dan
penyakit penyerta seperti diabetes atau penyakit ginjal.
Prevalensi hipertensi bervariasi antar wilayah dan kelompok pendapatan
negara. WHO Wilayah Afrika mempunyai prevalensi hipertensi tertinggi (27%)
sedangkan WHO Wilayah Amerika mempunyai prevalensi hipertensi terendah
(18%). Jumlah orang dewasa yang menderita hipertensi meningkat dari 594 juta pada
tahun 1975 menjadi 1,13 miliar pada tahun 2015, dengan peningkatan yang sebagian
besar terlihat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Peningkatan ini
terutama disebabkan oleh peningkatan faktor risiko hipertensi pada populasi tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendukung negara-negara untuk
mengurangi hipertensi sebagai masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2021,
siapa, dalam sistem layanan kesehatan, yang dapat memulai pengobatan.
Untuk mendukung pemerintah dalam memperkuat pencegahan dan
pengendalian penyakit kardiovaskular, WHO dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) meluncurkan Inisiatif Jantung Global
pada bulan September 2016, yang mencakup paket teknis HEARTS. Enam modul
paket teknis HEARTS (Konseling gaya hidup sehat, Protokol pengobatan berbasis
bukti, Akses terhadap obat-obatan dan teknologi esensial, Manajemen berbasis risiko,
Perawatan berbasis tim, dan Sistem pemantauan) memberikan pendekatan strategis
untuk meningkatkan kesehatan kardiovaskular di negara-negara di seluruh dunia.
Pada bulan September 2017, WHO memulai kemitraan dengan Resolve to
Save Lives, sebuah inisiatif dari Vital Strategies, untuk mendukung pemerintah
nasional dalam menerapkan Inisiatif Jantung Global. Mitra lain yang berkontribusi
pada Global Hearts Initiative adalah CDC Foundation, Global Health Advocacy
Incubator, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Pan American Health
Organization (PAHO) dan US CDC. Sejak penerapan program ini pada tahun 2017 di
31 negara, negara berpendapatan rendah dan menengah, 7,5 juta orang telah
menerima pengobatan hipertensi berbasis protokol melalui model perawatan yang
berpusat pada individu. Program-program ini menunjukkan kelayakan dan efektivitas
program pengendalian hipertensi standar.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit hipertensi?
2. Bagaimana gejala dari penyakit hipertensi?
3. Bagaimana cara penanganan kasus dari penyakit hipertensi?

C. Tujuan
Tujuan pada makalah ini yaitu
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan penyakit hipertensi
2. Untuk mengetahui bagaimana gejala dari penyakit hipertensi
3. Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan kasus dari hipertensi
BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri secara
persisten. WHO mengemukakan bahwa hipertensi terjadi apabila keadaan seseorang
mempunyai tekanan sistolik sama dengan atau lebih tinggi dari 160 mmHg dan
tekanan diastolik sama dengan atau lebih tinggi dari 90 mmHg secara konsisten dalam
beberapa waktu (Dipiro et al, 2015; WHO, 2015). Menurut JNC-7 hipertensi atau
tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi ketika tekanan darah diastolik < 90 mmHg
dan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau lebih (≥ 140/90 mmHg). Klasifikasi
tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII (Dipiro et al, 2015).
Hipertensi krisis (TD >180/120 mmHg) dapat dikategorikan sebagai keadaan
darurat hipertensi (peningkatan tekanan darah secara ekstrim dengan kerusakan organ
akut maupun progresif) atau urgensi hipertensi (peningkatan tekanan darah tanpa
kerusakan organ akut maupun progresif) (Dipiro et al, 2015).

B. Patofisiologi
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang dapat terjadi akibat penyebab
spesifik (hipertensi sekunder) atau dari mekanisme patofisiologis yang tidak diketahui
etiologinya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi kurang dari
10% kasus yang ada, dan sebagian besarnya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular. Kondisi lain yang menyebabkan hipertensi sekunder
meliputi pheochromocytoma, sindrom Cushing, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme,
aldosteronisme primer, kehamilan, apnea tidur obstruktif, dan koarktasio aorta.
Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah meliputi kortikosteroid,
estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, siklosporin,
tacrolimus, eritropoietin, dan venlafaksina (Dipiro et al, 2015).
Beberapa faktor yang berkontribusi pada pengembangan hipertensi primer, meliputi:
1) . Kelainan fisik yang melibatkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon
natriuretik, atau hiperinsulinemia.
2) Gangguan patologis pada SSP(Sistem Saraf Pusat), serabut saraf otonom,
reseptor adrenergik, atau baroreseptor.
3) Kelainan pada proses autoregulatory ginjal atau jaringan untuk ekskresi
natrium, volume plasma, dan penyempitan arteriol.
4) Kekurangan sintesis lokal zat vasodilatasi di endotel vaskular, seperti
prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrat, atau peningkatan produksi zat
vasokonstrikulasi seperti angiotensin II dan endotelin I.
5) Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan penghambatan hormon
natriuretik beredar pada transportasi natrium intraselular, menghasilkan
peningkatan reaktivitas vaskular dan kenaikan tekanan darah.
6) Peningkatan konsentrasi intraselular kalsium, menyebabkan fungsi otot polos
vaskular yang berubah dan meningkatkan resistensi vaskular perifer
Penyebab utama kematian pada subjek hipertensi adalah kecelakaan serebrovaskular,
kejadian kardiovaskular (CV), dan gagal ginjal. Probabilitas kematian dini berkorelasi
dengan tingkat keparahan elevasi BP (Dipiro et al, 2015).

C. Manifestasi Klinis
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,
gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan
darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut.
Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya
memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Mortalitas pada pasien hipertensi
lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke
beberapa organ vital. Sebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung
dengan atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal (Nuraini,2015).
Manifestasi klinis akibat hipertensi dapat muncul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat
terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan
darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah tidak
mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam
hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen
akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai
paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang
(Nuraini,2015).
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,
ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan 4
sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan
pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma
yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses
tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).
Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada proses
akut seperti pada hipertensi maligna (Nuraini,2015).

D. Hasil terapis yang di inginkan


Hasil terapi yang ingin dicapai pada pengobatan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan mortalitas dengan cara intrusi terakhir yang mungkin. Tekanan darah
yang diinginkan adalah < 140/90 mg untuk uncomplicated hypertension; 130/80
untuk pasien diabetes militus, gangguan fungsi ginjal dan gagal jantung; 125/75 untuk
mereka dengan penyakit renal parah dengan proteinuria >1 g/hari; dan 140 mg
(sistolik) untuk isolated systolic hypertension.

E. Penanganan
a. Terapi non-farmakologi
dilakukan pada penderita hipertensi dengan mengendalikan faktor resiko dan
memperbaiki pola hidup. Menurut JNC 7 dan beberapa panduan lain modifikasi gaya
hidup dapat dilakukan dengan cara:
a) Menurunkan berat badan pada penderita obesitas. Penurunan berat badan
dapat mengurangi tekanan darah sistolik 5-20 mmHg/penurunan 10kg
Rekomendasi ukuran pinggang >94 cm untuk pria dan untuk wanita <84 cm
b) Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dapat
menurunkan tekanan darah sistolik 8-4 mmHg. Memperbanyak makan buah,
sayur-sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan lemak jenuh
dan total lebih sedikit, kaya potassium dan calcium.
c) Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg.
Konsumsi sodium chloride ≤6 g/hari (100mmol sodium/hari).
Rekomendasikan makan rendah garam sebagai bagian pola makan sehat.
d) Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg.
Konsumsi sodium chloride ≤6 g/hari (100mmol sodium/hari).
Rekomendasikan makan rendah garam sebagai bagian pola makan sehat.
e) Aktivitas fisik dapat menurunkan dapat menurunkan tekana darah sistolik4-9
mmHg. Lakuka aktivitas fisik dengan intensitas sedang atau setiap hari pada 1
minggu (total harian dapat diakumulasikan, misalnya 3 sesi @ 10menit).
f) Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sitoli 2-4
mmHg.
g) Berhenti merokok untuk mengurangi resiko kardiovaskuler secara
keseluruhan. Dengan memperbaiki gaya hidup biasanya cukup membantu
untuk pasien prehipertensi, namun hal ini tidak akan cukup untuk pasien
dengan pasien hipertensi yang disertai faktor resiko kardiovaskular atau
adanya kerusakan organ terkait hipertensi (Wells et. Al., 2015).

b. Terapi Farmakologi
Pelaksanaan terapi farmakologo biasa diberikan pada pasien hipertensi tingkat
1 seperti pemberian obat antihipertensi first-line atau dengan kombinasi dua obat.
Obat first-line antihipertensi yaitu golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitors, angiotensin II reseptor blokers (ARBs), calcium channel blocker (CCB),
dan diuretic thiazid. Sedangkan terapi kombinasi obat direkomendasikan untuk pasien
hipertensi tingkat 2, menggunakan kombinasi dari obat first-line. Sedangkan obat
antihipertensi lainnya seperti α1-bloker, direct rennin inhibitor, central α2-agonis,
antagonis peripheral adrenergic, dan direct arterial vasodilator merupakan alternative
yang dapat digunakan kepada beberapa pasien setelah penggunaan obat first-line
(Wells et. al., 2015).
a) ACE inhibitor
Cara kerja ACE inhibitor adalah memblok angiotensin I menjadi
angiotensin II, yang merupakan vasokontriktor poten dan yang
merangsang sekresi aldosteron. Selain itu, ACE inhibitor juga dapat
memblok degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis dari substansi
vasodilator lainnya, termasuk prostaglandin E dan prostasiklin (Wells
et. al., 2015). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah
captopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah batuk kering,
pusing, sakit kepala, dan lemas (Dalimartha et. al., 2008).
b) ARBs
ARB bekerja dengan cara menghambat secara langsung reseptor
angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen
II. ARB 10 tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi
efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi,
perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh
dengan penggunaan ARB. Efek samping ARB adalah insufisiensi
ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortostatik. Contoh obatnya adalah
losartan dan valsartan (Wells et. al., 2015).
c) Calcium Channel Blocker (CCB)
CCB dapat menyebabkan relaksasi jantung dan melemaskan otot
dengan cara memblok channel kalsium sehingga mengurangi
masuknya kalsium ekstraselular ke dalam sel. Hal ini akan
menyebabkan basodilatasi dan mengurangi tekanan darah. Contoh obat
CCB adalah verapamil dan diltiazem. Verapamil dan diltiazem dapat
menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal
atriventrikular. Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan
kronotropik yang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya
untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada pasien
resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar
verapamil (Wells et. al., 2015).
d) Diuretik Obat
golongan diuretik akan menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler dengan cara meningkatkan ekstresi natrium, air, dan
klorida, dengan demikian tekanan darah akan menurun. Obat golongan
diuretic juga dapat menurunkan resistensi perifer, sehingga menambah
efek hipotensi. Contoh obat golongan diuretik adalah thiazid diuretik,
loop, penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Efek samping obat
tersebut antara lain hipokalemia yang dapat mengakibatkan gejala
lemas, hiperurisemia, lemah otot, muntah, dan pusing (Wells et. al.,
2015; Dalimartha et. al., 2008).

e) β-blockers

β-blockers hanya dapat digunakan sebagai agen first-line untuk


mengobati indikasi spesifik seperti infark miokard atau penyakit arteri
koronari. Mekanisme kerjanya dapat menurunkan output jantung
melalui kronotropik dan inotropik ke 11 jantung dan inhibisi pelepasan
rennin dari ginjal. Contoh obatnya adalah atenolol, propanolol, dan
bisoprolol (Wells et. al., 2015).

F. Evaluasi Hasil Terapi


Tujuan perawatan antihipertensi adalah untuk menjaga tekanan darah arterial
di bawah 140/90 mmHg untuk mencegah morbiditas dan mortalitas kardiovascular.
Tekanan darah harus dikontrol 2 sampai 4 minggu setelah terapi dilakukan.
Setelah tekanan darah yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan, kontrol tekanan
darah dapat dilakukan 3 sampai 6 bulan, dengan asumsi tidak terdapat tanda dan
gejala kerusakan organ target. Evaluasi yang lebih sering perlu dilakukan untuk
pasien yang jarang melakukan kontrol, ketidakpatuhan, mengalami kerusakan organ
target yang progresif, atau terdapat gejala efek samping obat (Dipiro, et al., 2015).
Pasien harus terus dipantau terkait tanda dan gejala kerusakan organ target.
Nyeri dada, jantung berdebar, pusing, dyspnea, ortopnea, sakit kepala, lemah, bicara
cadel, dan kehilangan keseimbangan harus benar-benar diperhatikan untuk menilai
adanya komplikasi. Selain itu perubahan fundus mata, hipertropi ventrikel kiri,
proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal juga harus dipantau (Dipiro, et al., 2015).
Selain pemantauan tekanan darah dan gejala kerusakan organ target, efek samping
obat juga harus diperhatikan. Pemantauan efek samping obat ini dilakukan 2 sampai 4
minggu setelah mulai terapi ataupun setelah mendapatkan dosis baru yang
ditingkatkan, kemudian setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien stabil. (Dipiro, et al.,
2015). Pasien yang mengkonsumsi antagonis aldosteron harus dilihat kadar kalium
dalam darahnya dan dinilai fungsi ginjalnya dalam waktu 3 hari dan 1 minggu setelah
mulai terapi untuk mengetahui potensi hiperkalemia. Kepatuhan pasien disini juga
harus diperhatikan, tanyakan pada pasien mengenai perubahan persepsi kesehatan
mereka secara umum, fungsi fisik dan kepuasan secara menyeluruh mengenai
penanganan yang diberikan (Dipiro, et al., 2015).
BAB 111
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
WHO. 2015. Hypertension. Available online at: http//:www.who.int/ [Diakses 1 September
2017].
Dalimartha, S., Purnama, B. T., Sutarina, N., Mahendra, dan Darmawan, R. 2008. Care Your
Self, Hipertensi. Depok : Pene
bar Plus. Nuraini, Bianti. 2015. Risk Factors of Hypertension. J Mayority. Volume 4 No. 5

Anda mungkin juga menyukai