Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jalan Tol

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 38 tentang Jalan, Jalan tol

diselenggarakan untuk:

a. Memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang

b. Meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa

guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi

c. Meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan, dan

d. Meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.

Berdasarkan PP No. 15 Tahun 2005 tentang jalan tol, dijelaskan bahwa definisi

jalan adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai

jalan nasional yang penggunannya diwajibkan membayar tol. Tol merupakan

sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol. Besarnya tarif

tol berbeda untuk setiap golongan kendaraan dan ketentuan tersebut telah ditetapkan

berdassarkan keputusan presiden. Sedangkan ruas jalan tol adalah bagian dari jalan

tol tertentu yang pengusahaannya dapat dilakukan oleh badan usaha tertentu.

Target yang menjadi sasasran pelayanan jasa jalan tol terhadap pemakai jasa

adalah kelancaran, keamanan dan kenyamanan. Untuk dapat mencapai sasaran

tersebut ditetapkan sebagai tolak ukur operasionalnya adalah berupa waktu pelayanan

42
43

di gardu, waktu tempuh jalan tol, tingkat kelancaran, tingkat faisilitas, tingkat

keluhan pelanggan dan standar kerataan jalan. Pada situasi dimana terdapat banyak

jalur masuk station dan jua tersedia fasilitas pelayanan, maka asumsi pengguna

fasilitas pelayanan tunggal dapat dilakukan asalkan kendaraan terbagi secara merata

atau sama di antara fasilitas-fasilitas yang ada.

2.2 Jalan Tol Pulogebang – Semanan

Jalan tol Pulogebang – Semanan memiliki beberapa segmen ruas atau ruas.

Ruas- ruas tersebut antara lain:

a. Pulogebang – Kelapa Gading (9,3 km)

b. Semanan – Grogol (9,5 km)

c. Grogol – Kelapa Gading (12,4 km)

Jalan tol Kelapa Gading - Pulo Gebang sebagai bagian dari jalan tol lingkar

dalam dan lingkar luar Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) diharapkan

dapat meningkatkan kecepatan distribusi logistik menjadi makin baik.

2.3 Tarif Jalan Tol

Penentuan tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan,

besar keuntungan biaya operasi kendaraan dan kelayakan investasi. Besarnya

tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol yang pemberlakukannya bersamaan

dengan penetapan pengoperasian jalan tol tersebut.

43
44

Menurut Rendy (2011) dalam pembentukan tarif jalan tol dapat didasarkan

pada salah satu dari tiga cara berikut ini:

a. Sistem pembentukan tarif dasar produksi jasa transportasi (cost of service

pricing). Sistem ini dibentuk atas dasar biaya produksi jasa transportasi

ditambah dengan keuntungan yang layak bagi kelangsungan hiduo dan

dinyatakan sebagai tarif minimum dimana perusahaan tidak akan

menawarkan lagi jasa transportasi di bawah tarif serendah itu.

b. Sistem pembentukan tarif atas dasar nilai jasa transportasi (value of service

pricing). Sistem didasarkan atas nilai yang dapat diberikan jasa pelayanan

transportasi. Besar kecilnya nilai tersebut tergantung kepada elastisitas

permintaan jasa pelayanan transportasi. Tarif ini biasanya dinyatakan

sebagai tarif maksimum

c. Sistem pembentukan tarif atas dasar ‘What the traffic will bear’ yaitu tarif

berada diantara tarif minimum dan tarif maksimum. Untuk itu, dasar tarif

ini berusaha menutup biaya variabel sebanyak mungkin dan biaya tetap

(fixed cost).

Dari tiga pendekatan penetapan tarif diatas, yang sesuai untuk penetapan tarif

jalan tol adalah atas dasar nilai jasa transportasi. Dalam menentukan kebijakan tarif,

ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama adalah tingkatan tarif yang

dikenakan. Rentang dari tingkatan tarif ini dari tarif bebas atau tidak dikenakan biaya

sampai tingkatan tarif yang memberikan keuntungan pada pelayanan. Selain

44
45

tingkatan tarif, yang perlu dipertimbangkan adalah cara bagaimana tarif tersebut

dibayarkan. Beberapa pilihan yang umum adalah tarif seragam (flat fare) dan tarif

berdasarkan jarak (distance base fare) (Ryandika,2011).

2.4 Teori Permintaan (Demand Theory)

Permintaan akan jasa transportasi timbul akibat adanya aktivitas/ kegiatan

manusia dan barang yang perlu melakukan pergerakan karena adanya permintaan

akan suatu komoditi atau jasa lain. Oleh karena itu, permintaan jasa transportasi

dikatakan sebagai permintaan turunan (derived demand). Pada dasarnya, permintaan

akan jasa transportasi diturunkan dari:

a. Kebutuhan seseorang untuk bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk

melakukan suatu kegiatan.

b. Permintaan akan angkutan dari suatu barang agar sampai di tempat yang

diinginkan.

Sehingga, faktor terpenting yang mempengaruhi jasa transportasi adalah tujuan

perjalanan seperti pergi bekerja, membeli makanan, pergi berekreasi, dan sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan melewati jalur jalan tol atau non tol

bukan merupakan suatu proses yang bersifat statis dan acak melainkan akan sangat

dipengaruhi oleh banyak faktor baik secara tunggal maupun kolektif. Dari beberapa

faktor yang berpengaruh ada yang bersifat mudah diukur (seperti biaya perjalanan,

45
46

biaya tol, dan waktu perjalanan) dan ada yang sulit terukur (seperti comfortable,

convenience, dan keamanan).

Hal-hal lain yang juga mempengaruhi adalah:

a. Karakteristik pelaku perjalanan (yang sifatnya trukur) antara lain:

 Tingkat pendapatan

 Kepemilikan kendaraan

 Kepadatan tempat tinggal

b. Karakteristik perjalanan, antara lain:

 Panjang perjalanan

 Maksud perjalanan

c. Karakteristik sistem transportasi, antara lain:

 Waktu tempuh perjalanan

 Biaya perjalanan

 Tingkat pelayanan

 Indeks aksesibilitas

1. Permintaan Menurut Teori Ekonomi

Teori ekonomi umum mengenai permintaan menghubungkan jumlah komoditi

tertentu yang akan dikonsumsi dengan harga tertentu, biasanya komoditi dianggap

homogen, yang berarti bahwa semua unit yang dijual atau ditukarkan di pasaran

adalah identik.

46
47

Gambar 2.1 Kurva Permintaan

Pada gambar 2.2 dilihat bahwa kemiringan kurva adalah negatif. Hal ini terjadi

karena:

 Pada harga tinggi, para pembeli yang mampu membeli barang

mengundurkan diri sebagai pembeli. Tetapi pada harga yang rendah, lebih

banyak pembeli yang mampu membelinya, sehingga lebih banyak barang

yang dibeli.

 Dalam kaitannya dengan pembeli perseorangan, peningkatan harga, dengan

pendapatan yang tetap, akan memperkecil anggaran yang tersedia untuk

komoditi lain. Sedangkan, semakin kecil nilai suatu barang konsumsi dalam

kaitannya dengan anggaran belanja tertentu, akan semakin kurang peka

terhadap perubahan harga.

47
48

 Pada harga yang tinggi, orang lebih tertarik membeli barang lain yang dapat

dijadikan penggantinya. Hal ini mengurangi permintaannya terhadap

barangitu.

Didalam teori ekonomi mikro permintaan didekati pada 2 level:

a. Level individu ditunjukkan oleh Consumer Demand

b. Level aggregate ditunjukkan oleh Market Demand

Teori ini penting dalam penggunaan teori permintaan transportasi analisa

permintaan individual dapat diterapkan jika aplikasi cocok dengan prediksi yang

diteliti dari perilaku perjalanan individu dalam sistem transportasi dan permintaan

pasar/ market demand dapat diterapkan jika prediksi perilaku total sistem transportasi

dilihat dengan teliti.

Beberapa sifat perilaku consumer demand adalah:

a. Choice: ada pilihan dari consumer akan pemakaian jasa transportasi yang

tersedia, misalkan pemilihan jalan tol dan jalan non tol untuk kebutuhan

perjalanan di malam hari atau pada hari libur di mana pemakai jalan

cenderung memilih jalan non tol untuk perjalanannya karena tingkat

kepadatan jalan non tol paada waktu tersebut rendah.

b. Preference: Selera dan kecenderungan untuk memilih moda. Contohnya: di

kota Jakarta pengguna transportasi cenderung memakai kendaraan pribadi

melalui jalan raya/tol dibandingkan memanfaatkan transportasi moda kereta

api yang relatif lebih bisa menampung penumpang dalam sekali perjalanan.

48
49

Tentu saja masyarakat memiliki alasan-alasan tertentu mengapa mereka

lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding dengan angkutan

umum.

c. Level of Income: tingkat penghasilan dari pengguna transportasi

menentukan bagaimana pemilihan pemakaian transportasi yang akan

digunakannya pada level High dan Low Income pengguna transportasi

sudah captive, yaitu dimana sudah tidak ada pilihan lain. Sedangkan, pada

level medium pengguna transportasi masih memilih moda transportasi yang

digunakannya.

d. Satisfaction (kepuasan): tingkat kepuasan pengguna transportasi terhadap

sarana transportasi yang tersedia menjadi ciri dari pengguna jasa

transportasi. Sebagai contoh, ketidaknyamanan pada angkutan Kereta Api

Jabotabek antara lain over kapasitasnya gerbong kereta (berdesak-

desakannya penumpang) yang membuat sebagian pengguna transportasi

memilih Bus Patas untuk transportasinya.

e. Mengkonsumsi lebih banyak: sifat ini merupakan ciri spesifik dari

pengguna transportasi di kota metropolitan. Sebagai contoh: di kota Jakarta,

pada satu keluarga dapat terjadi 3 kendaraan pribadi digunakan dalam satu

waktu perjalanan (ayah, ibu, dan anak) dengan tujuan berbeda. Konsumsi

yang lebih banyak ini tentu saja membuat kapasitas jalan tidak bisa

mencukupi kebutuhan akan kendaraan yang jumlahnya besar tersebut.

49
50

f. Budget Constraint: Ciri lain dari pengguna transportasi dalam memilih

moda transportasinya adalah anggaran yang tersedia, keterbatasan anggaran

yang dimiliki membatasi pengguna transport untuk menggunakan

transportasi. Contohnya, untuk perjalanan di Pulau Jawa dengan pesawat

udara memerlukan ongkos yang mahal, sehingga penggunannya lebih

sedikit dibanding dengan perjalanan dengan moda transportasi kereta api

yang lebih murah.

2.5 Ability To Pay

Kemampuan membayar (Ability To Pay) adalah kemampuan seseorang dalam

membayar jasa pelayanan yang telah diterima berdasarkan nilai pendapatan yang

diangap logis/ideal. Pendekatan dalam analisis ATP adalah jumlah alokasi biaya

transportasi yang diperoleh dari nilai pendatapan yang diterima. Menurut Tamin

(1999), faktor yang mempengaruhi ATP antara lain :

1. Besaran penghasilan

2. Kebutuhan transportasi

3. Total biaya transportasi

4. Intensitas perjalanan

5. Pengeluaran total per bulan

6. Jenis kegiatan

7. Prosentase penghasilan yang digunakan untuk biaya transportasi

50
51

Dasar pendekatan dalam menghitung nilai ATP dirumuskan dengan persamaan :


Ix . Pp . Pt
ATP = ............................................................................................................................
Tr
Dimana:

ATP : daya beli penumpang

Ix : tingkat penghasilan penumpang per bulan (Rp/bulan)

Pp : presentase biaya untuk transportasi per bulan dari tingkat penghasilan

Pt : Ppresentase alokasi biaya transportasi untuk angkutan umum

Tr : total frekuensi perjalanan penumpang per bulan (trip/bulan)

2.6 Willingnes To Pay

Kesediaan membayar (Willingness To Pay) adalah kesediaan pengguna jasa

guna mengeluarkan biaya terhadap nilai jasa yang telah diperolehnya. Pendekatan

dalam analisis WTP adalah persepsi pengguna jasa terhadap tarif dari jasa

yangditawarkan. Menurut Tamin (1999) nilai WTP dalambidang transportasi

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

1. Produk jasa pelayanan transportasi

2. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan

3. Utilitas pengguna terhadap jasa pelayanan transportasi

4. Penghasilan pengguna

Dasar pendekatan dalam menghitung nilai WTP tiap opsi pekerjaan (Anggraini

dkk., 2019), dirumuskan dengan persamaan :


∑ (tarif yang dipilih x jumlah responden tiap opsi)

51
52

WTP jenis pekerjaan = ......................................................................


Jumlah seluruh responden per jenis pekerjaan
∑ (WTP jenis pekerjaan)
WTP = ...................................................................................................................
Jumlah kategori pekerjaan

Menurut Tamin (1999), pada saat menentukan tarif sering muncul kondisi

yang mengakibatkan benturan terhadap besar nilai ATP dan WTP.

1. ATP > WTP, menunjukkan kemampuan membayar lebih besar dari keinginan

untuk membayar jasa transportasi. Kondisi ini terjadi pada saat pengguna jasa

mempunyai penghasilan relatif tinggi, namun utilitas/pergerakaan dengan jasa

transportasi rendah. Pengguna jenis ini lebih dikenal dengan choice riders.

2. ATP < WTP, menunjukkan keinginan membayar lebih besar dari kemampuan

membayar jasa transportasi. Kondisi ini terjadi pada saat pengguna jasa

mempunyai penghasilan relatif rendah dibandingkan keinginan membayar jasa

transportasi, namun utilitas/pergerakaan terhadap jasa transportasi relatif tinggi.

Penggunajenis ini lebih dikenaldengan captive riders.

3. ATP = WTP, menunjukkan kemampuan membayar jasa sama dengan kesediaan

membayar jasa transportasi. Kondisi ini terjadi keseimbangan antara

utilitas/pergerakan pengguna dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk

transportasi.
Biaya per
satuan jarak
(Rp) ATP>WTP

ATP<WT

ATP=WTP

52
53

Presentase responden yang


mempunyai ATP dan WTP

Gambar 2.2 Kurva ATP dan WTP

Dalam kondisi tertentu, apabila angkutan umum dikelola oleh pemerintah

akan terjadi rangkap fungsi sebagai operator dan regulator. Bila aspek pengguna

dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif ATP dan WTP yang ditinjau, maka

prinsip yang diperhatikan adalah (Tamin dkk., 1999) :

1. WTP merupakan fungsi tingkat pelayanan, apabila nilai WTP berada dibawah

nilai ATP, ada kemungkinan untuk menaikkan tarif dengan disertai perbaikan

tingkat pelayanan transportasi.

2. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif

transportasi tidak boleh melebihi besaran nilai ATP. Campur tangan pemerintah

dalam bentuk subsidi dibutuhkan pada saat nilai tarif yang diberlakukan lebih

besar dari ATP, hingga didapat nilai tarif yang besarannya sama dengan ATP.

53
54

Gambar 2.3 Keleluasan Penentuan Tarif Berdasarkan ATP dan WTP

Gambar 2.3 Keleluasaan penentuan tarif berdasarkan ATP dan WTP Dalam

penentuan besar nilai tarif dianjurkan beberapa parameter berikut ini (Tamin dkk.,

1999) :

1. Tarif tidak melebihi nilai ATP

2. Tarif berada diantara nilai ATP dan WTP, diperlukan perbaikan tingkat pelayanan

apabilan tarif akan diberlakukan

3. Tarif berada di bawah perhitungan tarif dan diatas ATP, selisih nilai tarif tersebut

menjadi beban subsidi

4. Tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, terdapat keleluasan dalam penentuan

nilai tarif baru. Hal ini menjadi peluang penerapan subsidi silang pada jenis

kendaraan lain yang perhitungan nilai tarifnya diatas ATP.

2.7 Biaya Operasional Kendaraan (BOK)

54
55

Pembentukan tarif jasa transportasi dapat didasarkan salah satu dari tiga cara

berikut:

a. Sistem pembentukan tarif dasar produksi jasa transportasi (cost of service

pricing). Sistem ini dibentuk atas dasar biaya produksi jasa transportasi

ditambah dengan keuntungan yang layak bagi kelangsungan hidup dan

pengembangan perusahaan. Tarif yang dibentuk atas dasar produksi

dinyatakan sebagai tarif miminum di mana perusahaan tidak akan

menawarkan lagi jasa transportasinya di bawah tarif terendah itu.

b. Sistem pembentukan tarif atas dasar nilai jasa transportasi (value of service

pricing). Sistem ini didasarkan atas nilai yang dapat diberikan jasa

pelayanan transportasi. Tarif ini biasanya dinyatakan sebagai tarif

maksimum.

c. Sistem pembentukan tarif atas dasar “What the traffic will bear”yaitu tarif

berada di antara tarif minimum dan tarif maksimum. Untuk itu, dasar tarif

ini berusaha menutup biaya variabel serta sebanyak mungkin dari bagian

pada biaya tetap (fixed cost).

Biaya Operasi Kendaraan (BOK) merupakan suatu nilai yang menyatakan

besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pengoperasian suatu kendaraan. BOK terdiri

atas beberapa komponen, yaitu :

a. Biaya Tidak Tetap (Running Cost)

- Biaya Bahan bakar

55
56

- Biaya Oli / Pelumas

- Biaya Pemakaian Ban

- Biaya Pemeliharaan ( Servis kecil / besar, General Overhaul)

- Biaya Over Head ( Biaya tak terduga)

b. Biaya Tetap

- Asuransi

- Bunga Modal

- Depresiasi (Penyusutan Kendaraan)

- Nilai Waktu

2.7.1 Perhitungan BOK yang dikembangkan oleh PT. Jasa Marga dan LAPI

ITB

Komponen-komponen BOK yaitu:

a. Konsumsi Bahan Bakar

b. Konsumsi Minyak Pelumas

c. Konsumsi Ban

d. Pemleiharaan

e. Depresiasi

f. Bunga Modal

g. Asuransi

h. Persamaan dari waktu perjalanan

56
57

i. Overhead (biaya tak terduga)

2.7.2 Nilai Waktu

Nilai waktu atau nilai penghematan waktu didefinisikan sebagai jumlah uang

yang rela dikeluarkan oleh seseorang untuk menghemat satu satuan waktu perjalanan.

Pendekatan di dalam melakukan perhitungan nilai waktu dilakukan dengan asumsi

bahwa pengemudi kendaraan akan menggunakan jalan yang lebih baik untuk

menghindari kemacetan. Perhitungan ini berdasarkan teori Herbert Mohring, dimana

pengendara cenderung mencari rute dengan biaya operasi kendaraan minimum dari

beberapa alternatif jalan yang tersedia. Persamaan dari total biaya operasi kendaraan

dapat dirumuskan sebagai berikut:

Dimana :

P = Nilai waktu sesuai dengan jenis kendaraan ( Rp./jam )


F = Biaya Operasi Kendaraan ( tidak termasuk nilai waktu, Rp./km )
C = Total Biaya Operasi Kendaraan ( Rp./jam )
S = Kecepatan selama perjalanan (km/jam)

57

Anda mungkin juga menyukai