Anda di halaman 1dari 8

TAFSIR TEMATIK: AYAT TENTANG ADAB BERTAMU

Oleh: Ubaidillah A

I. PENDAHULUAN

Dalam agama Islam, semua unsur dalam kehidupan sehari-hari sudah


diatur sedemikian rupa, baik berupa perkara yang penting seperti beribadah,
menikah, berniaga, hukum pidana, dll, ataupun perkara sepeleh seperti makan,
minum, berpakaian, dll. Aturan-aturan tersebut sudah termaktub dalam al-Qur’an
atau disampaikan langsung oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.

Tidak luput dari perhatian islam adalah bagaimana adab kita dalam
bertamu dan memulyakan tamu. Tamu dalam Islam memiliki kedudukan yang
sangat terhormat, Maka itu, umat islam diperintahkan untuk memuliakan tamu,
sehingga menjadi tuntunan dan akhlak mulia. Salah satu hadith memulyakan tamu
adalah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallāhu ‘anhu;
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah
mulyakan tamu. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
sambunglah kekerabatan. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir maka berbicaralah yang baik atau diam saja”.1

Dalam bertamu, seseorang juga dituntut untuk menjaga sikap di hadapan


pemilik rumah, dan tidak berlama-lama dalam bertamu karena bisa saja pemilik
rumah merasa bosan dan juga sungkan, sebab kedudukan tamu hanya sebagai
tamu bukan penghuni tetap atau pemilik rumah. Salah satu ayat yang
menyinggung bagaimana adab kita dalam bertamu adalah surat al-Aḥzāb ayat 53.

Dalam makalah ini penulis akan mencoba mnyampaikan perincian dari


ayat 53 surat al-Aḥzāb, baik dari segi mufradat dan kedudukan ayat, asbāb an-
nuzūl, tafsir ayat, dan munasabah dengan ayat lain.

1
An- Nawawī, Riyādl aṣ-ṣāliḥīn, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1992) , 304
II. PEMBAHASAN

A. Surat al-Aḥzāb ayat 53

‫ِظ‬ ‫۟ا‬ ‫۟ا‬ ‫ِذ‬ ‫َٰٓي‬


‫َأُّيَه ا ٱَّل يَن َءاَم ُنو اَل َتْد ُخ ُلو ُبُيوَت ٱلَّنِّىِب ِإٓاَّل َأن ُيْؤ َذَن َلُك ْم ِإٰىَل َطَعاٍم َغْيَر َٰن ِر يَن ِإَنٰى ُه‬
‫َو َٰلِكْن ِإَذا ُدِعيُتْم َفٱْد ُخ ُلو۟ا َفِإَذا َطِعْم ُتْم َفٱنَتِش ُر و۟ا َو اَل ُمْس َتْٔـِنِس َني َحِلِديٍث ۚ ِإَّن َٰذ ِلُك ْم َك اَن‬
‫ُيْؤ ِذى ٱلَّنَّىِب َفَيْس َتْح ِىۦ ِم نُك ْم ۖ َو ٱلَّلُه اَل َيْس َتْح ِىۦ ِم َن ٱَحْلِّق ۚ َو ِإَذا َس َأْلُتُم وُه َّن َم َٰت ًعا َفْس َٔـُلوُه َّن‬
‫ِم ن ٓاِء ِح اٍب ۚ َٰذ ِلُك َأْط ِلُقُلوِبُك ُلوِهِبَّن ۚ ا َك اَن َلُك َأن ْؤ ُذو۟ا وَل ٱلَّلِه‬
‫ْم ُت َرُس‬ ‫َو َم‬ ‫ْم َو ُق‬ ‫ْم َه ُر‬ ‫َو َر َج‬
‫َو ٓاَل َأن َتنِكُح ٓو ۟ا َأْز َٰو َج ۥُه ِم ۢن َبْع ِدِهٓۦ َأَبًد اۚ ِإَّن َٰذ ِلُك ْم َك اَن ِعنَد ٱلَّلِه َعِظ يًم ا‬
B. Mufradat ayat

‫ُلو۟ا‬
‫ اَل َتْد ُخ‬: lafal lā tadkhulū berasal dari lafal dakhala- yadkhulu- dukhūlan- wa
madkhalan yang mempunyai arti masuk. Dalam kitab mufradat alfāẓ al-Qur’an
lafal dakhala adalah lawan dari lafal kharaja yang bermakna keluar, lafal dakhala
sendiri digunakan untuk menunjuk tempat, waktu, dan pekerjaan.2

‫وت‬
ٌ ‫ ُبُي‬: lafal buyūtun adalah bentuk jamak dari lafal baytun yang mempunyai arti
tempat menetap atau tempat untuk berteduh.3

‫ َأن ُيْؤ َذَن‬: Lafal ini berasal dari kata adzina- ya’dzanu- idznan. Al-Aṣfihanī dalam
kitab mufradat alfāz al-Qur’an menjelaskan lafaz adzina yaitu berhubungan
dengan pemberitahuan atau memberi tahu.4

2
al-Rāghīb al-Aṣfahānī, Mufradād Alfāẓ al-Qur`an, (Dimashqa: Dār al-Qalam, 2009), 309
3
Jamāl al-Dīn Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār Ṣādir, 1414 H.), 2: 14
4
al-Rāghīb al-Aṣfahānī, Mufradād Alfāẓ al-Qur`an, (Dimashqa: Dār al-Qalam, 2009), 70
‫ َط اٍم‬:
‫َع‬ dalam kitab Lisān al-arab, Jamāl al-Dīn Ibn Manẓūr mengartikan lafal

tha’āman sebagai nama dari apa saja yang bisa dimakan. 5 Seperti halnya al-
Aṣfihānī mengartikannya sebagai sesuatu yang dikonsumsi atau dimakan.6

C. Kedudukan lafal

‫ُلو۟ا‬
‫ اَل َتْد ُخ‬: Kata ini terdiri dari dua kalimat yng pertama adalah ‫ اَل‬nahi yang

kedua ‫ َتْدُخ ُلوا‬adalah fi’il mudlori’ yang di jasemkan oleh ‫اَل‬.7

‫ ُبُي وَت ٱلَّنِّىِب‬: kata ini terdiri dari susunan dua isim yang artinya adalah susunan

idlafah. Sedangkan kedudukannya sendiri menjadi maf’ul bih dari lafal ‫اَل َتْدُخ ُلوا‬.8

‫ ِإٓاَّل َأن ُيْؤ َذَن‬: lafal ‫ ِإاَّل‬merupakan adāt haṣr, sedangkan ‫ َأن ُيْؤ َذ َن‬adalah maṣdar yang

dikecualikan (istithnā’) dari perbuatan yang umum artinya dilarang masuk dalam
beberapa keadaan kecuali dalam keadaan kamu sudah diizini. Imam az-
Zamakhsyarī berpendapat bahwa pengecualiannya bukan dalam keadaannya tapi
dalam segi waktu.9

D. Asbāb al-Nuzūl al-Ayāt

Diriwayatkan dari sahabat Anas radliyallāhu ‘anhu, beliau berkata ketika


Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menikahi Zainab binti jaḥsy, beliau mengundang
orang-orang. Mereka pun memakan hidangan yang ada. kemudian mereka duduk-
duduk dan berbincang-bincang. Ketika Nabi melihat keadaan itu. Nabi berdiri,
sebagian dari mereka juga beranjak. Yang masih duduk, tinggal tiga orang. Nabi
pun masuk ke dalam rumahnya, ternyata ada sekelompok orang lagi. Kemudian

5
Jamāl al-Dīn Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār Ṣādir, 1414 H.), 12: 363
6
al-Rāghīb al-Aṣfahānī, Mufradād Alfāẓ al-Qur`an, (Dimashqa: Dār al-Qalam, 2009), 519
7
Muhy al-Dīn al-Darwīsh, I’rāb al-Qur`an wa Bayānuh, (Syria: Dār al-Irshād, 1992), 8: 39.
8
ibid
9
ibid
orang-orang ini berdiri. Aku (Anas) beranjak dan datang, aku pun melapor kepada
beliau bahwa mereka sudah pergi. Beliau datang hingga masuk rumah. Aku pun
masuk dan ternyata terdapat hijab antara aku dan beliau. Kemudian turunlah
firman Allah yaitu surat al-Aḥzāb ayat 53.10

E. Munasabah

Dalam ayat diatas mengindikasikan adanya larangan menyakiti perasaan


Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam dengan cara tidak memasuki rumah beliau
sebelum mendapat izin beliau. Hal ini selaras dengan ayat setelahnya yang
menerangkan tentang peringatan bila menyakiti Rasulullah yaitu pada surat al-
Aḥzāb ayat 57:

‫ِإَّن اَّلِذيَن ُيْؤ ُذوَن الَّلَه َو َرُس وَلُه َلَعَنُه ُم الَّلُه يِف الُّد ْنَيا َو اآْل ِخ َر ِة َو َأَعَّد ُهَلْم َعَذ اًبا ُمِه يًنا‬
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan
melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang
menghinakan.
Setelah Allah menjelaskan tentang adab dan sopan santun dalam rumah
tangga Nabi, maka ayat selanjutnya meneruskan pembahasan tentang peringatan
terhadap orang-orang yang mengganggu pribadi Rasulullah dan keluarganya. Dari
ayat diatas diterangkan bagaimana akibat menyakiti atau mencederai Allah dan
Nabi. Para ulama beranggapan cara menyakiti Allah yaitu dengan menganggap
Allah mempunyai anak atau teman.11 Dan menyakiti Nabi baik itu dari segi
ucapan seperti perkataan penyihir, dukun dan gila. 12 Ataupun dari segi perbuatan
seperti yang dijelaskan oleh surat al-Aḥzāb ayat 53.

10
Abu al-hasan Ali Al-wahidī, Asbāb al-nuzūl al-qur’an, (Dar al-kutub al-ilmiyah, 1991), 372.
Lihat juga Jalaluddin al-Suyūṭī, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Muassasah al-Kutub
al-Tsaqāfiyyah, 2002), 212.
11
Abu Abdillah Muhammad al-Qurṭūbī, al-Jāmi’ al-Aḥkām al-Qur’ān,(Beirut: Muassisah al-
Risālah, 2006)., 17: 223
12
al-Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Wasīt (Bairut: Dar al-Fikr al-Ma’āṣir, 2001)., 2085
F. Kandungan ayat

Dalam ayat ini Allah subḥānahu wata’ālā mengajarkan pada kita adab
atau etika bagaimana memasuki rumah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasalaam. Allah
melarang untuk memasuki rumah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, kecuali
sudah menerima izin dari pemilik rumah, baik itu untuk menyantap hidangan, dan
ketika menyantap makanan, jangan sibuk dengan perbincangan. Karena orang
yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah, dan sibuk berbincang-bincang itu bisa saja
melukai perasaan Nabi. Dalam ayat ini juga terkandung penjelasan ayat hijab,
seperti halnya larangan untuk tidak masuk kedalam rumah Nabi kecuali diizini,
dilarang juga melihat langsung istri-istri Nabi, dan menikahi istri-istri Nabi
sepeninggal beliau. 13

Al-Marāghī menjelaskan bahwa alasan lebih rinci mengenai larangan


masuk rumah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam kecuali diketahui bahwa hidangan
telah masak dan sudah selesai disiapkan, karena sebelum nya pemilik rumah
sedang sibuk siap-siap, terkadang mereka mengenakan pakaian jelek dan dalam
keadaan seperti ini tidak selayaknya untuk dilihat. 14 Juga karena hal tersebut bisa
mengganggu ketenangan keluarga nabi yang mana istri-istri Nabi ṣallallāhu
‘alaihi wasallam yang sedang bekerja, akan terlihat sebagian anggota tubuhnya
yang tidak boleh dilihat oleh para tamu.15

Al-Qurṭubī menjelaskan dalam tafsirnya yang dikutip dari Ibnu ‘Arabī


bahwa adanya panggilan atau undangan saja tidak bisa dikatakan sebagai izin
memasuki rumah. Tamu boleh memasuki rumah jika panggilan atau undangan
tersebut mengisyaratkan untuk masuk. al-Qurṭubī juga berkomentar bahwa dalam
ayat ini mengisyaratkan tamu tidak memakan atas kepemilikannya sendiri tetapi ia
memakan atas milik orang yang dikunjungi. Maka tidak selayaknya
memperbanyak makan.16

13
al-Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Wasīt (Bairut: Dar al-Fikr al-Ma’āṣir, 2001)., 2082
14
Ahmad Muṣṭafa al-Maraghī, Tafsīr al-Maraghī, (Mesir: Muṣṭafa al-Bānī, 1946), 22: 29
15
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Tafsirnya.,
16
Abu Abdillah Muhammad al-Qurṭūbī, al-Jāmi’ al-Aḥkām al-Qur’ān,(Beirut: Muassisah al-
Risālah, 2006)., 17: 206
Setelah adab memasuki rumah Nabi, ayat ini juga menyinggung perilaku
tamu setelahnya yaitu dengan segera keluar tanpa memperpanjang percakapan,
karena hal itu benar-benar mengganggu Nabi saw, dan beliau sendiri merasa malu
untuk menyuruh tamunya keluar. Ini menunjukkan betapa luhur akhlak Nabi
Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam yang malu mengusir tamu, kendati
kehadiran mereka mengganggu beliau. Sebenarnya, jika para tamu itu mengerti,
cukuplah mereka melihat Nabi berdiri dan keluar masuk ke kamar-kamar. 17Akan
tetapi, Allah tidak segan untuk menerangkan yang benar. Allah mengajarkan
kesopanan di dalam rumah tangga supaya diperhatikan oleh seluruh tamu-tamu
yang berkunjung ke rumah orang.18

G. Terjemah

Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu memasuki rumah-


rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu
masak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila
kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi)
malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati)
Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah
(Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.19
I. KESIMPULAN

Dari ayat 53 surat al-Aḥzāb ini dapat di ambil beberapa penjelasan


mengenai adab bertamu yakni bahwa tidak diperkenankan memasuki rumah Nabi
ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sebelum beliau mengizini. Dan apabila sudah selesai
menyantap hidangan maka segeralah beranjak tanpa asyik dengan obrolan-obrolan
.

17
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,(Jakarta: Lentera Hati,2012), 10:524
18
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Tafsirnya, 8: 33
19
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahannya
Memang benar bagian awal ayat ini menjelaskan apa yang tidak boleh kita
lakukan ketika bertamu hanya ke rumah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
Akan tetapi, jika kita analisa lebih lanjut ayat ini bisa saja bersifat umum, kerena
ayat ini mengandung makna larangan yang tidak mungkin Nabi melakukan atau
mencontohkan sesuatu yang salah lalu kemudian menjadi larangan. Jika kita
menjadikannya umum kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa saat bertamu
atau menerima undangan, kita tidak diperkenankan melakukan sesuatu yang bisa
membuat pemilik rumah menjadi kesal atau tergannggu. Baik itu sebab ucapan
atau perbuatan yang tidak mengenakkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. An- Nawawī, Riyādl aṣ-ṣāliḥīn, Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1992.


2. Aṣfahānī (al), al-Rāghīb, Mufradād Alfāẓ al-Qur`an, Dimashqa: Dār al-
Qalam, 2009.
3. Maraghī (al), Ahmad Muṣṭafā, Tafsīr al-Marāghī, Mesir: Muṣṭafa al-Bānī,
1946.

4. Darwīsh (al), Muhy al-Dīn, I’rāb al-Qur`an wa Bayānuh, Syria: Dār al-
Irshād, 1992.
5. Suyūṭī (al), Jalāluddīn, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, Beirut:
Muassasah al_Kutub al-Tsaqāfiyyah, 2002.
6. Waḥidī (al), Abu al-hasan Ali, Asbab al-nuzul al-qur’an, Dar al-kutub al-
ilmiyah, 1991.
7. Manẓūr, Jamāl al-Dīn Ibn, Lisān al-‘Arab, Beirut: Dār Ṣādir, 1414 H.
8. Zuḥaylī (al), Wahbah, Tafsīr al-Wasīṭ, Dimashqa: Dār Fikr, 2001.
9. Qurṭūbī (al), Abu Abdillah Muhammad, al-Jāmi’ al-Aḥkām al-Qur’ān,
Beirut: Muassisah al-Risālah, 2006.
10. Shihab Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,2012.
11. Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Tafsirnya.
12. Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahnya.

Anda mungkin juga menyukai