Anda di halaman 1dari 9

TINGGINYA ANGKA PERNIKAHAN DI

BAWAH UMUR DI INDONESIA

DISUSUN OLEH

NAMA : GALIH ARDIAN WIANTARA


KELAS : IX G ( 14 )
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat ALLAH Yang Maha Esa atas segala rahmat dan

hidayah-Nya yang senantiasa melimpahkan kebaikan kepada kita semua. Shalawat serta

salam tak lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah

membawa rahmat bagi seluruh alam.

Dalam kesempatan ini, dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab, saya menghadirkan

makalah yang membahas fenomena yang mengkhawatirkan, yakni tingginya angka

perkawinan di bawah umur di Indonesia. Makalah ini merupakan hasil dari upaya saya untuk

memahami serta mengungkap akar permasalahan, dampak, dan upaya yang dapat dilakukan

guna menangani masalah ini secara holistik.

Saya menyadari bahwa pernikahan di bawah umur bukanlah sekadar masalah statistik,

melainkan masalah kemanusiaan yang mempengaruhi masa depan generasi bangsa. Oleh

karena itu, saya berharap makalah ini dapat menjadi sumbangan kecil dalam upaya bersama

untuk menciptakan perubahan yang lebih baik dalam melindungi dan memberdayakan anak-

anak Indonesia.

Saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi

pembaca serta menjadi langkah awal menuju pemahaman yang lebih mendalam dan tindakan

nyata untuk mengatasi masalah perkawinan di bawah umur di Indonesia.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat menjadi titik awal bagi upaya bersama dalam

menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia. Terima kasih.
DAFTAR ISI

HAL

1.PENDAHULUAN 1.
A. LATAR BELAKANG
B. PERUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
2.PEMBAHASAN 2.
3.PENUTUP 5.
A. KESIMPULAN
1.PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Secara nasional, terdapat 11,2% anak perempuan yang menikah di bawah
usia 18 tahun, dan 0,5% dari anak perempuan tersebut menikah pada saat
mereka berusia 15 tahun,” ungkap Prof. Sonny dalam orasi ilmiahnya berjudul
“Kontroversi Perkawinan Bawah Umur: Realita dan Tantangan bagi Penegakan
Hukum Keluarga di Indonesia”. Praktik perkawinan di bawah umur di
Indonesia disebabkan berbagai hal. Mulai dari pengaruh adat, kebiasaan
masyarakat, agama, faktor ekonomi, pendidikan rendah, hingga pergaulan
remaja yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
perkawinan bawah umur di Indonesia banyak dilakukan oleh anak perempuan.
Perbandingannya, 1:9 anak perempuan menikah di bawah umur, sedangkan
untuk anak laki-laki perbandingannya 1:100.

B.RUMUSAN MASALAH
1.Apa faktor-faktor utama yang menyebabkan tingginya angka perkawinan
dibawah umur di Indonesia?
2.Bagaimana dampak perkawinan dibawah umur terhadap kesehatan fisik dan
mental para pelakunya?
3.Apa saja konsekuensi sosial dan ekonomi yang timbul akibat tingginya angka
perkawinan dibawah umur di Indonesia?
4.Bagaimana upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait
dalam menangani masalah perkawinan dibawah umur, dan seberapa efektif
upaya tersebut?
5.Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menurunkan angka perkawinan
dibawah umur, dan adakah peluang-peluang untuk menciptakan perubahan yang
signifikan dalam hal ini?

C.TUJUAN
Tujuan dibuatnya makalah tentang tingginya angka perkawinan di bawah umur
di Indonesia bisa termasuk: Pendidikan dan Kesadaran: Memperluas
pemahaman masyarakat tentang konsekuensi negatif perkawinan di bawah umur
bagi individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.
2.PEMBAHASAN
A. FAKTOR UTAMA
1. Faktor Sosial dan Budaya: Tradisi dan norma budaya yang menganggap
wajar perkawinan di usia muda masih berpengaruh di beberapa daerah di
Indonesia. Beberapa keluarga menganggap perkawinan sebagai solusi
untuk masalah sosial atau ekonomi, atau sebagai cara untuk
mempertahankan kehormatan keluarga.
2. Kurangnya Akses Pendidikan: Keterbatasan akses terhadap pendidikan
formal, terutama di daerah pedesaan atau masyarakat dengan kondisi
ekonomi rendah, menjadi faktor penting yang mempengaruhi tingginya
angka perkawinan di bawah umur. Anak-anak yang tidak mendapat akses
pendidikan cenderung memiliki lebih sedikit opsi untuk masa depan
mereka dan mungkin lebih rentan terhadap pernikahan di usia muda.
3. Kemiskinan: Keluarga miskin sering kali melihat perkawinan anak
sebagai cara untuk mengurangi beban ekonomi keluarga atau sebagai
strategi bertahan hidup. Dalam beberapa kasus, anak-anak dijual atau
dipaksa menikah untuk kepentingan finansial keluarga.
4. Ketidaktepatan Hukum: Meskipun Indonesia memiliki undang-undang
yang melarang perkawinan di bawah umur, penegakan hukum sering kali
tidak konsisten di berbagai daerah. Kurangnya penegakan hukum dapat
memberikan sinyal bahwa praktik tersebut dapat diterima atau diabaikan.
5. Keterbatasan Kesadaran dan Pendidikan Seksual: Kurangnya kesadaran
akan hak-hak anak, kesehatan reproduksi, dan pendidikan seksual yang
menyeluruh juga berkontribusi terhadap tingginya angka perkawinan di
bawah umur. Anak-anak yang tidak memiliki pengetahuan tentang
konsekuensi perkawinan di usia muda mungkin lebih rentan terhadap
tekanan untuk menikah.
6. Peran Keluarga dan Masyarakat: Dalam beberapa kasus, keluarga atau
masyarakat dapat mendukung atau bahkan mendorong perkawinan di
bawah umur, entah karena alasan budaya, ekonomi, atau lainnya. Norma-
norma sosial yang mendukung praktik tersebut dapat memperkuat
perilaku tersebut.

B.DAMPAK MENTAL DAN FISIK

1. DAMPAK MENTAL
A. Depresi dan Kecemasan: Anak perempuan yang menikah di bawah umur
rentan mengalami depresi dan kecemasan karena tekanan sosial,
perubahan peran, serta kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
tuntutan kehidupan perkawinan.
B. Rendahnya Kepercayaan Diri: Perempuan yang menikah di usia muda
mungkin mengalami rendahnya kepercayaan diri karena kurangnya
pengalaman hidup dan pendidikan yang cukup. Mereka mungkin merasa
terjebak dalam situasi yang tidak mereka pilih dan tidak memiliki kontrol
atas kehidupan mereka sendiri.
C. Pembatasan Potensi Karir: Perkawinan di bawah umur dapat menghambat
peluang pendidikan dan karir bagi anak perempuan, yang pada gilirannya
dapat menyebabkan perasaan terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan
ketergantungan.
D. Risiko Kekerasan dalam Rumah Tangga: Anak perempuan yang menikah
di bawah umur memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami kekerasan
dalam rumah tangga, baik secara fisik, emosional, maupun seksual.
Mereka mungkin tidak memiliki keterampilan atau dukungan sosial untuk
melindungi diri dari situasi tersebut.

2.DAMPAK FISIK

A. Kesehatan Reproduksi: Anak perempuan yang menikah di usia muda


memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap komplikasi kesehatan
reproduksi. Proses kehamilan dan persalinan pada usia yang sangat muda
dapat meningkatkan risiko komplikasi serius, termasuk preeklamsia,
persalinan prematur, atau bahkan kematian ibu dan bayi.
B. Kesehatan Anak: Anak yang lahir dari ibu yang masih berusia muda
memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi, termasuk bayi dengan berat
badan rendah, kelahiran prematur, serta masalah kesehatan jangka
panjang seperti kelambatan pertumbuhan atau perkembangan.
C. Kesehatan Mental: Proses adaptasi terhadap peran sebagai pasangan
suami istri dan orangtua pada usia yang sangat muda dapat
mengakibatkan stres psikologis dan emosional yang serius bagi anak-
anak tersebut. Mereka mungkin tidak siap secara emosional untuk
menghadapi tuntutan kehidupan perkawinan dan tanggung jawab sebagai
orangtua.
C.KONSEKUENSI SOSIAL DAN EKONOMI

1.SOSIAL
A. Pembatasan Pendidikan: Anak-anak yang menikah pada usia yang sangat
muda sering kali terpaksa meninggalkan sekolah untuk memenuhi
tuntutan peran sebagai pasangan suami istri dan orangtua. Ini dapat
menghambat akses mereka terhadap pendidikan yang merupakan kunci
untuk pengembangan diri dan meningkatkan kualitas hidup.
B. Risiko Kesehatan: Perkawinan di bawah umur dapat meningkatkan risiko
kesehatan fisik dan mental bagi anak-anak tersebut, seperti komplikasi
kehamilan dan persalinan, serta masalah kesehatan mental seperti depresi
dan kecemasan.
C. .Risiko Perceraian: Perkawinan di bawah umur memiliki tingkat
perceraian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perkawinan yang
terjadi pada usia yang lebih matang. Kekurangan kesiapan dan
kematangan emosional sering kali menyebabkan konflik dan
ketidakharmonisan dalam hubungan perkawinan.

2.EKONOMI
A. Keterbatasan Peluang Ekonomi: Anak-anak yang menikah pada usia
muda sering kali memiliki keterbatasan akses terhadap peluang ekonomi.
Mereka mungkin tidak memiliki keterampilan atau pendidikan yang
cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga tetap
terperangkap dalam kemiskinan.
B. Ketergantungan Finansial: Anak-anak yang menikah pada usia muda
mungkin menjadi tergantung pada pasangan mereka atau keluarga mereka
untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Hal ini dapat mengakibatkan
ketidakstabilan finansial dan ketergantungan yang berkelanjutan .

D.UPAYA PEMERINTAH

1.Peraturan dan Undang-Undang: Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan


undang-undang yang melarang perkawinan di bawah umur. Salah satu
contohnya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang menetapkan batas usia minimal untuk menikah.

2.Program Pendidikan dan Kampanye: Pemerintah dan lembaga non-pemerintah


telah meluncurkan program pendidikan dan kampanye sosialisasi untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya perkawinan di bawah
umur. Ini meliputi penyuluhan di sekolah-sekolah, komunitas, dan media massa.

3.Pemberdayaan Perempuan dan Anak: Program pemberdayaan perempuan dan


anak telah diperkuat untuk memberikan akses yang lebih besar terhadap
pendidikan, kesehatan reproduksi, dan peluang ekonomi bagi perempuan dan
anak-anak, sehingga mereka memiliki lebih banyak pilihan dan kontrol atas
kehidupan mereka sendiri.

E.TANTANGAN YANG DIHADAPI KETIKA MENEKAN ANGKA


PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

1.Norma Budaya dan Sosial: Norma budaya yang mendukung perkawinan di


usia muda masih kuat di beberapa daerah di Indonesia. Mengubah norma-norma
ini memerlukan pendekatan yang sensitif secara budaya dan upaya yang
berkelanjutan

2.Keterbatasan Akses Pendidikan: Keterbatasan akses terhadap pendidikan


formal, terutama di daerah pedesaan atau masyarakat dengan kondisi ekonomi
rendah, menjadi faktor penting yang mempengaruhi tingginya angka
perkawinan di bawah umur. Meningkatkan akses pendidikan adalah tantangan
tersendiri.

3.Penegakan Hukum yang Konsisten: Meskipun sudah ada undang-undang yang


melarang perkawinan di bawah umur, penegakan hukum masih belum optimal
di beberapa daerah. Diperlukan penegakan hukum yang konsisten untuk
mencegah praktik ini.

3.PENUTUPAN
A.KESIMPULAN
Perkawinan di bawah umur adalah masalah serius yang mempengaruhi
kesejahteraan fisik, mental, sosial, dan ekonomi anak-anak di Indonesia.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait
untuk menangani masalah ini, tantangan yang kompleks masih terus ada.

Norma budaya yang mendukung praktik perkawinan di usia muda, keterbatasan


akses pendidikan, penegakan hukum yang tidak konsisten, kemiskinan, dan
kurangnya kesadaran tentang hak-hak anak serta kesehatan reproduksi menjadi
beberapa faktor utama yang menghambat penurunan angka perkawinan di
bawah umur.

Namun, ada peluang untuk menciptakan perubahan yang signifikan dengan


memperkuat kerjasama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor
swasta, dan masyarakat sipil. Pemberdayaan perempuan dan anak, peningkatan
akses pendidikan, program pendidikan dan kesadaran masyarakat, serta
investasi dalam pendidikan adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk
mengatasi masalah ini.

Dengan pendekatan yang holistik, komprehensif, dan berkelanjutan, Indonesia


memiliki potensi untuk mengurangi angka perkawinan di bawah umur dan
menciptakan lingkungan yang lebih aman, sehat, dan inklusif bagi anak-anak di
masa depan. Diperlukan komitmen bersama dari semua pihak untuk mencapai
tujuan ini dan memastikan hak-hak anak dilindungi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai