Anda di halaman 1dari 36

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Prestasi Akademik

1. Pengertian Prestasi Akademik

Prestasi akademik berarti pengetahuan, pemahaman atau keterampilan

yang diperoleh setelah instruksi dan pelatihan kursus atau subjek penelitian. Hal

ini umumnya diukur dengan cara total nilai siswa yang diperoleh mereka dalam

kelas tertentu. Prestasi akademik tergantung pada berbagai faktor yang secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhinya. Di masa lalu gagasan aneh yang

dimiliki dalam pikiran besar serta orang-orang biasa adalah bahwa prestasi

akademik hanya tergantung pada kecerdasan. Dengan eksplorasi pengetahuan

baru, telah menyadari bahwa ada faktor-faktor lain, yang sama pentingnya dengan

kecerdasan (Gupta, 2013 : 97).

Prestasi menandakan prestasi atau keuntungan atau kinerja dilakukan

dengan sukses oleh seorang individu atau kelompok pada penyelesaian tugas

apakah itu akademis, pribadi atau sosial. Dengan demikian, prestasi berarti semua

perubahan perilaku yang terjadi dalam individu sebagai hasil dari pengalaman dari

berbagai jenis belajar. Prestasi akademik menurut Lawrance & Vimala (2012 :

210) merupakan ukuran pengetahuan yang diperoleh dalam pendidikan formal

biasanya ditunjukkan dengan nilai tes, kelas, poin kelas, rata-rata dan derajat.

Dengan prestasi akademik juga berarti kemampuan kinerja pada umumnya

diukur dengan alat standar atau tes, tindakan mencapai akhir atau melaksanakan

tujuan. Prestasi umumnya diterapkan untuk kinerja dalam tes pendidikan daripada

1
2

psikotes yakni menyiratkan demonstrasi kemampuan yang diperlukan,

keterampilan, pengetahuan atau pemahaman dari kapasitas yang melekat (Gupta,

2013 : 98).

Prestasi akademik yang dimaksud dalam penelitan ini adalah tingkat

penguasaan siswa (penguasaan kognitif) terhadap materi pelajaran baik yang

berupa pengetahuan, sikap/nilai maupun keterampilan yang sudah dipelajari di

sekolah dan berupa nilai rata-rata, yang didapatkan dari nilai rapor siswa.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Akademik

Pencapaian prestasi akademik di sekolah, ditentukan dan dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Pada umumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi

akademik dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal

(Eggen & Kauchak, 2007; Hill & Craft, 2003). Sedangkan menurut Deka (1993),

faktor yang mempengaruhi prestasi akademik yaitu faktor intelektual dan faktor

non-intelektual (kepribadian, ketekunan, motivasi, tujuan pendidikan dan

pekerjaan, status sosial ekonomi, dan tingkah laku bersekolah). Selanjutnya

pendapat yang berbeda diungkapkan Crosnoe, dkk. (dalam Farooq, dkk., 2011)

bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi akademik diklasifikasikan ke dalam

empat kelompok, yaitu: (a) faktor siswa, (b) faktor keluarga, (c) faktor sekolah,

(d) faktor kelompok sebaya (peer group)

Beberapa peneliti menegaskan, bahwa prestasi akademik terkait dengan

banyak variabel seperti motivasi berprestasi (Mc Clelland, 1962), konsep diri

akademik (Calhoun & Acocella, 1990), Berpikir Lateral (De Bono, 1970),

Kemampuan mengambil perspektif orang lain (Selman, 1980; Kohlberg, 1984;

Rodriguez, 1989). Dengan kata lain, para peneliti menyepakati bahwa


3

kemampuan (ability) kognitif merupakan salah satu dan bukan satu-satunya faktor

penentu pencapaian prestasi akademik, sehingga mempertimbangkan peran

variabel lain yaitu faktor internal yang salah satunya adalah faktor psikologis.

Faktor psikologis merupakan hal-hal yang secara tidak langsung terkait dengan

intelektual, potensi akademik, maupun proses kognitif siswa. Yang termasuk

faktor psikologis dalam penelitian ini yaitu perilaku siswa yang dispesifikkan

dalam motivasi berprestasi, konsep diri akademik, berpikir lateral, dan

kemampuan mengambil perspektif orang lain.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Akademik

1. Motivasi Berprestasi

a. Pengertian Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi menurut Hofer et.al. (2010) didefinisikan sebagai

suatu disposisi menuju kesuksesan kompetisi melalui beberapa standard

keunggulan. Karakteristik individu yang memiliki kebutuhan kuat untuk

berprestasi diketahui melalui perubahan tugas-tugas kompeten untuk berbuat dan

mendapat kepuasan dari kemampuan pribadi. Motivasi berprestasi merupakan

aspek penting berkaitan dengan performansi akademik siswa. Oleh karena itu,

variabel ini dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang berasal dari diri siswa

berkaitan dengan proses belajar dan hasil belajar di sekolah. Eaton dan Dembo

(2004) mengartikan motivasi berprestasi sebagai kondisi yang muncul dalam diri

siswa yang dapat memberikan daya dorong (inpectus) terhadap belajar dan

penampilan apa yang telah dipelajari siswa dari proses pembelajaran di kelas.

Motivasi berprestasi diartikan oleh Brophy (2004), Ricco et.al (2010), Elliot &
4

Dweek (2005) sebagai energi yang menggerakkan, mengarahkan dan memperkuat

tingkah laku belajar seseorang untuk mencpai prestasi. Selanjutnya menurut Elliot

et.al (2000) motivasi dalam belajar merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kegiatan belajar dan hasil belajar seseorang.

McClelland dalam Elliot & Dweck (2005) menyebutkan bahwa motivasi

berprestasi adalah suatu usaha untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya dengan

berpedoman pada suatu standar keunggulan tertentu (standards of exellence).

Siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi adalah mereka yang terdorong

untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki kearah pencapaian hasil

belajar yang tinggi dengan kompetensi yang positif. Begitu pula siswa yang

memiliki motivasi tinggi dalam berprestasi, selalu berusaha mempelajari berbagai

sumber yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal yang sulit.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi

merupakan aktivitas dalam diri individu (motivasi intrinsik), yang mendorong

individu berbuat/bertindak mencapai keberhasilan atau prestasi yang baik, dan

apabila menghadapi kegagalan bukannya menyalahkan orang lain (guru) tetapi

menyadari usahanya belum maksimal sehingga perlu meningkatkan lagi usaha

belajarnya.

b. Jenis Motivasi

Motivasi dikelompokkan menjadi dua yakni motivasi intrinsik dan

motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah sesuatu yang dari luar

mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan sesuatu (cara untuk mencapai

suatu tujuan). Menurut Santrock (2008), Schunk, Pintrich & Meece (2008), Slavin

(2009) jenis motivasi ini dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti penghargaan
5

dan hukuman. Jenis motivasi ini dalam proses pembentukan pribadi kurang

bertanggungjawab, sebab individu melakukan sesuatu bukan karena dorongan dari

dalam (motivasi intrinsik). Dalam dunia pendidikan bila seseorang siswa

mengembangkan motivasi ekstrinsik studinya akan kurang lancar bila selalu

mengharapkan dukungan dari luar. Motif intrinsik dan motif ekstrinsik didasarkan

pada datangnya penyebab suatu tindakan. Tndakan yang digerakkan oleh suatu

sebab yang datang dari luar diri individu disebut motivasi ekstrinsik.

Motivasi ekstrinsik pada dasarnya merupakan tingkah laku yang

digerakkan oleh kekuataan eksternal individu. Menurut Eggen & Kauchak (2007)

bahwa individu memiliki motivasi ekstrinsik jika individu tersebut memilih

pekerjaan yang mudah, rutin, sederhana dan dapat diramalkan, melakukan

kegiatan hanya semata-mata untuk mendapatkan hadiah, ketergantungannya pada

orang lain, lebih percaya pada orang lain. Menurut Pintrich, et.al (1990) motivasi

ekstrinsik ialah motivasi yang keberadaannya karena pengaruh rangsangan dari

luar. Motivasi ekstrinsik bukan merupakan perasaan atau keinginan yang

sebenarnya ada dalam diri individu untuk belajar.

Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri seeorang

(internal) untuk melakukan sesuatu demi hal itu sendiri (sebuah tujuan). Campbell

(1990) menyatakan motivasi intrinsik adalah penghargaan internal yang dirasakan

seseorang jika mengerjakan tugas. Dalam pemahaman bahwa seseorang dapat

merasakan adanya penghargaan jika dapat mengerjakan suatu tugas, dan tugasnya

dapat diterima. Elliot et.al (2000) mendefinisikan motivasi intrinsik sebagai suatu

dorongan yang ada dalam diri individu yang mana individu tersebut merasakan

senang dan gembira setelah melakukan serangkaian tugas. Jadi pada dasarnya
6

motivasi intrinsik sudah ada dalam diri individu dan dapat terlihat apabila

melakukan serangkaian tugas dan sukses.

Thornburg (1994) berpendapat bahwa motivasi intrinsik ialah keinginan

bertindak yang disebabkan faktor pendorong dari dalam diri individu dalam

proses belajar siswa yang memiliki motivasi intrinsik dapat dilihat pada

kegiatannya yang tekun dalam mengerjakan tugas-tugas belajar karena ia merasa

butuh dan ingin mencapai hasil belajar yang baik. Tujuan siswa tersebut

sebenarnya ingin menguasai apa yang sedang dipelajari. Gage & Berliner (1984)

Rico, Piere & Madinilla (2011) mengemukakan bahwa individu yang termotivasi

secara intrinsik aktivitasnya lebih baik dalam belajar daripada individu yang

termotivasi secara ekstrinsik. Siswa yang memiliki motivasi intrinsik

menunjukkan keterlibatan dan aktivitasnya yang tinggi dalam belajar. Siswa

seperti ini mencapai kepuasan kalau ia dapat memecahkan pelajaran dan

mengerjakan tugas-tugas dalam belajarnya dengan baik.

Motivasi intrinsik bertumbuh dalam diri seseorang tanpa paksaan dari luar.

Motivasi intrinsik memiliki nilai yang lebih besar dari motivasi ekstrinsik, karena

dorongan dari luar hanya digunakan untuk menimbulkan motivasi yang ada di

dalam diri setiap individu. Motivasi intrinsik yang dimiliki siswa dalam belajar

akan semakin tinggi prestasi belajar yang dicapai. Siswa yang memiliki motivasi

intrinsik yang besar akan menjadi lebih aktif dan dapat belajar tanpa perintah atau

paksaan dari orang lain. Kurangnya motivasi intrinsik dpat pula disebabkan oleh

ketidak matangan tingkat intelektual, emosi dan sosial.


7

2. Konsep Diri Akademik

a. Pengertian Konsep Diri Akademik

Konsep diri akademik merupakan bagian dari konsep diri mayor, yang di

dalamnya terdapat berbagai macam konsep diri spesifik. Konsep diri yang spesifik

yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini adalah konsep diri spesifik yang

berkaitan dengan kemampuan akademik itu sendiri, kemampuan untuk

menghasilkan pekerjaan yang baik, dan konsep diri spesifik yang berkaitan

dengan kemampuan untuk memperoleh nilai yang lebih baik (Brookover, dalam

Cohen, 1976).

Menurut Hanna, Suggett & Radtke (2008); Ormrod (2009) konsep diri

terbentuk atas dua komponen, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif.

Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya dari

penjelasan "siapa saya" yang akan memberi gambaran tentang diri saya (individu).

Gambaran diri tersebut akan membentuk citra diri. Komponen konsep diri

kognitif disebut gambaran diri adalah pengetahuan individu tentang dirinya

mencakup pengetahuan "siapa saya" yang memberikan gambaran tentang dirinya.

Konstruk psikologis yang menyajikan persepsi-persepsi self yang dibentuk dari

nilai-nilai yang dominan (termasuk standar-standar, keyakinan-keyakinan, dan

tujuan-tujuan dari dan untukdiri (self) disebut gambaran diri berorientasi

kepadamasa lalu, sekarang danyang akan datang

Komponen afektif disebut self-esteem adalah penilaian individu terhadap

dirinya sendiri yang akan membentuk bagaimana penerimaan terhadap diri dan

hargadiri individu. Menurut Wigfield & Karpothian dalam Ferla; Volche; Cai

(2009), Tan & Yates (2007), Tang (2011) bahwa konsep diri berkenaan dengan
8

pengetahuan individu dan persepsi tentang dirinya dalam situasi akademik.

Selanjutnya Krause, at.al. (2010) konsep diri menekankan kepada keyakinan

individu pada kecakapan atau keterampilan akademik. Damrongpanit, Reungtragul

& Pittayanon (2010) mendefinisikan konsep diri sebagai suatu persepsi individu

tentang keyakinan dirinya terhadap materi akademik. Pendapat tersebut

mendukung pendapat sebelumnyajadi pada dasarnya yang dimaksud konsep diri

dalam pembahasan ini adalah suatu gambaran darisiswa bahwa yakin

menyelesaikan studinya dengan baik. Jadi pada intinya konsep diri merupakan

pengetahuan, persepsi individu terhadap kesuksesannya dalam proses

pembelajaran.

Aspek individu tentang dirinya sekurang-kurangnya mencakup lima aspek

dari diri menurut Calhoun dan Acocella (1990) yaitu pertama, diri menyangkut

fisik, tubuh dan semua aktivitas biologis berlangsung di dalamnya. Diri fisik yang

dimaksud yaitu indikasi bagaimana individu melihat dirinya dari segi fisik,

kesehatan, penampilan diri dan gerak motorik. Kedua, diri sebagai proses yang

dimaksud adalahdimana dalam diri terdapat akal pikiran, emosi, dan perilaku yang

lain. Diri proses adalah suatu penilaian terhadap diri dalam kegiatannya sekarang

untuk membentuk dirinya,dalam hal ini sebagai siswa. Ketiga, adalah diri sosial

terdiri atas akal pikiran dan perilaku sosial. Diri sosial yang dimaksud yaitu

bagaimana cara berkomunikasi dalam keluarga, sekolah dan berinteraksi sosial

dalam masyarakat. Keempat adalah dirinya masing-masing yaitu konsep diri,

dimaksudkan adalah apa yang terlintas dalam pikiran saat berpikir tentang dirinya.

Diri pribadi yaitu bagaimana seseorang menggambarkan identitas dirinya dan

bagaimana penilaian dirinya sendiri. Kelima yaitu cita-cita diri yaitu apa yang
9

anda inginkan. Cita-cita diri dimaksudkan adalah harapan-harapan dari siswa

terhadap dirinya yang berkaitan dengan karir ataupun masa depan studinya.

Konsep diri spesifik yang berkaitan dengan kemampuan akademik adalah

bagaimana siswa dalam memandang dan memahami kemampuan akademiknya

jika dibanding dengan teman-teman dekatnya, teman sekelasnya, dan atau teman-

temannya dalam satu sekolah, apakah kemampuan dirinya yang terbaik, ataukah

di atas rata-rata, ataukah kemampuannya rata-rata, atau bahkan di bawah rata-rata

atau dirinya yang paling rendah (Brookover, dalam Cohen, 1976).Konsep diri

spesifik yang lainnya adalah berupa keyakinan akan kemampuan diri siswa untuk

mendapatkan prestasi akademik yang memuaskan. Sebagai mana diketahui bahwa

untuk menggapai cita-cita, seperti misalnya menjadi dokter, ilmuwan, guru dan

sebagainya,seorang siswa dituntut untuk mendapatkan prestasi yang tinggi, dan

mampu melalui dan mengatasi tantangan akademik yang sulit sekalipun. Untuk

hal tersebut bagaimana siswa memandang dirinya dan memahami dirinya, apakah

siswa sangat mungkin, agak mungkin, atau tidak yakin di antara keduanya, tidak

mungkin, atau bahkan sangat tidak mungkin untuk mengatasinya (Brookever,

dalam Cohen, 1976).

Menurut Brookever selanjutnya (dalam Cohen, 1976), bahwa setiap siswa

pasti akan memperoleh tugas-tugas dari gurunya, dalam kaitan ini bagaimana

siswa dalam memandang dan memahami dirinya berkaitan dengan pekerjaannya

tersebut, apakah ia menilai dirinya mampu melakukan pekerjaan dengan sangat

baik atau hanya sebaliknya. Begitu pula konsep diri dalam hal kemampuan siswa

untuk memperoleh nilai, apakah mereka mampu memperoleh nilai tertinggi

ataukah sebaliknya.Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa konsep diri


10

kemampuan akademik, adalah pandangan, atau citra, atau gambaran diri siswa

terhadap potensi- potensi kemampuan akademik yang dimilikinya, dan keyakinan

akan kemampuan dirinya untuk mengatasi kesulitan tantangan-tantangan

akademis yang dihadapinya.

b. Jenis Konsep Diri

Konsep diri dibedakan menjadi dua konsep diri positif dan konsep diri

negatif (Calhoun&Acocella 1990, Showers & Boyce dalam Elliot 2008). Kedua

jenis konsep diri tersebut selanjutnya dapat diuraikan sebagui berikut:

a. Konsep diri positif

Konsep diri positif sangat erat hubungannya dengan penerimaan diri.

Penerimaan diri maksudnya bahwa orang dengan konsep diri positif mengenal

dirinya dengan baik sekali. Orang yang memiliki konsep diri positif dapat

menerima dan memahami sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang

dirinya sendiri. Ciri konsep diri yang positif adalah pengetahuan yang luas dan

bermacam-macam tentang diri, pengharapan yang realistis, dan harga diri yang

tinggi.Temuan dari studi-studi yang dilakukan oleh Coopersmith (dalam Burns

1993) menyatakan bahwa konsep diri yang positif lebih mungkin timbul apabila

anak-anak diperlakukan dengan penghargaan, diberikan standard-standard yang

didefinisikan dengan jelas dan baik, dan diberikan pengharapan-pengharapan

sukses yang masuk akal, dalan perlakuan seperti ini konsep diri anak akan

berkembang dengan baik.

b. Konsep diri negatif

Konsep diri negatif ada dua jenis, pertama pandangan seseorang tentang

dirinya sendiri benar-benar tidak teratur seperti tidak memiliki keutuhan diri,
11

benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya, atau apa

yang dapat dihargai dalam hidupnya. Tipe kedua dari konsep diri negatif

merupakan konsep diri pertama di mana konsep diri itu terlalu stabil dan terlalu

teratur atau kata lain kaku. Orang dengan konsep diri tidak teratur atau konsep diri

sempit benar-benar tidak memiliki informasi yang sesuai dengan dirinya.

Penelitian Dobson dan Shaw dalam (Calhoun & Acocella 1990) menunjukkan

bahwa konsep diri negatif sering kali berhubungan dengan depresi klinis atau

mengalami kecemasan. Ciri konsep diri negatif adalah pengetahuan yang tidak tepat

tentang diri sendiri, pengharapan yang tidak realistis, dan harga diri yang rendah.

3. Kemampuan Mengambil Perspektif dari Orang Lain

a. Pengertian Kemampuan Mengambil Perspektif dari Orang Lain

Psikologi kontemporer teori “social cognition” merupakan payung bagi

penelitian yang berkaitan dengan proses kognitif yang terkait dengan interaksi

sosial, tentang bagaimana memahami orang lain, berinteraksi dengan orang lain

dengan latar belakang yang berbeda. Dalam konteks seperti ini asumsi-asumsi

dasar teori psikologi kognitif dibangun oleh batuan teori-teori psikologi sosial

(Maxwell, 2008). Kognisi sosial dapat dipahami sebagai struktur dari proses

kognitif yang membuat manusia memahami situasi sosial dan menghubungkannya

dengan reaksi yang sesuai dengan situasi sosial yang terjadi. Asumsi mendasar

dari penelitian tentang kognisi sosial adalah gagasan bahwa representasi mental

dalam diri individu terhadap orang lain dan situasi sosial yang melingkupi dirinya

merupakan penyebab utama munculnya perilaku.


12

Tugas utama penelitian sosial berusaha memahami situasi yang spesifik

dan khusus dalam struktur dan proses beroperasinya. Secara teoritis dapat

digambarkan kaitan antara (a) informasi tentang tanda-tanda yang menunjuk pada

pengalaman yang didapat individu dalam lingkungan sosialnya, (b) representasi

mental yang dibentuk oleh pengalaman individu, (c) bagaimana representasi

mental ini dimanipulasi dan berproses untuk mempengaruhi pilihan perhatian dan

kognisis seseorang, (d) keputusan, penilaian dan prilaku yang dilahirkan dari

prosessebelumnya (Bodenhausen, Macrae, dan Hugenberg, 2003). Adapun

gambar mengenai Model Teori Kognisi Sosial dapat dilihat pada gambar 2.1

Pengalaman Keputusan,
The
langsung dari
Mind penilaian &intensi
lingkungan sosial

Representasi skema, Proses memilih pusat


stereotipe, narasi, dsb perhatian dan menafsirkan

Gambar 2.1. Bagan Model Teori Kognisi Sosial dari Bodenhausen,

Macrae, dan Hugenberg, 2003


13

Salah satu isu terkait bagaimana interaksi antara pengalaman sosial,

kognisi dan perilaku atau keputusan yang diambil dalam teori kognisi sosial

adalah bagaimana seseorang dapat menduga perasaan, maksud, dan fikiran orang

lain (Maxwell, 2008). Proses dan kompetensi ini dinamakan sebagai “perspective-

taking” (Decety& Ickes,2009) yang merupakan domain kognitif dari empati

(Hojat,2006; Maxwell, 2008; Slote, 2007). Perkembangan empati hingga abad ke-

20 ini semakin banyak diaplikasikan dalam hubungan antar manusia, dengan

memunculkan dua ranah penting dalammenjelaskan konsep ini yaitu pertama

mengacu pada komponen afektif dari empati, dan kedua pada komponen kognitif

dari empati (Zoll&Enz, 2010).

Selanjutnya Hall & Mast (2007) dengan melihat perkembangan lebih jauh

mengenai empati maka secara umum aspek-aspek empati yaitu ada dua aspek

kognitif dan aspek afektif. Pada aspek kognitif dilekankan pada bagimana

seseorang mengambil perspektif dari orang lain. Untuk mencapainya maka

seseorang harusmemusatkan perhatiannya pada orang lain, membaca

isyarat-isyarat ekspresif dan isyarat dalam konteks situasional. Cox

(2001), mengemukakan bahwa ada tiga tingkatan dalam perkembangan

empati, yakni:empati kognitif, empati afektif dan empati perilaku. Empati

kognitif merupakan tingkatan paling dasar dari empati. Dengan empati

kognitif yang dimiliki seseorang dapat mengetahui perasaan orang lain dan

menyadari bahwa perasaan itu mungkin berbeda dengan perasaannya

sendiri. Secara teoritis komponen empati kognitif memberikan sebuah

dasar untuk semua perkembangan empati.


14

Empati dalam konteks penelitian dilihat sebagi aspek kognitif atau

disebut dengan istilah empati kognitif merupakan proses “introspective,

objective and effortful process of attempting to understand other people’s thought

and emotion”. Proses kognitif yang melibatkan instropeksi diri, objektif dan

upaya keras untuk mendapatkan pergertian terhadap pemikiran dan

perasaan orang lain. Kompetensi ini sering disebut dengan istilah lain

untuk menggantikan empati kognitif dengan istilah “perspective taking

”(Maxwell, 2008). Kemampuan mengambil perspektif dari orang lain

menurut Galinsky (2010) kondisi seseorang yang memiliki perspektif

tentang orang lain, melibatkan kemampuan intelektual untuk berfikir

bagaimana pikiran dan perasaan orang lain, mengesampingkan pikiran dan

perasaan diri sendiri untuk mencoba merasakan seperti apa yang orang lain

pikirkan dan rasakan. Dengan demikian seseorang untuk bisa memiliki

kemampuan tersebutharus menanggalkan egosentrisme sebagai lawan dari

kemampuan mengambil perspektif dari orang lain.

Menurut Seligman (1995) kemampuan mengambil perspektif dari

orang laintermasuk dalam tahap problem solving yang harus dikuasai oleh

anak agar tetap optimis dalam menanganipermasalahan yang dihadapinya

dengan orang lain. Kemampuan siswa berhubungan dengan orang lain adalah

tergantung pada kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses

semua informasiyang ada pada proses sosial. Kemampuan ini antara lain

kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterpretasikan isyarat sosial dengan

cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi korsekuensi dari beberapa

kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan (Robinson &
15

Garber, 1995). Flavell et.al (dalam Martin, 2008) mendefinisikan kemampuan

mengambil perspektif dari orang lainsebagai: “the general ability and

disposition to "take the role”of another person in the cognitive sense "

kemampuan umum dan disposisi untuk " mengambil" peran orang lain dalan arti

kognitif, yaitu untuk menilai respon kapasitas dan kecenderungan dalam suatu

situasi tertentu dan lebih spesifik kemampuan untuk menggunakan pemahaman

tentang peran orang lain sebagai alat dalam berkomunikasi secara efektif.

Menurut Johnson (2009) kemampuan mengambil perspektif dari orang

lainadalah kemampuan untuk memahami bagaimana situasi muncul ke orang lain

dan bagaimana orang tersebut bereaksi secara kognitif dan emosional terhadap

situasi. Kebalikan dari kemampuan mengambil perspektif dari orang lain

adalah egosentrisme. Dalam kemampuan mengambil perspektif dari orang

lain melibatkan (a) penilaian yang realistis berdasarkan kepentingan bersama dan

manfaat umum, keprihatinan, keuntungan dan kebutuhan untuk membangun, (b)

pemahaman bagaimana orang lain melihat masalah dalam rangka untuk dapat

mengusulkan alternatif kesepakatan yang akan memuaskan kedua belah pihak dan

(c) secara akurat menilai validitas dan manfaat relatif dari semua masalah.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

kemampuan mengambil perspektif dari orang lainadalah kemampuan umum

memposisikan peran orang lain dalam ranah kognitif dan bagaimana seseorang

bereaksi secara kognitif terhadap situasi yang muncul, sehingga dapat

menyelesaikan konflik dengan orang lain secara efektif. Kemampuan

mengambil perspektif dari orang laindapat diukur dengan mengukur beberapa

komponen yang ada dalam kemampuan mengambil perspektif dari orang


16

lainyaitu: a) memiliki kemampuan memahami tentang perespektif orang lain, b)

kemampuan intelektual untuk memahami pikiran orang lain dalam situasi sosial

dan c) reaksi kognitif yang muncul terhadap orang lain.

b. Aspek Kemampuan Mengambil Perspektif dari Orang lain

Menurut Martin (2008) aspek kemampuan mengambil perspektif dari

orang lain adalah (a) sebagai orientasi holistik bagi seseorang untuk situasi

dimana mereka bertindak dengan orang lain, (b) memiliki dimensi persepsi,

afektif, kognitif, melalui proses yang beraneka ragam dan (c) pengalaman.

Johnson (2009) mengemukakan ada lima aspek dari kemampuan mengambil

perspektif dari orang lain. Pertama, setiap orang memiliki perspektif yang unik.

Perspektif seseorang dikembangkan sebagai hasil dari cara dimana seseorang

menanggapi pengalaman pada waktu bayi, anak, remaja dan dewasa. Seseorang

telah mengembangkan perespektif atas dasar tanggapan terhadap pengalaman

hidupnya. Tidak ada dua orang akan melihat masalah dengan cara yang persis

sama. Kedua, perspektif seseorang memilih dan mengatur apa yang dialaminya

dari pengalaman. Jika seseorang ingin mempengaruhi orang lain, maka perlu

memahami kekuatan empati atau sudut pandang dan untuk merasakan kekuatan

emosional dengan yang dipercaya.

Perspektif seseorang mampu mengubah dan merefleksikan peristiwa

dalam hidupnya. Perspektif seseorang mampu untuk memahami perspektif lain

dan mengubah kemampuan seseorang untuk mencari solusi integratif dalam

konflik. Ketiga, setiap orang dapat memiliki perspektif yang berbeda pada waktu

yang berbeda. Keempat, pesan yang sama dapat berarti dua hal yang sangat

berbeda dari dua perspektif berbeda. Kelima, salah paham sering terjadi karena
17

kita mengasumsikan bahwa setiap orang melihat sesuatu dari perspektif yang

sama seperti kita.

c. Tahapan Kemampuan Mengambil Perspektif dari Orang Lain

Kemampuan mengambil perspektif orang lain yaitu memahami cara

berpikir dan perasaan orang lain, sehingga berpengaruh pada perilaku individu

Jarvela & Hakkimen (2003: 6) menyatakan kemampuan mengambil perspektif

orang lain terdiri dari (a) tidak membeda-bedakan atau egosentris, (b) mengambil

peran subjektif, (c) memikirkan diri sendiri atau orang lain dan perspektif timbal

balik, (d) orang ke-tiga dan saling mengambil perspektif, secara mendalam dan (e)

kemampuan mengambil perspektif simbolik dari social. Lebih lanjut, Enright dan

Lapsley (1980: 649) menyatakan mengambil peran diklasifikasikan dalam dua

konstruksi yaitu kognitif dan afektif, kognitif mengacu kemampuan anak untuk

berpikir mengenai pikiran orang lain dan afektif mengacu memahami secara

subjektif mengenai keadaan atau perasaan orang lain.

Mengambil peran dan kemampuan mengambil perspektif dari orang lain

merupakan bagian dari kognisi sosial, kedua hal tersebut saling menggantikan,

sehingga pernyataan tersebut menunjukkan individu yang menggunakan

kemampuan mengambil perspektif orang lain mengacu pada penggunaan kognitif

dan afektif untuk memahami keadaan orang lain. Rodriguez (1992: 46-47)

mengadaptasi pendapat dari Kohlberg (1984), Common & Rodriguez (1990),

Rodriguez (1989) &Selman (1980) menyatakan tahapan kemampuan mengambil

perspektif orang lain meliputi (a) mengakui setiap individu memiliki perpsektif

yang berbeda sesuai dengan kepentingan masing-masing, (b) merenungkan bahwa

setiap perilaku yang ditunjukkan diri sendiri berdampak terhadap perilaku orang
18

lain, (c) mengamati dan menggeneralisasikan bahwa perilaku orang lain dapat

berdampak pada perilaku seseorang, (d) individu menggambarkan sebab dan

akibat dari perilaku orang lain, (e) menggambarkan hubungan logis antara semua

peristiwa yang berbeda dalam sistem sosial sebagai bentuk interaksi (bergantung

pada kerangka dan orientasi pengamat), (f) metasistematis (mengamati dengan

cara berbeda, dimana situasi tertentu dapat ditafsirkan).

Metasistematis diartikan sebagai individu menggunakan perspektif sosial

masyarakat untuk menggambarkan interpretasi yang dimiliki, sehingga berbentuk

hubungan kausal antara seseorang dengan individu lain dan masyarakat.

Hubungan kausal tersebut berhubungan dengan pikiran, perasaan dan perilaku

yang dihasilkan. Novak (2012) menyatakan tanda kemampuan mengambil

perspektif orang lain, yaitu (a) Pengembangan MRO (Mutually Responsive

Orientation);, (b) Perhatian bersama; (c) Mengacu sosial; dan (d) Tanggapan

relasional dua arah. Lebih lanjut, pendapat tersebut dapat dijelaskan

pengembangan MRO (Mutually Responsive Orientation) yaitu, hubungan antara

anggota dalam kelompok secara social interaktif untuk menyelesaikan persoalan

berkaitan dengan akademik, misalkan persoalan matematika, Bahasa, maupun

kegiatan lain yang melibatkan kelompok.

Perhatian bersama yaitu sinkronisasi perhatian antara anggota dalam

kelompok mengenai objek atau kejadian sehingga diperoleh perhatian yang sama,

kemudian individu-individu tersebut saling menatap, merespon perhatian

menggunakan isyarat anggota dan initiation of joint attention yaitu pemimpin

memberikan isyarat agar anggota berpartisipasi, kemudian muncul interpretasi

perilaku dari initiation of joint attention diantara anggota dalam kelompok.


19

Terakhir, tindak lanjut dari initiation of joint attention menggunakan penguatan

positif, jika anggota mampu menjawab dengan benar mengenai persoalan yang

dihadapi. Mengacu sosial, yaitu pengetahuan sosial masing-masing anggota

kelompok untuk merespon stimulus baru sesuai dengan emosi orang lain

menggunakan emosi dan empati, sehingga terjadi hubungan timbal balik.

Tanggapan relasional dua arah, yaitu anggota dalam mengenali dan memahami

persoalan yang dihadapi kemudian memahami persoalan dengan cara baru

sehingga mudah dipahami dan saling belajar mengenai hubungan antara objek dan

kata.

Berdasarkan pendapat ahli dan hasil penelitian yang telah dipaparkan,

tahapan kemampuan mengambil perspektif orang lain yang diadaptasi dan

dimodifikasi dari hasil penelitian Rodriguez (1992: 46-47) yaitu (a) mengakui

setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sesuai dengan

kepentingan yang dimiliki diri sendiri; (b) merenungkan perilaku yang

ditunjukkan oleh diri sendiri akan berdampak terhadap perilaku yang ditunjukkan

oleh orang lain; (c) mengamati dan menggeneralisasikan bahwa perilaku orang

lain dapat berpengaruh terhadap perilaku individu, (d) individu mendeteksi

tindakan tertentu dapat berakibat pada perilaku yang ditunjukkan orang lain, (e)

menginterpretasikan peristiwa yang terjadi sebagai wujud interaksi antara perilaku

dan sistem sosial yang bergantung pada kerangka dan orientasi pengamat, dan (f)

pemahaman baru mengenai konflik, yang mudah dipahami oleh masing-masing

individu.
20

4. Kemampuan Berpikir Lateral

a. Berpikir dan Proses Berpikir

Ada berbagai sudut pandang dalam memberikan pengertian

terhadap berpikir. Solso (2008:402) menyatakan bahwa berpikir adalah

sebuah proses yang membentuk representasi mental baru melalui

transformasi informasi dengan interaksi yang kompleks dari atribut-atribut

mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran,

penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep,

kreativitas, dan kecerdasan. Santrock (2010:357) menyatakan bahwa

berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi

informasi dalam memori. Dalam kegiatan tersebut berarti seseorang

berpikir untuk membentuk konsep, bernalar, berpikir secara kritis,

membuat keputusan, berpikir secara kreatif, dan memecahkan masalah.

Siswono (2008:12) menyatakan berpikir sebagai suatu kegiatan mental

yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau

situasi yang harus dipecahkan. Pernyataan senada diungkapkan oleh Sobur

(2003:201) yang mengemukakan bahwa berpikir adalah suatu kegiatan

mental yang melibatkan kerja otak serta, berpikir berarti juga berjerih

payah secara mental untuk memahami sesuatu atau mencari jalan keluar

dari masalah yang dihadapi.

De Bono (1992:36) menyatakan bahwa berpikir adalah eksplorasi

pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai suatu tujuan.

Tujuan yang dimaksud dapat berbentuk pemahaman, perencanaan

tindakan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, penilaian terhadap


21

sesuatu, tindakan, dan sebagainya. Sedangkan Krulick, Rudnick & Milou (

2003) berpendapat bahwa berpikir berjalan terus menerus dan dapat

dibagi ke dalam empat level yaitu recall, basic, critical, dan creative.

Penjelasan dari keempat level tersebut adalah sebagai berikut:

1. Recall thinking

Recall thinking merupakan dasar dari hierarki berpikir. Pada level

ini, berpikir yang dilakukan oleh orang dewasa tidak terlalu menggunakan

kesadaran berpikir. Misalnya, ketika seorang ditanya 2 x 2 maka secara

otomatis tanpa melalui proses berpikir akan menjawab 4. Contoh yang lian

misalnya mengingat nama, nomor telepon, alamat, dan lain-lain.

2. Basic thinking

Basic thinking merupakan tingkatan umum dalam proses berpikir.

Pada tingkatan yang kedua ini, keputusan secara langsung dapat

ditentukan oleh seseorang. Misalnya, berapa rupiahkah uang yang harus

dibayarkan seseorang, jika seseorang tersebut membeli lima buku dan

setiap buku harganya dua ribu rupiah. Jawaban dari pertanyaan tersebut

merupakan contoh dari basic thinking.

3. Critical thinking

Critical thinking merupakan kemampuan seseorang dalam

menganalisa masalah, dapat menentukan data yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah, dapat menggunakan informasi dan memutuskan

sesuatu hal jika mendapat masalah, dan juga dapat menganalisa situasi.

Kemampuan berpikir yang dimiliki oleh seseorang yang mencapai critical


22

thinking biasanya sudah mampu menentukan kesimpulan apakah data

tersebut valid atau tidak valid.

4. Creative thinking

Pada tahapan creative thinking ini terdapat kemampuan yang

berbeda dari setiap orang. Artinya setiap orang mempunyai pendekatan

yang berbeda ketika menghadapi dan menyelesaikan masalah.

Menurut Arends (2008) berpikir merupakan sebuah proses yang

melibatkan operasi-operasi mental (seperti induksi, deduksi, klarifikasi

dan penalaran), kemampuan untuk menganalisis, mengkritik dan mencapai

kesimpulan yang baik. Subanji (2007) mengartikan berpikir merupakan

keseluruhan aktivitas mental yang dipakai untuk membantu merumuskan

masalah atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi

keinginan untuk memahami. Sedangkan menurut Purwanto (2011:43)

Berpikir merupakan salah satu keaktifan pribadi manusia yang

mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.

Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan

bahwa terdapat pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir

merupakan aktivitas kognitif yang terjadi di dalam mental atau pikiran

seseorang yang bersifat tidak tampak namun dapat disimpulkan dari

perilaku atau sikap yang tampak, (2) berpikir merupakan suatu proses

yang melibatkan berbagai macam manipulasi pengetahuan di dalam sistem

kognitif (3) berpikir berorientasi pada hasil dari pemecahan masalah.

Pada kegiatan berpikir ada yang disebut dengan proses berpikir.

Proses berasal dari bahasa latin yaitu processus yang berarti berjalan ke
23

depan. Menurut Syah (2008:109) kata tersebut mempunyai konotasi urutan

langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan.

Suryabrata (2004:55) berpendapat bahwa proses atau jalannya berpikir

pada prinsipnya ada tiga langkah, yaitu: (1) pembentukan pengertian, (2)

pembentukan pendapat, (3) penarikan kesimpulan. Pendapat tersebut

berarti jika seseorang dihadapkan pada situasi yang merupakan masalah

baginya, maka orang tersebut akan menyusun hubungan-hubungan antara

informasi yang telah direkam pada memorinya sehingga membentuk

pengertian-pengertian. Dari pengertian-pengertian tersebut terbentuk opini

atau pendapat, dimana pendapat tersebut digunakan untuk membuat

kesimpulan dan pada akhirnya menyelesaikan masalah.

b. Pengertian Berpikir Lateral

Istilah lateral thinking atau berpikir lateral pertama kali diperkenalkan

oleh Dr. Edward De Bono, seorang psikologi asal Malta. Dalam bukunya yang

berjudul “The Use of Lateral Thinking” (1967) De Bono menyatakan bahwa pola

berpikir manusia dibedakan menjadi dua bentuk yaitu berpikir vertikal dan

berpikir lateral. Berpikir vertikal merupakan pola berpikir logis konvensional

yang selama ini kita kenal dan umum dipakai. Pola berpikir ini dilakukan secara

tahap demi tahap berdasarkan fakta yang ada, untuk mencari berbagai alternatif

pemecahan masalah, dan akhirnya memilih alternatif yang paling mungkin

menurut logika normal. Sedangkan berpikir lateral merupakan pola berpikir yang

tetap menggunakan fakta-fakta yang ada untuk menentukan hasil akhir yang

diinginkan dan secara kreatif (seringkali berpikir tanpa mengikuti tahap demi
24

tahap) dan mencari alternatif pemecahan masalah dari berbagai sudut pandang

yang paling mungkin mendukung hasil akhir tersebut.

Pendapat lain menyebutkan bahwa berpikir lateral merupakan salah satu

fungsi dari gaya berpikir (Deporter dan Hernacki, 2002). Fungsi dari gaya berpikir

tersebut dibagi ke dalam tujuh bagian utama, yaitu: berpikir vertikal, berpikir

lateral, berpikir kritis, berpikir analitis, berpikir strategis, berpikir tentang hasil

dan berpikir kreatif. Jika ditinjau dari letaknya, maka ketujuh gaya berpikir

tersebut dapat dikelompokkan seperti dalam tabel berikut:

Tabel 2.1
Gaya Berpikir Berdasarkan Belahan Otak
Proses Pemikiran Otak Kiri Proses Pemikiran Otak Kanan
Vertikal Lateral
Kritis Holistik
Strategis Kreatif
Analitis
Sumber: Deporter & Hernacki (2002)

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dinyatakan bahwa berpikir lateral

merupakan proses pemikiran yang dijalankan oleh otak bagian kanan. Menurut

Asmin (2005) otak belahan kanan berfungsi untuk berpikir holistic (berpikir

berhubungan dengan system sebagai suatu keseluruhan), spasial (berkenaan

dengan ruang dan tempat), methaporik dan lebih banyak menyerap konsep

matematika, sintesis, dan mengetahui sesuatu secara intuitif.

De Bono (1991) menyatakan bahwa berpikir lateral adalah suatu cara

berpikir untuk menggunakan pikiran yang berkaitan dengan pembangunan

kembali pola., seperti pemahaman dan pembangkitan sesuatu yang baru

(kreativitas). Hal ini berarti bahwa dalam berpikir lateral sedapat mungkin

dikembangkan sebanyak-banyaknya pendekatan alternatif. Sejalan dengan

pernyataan tersebut, (Deporter & Hernacki, 2002:296) menyatakan bahwa


25

berpikir lateral adalah melihat permasalahan dari beberapa sudut baru, seolah-olah

melompat dari satu tangga ke tangga lainnya. Artinya ketika seseorang

memandang suatu permasalahan, orang tersebut memiliki berbagai pandangan,

dimana pandangan-pandangan tersebut bukan merupakan suatu tahapan-tahapan

yang terkait namun bersifat lepas.

Berpikir lateral terkadang dipandang sebagai berpikir dengan cara yang

tidak logis dan tidak runtut pada satu arah. Seperti yang tertulis dalam Oxford

English Dictionary (dalam Chapman, 2011) yang menyatakan bahwa:

“…a way thinking which seeks the solution to intractable problems


through unorthodox methods, or element which would normally be
ignored by logical thinking.”

Hal tersebut mengandung makna berpikir lateral merupakan suatu cara untuk

memecahkan masalah dengan metode yang tampaknya tidak logis. Pendapat yang

sama juga diungkapkan oleh De Bono (2009:45) yang menyatakan bahwa:

“the word ‘lateral thinking’ in relation to thinking means moving across


patterns instead of moving along them-that is the nature and the logic of
creativity”

Maksud dari pernyataan tersebut bahwa kata berpikir lateral terkait dengan

berpikir seseorang, dimana dalam berpikirnya orang tersebut bergerak melintasi

pola yang ada dan bukan sepanjang pola tersebut yang alami, logis, dan kreatif.

Berpikir lateral memang tidak biasa dilakukan oleh seseorang apalagi

siswa karena sifatnya yang tidak lazim, seperti yang dinyatakan oleh Hawkins &

Allen (1992:810) berpikir lateral merupakan metode penyelesaian masalah

melalui pendekatan tidak lazim, atau menggunakan unsur-unsur yang biasanya

diabaikan oleh cara berpikir logis. Berpikir lateral juga diartikan sebagai cara

inovatif dalam berpikir yang mencoba menggunakan imajinasi untuk menemukan


26

sesuatu yang baru dan berpikir inovatif untuk berbagai masalah (Longman Group,

1992:740).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir lateral

merupakan bentuk berpikir seseorang dalam memproses informasi untuk

memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan

mencari alternatif penyelesaian yang berbeda-beda. Berpikir lateral ditunjukkan

siswa dengan mampu mencari berbagai alternatif penyelesaian masalah. Hal ini

berarti, ketika siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut mereka

menggunakan imajinasi untuk menemukan sesuatu yang baru dan inovatif , maka

berpikir lateral dari siswa tersebut dapat dilihat dari cara siswa menjawab serta

menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Siswa yang terbiasa berpikir

lateral, akan memiliki pola pandang yang luas dalam menyikapi pertanyaan yang

diberikan.

C. Kerangka Pikir Penelitian

1. Motivasi Berprestasi, Konsep diri akademik, Berpikir Lateral, dan

Mengambil Perspektif dari Orang Lain Memiliki Pengaruh terhadap

Prestasi Akademik

a. Pengaruh Kemampuan Berpikir Lateral terhadap Prestasi

Akademik

Kemampuan berpikir lateral, sebagaimana telah diuraikan, diartikan

sebagai suatu proses serta kesediaan untuk melihat hal-hal dengan cara yang

berbeda, dan pemecahan masalah yang membantu menciptakan ide-ide baru,

produk baru, proses baru dan layanan baru secara kreatif. Hal tersebut

menggambarkan bahwa kemampuan berpikir lateral memiliki manfaat yang cukup


27

besar dalam memecahkan masalah yang dialami oleh individu, solusi pemecahan

masalah tersebut dapat berupa ide-ide baru maupun ide-ide yang berbeda yang

berguna baik untuk individu itu sendiri maupun orang lain, keterkaitannya dengan

prestasi akademik adalah apabila individu memiliki suatu permasalahan akademik

serta memerlukan pemecahan dengan baik jika individu tersebut memiliki

kemampuan berpikir lateral tentunya permasalahan tersebut akan dapat segera

diatasi dan tidak dibiarkan begitu saja sehingga dapat mengganggu aktivitas yang

lain.

Kemampuan berpikir lateral adalah salah satu keterampilan intelektual

yang perlu diberikan kepada peserta didik, keterampilan mengembangkan daya

cipta atau pemikiran kreatif agar menjadi individu yang kreatif (Gie, 2003).

Keterampilan berpikir lateral dibutuhkan peserta didik dalam berbagai disiplin

ilmu, menuju pemenuhan akan kebutuhan intelektualnya dan mengembangkannya

sebagai individu berpotensi.

Berdasarkan uraian tersebut, antara kemampuan berpikir lateral dengan

prestasi akademik tentunya memiliki pengaruh. Hal ini dibuktikan dengan

penelitian Wang (2011) yang menjelaskan bahwa adanya hubungan positif antara

berpikir lateral dan prestasi akademik, penelitiannya menegaskan argumen bahwa

prestasi akademik dapat ditingkatkan dengan peningkatan kemampuan berpikir

lateral. Sedangkan hasil penelitian Alrubaie & Daniel (2014) menyatakan bahwa

pengembangan kemampuan berpikir lateral adalah kunci keberhasilan dalam

pendidikan, selanjutnya Fisher (2006: 5) menyatakan bahwa kemampuan berpikir

lateral sangat penting untuk keberhasilan dalam belajar dan sukses dalam hidup.
28

Hasil penelitian selanjutnya mengenai keterkaitan berpikir lateral dengan

prestasi akademik, diungkapkan oleh Anwar et al. (2012: 44) berdasarkan

penelitian terhadap 256 orang siswa, terdapat hubungan yang signifikan antara

tingkat berpikir lateral dengan prestasi akademik, siswa berprestasi tinggi dalam

hal berpikir lateral secara signifikan lebih baik (mean 22,39) dibandingkan siswa

berprestasi rendah (mean 20,41). Siswa berprestasi tinggi dapat berpikir lateral

dalam pembelajaran di kelas ataupun menyelesaikan persoalan yang siswa alami.

Lebih lanjut, siswa berprestasi tinggi mampu menciptakan ide yang dihasilkan

secara fasih dengan cara elaborasi, dibandingkan dengan anak berprestasi rendah.

Hansen & Byrge (2008) menyatakan bahwa kreativitas dapat membantu siswa

dalam mengatasi permasalahan ilmiah.

Hasil penelitian Supardi (2008) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

positif berpikir lateral terhadap prestasi belajar matematika. Bagi siswa yang

tingkat keterampilan berpikir lateralnya tinggi akan berperan sebagai motivasi

internal yang akan mendorong siswa agar lebih tertarik untuk belajar matematika.

Prestasi belajar akan tercapai dengan maksimal jika pemahaman konsep tertata

dengan baik, hal ini menuntut keterampilan berpikir lateral yang merupakan salah

satu potensi yang sangat besar yang harus dikembangkan, sehingga wajar jika

keterampilan berpikir lateral mempengaruhi prestasi belajar matematika (Supardi,

2008).

Sudiarta (2007) mengungkapkan bahwa “mengembangkan keterampilan

berpikir lateral sangat penting dalam pembelajran matematika”. Beberapa alasan

diungkapkan oleh Munandar (dalam Sudiarta, 2007) sebagai berikut, 1)

Kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya


29

dalam perwujudan dirinya, 2) Kreativitas atau berpikir kreatif, sebagai

keterampilan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian

terhadap suatu masalah, dan 3) Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya

bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.

b. Pengaruh Kemampuan Mengambil Perspektif dari Orang

Lain terhadap Prestasi Akademik

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya,

kemampuan mengambil perspektif dari orang lain adalah kemampuan untuk

memposisikan peran orang lain dalam ranah kognitif dan bagaimana seseorang

bereaksi secara kognitif terhadap situasi yang muncul, sehingga dapat

menyelesaikan konflik dengan orang lain secara efektif. Semakin baik

keterampilan memproses informasi sosial maka akan semakin mudah bagi anak

untuk membentuk hubungan suportif dengan orang lain, yang berarti akan

menambah luas jaringan sosial sebagai media pengembangan keterampilan

sosialnya. Kaitannya dengan prestasi akademik ialah apabila seorang anak dengan

mudah mampu membaca isyarat sosial yang diberikan oleh orang yang berada di

lingkungan sekolah misal: oleh gurunya, maka anak akan dengan mudah

memahami apa yang diinginkan oleh guru tersebut dan dapat melakukannya

dengan baik.

Keterkaitan antara kemampuan mengambil perspektif dari orang lain

dengan prestasi akademik sudah diteliti oleh Thompson (2010) bahwa

pentingnya kemampuan mengambil perspektif dari orang lain bagi anak

untuk membantu anak membentuk perspektive tentang diri dan orang lain

berdasarkan pengalaman, anak-anak yang belajar tentang kemampuan


30

mengambil perspektif dari orang lain mempunyai penyesuaian diri yang lebih

baik, membantu anak memahami apa yang diinginkan dan diharapkan oleh guru

di sekolah. Selanjutnya hasil penelitian Gopnik (2010) menyatakan bahwa

kemampuan mengambil perspektif dari orang lain merupakan keterampilan

dasar untuk masa depan anak-anak, karena jika orang tua, guru, atau orang dewasa

ingin sukses di masa depan maka perlu memahami orang lain yang ada disekitar

lingkungannya.

c. Pengaruh Konsep diri akademik terhadap Prestasi Akademik

Variabel-variabel yang hendak diteliti sebenarnya semuanya merupakan

aspek-aspek psikologis yang saling terkait satu dengan lainnya. Aspek-aspek ini

saling berhubungan dan memberi kontribusi satu sama lainnya. Menurut Greene

and Zirkel dalam Waschull (2005) hubungan antara konsep diri dan prestasi

akademik diidentifikasi sebagai pertama dan utama, dalam penelitian mereka

menyimpulkan bahwa konsep diri antara siswa Poerto Rican hubungannya

signifikan dengan prestasi akademik. Hal ini sejalan dengan pendapat Fink dalam

Burns (1993) bahwa ada hubungan yang cukup berarti di antara konsep diri yang

rendah dan pencapaian akademis yang rendah. Penemuan tidak seluruhnya

konsisten dengan dimensi konsep diri, dan hubungan antara prestasi akademik dan

konsep diri dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan ataupun antara suatu

budaya masyarakat tertentu dengan budaya masyarakat yang lain.

Hasil penelitian Johns dan Grieneeks dalam Burns (1993) terhadap 877

sampel mahasiswa, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara

konsep diri dengan pencapaian prestasi akademik. Hasil penelitian Purkey dalam

Burns (1993) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang konsisten dan cukup
31

berarti antara konsep diri dengan pencapaian prestasi akademikanak laki-laki lebih

kuat dibandingkan dengan anak-anak perempuan. Mungkin perbedaan-perbedaan

jenis kelamin semacam itu merupakan hasil dari pengharapan-pengharapan

masyarakat bagi laki-laki khususnya pada masyarakat Barat, di dalam hal

kemajuan di bidang akademis dan ambisi. Konsep-konsep diri wanita mungkin

memfokuskan pada bidang-bidang yang berbeda dibandingkan denganlaki-laki.

Anak-anak perempuan lebih memperhatikan penampilan pribadi dan hubungan

sosial dibandingkan anak-anak laki-laki, yang lebih memfokuskan pada pencapaian

prestasi akademis. Konsep diri positif pada akhirnya akan membentuk harga diri

yang kuat. Harga diri merupakan penilaian tentang keberartian diri dan nilai

seseorang yang didasarkan atas proses pembuatan konsep diri pengumpulan

informasi tentang diri beserta pengalamannya (Johnson &Johnson, 1991).

Konsep diri merupakan variabel penting yang menggambarkan studi

empirik dan identifikasi yang menentukan realisasi potensi intelektual individu

yang cerdas. Whitmore dan Nurius dalam Hamachek (1995) mendefinisikan

konsep diri sebagai tinjauan seseorang pada pencapaian pengalamannya, motivasi

sekarang dan akan mencapai perasaan menjadi apa. Konsep diri tidakhanya berdiri

sendiri, tetapi terkait dengan dimensi lain seperti aspek akademik dan aspek sosial.

Temuan tidak seluruhnya konsisten dengan dimensi konsep diri, dan hubungan

antara prestasi akademik dan konsep diri dapat berbeda antara laki-laki dan

perempuan.

Para siswa yang memiliki konsep diri positif memandang mereka dapat

berprestasi pada konteks akademik di dalam lingkunganbelajar dan mereka

merasa nyaman dalam lingkungan sosial di kelas. Siswa berbakat pada umumnya
32

konsep dirinya tinggi (Wentzel & Wigfield 1998, Matovu 2012) dibandingkan

dengan siswa yang kemampuannya rata-rata. Shavelson et al dalam Skoe & Lippe

(2005) menyimpulkan bahwa konsep diri mempunyai korelasi tinggi artara 0.50 -

0.80 terhadap prestasi akademik siswa. Perkembangan konsep diri pada siswa

sangat perlu untuk diperhatikan dan dikembangkan sejak dini.Reputasi konselor

akurat memberikan kontribusi khas kepada konsep diri akademik juga.

d. Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Prestasi Akademik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar dari

motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik walaupun perbedaan itu tidak jauh

berbeda. Hasil penelitian (d'Ailly, 2003) di mana diperoleh kontribusi motivasi

eksternal dengan prestasi akademik adalah sebesar 0,66, sedangkan sumbangan

motivasi intrinsik terhadap hasil belajar adalah sebesar 0,89. Motivasi berprestasi

merupakan faktor pribadi yang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Banyak

penelitian yang telah membuktikan adanya pengaruh motivasiberprestasi terhadap

prestasi akademik, sehingga disimpulkan bahwa tinggi rendahnya motivasi

berprestasi akan berpengaruh terhadap tingkat prestasi yang dicapai. Artinya

apabila motivasi berprestasisiswa tinggi, maka prestasi akademiknyaakan tinggi

pula, dalam pemahaman bahwa terdapat pengaruh motivasi berprestasi terhadap

prestasi akademik secara signifikan (Eliot, et.al. 2000, Pintrich dalam Pokay &

Blumfeld 1990, Fortier, Vallerand & Guay, 1995).

Centra & Portter dalam Eliot, et.al. (2000) selanjutnya mengatakan bahwa

motivasi belajar dapat mempengaruhi performansi akademik siswa paling kurang

dengan empat cara yaitu: (1) motivasi dapat meningkatkan energi dan aktivitas

belajar seseorang. (2) motivasi dapat menggerakkan semangat individu untuk


33

meraih tujuan- tujuan belajar, artinya motivasi dapat mempengaruhi individu

menentukan pilihan-pilihan terhadap tujuan mana yang ingin dicapai hasilnya, (3)

motivasi memunculkaninisiatif untuk melakukan berbagai kegiatan belajar dan

tekun melakukan aktivitas tersebut dan, (4) motivasi dapat mempengaruhi cara

belajar dan proses kognitif individu dalam konteks proses belajar mengajar di

sekolah.

Hasil penelitian Ringness dilaporkan oleh Anderman & Young (1994),

bahwa individu yang memiliki motivasi belajar tinggi juga memperoleh hasil

belajar yang baik, dibandingkan dengan hasil belajar yang diraih oleh individu

yang memiliki motivasi belajar rendah. Motivasi berprestasi yang tinggi

berpengaruh secara positif dengan hasil belajar. Menurut Glover & Burning

(1990), siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan selalu ingin bekerja

keras agar berhasil tanpa mengharapkan mendapat imbalan atau pujian.

Siswaseperti ini memiliki kecenderungan yang kuat untuk melakukan sesuatu atas

kepuasan intrinsik dari keberhasilan itu sendiri.

e. Pengaruh Konsep Diri Akademik terhadap Prestasi Akademik

melalui Motivasi Berprestasi

Dimensi-dimensi kepribadian banyak sekali salah satunya konsep diri.

Para ahli menyimpulkan bahwa konsep diri merupakan dasar motivasi tingkah

laku manusia sehingga perlu dijaga dan diproteksi. Hasil-hasil penelitian

menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang dalam prestasi akademik salah satu

faktor yang berkontribusi adalah konsep diri. Temuan yang dilakukan Turner, dkk

(2009: 337) terhadap 264 mahasiswa menunjukkan bahwa motivasi berprestasi dan

konsep diri mempengaruhi kinerja akademik mahasiswa.


34

Siswa yang memiliki pandangan yang lebih positif tentang kemampuan

akademiknya, lebih cenderung untuk termotivasi berprestasi lebih baik dan

melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (Chevalier, dkk., 2007: 30-31) atau

berorientasi untuk menyelesaikan studinya di Sekolah Menengah Atas (Saunders,

dkk., 2004: 81). Ini berarti bahwa siswa yang memiliki keinginan untuk

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, akan memiliki motivasi agar

prestasi akademiknya baik, sehingga dengan hasil dari prestasinya tersebut akan

menunjang tercapainya tujuan pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan

pendapat Chowdury & Shahabuddin (2007: 1) yang dalam penelitiannya

menemukan adanya korelasi statistik positif antara konsep diri dengan motivasi

ekstrinsik (r = 490) dan konsep diri dengan motivasi intrinsic (r = 297), artinya

siswa yang memiliki motivasi berprestasi dan konsep diri tinggi, memiliki prestasi

yang lebih baik daripada mereka yang rendah dalam motivasi berprestasi dan

konsep diri. Selain itu, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi

memiliki rasa percaya diri yang tinggi pula (Weiner, 1986).

D. Kerangka Teoritik Penelitian

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dibahas sebelumnya tentang

motivasi berprestasi, konsep diri akademik, keterampilan berpikir kreatif, dan

kemampuan mengambil perspektif orang lain dengan prestasi akademik, maka

dapat digambarkan kerangka teoritik penelitian, sebagai berikut.


35

Damrongpanit, et.al 2010


Skoe & Lippe 2005
Tang 2011
Burns 1993
Greene & Zirkel 2005

Turner, dkk 2009


Chowdury &
Shahalabuddin Fisher 2005
2007 Alrubaie & Daniel 2014
Wang 2011
Konsep diri Motivasi Anwar, et.al 2012
akademik Berprestasi (Mc
(Calhoun & Clelland)
PRESTASI
Acocella)
AKADEMIK
Galinsky 2010
Kemampuan mengambil Weil 2011
perspektif dari orang lain
(Rodriguez)

Kemampuan berpikir Dweck & Grant


2003
lateral (De Bono) Fortier & Guay
1995
D’Ailly 2003

Anda mungkin juga menyukai