Anda di halaman 1dari 10

BAGIAN I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HKBP merupakan salah satu dari organisasi sosial dan gereja yang ada di
Indonesia yang sangat bertumbuh pesat. Sebagai gereja, maka dapat dikatakan bahwa
HKBP adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Allah, Anak dan Roh Kudus.
Keterpanggilan HKBP menjadi gereja di dunia ini, dihimpun dan dikuduskan untuk
memberitakan injil Allah dalam Yesus Kristus dan menjadi berkat bagi dunia. HKBP
adalah umat Allah, tubuh Kristus, dan persekutuan Roh Kudus di dunia sehingga
menjadi bagian dari gereja yang Esa, Kudus dan Am. Jika ditinjau secara historis,
HKBP berdiri sejak tahun 7 Oktober 1861 di tanah Batak dan ini merupakan buah
pemberitaan Injil yang disampaikan oleh misionaris Rheinische Missions
Gessellschaft (RMG), sehingga berkembang ke seluruh tanah Batak termasuk di
Indonesia dan di seluruh dunia.1 HKBP selalu mempersembahkan dirinya menjadi
alat Allah untuk melaksanakan misiNya sebagaimana disaksikan oleh Alkitab yang
berdasarkan iman, kasih dan pengharapan. Keterpanggilan HKBP tentunya untuk
menghayati teladan dari Tuhan Yesus yaitu memberi, berbagi dan berkorban serta
senantiasa memberikan dirinya untuk dibarukan, mewujudnyatakan buah Roh yaitu
kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
kelemahlembutan dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23).

HKBP sebagai gereja tentunya mempunyai pelayan di dalamnya, dan untuk


menjadi seorang pelayan tentunya seseorang yang telah menerima tahbisan
(tohonan). Di dalam struktur organisai HKBP, ada cakupan poin-poin tugas dari
jabatan seorang Pendeta, dan HKBP menyebutnya sebagai Poda Tohonan. Bahagian
besar dari tugas jabatan seorang Pendeta tersebut adalah memiliki sikap yang benar di
dalam menjalankan tugas pelayanannya di tengah-tengah warga jemaat. Tugas
tersebut mencerminkan perilaku yang baik atau keteladanan di dalam jemaat dan

1
Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP 2002 Setelah Amandemen Kedua, (Pematangsiantar: Unit Usaha
Percetakan HKBP (2002), 121.

1
bermasyarakat. Seorang Pendeta harus memiliki sifat Hamba yang mau senantiasa
melayani jemaat dengan kasih dan mau berkorban bagi domba-dombanya, dengan
sukarela bukan dengan paksaan dalam melayani jemaat. 2 Penjelasan tersebut
menyatakan bahwa sangatlah penting bagi seorang Pendeta yang melayani di gereja
HKBP untuk memahami tugas jabatannya yang termuat di dalam Poda Tohonan
HKBP.

Poda Tohonan di dalam bahasa Batak, mempunyai makna yaitu sebagai tugas,
amanat, pesan. Hal lain, di HKBP seorang pelayan disebut dengan Partohonan
(tahbisan). Secara etimologi Partohonan berasal dari kata toho dan par. Kata “toho”
artinya benar dan kata “par” sebagai awalan, serta “an” sebagai akhiran yang artinya
kata penunjuk. Maka dapat dikatakan bahwa defenisi Partohonan adalah seorang
pemangku jabatan yang benar dan tepat dalam mengerjakan tohonannya sebagai
Pendeta. Partohonan disebut sebagai orang yang menerima tahbisan.3 Tohonan
adalah tugas pelayan khusus yang diembankan kepada orang tertentu (ulaon
hupunjungan na di pasahat tu sada-sada halak).

Di HKBP, tohonan (tahbisan) itu adalah sebagai tugas pelayanan yang secara
khusus diberikan Tuhan melalui gereja kepada seseorang, sehingga harus disadari
bahwa pelayan adalah yang dipanggil dan dipilih oleh Allah. Dalam Poda Tohonan
ada beberapa uraian tugas jabatan yang berisikan tugas dan tanggung jawab. Tugas
dan tanggung jawab tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang telah menerima
tahbisan. Seorang pendeta harus bekerja sesuai dengan tohonan diatur dalam Poda
Tohonan pendeta. Di dalam struktur gereja HKBP, jemaat harus dipimpin oleh
pelayan-pelayan yang telah menerima tahbisan, seperti pendeta, guru jemaat,
bibelvrouw, diakones, dan evangelis. Pelayan tersebut harus berdasarkan syarat dan
ketentuan yang dinyatakan dalam Aturan/Peraturan HKBP. Secara khusus pendeta,

2
Soryadi, Bambang Wiku Hermanto, “Konsep Tentang Sikap Pelayanan Gembala Sidang Dan
Keterlibatan Jemaat dalam Pelayanan”,Institio: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Vol.1 No.1,
(Tahun 2019), 12.
3
Ance Marintan D. Sitohang, “Panggilan dan Pelayanan dalam Konteks Bergereja di HKBP”,
Institutio: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, Vol. IV No I, (Tahun 2018).

2
bahwa di HKBP seorang pendeta harus bertanggung jawab pada tugas dan
panggilannya dalam melayani, sehingga ia menjadi teladan bagi jemaat dan orang di
sekitarnya. Ada 6 penerima tahbisan (tohonan) di HKBP, antara lain: Pendeta, Guru
Jemaat, Bibelvrouw, Diakones, Evangelis dan Penatua (sintua).4

Dalam tulisan ini, penulis meninjau dan menganaslisa secara khusus pada
tahbisan pendeta. Menjadi seorang pendeta bukanlah tugas yang mudah. Seorang
pendeta harus mampu berpegang teguh pada poda tohonan yang ditetapkan sebagai
janji dan harus dilaksanakan semasa pelayanannya. Namun realitanya, seiring dengan
perkembangan teknologi masih kerap dijumpai individu seorang pendeta yang
melakukan pelanggaran moral, sebagaimana yang beredar di televisi, koran, maupun
media sosial. Sikap seorang pendeta yang tidak mencerminkan nilai etika pelayan
serta melanggar ketentuan dalam Poda Tohonan, tentunya dapat menimbulkan
kekuatiran di dalam jemaat dan masyarakat. Jika hal tersebut diabaikan tentunya
berdampak pada kepercayaan jemaat kepada pendeta yang semakin berkurang.

Di HKBP pendeta adalah pelayan yang telah menerima jabatan kependetaan


(ordinasi) melalui Ephorus (ketua sinode) sesuai dengan Agenda HKBP. Dalam
jabatan kependetaan itu tercakup tiga jabatan Kristus, yaitu nabi, imam, raja. Dalam
tulisan ini, penulis menganalisa secara etis terkait Poda Tohonan (Amanat, sumpah
Tahbisan). Adapun objek penulisan ini dilakukan penulis di HKBP Jombang ( Jawa
Timur), yang dimana penulis ingin mengetahui terkait pemaknaan secara etik dari
Poda Tohonan (Amanat Tahbisan) tersebut. Untuk mendapatkan data yang akurat
maka penulis juga meneliti beberapa pendeta yang ditugaskan HKBP di wilayah
pelayan Distrik XVII Indonesia Bagian Timur (IBT). Penelitian terhadap informan
dilakukan berdasarkan lama tahbisan yang diperolehnya, sehingga membantu penulis
untuk memahami lebih dalam terkait Poda Tohonan tersebut.

4
Bonar Napitupulu, Uraian Pemahaman Menuju Pengembangan Jati Diri HKBP, (Pearaja: Kantor
Pusat HKBP, 2021)

3
Poda Tohonan (amanat, sumpah, tahbisan) merupakan suatu hal yang sangat
penting untuk dipegang atau dihidupi oleh setiap pelayan tahbisan secara khusus
Pendeta, di dalam menjalankan tugas pelayanannya.

Di HKBP syarat untuk menjadi seorang pendeta antara lain: lulusan Sekolah
Tinggi Teologia HKBP ataupun Sekolah Tinggi Teologia lainnya dan merupakan
warga HKBP yang telah menghayati kasih karunia Allah yang diterimanya melalui
baptisan dan pengakuan iman. Secara administratif, di HKBP untuk menjadi seorang
pendeta tentunya seseorang yang telah menjalani praktik sedikitnya dua tahun dan
yang telah menerima rekomendasi Praeses (pimpinan distrik/ wilayah) dan Pendeta
Resort. Sebelum menerima tahbisan, menjadi seorang pendeta harus melewati tes
yang dilakukan pimpinan HKBP. Seleksi penerimaan yang dilakukan meliputi tes
kesehatan rohani dan jasmani. 5

Di HKBP untuk menjadi seorang pendeta harus dibekali dengan tugas jabatan
(Poda Tohonan). Pembekalan yang diberikan tentunya untuk memantapkan
pelayanan yang hendak dilakukan di tengah-tengah jemaat agar tidak melenceng dari
makna etis maupun teologis dari pengahayatan Poda Tohonan yang sesungguhnya.
Adapun Poda Tohonan kependetaan HKBP dimuat dalam tujuh uraian tugas penting
yaitu:6

1. Memelihara harta yang telah diterima dari Yesus Kristus seperti yang dilakukan
oleh gembala, memelihara yang dipercayakan kepadanya agar jangan tersesat,
karena kamu kelak akan mempertanggungjawabkan mereka yang saudara
gembalakan. Saudara hendaklah menjadi teladan bagi yang mereka percayakan
kepada saudara, karena itu beritakanlah kepada mereka Firman Tuhan yang tertulis
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ambillah dari firman itu pengajaran,
nasihat, teguran, dan peringatan kesalahan sesuai dengan yang kamu hadapi.
Karena itu peliharalah dirimu dan persekutuan itu, kemana pun saudara ditetapkan

5
Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP 2002 Setelah Amandemen Kedua, (Pematangsiantar : Unit
Usaha Percetakan HKBP (2002), 121.
6
Tata Pentahbisan Pendeta yang termuat dalam Agenda (Huria Kristen Batak Protestan), 49.

4
oleh Roh Kudus untuk menggembalakan Jemaat Allah yang telah ditebus dalam
Tuhan Yesus Kristus.
2. Kesungguhan dalam menasehati mereka yang mau datang hidup dalam kerendahan
kepada Allah, demikian juga kesungguhan dalam menegur mereka yang tidak mau
datang kepada kehidupan, agar tidak seorangpun yang menjadi sesat karena tidak
ada nasehat yang benar.
3. Memelihara kedua pekerjaan kudus, yaitu sakramen perjamuan kudus dan baptisan
kudus. Meneliti dan mengamati para anggota jemaat agar hanya mereka yang patut
dan yang mengenal dosa-dosanya dan menyesali perbuatan-perbuatannya yang
layak mengikuti perjamuan kudus.
4. Tekun mendidik dan memelihara anak-anak seperti yang dilakukan oleh Yesus
Kristus.
5. Menjaga dan memelihara seluruh anggota jemaat termasuk kepada para janda,
kaum bapa dan kaum ibu, anak laki-laki dan anak perempuan seperti yang
diperbuat oleh Rasul Paulus.
6. Memiliki cara hidup yang baik agar menjadi contoh dan teladan bagi mereka yang
digembalakan; teladan dalam perkataan, cara hidup, iman dan kasih. Karena itu
penilik jemaat haruslah seseorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat
menahan diri,bijaksana,sopan,suka memberi topangan,cakap mengajar
orang,bukan pemabuk,bukan pemarah,melainkan peramah,pendamai dan kepala
keluarga yang baik, dihormati anak-anaknya.
7. Hendaklah sepakat terhadap sesama pendeta. Di dalam kepatuhan kepada Allah
janganlah berpikir sendiri-sendiri dan berselisih paham, serta saling memfitnah,
agar memperoleh seperti apa yang didoakan oleh Tuhan Yesus kepada Bapa-Nya:
“Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti engkau ya Bapa, di dalam Aku
dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya
bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”

Pendeta sebagai pelayan gereja harus memperhatikan pertimbangan etis dalam


kehidupan pelayanannya. Hal ini dibahas dalam kajian Etika Pelayan Gereja. Etika

5
Pelayan Gereja bertumpu pada pemahaman yang benar terhadap panggilan dalam diri
seorang pelayan, yang berorientasi pada pelayanan yang melayani. Pendeta atau
pelayan harus bertingkah laku baik dan benar dalam menghidupi setiap panggilannya,
serta setiap pelayan harus mencerminkan panggilan Allah sebagai respon “Ini
aku,utuslah aku” (Yesaya 6:8). Panggilan pendeta harus dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh. Dengan melihat kondisi dari jemaat maupun masyarakat sekitar
yang sudah mulai peka terhadap persoalan-persoalan yang sering terjadi dalam
lingkungan sosial, serta memahami upaya-upaya pemecahan persoalan-persoalan
yang kerap terjadi di dalam berjemaat dan bermasyarakat. Etika dalam pelayanan
mencakup kehidupan pribadi, keputusan keuangan, komitmen keluarga, tanggung
jawab pastoral, hubungan dengan warga jemaat, serta keterlibatan dalam masyarakat.7

Inti dari keseluruhan poda tohonan (tahbisan) bagi pelayan atau pendeta yaitu
kepatuhan dan kesetiaan kepada Tuhan melalui amanat Yesus Kristus sebagai kepala
gereja yang memanggil, memilih dan mengutusnya untuk menjadi seorang pendeta.
Pendeta atau pelayan gereja harus meneladani Kristus (HKBP menyebutnya sebagai
singkat ni Kristus) dalam setiap tingkah laku dalam melayani jemaat. Pengertian
tersebut menyatakan bahwa setiap pendeta atau pelayan harus mewujudnyatakan
kesetiaan dalam setiap tugas yang diberikan. 8

Tulisan ini berfokus untuk melihat dan menganalisa pelaksanaan Poda


Tohonan yang dilakukan oleh seorang pendeta yang dihubungkan dengan etika
pelayan, sehingga dapat menemukan implementasi secara etik dari tugas pelayanan
yang sesungguhnya. Analisa pemaknaan dari tugas jabatan Pendeta (Poda Tohonan)
tersebut difokuskan dalam pelayanan di gereja HKBP Jombang. Adapun topik atau
pembahasan ini sebelumnya telah dilakukan oleh Novrianto Lilolombayang berjudul
“profesionalitas pelayan gereja”. Pembahasan yang dilakukan adalah menganalisa
tentang keprofesionalan seorang pelayan dalam melaksanakan tugas panggilannya.
Ada juga tulisan lainnya yang dituliskan oleh Yotam Teddy Kusnandar dengan judul
7
Joe E. Trull & James E. Carter, Etika Pelayan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).38.
8
Joe E. Trull & James E. Carter, Etika Pelayan Gereja, 39.

6
jurnal “Kajian Teologis Tentang Kode Etik Pelayanan Gerejawi”. Dalam tulisannya
penulis menganalisa tentang seorang pendeta atau pelayan gereja yang harus
bertanggung jawab di dalam menjalankan sumpah tahbisannya. Demikian halnya
dengan tulisan yang dilakukan oleh Aldrin Purnomo, David Martianus Gulo, Gersom
Situmorang, dan Jontro Simanjuntak yang termuat di dalam jurnal “Pedoman Etika
Pelayan Jemaat”. Penulisan yang telah mereka lakukan adalah tentang penegasan
seorang pendeta atau pelayan yang harus menjadi rule model atau teladan bagi
jemaatnya. Tulisan tersebut menyatakan bahwa masih ada individu pendeta
melakukan tindakan pelanggaran etis. Demikian halnya dengan tulisan yang telah
dilakukan Joko Santoso, yang dimuat di dalam jurnal Pelayanan Hamba Tuhan dalam
tugas penggembalaan jemaat. Di dalam tulisannya, penulis menegaskan bahwa setiap
hamba Tuhan hendaknya dapat menjaga diri dengan beretika yang benar sesuai
dengan nilai-nilai moral dan etika yang terkandung di dalam Alkitab.

Berdasarkan dari beberapa penelitian tersebut, terdapat perbedaan kajian


penelitian yang dilakukan penulis dalam tulisan ini. Perbedaan dalam tulisan ini
dengan penulis sebelumnya adalah penulis menekankan implementasi secara etik
terhadap pelaksanaan Poda Tohonan yang dilakukan oleh pendeta di HKBP
Jombang. Hal ini dilakukan penulis mengingat setiap pendeta harus patuh terhadap
amanat atau sumpah tahbisan yang dimilikinya untuk menjalankan tugas
pelayanannya dan menjauhkan diri dari setiap pelanggaran moral sehingga tidak
merugikan dirinya sendiri dan tahbisan yang diperolehnya. Berdasarkan ulasan dari
latar belakang diatas, sehingga penulis menjadikan tulisan ini berjudul:

TINJAUAN ETIKA PELAYAN TERHADAP PODA TOHONAN PENDETA DI


HKBP JOMBANG JAWA TIMUR

7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengacu pada suatu rumusan
masalah tentang bagaimana implementasi secara etik tugas jabatan pendeta (Poda
Tohonan) di HKBP Jombang?

1.3 Tujuan penelitian


Penelitian mendeskripsikan secara analitis implementasi etik tugas jabatan
pendeta (Poda Tohonan) di HKBP Jombang.

1.4 Manfaat Penelitian


 Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian yang penulis lakukan sebagai suatu pengembangan studi
dan pengetahuan yang berusaha mengelaborasi kajian Etika Pelayan Gereja terhadap
Poda Tohonan. Serta Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi
berupa pemahaman lebih lanjut mengenai poda tohonan pendeta setelah melalui
kajian teori Etika Pelayan Gereja.
 Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian yang penulis lakukan di dalam pengerjaan tugas akhir ini,
diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi calon pelayan yang ingin
menjadi pendeta HKBP dalam menjalankan poda tohonan yang diembannya, serta
penelitian ini juga menjadi stimulus bagi penulis sendiri untuk benar-benar
menghidupi pelayanan gereja nantinya sesuai dengan amanat tahbisan pendeta.

1.5 Metode Penelitian


Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian lapangan secara
kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu prosedur dalam penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa penyampaian kata-kata tertulis atau lisan dari
narasumber. Studi kasus yang deskriptif bertujuan menggambarkan suatu gejala, fakta
atau realita.9 Pendekatan kualitatif juga bisa diartikan sebagai suatu rangkaian atau
prosedur dalam menjaring informasi dan data, dari kondisi sewajarnya dalam

9
Raco M.E, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2010), 50.

8
kehidupan objek, dan dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik itu dari
10
perspektif teoritis maupun praktis di lapangan. Penelitian Normatif merupakan
suatu pengkajian yang dikonsepkan berdasarkan norma atau kaidah yang berlaku
dalam masyarakat,yang menjadi dasar acuan setiap perilaku manusia, serta dalam
metode penelitian hukum normatif analisa data yang digunakan ialah analisis
kualitatif, yang menguraikan data bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis,
tidak tumpang tindih dan efektif yang memudahkan interprestasi dalam data dan
pemahaman terhadap hasil analisis.11 Berbicara terkait normatif ialah sebuah aturan,
dimana aturan tersebut dibuat untuk menertibkan, menata perilaku seseorang
berdasarkan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Penelitian kualitatif ini diawali dengan mengumpulkan beberapa informasi-


informasi dan data-data dalam situasi sewajarnya, untuk nantinya dirumuskan
kembali menjadi satu generalisasi yang bisa diterima akal sehat manusia.12 Terkait
teknik pengumpulan data, penulis menggunakan metode wawancara secara mendalam
(in depth interview). Wawancara mendalam (in depth interview) ingin memahami arti
yang terdalam (indepth) dan hakiki (essence) dari suatu gejala, peristiwa, fakta atau
realita. Setiap perbuatan atau tindakan orang selalu memiliki arti tersendiri.13

Selain itu juga, penulis menggunakan metode observasi. Metode observasi


ialah pengamatan, yang dimana pengamat harus jeli dalam mengamati setiap
kejadian, proses, gerak, atau realita yang terdapat di lapangan.14 Metode observasi
juga merupakan pengumpulan dan meneliti data dengan mengamati yang
menggunakan mata dan telinga, sebagai jendela dalam merekam data yang akan
diperoleh serta keterlibatan sipeneliti dalam mengumpulkan data terhadap fenomena

10
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), 3.
11
H. Ishag, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Penerbit Alfabeta,2017). 69.
12
Nawawi Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press,
1992), 209.
13
Raco M.E, Metode Penelitian Kualitatif, 53.
14
Sandu Siyoto & M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Literasi Media
Publishing,2015),77.

9
yang diamati oleh sipeneliti15 Observasi adalah usaha sadar untuk mengumpulkan
data yang dilakukan secara sistematis, penelitian dilakukan dengan pengamatan
terhadap suatu kegiatan yang berlangsung.16 Bentuk dari metode ini ialah dengan
melakukan wawancara langsung kepada pendeta yang berada di HKBP Jombang
serta pendeta berada di Distrik IBT XVII (Indonesia Bagian Timur) yang bertujuan
untuk memperoleh informasi-informasi atau data-data yang akurat mengenai
implementasi poda tohonan oleh pendeta dihubungkan dengan etika pelayanan di
gereja HKBP.

1.6 Sistematika Penulisan


Dalam rangka untuk mempermudah penjelasan mengenai penelitian ini,
penulis menjabarkan sistematika sebagai bagian keseluruhan tulisan ini sebagai
berikut: Bagian pertama, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
Sistematika penulisan. Bagian kedua, berisi tentang tinjauan teori mengenai, Etika
pelayan gereja dari Joe E.Trull dan James E. Carter, pengertian pendeta secara umum,
pengertian pendeta menurut HKBP, menjelaskan tugas dan tanggung jawab yang
dikerjakan oleh pendeta, Bagian ketiga, berisikan mendeskripsikan hasil temuan dari
penelitian lapangan meliputi deskripsi mengenai etika pelayan gereja serta tugas
jabatan sebagai Pendeta HKBP, deskripsi wawancara mengenai implementasi dari
poda tohonan dalam pelayanan di HKBP Jombang. Bagian keempat, berisikan
analisa deskripsi penulis berdasarkan hasil penelitian dan teori. Bagian kelima,
berisikan penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

15
Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: CV ANDI OFFSET,2014).42.
16
Arry pongtiku,Robby Kayame,Vony Heni,Tedjo Suprapto,Yanuarius resubun, Metode Penelitian
Kualitatif, (Jayapura: Nulisbuku, 2017), 100.

10

Anda mungkin juga menyukai