Kelas 1
Kelas 1
Seperti biasa, hari ini kami berkumpul melingkar di rumah suci Allah. Sudah lebih dari setahun kebersamaan
kami. Rindu-rindu ini selalu menjelma ketika tak bertemu walau hanya sepekan. Pekan lalu saya tidak bisa hadir
memperbarui semangat-semangat adik-adik shalihah pilihan Allah, yang dengan langkah ringan dan hati ikhlas,
mereka mampu menyempurnakan lingkaran-lingkaran kami dan berbagi serta menambah semangat hidup
bermanfaat saya.
Siang ini, mereka datang dengan tubuh yang lebih letih dari biasanya karena paginya mereka harus tes
pengambilan nilai olahraga. Tapi sungguh semangat mereka sangat luar biasa, walau tidak semua hadir.
Memang sesungguhnya Allah telah memberi banyak kesempatan manusia untuk menjemput ilmu dan hidayah,
kita saja yang selalu kufur, enggan menggapainya, selalu berpaling pura-pura tidak tahu, menutup mata dan
telinga seolah-olah buta dan tuli, lalu menyalahkan Allah atas ketidaksadaran kita akan hadirnya hidayah.
Sebenarnya siapa yang salah? (you don’t say)
Makhraj dan tajwid yang tidak luput kami diskusikan setelah tilawah bergantian, berkat Allah, mereka mulai
banyak berubah, bacaan tilawahnya, masya Allah, semakin oke saja. Sebelum dimulai, seperti biasa, kami
berbincang-bincang ringan, menanyakan kabar, aktivitas sekolah dan keluarga sambil makan beberapa makanan
ringan. Tiba-tiba ada adik yang berkata, namanya Dhila, “Kak, maaf ya, yang dateng cuma sedikit.” Saya
menghela nafas ringan sambil tersenyum. “Nggak papa Dhila, dulu waktu kakak hadir kajian di masjid kampus,
kondisinya sedang hujan deras, walau begitu ustadz pengisi kajian tetap datang tepat waktu, tetapi kami yang
hadir di depannya dapat dihitung dengan jari. Kakak lihat panitia memohon maaf atas kehadiran kami yang
sedikit, lalu ustadz itu berkata kepada kami sambil tersenyum ikhlas, senyumnya sungguh menyejukkan, kurang
lebih seperti ini, ‘Saya tidak mempedulikan siapa dan berapa yang hadir di sini, walaupun hanya satu orang,
tetap saya akan menyampaikan, walau tak ada satu orang pun, Allah tetap akan memberi balasan sesuai dengan
niat kehadiran saya. Sebenarnya saya datang ke sini bukan untuk memberi kalian ilmu, sungguh bukan, tetapi
saya datang ke sini memberi ilmu untuk diri saya sendiri, karena ketika saya menyampaikan ilmu Allah, maka
ilmu itu bukan untuk kalian, karena ilmu yang sampai kepada kalian sungguh bukan dari saya, bukan karena
saya, tetapi dari Allah dan karena Allah.’” Dia menundukkan kepala, airmatanya menetes, sungguh hati yang
menangis karena Allah. Saya mengelus pundaknya, tersenyum, menyodorkan tisu, “Dhila nggak usah sedih.”
Kata-kata ustadz itu alhamdulillah saya ingat hingga saat ini, sungguh bijaksana, hebat, menjadi motivasi saya
untuk berusaha hadir dalam lingkaran cinta kami, untuk memberi ilmu pada pikiran, memperbarui hati, bukan
semata-mata untuk mereka, tapi untuk diri dan hati yang cupu ini.
Yaa Allah, kumpulkan, temukan dan satukan kami dalam surga-Mu, karena Engkau tahu bahwa hati-hati ini
berkumpul mencurahkan cinta kepada-Mu, bertemu dalam taat dan bersatu di jalan-Mu. Aamiin.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/10/02/57755/walau-sendiri-saya-tetap-menyampaikan/
#ixzz8FKEkGrYx
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/10/02/57755/walau-sendiri-saya-tetap-menyampaikan/
#ixzz8FKEeXzpB
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
dakwatuna.com – Menurut para ulama, surat Alam Nasyrah diturunkan di Makkah setelah surat adh-Dhuha
sebagaimana urutannya dalam mushaf usmany([1]). Surat ini memiliki beberapa nama selain Alam Nasyrah, di
antarnya: asy-Syarh([2]), seperti yang terdapat dibanyak cetakan mushaf sekarang dan buku-buku tafsir.
Juga al-Insyirah seperti yang disebutkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu al-Jauzy dalam tafsirnya([3]).
Surat ini merupakan kelanjutan surat sebelumnya, karena sama-sama membahas kepribadian Nabi Muhammad
saw dan kondisi yang dihadapi oleh beliau. Keduanya juga menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang
diberikan Allah. Jika di surat sebelumnya Allah menyebutkan tiga nikmatnya: Allahlah yang memberikan
‘inayah (perlindungan) saat kondisi beliau yatim, fakir dan kebingungan. Maka pada surat ini, Allah tambahkan
tiga nikmat-Nya yang lain: nikmat kelapangan dada([4]), meringankan beban beliau saat berhadapan dengan
kaumnya ketika menyampaikan risalah kenabian yang tak ringan, juga Allah tinggikan kedudukan dan derajat
beliau baik di bumi maupun di langit melebihi segala ciptaan-Nya yang pernah dan yang akan ada.
Hal ini hanya diperuntukkan kepada beliau demi menghibur sekaligus menguatkan azamnya. Di tengah teror
yang tak henti-hentinya dari musyrikin Makkah. Di akhir surat ini, Allah memerintahkan untuk menggunakan
waktu sebaik-baiknya, juga untuk beribadah setelah menyampaikan risalah. Perpindahan-perpindahan aktivitas
tersebut merupakan refleksi rasa syukur([5]) kepada Allah swt atas karunia nikmat-nikmat-Nya yang sangat
banyak yang tak memungkinkan untuk dihitung-hitung apalagi untuk dibalas.
Kenikmatan-Kenikmatan
“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu.
Yang memberatkan punggungmu? Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS. 94: 1-4)
Nikmat pertama yang disebut Allah adalah nikmat kelapangan dada. Diturunkan dalam bentuk pertanyaan
sebagaimana surat sebelumnya. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Muhammad saw juga benar-benar berpikir,
merenungi lebih dalam atas karunia dan nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Lebih dari yang
sekadar disebut-Nya.
Ayat di atas mengandung dua makna, zhahir dan batin. Secara zhahir, Rasulullah saw pernah dibersihkan organ
dalamnya oleh malaikat sewaktu masih kecil. Demikian juga setelah itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal
tersebut terjadi berkali-kali.
Pertama kali terjadi pada saat beliau berusia empat tahun, yaitu masa-masa terakhir beliau diasuh oleh Halimah
Sa’diyah di perkampungan Bani Sa’d sebelum dikembalikan kepada ibunya. Kedua, terjadi pada saat beliau
berumur duapuluhan tahun. Ketiga, terjadi lagi sebelum beliau Isra’ Mi’raj([6]).
Dalam riwayat Imam Ahmad dijelaskan bahwa tujuan pembelahan dada beliau –operasi fisik- secara zhahir
adalah untuk membuang dendam, hasad dan iri (al-Ghill wa al-Hasad) dan kemudian memasukkan cinta dan
kasih sayang (Rahmah wa Ra`fah) ([7]). Menariknya, Imam al-Baidhawy mengatakan bahwa seolah-olah ini
merupakan athaf dari surat sebelumnya yang datang dengan kata tanya (istifham) ()ألم يجدك يتيمًا. Dan untuk
menegaskan bahwa masih banyak nikmat-nikmat Allah yang lain yang tidak disebut dan manusia tak mampu
menghitungnya.
Adapun kandungan makna batinnya, bahwa Allah telah memberikan kelapangan dada dengan membuka hati
beliau untuk dimudahkan menerima ilmu dan hikmah kenabian serta risalah. Demikian ditegaskan maknanya
oleh Imam al-Baghawi([8]). Bahkan para tokoh sufi lebih suka memakai makna batin ini dan lebih
merajihkannya karena kata yang dipakai adalah syaraha.
Nikmat kedua, menghilangkan beratnya beban-beban dakwah Rasulullah saw. Sebagian para ahli tafsir
menafsirkan al-wizr adalah kesalahan dan kealpaan yang dilakukan Nabi Muhammad sebelum beliau menjadi
nabi. Semuanya telah Allah ampunkan. Tapi, tak sedikit yang menafsirkannya dengan beban secara umum yang
dihadapi oleh Rasulullah saw dalam melaksanakan misi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Yaitu
menyampaikan risalah kenabian. Baik beban fisik dengan teror yang diterimanya, maupun secara psikis yang
dialaminya berkali-kali. Mulai hinaan, cemoohan, ancaman, tuduhan keji atau bahkan rayuan dan bujukan.
Semuanya Allah jadikan ringan. Bahkan Allah melengkapinya dengan nikmat selanjutnya.
Nikmat ketiga, ditinggikan derajatnya. Allah mengangkat derajat beliau sebagai nabi. Bahkan disandingkan
namanya dengan asma’ Allah Yang Mahaagung. Namanya disebut oleh penduduk bumi dan langit di sepanjang
waktu. Penduduk bumi yang shalat saja berputar dari pagi ke pagi selalu ada yang shalat, syahadatain dibaca di
dalamnya. Dalam khutbah, syahadatain juga dibaca. Sebelum ijab qabul pernikahan, syahadatain juga dibaca.
Banyak riwayat yang menyebutan kemuliaan beliau yang diberikan Allah dengan penyebutan tersebut([9]).
Kemudahan-Kemudahan
Setelah menyebutkan nikmat dan karunia yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya, Dia menegaskan sebuah
makna yang memberikan sugesti kemenangan, kebahagiaan dan ketenangan.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan”. (QS. 94: 5-6)
Apa rahasia pengulangan kalimat-kalimat di atas? Apa makna yang terkandung hingga Allah perlu mengulangi
dan menegaskan pesan-pesan-Nya?
Imam al-Baghawi, Imam al-Ma’iny dan Syeikh Muhyiddin ad-Darwisy menyimpulkan dari struktur gaya
bahasa di atas dengan sebuah kaidah kebahasaan, “Isim nakirah jika disebut dua kali maka yang kedua tidaklah
sama dengan yang pertama. Namun, jika isim makrifat disebut dua kali maka yang kedua sama dengan yang
pertama.”([10]). Dari kaidah ini bisa ditarik sebuah kesimpulan, setiap satu kesulitan terdapat dua kemudahan.
Setidaknya akan berupa penyelesaian yang terbaik serta pahala kebaikan yang hanya diketahui Allah jika
bersabar dalam menghadapinya. Setelah kesulitan dan beban-beban dakwah yang berat di Makkah, Allah akan
memberikan kemudahan dan kemenangan di Madinah.
Kemudahan yang diberikan Allah bahkan berlipat-lipat. Jika Nabi saw terlahir sebagai yatim, beliau bahkan
menyantuni banyak fakir miskin dan anak-anak yatim serta para janda miskin. Allah berikan kekayaan, beliau
diangkat derajatnya, dilapangkan dadanya dan diringankan beban-bebannya. Apalagi setelah diangkat sebagai
Nabi dan Rasul Allah swt. Meski, tekanan justru datang setelah itu. Tapi kemudahan dan kemenangan Allah
jadikan setelahnya. Bahkan, beliau menjelma menjadi rahmat –atas titah Allah- bagi segenap alam semesta.
Bukan hanya bagi manusia saja.
Jika pada mulanya Islam ditekan, pengikutnya juga ditindas dan dihina, pengikutnya orang-orang lemah dan
terzhalimi. Tapi akhirnya, Allah mengubahnya sesuai janjinya. Sebagai contoh kisah Fathu Makkah
memberikan kebenaran janji Allah. Dengan segala izzah, Rasul memasuki kota Makkah. Jika sebelumnya
orang-orang kuat penduduk Makkah menindas beliau dan para pengikutnya, maka pada saat itu semuanya
tertunduk pasrah.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang melarikan diri. Kemuliaan yang tak menjadikan beliau sombong dan
lupa diri. Beliau justru memperbanyak tasbih dan istighfar, bersyukur atas kemuliaan dan kemenangan yang
dikaruniakan Allah berupa mengukuhkan dan mengokohkan agama-Nya di muka bumi ini.
Yakinlah, setiap satu kesulitan ada dua kemudahan yang disiapkan Allah, kemudahan duniawi dan ukhrawi. Tak
heran jika kemudian beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud ra,
“Beritakan kabar gembira, telah datang kemudahan. Takkan pernah satu kesulitan mengalahkan dua
kemudahan.”([11])
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Perpindahan Aktivitas
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain”.(QS. 94: 7)
Inilah makna istirahat yang sebenarnya. Bukanlah dengan bermalas-malasan dan bersantai, namun dengan
perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Sehingga akan maksimal produktifitas seseorang. Maka, Nabi
Muhammad saw mencontohkan setelah menyampaikan dakwahnya, beliau diperintah untuk bersegera beribadah
sebagai rasa syukur atas nikmat kenabian sekaligus sebagai rasa tawakkal memasrahkan usaha yang telah
dilakukan sebelumnya. Bahwa hasil dari dakwah beliau sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt.
Inilah yang seharusnya ditiru oleh pengikut beliau. Jika itu benar-benar kita lakukan, maka kemudahan-
kemudahan akan semakin banyak diberikan Allah. Dan Allah akan tinggikan pula ‘izzah agama ini melalui
tangan-tangan kita.
Selain itu, ayat ini mengisyaratkan sebuah keseimbangan ideal. Setelah kita sibuk dan beramal untuk dunia,
maka seharusnya kita juga berbuat dan beramal untuk akhirat.
“Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. 94: 8)
Kesyukuran itu lebih sempurna bila kita jadikan Allah benar-benar satu-satunya tempat bergantung dan
berharap. Apa yang lebih indah dari rasa syukur yang dikaruniakan Allah yang telah menyebut bahwa hanya
sedikit saja dari hamba-Nya yang mampu bersyukur dengan baik.
Sang Guru Ibnu Atha`illah As-Sakandary mengimbuhkan sebuah makna yang sangat dalam, “Allah
menganugerahimu tiga kemuliaan. Dia membuatmu ingat (zikir) kepada-Nya. Kalaulah bukan karena karunia-
Nya, engkau tak pantas menjadi ahli zikir kepada-Nya. Dia membuatmu diingat oleh-Nya (mazkur), karena Dia
sendiri yang menisbahkan zikir itu untukmu. Dan Dia juga membuatmu diingat di sisi-Nya, saat Allah
sempurnakan nikmat-Nya kepadamu.”([12]).
Penutup
Itulah Allah. Zat yang rahmat-Nya luas tanpa batas. Zat yang kasih sayang-Nya tidak terbilang. Pernahkah
menghitung nikmat dan karunia yang diberikan-Nya kepada kita? Padahal, tak banyak yang sudah kita lakukan
untuk menyukurinya. Berapa kalikah kita berbuat dosa dan melanggar larangan-Nya, tak menunaikan hak-hak-
Nya dengan baik?
Namun, hingga saat ini Dia masih saja memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan memperbaiki
kesalahan-kesalahan. Betapa banyak kesalahan yang kita sembunyikan dari orang tua, istri, anak dan dari orang
banyak. Dan Allah tetap terus menutupnya.
Akankah kita melupakannya begitu saja? Alangkah baiknya jika kita tak menghentikan pengharapan kita pada-
Nya dan terus mendekatkan diri dengan bertaubat dan istighfar. Itulah kesempurnaan pengharapan. Maka,
Dialah Zat yang laik untuk benar-benar diharapkan. Karena Dia tak pernah menyelisihi dan mengingkari janji-
Nya serta mengabaikan ketulusan pengharapan hamba-hamba-Nya.
Catatan Kaki:
([1]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004
M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988
M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-
Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.816
([2]) Ibid. hlm. 817
([3]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma`tsur, Beirut: Dar al-Fikr, Cet.I, 1983
M-1403 H,, Vol.VIII, hlm. 547, Abdurrahman Ibnu al-Jauzy, Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir, Beirut: al-Maktab
al-Islami, Cet.III, 1404 H, Vol.IX, hlm. 162
([4]) ada banyak pendapat tentang pembelahan dada Nabi Muhammad saw yang insya Allah akan kita bicarakan
saat menadabburi ayatnya nanti.
([5]) Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H,
hlm. 302
([6]) Lihat: Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 299-300,
Abu al-Fida` Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-Azhim, Cairo: al-Maktab Ats-Tsaqafi, Cet.I, 2001 M, Vol. IV,
hlm. 528
([7]) Tafsir Ibnu Katsir, Ibid.
([8]) Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 469
([9]) Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I,
1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm.416-417, juga: Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an,
tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 285
([10]) Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Op.Cit, Vol. IV, hlm. 470, Muhyiddin ad-Darwisy, I’rabu al-Qur`an al-
Karim wa Bayanuhu, Beirut: Dar Ibnu Katsir, Cet. IX, 2005 M-1426 H, Vol. VIII,hlm. 353, lihat tesis
penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah
wa Tahqiq, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 876
([11]) Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan,Op.Cit, Vol. 30, hlm. 286, Abul Qasim Jarullah Az-
Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa`iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta`wil, Cairo: Maktabah Mustafa
Muhammad, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hlm. 221
([12]) Ibnu Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Penerjemah: Dr. Ismail Ba’adillah, Jakarta: Khatulistiwa
Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 289
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/10/52905/tadabbur-surat-alam-nasyrah-satu-kesulitan-dua-
kemudahan/#ixzz8JIw7oMMs
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/06/26/81055/tiga-penyelamat-dan-tiga-perusak/#ixzz8Jy4Dp7uz
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/06/26/81055/tiga-penyelamat-dan-tiga-perusak/#ixzz8Jy45jZbh
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/06/26/81055/tiga-penyelamat-dan-tiga-perusak/#ixzz8Jy3xDFAh
2. ditulis di dalam kalam yg di sebut lauh mahfudz sampai dengan yaumul qiyamah
3. adanya jehendak Allah yang membuat takdir tejadi dan tidak bisa diintervensi apapun.
“Bismillahirrahmannirrahim….. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyanyang.
Sungguh manusia bukan lah apa-apa dibandingkanNya. Dia yang memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh manusia. Jiwa-jiwa yang kosong dan raga yang lemah dijadikannya berisi dan kuat. Hati yang gersang dan
pikiran yang kotor, bisa Dia buat bersih. Takkan ada makhluk apapun di dunia ini yang mampu menandingiNya,
karena Dialah sang Pencipta segalanya tanpa terkecuali jiwa yang lemah ini.”
Dunia kini sudah masuk pada fase akhir zaman. Semua permasalahan yang ada menjadi sangat kompleks dan
membutuhkan iman yang kuat. Pernah terlintas pemikiran plagmatis bahwa Islam yang benar-benar kaffah sulit
sekali diterapkan. Astaghfirullah…. Untung saja itu hanya sepintas. Tetapi ada sebagian orang yang berusaha
mewujudkan penerapan tersebut. Mungkin inilah yang dikatakan oleh Rasul dalam salah satu haditsnya
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari Sahabat Abu Hurairah RA bahwa Nabi saw
bersabda,
بدأ اإلسالم غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء
“Islam ini pada awalnya dianggap aneh dan akan kembali menjadi aneh sebagaimana awalnya dan
beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh saat itu.” [HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitab Iman (145),
dan Sunan Ibnu Majah bab Al-Fitan (3986), Musna Imam Ahmad bin Hambal (2/389)]
Para “ghuraba” berusaha berbuat baik ketika banyak yang telah rusak. Merekalah yang tetap istiqamah dengan
jalan yang lurus
Dalam keberjalanan hidup manusia yang makhluk social, tentunya interaksi social tidak bisa dilepaskan. Begitu
pun dengan para “ghuraba” yang notabenenya adalah manusia biasa juga. Hal ini menuntut
para “ghuraba” untuk berinteraksi dengan manusia lain, yang mungkin pemahaman Islam nya tidak
menyeluruh bahkan tidak tahu. Salah satu akibat dari hal ini adalah terjadinya ikhtilath atau bercampur baurnya
perempuan dan laki-laki bukan mahram tanpa hijab. Ikhtilath bisa terjadi di mana saja dan kapan saja tergantung
interaksi social itu berlangsung. Tanpa terkecuali kampus dan media maya.
Dalam konteks kekinian, jika berbicara kampus maka mungkin para “ghuraba” itu salah satunya adalah para
ADK. Para ADK (Aktivis Dakwah Kampus) ini adalah orang-orang yang dibina dan dibentuk untuk
menyampaikan risalah Islam pada masyarakat kampus. Dalam kehidupan sehari-hari di kampus pun ADK
sering dibuat dilema dengan system yang ada. Kenapa dilema?? Bagaimana tidak, ADK yang berusaha untuk
menjaga keimanannya untuk tidak berihktilat dihadapkan pada keadaan berseberangan 180ᴼ. Di sisi lain, misi
menyampaikan nilai-nilai Islam harus terus diusung. Sehingga mau tidak mau ADK harus masuk ke system
tersebut dan berusaha mewarnainya. Kejadian ikhtilath di kampus ini bisa saat mengerjakan tugas kelompok,
praktikum, rapat di organisasi amah atau yang lainya.
Fenomena ikhtilath saat ini sudah mulai canggih seiring dengan perkembangan zaman. Saat ini ikhtilath bisa
terjadi meskipun tidak ada interaksi secara nyata dan langsung. Salah satu contohnya adalah
fenomena ikhtilath dunia maya dan elektronik. Katakanlah Facebook, Twitter, YM, telepon dan sms. Semua itu
adalah media yang jika tidak dipergunakan secara bijak akan mengakibatkan kemudharatan. Lebih
dari ikhtilath, bahkan bisa zina atau kemaksiatan yang lain.
Kenapa ikhtilath itu tidak dibolehkan??
Kita tahu bahwa Allah SWT menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap
wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya
akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung
mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak
kepada perbuatan keji dan mungkar.
Sungguh ironi memang kehidupan umat akhir zaman ini. Tapi apakah kita menyesali hidup di akhir zaman??
Jangan!! Jangan sesekali menyesali kesempatan hidup yang telah Allah berikan kepada kita. Kita wajib
mensyukurinya. Meskipun terkadang hidup ini sulit, tetapi Allah selalu memberikan jalan. Kita ingat bahwa di
setiap kesulitan itu pasti ada kemudahan. Bahkan dikatakan oleh Allah dua kali dalam (QS. 94:5-6).
Terlepas dari ironi tersebut. Fenomena ini sangat luar biasa dampaknya. ADK pun merasakan hal ini. Kita sadari
bersama bahwa manusia memiliki bakat baik dan bakat buruk (Fuzuroha wa taqwaha). Ada kalanya manusia
pun mengalami masa di mana dia sedang futur (turun kondisi keimanannya). Dan ketika itu adalah kesempatan
setan untuk masuk. Saya tidak ingin memungkiri bahwa memang, saya pernah mengalami hal yang seperti itu.
Di kala kondisi sedang turun setan akan lebih mudah untuk menghasut dan menjatuhkan kita.
Lalu bagaimana cara mengatasi dan meminimalisirnya??
Jika di kalangan jamaah tarbiyah sering kali kita dengar kata-kata “kita tidak mencetak kader yang steril, tapi
yang mempunyai imunitas tinggi”. Begitulah kira-kira kata yang sering saya dengar. Bukan mencari-cari alasan
tapi sangat relevan dengan kondisi saat ini. Untuk itulah di kala proteksi hati kita lemah dan tipis maka kita
kuatkan dan tebalkan. Kemudian kenapa hati? Karena dalam konteks ikhtilath yang rawan adalah hati. Hati
adalah hijab yang paling utama.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk memperkuat imunitas kita adalah dengan Tarbiyah
Dzatiyah. Tarbiyah dzatiyah adalah sejumlah pembinaan yang dilakukan oleh seorang muslim/ah kepada
dirinya sendiri. Sarananya banyak mulai dari muhasabah, taubat dari dosa, mengoptimalkan ibadah wajib dan
menyempurnakannya dengan ibadah sunah. Kemudian bisa dengan memperluas ilmu, bermujahadah hingga
terlibat dalam aktivitas dakwah. Wabilkhusus untuk masalah ini bisa ditingkatkan amalan-amalan iman. Seperti
yang dikatakan oleh Allah swt bahwa shalat bisa menjaga dari perbuatan keji dan mungkar (QS.29:45).
Kemudian juga dengan melaksanakan shaum, supaya menahan nafsu syahwat (HR.Muslim). Tentunya juga
dengan dzikrullah untuk senantiasa mengingat Allah SWT supaya kita diberikan rahmat dan juga ampunanNya
(QS.2:152).
Tarbiyah Dzatiyah memang sarana yang paling efektif dalam memproteksi hati dan keimanan kita. Dan bisa
juga sebagai media menguatkan ketika sedang rapuh. Sekali lagi kita sadari bersama bahwa ini adalah akhir
zaman. Ketika tanda-tanda yang Rasul katakana tentang kehidupan akhir zaman sudah mulai tampak satu
persatu. Maka sebagai seorang yang beriman, marilah kita kuatkan diri dan hati kita untuk senantiasa
menghadapi cobaan di akhir zaman ini. Yang paling dikhawatirkan adalah fitnah akhir zaman. Semoga kita
termasuk orang-rang yang beruntung sebagaimana dikatakan Allah (QS.103:1-3) dan rasul pada hadits yang
diriwayatkan oleh imam muslim tentang orang-orang asing.
“Sungguh diri ini tak ubahnya hanya seorang yang ditutupi aibnya oleh Allah swt. Dan jika dosa-dosa diri ini
dimanifestasikan dengan bau, tentunya tidak ada seorang pun orang yang ingin mendekati karena begitu baunya
diri ini. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Tentang kewajiban seorang muslim memperbaiki diri dan menyeru
kepada kebaikan juga mencegah kepada kemungkaran. Semata-mata ini dilakukan untuk mengharap ridha Allah
swt untuk menjadi orang-orang yang beruntung dan umat terbaik. Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami…….”
Allahu a’lam bishshawab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/10/23/23678/tarbiyah-dzatiyah-untuk-memproteksi-hati/
#ixzz8Kje75mLP
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/09/52862/indahnya-ukhuwah-dalam-dekapan-tarbiyah/
#ixzz8Kjl6teDb
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Definisi
dakwatuna.com – Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak tentang pengertian Husnul Khuluq, ia
mengatakan, wajah yang cerah, mengerahkan kebaikan, dan mencegah bahaya.
Urgensi Akhlak yang Baik:
Jangan remehkan soal peneguhan akhlak. Hati sekeras batu milik para kafir Quraisy pun dapat luluh dengan
akhlak mulia.
Karena Islam bukan sekadar tujuan tapi juga cara. Artinya kalau kita mempunyai cita-cita menegakkan Islam
maka tidak ada cara lain untuk mencapai kecuali dengan cara (akhlak) Islam. Hal ini juga diisyaratkan oleh
Allah SWT dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan congkak dan ingin
dilihat oleh manusia dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah.” (QS. Al-Anfal: 47)
Orang-orang kafir, sekalipun membangkang dan bersikeras memerangi Rasulullah SAW, namun mereka tidak
kuasa menampik kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mengapa?
Apa –selain faktor hidayah dari Allah SWT- yang membuat hati banyak orang yang semula lebih keras dari
batu, bisa tiba-tiba luluh, dan tak berdaya selain tunduk dan pasrah kepada seruan Rasulullah SAW?
Jawabannya adalah karena Islam adalah kebenaran mutlak yang pasti sesuai dengan fitrah manusia. Namun ada
faktor lain yang menempati posisi amat bermakna untuk membuat seseorang tersentuh fitrahnya yakni: akhlak.
Keindahan akhlak yang ditampilkan Rasulullah saw telah membungkam segala hujjah orang yang mendustakan
Rasulullah SAW. Karenanya hal yang paling mungkin mereka tuduhkan kepada Rasulullah SAW adalah bahwa
beliau seorang tukang sihir atau berpenyakit gila. Meski akhirnya tuduhan itu tak dapat juga mereka buktikan.
Karena itu, semangat menegakkan kebenaran (baca: syari’at Islam) bukan alasan untuk mengabaikan akhlak
Islami. Bahkan justeru semangat itu seharusnya mendorong untuk meningkatkan kualitas akhlak.
Prinsip itu berlaku universal dan dipraktekkan oleh para nabi sebelum Rasulullah SAW. Lihat, bagaimana Allah
SWT mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menghadapi Firaun. Bukan untuk semata-mata menawarkan
kebenaran, namun untuk menawarkan kebenaran dengan memakai akhlak. “Pergilah kamu berdua kepada
Firaun sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-
kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (kepada Allah).” (QS. Thaha: 43-44)
Rasulullah SAW pun mendapat perintah yang sama. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri. Dan tidaklah sama antara kebaikan dengan keburukan. Maka tolaklah (keburukan) itu
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dengan dia ada permusuhan menjadi
seolah-olah telah menjadi teman setia.” (QS. Fushshilat: 33-34)
Kedua ayat ini menunjukkan akhlak dalam berdakwah dengan segala tantangannya sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi seseorang mau menerima kebenaran atau tidak, menjadi tunduk hatinya atau semakin
congkak, menjadi suadara seiman atau semakin menjadi-jadi permusuhannya.
Karenanya, dakwah yang penuh cacian dan makian, kepada siapa pun: penguasa, kelompok lain yang tidak
sehaluan, orang yang tidak mau mengikuti seruan dakwahnya adalah bertentangan dengan akhlak Islam. Selain
tidak sesuai dengan esensi kebenaran itu sendiri cacian dan makian itu tidak akan menambah keimanan dan
amal. Alih-alih meningkatkan pemahaman dan kesiapan untuk berjuang, bertambah justeru penyakit-penyakit
hati seperti iri, dengki, kebencian, dan kesumpekan dada.
Kesombongan akan melemahkan posisi dai dalam menghadapi tantangan, baik yang muncul karena sebab
kelebihan ilmu, wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya mudah mengambil kesimpulan,
keputusan, atau bahkan memvonis keadaan. Jelas cara ini sangat berbahaya. Karena dengan cara seperti itu
seorang da’i bisa terjebak dalam pandangan yang over istimasi tentang dirinya dan sebaliknya under estimasi
tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya. Ini pernah menjadi catatan pahit kaum muslimin di masa lalu,
sebagaimana Allah rekam dalam ayat-Nya:
“Sungguh Allah telah menolong kalian di banyak tempat dan pada hari (perang) Hunain, saat jumlah kalian
yang banyak membuat kalian bangga tapi ternyata tidak berguna sama sekali bagi kalian (jumlah tersebut),
dan bumi kalian rasakan menjadi sempit padahal ia luas, kemudian kalian berpaling dengan membelakang.
Kemudian Allah menurunkan ketenteraman-Nya atas rasul-Nya dan atas orang-orang beriman dan
menurunkan bala tentara yang kalian tidak dapat melihatnya, dan menyiksa orang-orang kafir. Dan itulah
balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. At-Taubah: 25-26)
Kesombongan juga bisa muncul dalam bentuk mengangkat diri sendiri melebihi kapasitas sebenarnya. Sejarah
telah membuktikan bahwa tidak ada kemenangan yang dicapai oleh kesendirian. Kemenangan Islam adalah
kemenangan kolektif dan dihasilkan dari amal jama’i yang segala keputusannya lahir dari musyawarah (syura).
Riya juga menempati posisi penting dalam faktor-faktor penyebab kegagalan dakwah dan perjuangan Islam.
Sebelum riya itu berdampak buruk dalam kaitan interkasi sesama manusia, ia terlebih dahulu merupakan
penyakit yang dimurka Allah SWT sampai-sampai Rasulullah SAW menjelaskan bahwa alih-alih mendapatkan
pahala, orang yang beramal dengan riya lebih layak menjadi penghuni neraka. Karena memang orang yang riya
bukan mencari ridha Allah dengan amalnya. Atau mencari ridha Allah sambil mencari pujian manusia. Dan
Allah tidak suka cara seperti itu. Lalu, bagaimana bisa mendapatkan pertolongan Allah SWT jika dalam beramal
yang diinginkan adalah keridhaan manusia?
Sombong dan riya ini merupakan induk dari akhlak buruk yang akan memunculkan perilaku buruk lainnya.
Karena itu dapat dimengerti jika larangan sombong dan riya kemudian diikuti larangan menghalang-halangi
orang lain dari jalan Allah. Apa maksudnya?
Bukan dakwah dan perjuangannya, tentu, yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, melainkan sifat
dan akhlak buruk yang menyertai dakwah dan perjuangan itu. Akhlak buruk bisa menyebabkan orang lari dari
dakwah dan bahkan dari Islam itu sendiri. Dan jika ada orang yang lari dari Islam gara-gara kita berakhlak
buruk kita dianggap telah menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Maka, sifat-sifat buruk ini perlu
dibersihkan dari diri kita. Namun tidak cukup dengan hanya takhliyah, tapi juga dihiasi dengan sikap tahliyah.
Sikap berikutnya adalah tahliyah yakni menghiasi diri dengan segala akhlak terpuji. Dan Rasulullah SAW telah
melakukan keduanya (takhliyah dan tahliyah), yang karenanya Allah SWT memujinya, “Dan engkau sungguh
memiliki akhlak yang agung.” Allah berfirman,
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Anas RA berkata,
َك اَن الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َأْح َسَن الَّناِس ُخُلًقا
“Adalah Rasulullah SAW itu orang yang paling baik akhlaknya.” (Muttafaq Alaihi).
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
Allah berfirman,
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
Abu Huraiah RA meriwayatkan,
َأَّن َر ُج اًل َقاَل ِللَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأْو ِصِني َقاَل اَل َتْغ َض ْب َفَر َّد َد ِمَر اًر ا َقاَل اَل َتْغ َض ْب
“Seseorang berkata kepada Rasulullah saw, ‘Nasihati aku!’ Beliau bersabda, ‘Jangan marah!’ beliau mengulang
beberapa kali, ‘Jangan marah!” (Bukhari).
Allah berfirman,
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-
orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).
3. Bersikap sabar;
Allah berfirman,
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-
tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”. (QS. Fushshilat: 34-
35).
Allah berfiman,
“Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal
yang diutamakan.” (QS. As-Syura: 43).
4. Sopan santun dan telaten
َو َقاَل َر ُسول هَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِلَألَشّج َعْبد اْلَقْيس ِإَّن ِفيك َلَخ ْص َلَتْي ِن ُيِح ُّبُهَم ا ُهَّللا اْلِح ْلم َو اَأْلَناُة
“Rasulullah saw berkata kepada Asyaj Abdul Qais, ‘Pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah, yaitu sopan
santun dan telaten.” (Muslim).
“Sesungguhnya Allah mencintai sikap santun dalam segala hal.” (Muttafaq Alaihi).
“Seorang Arab Baduwi kencing di masjid dan orang-orang (sahabat) bangkit untuk menghentikannya. Nabi
SAW bersabda, ‘Biarkan dia dan siramlah seember air pada kencingnya atau seember besar air. Karena kalian
diutus untuk mempermudah dan tidak diutus untuk mempersulit.” (HR. Bukhari).
“Permudahlah dan jangan persulit. Berilah berita gembira dan jangan kalian buat mereka berlari.” (Muttafaq
Alaihi).
“Barangsiapa diharamkan memiliki kelembutan maka ia diharamkan dari kebaikan.” (HR. Muslim).
ِإَّن َهَّللا َكَتَب اِإْل ْح َساَن َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َفِإَذ ا َقَتْلُتْم َفَأْح ِس ُنوا اْلِقْتَلَة َو ِإَذ ا َذ َبْح ُتْم َفَأْح ِس ُنوا الَّذ ْب َح َو ْلُيِح َّد َأَح ُد ُك ْم َش ْفَر َتُه َفْلُيِرْح َذ ِبيَح َتُه
“Allah menentukan ihsan dalam segala hal, jika kalian membunuh, baiklah dalam membunuh, jika kalian
menyembelih, baiklah dalam menyembelih. Hendaknya salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya
dan menyamankan binatang sembelihannya.” (HR. Muslim).
Aisyah ra berkata,
َم ا ُخ ِّيَر َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َبْيَن َأْمَر ْي ِن ِإاَّل َأَخ َذ َأْيَسَر ُهَم ا َم ا َلْم َيُك ْن ِإْثًم ا َفِإْن َك اَن ِإْثًم ا َك اَن َأْبَعَد الَّناِس ِم ْنُه َوَم ا اْنَتَقَم َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا
َع َلْيِه َو َس َّلَم ِلَنْفِس ِه ِإاَّل َأْن ُتْنَتَهَك ُحْر َم ُة ِهَّللا َع َّز َو َج َّل
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan terhadap dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah selama tidak
dasa. Jika ia dosa, beliau adalah orang yang paling jauh. Rasulullah SAW tidak pernah marah kepada sesuatu
karena dirinya kecuali jika kehormatan Allah dinodai, maka beliau akan marah karena Allah.” (Muttafaq
Alaihi).
Rasulullah Saw memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari bagaimana berakhlak yang baik. Seperti
penuturan para sabahat di bawah ini;
Anas berkata;
َح َّد َثَنا ُس َلْيَم اُن ْبُن َح ْر ٍب َح َّد َثَنا َحَّم اٌد َع ْن َثاِبٍت َع ْن َأَنٍس َر ِض َي ُهَّللا َع ْن ُه َقاَل َم ا َم ِس ْس ُت َح ِريًر ا َو اَل ِد يَباًج ا َأْلَيَن ِم ْن َكِّف الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو اَل
َش ِمْم ُت ِريًح ا َقُّط َأْو َعْر ًفا َقُّط َأْط َيَب ِم ْن ِريِح َأْو َعْر ِف الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َو َلَقْد َخ َدْم ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َليِه َو َس َّلم َع ْش َر ِسِنْيَن َفَم ا َقاَل ِلي
َأَال َفَع ْلَت َك َذ ا؟: ِلَم َفَع ْلَتُه؟ َو َال ِلَش ْي ٍء َلْم ََأْفَع ْلُه: َو َال قَاَل ِلَش ْي ٍء َفَع ْلُتُه، َقُّط ُأٍّف
“Aku tidak pernah memegang kain sutra maupun brokat yang lebih halus daripada telapak tangan Raslullah
SAW dan aku tidak pernah mencium bau yang lebih harum daripada bau Rasulullah SAW. Aku telah melayani
Rasulullah SAW selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata, ‘uf’ kepadaku dan tidak pernah mengatakan
terhadap sesuatu yang aku kerjakan, ‘mengapa kamu lakukan itu,’ serta sesuatu yang tidak aku kerjakan,
‘mengapa kamu tidak lakukan itu?” (Muttafaq Alaihi).
ََأْهَدْيُت إلىِ َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِح َم اًرا َو ْح ِش ًّيا َفَر َّد ُه َع َلْي ِه َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َوَس َّلَم َقاَل َفَلَّم ا َأْن َر َأى َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم
َم ا ِفي َو ْج ِهي َقاَل ِإَّنا َلْم َنُر َّد ُه َع َلْيَك ِإاَّل َأَّنا ُحُر ٌم
“Aku memberi hadiah keledai liar kepada Rasulullah saw namun beliau mengembalikannya. Ketika Rasulullah
melihat perubahan pada wajahku beliau bersabda, ‘Kami tidak mengembalikannya kepadamu kecuali karena hal
itun haram (bagi kami).” (Muttafaq Alaihi).
َس َأْلُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َع ْن اْلِبِّر َو اِإْل ْثِم َفَقاَل اْلِبُّر ُحْسُن اْلُخ ُلِق َو اِإْل ْثُم َم ا َح اَك ِفي َص ْد ِرَك َو َك ِر ْهَت َأْن َيَّطِلَع َع َلْيِه الَّناُس
“Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebajikan dan dosa. Beliau bersabda, ‘Kebajikan adalah akhlak
yang baik dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam dada dan engkau tidak suka jika dilihat orang.”
(Muttafaq Alaihi).
َلْم َيُك ْن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفاِح ًش ا َو اَل ُم َتَفِّح ًش ا َو ِإَّنُه َك اَن َيُقوُل ِإَّن ِخَياَر ُك ْم َأَح اِس ُنُك ْم َأْخ اَل ًقا
“Rasulullah itu tidak ngelantur berbicara dan bukan pembual. Beliau pernah bersabda, ‘Sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik akhlaknya.”
َأْثَقُل ِفي ِم يَز اِن اْلُم ْؤ ِم ِن َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِم ْن ُخ ُلٍق َحَس ٍن َو ِإَّن َهَّللا َلُيْبِغ ُض اْلَفاِح َش اْلَبِذ يَء
“Yang paling berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat adalah akhlak yang baik. Dan Allah itu
sangat membenci pembual lagi berkata jorok” (Tirmidzi, hadits shahih).
Keutamaan Akhlak yang baik
Abu Hurairah RA meriwayatkan,
ُس ِئَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َع ْن َأْكَثِر َم ا ُيْد ِخ ُل الَّناَس اْلَج َّنَة َفَقاَل َتْقَو ى ِهَّللا َو ُحْسُن اْلُخ ُلِق َو ُس ِئَل َع ْن َأْكَثِر َم ا ُيْد ِخ ُل الَّناَس الَّناَر َفَقاَل اْلَفُم
َو اْلَفْر ُج َقاَل َأُبو ِع يَس ى َهَذ ا َح ِد يٌث َصِح يٌح َغ ِر يٌب َو َع ْبُد ِهَّللا ْبُن ِإْد ِريَس ُهَو اْبُن َيِزيَد ْبِن َعْبِد الَّرْح َمِن اَأْلْو ِد ُّي
“Rasulullah SAW ditanya tentang kebanyakan hal yang memasukkan orang ke surga. Beliau menjawab, takwa
kepada Allah dan husnul khuluq. Beliau ditanya lagi tentang kebanyakan hal yang memasukkan orang ke dalam
neraka dan beliau menjawab, mulut dan kemaluan.” (Tirmidzi, hadits shahih).
َأْك َم ُل اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِإيَم اًنا َأْح َس ُنُهْم ُخُلًقا َو ِخَياُر ُك ْم ِخَياُر ُك ْم ِلِنَس اِئِهْم ُخُلًقا
“Orang-orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah
yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi, hadits shahih).
Aisyah RA berkata,
“Sesungguhnya seorang mukmin, dengan kebaikan akhlaknya, dapat mencapai derajat orang yang berpuasa dan
qiyamul lail.” (HR. Abu Dawud).
ِإَّن َهَّللا َرِفيٌق ُيِح ُّب الِّر ْفَق َو ُيْع ِط ي َع َلى الِّر ْفِق َم ا اَل ُيْع ِط ي َع َلى اْلُع ْنِف َوَم ا اَل ُيْع ِط ي َع َلى َم ا ِسَو اُه
“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dan memberikan, melalui kelembutan, sesuatu yang tidak diberikan
melalui kekerasan, dan yang tidak diberikan melalui yang lain.” (HR. Muslim).
ِإَّن الِّر ْفَق اَل َيُك وُن ِفي َش ْي ٍء ِإاَّل َز اَنُه َو اَل ُيْنَزُع ِم ْن َش ْي ٍء ِإاَّل َش اَنُه
“Sesungguhnya kelembutan itu tidak berada pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak dicabut dari sesuatu
kecuali memperburuknya.” (HR. Muslim).
َأَنا َز ِع يٌم ِبَبْيٍت ِفي َر َبِض اْلَج َّنِة ِلَم ْن َتَرَك اْلِمَر اَء َو ِإْن َك اَن ُمِح ًّقا َو ِبَبْيٍت ِفي َو َسِط اْلَج َّنِة ِلَم ْن َتَرَك اْلَك ِذَب َو ِإْن َك اَن َم اِز ًح ا َو ِبَبْيٍت ِفي َأْعَلى اْلَج َّنِة ِلَم ْن
َح َّسَن ُخ ُلَقُه
“Aku adalah penjamin sebuah rumah di sekitar taman (surga) bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan
walaupun ia benar, penjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun ia bercanda,
juga menjadi penjamin sebuah rumah di surga paling atas bagi orang yang memiliki husnul khuluq.” (HR. Abu
Dawud dengan sanad shahih).
ِإَّن ِم ْن َأَح ِّبُك ْم ِإَلَّي َو َأْقَر ِبُك ْم ِم ِّني َم ْج ِلًسا َيْو َم اْلِقَياَم ِة َأَح اِس َنُك ْم َأْخ اَل ًقا َو ِإَّن َأْبَغ َض ُك ْم ِإَلَّي َو َأْبَعَد ُك ْم ِم ِّني َم ْج ِلًسا َيْو َم اْلِقَياَم ِة الَّثْر َثاُروَن َو اْلُم َتَشِّد ُقوَن
َو اْلُم َتَفْيِهُقوَن َقاُلوا َيا َر ُسوَل ِهَّللا َقْد َعِلْم َنا الَّثْر َثاُروَن َو اْلُم َتَشِّد ُقوَن َفَم ا اْلُم َتَفْيِهُقوَن َقاَل اْلُم َتَك ِّبُروَن
“Yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat denganku tempat duduknya pada hari Kiamat
adalah yang paling bagus akhlaknya. Yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh tempat duduknya di
hari Kiamat adalah yang banyak berbicara, yang suka usil, dan orang-orang Mutafaihiq (yang pongah dengan
ucapannya).” Mereka bertanya, “Siapakah orang-orang Mutafaihiq itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang
sombong.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan).
َأاَل ُأْخ ِبُر ُك ْم ِبَم ْن َيْح ُر ُم َع َلى الَّناِر َأْو ِبَم ْن َتْح ُر ُم َع َلْيِه الَّناُر َع َلى ُك ِّل َقِريٍب َهِّيٍن َس ْهٍل
“Maukah kalian aku beritahu tentang orang yang diharamkan masuk neraka atau neraka diharamkan terhadap
setiap orang yang gampang dekat, lembut perangai, dan mudah.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan).
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/09/02/56532/husnul-khuluq-akhlak-yang-baik/#ixzz8LOdL9VBC
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/kisah-uwais-al-qarni-pemuda-istimewa-di-
mata-rasulullah-4YCHR
___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)
Sedangkan menurut Imam Ghazali kata riya’ berasal dari kata ru’yah yang berarti
melihat, maksudnya ingin dilihat orang lain supaya medapat penghormatan atau
pujian.