Anda di halaman 1dari 21

Walau Sendiri, Saya Tetap Menyampaikan

Seperti biasa, hari ini kami berkumpul melingkar di rumah suci Allah. Sudah lebih dari setahun kebersamaan
kami. Rindu-rindu ini selalu menjelma ketika tak bertemu walau hanya sepekan. Pekan lalu saya tidak bisa hadir
memperbarui semangat-semangat adik-adik shalihah pilihan Allah, yang dengan langkah ringan dan hati ikhlas,
mereka mampu menyempurnakan lingkaran-lingkaran kami dan berbagi serta menambah semangat hidup
bermanfaat saya.
Siang ini, mereka datang dengan tubuh yang lebih letih dari biasanya karena paginya mereka harus tes
pengambilan nilai olahraga. Tapi sungguh semangat mereka sangat luar biasa, walau tidak semua hadir.
Memang sesungguhnya Allah telah memberi banyak kesempatan manusia untuk menjemput ilmu dan hidayah,
kita saja yang selalu kufur, enggan menggapainya, selalu berpaling pura-pura tidak tahu, menutup mata dan
telinga seolah-olah buta dan tuli, lalu menyalahkan Allah atas ketidaksadaran kita akan hadirnya hidayah.
Sebenarnya siapa yang salah? (you don’t say)
Makhraj dan tajwid yang tidak luput kami diskusikan setelah tilawah bergantian, berkat Allah, mereka mulai
banyak berubah, bacaan tilawahnya, masya Allah, semakin oke saja. Sebelum dimulai, seperti biasa, kami
berbincang-bincang ringan, menanyakan kabar, aktivitas sekolah dan keluarga sambil makan beberapa makanan
ringan. Tiba-tiba ada adik yang berkata, namanya Dhila, “Kak, maaf ya, yang dateng cuma sedikit.” Saya
menghela nafas ringan sambil tersenyum. “Nggak papa Dhila, dulu waktu kakak hadir kajian di masjid kampus,
kondisinya sedang hujan deras, walau begitu ustadz pengisi kajian tetap datang tepat waktu, tetapi kami yang
hadir di depannya dapat dihitung dengan jari. Kakak lihat panitia memohon maaf atas kehadiran kami yang
sedikit, lalu ustadz itu berkata kepada kami sambil tersenyum ikhlas, senyumnya sungguh menyejukkan, kurang
lebih seperti ini, ‘Saya tidak mempedulikan siapa dan berapa yang hadir di sini, walaupun hanya satu orang,
tetap saya akan menyampaikan, walau tak ada satu orang pun, Allah tetap akan memberi balasan sesuai dengan
niat kehadiran saya. Sebenarnya saya datang ke sini bukan untuk memberi kalian ilmu, sungguh bukan, tetapi
saya datang ke sini memberi ilmu untuk diri saya sendiri, karena ketika saya menyampaikan ilmu Allah, maka
ilmu itu bukan untuk kalian, karena ilmu yang sampai kepada kalian sungguh bukan dari saya, bukan karena
saya, tetapi dari Allah dan karena Allah.’” Dia menundukkan kepala, airmatanya menetes, sungguh hati yang
menangis karena Allah. Saya mengelus pundaknya, tersenyum, menyodorkan tisu, “Dhila nggak usah sedih.”
Kata-kata ustadz itu alhamdulillah saya ingat hingga saat ini, sungguh bijaksana, hebat, menjadi motivasi saya
untuk berusaha hadir dalam lingkaran cinta kami, untuk memberi ilmu pada pikiran, memperbarui hati, bukan
semata-mata untuk mereka, tapi untuk diri dan hati yang cupu ini.
Yaa Allah, kumpulkan, temukan dan satukan kami dalam surga-Mu, karena Engkau tahu bahwa hati-hati ini
berkumpul mencurahkan cinta kepada-Mu, bertemu dalam taat dan bersatu di jalan-Mu. Aamiin.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/10/02/57755/walau-sendiri-saya-tetap-menyampaikan/
#ixzz8FKEkGrYx
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/10/02/57755/walau-sendiri-saya-tetap-menyampaikan/
#ixzz8FKEeXzpB
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

dakwatuna.com – Menurut para ulama, surat Alam Nasyrah diturunkan di Makkah setelah surat adh-Dhuha
sebagaimana urutannya dalam mushaf usmany([1]). Surat ini memiliki beberapa nama selain Alam Nasyrah, di
antarnya: asy-Syarh([2]), seperti yang terdapat dibanyak cetakan mushaf sekarang dan buku-buku tafsir.
Juga al-Insyirah seperti yang disebutkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu al-Jauzy dalam tafsirnya([3]).
Surat ini merupakan kelanjutan surat sebelumnya, karena sama-sama membahas kepribadian Nabi Muhammad
saw dan kondisi yang dihadapi oleh beliau. Keduanya juga menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang
diberikan Allah. Jika di surat sebelumnya Allah menyebutkan tiga nikmatnya: Allahlah yang memberikan
‘inayah (perlindungan) saat kondisi beliau yatim, fakir dan kebingungan. Maka pada surat ini, Allah tambahkan
tiga nikmat-Nya yang lain: nikmat kelapangan dada([4]), meringankan beban beliau saat berhadapan dengan
kaumnya ketika menyampaikan risalah kenabian yang tak ringan, juga Allah tinggikan kedudukan dan derajat
beliau baik di bumi maupun di langit melebihi segala ciptaan-Nya yang pernah dan yang akan ada.
Hal ini hanya diperuntukkan kepada beliau demi menghibur sekaligus menguatkan azamnya. Di tengah teror
yang tak henti-hentinya dari musyrikin Makkah. Di akhir surat ini, Allah memerintahkan untuk menggunakan
waktu sebaik-baiknya, juga untuk beribadah setelah menyampaikan risalah. Perpindahan-perpindahan aktivitas
tersebut merupakan refleksi rasa syukur([5]) kepada Allah swt atas karunia nikmat-nikmat-Nya yang sangat
banyak yang tak memungkinkan untuk dihitung-hitung apalagi untuk dibalas.
Kenikmatan-Kenikmatan
“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu.
Yang memberatkan punggungmu? Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS. 94: 1-4)
Nikmat pertama yang disebut Allah adalah nikmat kelapangan dada. Diturunkan dalam bentuk pertanyaan
sebagaimana surat sebelumnya. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Muhammad saw juga benar-benar berpikir,
merenungi lebih dalam atas karunia dan nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Lebih dari yang
sekadar disebut-Nya.
Ayat di atas mengandung dua makna, zhahir dan batin. Secara zhahir, Rasulullah saw pernah dibersihkan organ
dalamnya oleh malaikat sewaktu masih kecil. Demikian juga setelah itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal
tersebut terjadi berkali-kali.
Pertama kali terjadi pada saat beliau berusia empat tahun, yaitu masa-masa terakhir beliau diasuh oleh Halimah
Sa’diyah di perkampungan Bani Sa’d sebelum dikembalikan kepada ibunya. Kedua, terjadi pada saat beliau
berumur duapuluhan tahun. Ketiga, terjadi lagi sebelum beliau Isra’ Mi’raj([6]).
Dalam riwayat Imam Ahmad dijelaskan bahwa tujuan pembelahan dada beliau –operasi fisik- secara zhahir
adalah untuk membuang dendam, hasad dan iri (al-Ghill wa al-Hasad) dan kemudian memasukkan cinta dan
kasih sayang (Rahmah wa Ra`fah) ([7]). Menariknya, Imam al-Baidhawy mengatakan bahwa seolah-olah ini
merupakan athaf dari surat sebelumnya yang datang dengan kata tanya (istifham) (‫)ألم يجدك يتيمًا‬. Dan untuk
menegaskan bahwa masih banyak nikmat-nikmat Allah yang lain yang tidak disebut dan manusia tak mampu
menghitungnya.
Adapun kandungan makna batinnya, bahwa Allah telah memberikan kelapangan dada dengan membuka hati
beliau untuk dimudahkan menerima ilmu dan hikmah kenabian serta risalah. Demikian ditegaskan maknanya
oleh Imam al-Baghawi([8]). Bahkan para tokoh sufi lebih suka memakai makna batin ini dan lebih
merajihkannya karena kata yang dipakai adalah syaraha.
Nikmat kedua, menghilangkan beratnya beban-beban dakwah Rasulullah saw. Sebagian para ahli tafsir
menafsirkan al-wizr adalah kesalahan dan kealpaan yang dilakukan Nabi Muhammad sebelum beliau menjadi
nabi. Semuanya telah Allah ampunkan. Tapi, tak sedikit yang menafsirkannya dengan beban secara umum yang
dihadapi oleh Rasulullah saw dalam melaksanakan misi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Yaitu
menyampaikan risalah kenabian. Baik beban fisik dengan teror yang diterimanya, maupun secara psikis yang
dialaminya berkali-kali. Mulai hinaan, cemoohan, ancaman, tuduhan keji atau bahkan rayuan dan bujukan.
Semuanya Allah jadikan ringan. Bahkan Allah melengkapinya dengan nikmat selanjutnya.
Nikmat ketiga, ditinggikan derajatnya. Allah mengangkat derajat beliau sebagai nabi. Bahkan disandingkan
namanya dengan asma’ Allah Yang Mahaagung. Namanya disebut oleh penduduk bumi dan langit di sepanjang
waktu. Penduduk bumi yang shalat saja berputar dari pagi ke pagi selalu ada yang shalat, syahadatain dibaca di
dalamnya. Dalam khutbah, syahadatain juga dibaca. Sebelum ijab qabul pernikahan, syahadatain juga dibaca.
Banyak riwayat yang menyebutan kemuliaan beliau yang diberikan Allah dengan penyebutan tersebut([9]).
Kemudahan-Kemudahan
Setelah menyebutkan nikmat dan karunia yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya, Dia menegaskan sebuah
makna yang memberikan sugesti kemenangan, kebahagiaan dan ketenangan.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan”. (QS. 94: 5-6)
Apa rahasia pengulangan kalimat-kalimat di atas? Apa makna yang terkandung hingga Allah perlu mengulangi
dan menegaskan pesan-pesan-Nya?
Imam al-Baghawi, Imam al-Ma’iny dan Syeikh Muhyiddin ad-Darwisy menyimpulkan dari struktur gaya
bahasa di atas dengan sebuah kaidah kebahasaan, “Isim nakirah jika disebut dua kali maka yang kedua tidaklah
sama dengan yang pertama. Namun, jika isim makrifat disebut dua kali maka yang kedua sama dengan yang
pertama.”([10]). Dari kaidah ini bisa ditarik sebuah kesimpulan, setiap satu kesulitan terdapat dua kemudahan.
Setidaknya akan berupa penyelesaian yang terbaik serta pahala kebaikan yang hanya diketahui Allah jika
bersabar dalam menghadapinya. Setelah kesulitan dan beban-beban dakwah yang berat di Makkah, Allah akan
memberikan kemudahan dan kemenangan di Madinah.
Kemudahan yang diberikan Allah bahkan berlipat-lipat. Jika Nabi saw terlahir sebagai yatim, beliau bahkan
menyantuni banyak fakir miskin dan anak-anak yatim serta para janda miskin. Allah berikan kekayaan, beliau
diangkat derajatnya, dilapangkan dadanya dan diringankan beban-bebannya. Apalagi setelah diangkat sebagai
Nabi dan Rasul Allah swt. Meski, tekanan justru datang setelah itu. Tapi kemudahan dan kemenangan Allah
jadikan setelahnya. Bahkan, beliau menjelma menjadi rahmat –atas titah Allah- bagi segenap alam semesta.
Bukan hanya bagi manusia saja.
Jika pada mulanya Islam ditekan, pengikutnya juga ditindas dan dihina, pengikutnya orang-orang lemah dan
terzhalimi. Tapi akhirnya, Allah mengubahnya sesuai janjinya. Sebagai contoh kisah Fathu Makkah
memberikan kebenaran janji Allah. Dengan segala izzah, Rasul memasuki kota Makkah. Jika sebelumnya
orang-orang kuat penduduk Makkah menindas beliau dan para pengikutnya, maka pada saat itu semuanya
tertunduk pasrah.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang melarikan diri. Kemuliaan yang tak menjadikan beliau sombong dan
lupa diri. Beliau justru memperbanyak tasbih dan istighfar, bersyukur atas kemuliaan dan kemenangan yang
dikaruniakan Allah berupa mengukuhkan dan mengokohkan agama-Nya di muka bumi ini.
Yakinlah, setiap satu kesulitan ada dua kemudahan yang disiapkan Allah, kemudahan duniawi dan ukhrawi. Tak
heran jika kemudian beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud ra,
“Beritakan kabar gembira, telah datang kemudahan. Takkan pernah satu kesulitan mengalahkan dua
kemudahan.”([11])
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Perpindahan Aktivitas
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain”.(QS. 94: 7)
Inilah makna istirahat yang sebenarnya. Bukanlah dengan bermalas-malasan dan bersantai, namun dengan
perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Sehingga akan maksimal produktifitas seseorang. Maka, Nabi
Muhammad saw mencontohkan setelah menyampaikan dakwahnya, beliau diperintah untuk bersegera beribadah
sebagai rasa syukur atas nikmat kenabian sekaligus sebagai rasa tawakkal memasrahkan usaha yang telah
dilakukan sebelumnya. Bahwa hasil dari dakwah beliau sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt.
Inilah yang seharusnya ditiru oleh pengikut beliau. Jika itu benar-benar kita lakukan, maka kemudahan-
kemudahan akan semakin banyak diberikan Allah. Dan Allah akan tinggikan pula ‘izzah agama ini melalui
tangan-tangan kita.
Selain itu, ayat ini mengisyaratkan sebuah keseimbangan ideal. Setelah kita sibuk dan beramal untuk dunia,
maka seharusnya kita juga berbuat dan beramal untuk akhirat.
“Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. 94: 8)
Kesyukuran itu lebih sempurna bila kita jadikan Allah benar-benar satu-satunya tempat bergantung dan
berharap. Apa yang lebih indah dari rasa syukur yang dikaruniakan Allah yang telah menyebut bahwa hanya
sedikit saja dari hamba-Nya yang mampu bersyukur dengan baik.
Sang Guru Ibnu Atha`illah As-Sakandary mengimbuhkan sebuah makna yang sangat dalam, “Allah
menganugerahimu tiga kemuliaan. Dia membuatmu ingat (zikir) kepada-Nya. Kalaulah bukan karena karunia-
Nya, engkau tak pantas menjadi ahli zikir kepada-Nya. Dia membuatmu diingat oleh-Nya (mazkur), karena Dia
sendiri yang menisbahkan zikir itu untukmu. Dan Dia juga membuatmu diingat di sisi-Nya, saat Allah
sempurnakan nikmat-Nya kepadamu.”([12]).
Penutup
Itulah Allah. Zat yang rahmat-Nya luas tanpa batas. Zat yang kasih sayang-Nya tidak terbilang. Pernahkah
menghitung nikmat dan karunia yang diberikan-Nya kepada kita? Padahal, tak banyak yang sudah kita lakukan
untuk menyukurinya. Berapa kalikah kita berbuat dosa dan melanggar larangan-Nya, tak menunaikan hak-hak-
Nya dengan baik?
Namun, hingga saat ini Dia masih saja memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan memperbaiki
kesalahan-kesalahan. Betapa banyak kesalahan yang kita sembunyikan dari orang tua, istri, anak dan dari orang
banyak. Dan Allah tetap terus menutupnya.
Akankah kita melupakannya begitu saja? Alangkah baiknya jika kita tak menghentikan pengharapan kita pada-
Nya dan terus mendekatkan diri dengan bertaubat dan istighfar. Itulah kesempurnaan pengharapan. Maka,
Dialah Zat yang laik untuk benar-benar diharapkan. Karena Dia tak pernah menyelisihi dan mengingkari janji-
Nya serta mengabaikan ketulusan pengharapan hamba-hamba-Nya.
Catatan Kaki:
([1]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004
M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988
M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-
Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.816
([2]) Ibid. hlm. 817
([3]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma`tsur, Beirut: Dar al-Fikr, Cet.I, 1983
M-1403 H,, Vol.VIII, hlm. 547, Abdurrahman Ibnu al-Jauzy, Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir, Beirut: al-Maktab
al-Islami, Cet.III, 1404 H, Vol.IX, hlm. 162
([4]) ada banyak pendapat tentang pembelahan dada Nabi Muhammad saw yang insya Allah akan kita bicarakan
saat menadabburi ayatnya nanti.
([5]) Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H,
hlm. 302
([6]) Lihat: Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 299-300,
Abu al-Fida` Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-Azhim, Cairo: al-Maktab Ats-Tsaqafi, Cet.I, 2001 M, Vol. IV,
hlm. 528
([7]) Tafsir Ibnu Katsir, Ibid.
([8]) Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 469
([9]) Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I,
1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm.416-417, juga: Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an,
tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 285
([10]) Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Op.Cit, Vol. IV, hlm. 470, Muhyiddin ad-Darwisy, I’rabu al-Qur`an al-
Karim wa Bayanuhu, Beirut: Dar Ibnu Katsir, Cet. IX, 2005 M-1426 H, Vol. VIII,hlm. 353, lihat tesis
penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah
wa Tahqiq, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 876
([11]) Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan,Op.Cit, Vol. 30, hlm. 286, Abul Qasim Jarullah Az-
Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa`iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta`wil, Cairo: Maktabah Mustafa
Muhammad, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hlm. 221
([12]) Ibnu Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Penerjemah: Dr. Ismail Ba’adillah, Jakarta: Khatulistiwa
Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 289

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/10/52905/tadabbur-surat-alam-nasyrah-satu-kesulitan-dua-
kemudahan/#ixzz8JIw7oMMs
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Tiga Penyelamat dan Tiga Perusak


Saudaraku, dalam hidup yang singkat ini sering kali kita terjebak dengan hal-hal yang sepele, namun menguras
energi baik dalam diri kita. Akibatnya, agenda-agenda besar yang menjadi tugas kita sebagai khalifatullah di
muka bumi terabaikan.
Sebagai khalifah, kita bertugas memakmurkan bumi, menciptakan peradaban dan menebarkan Islam yang
rahmatan lil-alamin.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW berkata, “Ada tiga hal yang menyelamatkan dan tiga hal
yang merusak. Yang menyelamatkan adalah takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, berkata benar (adil)
dalam kondisi ridha maupun marah, dan bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan
yang merusak adalah bakhil yang kelewatan, nafsu yang diikuti, dan menyombongkan diri sendiri.” (HR
Baihaqi).
Mari kita telaah lebih lanjut. Tiga penyelamat terdiri atas bertakwa, adil dan sederhana.
Pertama, Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini
merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total untuk patuh dan
pasrah hanya kepada Allah. Sebagian kita berpendapat takwa sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan
perkara ubudiyah lainnya.
Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, aqidah, syariah, muamalah dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa
menuntut seseorang hanya takut kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan sendiri.
Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa
muttaba’un atau hawa nafsu yang dituruti.
Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri.
Pernahkah kita merasakan: kita terlihat begitu baik dan shalih saat bersama orang lain dan begitu binal dan
durhaka saat sendirian?
Kedua, berkata benar dalam kondisi senang maupun marah. Emosi kita yang pasang-surut tak boleh
menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Mencaci maki dan memfitnah tetap
terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran berbeda agama, mazhab atau partai
politik. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau anak sendiri.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Sederhana saat miskin bukan hal yang aneh, sebab memang sedang
“tak berpunya”. Namun sederhana saat kaya bukanlah hal mudah.
Karena itu, kita diajarkan untuk hidup zuhud. Kata Ibnul Qayyim, “Zuhud itu bukanlah orang yang
meninggalkan gemerlap dunia dari genggamannya, tetapi hatinya terus memikirkannya. Zuhud adalah orang
yang meninggalkan dunia dari hatinya, meskipun ada dalam genggamannya.”
Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai
tujuan melainkan sebatas sarana. Karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan
belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan.
Saudaraku, mari kita lihat hal-hal yang merusak umat manusia.
Pertama: Pelit. Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menggunakan kata “As-Shuh”, bukan “bakhil”. Kata
tersebut punya makna lebih pelit dari sekedar pelit (bakhil). Kira-kira, orang itu bukan cuma pelit pada orang
lain, tetapi pelit pada diri sendiri. Pada diri orang itu terkumpul sifat semua sifat pelit: kikir, kedekeut dan borok
sikutan.
Sifat seperti itu sangat tak terpuji. Karena itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tak habis pikir dengan orang
pelit. Orang miskin berlari darinya. Sedangkan orang kaya meninggalkannya dalam membanggakan harta. Di
dunia, dia hidup dalam kemiskinan. Di akhirat dia dimintai pertanggung-jawaban dalam kelompok orang-orang
kaya”.
Ibnul Qayyim menulis, “Pelit (pada dirimu sendiri) adalah kemiskinan yang tak berpahala”.
Rasulullah SAW berpesan, “Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang (kaum) sebelum kamu”.
(HR Abu Dawud).
Perusak yang kedua adalah nafsu yang diikuti. Pepatah Arab mengatakan, “nafsu bagaikan anak kecil. Jika
engkau tak pandai mengendalikannya, maka engkau akan dikendalikannya”.
Ungkapan itu benar sekali. Anak kecil yang merengek minta permen, misalnya, jika dituruti justru akan
menjerumuskannya pada sakit gigi. Tokoh yang terus mengikuti hawa nafsu adalah Firaun. Nafsu kekuasaan
telah menjadikan dirinya sombong, serakah, dan akhirnya berkata, aku adalah tuhan kalian.
Ketiga: menyombongkan diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang
kepada perilaku menyepelekan orang lain atau ‘ujub. Sedemikian bahayanya penyakit ‘ujub sehingga Ibnul
Qayyim berkata, “Seseorang yang tertidur di malam hari lalu menyesal di pagi hari adalah lebih baik dari pada
seseorang yang tahajud di malam hari lalu menyombongkan diri (dengan tahajud itu) di siang hari”.
Semoga kita berhasil mendapatkan tiga penyelamat, dan terhindar dari tiga perusak itu.
Wallahu’alam bis-shawab

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/06/26/81055/tiga-penyelamat-dan-tiga-perusak/#ixzz8Jy4Dp7uz
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/06/26/81055/tiga-penyelamat-dan-tiga-perusak/#ixzz8Jy45jZbh
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/06/26/81055/tiga-penyelamat-dan-tiga-perusak/#ixzz8Jy3xDFAh

Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

1.Allah mengetahua apa yang terbaik bagi masing-masing manusia

2. ditulis di dalam kalam yg di sebut lauh mahfudz sampai dengan yaumul qiyamah

3. adanya jehendak Allah yang membuat takdir tejadi dan tidak bisa diintervensi apapun.

4. Allah ciptakan semua makhluknya dan sudah pas.

“Bismillahirrahmannirrahim….. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyanyang.
Sungguh manusia bukan lah apa-apa dibandingkanNya. Dia yang memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh manusia. Jiwa-jiwa yang kosong dan raga yang lemah dijadikannya berisi dan kuat. Hati yang gersang dan
pikiran yang kotor, bisa Dia buat bersih. Takkan ada makhluk apapun di dunia ini yang mampu menandingiNya,
karena Dialah sang Pencipta segalanya tanpa terkecuali jiwa yang lemah ini.”
Dunia kini sudah masuk pada fase akhir zaman. Semua permasalahan yang ada menjadi sangat kompleks dan
membutuhkan iman yang kuat. Pernah terlintas pemikiran plagmatis bahwa Islam yang benar-benar kaffah sulit
sekali diterapkan. Astaghfirullah…. Untung saja itu hanya sepintas. Tetapi ada sebagian orang yang berusaha
mewujudkan penerapan tersebut. Mungkin inilah yang dikatakan oleh Rasul dalam salah satu haditsnya
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari Sahabat Abu Hurairah RA bahwa Nabi saw
bersabda,
‫بدأ اإلسالم غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء‬
“Islam ini pada awalnya dianggap aneh dan akan kembali menjadi aneh sebagaimana awalnya dan
beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh saat itu.” [HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitab Iman (145),
dan Sunan Ibnu Majah bab Al-Fitan (3986), Musna Imam Ahmad bin Hambal (2/389)]
Para “ghuraba” berusaha berbuat baik ketika banyak yang telah rusak. Merekalah yang tetap istiqamah dengan
jalan yang lurus
Dalam keberjalanan hidup manusia yang makhluk social, tentunya interaksi social tidak bisa dilepaskan. Begitu
pun dengan para “ghuraba” yang notabenenya adalah manusia biasa juga. Hal ini menuntut
para “ghuraba” untuk berinteraksi dengan manusia lain, yang mungkin pemahaman Islam nya tidak
menyeluruh bahkan tidak tahu. Salah satu akibat dari hal ini adalah terjadinya ikhtilath atau bercampur baurnya
perempuan dan laki-laki bukan mahram tanpa hijab. Ikhtilath bisa terjadi di mana saja dan kapan saja tergantung
interaksi social itu berlangsung. Tanpa terkecuali kampus dan media maya.
Dalam konteks kekinian, jika berbicara kampus maka mungkin para “ghuraba” itu salah satunya adalah para
ADK. Para ADK (Aktivis Dakwah Kampus) ini adalah orang-orang yang dibina dan dibentuk untuk
menyampaikan risalah Islam pada masyarakat kampus. Dalam kehidupan sehari-hari di kampus pun ADK
sering dibuat dilema dengan system yang ada. Kenapa dilema?? Bagaimana tidak, ADK yang berusaha untuk
menjaga keimanannya untuk tidak berihktilat dihadapkan pada keadaan berseberangan 180ᴼ. Di sisi lain, misi
menyampaikan nilai-nilai Islam harus terus diusung. Sehingga mau tidak mau ADK harus masuk ke system
tersebut dan berusaha mewarnainya. Kejadian ikhtilath di kampus ini bisa saat mengerjakan tugas kelompok,
praktikum, rapat di organisasi amah atau yang lainya.
Fenomena ikhtilath saat ini sudah mulai canggih seiring dengan perkembangan zaman. Saat ini ikhtilath bisa
terjadi meskipun tidak ada interaksi secara nyata dan langsung. Salah satu contohnya adalah
fenomena ikhtilath dunia maya dan elektronik. Katakanlah Facebook, Twitter, YM, telepon dan sms. Semua itu
adalah media yang jika tidak dipergunakan secara bijak akan mengakibatkan kemudharatan. Lebih
dari ikhtilath, bahkan bisa zina atau kemaksiatan yang lain.
Kenapa ikhtilath itu tidak dibolehkan??
Kita tahu bahwa Allah SWT menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap
wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya
akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung
mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak
kepada perbuatan keji dan mungkar.
Sungguh ironi memang kehidupan umat akhir zaman ini. Tapi apakah kita menyesali hidup di akhir zaman??
Jangan!! Jangan sesekali menyesali kesempatan hidup yang telah Allah berikan kepada kita. Kita wajib
mensyukurinya. Meskipun terkadang hidup ini sulit, tetapi Allah selalu memberikan jalan. Kita ingat bahwa di
setiap kesulitan itu pasti ada kemudahan. Bahkan dikatakan oleh Allah dua kali dalam (QS. 94:5-6).
Terlepas dari ironi tersebut. Fenomena ini sangat luar biasa dampaknya. ADK pun merasakan hal ini. Kita sadari
bersama bahwa manusia memiliki bakat baik dan bakat buruk (Fuzuroha wa taqwaha). Ada kalanya manusia
pun mengalami masa di mana dia sedang futur (turun kondisi keimanannya). Dan ketika itu adalah kesempatan
setan untuk masuk. Saya tidak ingin memungkiri bahwa memang, saya pernah mengalami hal yang seperti itu.
Di kala kondisi sedang turun setan akan lebih mudah untuk menghasut dan menjatuhkan kita.
Lalu bagaimana cara mengatasi dan meminimalisirnya??
Jika di kalangan jamaah tarbiyah sering kali kita dengar kata-kata “kita tidak mencetak kader yang steril, tapi
yang mempunyai imunitas tinggi”. Begitulah kira-kira kata yang sering saya dengar. Bukan mencari-cari alasan
tapi sangat relevan dengan kondisi saat ini. Untuk itulah di kala proteksi hati kita lemah dan tipis maka kita
kuatkan dan tebalkan. Kemudian kenapa hati? Karena dalam konteks ikhtilath yang rawan adalah hati. Hati
adalah hijab yang paling utama.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk memperkuat imunitas kita adalah dengan Tarbiyah
Dzatiyah. Tarbiyah dzatiyah adalah sejumlah pembinaan yang dilakukan oleh seorang muslim/ah kepada
dirinya sendiri. Sarananya banyak mulai dari muhasabah, taubat dari dosa, mengoptimalkan ibadah wajib dan
menyempurnakannya dengan ibadah sunah. Kemudian bisa dengan memperluas ilmu, bermujahadah hingga
terlibat dalam aktivitas dakwah. Wabilkhusus untuk masalah ini bisa ditingkatkan amalan-amalan iman. Seperti
yang dikatakan oleh Allah swt bahwa shalat bisa menjaga dari perbuatan keji dan mungkar (QS.29:45).
Kemudian juga dengan melaksanakan shaum, supaya menahan nafsu syahwat (HR.Muslim). Tentunya juga
dengan dzikrullah untuk senantiasa mengingat Allah SWT supaya kita diberikan rahmat dan juga ampunanNya
(QS.2:152).
Tarbiyah Dzatiyah memang sarana yang paling efektif dalam memproteksi hati dan keimanan kita. Dan bisa
juga sebagai media menguatkan ketika sedang rapuh. Sekali lagi kita sadari bersama bahwa ini adalah akhir
zaman. Ketika tanda-tanda yang Rasul katakana tentang kehidupan akhir zaman sudah mulai tampak satu
persatu. Maka sebagai seorang yang beriman, marilah kita kuatkan diri dan hati kita untuk senantiasa
menghadapi cobaan di akhir zaman ini. Yang paling dikhawatirkan adalah fitnah akhir zaman. Semoga kita
termasuk orang-rang yang beruntung sebagaimana dikatakan Allah (QS.103:1-3) dan rasul pada hadits yang
diriwayatkan oleh imam muslim tentang orang-orang asing.
“Sungguh diri ini tak ubahnya hanya seorang yang ditutupi aibnya oleh Allah swt. Dan jika dosa-dosa diri ini
dimanifestasikan dengan bau, tentunya tidak ada seorang pun orang yang ingin mendekati karena begitu baunya
diri ini. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Tentang kewajiban seorang muslim memperbaiki diri dan menyeru
kepada kebaikan juga mencegah kepada kemungkaran. Semata-mata ini dilakukan untuk mengharap ridha Allah
swt untuk menjadi orang-orang yang beruntung dan umat terbaik. Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami…….”
Allahu a’lam bishshawab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/10/23/23678/tarbiyah-dzatiyah-untuk-memproteksi-hati/
#ixzz8Kje75mLP
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Indahnya Ukhuwah dalam Dekapan Tarbiyah


Sesungguhnya di dunia ini ada taman-taman surga. Barangsiapa tidak memasuki taman surga dunia, maka dia
tidak bisa memasuki surga di akhirat.” Sebuah ungkapan mahsyur dari syaikh Ibnu Taimiyah mengenai taman
surga dunia. Lalu apakah taman surga dunia itu, Saudaraku?
Ah, Hadist dari Imam Ahmad ini mungkin bisa menjadi jawaban “…Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah
apakah yang dimaksud taman-taman surga itu? Beliau menjawab “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu)”.
Taman surga dunia. Ya, itulah yang dapat kita ungkapkan dalam majelis tarbawi ini. Tarbiyah adalah dakwah
dimana kita mencelupkan pribadi muslim dan mewarnainya dengan warna Islam. Proses tarbiyah sendiri bukan
hanya sekedar ngaji membahas mengenai aqidah, tauhid, fiqh, hafalan. Tapi juga ada hal berharga yang kita
peroleh dari proses tersebut. Sebuah ikatan yang saling menautkan hati. Itulah ukhuwah. Sebuah anugerah tiada
tara yang Allah berikan bagi para mukmin dengan mengikat hati dalam ikatan iman. Jika kata Ustadz Salim
A.Fillah, ukhuwah adalah ruh-ruh yang diakrabkan oleh iman.
Saudaraku, mari sejenak kita mengenang perjalanan hijrah Rasulullah. Suatu hari ketika, Abu Bakar ash-Shidiq
mendampingi Rasulullah dalam hijrahnya menghindari kejaran Quraisy dan bersembunyi dalam gua Tsur.
Ketika beberapa orang Quraisy mengetahui tempat persembunyian mereka, Abu Bakar mulai resah dan gelisah.
Tepat di saat itu, menitiklah sebulir air mata Abu Bakar hingga jatuh ke pipi Rasulullah yang sedang berbaring
di pangkuan Abu Bakar. Rasulullah terbangun dan berkata, “Janganlah bersedih, Abu Bakar. Allah bersama
kita.” Sebuah perkataan lembut dari Rasulullah yang mampu menguatkan hati Abu Bakar.
Begitulah indahnya ukhuwah dalam dekapan tarbiyah. Saling menguatkan ketika yang lain lemah, saling
menasehati ketika yang lain khilaf, saling menjaga agar selalu dalam kebaikan, dan saling berbagi. Begitulah
indahnya ukhuwah dalam dekapan tarbiyah. Kita belajar untuk saling berlemah lembut, mencintai, mengasihi,
menghormati, mengokohkan, memaafkan, dan saling mempercayai. Begitulah indahnya ukhuwah dalam
dekapan tarbiyah, ketika ruh-ruh saling diakrabkan oleh iman mereka bagaikan cahaya di atas cahaya.
“Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang saling berikatan. Dengannya Allah persatukan hati-hati yang
berserakan. Saling bersaudara, saling merendah lagi memahami, saling mencintai, dan saling berlembut hati.”
(Sayyid Qutb). “Teman-teman akrab pada hari itu sebagian dari mereka menjadi musuh bagi yang lain kecuali
orang-orang bertakwa. (QS. az-Zukhruf : 67)
Dalam dekapan tarbiyah, semoga ukhuwah ini seindah Jannah.
Redaktur: Pirman

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/09/52862/indahnya-ukhuwah-dalam-dekapan-tarbiyah/
#ixzz8Kjl6teDb
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Husnul Khuluq (Akhlak yang Baik)


Tim Kajian Manhaj Tarbiyah 02/09/14 | 12:34 Sosial Belum ada komentar 45.677 Hits
Ilustrasi. (rabadadip592.blogspot.com)

Definisi
dakwatuna.com – Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak tentang pengertian Husnul Khuluq, ia
mengatakan, wajah yang cerah, mengerahkan kebaikan, dan mencegah bahaya.
Urgensi Akhlak yang Baik:
Jangan remehkan soal peneguhan akhlak. Hati sekeras batu milik para kafir Quraisy pun dapat luluh dengan
akhlak mulia.

Karena Islam bukan sekadar tujuan tapi juga cara. Artinya kalau kita mempunyai cita-cita menegakkan Islam
maka tidak ada cara lain untuk mencapai kecuali dengan cara (akhlak) Islam. Hal ini juga diisyaratkan oleh
Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan congkak dan ingin
dilihat oleh manusia dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah.” (QS. Al-Anfal: 47)
Orang-orang kafir, sekalipun membangkang dan bersikeras memerangi Rasulullah SAW, namun mereka tidak
kuasa menampik kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mengapa?

Apa –selain faktor hidayah dari Allah SWT- yang membuat hati banyak orang yang semula lebih keras dari
batu, bisa tiba-tiba luluh, dan tak berdaya selain tunduk dan pasrah kepada seruan Rasulullah SAW?
Jawabannya adalah karena Islam adalah kebenaran mutlak yang pasti sesuai dengan fitrah manusia. Namun ada
faktor lain yang menempati posisi amat bermakna untuk membuat seseorang tersentuh fitrahnya yakni: akhlak.

Keindahan akhlak yang ditampilkan Rasulullah saw telah membungkam segala hujjah orang yang mendustakan
Rasulullah SAW. Karenanya hal yang paling mungkin mereka tuduhkan kepada Rasulullah SAW adalah bahwa
beliau seorang tukang sihir atau berpenyakit gila. Meski akhirnya tuduhan itu tak dapat juga mereka buktikan.

Karena itu, semangat menegakkan kebenaran (baca: syari’at Islam) bukan alasan untuk mengabaikan akhlak
Islami. Bahkan justeru semangat itu seharusnya mendorong untuk meningkatkan kualitas akhlak.

Prinsip itu berlaku universal dan dipraktekkan oleh para nabi sebelum Rasulullah SAW. Lihat, bagaimana Allah
SWT mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menghadapi Firaun. Bukan untuk semata-mata menawarkan
kebenaran, namun untuk menawarkan kebenaran dengan memakai akhlak. “Pergilah kamu berdua kepada
Firaun sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-
kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (kepada Allah).” (QS. Thaha: 43-44)
Rasulullah SAW pun mendapat perintah yang sama. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri. Dan tidaklah sama antara kebaikan dengan keburukan. Maka tolaklah (keburukan) itu
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dengan dia ada permusuhan menjadi
seolah-olah telah menjadi teman setia.” (QS. Fushshilat: 33-34)
Kedua ayat ini menunjukkan akhlak dalam berdakwah dengan segala tantangannya sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi seseorang mau menerima kebenaran atau tidak, menjadi tunduk hatinya atau semakin
congkak, menjadi suadara seiman atau semakin menjadi-jadi permusuhannya.

Karenanya, dakwah yang penuh cacian dan makian, kepada siapa pun: penguasa, kelompok lain yang tidak
sehaluan, orang yang tidak mau mengikuti seruan dakwahnya adalah bertentangan dengan akhlak Islam. Selain
tidak sesuai dengan esensi kebenaran itu sendiri cacian dan makian itu tidak akan menambah keimanan dan
amal. Alih-alih meningkatkan pemahaman dan kesiapan untuk berjuang, bertambah justeru penyakit-penyakit
hati seperti iri, dengki, kebencian, dan kesumpekan dada.

Langkah menuju akhlak yang baik:


Dilakukan dengan dua langkah secara bersamaan. Langkah pertama adalah takhliyah, yakni membesihkan diri
dari segala akhlak yang buruk. Dan langkah kedua adalah tahliyah menghiasi diri dengan akhlak yang baik.
Dalam konteks perjuangan menghadapi tantangan, Allah menyebut dua sifat buruk secara khusus. Yakni al-
bathar (congkak) dan riya (beramal demi untuk dilihat manusia). Mengapa dua penyakit hati itu disebut secara
khusus?

Kesombongan akan melemahkan posisi dai dalam menghadapi tantangan, baik yang muncul karena sebab
kelebihan ilmu, wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya mudah mengambil kesimpulan,
keputusan, atau bahkan memvonis keadaan. Jelas cara ini sangat berbahaya. Karena dengan cara seperti itu
seorang da’i bisa terjebak dalam pandangan yang over istimasi tentang dirinya dan sebaliknya under estimasi
tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya. Ini pernah menjadi catatan pahit kaum muslimin di masa lalu,
sebagaimana Allah rekam dalam ayat-Nya:

“Sungguh Allah telah menolong kalian di banyak tempat dan pada hari (perang) Hunain, saat jumlah kalian
yang banyak membuat kalian bangga tapi ternyata tidak berguna sama sekali bagi kalian (jumlah tersebut),
dan bumi kalian rasakan menjadi sempit padahal ia luas, kemudian kalian berpaling dengan membelakang.
Kemudian Allah menurunkan ketenteraman-Nya atas rasul-Nya dan atas orang-orang beriman dan
menurunkan bala tentara yang kalian tidak dapat melihatnya, dan menyiksa orang-orang kafir. Dan itulah
balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. At-Taubah: 25-26)
Kesombongan juga bisa muncul dalam bentuk mengangkat diri sendiri melebihi kapasitas sebenarnya. Sejarah
telah membuktikan bahwa tidak ada kemenangan yang dicapai oleh kesendirian. Kemenangan Islam adalah
kemenangan kolektif dan dihasilkan dari amal jama’i yang segala keputusannya lahir dari musyawarah (syura).
Riya juga menempati posisi penting dalam faktor-faktor penyebab kegagalan dakwah dan perjuangan Islam.
Sebelum riya itu berdampak buruk dalam kaitan interkasi sesama manusia, ia terlebih dahulu merupakan
penyakit yang dimurka Allah SWT sampai-sampai Rasulullah SAW menjelaskan bahwa alih-alih mendapatkan
pahala, orang yang beramal dengan riya lebih layak menjadi penghuni neraka. Karena memang orang yang riya
bukan mencari ridha Allah dengan amalnya. Atau mencari ridha Allah sambil mencari pujian manusia. Dan
Allah tidak suka cara seperti itu. Lalu, bagaimana bisa mendapatkan pertolongan Allah SWT jika dalam beramal
yang diinginkan adalah keridhaan manusia?

Sombong dan riya ini merupakan induk dari akhlak buruk yang akan memunculkan perilaku buruk lainnya.
Karena itu dapat dimengerti jika larangan sombong dan riya kemudian diikuti larangan menghalang-halangi
orang lain dari jalan Allah. Apa maksudnya?

Bukan dakwah dan perjuangannya, tentu, yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, melainkan sifat
dan akhlak buruk yang menyertai dakwah dan perjuangan itu. Akhlak buruk bisa menyebabkan orang lari dari
dakwah dan bahkan dari Islam itu sendiri. Dan jika ada orang yang lari dari Islam gara-gara kita berakhlak
buruk kita dianggap telah menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Maka, sifat-sifat buruk ini perlu
dibersihkan dari diri kita. Namun tidak cukup dengan hanya takhliyah, tapi juga dihiasi dengan sikap tahliyah.

Sikap berikutnya adalah tahliyah yakni menghiasi diri dengan segala akhlak terpuji. Dan Rasulullah SAW telah
melakukan keduanya (takhliyah dan tahliyah), yang karenanya Allah SWT memujinya, “Dan engkau sungguh
memiliki akhlak yang agung.” Allah berfirman,

“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Anas RA berkata,

‫َك اَن الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َأْح َسَن الَّناِس ُخُلًقا‬

“Adalah Rasulullah SAW itu orang yang paling baik akhlaknya.” (Muttafaq Alaihi).

Macam-macam sikap tahliyah, diantaranya;


1. Berinfak, menahan marah, memaafkan kesalahan orang lain meskipun kita ampu membalasnya. Allah
berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
Allah berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
Abu Huraiah RA meriwayatkan,
‫َأَّن َر ُج اًل َقاَل ِللَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأْو ِصِني َقاَل اَل َتْغ َض ْب َفَر َّد َد ِمَر اًر ا َقاَل اَل َتْغ َض ْب‬

“Seseorang berkata kepada Rasulullah saw, ‘Nasihati aku!’ Beliau bersabda, ‘Jangan marah!’ beliau mengulang
beberapa kali, ‘Jangan marah!” (Bukhari).

2. Menyuruh kepada yang m’aruf, berpaling dari orang jahil;

Allah berfirman,

“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-
orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).
3. Bersikap sabar;

Allah berfirman,

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-
tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”. (QS. Fushshilat: 34-
35).
Allah berfiman,

“Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal
yang diutamakan.” (QS. As-Syura: 43).
4. Sopan santun dan telaten

Ibnu Abbas RA berkata,

‫َو َقاَل َر ُسول هَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِلَألَشّج َعْبد اْلَقْيس ِإَّن ِفيك َلَخ ْص َلَتْي ِن ُيِح ُّبُهَم ا ُهَّللا اْلِح ْلم َو اَأْلَناُة‬

“Rasulullah saw berkata kepada Asyaj Abdul Qais, ‘Pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah, yaitu sopan
santun dan telaten.” (Muslim).

Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda,

‫ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب الِّر ْفَق ِفي اَأْلْم ِر ُك ِّلِه‬

“Sesungguhnya Allah mencintai sikap santun dalam segala hal.” (Muttafaq Alaihi).

5. Mempermudah dan tidak mempersulit;

Abu Hurairah RA meriwayatkan,


‫َأَّن َأْع َر اِبًّيا َباَل ِفي اْلَم ْس ِج ِد َفَثاَر ِإَلْي ِه الَّناُس لَيَقُعوا ِبِه َفَقاَل َلُهْم َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َوَس َّلَم َدُعوُه َو َأْهِريُقوا َع َلى َبْو ِلِه َذُنوًبا ِم ْن َم اٍء َأْو َس ْج اًل ِم ْن َم اٍء‬
‫َفِإَّنَم ا ُبِع ْثُتْم ُمَيِّس ِريَن َو َلْم ُتْبَع ُثوا ُمَع ِّس ِريَن‬

“Seorang Arab Baduwi kencing di masjid dan orang-orang (sahabat) bangkit untuk menghentikannya. Nabi
SAW bersabda, ‘Biarkan dia dan siramlah seember air pada kencingnya atau seember besar air. Karena kalian
diutus untuk mempermudah dan tidak diutus untuk mempersulit.” (HR. Bukhari).

Anas ra meriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda,

‫َيِّسُروا َو اَل ُتَع ِّسُروا َوَبِّش ُروا َو اَل ُتَنِّفُروا‬

“Permudahlah dan jangan persulit. Berilah berita gembira dan jangan kalian buat mereka berlari.” (Muttafaq
Alaihi).

Jarir bin Abdullah RA berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,

‫َم ْن ُيْح َر ْم الِّر ْفَق ُيْح َر ْم اْلَخْيَر‬

“Barangsiapa diharamkan memiliki kelembutan maka ia diharamkan dari kebaikan.” (HR. Muslim).

6. Berbuat ihsan dalam segala hal

Abu Ya’la Syaddad bin Aus

‫ِإَّن َهَّللا َكَتَب اِإْل ْح َساَن َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َفِإَذ ا َقَتْلُتْم َفَأْح ِس ُنوا اْلِقْتَلَة َو ِإَذ ا َذ َبْح ُتْم َفَأْح ِس ُنوا الَّذ ْب َح َو ْلُيِح َّد َأَح ُد ُك ْم َش ْفَر َتُه َفْلُيِرْح َذ ِبيَح َتُه‬

“Allah menentukan ihsan dalam segala hal, jika kalian membunuh, baiklah dalam membunuh, jika kalian
menyembelih, baiklah dalam menyembelih. Hendaknya salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya
dan menyamankan binatang sembelihannya.” (HR. Muslim).

Aisyah ra berkata,

‫َم ا ُخ ِّيَر َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َبْيَن َأْمَر ْي ِن ِإاَّل َأَخ َذ َأْيَسَر ُهَم ا َم ا َلْم َيُك ْن ِإْثًم ا َفِإْن َك اَن ِإْثًم ا َك اَن َأْبَعَد الَّناِس ِم ْنُه َوَم ا اْنَتَقَم َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم ِلَنْفِس ِه ِإاَّل َأْن ُتْنَتَهَك ُحْر َم ُة ِهَّللا َع َّز َو َج َّل‬

“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan terhadap dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah selama tidak
dasa. Jika ia dosa, beliau adalah orang yang paling jauh. Rasulullah SAW tidak pernah marah kepada sesuatu
karena dirinya kecuali jika kehormatan Allah dinodai, maka beliau akan marah karena Allah.” (Muttafaq
Alaihi).

Rasulullah Saw memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari bagaimana berakhlak yang baik. Seperti
penuturan para sabahat di bawah ini;
Anas berkata;

‫َح َّد َثَنا ُس َلْيَم اُن ْبُن َح ْر ٍب َح َّد َثَنا َحَّم اٌد َع ْن َثاِبٍت َع ْن َأَنٍس َر ِض َي ُهَّللا َع ْن ُه َقاَل َم ا َم ِس ْس ُت َح ِريًر ا َو اَل ِد يَباًج ا َأْلَيَن ِم ْن َكِّف الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو اَل‬
‫َش ِمْم ُت ِريًح ا َقُّط َأْو َعْر ًفا َقُّط َأْط َيَب ِم ْن ِريِح َأْو َعْر ِف الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َو َلَقْد َخ َدْم ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َليِه َو َس َّلم َع ْش َر ِسِنْيَن َفَم ا َقاَل ِلي‬
‫ َأَال َفَع ْلَت َك َذ ا؟‬:‫ ِلَم َفَع ْلَتُه؟ َو َال ِلَش ْي ٍء َلْم ََأْفَع ْلُه‬:‫ َو َال قَاَل ِلَش ْي ٍء َفَع ْلُتُه‬، ‫َقُّط ُأٍّف‬

“Aku tidak pernah memegang kain sutra maupun brokat yang lebih halus daripada telapak tangan Raslullah
SAW dan aku tidak pernah mencium bau yang lebih harum daripada bau Rasulullah SAW. Aku telah melayani
Rasulullah SAW selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata, ‘uf’ kepadaku dan tidak pernah mengatakan
terhadap sesuatu yang aku kerjakan, ‘mengapa kamu lakukan itu,’ serta sesuatu yang tidak aku kerjakan,
‘mengapa kamu tidak lakukan itu?” (Muttafaq Alaihi).

As-Sha’bu bin Jattsamah RA berkata,

‫ََأْهَدْيُت إلىِ َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِح َم اًرا َو ْح ِش ًّيا َفَر َّد ُه َع َلْي ِه َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َوَس َّلَم َقاَل َفَلَّم ا َأْن َر َأى َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫َم ا ِفي َو ْج ِهي َقاَل ِإَّنا َلْم َنُر َّد ُه َع َلْيَك ِإاَّل َأَّنا ُحُر ٌم‬

“Aku memberi hadiah keledai liar kepada Rasulullah saw namun beliau mengembalikannya. Ketika Rasulullah
melihat perubahan pada wajahku beliau bersabda, ‘Kami tidak mengembalikannya kepadamu kecuali karena hal
itun haram (bagi kami).” (Muttafaq Alaihi).

Nawwas bin Sim’an ra berkata,

‫َس َأْلُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َع ْن اْلِبِّر َو اِإْل ْثِم َفَقاَل اْلِبُّر ُحْسُن اْلُخ ُلِق َو اِإْل ْثُم َم ا َح اَك ِفي َص ْد ِرَك َو َك ِر ْهَت َأْن َيَّطِلَع َع َلْيِه الَّناُس‬

“Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebajikan dan dosa. Beliau bersabda, ‘Kebajikan adalah akhlak
yang baik dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam dada dan engkau tidak suka jika dilihat orang.”
(Muttafaq Alaihi).

Abdullah bin Amr bin Ash berkata,

‫َلْم َيُك ْن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفاِح ًش ا َو اَل ُم َتَفِّح ًش ا َو ِإَّنُه َك اَن َيُقوُل ِإَّن ِخَياَر ُك ْم َأَح اِس ُنُك ْم َأْخ اَل ًقا‬

“Rasulullah itu tidak ngelantur berbicara dan bukan pembual. Beliau pernah bersabda, ‘Sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik akhlaknya.”

Abu Darda’ ra meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda,

‫َأْثَقُل ِفي ِم يَز اِن اْلُم ْؤ ِم ِن َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِم ْن ُخ ُلٍق َحَس ٍن َو ِإَّن َهَّللا َلُيْبِغ ُض اْلَفاِح َش اْلَبِذ يَء‬

“Yang paling berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat adalah akhlak yang baik. Dan Allah itu
sangat membenci pembual lagi berkata jorok” (Tirmidzi, hadits shahih).
Keutamaan Akhlak yang baik
Abu Hurairah RA meriwayatkan,

‫ُس ِئَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َع ْن َأْكَثِر َم ا ُيْد ِخ ُل الَّناَس اْلَج َّنَة َفَقاَل َتْقَو ى ِهَّللا َو ُحْسُن اْلُخ ُلِق َو ُس ِئَل َع ْن َأْكَثِر َم ا ُيْد ِخ ُل الَّناَس الَّناَر َفَقاَل اْلَفُم‬
‫َو اْلَفْر ُج َقاَل َأُبو ِع يَس ى َهَذ ا َح ِد يٌث َصِح يٌح َغ ِر يٌب َو َع ْبُد ِهَّللا ْبُن ِإْد ِريَس ُهَو اْبُن َيِزيَد ْبِن َعْبِد الَّرْح َمِن اَأْلْو ِد ُّي‬

“Rasulullah SAW ditanya tentang kebanyakan hal yang memasukkan orang ke surga. Beliau menjawab, takwa
kepada Allah dan husnul khuluq. Beliau ditanya lagi tentang kebanyakan hal yang memasukkan orang ke dalam
neraka dan beliau menjawab, mulut dan kemaluan.” (Tirmidzi, hadits shahih).

Abu Hurairah RA meriwayatkan lagi,

‫َأْك َم ُل اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِإيَم اًنا َأْح َس ُنُهْم ُخُلًقا َو ِخَياُر ُك ْم ِخَياُر ُك ْم ِلِنَس اِئِهْم ُخُلًقا‬

“Orang-orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah
yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi, hadits shahih).

Aisyah RA berkata,

‫ِإَّن اْلُم ْؤ ِم َن َلُيْد ِرُك ِبُحْس ِن ُخ ُلِقِه َدَر َج َة الَّصاِئِم اْلَقاِئِم‬

“Sesungguhnya seorang mukmin, dengan kebaikan akhlaknya, dapat mencapai derajat orang yang berpuasa dan
qiyamul lail.” (HR. Abu Dawud).

Aisyah ra berkata, Rasulullah saw bersabda,

‫ِإَّن َهَّللا َرِفيٌق ُيِح ُّب الِّر ْفَق َو ُيْع ِط ي َع َلى الِّر ْفِق َم ا اَل ُيْع ِط ي َع َلى اْلُع ْنِف َوَم ا اَل ُيْع ِط ي َع َلى َم ا ِسَو اُه‬

“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dan memberikan, melalui kelembutan, sesuatu yang tidak diberikan
melalui kekerasan, dan yang tidak diberikan melalui yang lain.” (HR. Muslim).

Aisyah ra berkata, Nabi SAW bersabda,

‫ِإَّن الِّر ْفَق اَل َيُك وُن ِفي َش ْي ٍء ِإاَّل َز اَنُه َو اَل ُيْنَزُع ِم ْن َش ْي ٍء ِإاَّل َش اَنُه‬

“Sesungguhnya kelembutan itu tidak berada pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak dicabut dari sesuatu
kecuali memperburuknya.” (HR. Muslim).

Abu Umamah Al-Bahili RA berkata, Rasulullah SAW bersabda,

‫َأَنا َز ِع يٌم ِبَبْيٍت ِفي َر َبِض اْلَج َّنِة ِلَم ْن َتَرَك اْلِمَر اَء َو ِإْن َك اَن ُمِح ًّقا َو ِبَبْيٍت ِفي َو َسِط اْلَج َّنِة ِلَم ْن َتَرَك اْلَك ِذَب َو ِإْن َك اَن َم اِز ًح ا َو ِبَبْيٍت ِفي َأْعَلى اْلَج َّنِة ِلَم ْن‬
‫َح َّسَن ُخ ُلَقُه‬
“Aku adalah penjamin sebuah rumah di sekitar taman (surga) bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan
walaupun ia benar, penjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun ia bercanda,
juga menjadi penjamin sebuah rumah di surga paling atas bagi orang yang memiliki husnul khuluq.” (HR. Abu
Dawud dengan sanad shahih).

Jabir RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

‫ِإَّن ِم ْن َأَح ِّبُك ْم ِإَلَّي َو َأْقَر ِبُك ْم ِم ِّني َم ْج ِلًسا َيْو َم اْلِقَياَم ِة َأَح اِس َنُك ْم َأْخ اَل ًقا َو ِإَّن َأْبَغ َض ُك ْم ِإَلَّي َو َأْبَعَد ُك ْم ِم ِّني َم ْج ِلًسا َيْو َم اْلِقَياَم ِة الَّثْر َثاُروَن َو اْلُم َتَشِّد ُقوَن‬
‫َو اْلُم َتَفْيِهُقوَن َقاُلوا َيا َر ُسوَل ِهَّللا َقْد َعِلْم َنا الَّثْر َثاُروَن َو اْلُم َتَشِّد ُقوَن َفَم ا اْلُم َتَفْيِهُقوَن َقاَل اْلُم َتَك ِّبُروَن‬

“Yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat denganku tempat duduknya pada hari Kiamat
adalah yang paling bagus akhlaknya. Yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh tempat duduknya di
hari Kiamat adalah yang banyak berbicara, yang suka usil, dan orang-orang Mutafaihiq (yang pongah dengan
ucapannya).” Mereka bertanya, “Siapakah orang-orang Mutafaihiq itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang
sombong.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan).

Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah SAW bersabda,

‫َأاَل ُأْخ ِبُر ُك ْم ِبَم ْن َيْح ُر ُم َع َلى الَّناِر َأْو ِبَم ْن َتْح ُر ُم َع َلْيِه الَّناُر َع َلى ُك ِّل َقِريٍب َهِّيٍن َس ْهٍل‬

“Maukah kalian aku beritahu tentang orang yang diharamkan masuk neraka atau neraka diharamkan terhadap
setiap orang yang gampang dekat, lembut perangai, dan mudah.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/09/02/56532/husnul-khuluq-akhlak-yang-baik/#ixzz8LOdL9VBC
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Di Yaman, tinggallah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit


sopak. Karena penyakit itu tubuhnya menjadi belang-belang. Walaupun cacat tapi
ia adalah pemuda yang saleh dan sangat berbakti kepada ibunya, seorang
perempuan wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi
semua permintaan ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan. “Anakku,
mungkin Ibu tak lama lagi akan bersamamu. Ikhtiarkan agar ibu dapat
mengerjakan haji,” pinta sang ibu. Mendengar ucapan sang ibu, Uwais termenung.
Perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh, melewati padang tandus yang panas. Orang-
orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Lantas
bagaimana hal itu dilakukan Uwais yang sangat miskin dan tidak memiliki
kendaraan? Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seekor
anak lembu, kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkin pergi haji naik
lembu. Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik
menggendong anak lembu itu naik turun bukit. “Uwais gila... Uwais gila..” kata
orang-orang yang melihat tingkah laku Uwais. Ya, banyak orang yang menganggap
aneh apa yang dilakukannya tersebut. Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia
menggendong lembu naik-turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan
makin besar pula tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari,
anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi. Setelah 8 bulan berlalu, sampailah
pada musim haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram, begitu juga otot
Uwais yang makin kuat. Ia menjadi bertenaga untuk mengangkat barang. Tahukah
sekarang orang-orang, apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari?
Ternyata ia sedang latihan untuk menggendong ibunya. Uwais menggendong
Ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah! Subhanallah, alangkah besar cinta
Uwais pada ibunya itu. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi
memenuhi keinginan ibunya. Uwais berjalan tegap menggendong ibunya wukuf di
Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di
hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata
Uwais. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya sang Ibu keheranan. Uwais
menjawab, “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga.
Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.” Itulah keinginan Uwais
yang tulus dan penuh cinta. Allah subhanahu wata’ala pun memberikan karunia
untuknya. Uwais seketika itu juga sembuh dari penyakit sopaknya. Hanya
tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan
disisakan di tengkuknya Uwais tersebut? Ituah tanda untuk Umar bin Khaththab
dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat Rasulullah untuk mengenali Uwais. Beliau
berdua sengaja mencari di sekitar Ka’bah karena Rasulullah berpesan, “Di zaman
kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kalian berdua,
pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman.”
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu durhaka pada ibu dan menolak
kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup,
dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya, demikian pula
memboroskan harta (menghamburkan kekayaan).” (HR Bukhari dan Muslim)
Uwais Al Qarni pergi ke Madinah Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya
Uwais Al Qarni sampai juga di kota Madinah. Segera ia mencari rumah Nabi
Muhammad. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu
sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya.
Segera saja Uwais Al Qarni menyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun
ternyata Nabi tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan
pertempuran. Uwais Al Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah r.a., istri
Nabi. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung
dengan Nabi, tetapi Nabi tidak dapat dijumpainya. Dalam hati Uwais Al Qarni
bergejolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi dari medan perang. Tapi
kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terniang di telinganya pesan ibunya yang
sudah tua dan sakit-sakitan itu,agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lepas
pulang.” Akhirnya, karena ketaatanya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan
suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi. Karena
hal itu tidak mungkin, Uwais Al Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah
r.a., untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk
Nabi. Setelah itu, Uwais pun segera berangkat pulang mengayunkan lengkahnya
dengan perasaan amat sedih dan terharu. Peperangan telah usai dan Nabi pulang
menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Siti Aisyah
r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais anak yang
taat kepada orang ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi, Siti
Aisyah r.a. dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah r.a. memang
benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah
tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.
Nabi Muhammad melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al Qarni, penghuni
langit itu, kepada sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia,
perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.” Sesudah itu
Nabi memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khaththab seraya
berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan
istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.” Waktu terus berganti,
dan Nabi kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh
Umar bin Khaththab. suatu ketika Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi tentang
Uwais Al Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi
itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang
dari Yaman, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang
Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu. yang kerjanya hanya
menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa Khalifah Umar dan
sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan dia? Rombongan kafilah dari
Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu
ketika, Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di
kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman,
segera Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka dan menanyakan
apakah Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan
bahwa Uwais ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di
perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib
segera pergi menjumpai Uwais Al Qarni. Sesampainya di kemah tempat Uwais
berada, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memberi salam. Tapi rupanya Uwais
sedang salat. Setelah mengakhiri salatnya dengan salam, Uwais menjawab salam
Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib sambil mendekati kedua sahabat Nabi
tersebut dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan,
Khalifah dengan segera membalikan telapak tangan Uwais, seperti yang pernah
dikatakan Nabi. Memang benar! Tampaklah tanda putihdi telapak tangan Uwais Al
Qarni. Wajah Uwais nampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi. Bahwa ia
adalah penghuni langit. Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib menanyakan
namanya, dan dijawab, “Abdullah”. Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa
dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu
yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al Qarni”. Dalam
pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah
sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. akhirnya
Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memohon agar Uwais membacakan doa dan
Istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Saya lah
yang harus meminta do’a pada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, “Khalifah
berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari Anda”. Seperti
dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais
Al Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah
itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal
kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan
berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-
hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Fenomena ketika Uwais Al Qarni Wafat Beberapa tahun kemudian, Uwais Al
Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan di mandikan, tiba-
tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin memandikannya. Dan ketika
di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang
yang sudah menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi
hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang
menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar
biasa banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya. Meninggalnya
Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-
hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal
berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni
adalah seorang yang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan
sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada
orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota
Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau
Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir,
yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai
pengembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan
penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami
kenal.mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka
adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan
pemakamannya.” Berita meninggalnya Uwais Al Qarni dan keanehan-keanehan
yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah
penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini
tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan
permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib
agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar
sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah
penghuni langit. Begitulah Uwais Al Qarni, sosok yang sangat berbakti kepada
orang tua, dan itu sesuai dengan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang
peranan kedua orang tua. Beliau menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan)
surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/kisah-uwais-al-qarni-pemuda-istimewa-di-
mata-rasulullah-4YCHR

___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

Sedangkan menurut Imam Ghazali kata riya’ berasal dari kata ru’yah yang berarti
melihat, maksudnya ingin dilihat orang lain supaya medapat penghormatan atau
pujian.

Saatnya Memperbaiki Diri oleh Satria Hadi


Lubis
by lensabuku | Dec 16, 2012 | Nonfiksi, Resensi Buku | 0 comments

Judul: Saatnya Memperbaiki Diri (The Habits for Success)


Penulis: Satria Hadi Lubis
Penerbit: Misykat
ISBN: 979-98505-3-3
Tebal: 120 hlm
Dimensi: 18×12 cm
Tahun terbit: Oktober 2004
Cetakan: pertama
Genre: Nonfiksi, Motivasi, Pengembangan Diri
Rating: 4/5
Berkarakter. Itulah kesan pertama yang saya dapatkan setelah membaca buku ini,
sebagaimana halnya buku-buku Satria Hadi Lubis lainnya yang memiliki ciri khas
tersendiri -to the point, teknis dan aplikatif- untuk mempermudah pembaca dalam
memahami dan menerapkan apa yang sudah dibaca.
Di dalam pengantarnya, Satria Hadi Lubis menegaskan bahwa kesuksesan bukanlah
sesuatu yang datang begitu saja tanpa upaya. Harus ada kemauan dari kita untuk
mendapatkannya. Kesuksesan hanya dapat diraih jika kita memiliki kebiasaan yang
tepat untuk memperolehnya. Tanpa memiliki kebiasaan tersebut kita tidak mungkin
memperoleh sukses, bahkan mungkin akan gagal memperoleh sukses.
Buku ini membahas tujuh kebiasaan yang perlu dilakukan jika ingin meraih sukses,
yaitu; mulai dari orientasi, bersaing dengan diri sendiri, mendobrak kemalasan,
menikmati dunia, disiplin, kerendahan hati dan meninggalkan warisan bermakna.
Setiap bab disertai dengan penjelasan yang ringan dan mudah dipahami. Jika Anda
adalah penyuka karya-karya Stephen R. Covey, maka Anda akan menemukan aliran
yang hampir sama (menurut saya) di dalam buku ini.
“Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri” (Benyamin Franklin)
Kelebihan buku ini terletak pada kepadatan isinya, bahwa hampir tidak ada paragraf
atau halaman yang saya lewatkan. Isinya ringkas dan tidak bertele-tele.
Kelebihan kedua ada pada arahan perbaikan dan lembaran-lembaran aplikasi di
setiap akhir bab. Misalnya bab kebiasaan pertama “Mulai dari Orientasi”, di akhir
halaman bab, penulis menegaskan poin perbaikan apa yang harus dilakukan oleh
pembaca seperti “Yakini Anda orang sukses dan akan selalu sukses bersama Allah”.
Selanjutnya pembaca disuguhkan lembar praktik selama seminggu berkaitan
dengan hal yang akan dilakukan, hasil yang diharapkan dan apakah tercapai atau
tidak hal yang dituliskan tersebut. Lembaran ini yang akan diisi sebagai wujud
aplikasi terhadap teori. Begitu seterusnya hingga kebiasaan yang ketujuh.
Latar belakang penulis, yang merupakan seorang trainer di bidang manajemen dan
kepemimpinan, membuat buku ini berwujud seperti laiknya sebuah training; ada
teori, praktik dan evaluasi. Menurut penulis, apa yang disajikan dalam buku ini tidak
akan terbukti keefektifannya sebelum pembaca mencoba dan melakukannya
sendiri. Itulah mengapa ia menyelipkan lembar-lembar praktik.
Selain itu, penulis juga melengkapi buku ini dengan kalimat-kalimat bijak tokoh-
tokoh besar serta catatan-catatan penting sebagai motivasi dan penguatan untuk
pembaca agar semakin bersemangat dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk
sukses. Tak hanya itu, nukilan ayat al-qur’an dan hadits juga tak ketinggalan
menemani penjelasan tiap babnya sebagai landasan berpikir seorang muslim
bahwa kebiasaan-kebiasaan untuk sukses itu sebenarnya sudah ada di dalam al-
qur’an, tinggal mau atau tidak kita menerapkannya.
“Sesungguhnya perbedaan orang gagal dengan orang sukses adalah orang
gagal berpikir untuk mendapatkan sesuatu, sedang orang
sukses berbuat untuk mendapatkan sesuatu” (halaman 42)
Bagi saya, buku ini termasuk buku yang menggerakkan. Semoga begitu juga bagi
Anda.

Anda mungkin juga menyukai