Anda di halaman 1dari 111

PENGARUH EKSTRAK DAUN KECOMBRANG ( Etlingera

elatior) TERHADAP MORTALITAS NYAMUK Culex


DAN IMPLEMENTASINYASEBAGAI
MEDIA PEMBELAJARAN

ANNISA JUNIASIH PUTRI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada
Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tadulako

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUANALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2021
PENGARUH EKSTRAK DAUN KECOMBRANG ( Etlingera
elatior) TERHADAP MORTALITAS NYAMUK Culex
DAN IMPLEMENTASINYASEBAGAI
MEDIA PEMBELAJARAN

Oleh
Annisa Juniasih Putri
A 221 17 030

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada
Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tadulako

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2021
i
ii
ABSTRAK

Annisa Juniasih Putri, 2021. “Pengaruh Ekstrak Daun Kecombrang


(Etlingera elatior) Terhadap Mortalitas Nyamuk Culex Dan
Implementasinya Sebagai Media Pembelajaran”. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako.
Pembimbing: Astija.

Tumbuhan Kecombrang ( Etlingera elatior ) merupakan tumbuhan dari


famili Zingiberaceae yang berpotensi dijadikan sebagai lavarsida dan insektisida
nabati karena memiliki kandungan metabolit sekunder seperti flavonoid dan
saponin. Kedua metabolit ini diduga memiliki efek sebagai insektisida. Oleh
karena itu, Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh dari ekstrak
daun kecombrang terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex dan menjadikan
hasil penelitian ini sebagai media pembelajaran. Metode yang digunakan pada
penelitian ini yaitu eksperimen laboratorium, dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan sebanyak 4 kali pengulangan, yaitu pada
ekstrak daun kecombrang konsentrasi 0,012%, 0,016% dan 0,02% dan air serta
baygon cair sebagai kontrol positif untuk jentik Culex quinquefasciatus dan
ekstrak daun kecombrang konsentrasi 6%, 8% dan 10% dan air serta baygon cair
sebagai kontrol positif untuk nyamuk Culex quinquefasciatus. Pengamatan
dilakukan selama 80 menit dengan interval waktu selama 20 menit yang dimulai
dari menit ke-20 sampai menit ke-80. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak daun kecombrang dengan konsentrasi 0,012%, 0,016% dan 0,02%
memiliki pengaruh terhadap mortalitas jentik dan ekstrak daun kecombrang
dengan konsentrasi 6%, 8% dan 10% memiliki pengaruh terhadap mortalitas
nyamuk Culex quinquefasciatus, namun pengaruhnya belum efektif membunuh
jentik dan nyamuk dari Culex quinquefasciatus. Berdasarkan hasil uji validasi
oleh tim ahli isi, ahli desain, ahli media dan 20 mahasiswa/i, hasil penelitian layak
dimanfaatkan sebagai media pembelajaran berupa poster dengan persentase
kelayakan sebesar 76,67%.

Kata kunci: Etlingera elatior ; Mortalitas ; Aedes aegypti ; Media pembelajaran.

iii
ABSTRACT

Annisa Juniasih Putri, 2021. "The Effect of Kecombrang (Etlingera elatior) Leaf
Extract on Culex Mosquito Mortality And Its Implementation As Learning Media".
Thesis. Biology Education Study Program, Department of Mathematics and
Natural Sciences Education, Faculty of Teacher Training and Education,
Tadulako University. Supervisor : Astija.

The Kecombrang plant (Etlingera elatior) is a plant from the


Zingiberaceae family that has the potential to be used as a vegetable lavarside.
Because it contains secondary metabolites such as flavonoids and saponins. These
two metabolites are thought to have an influential effect when used as an
insecticide. Therefore, this study is conducted to examine the effect of
kecombrang leaf extract on the mortality of larvae and Culex mosquitoes and the
results of this study is used as learning media. The method used in this study is a
laboratory experiment, with a Completely Randomized Design (CRD) consisting
of 5 treatments and 4 repetitions, namely at concentrations of 0,012%, 0,016%,
0,02%, water and liquid baygon as positive controls for larvae and concentration
6%, 8%, 10%, water and liquid baygon as positive controls for mosquitoes Culex
quinquefasciatus. Observations were made for 80 minutes with an interval of 20
minutes starting from the 20th minute to the 80th minute. The results showed that
kecombrang leaf extract with 0,012%, 0,016% and 0,02% has an effect on larvae
mortality and kecombrang leaf extract with a concentration of 6%, 8%, and 10%
has an effect on mortality of Culex quinquefasciatus mosquitoes, but the effect has
not been effective in killing larvae and mosquitoes from Culex quinquefasciatus.
Based on the result of the validation test by a team of experts, design experts,
media experts and 20 students, the reserch result are feasible to be used as
learning media in the form of poster with a percentage of eligibility.

Keywords: Culex quinquefasciatus ;Etlingera elatior; Mortality ;Learning media.

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu

Alhamdulillahirabbil`alamin, tak henti-hentinya penulis mengucap rasa

syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberi nikmat dan RahmatNya

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengaruh

Ekstrak Daun Kecombrang ( Etlingera elatior ) Terhadap Mortalitas

Nyamuk Culex Dan Implementasinya Sebagai Media Pembelajaran”

Penulis menyadari tanpa RahmatNya tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan

baik. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam

memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Biologi

Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Tadulako.

Dengan terselesainya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai

pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sangat tulus dan

mendalam serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada orang tua tercinta,

Ayahanda saya Fadly dan Ibunda saya Agustina Plamularsih dengan penuh

keikhlasan dan kesabaran dalam membesarkan, merawat, mendidik serta tidak

henti-hentinya memberikan kasih sayang, bimbingan, nasehat dan doa yang tulus

yang menyertai penulis hingga akhir penyelesaian studi ini. Penulis juga

mempersembahkan skripsi ini kepada adik laki-laki saya tersayang Ragiel Bagus

Syahputra dan Reyhan Bagas Styaputra yang selalu memberi hiburan dan

v
canda tawa selama proses penyusunan skripsi ini serta nenek saya Hja.Rodiah

yang selalu tidak henti-hentinya mengingatkan akan ibadah yang wajib dilakukan.

Penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Drs. Astija., M.Si, Ph.D

Selaku pembimbing sekaligus dosen wali saya yang telah meluangkan waktu dan

tenaga, dengan penuh kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing penulis

mulai dari penyusunan proposal, penelitian sampai dengan penyelesaian skripsi

ini, Tak lupa pula ucapan terima kasih kepada bapak selaku sekaligus dosen

pembahas 1 saya Dr. I Nengah Kundera, M.Kes dan kepada ibu Isnainar, S.P.,

M.Si sebagai dosen Pembahas 2 saya yang telah membimbing dan memberikan

arahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Pada penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak,

untuk itu dengan segala hormat ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H Mahfudz, MP., Rektor Universitas Tadulako yang

telah memberikan kesempatan dan peluang dalam menuntut Ilmu Pengetahuan

di Universitas Tadulako.

2. Bapak Dr. Ir. Amiruddin Kade, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako yang telah memberikan

kesempatan dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Tadulako.

3. Bapak Dr. H. Nurhayadi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Akademik

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako yang telah

vi
banyak membantu dalam penyelesaian administrasi dari awal penelitian

sampai pada penyelesaian studi..

4. Bapak Abdul Kamaruddin, S.Pd., M.Ed., Ph.D Wakil Dekan Bidang

Umumdan Keuangan yang telah banyak membantu dalam penyelesaian

administrasi dari awal penelitian sampai pada penyelesaian studi.

5. Bapak Dr. Iskandar, M.Hum., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan yang

telah banyak membantu dalam penyelesaian administrasi dari awal penelitian

sampai pada penyelesaian studi.

6. Ibu Purnama Ningsih, S.Pd., M.Si., Ph.D., Ketua Jurusan Pendidikan MIPA

FKIP Universitas Tadulakoyang telah banyak membantu dalam penyelesaian

administrasi dari awal penelitian sampai pada penyelesaian studi.

7. Bapak Dr. Mursito S. Bialangi, M.Pd., selaku Koordinator Program Studi

Pendidikan Biologi yang telah banyak memberikan nasehat, dukungan serta

masukan selama menjadi mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Biologi.

8. Bapak Ibu Dosen dan staf Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako yang telah tulus

mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama

duduk dibangku kuliah.

9. Staf Laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Tadulako, Ibu Dra. Lussy Mohune dan Ibu Dra.

Hamidah.

vii
10. Staf Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Tadulako, Bapak Dr. Husain Sosidi, M.Si dan Ibu Dewi

Indriany, S.Si.

11. Operator Program Studi Pendidikan Biologi Bapak Sudarman S.Kom. yang

telah banyak membantu dalam pengurusan berkas dan administrasi selama

perkuliahan.

12. Bapak dan Ibu Staf Pengajaran Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Tadulako.

13. Kepada keluarga saya yang telah mendoakan dan mendukung saya sampai ke

tahap ini. Semoga Allah SWT selalu menjaga dan melindungi serta menyertai

mereka dalam setiap keadaan, Insya Allah.

14. Teristimewa kepada Sahabat seperjuangan yang saya sayangi Afifatun

Miftahul Jannah, Tenri Abeng S.Pd., Sri Nanda, Annisa S.Pd., Sahri Nur

Ramadhan, dan Syarifah Musfirah, Riki Rianto S.Pd., Royan Dwi Prayuda

S.Ak., M.Ak serta sahabat-sahabat saya yang ada di Purwokerto dan juga

sosok terkasih saya Mohammad Fikram yang terus setia menemani,

meluangkan waktu dan keringat serta berjuang melewati perkuliahan bersama-

sama hingga sampai saat ini. Terima kasih atas kebersamaan yang telah

diciptakan.

15. Tim Peneliti, yaitu Tenri Abeng S.Pd., Afifatun Miftahul Jannah, Annisa S.Pd.,

dan Sri Nanda yang sangat membantu peneliti pada saat pelaksanaan

penelitian.

viii
16. Saudara-Saudari saya Angkatan 2017, terkhusus teman-teman kelas A“Bio-

Alfa17” yang tidak bisa di sebutkan satupersatu namanya, terimah kasih

begitu banyak kesan dan moment serta canda tawa yang dilewati bersama-

sama dari awal perkuliahan hingga saat ini.

17. Teman-teman KKN Kelurahan Siranindi angkatan 91.

18. Rekan-Rekan PLP SMA Negeri 3 Palu yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu namanya. Yang sudah memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi

ini.

19. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak bisa disebutkan satu

persatu namanya, penulis ucapkan terima kasih.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan

dan partisipasi dari semua pihak, semoga Allah SWT yang akan membalas semua

bantuan, Bimbingan serta dukungan kepada penulis selama menempuh

pendidikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi

perkembangan dunia pendidikan.

Palu, Oktober 2020

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 6

1.3 Tujuan Penelitian 6

1.4 Manfaat Penelitian 7

1.5 Batasan Istilah 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian yang Relevan 9

2.2 Kajian Teori 11

2.3 Kerangka Pemikiran 24

2.4 Hipotesis 25

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian 27

3.2 Rancangan Penelitian 27

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian 29

3.4 Variabel Penelitian 29

3.5 Sampel 30

x
3.6 Alat dan Bahan 30

3.7 Prosedur Kerja 30

3.8 Alur Penelitian 34

3.9 Teknik Analisa Data 35

3.10 Analisa Media Pembelajaran 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 37

4.2 Pembahasan 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 62

5.2 Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 63

xi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Hasil Acakan Jentik Nyamuk Culex quinquefasciatus 29

3.2 Hasil Acakan Nyamuk Culex quinquefasciatus 30

3.3 Sidik ragam 34

3.4 Kriteria Presentase Kelayakan Media 37

4.1 Perubahan Fisik Jentik Culex quinquefasciatus yang Telah 41

Mati Pada Perlakuan Baygon Cair, Air, Konsentrasi

6%, 8% dan 10%

4.2 Perubahan Fisik Nyamuk Culex quinquefasciatus yang Telah 48

Mati Pada Perlakuan Baygon Cair, Air, Konsentrasi

6%, 8% dan 10%

4.3 Persentase Kelayakan oleh Ahli Isi 52

4.4 Persentase Kelayakan oleh Ahli Desain 53

4.5 Persentase Kelayakan oleh Ahli Media 55

4.6 Persentase Kelayakan oleh Mahasiswa 56

4.7 Analisis Sidik Ragam Jentik Nyamuk 70

4.8 Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Jentik Nyamuk Culex 71

quinquefasciatus

4.9 Mortalitas Jentik Nyamuk Culex quinquefasciatus 71

4.10 Analisis Sidik Ragam Nyamuk Culex quinquefasciatus 72

4.11 Uji Beda Nyata Terlecil Nyamuk Culex quinquefasciatus 75

4.12 Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus 75

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) 11

2.2 Rumus Bangun Kimia Flavonoid 14

2.3 Rumus Bangun Saponin 15

2.4 Rumus Bangunan Minyak Atsiri 16

2.5 Nyamuk Culex quinquefasciatus 18

2.6 Telur Nyamuk Culex quinquefasciatus 20

2.7 Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus 20

2.8 Pupa Nyamuk Culex quinquefasciatus 21

2.9 Bagan Alur Kerangka Pemikiran 25

3.1 Alur Penelitian 35

4.1 Mortalitas Jentik Nyamuk Culex quinquefasciatus 37

pada Pengematan Menit Ke-20

4.2 Mortalitas jentik nyamuk Culex quinquefasciatus 38

pada Pengematan Menit Ke-40

4.3 Mortalitas Jentik Nyamuk Culex quinquefasciatus 39

pada Pengematan Menit Ke-60

4.4 Mortalitas Jentik Nyamuk Culex quinquefasciatus 40

pada Pengematan Menit Ke-80

4.5 Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus 44

pada Pengematan Menit Ke-20

4.6 Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus 45

xiii
pada Pengematan Menit Ke-40

4.7 Mortalitas nyamuk Culex quinquefasciatus 46

pada Pengematan Menit Ke-60

4.8 Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus 47

pada Pengematan Menit Ke-80

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lampiran 1 66

2. Lampiran 2 70

3. Lampiran 3 78

xv
xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang

disebabkan oleh cacing filaria. Cacing tersebut hidup di pembuluh getah bening

(limfe) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk dengan manifestasi klinik akut

berupa demam berulang dan peradangan pada pembuluh tersebut. Pada stadium

lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan,

payudara dan alat kelamin (Chin, 2006). Tiga spesies cacing filaria yang

menyebabkan Filariasis limfatik tersebut adalah Wuchereria bancrofti, Brugia

malayi dan Brugia timori (Depkes RI, 2010). Filariasis ini banyak ditemukan di

wilayah tropika seperti Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Selatan, dengan 120

juta manusia telah terjangkit. Di Indonesia, Filariasis merupakan salah satu

penyakit endemis. Pada tahun 2018, Indonesia terdapat 10.681 kasus filariasis

yang tersebar di 34 Provinsi. Lima provinsi dengan kasus kronis filariasis

terbanyak pada tahun 2018 adalah Papua (3.615 kasus), Nusa Tenggara Timur

(1.542 kasus), Jawa Barat (781 kasus), Papua Barat (622 kasus), dan Aceh (578

kasus). Provinsi-provinsi berikutnya adalah Jawa Tengah (439 kasus), Jawa Timur

(412 kasus), Kalimantan Timur (319 kasus), Jambi (267 kasus), Kalimantan Barat

(254 kasus), Sumatera Barat (239 kasus), Riau (236 kasus), Sulawesi Tengah (193

kasus), Sumatera Utara (183 kasus), Sumatera Selatan (169 kasus), Banten (129

kasus), Kepulauan Bangka Belitung (104 kasus), Kalimantan Tengah (90 kasus),

1
2

Sulawesi Selatan (82 kasus), Bengkulu (64 kasus), Sulawesi Tenggara (62 kasus),

Sulawesi Barat (43 kasus), Lampung (40 kasus), Maluku (37 kasus), Maluku

Utara (34 kasus), Kepulauan Riau (31 kasus), DKI Jakarta (23 kasus), Kalimantan

Selatan (23 kasus), Sulawesi Utara (20 kasus), Bali (18 kasus), Kalimantan Utara

(15 kasus), Nusa Tenggara Barat (10 kasus), Gorontalo (4 kasus) dan provinsi

dengan jumlah kasus kronis filariasis terendah adalah di Yogyakarta (3 kasus)

(Kementerian Kesehatan, 2019).

Sulawesi Tengah termasuk salah satu provinsi yang memiliki kasus penyakit

endemis Filariasis karena pada semua wilayah kabupatennya masih mempunyai

masalah dengan penyakit tersebut. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Sulawesi

Tengah, penderita kasus filariasis pada tahun 2018 sebanyak 196 kasus. Dari 13

kabupaten/kota terdapat 9 kabupaten yang dinyatakan endemis Filariasis dengan

mikro filaria rate >1% yaitu Kabupaten Sigi 1,14% dengan jumlah 2 orang yang

terjangkit penyakit filariasis pada tahun 2003, Donggala 1,14% dengan jumlah 2

orang yang terjangkit penyakit filariasispada tahun 2003, Parigi Moutong 2,14%

dengan jumlah 4 orang yang terjangkit penyakit filariasis pada tahun 2004, Poso

1,66% dengan jumlah 3 orang yang terjangkit penyakit filariasis pada tahun 2004,

Tojo Una-una 4,3% dengan jumlah 9 orang yang terjangkit penyakit filariasis

pada tahun 2009, Morowali 1,17% dengan jumlah 2 orang yang terjangkit

penyakit filariasis pada tahun 2009, Banggai 1,1% dengan jumlah 1 orang yang

terjangkit penyakit filariasis pada tahun 2009, Bangkep 1,16% dengan jumlah 2

orang yang terjangkit penyakit filariasis pada tahun 2002 dan Buol 1,52% dengan

jumlah 2 orang yang terjangkit penyakit filariasis pada tahun 2015. Dengan
3

demikian berdasarkan data diatas dapat dilihat filariasis masih menjadi masalah

bagi kesehatan masyarakat di Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan Profil

Kesehatan Indonesia, hingga pada tahun 2017 provinsi Sulawesi tengah hanya

mencapai keberhasilan eliminasi filariasis sebesar 23,1% saja, angka tersebut

cukup rendah dibanding dengan provinsi Jawa Timur (100%), Bali (100%) dan

Jawa Barat (85,2%), artinya provinsi Sulwesi tengah masih kurang maksimal

dalam mencapai keberhasilan eliminasi penyakit filariasis.

Filariasis limfatik adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari cacing

Wuchereria bancrofti yang menyerang pembuluh getah bening. Akan tetapi,

penularanya menurut Ramadhani (2009) oleh vektor jenis nyamuk Culex

quinquefasciatus yang dikenal sebagai vektor filariasis Wuchereria bancrofti.

Cacing ini menghuni sistem limfatik, termasuk pembuluh getah bening. Ketika

kodisi menjadi kronis, cacing ini mengarah ke sindrom elephantiasis. Culex

quinquefasciatus merupakan nyamuk yang aktif pada malam hari dengan jarak

terbang maksimum 5 km dari tempat perindukan (Webb et al., 2016).

Upaya pengendalian filariasis selama ini yang telah dilakukan oleh

pemerintah yakni dengan cara menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan

rantai penularan filariasis dengan program Pemberian Obat Pencegahan Massal

(POPM) Filariasis di Kabupaten/Kota Endemis Filariasis dan upaya pencegahan

serta membatasi kecacatan dengan melaksanakan program Penatalaksanaan

Penderita Filariasis. Upaya lainnya yaitu dapat dilakukan dengan memutuskan

penyakit filariasis dalam segi vektor hewan yang menularkan yakni nyamuk Culex

quinquefasciatus.
4

Penelitian mengenai pengendalian mortalitas nyamuk Culex

quinquefasciatus sebagai vektor utama penyakit filariasis khususnya di Sulawesi

Tengah masih belum dilakukan sehingga penelitian ini penting untuk diteliti lebih

lanjut. Upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan nyamuk Culex

quinquefasciatus di Sulawesi Tengah masih menggunakan insektisida sintetik

yang mampu mengancam reaktivitas dari sistem jaringan serangga hama secara

keseluruhan. Namun upaya ini mengalami permasalahan yakni bila penggunaan

kimia ini digunakan berulang kali akan menimbulkan dampak kontaminasi residu

pestisida, contohnya di dalam air sehingga menyebabkan pencemaran air, dan

menyebabkan resistensi nyamuk. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu solusi yang

ramah lingkungan untuk mengurangi atau mengatasi permasalahan yang telah

dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan alami yaitu dengan menggunakan

insektisida nabati sebagai alternatif untuk mengurangi penggunaan insektisida

sintetik. Namun, bagaimana memilih insektisida nabati yang memiliki daya kerja

yang tinggi dan ramah lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini.

Pemilihan satu tanaman yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan

insektisida alami untuk pemberantasan nyamuk Culex quinquefasciatus adalah

tanaman kecombrang (Etlingera elatior). Dari hasil studi yang telah dilakukan

dilaporkan bahwa Kecombrang (Etlingera elatior) merupakan tanaman dari famili

Zingiberaceae yang berpotensi dijadikan sebagai larvasida nabati. Hal ini

dikarenakan tumbuhan tersebut mengandung bahan kimia seperti saponin dan

flavonoid yang terdapat di batang, daun, bunga dan rimpang (Sulaiman,2013).

Selain itu, kecombrang juga mengandung polifenol dan minyak atsiri. Zat saponin
5

dikenal sebagai insektisida dan larvasida karena saponin dapat menurunkan

tagangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding

traktus menjadi korosif (Adityo,2015). Sementara itu, flavonoid merupakan

senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat serangga

memakan dan bersifat toksis (Dinata,2009).

Penelitian-penelitian mengenai keguanaan tanaman kecombrang dalam

pemberantasan nyamuk telah dilakukan oleh Sulaiman (2013) dengan

menggunakan ekstrak etanol daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai

larvasida pada Aedes aegypti Instar III. Hasilnya menunjukan bahwa ekstrak daun

kecombrang dapat mematikan larva dengan daya mortalitas tertinggi yaitu 100%

kematian pada konsentrasi 1% sedangkan pada daya mortalitas lebih rendah yaitu

80,00% kematian pada konsentrasi 0,75%. Pada penelitian Suryanto (2018)

menggunakan ekstrak daun kecombrang sebagai larvasida nabati pada larva

nyamuk Culex quinquefasciatus dengan tingkat mortalitas 50% pada konsentrasi

0,411% - 1,251%.

Dari hasil – hasil penelitian yang telah dilakukan sebagaimana disebutkan

di atas, tampaknya dalam studi penelitiannya hanya difokuskan kepada larva saja

sedangkan pada nyamuk sebagai vektor yang paling dominan dalam penyebaran

filariasis tidak diteliti. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian mengenai

ekstrak daun kecombrang dalam pemberantasan jentik dan nyamuk dari jenis

Culex quinquefasciatus ini pada konsentrasi yang lebih efektif agar tingkat

mortalitasnya lebih tinggi dan daya bunuhnya yang lebih cepat. Untuk itu peneliti

akan melakukan penelitian tentang pengaruh ekstrak daun kecombrang terhadap


6

mortalitas jentik dan nyamuk Culex quinquefasciatus

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka rumusan

masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh penggunaan ekstrak daun kecombrang terhadap

mortalitas jentik dan nyamuk Culex ?

2. Pada konsentrasi berapa ekstrak daun kecombrang yang memiliki pengaruh

paling signifikan terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex?

3. Apakah hasil penelitian ini layak di implementasikan menjadi sebuah media

pembelajaran dalam bentuk poster ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan pengaruh ekstrak daun kecombrang terhadap mortalitas

jentik dan nyamuk Culex.

2. Untuk menentukan konsentrasi dari ekstrak daun kecombrang yang paling

berpengaruh terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex.

3. Untuk mengetahui kelayakan media pembelajaran ini dalam bentuk poster


7

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aspek Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

pada ilmu taksonomi tumbuhan, khususnya dalam pemahaman tentang mortalitas

jentik dan nyamuk Culex dan implementasinya pada media pembelajaran poster.

1.4.2 Aspek Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna

bagi masyarakat, guru dan mahasiswa/i, khususnya pengaruh yang ditimbulkan

oleh ekstrak daun kecombrang ( Etlingera elatior ) terhadap mortalitas jentik dan

nyamuk Culex dan implementasinya pada media pembelajaran dalam bentuk

poster.

1.5 Batasan Istilah

Adapun batasan istilah dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Culex merupakan vector utama penyebab penyakit Filariasis (Gullan dan

Cranston, 2005).

2. Kecombrang ( Etlingera elatior ) merupakan tumbuhan yag memiliki potensi

sebagai larvasida ( Hidayat,2015).

3. Larvasida merupakan suatu zat yang digunakan untuk membunuh larva

nyamuk (WHO, 2002).

4. Mortalitas merupakan jumlah kematian

5. Toksisitas merupakan suatu uji untuk menentukan potensi suatu senyawa

sebagai racun.
8

6. Ekstraksi merupakan istilah dalam bidang farmasi yang berarti proses

pemisahan bahan aktif dari campurannya dengan menggunakan pelarut

(Hastari,2012).

7. Media pembelajaran merupakan suatu bahan, alat atau teknik yang digunakan

untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran dalam kegiatan belajar mengajar

dengan maksud agar proses interaksi dan komunikasi edukasi antara guru dan

siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna.

8. Poster merupakan gagasan yang dicetuskan dalam bentuk ilustrasi gambar

yang disederhanakan yang dibuat dalam ukuran besar, bertujuan untuk menarik

perhatian, membujuk, memotivasi atau memperlihatkan pada gagasan pokok,

fakta atau peristiwa tertentu. Poster bertumpu pada luasnya kata-kata untuk

menyampaikan gagasan khusus atau pesan khusus (Sudjana dan Rivai,2007).


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Suryanto (2018) meneliti tentang Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun

Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Larvasida Nabati Larva nyamuk Culex

quinquefasciatus dan Sumbangannya Pada Pembelajaran Biologi SMA,

menyatakan bahwa pemberian ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior)

berpengaruh sangat nyata terhadap mortalitas larva Culex quinquefasciatus

dengan uji Beda Nyata Jarak Ducan (BNJD) dan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)

didapatkan pada konsentrasi untuk membunuh 100% larva Culex quinquefasciatus

adalah 2,5% pada 24 jam dan 2% pada 48 jam dan nilai KL50 selama 24 dan 48

jam secara berturut-turut adalah 1,216% dan 0,595%. Penelitian dususun

berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 5

ulangan dan ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) dengan konsentrasi P0

(0%); P1 (1%); P2 (1,5%); P3 (2%); P4 (2,5%). Pengamatan dilakukan 24 dan 48

jam setelah perlakuan dan dihitung persentase mortalitas larva.

Virgianti dan Masfufah (2015) meneliti tentang Efektivitas Ekstrak Daun

Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai Antioviposisi Nyamuk Aedes aegypti,

menyatakan bahwa kecombrang (Etlingera elatior) merupakan salah satu tanaman

yang memiliki potensi sebagai biopeptisida. Kecombrang (Etlingera elatior)

mengandung senyawa flavonoid dan saponin. Selain itu, kecombrang (Etlingera

elatior) juga mengandung polifenol dan minyak atsiri, konsentrasi ekstrak daun

9
10

kecombrang (Etlingera elatior) yang digunakan yaitu 15%, 20%, 25% dan 30%

dengan tiga kali pengulangan perlakuan. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior) dengan konsentrasi lebih dari 15% efektif sebagai antioviposisi

nyamuk Aedes aegypti.

Monica Anjar Wiji (2011) meneliti tentang mengenai Uji Daya Bunuh

Ekstrak Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Nyamuk Culex

quinquefasciatus, menyatkan bahwa ekstrak bunga kecombrang (Etlingera

elatior) memiliki pengaruh terhadap mortalitas larva Culex quinquefasciatus

dengan LC50 didapatkan pada konsetrasi 52.087,360 ppm dan LC80 pada

konsentrasi 61.294,941. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium

dengan objek dibagi dalam 5 perlakuan, masing-masing berisi 10 ekor larva dan

dilakukan 3 ulangan dan konsentrasi bunga kecombrang (Etlingera elatior)

masing-masing 50.000 ppm, 55.000 ppm, 60.000 ppm, 65.000 ppm dan 70.000

ppm. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dan dihitung jumlah larva yang mati.

Jaafar et al., (2007) meneliti tentang uji fitokimia tanaman kecombrang

(Etlingera elatior) menunjukkan adanya beberapa jenis minyak esensial yang

bersifat bioaktif pada daun, batang, bunga dan rimpang tanaman ini. Kandungan

minyak esesnsial pada daun sebesar 0,0735 %, bunga 0,0334%, batang 0,0029%

dan rimpang 0,0021%. Selain itu hasil penelitian ini melaporkan bahwa ekstrak

methanol bunga, daun, dan rimpang tanaman kecombrang (Etlingera elatior)

mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid,

steroid, dan glikosida yang berkaitan dengan aktivitas antioksidan dan antikanker.
11

2.2 Kajian Teori

2.2.1 Tinjauan Umum Tumbuhan Kecombrang (Etlingera elatior)

Kecombrang (Etlingera elatior) merupakan tanaman yang berpotensi

dijadikan sebagai larvasida nabati. Kandungan kimia yang terdapat di batang,

daun, bunga dan rimpang kecombrang adalah saponin dan flavonoid. Senyawa

tersebut paling banyak terdapat pada bagian daun (Sulaiman, 2013).

Gambar 2.1 Tanaman Kecombrang (Etlingera elatior)

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Klasifikasi tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) menurut

Tjitrosoepomo (2005), yaitu :

Regnum Plantae

Diviso Magnoliophyta

Classis Liliopsida

Ordo Zingiberales

Familia Zingiberaceae

Ganus Etlingera

Species Etlingera elatior


12

2.2.2 Morfologi Kecombrang (Etlingera elatior)

Adapun morfologi dari tanaman kecombrang (Etlingera elatior) menurut

Tjitrosoepomo (2005), dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Akar

Tumbuhan kecombrang (Etlingera elatior) memiliki akar yang berbentuk

meyerupai serabut dan berwana kuning gelap.

2. Batang

Tumbuhan Kecombrang (Etlingera elatior) memiliki batang termodifikasi

berbentuk rhizoma (rimpang) yang berwarna hijau. Sebagian besar batang

tanaman kecombrang berbentuk tegak lurus. Tak hanya itu, batang juga memiliki

pelepah yang membuatnya terlihat seperti batang pisang.

3. Daun

Tumbuhan kecombrang (Etlingera elatior) memiliki daun 15–30 helai

tersusun dalam dua baris berseling, di batang semu helaian daun berbentuk jorong

lonjong dengan ukuran panjang 20–90 cm dan lebar 10–20 cm dengan pangkal

membulat atau berbentuk jantung, tepinya bergelombang dan ujung meruncing

pendek gundul namun dengan tampak bintik–bintik halus dan rapat berwarna

hijau mengkilap dengan sisi bawah bagian daun yang berwarna keunguan ketika

masih muda.

4. Bunga

Tumbuhan kecombrang (Etlingera elatior) memiliki bunga dalam

karangan berbentuk gasing bertangkai panjang dengan daun pelindung berbentuk

jorong berwarna merah jambu hingga berwarna merah terang, kelopak berbentuk
13

tabung dengan panjang 3-3,5 cm bertaju 3 dan terbelah dan mahkota berbentuk

tabung berwarna merah jambu berukuran 4 cm.

5. Buah

Tumbuhan kecombrang (Etlingera elatior) merupakam tumbuhan yang

memiliki buah berjejalan dalam bongkol seperti bentuk bulat berdiameter 10–20

cm, berambut halus dan pendek di bagian luar, berwarna hijau dan ketika masak

berwarna merah.

6. Biji

Tumbuhan kecombrang (Etlingera elatior) memiliki biji yang banyak

berwana coklat kehitaman ketika masak, dan berwarna putih ketika masih muda

yang berasa masam (Rio,2015).

2.2.3 Manfaat Tumbuhan Kecombrang (Etlingera elatior)

Tumbuhan kecombrang (Etlingera elatior) merupakan salah satu jenis dari

tumbuhan rempah tahunan yang sejak dari dulu banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai obat–obatan herbal dan juga digunakan sebagai penambah

citarasa pada makanan.Bagian daunnya mengandung senyawa polifenol yang

tinggi yang bermanfaat untuk mengobati disentri. Pada Bunga kecombrang

(Etlingera elatior) juga dimanfaatkan sebagai obat–obatan sebagai penghilang bau

badan, memperbanyak air susu ibu, pembersih darah serta menghilangkan bau

mulut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa tumbuhan kecombrang (Etlingera

elatior) mengandung senyawa saponin dan flavonoid yang dapat membunuh

nyamuk (Hidayat,2015).
14

2.2.4 Kandungan Metabolit Sekunder

Menurut Syamsuhidayat (1990) kandungan pada daun, batang, bunga dan

rimpang tumbuhan kecombrang (Etlingera elatior) mengandung saponin dan

flavonoid, di samping itu rimpangnya juga mengandung polifenol dan minyak

atsiri.

1. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol pada tumbuhan hijau yang

mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam

konfigurasi C6-C3-C6. Flavonoid mencangkup banyak pigmen paling umum yang

berperan penting dalam tumbuhan dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan

mulai dari fungus sampai angiospermae. Misalnya, pada pigmen bunga flavonoid

berperan dalam menarik burung serta menarik serangga penyerbuk yang terdapat

pada bunga. Selain itu terdapat beberapa flavonoid yang dapat menyerap sinar

Ultraviolet (UV) yang berperan dalam mengarahkan serangga (Robinshon, 1995).

Efek yang diberikan oleh flavonoid terhadap beberapa organisme sangat

banyak macamnya serta dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung

flavonoid sering digunakan dalam pengobatan tradisional di kalangan masyarakat.

Beberapa flavonoid dapat menghambat fosfodiesterase dan flavonoid lainnya

dapat menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, DNA

polinirase, lipooksigenase dan balik transcriptase (Robinshon, 1995).

Gambar 2.2 Rumus Bangun Kimia Flavonoid( Robinshon, 1995)


15

2. Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan memiliki berat

molekul tinggi terutama dihasilkan oleh tumbuhan, bakteri dan hewan laut tingkat

rendah. Keberadaan saponin dapat ditandai dengan adanya pembentukan larutan

koloidal dengan air yang apabila dikocok akan menimbulkan buih–buih yang

stabil. Saponin ini dapat larut dalam air tetapi tidak dapat larut dalam ester.

Saponin juga merupakan senyawa yang memiliki rasa yang pahit menusuk

sehingga dapat menyebabkan seseorang bersin dan bersifat racun bagi hewan

berdarah dingin, banyak di antara saponin ini juga digunakan sebagai racun untuk

ikan dan amfibi (Sulaiman, 2013).

Gambar 2.3 Rumus Bangun Saponin(Sulaiman, 2013)

3. Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang

mudah menguap (volatil). Pada minyak atsiri bagian utamanya yaitu terpenoid, zat

inilah penyebab bau harum yang khas pada minyak tumbuhan. Minyak atsiri yang

mudah menguap terdapat dalam kelenjar minyak khusus didalam kantung minyak

atau didalam ruang antar sel dalam jaringan tumbuhan. Minyak atsiri umumnya

terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur

Carbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O) dan beberapa senyawa kimia yang

mengandung unsur Nitrogen (N) dan Belerang (S) (Sulaiman,2013).


16

Gambar 2.4 Rumus Bangunan Minyak Atsiri (Wong, dkk., 1993)

2.2.5 Ekstraksi

Ekstraksi ialah istilah dibidang farmasi yang dimana merupakan proses

pemisahan antara bahan aktif dari campurannya dengan menggunakan pelarut.

Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi ini yaitu pelarut selektif yang sesuai

dengan bahan yang ingin diekstraksikan yang tentunya sesuai dengan standar

ekstraksi. Standarisasi dalam proses ekstraksi ini bertujuan untuk dapat

memurnikan zak aktif dari zat–zat yang lain (Hastari, 2012).

Pembagian metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) ada 2 cara yaitu

ekstraksi secara dingin dan ekstraksi secara panas.

1. Ekstraksi secara dingin

a) Maserasi

Maserasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan proses penyarian

simplisia menggunakan pelarut dengan perendaman dan beberapa kali

pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyair

akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung

zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedan konsetrasi larutan zat aktif

didalam sel dan diluar sel maka larutan terpekat didesak keluar. Keuntungan cara
17

penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan

sederhana.

b) Perkolasi

Perkolasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang baru

sampai proses penyarian sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur suhu

ruangan. Proses perkolasi ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan

maserasi antara dan tahapan perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan

ekstrak) yang terus menerus sampai ekstrak yang diinginkan habis tersari. Tahap

pengembangan bahan dan maserasi antara dilakukan dengan maserasi serbuk

menggunakan cairan penyaring sekurang-kurangnya selama 3 jam, hal ini

penting terutama untuk serbuk yang keras dan bahan yang mudah mengembang.

2. Ekstraksi secara panas

a) Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada

temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik.

b) Sokletasi

Sokletasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru,

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c) Digesti

Digesti merupakan maserasi dengan menggunakan pengadukan kontinu

pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada 40–50C.
18

d) Infus

Infus merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96 – 98 ̊ C selama waktu

tertentu ( 15 – 20 menit).

e) Dekok

Dekok merupakan ekstraksi dengan menggunakan infus pada waktu yang

lebih lama (+30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.2.6 Tinjauan Umum Nyamuk Culex quinquefasciatus

Klasifikasi Nyamuk Culex quinquefasciatus menurut Romoser (1998),

yaitu :

Kindom Animalia

Phylum Arthropoda

Classis Insecta

Ordo Dipetra

Familia Culicidae

Ganus Culicianae Gambar 2.5 Nyamuk (Wulan, 2016)

Species Culex quinquefasciatus

2.2.7 Morfologi Nyamuk Culex quinquefasciatus

Nyamuk Culex quinquefasciatus berwarna coklat, berukuran sedang,

dengan bintil – bintik putih dibagian dorsal abdomen.Sedangkan kaki dan

proboscis berwarna hitam polos tanpa bintik – bintik putih. memiliki kepala yang

umunya berbentuk bulat dan memiliki sepasang mata, sepasang antena, sepasang

palpi yang terdiri atas 5 segmen dan juga meiliki 1 probosis antena yang terdiri
19

atas 15 segmen. Pada nyamuk ini tidak terdapat rambut pada spiracular maupun

pada post spiracular. Ciri lain dari jenis nyamuk ini yaitu posisi yang sejajar

dengan bidang permukaan yang dihinggapi saat istirahat (Setiawati, 2000).

Siklus hidup nyamuk Culex quinquefasciatus terdiri atas stadium telur,

larva, Pupa (Kepompong), dan nyamuk. Metamorfosis sempurna (Holometabola)

nyamuk Culex, yaitu sebagai berikut :

1. Sadium Telur

Telur nyamuk Culex pada waktu dikeluarkan oleh induk, telur berwarna

putih, setelah beberapa menit telur berubah menjadi berwarna abu-abu, dan

setelah kurang lebih dari 30 menit telur akan berubah menjadi hitam. Dalam sekali

bertelur dapat menghasilkan 100 butir telur dan telur-telur ini dapat bertahan

hidup selama 6 bulan yang ketika menetas akan menjadi pupa atau jentik setelah

sekitar 2 hari. Nyamuk ini untuk meletakkan telurnya di atas permukaan air secara

bergelombolan dan bersatu membentuk seperti rakit sehingga mampu mengapung

di permukaan air (Anonim, 2002).

Gambar 2.6 Telur Nyamuk Culex quinquefasciatus (Anonim, 2002)

2. Stadium Larva

Setelah telur menetas, maka telur akan berubah menjadi larva atau jentik.

Pada larva culex memiliki ciri khas yaitu siphon yang panjangnya 4 kali lebih
20

panjang dari pada larva dari jenis nyamuk yang lain. Secara anatomis, seekor

larva terdiri atas 3 bagian yaitu kepala, thoraks dan juga abdomen. Pada bagian

abdomen terdapat 8 segmen. Pada stadium ini terdapat 4 tahapan dalam

perubahannya, mulai dari larva instar I, larva instar II, larva instar III, hingga larva

instar IV. Pada setiap perubahan antara instar ini, seekor larva akan mengalami

pergantian kulit. Dari proses pergantiaan kulit ini disebut sebagai proses moulting

(Metcalff, 1985).

Gambar 2.7 Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus (Matsumura, 1985)

3. Stadium Pupa

Secara umum seekor larva berubah menjadi seekor pupa membutuhkan

waktu antara 5 – 8 hari lamanya.Pupa berbentuk seperti koma. Pada bagian distal

abdomen terdapat sepasang pengayuh yang lurus dan runcing. Ketika pupa

terkena sentuhan dia akan merasa terganggu ketika tempat perinindukannya

tersentuh, pupa akan bergerak dengan cepat masuk kedalam air selama beberapa

detik kemudian muncul kembali ke permukaan air ketika tidak ada gangguan lagi

(Christopers, 1960).
21

a
b
c

Gambar 2.8 Pupa Nyamuk Culex quinquefasciatus (Matsumura, 1985)

Keterangan :

a) Antena

b) Kaki

c) Tabung pernafasan

4. Stadium Nyamuk Dewasa

Setelah 2-3 hari, dari pupa akan muncul nyamuk dewasa berubah melalui

proses robeknya kulit pada bagian thorax. Nyamuk jantan akan muncul lebih

dahulu daripada nyamuk betina. Nyamuk dewasa betina dapat bertahan hidup

selama 4-5 bulan, terutama pada periode hibernasi (musim dingin) sedangkan

pada periode musim kemarau (musim panas) merupakan masa aktif dari nyamuk

betina dan hanya mampu bertahan hidup selama 2 minggu. Untuk nyamuk jantan

hanya dapat bertahan hidup selama 1 minggu, akan tetapi pada kondisi optimal

dapat bertahan hidup selama lebih dari 1 bulan. Tubuh nyamuk Culex dewasa

terdiri dari 3 bagian yaitu kepala, thoraks dan abdomen (Borror, et al., 1992).

2.2.8 Media Pembelajaran


1. Pengertian Media Pembelajran
Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan tenaga pendidik
22

guna membantu dalam proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas

makna pesan yang ingin disampaikan dalam proses pembelajaran, sehingga dapat

mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Media pembelajaran merupakan

sarana untuk meningkatkan kegiatan proses belajar mengajar. Mengingat

banyaknya bentuk-bentuk media tersebut, maka guru harus cermat dalam

memilih, sehingga dapat digunakan dengan efektif (Cecep, 2013).

Media pembelajaran merupakan semua alat atau benda atau perlengkapan

berupa apapun yang digunakan oleh guru atau pengajar dalam membantu kegiatan

belajar mengajar dengan maksud menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran

antara guru atau pengajardengan peserta didik agar proses interaksi pembelajaran

dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Dalam pebelajaran media dapat

digunakan untuk menyampaikan mater-materi yang cukup sulit disampaikan

apabila hanya dengan kata-kata ataupun hanya dengan penjelasan menggunakan

papan tulis (Prasetyo, 2016).

2. Manfaat Media Pembelajaran

Menurut pemahaman Hujair (2013) manfaat dari penggunaan media


pembelajaran, yaitu :

a) Pengajaran lebih menarik perhatian pembelajaran sehingga dapat

menumbuhkan motivasi belajar

b) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga dapat lebih

difahamiserta memungkinkan pembelajar menguasai tujuan pengajaran

dengan baik.
23

c) Metode pembelajaran bervariasi, tidak semata-mata hanya untuk

berkomunikasi verbal melalui penuturan kata-kata lisan pengajar,

pembelajaran tidak bosan dan pengajar tidak kehabisan tenaga.

d) Pembelajaran lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya

mendengarkan penjelasan dari pengajar saja, tetapi aktivitas lain yang

dilakukan seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain.

3. Macam-macam media pembelajaran

Menurut pemahaman Sanjaya (2011) media pembelajaran dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok tergantung dari sudut mana

melihatnya.

a) Dilihat dari sifatnya, media dapat dibagi kedalam :

➢ Media auditif, yaitu media yang hanya didengar saja atau media yang

hanya memiliki unsur suara

➢ Media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat dan tidak mengandung

unsur hara.

➢ Media audiovisual, yaitu jenis media yang mengandung unsur suara

danjuga unsur ganbar yang bisa dilihat.

b) Dilihat dari kemampuan jangkauannya, media dapat dibagi pula kedalam

➢ Media yang memiliki daya liput yang luas dan serentak. Melalui media ini

siswa diharapkan dapat mempelajari hal-hal atau kejadian-kejadian yang

actual secara serentak tanpa harus menggunakan ruangan khusus.

c) Dilihat dari cara atau teknik pemakaiannya, media dapat dibagi kedalam:
24

➢ Media yang diproyeksikan, seperti film projector untuk memproyeksikan

film, slide projector untuk memproyeksikan film slide, dan OHP untuk

mem peroyeksikan transparansi.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di Desa Sejahtera, Kec. Dolo,

Sigi bahwa terdapat tumbuhan kecombrang yang memiliki berbagai macam

manfaat, selain dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional dan menambah

citarasa dalam masakan, ternyata daun dari tumbuhan kecombrang ini

mengandung senyawa kimia metabolit sekunder yaitu saponin dan flavonoid,

yang diduga dapat menjadi larvasida. Nyamuk Culex quinquefasciatus merupakan

nyamuk yang berbahaya sebagai vektor utama penyebab penyakit filariasis.

Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh ekstrak daun

kecombrang terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex quinquefasciatus dan

implementasinya sebagai media pembelajaran


25

Nyamuk Culex quinquefasciatus merupakan


Vektor penyakit Filariasis

Upaya pengendalian penyakit Filariasis


menggunakan insektisida alami

Ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior)


Mengandung senyawa metabolit sekunder

Flavonoid Saponin Minyak atsiri

Senyawa kimia tersebut diduga mampu


Membunuh nyamuk Culex quinquefasciatus

Dilakukan uji pengaruh ekstrak daun


kecombrang dalam membunuh nyamuk

Kematian nyamuk Culex quinquefasciatus

Implementasi hasil dari penelitian akan


dijadikan poster sebagai media pembelajaran

Gambar 2.9 Bagan Alur Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis

Selaras dengan tujuan dalam penelitian yang akan dilakukan, maka

hipotesis penelitian ini yaitu :

1. Penggunaan ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) berpengaruh

terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex.


26

2. Penggunaan ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) dengan

konsentrasi tertentu dapat berpengaruh terhadap mortalitas jentik dan

nyamuk Culex.

3. Pembuatan media pembelajaran dalam bentuk poster digunakan dalam

meningkatkan minat belajar peserta didik serta memudahkan peserta didik

dalam memahami materi pembelajaran.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorium, yaitu

untuk menguji pengaruh penggunaan ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior)

terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex quinquefasciatus.

3.2 Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan pada setiap

perlakuan terdiri atas 4 kali pengulangan. Perlakuan untuk jentik Culex

quinquefasciatus ini meliputi konsentrasi 0,012%, 0,016%, 0,02%, baygon cair

dan air. Adapun perlakuan untuk nyamuk Culex quinquefasciatus ini meliputi

konsentrasi 6%, 8%, 10%, baygon cair dan air. Dari 5 perlakuan dan 4 kali

pengulangan pada setiap sampel dalam penelitian ini dapat dihitung sebagai

berikut :

Hasil ini dihitung menggunakan rumus t (r-1) >= 15 (Astija, 2018).

Maka diperoleh hasil: t (r-1) >= 15

6r – 6 > =15

6r > = 15 + 6

r > = 21/6

r = 3,5 maka r sebaiknya >4.

27
28

Berdasarkan penggunaan metode RAL maka setiap sampel memiliki

kesempatan yang sama untuk masuk pada kelompok kontrol maupun perlakuan.

Untuk itu peneliti menggunakan metode dadu untuk mengacak sampel yang dapat

dilihat pada tabel 3.1 dan 3.2.

Tabel 3.1 hasil acakan jetik Culex quinquefasciatus

Pengulangan
Perlakuan
U1 U2 U3 U4
J (79, 12, 6, J (4, 13, 122, J (188, 183,
J (22, 93, 116,
199, 80, 91, 113, 165, 154, 179, 133, 141,
Kontrol Normal 45, 73, 66, 54,
64, 44, 21, 132, 124, 177, 157, 16, 14,
47, 99, 101)
11) 176) 35, 43)
J ( 53, 5, J (111, 143,
J (37, 9, 145, J ( 92,61,32,
189,128, 90, 55, 70, 30, 138,
Baygon Cair 62, 31, 2, 110, 17, 8, 109, 94,
23, 171, 15, 181, 119, 68,
60, 134, 51) 148, 59, 192)
161) 76, 33)
J ( 85, 136, J ( 97, 174, J (147, 83, 77, J (29, 10, 158,
Konsentrasi 125, 27, 185, 162, 104, 57, 20, 156, 144, 146, 108, 117,
0,012 % 167, 82, 196, 40, 130, 106, 120, 56, 173, 50, 25, 168,
75, 87) 19, 3) 137) 155)
J (200, 107, J (169, 198, J (172, 112, 42, J (1, 142, 131,
Konsentrasi 63, 48, 100, 163, 115, 164, 153, 150, 89, 95, 39, 159,
0,016 % 69, 38, 7, 28, 34, 81, 58, 182, 195, 52, 166, 127, 74, 190,
160) 194) 186) 84)
J (197, 103, J (193, 184, J (149, 151,
J (187, 96, 191,
Konsentrasi 88, 140, 18, 102, 72, 26, 65, 78, 67, 98,
36, 152, 46, 126,
0,2 % 129, 71, 41, 118, 105, 135, 49, 178, 180,
86, 114, 123)
139, 175) 121, 24) 170)
Keterangan :

J : Jentik Culex quinquefasciatus

U : Ulangan
29

Tabel 3.2 hasil acakan nyamuk Culex quinquefasciatus

Pengulangan
Perlakuan
U1 U2 U3 U4
N (79, 12, 6, N (4, 13, 122, N (188, 183,
N (22, 93, 116,
199, 80, 91, 113, 165, 154, 179, 133,
Kontrol Normal 45, 73, 66, 54,
64, 44, 21, 132, 124, 177, 141, 157, 16,
47, 99, 101)
11) 176) 14, 35, 43)
N (37, 9, 145, N (111, 143,
N ( 92,61,32, N ( 53, 5,
62, 31, 2, 70, 30, 138,
Baygon Cair 17, 8, 109, 94, 189,128, 90, 55,
110, 60, 134, 181, 119, 68,
148, 59, 192) 23, 171, 15, 161)
51) 76, 33)
N ( 85, 136, N ( 97, 174, N (147, 83, 77, N (29, 10,
125, 27, 185, 162, 104, 57, 20, 156, 144, 158, 146,
Konsentrasi 6 %
167, 82, 196, 40, 130, 106, 120, 56, 173, 108, 117, 50,
75, 87) 19, 3) 137) 25, 168, 155)
N (200, 107, N (169, 198, N (172, 112, 42, N (1, 142,
63, 48, 100, 163, 115, 164, 153, 150, 89, 131, 95, 39,
Konsentrasi 8 %
69, 38, 7, 28, 34, 81, 58, 182, 195, 52, 166, 159, 127, 74,
160) 194) 186) 190, 84)
N (197, 103, N (193, 184, N (149, 151,
N (187, 96, 191,
88, 140, 18, 102, 72, 26, 65, 78, 67,
Konsentrasi 10 % 36, 152, 46, 126,
129, 71, 41, 118, 105, 135, 98, 49, 178,
86, 114, 123)
139, 175) 121, 24) 180, 170)
Keterangan :

N : Nyamuk Culex quinquefasciatus

U : Ulangan

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi, Jurusan FMIPA,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako, pada

bulan Agustus 2020.

3.4 Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel

terikat, yang menjadi variabel bebas adalah ekstrak daun kecombrang (Etlingera
30

elatior) dan yang menjadi variabel terikat adalah mortalitas jentik dan nyamuk

dewasa Culex quinquefasciatus.

3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blender, botol kecil, botol

spayer, sarung tangan, parang, pisau, gelas kimia, gelas ukur, kain kasa, kertas

saring, kertas label, pipet, aluminium foil, timbangan, oven, shaker, rotrary

evaporator, erlenmayer, dan wadah atau kotak penangkaran nyamuk.

3.5.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun kecombrang

(Etlingera elatior), 200 ekor jentik dan 200 ekor nyamuk Culex quinquefasciatus,

etanol 96%, air, baygon cair dan tissue.

3.6 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu daun kecombrang

(Etlingera elatior) serta jentik dan nyamuk Culex qiunquefasciatus yang

didapatkan dari Laboratorium Penelitian Balai Litbang P2B2 Donggala sebanyak

200 ekor untuk jentik dan 200 ekor untuk nyamuk Culex qiunquefasciatus.

3.7 ProsedurKerja

3.7.1 Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan melakukan peminjaman alat-alat yang akan


31

digunakan dalam melakukan penelitian yang dapat diperoleh di Laboratorium

Biologi, Jurusan Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Tadulako. Kemudian mensterilisasikan alat-alat tersebut sebelum akan

digunakan dan selanjutnya menimbang terlebih dahulu bahan-bahan yang akan

digunakan dalam penelitian dengan menggunakan neraca analitik.

3.7.2 Tahap Pelaksanaan

1. Pembuatan Simplisia

Pembuatan ekstrak daun kecombrang ditimbang terlebih dahulu sesuai

kebutuhan yaitu sebanyak 2 kg, setelah itu daun dicuci hingga bersih kemudian

dikeringkan dalam oven dengan suhu 40̊ C selama 3 hari lamanya agar daun

kering dengan sempurna. Selanjutnya, daun kecombrang yang telah dikeringkan

kemudian dihaluskan menggunakan blender sehingga didapatkan serbuk simplisia

sebanyak 500g.

2. Pembuatan Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)

Daun kecombrang yang telah dihaluskan menjadi serbuk kemudian

dimasukkan kedalam labu erlenmayer dan ditambahkan larutan etanol 96%

sebanyak 2 Liter. Setelah itu, tutup dengan menggunakan aluminium foil dan

diamkan diatas alat pengaduk otomatis (Shaker). Proses maserasi dilakukan

selama 3 hari lamanya. Hasil meserasi yang didapatkan kemudian disaring, hasil

ini selanjutnya di evaporasi agar dapat memisahkan antara zat pelarut (etanol) dan

zat terlarut dengan menggunakan rotary evaporator. Sehingga estimasi perolehan

ekstrak daun kecombrang sebanyak 24 ml.

3. Pengenceran Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)


32

Pada penelitian ini menggunakan konsentrasi pengenceran dengan

presentasi sebagai berikut: 0,012%, 0,016%, 0,02%, air dan baygon cair sebagai

kontrol normal untuk jentik Culex quinquefasciatus dan 6%, 8%, 10%, air dan

baygon cair sebagai kontrol normal untuk nyamuk Culex quinquefasciatus,

Adapun prosedur kerja dalam penelitian ini yaitu:

• Pada konsentrasi 0,012% menggunakan ekstrak daun kecombrang

sebanyak 0,012 ml yang akan di campurkan dengan air 99,988 ml untuk

mendapatkan volume larutan 100 ml.

• Pada konsentrasi 0,016% menggunakan ekstrak daun kecombrang

sebanyak 0,016 ml yang akan di campurkan dengan air 99,984 ml untuk

mendapatkan volume larutan 100 ml.

• Pada konsentrasi 0,02% menggunakan ekstrak daun kecombrang sebanyak

5 ml yang akan di campurkan dengan air 99,98 ml untuk mendapatkan

volume larutan 100 ml.

• Pada konsentrasi 6% menggunakan ekstrak daun kecombrang sebanyak 6

ml yang akan di campurkan dengan air 94 ml untuk mendapatkan volume

larutan 100 ml

• Pada konsentrasi 8% menggunakan ekstrak daun kecombrang sebanyak 8

ml yang akan di campurkan dengan air 92 ml untuk mendapatkan volume

larutan 100 ml

• Pada konsentrasi 10% menggunakan ekstrak daun kecombrang sebanyak

10 ml untuk mendapatkan volume larutan 90 ml

• Pada baygon cair tidak di tambahkan ekstrak daun kecombrang dan air
33

• Sebagai kontrol normal menggunakan air

4. Perlakuan Ekstrak terhadap Jentik Nyamuk Culex quinquefasciatus

Beberapa konsentrasi yang telah didapatkan kemudian dimasukkan

kedalam wadah berupa botol kecil yang telah disiapkan, kemudian dalam masing-

masing wadah yang berisi air dengan volume 500 ml yang sama dimasukkan

jentik nyamuk sebanyak 10 ekor jentik/wadah yang ditambahkan ekstrak dengan

konsentrasi 0,012%, 0,016%, 0,02%, serta air dan baygon cair sebagai kontrol

yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya dilakukan pengamatan selama 80

menit dengan interval waktu setiap 20 menit. Dari 5 perlakuan jentik nyamuk

yang digunakan dalam 1 kali perlakuan terdiri dari 40 ekor, sehingga jumlah

jentik nyamuk keseluruhan yang diperlukan dalam penelitian ini sebanyak 200

ekor.

5. Perlakuan Ekstrak terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus

Beberapa konsentrasi yang telah didapatkan kemudian dimasukkan

kedalam wadah berupa botol kecil yang telah disiapkan, kemudian dalam masing-

masing wadah yang sama dimasukkan nyamuk sebanyak 10 ekor nyamuk/wadah

yang ditambahkan ekstrak dengan konsentrasi 6%, 8%, 10%, serta air dan baygon

cair sebagai kontrol yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya dilakukan

pengamatan selama 80 menit dengan interval waktu setiap 20 menit. Dari 5

perlakuan jentik nyamuk yang digunakan dalam 1 kali perlakuan terdiri dari 40

ekor, sehingga jumlah jentik nyamuk keseluruhan yang diperlukan dalam

penelitian ini sebanyak 200 ekor.


34

3.8 Alur Penelitian

Proses penelitian ini dapat dilihat pada diagram alur penelitian dibawah

ini.

Kecombrang (Etlingera elatior)

Proses pengolahan ekstrak daun


Kecombrang (Etlingera elatior)

Eksperimen

K 3% K 4% K 5% Baygon Air
cair

Masing-masing konsentrasi dan kontrol dimasukan


jentik sebanyak 10 ekor

Melakukan pengamatan mortalitas jentik selama 80


menit dengan interval waktu setiap 20 menit.

Menganalisis melaui ANAVA untuk melihat


efektivitas dari ekstrak daun kecombrang
Gambar 3.1 Alur Penelitian jentik
35

Kecombrang (Etlingera elatior)

Proses pengolahan ekstrak daun


Kecombrang (Etlingera elatior)

Eksperimen

K 6% K 8% K 10% Baygon Air


cair

Masing-masing konsentrasi dan kontrol dimasukan


nyamuk sebanyak 10 ekor

Melakukan pengamatan mortalitas nyamuk selama


80 menit dengan interval waktu setiap 20 menit.

Menganalisis melaui ANAVA untuk melihat


efektivitas dari ekstrak daun kecombrang
Gambar 3.2 Alur Penelitian nyamuk

3.9 Teknik Analisa Data

Data mengenai mortalitas jentik dan nyamuk dari hasil pengujian yang

diperoleh pada penelitian ini akan dianalisis secara statistik melalui Analisis

Varian (ANAVA) menggunakan program STATS versi 2.7. Adapun pertama

matematis uji ANAVA dapat ditulis sebagai berikut:

Yij = µ + τj+∑ij

Keterangan: Yij = Nilai pengamatan pada ulangan ke-i dan perlakuan ke-j

i = Ulangan ke-i (1, 2, 3)


36

j = Perlakuan ke-j (I, II, III, IV, V)

µ = Nilai rata-rata keseluruhan perlakuan

τj = Pengaruh dari perlakuan ke-j

∑ij = Galat acak Sumber (Gomez, 1995).

Selanjutnya rangkaian dari perhitungan ini dimasukkan kedalam sidik

ragam sebagai berikut.

Tabel 3.3 Sidik ragam

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Fhitung Ftabel

Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5%

Perlakuan t-1 JKP JKP/t-1

Galat t(r-1) JKG JKG/t(r-1)

Bila hasil Fhitung menunjukan hasil yang signifikan maka dilanjutkan

dengan uji lanjut BNT (beda nyata terkecil). Formasi rumus BNT yang digunakan

adalah :

√2 KT galat
𝐵𝑁𝑇 = ta
𝑟

Keterangan : ta = BNT tabel

r = ulangan

KT = kuadrat tengah

Nilai Ftabel dilihat dalam tabel t pada sumber keragaman dan untuk tingkat

kepercayaan 5% dan 1%.

Kriterian pengujian hipotesis :


37

a. Jika hasil Fhitung > Ftabel berarti H0 ditolak dan H1 diterima

b. Jika hasil Fhitung < Ftabel berarti H0 diterima dan H1 ditolak

3.10 Analisis Media Pembelajaran

Pembuatan media pembelajaran dalam bentuk poster akan dibuat setelah

melakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior) terhadap mortalitas nyamuk Culex , selesai. Dengan tahap-

tahap pembuatan media sebagai berikut :

1. Validasi Desain Media Pembelajaran

Setelah tahap pembuatan media pembelajaran selesai, kemudian dilakukan

validasi media pembelajaran oleh para dosen ahli dalam bidang penilaian

khususnya pada aspek desain, media serta isi. Adapun tujuan dilakukannya

validasi media pembelajaran ini agar dapat membantu meningkatkan kualitas

belajar peserta didik serta dapat memahami atau mengetahui keunggulan dan

kelemahan yang terdapat pada media pembelajaran tersebut.

2. Revisi Desain Media Pembelajaran

Revisi dari desain media pembelajaran ini dilakukan dengan tujuan agar

dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh media pembelajaran

tersebut berdasarkan dari hasil revisi yang telah dilakukan sebelumnya.

3. Uji Coba Kelayakan Media Pembelajaran

Setelah melewati beberapa tahapan di atas, selanjutnya dilakukan uji coba

kelayakan media pembelajaran. Poster yang telah dibuat perlu diuji kelayakannya
38

dengan melalui pengisisn pada lembar penilaian berupa angket yang akan diujikan

kepada mahasiswa (i) sebanyak 20 orang mahasiswa (i) dari Program Studi

Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Tadulako. Hal ini bertujuan agar dapat mengetahui media tersebut layak

digunakan dalam proses pembelajaran atau tidak, dengan menggunakan rumus

presentase hasil penelitian dan kategori presentase kelayakan media pembelajaran.

Arikunto (2010) menyatakan bahwa analisis data untuk penilaian dapat

dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Rata-Rata =

Tabel 3.4 Kriteria Presentase Kelayakan Media

Presentasi Kriteria Validasi

81% - 100% Sangat Layak

61% - 80% Layak

41% - 60% Cukup Layak


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun kecombrang (Etlinga

elatior) terhadap mortalitas jentik dan nyamuk (Culex quinquefasciatus)

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 kali

pengulangan, dan implementasinya sebagai media pembelajaran maka diperoleh

hasil penelitian sebagai berikut:

4.1.1 Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus

Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan pengujian pada

mortalitas jentik Culex dengan cara menyemprotkan ekstrak daun kecombrang

pada masing-masing perlakuan kemudian dilakukan pengamatan sebanyak 4 kali

yaitu pada menit ke-20, -40, -60, -80.

Hasil penelitian yang diperoleh pada menit ke-20 mengenai mortalitas

jentik Culex quinquefasciatus yang disemprotkan dengan ektrak daun kecombrang

dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-20

Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-20


Ulangan Baygon Cair 0,012 % 0,016% 0,02% Air
1 10 0 0 0 0
2 10 0 0 0 0
3 10 0 0 1 0
4 10 0 0 1 0
Total 40 0 0 2 0
Rata-rata 10 0 0 0,5 0

37
40

Menit Ke-20

Presentase Kematian
a
10
8
6
4 b b b c
2
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Rata-rata 10 0 0 0 0.5

Gambar 4.1 Mortalitas jentik Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 0,012% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 0,016% (D), dengan ekstrak konsentrasi 0,02% (E) pada
pengematan menit ke-20

Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa mortalitas jentik Culex quinquefasciatus

dengan pengujian ANOVA memperlihatkan perbedaan yang signifikan.

Perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran (2). Untuk menentukan

signifikansi perbedaan antar macam perlakuan, dilakukan uji lanjut BNT. Hasil

yang didapatkan yaitu perlakuan A (baygon cair) sebagai kontrol positif berbeda

nyata signifikan dengan ke-empat perlakuan yaitu B (air), C (konsentrasi 0,012%),

D (konsentrasi 0,016%) dan E (konsentrasi 0,02%) yang ditandai dengan huruf

yang berbeda yaitu (a,b). Namun, pada perlakuan E (konsentrasi 0,02%) berbeda

nyata jika di bandingkan dengan perlakuan A (baygon cair) yang di tandai dengan

huruf yang berbeda yaitu (a,c) dan berbeda nyata signifikan jika dibandingkan

dengan perlakuan B (air) dan C (konsentrasi 0,012%) dan D (konsentrasi 0,016%)

yang ditandai dengan huruf yang sama yaitu (a,b, c). Sedangkan perlakuan B (air)

dan C (konsentrasi 0,012%), D (konsentrasi 0,016%) berbeda tidak nyata yang

ditandai dengan huruf yang sama yaitu (b).

Pengamatan mortalitas pada menit ke-40 didapatkan hasil sebagaimana


41

disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-40

Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-40


Ulangan Baygon Cair 0,012 % 0,016% 0,02% Air
1 10 0 0 0 0
2 10 0 0 0 0
3 10 0 0 0 0
4 10 0 1 1 0
Total 40 0 1 1 0
Rata-rata 10 0 0,25 0,25 0

Menit Ke- 40
Presentase kematian

a
10
8
6
4 b b b b
2
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Rata-rata 10 0 0 0.25 0.25

Gambar 4.2 Mortalitas jentik Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 0,012% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 0,016% (D),dengan ekstrak konsentrasi 0,02% (E) pada
pengematan menit ke-40.

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa mortalitas jentik Culex quinquefasciatus

yang diperlakukan dengan perlakuan A (baygon cair) sebagai kontrol positif

berbeda nyata signifikan dengan ke-empat perlakuan yaitu B (air), C (konsentrasi

0,012%), D (konsentrasi 0,016%) dan E (konsentrasi 0,02%) yang ditandai

dengan huruf yang berbeda yaitu (a,b). Namun, antara ke-empat macam perlakuan

yaitu B (air) dan C (konsentrasi 0,012%), D (konsentrasi 0,016%) dan E

(konsentrasi 0,02%) berbeda tidak nyata signifikan yang ditandai dengan huruf
42

yang sama yaitu (b).

Pengamatan mortalitas pada menit ke-60 didapatkan hasil sebagaimana

disajikan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-60

Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-60


Ulangan Baygon Cair 0,012 % 0,016% 0,02% Air
1 10 0 0 0 0
2 10 0 0 1 0
3 10 0 0 1 0
4 10 1 1 1 0
Total 40 1 1 3 0
Rata-rata 10 0,25 0,25 0,75 0

Menit ke-60
Presentase kematian

a
10
8
6
4 c
2 b b b
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Rata-rata 10 0 0.25 0.25 0.75

Gambar 4.3 Mortalitas jentik Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 0,012% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 0,016% (D), dengan ekstrak konsentrasi 0,02% (E) pada
pengematan menit ke-60.

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa mortalitas jentik Culex quinquefasciatus

yang diperlakukan dengan perlakuan A (baygon cair) berbeda nyata dengan ke-

empat perlakuan yaitu B (air), C (konsentrasi 0,012%), D (konsentrasi 0,016%)

dan E (konsentrasi 0,02%) yang ditandai dengan huruf yang berbeda yaitu (a,b,c).

Demikian pula, pada perlakuan E (konsentrasi 0,02%) berbeda signifikan jika


43

dibandingkan dengan perlakuan A (baygon cair), B (air), C (konsentrasi 0,012%),

D (konsentrasi 0,016%) dan E (konsentrasi 0,02%) yang ditandai dengan huruf

yang berbeda yaitu (a,b,c). Sedangkan Perlakuan B (air), C (konsentrasi 0,012%)

dan D (konsentrasi 0,016%) berbeda tidak nyata yang ditandai dengan huruf yang

sama yaitu (b).

Pengamatan mortalitas pada menit ke-80 didapatkan hasil sebagaimana

disajikan pada tabel 4.4

Tabel 4.4 Hasil Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-80

Mortalitas Jentik Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-80


Ulangan Baygon Cair 0,012 % 0,016% 0,02% Air
1 10 0 0 0
2 10 0 0 1 0
3 10 1 1 1 0
4 10 1 1 1 0
Total 40 2 2 4 0
Rata-rata 10 0.5 0,5 1 0

Menit Ke-80
a
Presentase Kematian

10
8
6
4 d
2 b c c
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Rata-rata 10 0 0.5 0.5 1

Gambar 4.4 Mortalitas jentik Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 0,012% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 0,016% (D), dengan ekstrak konsentrasi 0,02% (E) pada
pengematan menit ke-80.

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa mortalitas jentik Culex quinquefasciatus


44

yang diperlakukan dengan perlakuan A (baygon cair) berbeda signifikan dengan

ke-empat perlakuan yaitu B (air), C (konsentrasi 0,012%), D (konsentrasi 0,016%)

dan E (konsentrasi 0,02%) yang ditandai dengan huruf yang berbeda yaitu

(a,b,c,d). Perlakuan B (air) dan E juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Namun berbeda tidak signifikan jika perlakuan C (konsentrasi 0,012%)

dibandingkan dengan perlakuan (konsentrasi 0,012%) yang di tandai dengan huruf

yang sama yaitu (c).

4.1.1.1 Perubahan Fisik Jentik Culex quinquefasciatus

Gambaran bagaimana Perubahan Fisik jentik saat mati karena

diperlakukan dengan perlakuan-perlakuan yang berbeda dengan Baygon, air, dan

ekstraks daun kecombrang disajaikan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Perubahan Fisik Jentik Culex quinquefasciatus Yang Telah Mati
Pada Perlakuan Baygon Cair, Air, Konsentrasi Ekstrak 0,012%, 0,016%,
0,02%.
No. GambarAmatan

1. Perlakuan pemberian baygon cair

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi jentik yang telah mati

pada perlakuan pemberian baygon cair dengan selang waktu dari menit

ke-20 sampai menit ke-80, kematian jentik terjadi saat menit ke-20
45

diawal. Perubahan fisik yang terjadi pada jentik yaitu, kulit jentik

terlihat pucat berwarna coklat kehitaman serta tubuh jentik mengalami

kejang-kejang beberapa saat hingga jentik mati dan tubuhnya menjadi

kaku. Dimana terjadi kerusakan membrane sel dan menganggu proses

metabolisme pada jentik Culex qiunquefasciatus.

2. Perlakuan pemberian air

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi jentik yang telah

ditempatkan dalam media yang berisikan air dengan selang waktu dari

menit ke-20 sampai menit ke-80 tidak terjadi kematian pada jentik.

Jentik tampak masih segar dan masih berwarna abu-abu kehitaman

serta jentik memperlihatkan gerak yang aktif dan tidak ada mengalami

perubahan sikap ataupun fisik pada jentik.

3. Perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang konsentrasi

0,012%
46

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi jentik yang telah mati

pada perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang dengan

konsentrasi 0,012% dengan selang waktu dari menit ke-20 sampai

menit ke-80. Kematian jentik pada konsentrasi 0,012% ini

membutuhkan waktu yang cukup lama pada setiap pengulangannya

yang dimana kematian jentik pertama terjadi pada menit ke-57. Jentik

yang mati memperlihatkan Perubahan fisik yang terjadi yaitu, kulit

jentik terlihat pucat berwarna coklat kehitaman serta tubuh jentik

mengalami kejang-kejang beberapa saat hingga jentik mati dan

tubuhnya menjadi kaku. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya kerusakan

membrane sel dan menganggu proses metabolisme jentik Culex

quinquefasciatus.

4. Perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang konsentrasi

0,016%

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi jentik yang telah mati

pada perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang dengan


47

konsentrasi 0,016% dengan selang waktu dari menit ke-20 sampai

menit ke-80. Kematian jentik nyamuk pada konsentrasi 0,016% ini

membutuhkan waktu yang cukup lama pada setiap pengulangannya

yang dimana kematian jentik nyamuk pertama terjadi pada menit ke-

34. Jentik yang mati memperlihatkan perubahan fisik yang terjadi

yaitu, kulit jentik terlihat pucat berwarna coklat kehitaman serta tubuh

jentik mengalami kejang-kejang beberapa saat hingga jentik mati dan

tubuhnya menjadi kaku. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya kerusakan

membrane sel dan menganggu proses metabolisme jentik Culex

quinquefasciatus.

5. Perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang konsentrasi

0,02%

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi jentik nyamuk yang

telah mati pada perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang dengan

konsentrasi 0,02% dengan selang waktu dari menit ke-20 sampai menit

ke-80. Kematian jentik nyamuk pada konsentrasi 0,02% ini

membutuhkan waktu yang cukup lama pada setiap pengulangannya

yang dimana kematian jentik nyamuk pertama terjadi pada menit ke-

16. Jentik yang mati memperlihatkan perubahan fisik yang terjadi


48

yaitu, kulit jentik terlihat pucat berwarna coklat kehitaman serta tubuh

jentik mengalami kejang-kejang beberapa saat hingga jentik mati dan

tubuhnya menjadi kaku. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya kerusakan

membrane sel dan menganggu proses metabolisme jentik Culex

quinquefasciatus.

4.1.2 Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus

Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan pengujian pada

mortalitas nyamuk Culex dengan cara menyemprotkan ekstrak daun kecombrang

pada masing-masing perlakuan kemudian dilakukan pengamatan sebanyak 4 kali

yaitu pada menit ke-20, -40, -60, -80 dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai berikut:

Tabel 4.5 Hasil Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-20

Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-20


Ulangan Baygon Cair 6% 8% 10 % Air
1 10 0 1 2 0
2 10 0 0 2 0
3 10 0 3 3 0
4 10 3 2 4 0
Total 40 3 6 11 0
Rata-rata 10 0,75 1,5 2,75 0

Menit ke-20
Presentase kematian

a
10
8
6
e
4 d
b c
2
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Rata-rata 10 0 0.75 1.5 2.75
49

Gambar 4.5 Mortalitas nyamuk Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 6% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 8% (D), dengan ekstrak konsentrasi 10% (E) pada
pengematan menit ke-80.

Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa mortalitas nyamuk Culex

quinquefasciatus dengan pengujian ANOVA memperlihatkan perbedaan yang

signifikan. Untuk menentukan signifikansi perbedaan antar macam perlakuan,

dilakukan uji lanjut BNT. Hasil yang didapatkan yaitu perlakuan A (baygon cair)

sebagai kontrol positif berbeda nyata dengan ke-empat perlakuan yaitu B (air), C

(konsentrasi 6%), D (konsentrasi 8%) dan E (konsentrasi 10%) yang ditandai

dengan huruf yang berbeda yaitu (a,b,c,d). Demikian pula dengan perlakuan B, C,

D dan E masing masing berbeda signifikan jika dibandingkan antara satu dengan

lainnya (a,b,c,d).

Pengamatan mortalitas pada menit ke-40 didapatkan hasil sebagaimana

disajikan pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-40

Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-40


Ulangan Baygon Cair 6% 8% 10 % Air
1 10 0 1 3 0
2 10 0 2 3 0
3 10 1 2 3 0
4 10 1 3 3 0
Total 40 2 8 12 0
Rata-rata 10 0,5 2 3 0
50

Menit ke-40

Presentase kematian
a
10
8
6 e
4 d
2 b c
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Rata-rata 10 0 0.5 2 3

Gambar 4.6 Mortalitas nyamuk Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 6% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 8% (D), dengan ekstrak konsentrasi 10% (E) pada
pengematan menit ke-80.
Gambar 4.6 memperlihatkan bahwa mortalitas nyamuk Culex

quinquefasciatus dengan pengujian ANOVA memperlihatkan perbedaan yang

signifikan. Untuk menentukan signifikansi perbedaan antar macam perlakuan,

dilakukan uji lanjut BNT. Hasil yang didapatkan yaitu perlakuan A (baygon cair)

sebagai kontrol positif berbeda nyata dengan ke-empat perlakuan yaitu B (air), C

(konsentrasi 6%), D (konsentrasi 8%) dan E (konsentrasi 10%) yang ditandai

dengan huruf yang berbeda yaitu (a,b,c,d). demikian pula dengan perlakuan B, C,

D dan E masing masing berbeda signifikan jika dibandingkan antara satu dengan

lainnya (a,b,c,d).

Pengamatan mortalitas pada menit ke-60 didapatkan hasil sebagaimana

disajikan pada tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-60

Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-60


Ulangan Baygon Cair 6% 8% 10 % Air
1 10 0 1 2 0
2 10 0 1 3 0
3 10 1 2 2 0
51

4 10 1 2 1 0
Total 40 2 6 8 0
Rata-rata 10 0,5 1,5 2 0

Presentase Kematian
Menit ke-60
a
10
5 d e
b c
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Series1 10 0 0.5 1.5 2

Gambar 4.7 Mortalitas nyamuk Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 6% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 8% (D), dengan ekstrak konsentrasi 10% (E) pada
pengematan menit ke-80.

Gambar 4.7 memperlihatkan bahwa mortalitas nyamuk Culex

quinquefasciatus dengan pengujian ANOVA memperlihatkan perbedaan yang

signifikan. Untuk menentukan signifikansi perbedaan antar macam perlakuan,

dilakukan uji lanjut BNT. Hasil yang didapatkan yaitu perlakuan A (baygon cair)

sebagai kontrol positif berbeda nyata dengan ke-empat perlakuan yaitu B (air), C

(konsentrasi 6%), D (konsentrasi 8%) dan E (konsentrasi 10%) yang ditandai

dengan huruf yang berbeda yaitu (a,b,c,d). demikian pula dengan perlakuan B, C,

D dan E masing masing berbeda signifikan jika dibandingkan antara satu dengan

lainnya (a,b,c,d).

Pengamatan mortalitas pada menit ke-80 didapatkan hasil sebagaimana

disajikan pada tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-80
52

Mortalitas Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Menit Ke-80


Ulangan Baygon Cair 6% 8% 10 % Air
1 10 1 1 1 0
2 10 1 2 2 0
3 10 1 2 2 0
4 10 1 3 2 0
Total 40 4 8 7 0
Rata-rata 10 1 2 1,75 0

Menit Ke-80
a
Presentase Kematian

10
8
6
4 d e
c
2 b
0
(A) (B) (C) (D) (E)
Perlakuan
Series1 10 0 1 2 1.75

Gambar 4.8 Mortalitas nyamuk Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan


baygon cair (A), dengan air (B), dengan ekstrak konsentras 6% (C), dengan
ekstrak konsentrasi 8% (D), dengan ekstrak konsentrasi 10% (E) pada
pengematan menit ke-80.

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa mortalitas nyamuk Culex

quinquefasciatus yang diperlakukan dengan perlakuan A (baygon cair) sebagai

kontrol positif berbeda nyata signifikan dengan ke-empat perlakuan yaitu B (air),

C (konsentrasi 6%), D (konsentrasi 8%) dan E (konsentrasi 10%) yang ditandai

dengan huruf yang berbeda yaitu (a,b,c,d). Namun berbeda nyata tidak signifikan

jika perlakuan C (konsentrasi 6%), D (konsentrasi 8%) dan E (konsentrasi 10%)

dibandingkan dengan perlakuan A (baygon cair) yang di tandai dengan huruf yang

berbeda yaitu (a,c,d,e) dan berbeda nyata signifikan jika di bandingkan dengan

perlakuan B (air) dan C (konsentrasi 6%) yang ditandai dengan huruf yang
53

berbeda yaitu (b,c,d,e). Sedangkan Perlakuan B (air) berbeda tidak nyata yang

ditandai dengan huruf yaitu (b).

4.1.2.1 Perubahan Fisik Nyamuk Culex quinquefasciatus

Gambaran bagaimana perubahan fisik nyamuk saat mati karena

diperlakukan dengan perlakuan-perlakuan yang berbeda dengan Baygon, air, dan

ekstrak daun kecombrang disajaikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Perubahan Fisik Nyamuk Culex quinquefasciatus Yang Telah Mati
Pada Perlakuan Baygon Cair, Air, Konsentrasi Ekstrak 6%, 8%,10%.
No. Gambar Amatan

1. Perlakuan pemberian baygon cair

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa perubahan fisik nyamuk yang

telah mati pada perlakuan pemberian baygon cair dengandengan selang

waktu dari menit ke-20 sampai menit ke-80, kematian nyamuk terjadi

saat menit ke-20 diawal. kulit nyamuk terlihat pucat berwarna coklat

kehitaman serta tubuh nyamuk mengalami kejang-kejang beberapa saat

hingga nyamuk mati dan tubuhnya menjadi kaku serta mengalami

penyusutan. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya kerusakan membrane

sel dan menganggu proses metabolisme nyamuk Culex

quinquefasciatus.
54

2. Perlakuan pemberian air

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa perubahan fisik nyamuk yang

telah ditempatkan dalam media yang berisikan air dengan selang waktu

dari menit ke-20 sampai menit ke-80 tidak terjadi kematian pada

nyamuk. nyamuk terlihat masih memperlihatkan gerak yang aktif dan

tidak ada mengalami perubahan sikap ataupun fisik pada nyamuk.

3. Perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang konsentrasi 6%

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi nyamuk yang telah

mati pada perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang dengan

konsentrasi 6% dengan selang waktu dari menit ke-20 sampai menit

ke-80. Kematian nyamuk pada konsentrasi 6% ini membutuhkan waktu

yang cukup lama pada setiap pengulangannya yang dimana kematian

nyamuk pertama terjadi pada menit ke-16. Nyamuk yang mati


55

memperlihatkan perubahan fisik yang terjadi yaitu, kulit nyamuk

terlihat pucat berwarna coklat kehitaman serta tubuh nyamuk

mengalami kejang-kejang beberapa saat hingga nyamuk mati dan

tubuhnya menjadi kaku serta mengalami penyusutan. Hal ini

diakibatkan oleh terjadinya kerusakan membrane sel dan menganggu

proses metabolisme nyamuk Culex quinquefasciatus.

4. Perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang konsentrasi 8%

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi nyamuk yang telah

mati pada perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang dengan

konsentrasi 8% dengan selang waktu dari menit ke-20 sampai menit

ke-80. Kematian nyamuk pada konsentrasi 8% ini membutuhkan waktu

yang cukup lama pada setiap pengulangannya yang dimana kematian

nyamuk pertama terjadi pada menit ke-12. Nyamuk yang mati

memperlihatkan perubahan fisik yang terjadi yaitu, kulit nyamuk

terlihat pucat berwarna coklat kehitaman serta tubuh nyamuk

mengalami kejang-kejang beberapa saat hingga nyamuk mati dan

tubuhnya menjadi kaku serta mengalami penyusutan. Hal ini


56

diakibatkan oleh terjadinya kerusakan membrane sel dan menganggu

proses metabolisme nyamuk Culex quinquefasciatus.

5. Perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang konsentrasi 10%

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi nyamuk yang telah

mati pada perlakuan pemberian ekstrak daun kecombrang dengan

konsentrasi 10% dengan selang waktu dari menit ke-20 sampai menit

ke-80. Kematian nyamuk pada konsentrasi 10% ini membutuhkan

waktu yang cukup lama pada setiap pengulangannya yang dimana

kematian nyamuk pertama terjadi pada menit ke-4. Nyamuk yang mati

memperlihatkan perubahan fisik yang terjadi yaitu, kulit nyamuk

terlihat pucat berwarna coklat kehitaman serta tubuh nyamuk

mengalami kejang-kejang beberapa saat hingga nyamuk mati dan

tubuhnya menjadi kaku serta mengalami penyusutan. Hal ini

diakibatkan oleh terjadinya kerusakan membrane sel dan menganggu

proses metabolisme nyamuk Culex quinquefasciatus.


57

4.1.3 Hasil persentase penilaian kelayakan media pembelajaran dalam

bentuk poster oleh tim ahli.

1. Hasil penilaian media pembelajaran oleh ahli isi

Berdasarkan hasil persentase penilaian kelayakan media pembelajaran

dalam bentuk poster tersebut layak dijadikan sebagai media pembelajaran

sehingga dapat membantu dalam proses pembelajaran.

dengan jumlah persentase yang diperoleh adalah 75% Data tersebut

disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Persentase Kelayakan oleh Ahli Isi

No. Aspek Penilaian Skor Penilaian Persentase (%)

1. Ketepatan judul dengan 4 80


poster
2. Kesesuaian antara judul 4 80
poster dengan isi materi
3. Kejelasan penunjuk gambar 4 80
4. Kejelasan gambar 3 60
5. Kesesuaian antara materi dan 4 80
media yang digunakan
6. Ketetapan nama spesies 4 80
7. Kejelasan hasil penelitian 3 60
8. Ketetapan sumber pendukung 4 80
yang dapat dijadikan acuan
mencari sumber bacaan yang
relevan dengan materi
Jumlah 30 600

Rata- rata 3,75 75%

Nilai rata-rata yang didapatkan menunjukkan kelayakan penggunaan media.

Nilai rata-rata tersebut menunjukkan posster tersebut layak untuk digunakan.

Adapun saran dari ahli isi yaitu lebih memperjelas petunjuk gambar dalam

poster. Oleh karena itu peneliti menerima saran dan menambahkan petunjuk
58

gambar pada setiap tampilan gambar dalam media pembelajaran dalam

bentuk poster ini.

2. Hasil penilaian media pembelajaran oleh ahli desain

Berdasarkan hasil persentase penilaian media pembelajaran oleh ahli

desain dalam bentuk poster tersebut layak dijadikan sebagai media

pembelajaransehingga dapat membantu dalam proses pembelajaran. Hasil

persentase yang dilakukan berjumlah 85,45% Data tersebut dapat dilihat pada

Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Persentase Kelayakan oleh Ahli Desain

No. Aspek Penilaian Skor Persentase


Penilaian (%)
A. Uraian materi
1. Ketepatan ukuran huruf 4 80
2. Kejelasan kalimat 5 100
3. Sistematika penulisan 5 100
4. Kemenarikan tampilan uraian materi 4 80
B. Gambar
1. Kesesuaian gambar dengan uraian 4 80
materi
2. Kualitas gambar yang digunakan 4 80
3. Kemenarikan tampilan gambar 4 80
C. Teks keterangan gambar
1. Ketepatan letak 5 100
2. Ketepatan warna tulisan 5 100
3. Ketepatan ukuran huruf 3 60
4. Kemenarikan tampilan 4 80
Jumlah 47 940
Rata-rata 4,27 85,45%
59

Nilai rata-rata yang didapatkan menunjukkan kelayakan penggunaan


media. Nilai rata-rata tersebut menunjukkan poster tersebut layak untuk
digunakan.
Adapun saran dari ahli desain yaitu menambahkan ukuran tulisan
dalam postersehingga seimbang antara ukuran tulisan dan gambarnya. Oleh
karena itu peneliti menerima saran dan memperbaiki ukuran tulisan dan
gambar dalam media pembelajaran dalam bentuk poster ini.

3. Hasil penilaian media pembelajaran oleh ahli media

Hasil persentase penilaian media pembelajaran oleh ahli media dalam

bentuk poster tersebut layak dijadikan sebagai media pembelajaran sehingga dapat

menunjang dalam proses pembelajaran. Hasil persentase yang dilakukan

berjumlah 62 % Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Persentase Kelayakan oleh Ahli Media.

No. Aspek Penilaian Skor Persentase


penilaian (%)
A. Judul
1. Kualitas teks judul poster 4 80
2. Kesesuaian ukuran huruf pada judul 4 80
3. Kesesuaian penempatan judul pada 4 80
poster
4. Kesesuaian antara huruf judul dan 4 80
gambar
5. Kesesuaian warna huruf 4 80
B. Materi
1. Kesesuaian antara materi dan media 3 60
yang digunakan
2. Kualitas gambar yang digunakan 2 40
3. Ketepatan ukuran gambar 2 40
4. Kualitas teks dalam poster 2 40
5. Kekonsistenan ukuran huruf dalam 2 40
poster
Jumlah 31 620
Rata-rata 3,1 62 %
60

4.1.3.1 Hasil Penilaian Kelayakan Media Pembelajaran dalam Bentuk

Poster oleh Kelompok Mahasiswa

Berdasarkan hasil penilaian media pembelajaran dalam bentuk poster yang

dilakukan oleh mahasiswa menunjukkan bahwa, media pembelajaran tersebut

sangat layak digunakan sebagai media pembelajaran dan dapat menunjang proses

pembelajaran, dengan jumlah persentase yang diperoleh adalah 84,25 % Data

tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.6 Persentase kelayakan oleh mahasiswa

program studi pendidikan biologi.

Tabel 4.6 Persentase Kelayakan oleh Mahasiswa

No. Aspek Penilaian Skor Persentase


penilaian (%)
1. Menurut anda apakah isi
4,25 85
poster ini menarik?
2. Menurut anda apakah isi
3,9 78
poster ini mudah dimengerti ?
3. Bagaimana kejelasan gambar
4,1 82
yang ada dalam poster ini ?
4. Bagaimana kejelasan tulisan
(teks) yang ada dalam poster 4,3 86
ini ?
5. Menurut anda apakah
tampilan gambar pada poster 3,85 77
ini menarik ?
6. Menurut anda apakah poster
ini secara keseluruhan 4,25 85
menarik?
7. Apakah poster ini dapat
membantu memudahkan untuk
4,5 90
mengetahui manfaat
kecombrang?
8. Apakah penulisan bahasa latin
yang digunakan dalam poster 4,55 91
ini sudah tepat?
Jumlah 33,7 674
Rata-rata 4,21 84,25 %
61

Nilai rata-rata yang didapatkan menunjukkan kelayakan penggunaan


media. Nilai rata-rata tersebut menunjukkan media pembelajaran dalam
bentuk poster ini Sangat layak untuk digunakan.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Efektifitas Ekstrak Daun Kecombrang terhadap Mortalitas Jentik dan

Nyamuk Culex quinquefasciatus

Dari hasil uji yang telah dilakukan diperoleh bahwa pada mortalitas jentik

Culex quinquefasciatus yang diperlakukan dengan baygon cair pada menit ke-20

sudah menunjukkan adanya mortalitas kematian yang berbeda nyata dari ke-empat

perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan baygon cair memiliki efek yang dapat

mematikan jentik secara signifikan lebih cepat dibandingkan dengan yang

diperlakukan dengan air dan ekstrak daun kecombrang pada konsentrasi 0,012%,

0,016%. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh perlakuan dengan ekstrak daun

kecombrang pada konsentrasi 0,02%. Namun dari perlakuan dengan ekstrak daun

kecombrang, pada konsentrasi 0,012% dan 0,016% memperlihatkan efek yang

sama yakni belum mematikan jentik pada menit ke-20 (Gambar 4.1). Sementara

itu, efek mortalitas dari perlakuan dengan ektrak daun kecombrang pada

konsentrasi 0,012% dan 0,016% mulai terjadi menit ke-80 (Gambar 4.4). Berbeda

dengan yang didapatkan dari mortalitas jentik, pada mortalitas nyamuk

diperlihatkan bahwa perlakuan- baygon cair, air dan ekstrak daun kecombrang

konsentrasi 6%, 8%, 10% pada menit ke-20 sudah menunjukkan berbeda

signifikan. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baygon cair memiliki

daya mortalitas yang memiliki potensi mortalitas jentik dan nyamuk Culex
62

quinquefasciatus yang tinggi, sehingga hanya memerlukan waktu yang singkat

untuk membunuh jentik dan nyamuk Culex quinquefasciatus. Sementara itu pada

ekstrak daun kecombrang memiliki kemampuan mortalitas jentik dan nyamuk

Culex quinquefasciatus namun memerlukan waktu yang lebih lama. Hal senada

juga pernah diungkapkan oleh Juliani dan Yuliani (2017) bahwa salah satu

kelemahan dari pestisida nabati yaitu memiliki efek atau pengaruh yang lambat

terhadap serangga.

Kematian jentik dan nyamuk Culex quinquefasciatus oleh ekstrak daun

kecombrang diduga karena Senyawa yang terkandung dalam daun kecombrang

yang memiliki pengaruh terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex

quinquefasciatus. Senyawa yang terkandung dalam daun kecombrang ini akan

menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktusdigestifus sehingga

dinding traktus menjadi korosif dan nyamuk mati. Kerusakan salah satu organ

nyamuk dapat menurunkan proses metabolisme dan penyimpangan dalam proses

fisiologinya (Faudzy et al., 2012). Hal ini sejalan dari hasil penelitian pengamatan

yang telah diperlakukan dengan menyemprotkan ekstrak daun kecombrang

dengan masing-masing presentase konsentrasi 0,012%, 0,016% dan 0,02% untuk

jentik Culex quinquefasciatus sementara presentase konsentrasi 6%, 8% dan 10%

untuk nyamuk Culex quinquefasciatus. Dalam hasil pengamatan penelitian ini

kondisi jentik dan nyamuk yang telah mati pada setiap perlakuan mengalami

perubahan fisik yang terjadi yaitu, kulit jentik terlihat pucat berwarna coklat

kehitaman serta tubuh jentik mengalami kejang-kejang beberapa saat hingga

jentik mati dan tubuhnya menjadi kaku.


63

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa zat aktif yang terkandung di

dalam ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) memiliki potensi sebagai

insektisida nabati. Dimana keunggulan dari hasil penelitian ini yaitu bahwa benar

pada konsentrasi ekstrak daun kecombrang dalam penelitian ini belum efektif

membunuh jentik dan nyamuk Culex quinquefasciatus. Hal ini dikarenakan pada

penelitian ini konsentrasi yang digunakkan masih rendah sehingga bahan aktif

pada daun kecombrang belum mampu membunuh banyak jentik dan nyamuk

Culex quinquefasciatus.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa ekstrak

daun kecombrang konsentrasi 0,012%, 0,016% dan 0,02% untuk jentik Culex

quinquefasciatus dan ekstrak daun kecombrang konsentrasi 6 %, 8 % dan 10%

untuk nyamuk Culex quinquefasciatus belum efektif, dikarenakan tingkat

konsentrasi yang diberikan rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Juita (2018). Yang menyatakan bahwa ekstrak rimpang

kecombrang efektif membunuh jentik Aedes aegypti apabila diberikan konsentrasi

ekstrak rimpang kecombrang yang lebih tinggi yaitu dengan konsentrasi 90 %.

Hal ini dibuktikan dengan terjadinya mortalitas 100 % jentik akibat ekstrak daun

kecombrang konsentrasi 90%. Diharapkan penelitian ini diujikan kembali dengan

konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi agar mortalitas jentik dan nyamuk Culex

quinquefasciatus yang efektif diketahui.


64

4.2.2 Pemanfaatan Hasil Penelitian sebagai Media Pembelajaran dalam

Bentuk poster

Hasil penelitian ini diaplikasikan sebagai media pembelajaran dalam

bentuk poster dan diharapkan dapat membantu memberikan informasi dan

penelitian selanjutnya mengenai manfaat tumbuhan kecombrang dalam menguji

efektifitas ekstrak daun kecombrang terhadap mortalitas jentik dan nyamuk Culex

quinqeufasciatus.

Pembuatan media pembelajaran dalam bentuk poster diuji kelayakannya oleh

ahli media, ahli isi, dan juga ahli desain, maka diperoleh nilai persentase berturut-

turut sebesar 75 % dari ahli isi artinya layak, 85,45 % dari ahli desain artinya

sangat layak dan 62 % dari ahli media yang artinya sangat layak. Berdasarkan

hasil persentase yang didapatkan maka hasil penelitian dalam bentuk poster layak

dijadikan sebagai media pembelajaran.Setelah proses validasi dilakukan oleh tim

ahli (dosen), maka poster kembali diuji kelayakannya pada mahasiswa Program

Studi Pendidikan Biologi yang berjumlah 20 responden. Berdasarkan hasil uji

kelayakan terhadap kelompok mahasiswa tersebut diperoleh nilai persentase

sebesar 84,25 %. Sesuai dengan kriteria yang dikemukakan oleh Arikunto (2010)

bahwa presentase dengan nilai 81% - 100% menyatakan bahwa media

pembelajaran tersebut sangat layak digunakan sebagai media pembelajaran. Maka

dari itu secara keseluruhan poster sangat layak dijadikan sebagai media

pembelajaran dengan total persentase rata-rata sebesar 76,67%.


65
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasi lpenelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

1) Ekstrak daun kecombrang memiliki pengaruh yang berbeda terhadap

mortalitas jentik dan nyamuk Culex quinquefasciatus. Pengaruhnya

bergantung kepada konsentrasi ekstrak daun kecombrang yang digunakan.

2) Konsentrasi ekstrak daun kecombrang 3%, 4% dan 5% tidak efektif

terhadap mortalitas jentik Culex quinquefasciatus dan ekstrak daun

kecombrang konsentrasi 6 %, 8 % dan 10% juga tidak efektif terhadap

mortalitas nyamuk Culex quinquefasciatus.

3) Hasil validasi oleh tim ahli dan diuji pada 20 mahasiswa/i, dinyatakan

layak dimanfaatkan sebagai media pembelajaran berupa poster dengan

rata-rata presentase kelayakan sebesar 76,67 % .

5.2 Saran

Adapun saran yang diberikan dari hasil penelitian ini yaitu:

1) Penelitian ini perlu dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai insektisida

alternatif dalam pengendalian nyamuk Culex quinquefasciatus.

2) Disarankan kepada peneliti selanjutnya dapat menggunakan sebagai

produk antiseptik dengan bahan alami.

62
DAFTAR PUSTAKA

Adityo R, Kurniawan B, Mustofa S. (2015). Uji Efek Fraksi Metanol ekstrak


batang
Kecombrang ( Etlingera elatior ) sebagai larvasida terhadap larva instar
Aedes aegypty.Lampung: Universitas Lampung.
Anonim.(2002). Standar Pelayanan Medik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Arikunto, S. (2010).Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Astija (2018).Rancangan Acak Lengkap Untuk Biologi dan Ilmu Pertanian.


Universitas Tadulako: Program Studi Pendidikan Biologi.

Borror dkk.(1992). Pengenalan Serangga. Yogyakarta: Gajah Mada University


press

Cecep, Kustandi, dan Sutjipto, Bambang. (2013). Media Pembelajaran: Manual


dan
Digital. Bogor: Ghalia Indonesia.

Chin, James. I Nyoman Kandun.(2006). Manual Pemberantasan Penyakit


Menular.
Jakarta: CV. Infomedika.

Christopers, S. R. (1960). Life History, Bionomics and Structures in Aedes


aegypi ;
The Yellow Fever Mosquito. London: Cambridge University Press.

Depkes RI, (2010). Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue :


Parameter standar umum Ekstrak Tumbuhan Obat dan INSIDE ( inspirasi
dan ide) Litbangkes P2B2 vol II : Aedes aegypti Vampir Mini yang
Mematikan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.(2018). Profil Kesehatan Provinsi


Sulawesi Tengah Tahun 2018. Palu: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tengah.

Dinata,A. (2009). Mengatasi DBD dengan Kulit Jengkol.www. miqraindonesia. B


logspot.com.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Gomez, K.A dan Gomez, A.A. (1995). Prosedur Statistik Untuk Penelitian

63
68

Pertanian.
Edisi Kedua. Jakarta: UI – Press.

Gullan, PJ., dan P. S. Cranston. (2005). The Insects an Outline of Entomology.


USA:
Departement of Entomology Eniversity of California.

Hastari, R. (2012). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pelepah dan Batang


Tanaman Pisang Ambon (Musa paradisiaca Var. Sapientum) terhadap
Staphylococcusaureus.Skripsi pada Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang.

Hidayat, S. dan Napitupulu, R.M. (2015).Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta: Agriflo.

Hujair, AH.(2013). Media Pembelajaran Interaktif – Inovatif. Yogyakarta:


Kaubaka Dipantara.

Jaafar FM, Osman CP, Ismail NH, Awang K. (2007).Analysis of essensial oi;s of
leaves, stems, flowers and rhizomes of Etlingera elatior (JACK) R. M.
SMITH. The Malaysian Journal of Analytical Sciences. 11 (1): 269-273.

K. C. Wong, Y. F. Yap and L. K. Ham. (1993). The Essential Oil of Young Flower
Shoots of Phaeomeria Speciosa Koord. J. Essent. Oil Res. Dalam Journal
of Essential Oil Research/461.

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Situasi Filariasis di Indonesia. Jakarta

Matsumura, F. (1975).Analisa Probit Penggunaan LD50 dan LC50 serta


Perhitungan Menurut Bushvine Nash dan E.A, Heinrich dkk. Bandung:
Kelompok Penelitian Holtikultura Lembang.

Metclaf, R.L. (1985). Destructive and useful insect their habits and control, 4TH
Ed. INC New York: Hill Book Company.

Monica, W.A. (2011). “Uji Daya Bunuh Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia
speciosa (Blume) Horan). terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti”. E-
Jurnal Program Studi Biologi Fakultas Teknobiologi.Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya.

Prasetyo, A. (2016). Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran Terhadap Hasil


Belajar Siswa Mata Pelajaran Kelistrikan Mesin dan Konversi Energi Di
SMK Negeri 2 Depok. Yogyakarta: UNY.

Ramadhani, T. (2009).Komposisi Spesies dan Dominasi Nyamuk Culex di Daerah


Endemis Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan.
Pekalongan: Balaba. 5(2), pp. 7-11.
69

Rio. (2015). Efektivitas Pembuatan Sabun Ekstrak Daun Kecombrang ( Etlingera


elatior ) Sebagai Repellent Nyamuk Aedes aegypty. Medan: Universitas
Sumatera Utara.

Robinshon, T. (1995).Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB

Romoser, W. S. (1998). The Science of Entomology. New York: 4TH Ed McGraw


Hill.

Sanjaya, W. (2011).Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses


Pendidikan. Jakarta: Kencana prenada media.

Setiawati, D. L. (2000).Mortalitas Larva Culex dengan Ekstrak Umbi Gadung


(Dioscorea hispida Dennst) di Laboratorium Skripsi. Yogyakarta: UGM.

Sudjana, N dan Rivai, A. (2007).Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.

Sulaiman.(2013). Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Daun Kecombrang


(Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai
Biolarvasida Potensial.Skripsi pada Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung.

Suryanto, Lucia, M, dan Suratmi. (2018). Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun


Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Larvasida Nabati Larva Nyamuk
Culex quinquefasiatus dan Sumbangannya Pada Pembelajaran Biologi
SMA. Jurnal Pembelajaran Biologi Universitas Sriwijaya.

Syamsuhidayat, Sri S., dan Hutapea, J. R. (1990). Inventaris Tanaman Obat


Indonesia (1). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Jakarta.

Tjitrosoepomo, G.(2005). Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Webb, C., Stephen, D,.And Richard, R. (2016).A Guide to Mosquitoes of


Australia. Clayton South: CSIRO Publishing.

World Health Organization.(2002). WHO Specifications and Evaluations for


Public Health Pesticides; Prallethrin.WHO.Jenewa.

Wulan, D. (2016). Survei Nyamuk Culex spp Sebagai Vektor Filariasis di Desa
Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya.

Virgianti, P.D. dan Masfufah, S. (2015). “Efektivitas Ekstrak Daun Kecombrang


(Etlingera elatior) sebagai Anti-oviposisi Nyamuk Aedes aegypti”.Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada.14, (1), 108.
LAMPIRAN

66
71

1. lampiran 1

DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Pengambilan daun Gambar2. Memblender daun

Gambar 3. proses maserasi Gambar 4. Proses penyaringan

Gambar 5. Proses evaporasi ekstrak Gambar 6. Proses pencampuran ekstrak


72

Gambar 7. Nyamuk yang telah siap diujikan Gambar 8. Proses penyemprotan


73

2. lampiran 2

A. Jentik

Tabel 4.7 Analisis Sidik Ragam Jentik

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel


Fhitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 5%

Perlakuan 4 12.886719 4.295573 94.257 3.490

Acak 12 0.546875 0.045573

Total 15 13.433594

Tabel 4.8 Uji Beda NyataTerkecil (BNT)

Konsentrasi Rata-Rata BNT 5


Rata-Rata
% Perlakuan %

Kontrol 0.00 0.328

Baygon 2.5 2.5**

PI 0,012% 0.19 0.19 2.31*

PII 0,016% 0.63 0.63* 1.87* 0.45*

PIII 0,02% 1.62 1.62* 0.62* 1.44* 0.99*

Keterangan = * (Berbeda Nyata)

Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil diatas, dapat disimpulkan bahwa

perlakuan konsentrasi 0,016%, 0,02% dan baygon cair berbeda nyata pada

perlakuan kontrol, namun berbeda tidak nyata dengan konsentrasi 0,012%.

Perlakuan baygon jika dibandingkan dengan konsentrasi 0,012%, 0,016%, 0,02%

berbeda nyata. Perlakuan konsentrasi 0,012% jika dibandingkan dengan


74

konsentrasi 0,016% dan 0,02% berbeda nyata. Perlakuan konsentrasi 0,016% jika

dibandingkan dengan 0,02% berbeda nyata. Jadi dapat disimpulkan bahwa

perlakuan baygon cair, konsentrasi 0,016% dan 0,02% belum efektif dalam

mematikan jentik nyamuk Culex quinquefasciatus.

4.9 Tabel mortalitas Jentik

Jentik Culex Konsentrasi 0,012 %

ULANGAN Jentik Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 0 0 0 0

II 0 0 0 0

III 0 0 0 1

IV 0 0 1 1

TOTAL 0 0 1 2

RATA-RATA 0 0 0,25 0,5

Jentik Culex Konsentrasi 0,016 %

ULANGAN Jentik Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 0 0 0 0

II 0 0 0 0

III 0 0 0 1

IV 0 1 1 1
75

TOTAL 0 1 1 2

RATA-RATA 0 0,25 0,25 0,5

Jentik Culex Konsentrasi 0,02%

ULANGAN Jentik Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 0 0 0 1

II 0 0 1 1

III 1 0 1 1

IV 1 1 1 1

TOTAL 2 1 3 4

RATA-RATA 0,5 0,25 0,75 1

Jentik Culex Perlakuan Baygon

ULANGAN Jentik Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 10 0 0 0

II 10 0 0 0

III 10 0 0 0

IV 10 0 0 0

TOTAL 40 0 0 0
76

RATA-RATA 10 0 0 0

Jentik Culex Perlakuan (Air)

ULANGAN Jentik Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 0 0 0 0

II 0 0 0 0

III 0 0 0 0

IV 0 0 0 0

TOTAL 0 0 0 0

RATA-RATA 0,00 0,00 0,00 0,00

B. Nyamuk Culex qiunquefasciatus

1. Tabel 4.10 Analisis Sidik Ragam Nyamuk

F
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Table
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah hitung
5%

Perlakuan 4 9.480469 3.160156 37.338 3.490

Acak 12 1.015625 0.084635

Total 15 10.496094

KOEF. KERAGAMAN = 17.73 %


77

2. Tabel 4.11 Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

Konsentrasi Rata-Rata
Rata-Rata BNT 5 %
% Perlakuan

Kontrol 0.00 0.4482

Baygon 2.5 2.5**

PI 6% 0.43 0.432.07*

PII 8% 1.56 1.56* 0.94* 1.13*

PIII 10% 2.06 2.06* 0.45* 1.63* 0.50*

Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil diatas, dapat disimpulkan bahwa

perlakuan baygon cair, konsentrasi 8% dan 10% berbeda nyata pada perlakuan

kontrol, namun perlakuan control tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 6%.

Perlakuan baygon cair berbeda nyata jika dibandingkan dengan konsentrasi 6%,

8%, 10%. Perlakuan konsentrasi 6% berbeda nyata jika dibandingkan dengan

konsentrasi 8% dan 10%. Perlakuan konsentrasi 8% berbeda nyata jika

dibandingkan dengan konsentrasi 10%. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan

konsentrasi 8%, 10% dan baygon cair belum efektif dalam mematikan nyamuk

Culex quinquefasciatus

4.12 Tabel Mortalitas Nyamuk

Nyamuk Culex Konsentrasi 6 %

ULANGAN Nyamuk Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 0 0 0 1
78

II 0 0 0 1

III 0 1 1 1

IV 3 1 1 1

TOTAL 3 2 2 4

RATA-RATA 0,75 0,5 0,5 1

Nyamuk Culex Konsentrasi 8 %

ULANGAN Nyamuk Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 1 1 1 1

II 0 2 1 2

III 3 2 2 2

IV 2 3 2 3

TOTAL 6 8 6 8

RATA-RATA 1,5 2 1,5 2

Nyamuk Culex Konsentrasi 10 %

ULANGAN Nyamuk Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 2 3 2 1

II 2 3 3 2

III 3 3 2 2
79

IV 4 3 1 2

TOTAL 11 12 8 7

RATA-RATA 2,75 3 2 1,75

Nyamuk Culex Perlakuan Baygon

ULANGAN Nyamuk Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 10 0 0 0

II 10 0 0 0

III 10 0 0 0

IV 10 0 0 0

TOTAL 40 0 0 0

RATA-RATA 10 0 0 0

Nyamuk Culex Perlakuan Kontrol (Air)

ULANGAN Nyamuk Culex yang Mati Pada Interval Waktu Ke-

20 40 60 80

I 0 0 0 0

II 0 0 0 0

III 0 0 0 0

IV 0 0 0 0

TOTAL 0 0 0 0
80

RATA-RATA 0,00 0,00 0,00 0,00

1. lampiran 3

Analisis Data Validasi Poster Oleh Mahasiswa/i

Aspek Penilaian

No. Nama 1 2 3 4 5 6 7 8

1. Syarifah 5 4 3 3 3 4 5 5

2. Sahri 4 4 4 5 3 4 3 3

3. Afifatun Miftahul 5 5 4 4 3 3 4 5

4. Anisa 4 4 3 5 5 4 4 5

5. Sri Nanda 5 4 4 5 3 5 4 5

6. Ilma Sahira 4 5 5 5 5 5 5 5

7. Tenri Abeng 4 4 4 5 4 5 5 5

8. Nur Hayati 4 4 5 3 4 5 4 4

9. Susanti 4 5 4 5 4 5 5 5

10. Azzahra Maharani 4 3 3 4 3 4 5 4

11. Regina Triana 4 3 5 4 5 4 4 5


81

Putri

12. Winanda 4 3 5 4 3 3 5 5

13. Bunga Aulia 4 4 3 3 4 4 5 5

14. Nurhaliza 4 4 4 5 4 4 5 5

15. Ahmad Farhan 4 5 5 5 3 4 5 4

16. Rifka 4 3 4 5 5 5 4 4

17. Hidayanti 5 3 4 3 3 3 5 4

Samasae

18. Indriani 4 4 5 5 4 4 5 4

19. Rista Nur 4 4 4 3 4 5 5 5

20. Muh. Aldy 5 3 4 5 5 5 3 4

4,25 3,9 4,1 4,3 3,85 4,25 4,5 4,5

5
Skor Perolehan

33,7

85 78 82 86 77 85 90 91

Presentase (%) 674

Rata - rata Skor = 4,21 Presentase = 84,25 %


82

2. Lampiran 4
83
84
85
86
87
88
89
90
91

BIODATA PENULIS

Nama : Annisa Juniasih Putri

Tempat dan Tanggal Lahir : Palu, 02 Juni 1999

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. Kh. Wahid Hasyim

Orang Tua

Ayah : Fadly

Ibu : Agustina Pramularsih

Riwayat Pendidikan :

1. SDN 9 PALU (Lulus Tahun 2011)

2. SMPN 1 PALU (Lulus Tahun 2014)

3. SMAN BATURRADEN (Lulus Tahun 2017)

4. UNIVERSITAS TADULAKO (Lulus Tahun 2021)


92

Anda mungkin juga menyukai