Anda di halaman 1dari 2

Mengapa Daerah Lebih Sering Terkena Wabah?

Ant/Str-Didik Kusbiantoro
PASIEN DIARE – Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari mengunjungi pasien penyakit diare di RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Jatim, Kamis (25/11). Meski jumlah pasien penyakit diare di RSUD Dr Soetomo mengalami peningkatan cukup tinggi dan
menyebabkan 10 penderita yang sebagian besar balita dan anak-anak meninggal dunia, namun menurut Menkes hal itu belum
masuk kategori Kejadian Luar Biasa (KLB).

Jakarta – Diare yang melanda akhir-akhir ini, tak pelak juga diakibatkan kurangnya sarana dan
prasarana kesehatan. Termasuk di dalamnya fasilitas dari pemerintah dan kurang gencarnya
promosi kesehatan. Dibarengi dengan rendahnya tingkat kerja sama antarpihak yang terkait.
Apakah ini juga menandakan kurang fokusnya program kesehatan yang telah ada?

Kalau kita menyimak berita akhir-akhir ini, tak salah kalau dibilang bahwa tingkat kesakitan
karena diare makin meningkat. Peningkatan paling mencemaskan terjadi di lima provinsi, yaitu
Sulawesi Selatan, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Barat. Bahkan di
Solok, Sumatra Barat, hingga pekan lalu tercatat hingga 277 orang yang menderita diare. Dua di
antaranya sudah dinyatakan meninggal (SH/23/11/04).
Sebenarnya kalau mau ditelusuri, ternyata banyak hal terkandung di dalamnya. Termasuk
berbagai borok yang ternyata masih melingkupi ruang kesehatan kita. Perbincangan dengan dr.
Syahrizal Syarif, PhD, yang seorang ahli penyakit menular (epidemiologi) dari FKM UI, Rabu
(24/11) lalu menelurkan banyak asumsi yang cukup menarik untuk disimak. Termasuk masih
kurangnya tingkat partisipasi berbagai pihak yang terkait dalam penyediaan sarana dan
prasarana kesehatan, dan masih rendahnya promosi kesehatan sebagai tindakan preventif
kesehatan.
”Sebenarnya kalau mau menilik awal mula penyakit diare, pastilah disebabkan tidak tersedianya
air bersih,” ucap Syahrizal. Air kurang bersih menurutnya pasti mengandung bakteri E-coli, yang
menjadi penyebab diare.
Sedangkan sistem penyediaan air bersih di berbagai provinsi besar yang terkena wabah diare
rasa-rasanya memang patut dipertanyakan. ”Beda dengan di Inggris misalnya. Pemerintah di
sana menyediakan sarana air bersih yang bisa langsung diminum, dan hal ini secara langsung
juga meninggikan tingkat kesehatan masyarakat di sana.”
Berbagai sebab yang melingkupi mengapa sebuah kota bisa dianggap kurang dalam sistem
penyediaan air bersih. ”Yang jelas sekarang sepertinya tidak ada prioritas mengenai hal ini oleh
pemerintah daerah,” tambah Syahrizal lagi. Selain juga karena masih kurangnya kesadaran
pemerintah daerah. Namun, hal tersebut ternyata disebabkan menurunnya anggaran kesehatan
daerah pasca-otonomi daerah diberlakukan.
”Joint council antarkabupaten menjadi usaha yang telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah
ini. Namun kelihatannya masih belum berhasil,” ucap Syahrizal.

Promosi Kesehatan
Satu hal lain yang juga dirasakan merupakan biang ancaman tingginya wabah yang ada di
daerah, adalah masih kurangnya promosi kesehatan yang dilakukan pemerintah. ”Pengetahuan
dan budaya kesehatan kita memang belum bisa dikatakan baik,” ucap pria yang juga pengajar di
FKM UI ini lagi. Ini terlihat dari bagaimana cara masyarakat kita memperlakukan makanan, yang
dirasa masih kurang higienis. Seperti kurangnya perhatian masyarakat terhadap makanan
jajanan. Atau seberapa sering kita melihat para pelayan restoran yang memakai sarung tangan
plastik. Menurut Syahrizal hal ini semua sebenarnya disebabkan masih kurang fokusnya
pendidikan kesehatan yang ada.
Untuk hal ini beliau juga mempertanyakan masalah kurang gencarnya promosi kesehatan melalui
media. ”Padahal kalau kita bisa meningkatkan kerja sama di bidang kesehatan lewat media,
berapa banyak dana yang bisa diminimalkan,” ungkapnya.

Pandangan
Namun sebenarnya, kenyataan yang paling memiriskan dari itu semua, adalah masih tingginya
unsur subjektif daerah dalam hal memutuskan penggunaan dana kesehatan. Pemanfaatan dana
secara efektif dan tepat guna sering dipertanyakan. Seperti halnya di Riau, mereka memiliki
jumlah anggaran yang lebih besar dibandingkan daerah lain, namun bukannya digunakan untuk
penyediaan air bersih untuk warga, melainkan untuk pendirian rumah sakit besar, yang rasanya
tidak terlalu diperlukan oleh jumlah penduduk di sana yang relatif masih kecil.
Kasus lainnya terjadi di Mamuju, Sulawesi Selatan. Beberapa waktu sebelumnya pernah berlaku
tarif Rp 15.000 per kepala untuk orang-orang yang berobat ke puskesmas di sana. Dengan tarif
setinggi itu, tercatat ada sampai rata-rata 60 orang/hari yang datang ke puskesmas.(str-sulung
prasetyo)

Anda mungkin juga menyukai