Anda di halaman 1dari 13

Pengaruh Frekuensi Subkultur Terhadap Pertumbuhan, Perkembangan dan

Kandungan Karotenoid Kalus dari Eksplan Hipokotil Tomat (Lycopersicon


esculentum Mill.) Varietas Permata F1

Reni Indriani1, Erma Prihastanti1, Rini Budihastuti1 dan Yulita Nurchayati1


1
Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan Biologi FSM Universitas Diponegoro
e-mail : reniindriani51@gmail.com

ABSTRAK

Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) merupakan sumber karotenoid yang mudah ditemukan.
Senyawa tersebut berfungsi sebagai prekusor vitamin A, penangkal radikal bebas dan mencegah penyakit
kanker. Ekstraksi senyawa karotenoid untuk produk komersial biasanya menggunakan tanaman segar
sehingga kurang efisien dan membutuhkan bahan baku yang cukup banyak. Penyediaan bahan baku tersebut
dapat dilakukan melalui kultur jaringan. Frekuensi subkultur atau penyediaan nutrisi dalam kultur jaringan
sangat berpengaruh terhadap kandungan karotenoid kalus yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh frekuensi subkultur terhadap pertumbuhan, perkembangan daan kandungan karotenoid
kalus serta mengetahui frekuensi subkultur yang tepat untuk menghasilkan kalus dengan pertumbuhan,
perkembangan dan kandungan karotenoid yang optimal. Rancangan dalam penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal dengan 4 perlakuan yaitu frekuensi subkultur dan 3 ulangan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA pada taraf uji 95 %. Apabila terdapat beda nyata maka akan
diuji lebih lanjut dengan uji DMRT pada taraf uji 95 %. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh
frekuensi subkultur terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kandungan karotenoid kalus Lycopersicon
esculentum. Mill. Perlakuan yang paling optimal dalam menginduksi pertumbuhan dan produksi karotenoid
pada penelitian kali ini adalah subkultur 3 kali sedangkan perlakuan yang paling optimal dalam menginduksi
perkembangan adalah subkultur 2 kali.

Kata kunci : Lycopersicon esculentum Mill., hipokotil, karotenoid, kalus, subkultur.

ABSTRACT
Tomatoes (Lycopersicon esculentum Mill.) are a source of carotenoids they are easy to find. These
compounds function as precursors of vitamin A, free radicals and prevent cancer. Extraction of carotenoid
compounds for commercial products usually uses fresh plant so they are less efficient and require a lot of raw
materials. The supply of these raw materials can be done through tissue culture. The frequency of subculture
or supply of nutrients in tissue culture is very influential on the content of callus carotenoids produced. This
study aims to determine the effect of subculture frequency on growth, development and callus carotenoid
content and to find out the right frequency of subculture to produce callus with optimal growth, development
and carotenoid content. The design in this study used a single Completely Randomized Design (CRD) with 4
treatments, namely subculture frequency and 3 replications. The data obtained were analyzed with ANOVA at
the 95% test level. If there is a real difference then it will be further tested with the DMRT test at the 95% test
level. The results showed the influence of subculture frequency on growth, development and carotenoid
content of callus Lycopersicon esculentum. Mill. The most optimal treatment to induce growth and production
of carotenoids in this study was subculture 3 times while the most optimal treatment in inducing development
was subculture 2 times.

Keywords: Lycopersicon esculentum Mill., hypocotyl, carotenoids, callus, subculture

PENDAHULUAN sel, jaringan, maupun organ yang kemudian


Kultur jaringan tumbuhan adalah teknik ditumbuhkan di media buatan pada lingkungan
mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, yang aseptis. Teknik kultur jaringan dapat
digunakan untuk tujuan propagasi, pemuliaan tomat yang tidak tepat dapat menurunkan kadar
tanaman dan produksi metabolit sekunder karotenoid (Javanmardi dan Kubota, 2006).
(Mastuti, 2017). Teknik kultur jaringan untuk Guna mengatasi masalah sumber karotenoid
menumbuhkan eksplan dapat dilakukan dengan pada buah-buahan perlu adanya metode efektif
beberapa teknik, yaitu kultur meristem, kultur dan efisien yang dapat digunakan untuk
anther, kultur embrio, kultur protoplas, kultur memproduksi senyawa tersebut.
kloroplas, kultur polen dan kultur kalus (Lestari Pertumbuhan, perkembangan serta produksi
dkk, 2013). senyawa karotenoid dapat dilakukan dengan
Kultur kalus adalah teknik kultur jaringan metode kultur in vitro. Salah satu tahapan pada
dengan menggunakan eksplan berupa kalus. kultur in vitro adalah subkultur yang merupakan
Kalus merupakan proliferasi massa sel yang pemindahan sel, jaringan atau organ dari media
tidak beraturan yang belum terdiferensiasi lama ke media baru, baik media itu sama
(Rohmah, 2007). Pemanfaatan kultur kalus maupun berlainan dengan media semula,
adalah untuk perbanyakan tanaman dan dengan tujuan memperoleh daya pertumbuhan
menghasilkan senyawa metabolisme sekunder baru ataupun perkembangan dari inokulum
(Baldi dan Dixit, 2008) diantaranya yaitu (Silvia, 2015). Subkultur dihentikan ketika
saponin (Ikhtimami, 2012), artemisinin terjadi perubahan-perubahan morfologis yang
(Purnamaningsih dan Misky, 2010), menthol, tidak dikehendaki, ditandai dengan browning,
anethol, dan estragol (Setyorini, 2018) senyawa kehilangan kemampuan untuk beregenerasi
antioksidan vitamin C dan karotenoid (Agustin, membentuk tunas dan menghasilkan tanaman
2014). yang berbeda dari tanaman induk (Puspitasari,
Karotenoid banyak ditemukan pada buah 2014).
yang berwarna cerah seperti buah tomat. Frekuensi subkultur yang dilakukan,
Karotenoid berperan sebagai prekusor vitamin disesuaikan dengan jenis tanaman yang
A, senyawa antioksidan yang dapat menangkal digunakan. Subkultur yang dianjurkan paling
radikal bebas sehingga sangat potensial untuk banyak 3-6 kali (Wetherell, 1987 dalam
dikembangkan dalam bidang kesehatan (Ravi et Semarayani, 2012) kalus gingseng jawa yang
al., 2010). Produksi senyawa karotenoid tidak disubkultur mempunyai biomassa sedikit
biasanya diambil dengan cara mengekstraksi akan tetapi mempunyai kadar saponin yang
secara langsung dari bagian tanaman segar lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
(Susanti, 2018). Metode tersebut kurang efisien periode subkultur 2 minggu sekali (Ikhtimami
karena memerlukan waktu yang cukup lama dan dkk , 2012), setiap 4-6 minggu sekali pada kalus
biomassa yang banyak untuk mendapatkan buah jeruk siam tidak mengurangi kemampuan
yang siap diekstraksi serta penyimpanan buah proliferasi kalusnya (Wulansari et al., 2015).
Eksplan yang digunakan berupa hipokotil kalus, berat basah, kandungan karotenoid kalus,
kecambah tomat, dimana menurut warna, tekstur dan perkembangan kalus.
Naughmouchi et al. (2008) semakin muda
tanaman, maka akan semakin besar HASIL DAN PEMBAHASAN
keberhasilan kultur jaringan. Jaringan muda Hasil penelitian pengaruh frekuensi
(juvenile) memiliki sel-sel yang aktif membelah subkultur terhadap pertumbuhan, perkembangan
dengan kecepatan pembelahan sel yang tinggi dan kandungan karotenoid kalus hipokotil tomat
sehingga jaringan muda merupakan bahan (Lycopersicon esculentum Mill.) varietas
eksplan yang baik. Masih rendahnya informasi permata F1 berupa data kuantitatif dan data
tentang pengaruh jumlah subkultur pada kultur kualitatif.
in vitro tomat, maka penulis melakukan Tabel 1. Rerata waktu inisiasi, berat basah

penelitian tentang pengaruh frekuensi subkultur dan kandungan karotenoid kalus

terhadap pertumbuhan, perkembangan dan Perlakuan Waktu Berat Kandungan


Subkultur inisiasi basah karotenoid
produksi karotenoid tertinggi pada kalus tomat.
kalus kalus (g) (mg/L)
(HST)
BAHAN DAN METODE
P0 6 3,22b 113,32a
Penyediaan eksplan
P1 6,7 4,09b 126,75a
Eksplan yang digunakan adalah
P2 6,7 5,12b 124,32a
hipokotil tomat (Lycopericon esculentum Mill.), P3 6 9,21a 132,34a
yang diambil dari kecambah tomat aseptik umur
7 hari. Keterangan :
Induksi Kalus Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
Hipokotil dipotong sepanjang 1 cm yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak

kemudian ditimbang dan ditanam dalam media berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf
signifikasi 95%.
MS dengan penambahan NAA 1 ppm + BAP 1
P0 : Perlakuan tanpa subkultur
ppm.
P1 : Subkultur 1 kali
Subkultur
P2 : Subkultur 2 kali
Subkultur dilakukan setelah kalus
P3 : Subkultur 3 kali
berumur 20 hari dan dilanjutkan dengan
subkultur berikutnya setiap 10 hari sekali
dengan cara memindahkan kalus ke media baru.
Kalus yang telah berumur 50 hari pada tiap
perlakuan selanjutnya diambil untuk dianalisis.
Parameter yang diamati yaitu waktu inisiasi
Waktu Inisiasi Kalus berat terendah terdapat pada perlakuan tanpa
subkultur dengan rerata berat 3,22 g.

10
Peningkatan berat basah berbanding
8 lurus dengan jumlah perlakuan subkultur yang
6 dilakukan. Rerata berat akhir kalus kemudian
Ulangan 1
4 dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA)
Ulangan 2
2 Ulangan 3
dan menghasilkan data yang berbeda nyata
0
P0 P1 P2 P3 dengan nilai signifikasi 0,002. Nilai tersebut
Perlakuan subkultur kurang dari 0,05 (P<0.05), artinya perlakuan

Gambar 1. Histogram rata-rata waktu inisiasi frekuensi subkultur berpengaruh nyata terhadap
kalus (hari) pertumbuhan kalus tomat. Data tersebut
Hasil inisiasi kalus pada penelitian kali dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Duncan
ini berkisar pada hari ke 6-8. Saat munculnya untuk mengetahui perlakuan yang paling
kalus dihitung dengan satuan hari setelah tanam optimal. Hasil uji Duncan menunjukan
(HST). Waktu munculnya kalus pada penelitian perlakuan subkultur 3 kali paling optimal dalam
ini relatif sama dikarenakan inisiasi kalus terjadi meningkatkan pertumbuhan kalus tomat.
sebelum perlakuan subkultur dikenakan pada Bertambahnya berat merupakan ciri dari
eksplan yang ditanam. Inisiasi kalus ditandai pertumbuhan, sehingga pengukuran berat awal
dengan adanya pembengkakkan pada bagian- dan berat akhir dapat mewakili variabel
bagian yang kontak langsung dengan media pertumbuhan kalus tomat. Penelitian kali ini
seperti pada ujung hipokotil dan bagian menunjukkan subkultur berpengaruh terhadap
perlukaan, hal ini menunjukkan bahwa eksplan pertumbuhan kalus, dimana subkultur berfungsi
merespon media dan menyerap nutrisi yang menyediakan nutrisi bagi kalus secara berkala.
diberikan. Hormon merupakan salah satu Menurut Karyanti et al. (2014) kecepatan
pemacu terjadinya induksi kalus. Menurut pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh proses
Rosyidah et al. (2014) induksi kalus disebabkan penyerapan nutrisi dari medium yang diimbangi
oleh luka atau irisan eksplan sebagai respon dengan suplai zat hara secara teratur agar media
terhadap hormon baik secara eksogen maupun tidak kehabisan nutrisi. Oleh karena itu untuk
endogen. mempercepat pertumbuhan sel perlu adanya
Berat Basah Kalus tahap subkultur yaitu penggantian media lama
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan berat dengan yang baru dalam interval waktu selama
basah tertinggi terdapat pada perlakuan dua atau empat minggu.
subkultur 3 kali dengan rerata berat 9,19 g dan
Peningkatan Berat
186% basah. Peningkatan berat basah terutama
basah (%) 200
150 disebabkan oleh meningkatnya penyerapan air
100 oleh sel tersebut. Menurut Sitinjak et al. (2015),
59%
50 27% keberadaan auksin konsentrasi tinggi hanya
0 mampu memberikan respon pembengkakan,
Subkultur Subkultur Subkultur
ke-1 ke-2 ke-3 karena itu pemberian sitokinin ke dalam media

Perlakuan kultur jaringan penting untuk menginduksi

Gambar 2 Presentase peningkatan berat basah


perkembangan dan pertumbuhan eksplan.
Apabila ketersediaan sitokinin dalam medium

Presentase peningkatan berat basah pada kultur sangat terbatas maka pembelahan sel

perlakuan frekuensi subkultur 3 kali pada jaringan yang dikulturkan akan terhambat.

menunjukkan angka tertinggi yaitu sebesar Kandungan karotenoid

186% dibandingkan dengan perlakuan tanpa Rerata kandungan karotenoid dari

subkultur (kontrol), diikuti oleh perlakuan penelitian kali ini adalah pada perlakuan tanpa

subkultur 2 kali sebesar 59% dan subkultur 1 subkultur sebesar 113,32 mg/L diikuti dengan

kali sebesar 27%. Hasil tersebut menunjukkan perlakuan subkultur 2 kali sebesar 124,32 mg/L,

bahwa subkultur menunjang pembelahan sel, subkultur 1 kali sebesar 126,75 mg/L dan

pembesaran sel serta diferensiasi sel melalui kandungan tertinggi pada perlakuan subkultur 3

nutrisi dan hormon yang disediakan untuk kali sebesar 132,34 mg/L. Karotenoid

kalus. Menurut Zulkarnain (2009), pertumbuhan merupakan salah satu senyawa metabolit

dan morfogenesis in vitro dipengaruhi oleh sekunder yang disintesis oleh tumbuhan.

adanya interaksi dan rasio antara zat pengatur Senyawa ini biasanya dapat ditemukan hampir

tumbuh yang ditambahkan dalam media disemua organ tumbuhan seperti daun, batang,

maupun ZPT yang dihasilkan secara umbi, bunga dan juga buah. Karotenoid

endogenous oleh sel-sel yang dikultur. merupakan pigmen warna pada tumbuhan dan

Menurut Kartika (2013), auksin dapat terakumulasi dalam plastida. Penelitian kali ini

merubah aktivitas enzim-enzim yang berperan senyawa karotenoid diekstraksi dari kalus yang

dalam sintesis komponen-komponen dinding sel berasal dari eksplan hipokotil tomat.

dan menyusunnya kembali dalam suatu matriks


dinding sel yang utuh sehingga akan
berpengaruh terhadap berat sel. Auksin dapat
mendorong terjadinya elongasi sel yang diikuti
dengan pembesaran sel dan meningkatnya berat
20 16,78% kalus masih berada pada fase pertumbuhan
15 11,85 %
9,7% eksponensial. Pada fase ini, kalus masih dalam
Karotenoid (%)
10
Peningkatan

5 tahap pembelahan dan pembesaran sel yang


0
1 2 3 dibuktikan dengan adanya peningkatan volume
k e- k e- k e-
r r r sel kalus (Gambar 2) dan secara mikroskopik
u lt u u lt u u lt u
bk bk bk
Su Su Su sel (Gambar 4) sehingga sintesis karotenoid
Perlakuan belum optimal. Menurut Norbert et al. (2007),
metabolit sekunder umumnya meningkat pada
Gambar 3 Peningkatan kandungan karotenoid
akhir fase eksponensial hingga fase
perlakuan subkultur terhadap
pertumbuhan stasioner. Pendapat tersebut
perlakuan kontrol
diasumsikan karena adanya peningkatan
Berdasarkan analisis sidik ragam
vakuola dan plastida sel.
frekuensi subkultur memiliki pengaruh yang
tidak berbeda nyata terhadap kandungan
karotenoid kalus hipokotil Lycopersicon
esculentum Mill. Data menunjukkan bahwa ada
peningkatan produksi karotenoid pada kalus
meskipun jumlahnya tidak signifikan.
Presentase kenaikan produksi karotenoid
tertinggi dibandingkan dengan kontrol terdapat
pada perlakuan subkultur 3 kali sebesar 16,78% Gambar 4 Preparat kalus dengan perbesaran

diikuti oleh perlakuan subkultur 1 kali sebesar 40x

11,85% dan subkultur 2 kali sebesar 9,7%. Data kualitatif yang diamati diantaranya

Hasil penelitian kali ini menunjukkan adalah warna kalus, tekstur kalus serta

ada kemungkinan produksi karotenoid yang perkembangan kalus yang ditandai dengan

akan terus bertambah pada subkultur munculnya akar dan tunas. Hasil penelitian ini

berikutnya, hal ini dikarenakan peningkatan didapatkan melalui pengamatan secara visual

produksi karotenoid masih meningkat pada dari awal penanaman hingga kalus berumur 50

subkultur ke-3. Data peningkatan kandungan hari. Data disajikan pada tabel berikut.

karotenoid kalus menunjukkan bahwa perlakuan


subkultur ke 1, 2 dan 3 kali lebih besar
dibandingkan dengan kontrol (tanpa subkultur).
Kandungan karotenoid yang hampir
sama pada tiap perlakuan menunjukkan bahwa
Tabel 2 Warna, tekstur dan perkembangan Menurut Andaryani (2010),
kalus Lycopersicon esculentum terbentuknya kalus yang bertekstur kompak
Mill. karena perlakuan frekuensi dipacu oleh adanya hormon auksin endogen
subkultur setelah 50 hari yang diproduksi secara internal oleh eksplan
Perlakuan Warna Tekstur Perkembangan
yang telah tumbuh membentuk kalus serta
subkultur
pemberian zat pengatur tumbuh dari medium.
Akar Tunas
ZPT yang ditambahkan dapat menyebabkan
Tanpa kuning Kompak 1 -
perubahan fisiologi dan biokimia tumbuhan
subkultur kehijauan
melalui pengaturan kerja enzim. ZPT berperan
Subkultur putih Kompak 2 -
ke-1 kekuningan dalam pengikatan membran protein yang

Subkultur hijau Kompak 10 1 berpotensi untuk aktivitas enzim. Hasil


ke-2 kekuningan pengikatan ini mengaktifkan enzim dan
Subkultur kuning Kompak 8 1 mengubah substrat menjadi beberapa produk
ke-3 kehijauan baru. Produk baru yang terbentuk ini
menyebabkan serangkaian reaksi-reaksi
Tekstur Kalus
sekunder salah satunya adalah pembentukan
Tekstur kalus merupakan salah satu
akar, tunas maupun metabolit sekunder.
indikator untuk menilai kualitas suatu kalus.
Warna Kalus
Andaryani (2010) menyatakan kalus dengan
Indikator pertumbuhan eksplan pada
tekstur remah (friable) selnya mudah terpisah
kultur in vitro berupa warna kalus
menjadi sel-sel tunggal pada kultur suspensi.
menggambarkan penampilan visual kalus
Tekstur kalus yang dihasilkan pada perlakuan
sehingga dapat diketahui morfologi sel-sel yang
frekuensi subkultur dapat dilihat pada Tabel 2.
aktif membelah atau telah mati. Jaringan kalus
Tekstur kalus dari seluruh perlakuan bertipe
yang dihasilkan dari suatu eksplan biasanya
kompak, hal ini menunjukkan frekuensi
memunculkan warna yang berbeda-beda. Warna
subkultur tidak berpengaruh terhadap tekstur
pada sel atau jaringan menunjukkan
kalus dari eksplan hipokotil tomat.
perkembangan pigmen maupun plastida di
Kalus remah ikatan antar selnya tampak
dalam sel hidup. Warna kalus mengindikasikan
renggang, mudah dipisahkan dan jika diambil
kandungan pigmennya. Warna kalus yang
dengan pinset, kalus mudah pecah dan ada yang
dihasilkan pada perlakuan frekuensi subkultur
menempel pada pinset. Kalus yang kompak
bisa dilihat pada Gambar 4.
mempunyai tekstur yang sulit untuk dipisahkan,
Perlakuan tanpa subkultur menghasilkan
ketika dipotong cukup keras dan secara visual
kalus berwarna kuning kehijauan, perlakuan
terlihat padat.
subkultur 1 kali menghasilkan kalus berwarna
putih kekuningan, subkultur ke 2 menghasilkan pada bagian-bagian tertentu. Menurut Pisesha
kalus berwarna hijau kekuningan dan perlakuan (2008), terbentuknya bagian hijau pada kalus
subkultur 3 kali menghasilkan kalus berwarna merupakan awal terjadinya morfogenesis, hal
kuning kehijauan. Jaringan kalus yang ini sejalan dengan adanya pembentukan tunas
dihasilkan dari suatu eksplan biasanya (Tabel 2) pada minggu terakhir pengamatan.
memunculkan warna yang berbeda-beda Perkembangan Kalus
(Lutviana et al, 2012). Perbedaan warna kalus Perkembangan kalus merupakan parameter
dapat disebabkan beberapa hal diantaranya yang digunakan untuk mengamati pengaruh
yaitu pigmentasi, intensitas cahaya dan sumber frekuensi subkultur terhadap kemungkinan
eksplan dari bagian tanaman yang berbeda terjadinya diferensiasi sel pada kalus menjadi
(Hendaryono dan Wijayani, 1994). organ yang dapat dikenali. Organ yang diamati
adalah pertumbuhan akar dan tunas.

1 Keberadaan akar bagi pertumbuhan kalus


2
2 memegang peranan yang sangat penting, sebab
akar dapat mengoptimalkan penyerapan nutrisi
pada media tanam. Munculnya tunas menandai
adanya proses multiplikasi pada kalus yang
3 4 ditanam.
4
Data perkembangan akar pada kalus dapat
dilihat pada Tabel 2. Hampir seluruh perlakuan
pada kalus mampu menghasilkan pertumbuhan
akar, akan tetapi jumlah akar yang muncul
Gambar 4 Warna kalus Lycopersicon
esculentum pada hari ke 50. berbeda disetiap perlakuan. Perlakuan tanpa

Keterangan 1: Perlakuan tanpa subkultur, 2: subkultur menghasilkan akar yang pendek

subkultur 1 kali, 3: subkultur 2 kali, 4: subkultur dengan jumlah rata-rata akar yang muncul 1

3 kali buah, hal ini dikarenakan kalus tidak

Warna kalus yang dihasilkan tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk

merata sehingga visualisasi warna kalus diambil menumbuhkan akar dalam jumlah yang banyak.

dari warna dominan pada kalus dan diikuti Perlakuan subkultur 1 kali menghasilkan akar

dengan warna tambahan yang muncul. Waktu yang pendek dengan jumlah rata-rata akar yang

perkembangan awal, kalus berwarna putih muncul 2 buah, jumlah tersebut lebih banyak

kemudian berubah menjadi kekuningan dan dibandingkan dengan perlakuan tanpa subkultur

pada akhir pengamatan muncul warna hijau akan tetapi lebih sedikit dibandingkan dengan
perlakuan subkultur 2 dan 3 kali. Perlakuan
subkultur 2 dan 3 kali menunjukkan Hormon IBA menghasilkan sistem perakaran
perkembangan akar yang lebih optimal dimana serabut yang kuat.
pada seluruh ulangan menghasilkan akar yang
panjang dan banyak. Perlakuan subkultur 2 dan a b
3 kali menghasilkan rata-rata akar yang muncul
berturut-turut sebanyak 10 dan 8 buah, hal ini
dikarenakan kalus mendapatkan suplai nutrisi
yang cukup. Berdasarkan data tersebut, c d
perlakuan frekuensi subkultur mempengaruhi
perkembangan (morfogenesis) secara
signifikan.
Hasil pada perlakuan subkultur 2 kali Gambar 5 Akar pada perlakuan a) Tanpa
menunjukkan jumlah akar yang lebih banyak subkultur, b) Subkultur 1 kali, c)
dibandingkan dengan perlakuan subkultur 3 Subkultur 2 kali, d) Subkultur 3 kali
kali, hal ini dapat dikarenakan pada perlakuan Tunas merupakan bagian tanaman yang
subkultur 3 kali mempunyai masa inkubasi yang diperoleh dari hasil pertumbuhan vegetatif,
lebih pendek dari perlakuan subkultur 2 kali. yang tumbuh dalam rangka melangsungkan
Masa inkubasi yang lebih pendek menyebabkan keturunan pada suatu tanaman. Terbentuknya
kalus tidak dapat menyerap nutrisi secara tunas menunjukkan keberhasilan regenerasi
optimal dikarenakan perlu adanya adaptasi eskplan yang diinokulasi pada media kultur
kembali setelah perlakuan subkulktur. jaringan. Kalus yang dihasilkan dari eksplan
Pembentukan akar dipacu oleh hormon hipokotil tomat dapat berdiferensiasi
auksin, hormon yang diberikan secara berkala membentuk tunas. Namun dalam penelitian ini,
melalui subkultur memacu pertumbuhan dan tidak semua kalus mampu berdiferensiasi
perkembangan akar. Menurut Rahmaniar (2007) menjadi tunas, hal ini dikarenakan adanya
auksin aktif yang digunakan untuk perlakuan subkultur. Data munculnya tunas
pembentukan akar adalah Naphthalene Acetic pada kalus dari eksplan hipokotil tomat dapat
Acid (NAA) dan Indol Butyric Acid (IBA), dilihat pada Tabel 2.
kedua auksin tersebut membentuk akar jika Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa
digunakan pada konsentrasi rendah. Tipe sistem tunas yang muncul hanya pada kalus yang
perakaran yang dihasilkan juga tergantung dari diberi perlakuan frekuensi subkultur 2 dan 3
zat pengatur tumbuh yang digunakan. Asam kali, hal ini menunjukkan subkultur
phenoxy pada 2,4-D dan 2,4,5-T menghasilkan berpengaruh terhadap perkembangan
sistem perakaran yang banyak, tebal dan kokoh. (morfogenesis) sel pada kalus menjadi tunas.
Pertumbuhan tunas dipacu oleh hormon yang telah berumur 10 minggu menghasilkan 100%
tersedia pada media. Menurut George dan kalus bertunas pada media padat dalam waktu 4
Sherrington (1993) dalam Muliati et al. (2017) minggu pasca subkultur. Selanjutnya pada
penggunaan BAP pada konsentrasi yang tepat penelitian Karlianda et al. (2012) menyatakan
sangat efektif merangsang penggandaan kalus bahwa kombinasi perlakuan 0,1 mg/L NAA +
dan tunas karena penambahan BAP dalam 2,5 mg/L BAP merupakan perlakuan terbaik
media perbanyakan in vitro berperan aktif yang menghasilkan jumlah tunas terbanyak
dalam organogenesis secara alami. Zat pengatur dibandingkan perlakuan yang lain pada
tumbuh BAP merupakan salah satu golongan subkultur kalus gaharu (Aquilaria malaccensis
sitokinin yang dapat memacu dan menginduksi Lamk).
kalus namun jenis dan konsentrasinya
tergantung jenis tanaman. KESIMPULAN
Frekuensi subkultur berpengaruh
terhadap pertumbuhan, perkembangan dan
kandungan karotenoid kalus dari eksplan
hipokotil tomat (Lycopersicon esculentum
Mill.). Perlakuan subkultur meningkatkan
pertumbuhan, perkembangan dan kandungan
karotenoid kalus.

DAFTAR PUSTAKA
Gambar 6 Tunas perbesaran lensa objektif 3 kali
Agustin, N., Nurchayati Y., dan Setiari N. 2014.
Respon Pertumbuhan dan Produksi
Tunas yang tampak pada gambar diatas
Senyawa Antioksidan Kalus Hibiscus
berbentuk lembaran berwarna hijau terang dan
sabdariffa L. dari Eksplan yang Berbeda
terdapat pada perlakuan frekuensi subkultur 2
secara In Vitro. Jurnal sains dan
dan 3 kali. Banyaknya tunas yang muncul pada
Matematika. Vol.22 (1): 25-29.
masing-masing perlakuan hanya berjumlah 1
Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan
buah. Munculnya tunas menunjukkan
Berbagai Konsentrasi Bap Dan 2,4-D
dimulainya fase organogenesis. Tumbuhnya
Terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar
tunas dapat dipacu oleh hormon sitokinin yang
(Jatropha curcas L.) Secara In Vitro.
ditambahkan pada media. Penelitian Karyanti et
Surakarta: Fakultas Pertanian
al. (2014) melaporkan penambahan hormon BA
Universitas Sebelas Maret.
1 mg/L pada kalus Jatropha Curcas L. yang
Baldi A and VK Dixit. 2008. Enhanced
Artemisinin Production by Cell Cultures Lestari, S. 2013. Pengaruh Jenis Eksplan dan
of Artemisia annua. Current Trends in Konsentrasi IBA Terhadap Pertumbuhan
Biology and Pharmacy. 2(2). 341-348. dan Kadar Metabolit Sekunder
Hendaryono, D.P.S dan Wijayanti, A. 1994. (Stigmasteron dan Sitosterol) Kalus
Teknik Kultur Jaringan dan Petunjuk Purwoceng (Pimpinella alpine Molk.)
Perbanyakan Tanaman Secara pada Media MS. Skripsi. UIN Malang.
Vegetatif- Modern. Yogyakarta : Lutviana, A., Y. S. W. Manuhara dan E.S Wida.
Kanisius. 2012. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh
Ikhtimami, A., Hery. P. dan Y. Sri. W. M. 2012. dan NaCl Terhadap Pertumbuhan Kalus
Pengaruh Periode Subkultur Terhadap Kotiledon TanamanBunga Matahari
Kadar Saponin Akar Rambut Tanaman (Helianthus annus L.). Skripsi. Fakultas
Ginseng Jawa (Talinum paniculatum Sains dan Teknologi Universitas
Gaertn.). Jurnal Skripsi. Universitas Airlangga.
Airlangga. Mastuti, R. 2017. Dasar-Dasar Kultur Jaringan
Javanmardi, J dan C. Kubota. 2006. Variation Tumbuhan. Malang : UB Press.
of Lycopene, Antioxidant Activity, Muliati, Tengku H. dan Nurbaiti. 2017.
Total Soluble Solids and Weight Loss Pengaruh NAA, BAP dan
of Tomato During Postharvest Storage. Kombinasinya pada Media MS
Postharvest Biology and Technology. Terhadap Perkembangan Eksplan
41:151-155. Sansevieria macrophylla Secara In
Kartika, L., Atmodjo, P.K. dan Vitro. Jurnal Online Mahasiswa UNRI.
Purwijantiningsih, L.M.E. 2013. Naghmouchi, S., M.L. Khouja, M.N. Rejeb, M.
Kecepatan Induksi Kalus dan Boussaid. 2008. Effect of Gowth
Kandungan Eugenol Sirih Merah Regulators and Explant Origin on In
(Piper crocatum Ruiz and Pav.) yang Vitro Propagation of Ceratonia siliqua
Diperlakukan Menggunakan Variasi L. Via Cuttings. Biotechnol Agon Soc
Jenis dan Konsentrasi Auksin. Skripsi. Environ. 12(3):251−258.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Nobert O., Zolta S., and Be’la Da’nos. 2007.
Karyanti, Juanda dan Teuku T. 2014. Influence of Different elicitors on the
Kemampuan Tumbuh Eksplan Sinthesis of Anthraquinone Derivatives
Jatropha curcas L. pada Media In in Rubia tinctorum L. Cell Suspension
Vitro yang Mengandung Hormon IBA Cultures. Science Direct. Dyes and
dan BA. Jurnal Bioteknologi dan Pigments. 77: 249-257
Biosains Indonesia. Vol 1 No 1.
Penyimpanan. Jurnal Teknologi dan 2,4D dalam Kultur In Vitro Iles-iles
Industri Pertanian Indonesia. (Amorphophallus muelleri Blume).
Pisesha, P. A. 2008. Pengaruh Konsentrasi IAA, Tugas Akhir. ITP Bogor.
IBA, BAP dan air kelapa terhadap Rosyidah, Muchuriyah., Evi R., dan Yuni S. R.
pembentukan akar poinsettia (Eaphorbia 2014. Induksi Kalus Daun Melati
pulcherrima Wild Et Kiotech) In-vitro. (Jasminum sambac) dengan
Institut Pertanian Bogor. Penambahan Berbagai Konsentrasi
Purnamaningsih, R dan Misky. A. 2010. Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) dan
Pengaruh BAP dan NAA Terhadap 6-Benzylamino Purine pada Media MS
Induksi Kalus dan Kandungan secara In Vitro. LenteraBio 3(3).
Artemisinin dari Artemisia annua L. Semarayani, C. M. I., 2012. Subkultur Berulang
Berita Biologi. 10(4). Tunas In Vitro Pisang Kepok Unti
Puspitasari, R. 2014. Pengaruh Frekuensi Sayang pada Beberapa Komposisi
Subkultur Kalus Tebu (Saccharum Media. Skripsi. Fakultas Pertanian
officinarum L.) Terhadap Kemampuan Institut Pertanian Bogor.
Bertunas dan Keragaman Genetik Bibit Setyorini, M. 2018. Pengaruh Pemberian PEG
Berdasarkan Penanda Rapid. Thesis. (Polyethylen Glycol) 6000 Terhadap
Universitas Gadjah Mada. Induksi Kalus dan Kandungan
Rahmaniar, A. 2007. Pengaruh Macam Eksplan Metabolit Sekunder Tanaman Adas
dan Konsentrasi 2,4 (Foeniculum vulgare Mill.). Skripsi.
Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) UIN Malang.
terhadap Pertumbuhan Anthurium Silvia, A. 2015. Proses subkultur untuk
(Anthuriumm plowmanii Croat) pada Meningkatkan Pertumbuhan Tunas
Medium MS. Skripsi. Fakultas Pertanian Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Asal
UNS. Perendaman Sesaat dan Konservasi
Ravi, M., De Sai L., Azharuddin. S., Paul dan Tunas Purwoceng (Pimpinella alpine
Solomon F. D. 2010. The Beneficial Molk.) Secara In Vitro. LKKP.
Effects of Spirulina Focusing on its Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Immunomodulatory and Antioxidant Sitinjak, M. A., Mayta N. I., dan Siti F. 2015.
Properties. Nutrition and Dietary Induksi Kalus dari Eksplan Daun
Supplements .73–83. Dove Medical Keladi Tikus (Typhonium sp.) dengan
Press Ltd. Perlakuan 2,4D dan Kinetin. Jurnal
Rohmah, S.N. 2007. Penggunaan BAP dan Biologi. Vol 8 No:1.
Susanti, H. M., Renny. I., Leenawaty. L., dan
Tatas. H.P.B.,2018. Ragam Metode
Ekstraksi dari Sumber Tumbuhan
dalam Dekade Terakhir ( Telaah
Literatur). Jurnal Rekayasa Kimia dan
Lingkungan. Vol.13, No.1. Hlm. 40-
50.
Wulansari A, A Purwito, A Husni, & E
Sudarmonowati (2015). Kemampuan
Regenerasi Kalus Embriogenik Asal
Nuselus Jeruk Siam serta Variasi
Fenotipe Tunas Regeneran. Pros Sem
Nas Masy Biodiv Indon. 1(1),97-104.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman.
Solusi Perbanyakan Tanaman Budi
Daya. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai