MAKALAH ILMU KALAM New-Digabungkan
MAKALAH ILMU KALAM New-Digabungkan
ILMU KALAM
Disusun oleh :
Alwi Ramadhani
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahi Robbil’Alamin, atas nikmat yang senantiasa Allah beri kepada
kita. Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Junjungan Nabi
Muhammad Saw. Insan yang setiap muslim dibelahan bumi manapun berharap akan
syafaatnya kelak di hari kiamat. Ucapan terima kasih kepada pak dosen dan teman-
teman yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Kali ini kami menyampaikan materi kuliah Ilmu Kalam dengan tema “ Ilmu
Kalam”. Sebagaimana kita ketahui bersama Ilmu Kalam adalah boleh dibilang
pokoknya ilmu bagi orang Islam. Bagi seseorang yang mengaku beragama Islam tapi
tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu Kalam adalah ibarat orang yang membeli
produk tapi tak tahu tentang produk knowledge-nya.
Ilmu Kalam adalah pengetahuan tentang Ke-Tuhanan atau dalam dunia barat
sering disebut Ilmu Teologi. Kenapa dibilang pokoknya Ilmu Islam, karena sebelum
kita jauh-jauh mempelajari Islam kita wajib mengetahui dulu tentang Allah, karena
Allah-lah sumber dari Islam. Dengan mempelajari Ilmu Kalam diharapkan seorang
mahasiswa muslim tidak akan tersesat dalam luasnya samudra ilmu keIslaman.
Demikianlah semoga apa yang kami sajikan ini mendapat ridho dari Allah dan
dapat menambah wawasan kita semua. Membawa manfaat bagi penyusun maupun
rekan-rekan sekAlian.
Amin Yaa Robbal ‘Alamin.
Manna, 10 Oktober 2023
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………….. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………. iii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN……………............................................ 6
A. PENGERTIAN, DASAR-DASAR, DAN SEJARAH
ILMU KALAM…………………………………………… 6
1. PENGERTIAN ILMU KALAM................................ 6
2. DASAR-DASAR DAN RUANG LINGKUP
ILMU KALAM………………….............................. 7
3. SEJARAH ILMU KALAM........………………… 8
B. SEBAB-SEBAB MUNCULNYA ILMU KALAM………. 9
C. PERMASALAHAN ILMU KALAM DALAM ISLAM…. 12
1. MASALAH PELAKU DOSA BESAR…………… 12
2. MASALAH PERBUATAN MANUSIA DAN
KAITANNYA PADA TUHAN…………………... 13
BAB III. PENUTUP.......................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 15
iii
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu kalam merupakan objek kajian berupa ilmu pengetahuan dalam agama
Islam yang dikaji dengan menggunakan dasar berfikir berupa logika dan dasar
kepercayaan-kepercayaaan pribadi atau suatu golongan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan akan eksistensi atau keberadaan Tuhan, bagaimana Tuhan, seperti apa
wujudnya dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya yang berhubungan dengan
Tuhan.
Pembahasan di atas terlihat merupakan dasar-dasar dari pembahasan ilmu
kalam itu sendiri dan bagaimana peranannya atau korelasinya dengan kurikulum
pendidikan agama Islam. Dengan begitu diharapkan kita mampu meenguasai dasar
pembahasan tentang ilmu kalam dan korelasinya dengan kurikulum pendidikan Islam.
Adapun tujuan utama dari ilmu kalam adalah untuk menjelaskan landasan
keimanan umat Islam dalam tatanan yang filosofis dan logis. Bagi orang yang
beriman, bukti mengenai eksistensi dan segala hal yang menyangkut dengan Tuhan
yang ada dalam al-Qur’an, Hadits, ucapan sahabat yang mendengar langsung
perkataan Nabi dan lain sebagainya, sudah cukup. Namun tatkala masalah ini
dihadapkan pada dunia yang lebih luas dan terbuka, maka dalil-dalil naqli tersebut
tidak begitu berperan. Sebab, tidak semua orang meyakini kebenaran al-Qur’an dan
beriman kepadanya. Karenanya diperlukan lagi interpretasi akal terhadap dalil yang
sudah ada dalam al-Qur'an tersebut untuk menjelaskannya. Awalnya perbincangan
mengenai teologi ini hanyalah debat biasa sebagai diskusi untuk mempertajam
pemahaman keIslaman, namun lama- kelamaan ia membentuk sebuah kelompok
pro-kontra yang berjuang pada kebencian,
permusuhan dan bahkan peperangan.
Penyusun berharap dengan ditulisnya materi Ilmu Kalam ini dapat
memberikan efek positif kepada kita yang tengah menjalani mata kuliah Ilmu Kalam
ini. Dengan pembahasan yang sederhana ini mudah-mudahan dapat membantu
kita untuk
memberikan suatu motivasi dan pemahaman untuk kita dalam menjalani hidup dan
kehidupan beragama kita sekarang hingga akhir nanti.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ilmu Kalam?
2. Apa saja dasar-dasar dan ruang lingkup Ilmu Kalam?
3. Bagaimana sejarah Ilmu Kalam?
4. Apa saja sebab-sebab munculnya ilmu Kalam?
5. Apa saja permasalahan dalam Ilmu Kalam dalam Islam?
C. Tujuan
1. Ketahui tentang pengertian dari ilmu kalam.
2. Mengetahui syarat dasar-dasar dan ruang lingkup ilmu kalam.
3. Mengetahui sejarah tentang ilmu kalam.
4. Mengetahui sebab-sebab munculnya ilmu kalam.
5. Mengetahui tentang permasalahan dalam ilmu kalam dalam Islam.
v
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN, DASAR-DASAR DAN SEJARAH ILMU KALAM
1. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain:ilmu ushuluddin,
ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena karena
ilmu ini membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini
membahas ke-Esaan Allah SWT.
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari
Bahasa Inggris, theology. William L. Reese mendefisinikannya dengan discourse or
reason concerning God(diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).
Sementara itu Musthafa Abdul Raziq berkomentar, “ilmu ini (ilmu kalam)
yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas argumentasi-
argumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah Islami ini bertolak
atas bantuan nalar ”. sementara itu Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai
berikut : “ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah
beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia
sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya
adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis”
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
“ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai aargumentasi tentang
akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional”.
Adapun ilmu ini dinamakan ilmu Kalam, disebabkan :
a) Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan hijriah ialah apakah Kalam Allah (Al-qur’an) itu qadim atau hadits.
b) Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini
tampak jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang
7
1
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka
Setia,2009, h. 13-21.
8
Seperti halnya filosof muslim yaitu Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-
Razi atau yang di kenal dengan Al-Razi yang mendukung penggunaan akal dalam
memahami kalam Ilahi, ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui
yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu kepada Tuhan, dan untuk mengatur hidup
manusia di dunia2.
d. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan, oleh karena itu kepercayaaan
adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. William L. Reese
mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan ini yang dikenal
dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama dan muncul dari mitos.
Selanjutnya teologi itu berkembang menjadi teologi alam dan teologi wahyu3.
Sebelum membahas mengenai ruang lingkup ilmu kalam kita harus
mengetahui ajaran dasar agama yang tidak boleh diperselisihkan seperti:
1. Allah maha Esa
2. Muhammad adalah Rasul
3. Al-Quran adalah wahyu
4. Hari akhirat itu pasti
5. Surga dan neraka itu ada.
Selanjutnya yang menjadi tema besar ajaran ilmu kalam (ruang lingkup), seperti:
1. Allah mempunyai sifat di luar dzat atau tidak
2. Diutusnya Rasul wajib atau tidak
3. Al-quran Qadim atau baharu
4. Surga dan neraka itu jasmani atau rohani
5. Melihat Tuhan di akhirat, dengan jasmani atau rohani
6. Dan lain-lain4.
2
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, h. 18
3
op. cit. h. 26-27
4
M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu Kalam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, h. 8-9.
9
5
op.cit. h. 27-28.
10
penumpuan agar ia menjadi satu ilmu baru yang diberi nama Ilmu Kalam. Ilmu ini
muncul dan berkembang atas sebab-sebab dalaman dan eksternal.
Sebab-sebab internal
Berikut ini adalah sebab-sebab internal yang menjadi puncak munculnya ilmu
Kalam:
1) Al-Quran di dalam ajarannya kepada tauhid menceritakan aliran-aliran
penting dan agama-agama yang bertebaran pada zaman Nabi s.a.w., lalu al-
Quran menolak perkataan-perkataan mereka. Secara tabi'i, para ulama telah
mengikuti cara al-Quran di dalam menolak mereka yang bertentangan, di
mana apabila penentang memperbaharui cara, maka kaum muslimin juga
memperbaharui cara menolaknya.
2) Pada zaman pemerintahan Bani Umaiyah, hampir-hampir keseluruhan umat
Islam di dalam keimanan yang bersih dari semua pertikaian dan perdebatan.
Dan apabila kaum muslimin selesai melakukan penaklukan negeri dan
kedudukannya telah mantap, mereka beralih pembahasan sehingga
menyebabkan perselisihan pendapat di kalangan mereka.
3) Perselisihan di dalam masalah politik menjadi sebab di dalam perselisihan
mereka mengenai soal-soal keagamaan. Jadilah partai-partai politik tersebut
sebagai satu aliran keagamaan yang mempunyai pandangannya sendiri.
Partai (kelompok) Imam Ali r.a. membentuk golongan Syiah, dan manakala
mereka yang tidak setuju dengan Tahkim dari kalangan Syiah telah
membentuk kelompok Khawarij. Dan mereka yang membenci perselisihan
yang berlaku di kalangan umat Islam telah membentuk golongan Murji'ah.
Sebab-sebab ekternal
Berikut ini adalah sebab-sebab eksternal yang menjadi puncak munculnya ilmu
Kalam:
11
Iraq, khususnya di Basrah merupakan tempat segala agama dan aliran. Maka
terjadilah perselisihan apabila ada satu golongan yang menafikan kemahuan (iradah)
manusia. Kelompok ini diketuai oleh Jahm bin Safwan. Dan antara pengikutnya ialah
para pengikut aliran Jabbariyah yang diketuai oleh Ma'bad al-Juhni. Aliran ini lahir
ditengah-tengah kekacauan pemikiran dan asas yang dibentuk oleh setiap kelompok
untuk diri mereka.
Kemudian bangkitlah sekelompok orang yang ikhlas memberi penjelasan
mengenai akidah-akidah kaum muslimin berdasarkan jalan yang ditempuh oleh al-
Quran. Antara yang masyhur di kalangan mereka ialah Hasan al-Basri.
Dan sebahagian dari kesan perselisihan antara Hasan al-Basri dengan muridnya
Washil bin Atho' ialah lahirnya satu kelompok baru yang dikenali dengan
Muktazilah. Perselisihan tersebut ialah mengenai hukum orang beriman yang
mengerjakan dosa besar, kemudian mati sebelum sempat bertaubat.
Pada akhir kurun ketiga dan awal kurun keempat, lahirlah imam Abu Mansur
al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka
membentuk aliran al-Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan al-Asy'ari yang
telah mengumumkan keluar dari kelompok Mu'tazilah dan menjelaskan asas-asas
pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqahak dan
ahli hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya'riah. Dan dari dua
kelompok ini, terbentuklah kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dan kesimpulannya, kita dapat melihat bahawa kemunculan kelompok-kelompok di
dalam Islam adalah kembali kepada dua perkara:
1) Perselisihan mengenai pemerintahan
2) Perselisihan di dalam masalah usul atau asas agama.
a) Mazhab Syi’ah
Dalam masalah politik yaitu terbunuhnya ke-tiga yaitu khalifah Utsman bin
affan oleh pemberontakkan dari Mesiar yang dipimpin oleh Abu Saudah bin Saba,
Utsman tewas dan melahirkan konsep permasalahan apakah tetap beriman atau telah
kafir, pelaku pembunuh Utsman itu dan pelaku dosa besar yang keluar dari barisan
Ali karena tidak puas dengan hasil administrasi maka mereka keluar dari barisan Ali.
Menurut mazhab Syi’ah pelaku dosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam
dan murtad maka ia wajib dibunuh.
b) Mazhab Murji’ah
Murji’ah artinya menunda tentang pelaku dosa besar dia di akhirat, pendirinya
Abdullah Ibnu Umar (anak Umar bin Khatab), mereka berpendapat bahwa orang
yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir adapun dosa yang
dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni.
c) Mazhab Mu’tazilah
Pendirinya adalah Wasil bin Atok pendapatnya orang yang berdosa besar
bukan kafir tetapi bukan pula mu’min orang semacam ini mengambil dua posisi
diantara dua posisi atau tidak masuk surga atau tidak masuk neraka
d) Mazhab Asy’-Ariyah
Mazhab ini pendirinya adalah Hasan Al-Asy Ari (260-324 H), dia menentang
pendapat mazhab mu’tazilah menurutnya tidak mungkin orang yang berbuat dosa
besar itu tidak mukmin maka terdapat iman , menurutnya mu’min yang melakukan
dosa besar bila wafat tanpa taubat mungkin orang itu diampuni dosanya oleh Allah
sehingga diakhirat orang itu langsung masuk surga dan mungkin pula tidak di ampuni
mak ia dimasukkan keneraka dulu baru surga. Seperti dalam hadits rosul.
a. Khodoriyah
Menurut Khodoriyah manusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan
dalam kehendak dan perbuatan, Khodoriyah mempunyai paham
manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b. Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari “Jabarah” yang mengandung arti
memaksa. Paham ini berpendapat manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya dalam paham ini manusia mutlak terikat dalam
kehendak Tuhan.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan di atas merupakan sebuah pengantar bagi kita untuk lebih
mendalami pembahasan tentang ilmu kalam atau yang biasa disebut teologi Islam.
Ketika kita telah mempelajari pembahasan tersebut besar harapan penyusun untuk
kita lebih tahu lagi tentang arti dari sebuah perbedaan dengan berpegang pada dasar
pengertian yang relevan
Terlebih kita sebagai umat muslim perlu meningkatkan produktivitas
keilmuan kita dengan berfikir seperti apa yang dijelaskan di atas yaitu tetap
menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat agar seimbang apa yang kita
lakukan di mata Allah. Dan juga pembahasan ilmu kalam ini tidak terlepas dari
kritikan tajam dari para ulama sebagai warna perbedaan bagi kita untuk lebih
menyikapinya dengan arif dan bijaksana.
Semoga dengan kita telah memperdalam pembahasan ini kita mendapatkan
khazanah keilmuan yang bermanfaat bagi kita sebagai modal dalam mengarungi
kehidupan yang semakin rumit terutama problema-problema tentang pemikiran antara
kaum tradisionalisme dan rasionalisme mengenai teologi Islam ini
Kritik dan saran yang membangun, penyusun harapkan demi tercapainya
perbaikan kearah yang lebih positif dan bermanfaat.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka
Setia,2009, h. 13-21.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, h. 18.
M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu Kalam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, h. 8-9.
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990, h. 3-6.
Husain bin Muhammad Al Jassar, Al-Ushbun Al Hamidiyah Li Al-Muhafadzah ‘Ala Al-‘
Aqo’id Al-Islamiyah (Bandung: SyirkahAl-Ma’arif)
Mustafa Abd. Razak. Tahmid li tarikh al-fasafah al-islamiyah, lajnah wa at-thalif wa-
attarjamahwanasyir, 1959
MAKALAH
ALIRAN KHAWARIJ
Oleh :
Hendri Siprianto
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah
dengan judul Khawarij. Salawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya
sampai hari penghabisan.
Atas bimbingan dari Dosen Ilmu Kalam dan saran dari teman-teman maka
disusunlah Makalah ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi
kami semua dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Ilmu Kalam dan semoga segala
yang tertuang dalam Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para
pembaca dalam rangka membangun khasanah keilmuan. Makalah ini disajikan
khusus dengan tujuan untuk memberi arahan dan tuntunan agar yang membaca bias
menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Ilmu Kalam, Bapak Liza Wahyuninto, M.H
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang
bersifat membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-langkah
selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata.
2
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.................................................................................................iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TujuanPenulisan
Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Khawarij, yaitu:
1. Mengetahi pengertian khawarij
4
2. Mengetahui penyebab munculnya khawarij
3. Dapat paham pengaruh ajaran khawarij
4. Mengetahui macam-macam sekte khawarij
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka
bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian
kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh
Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.(QS. An-Nisa (4):100)
Kaum khawarij kadang-kadang menamakan diri mereka sebagai kaum
Syurah. Artinya “orang-orang yang mengorbankan dirinya ”
Untuk kepentingan keridhaan Allah Swt. Mereka mendasarkan pada ayat:
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena
mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-
Nya.(QS. Al-Baqarah (2):207)
Bahwa. “khawarij” adalah nama yang sering dipakaikan kepada golongan
ini. Padahal tadinya mereka adalah sebagian dari pengikut Ali ra., bahwa mereka
mempertaruhkan kehidupan dunia untuk kepentingan kehidupan akherat kelak.
Nama lain yang dipakaikan kepada golongan ini ialah “Muhakkimah” ,
artinya mereka berpendapat bahwa “tidak ada hkum selain Allah.”
8
c. Orang-orang yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke islam
yang sebenarnya, yaitu seperti islam yang mereka fahami dan amalakan.
d. Mereka bersifat fanatic dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan
kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.
10
bersalah lantaran mengizinkan arbitrasi karena sejak itu dia menunjuk
seseorang menjadi hakim terhadap suatu masalah, padahal Allah adalah satu-
satunya hakim. Mereka juga menganggap ‘Ustman bersalah atas berbagai hal
yang mereka tentang terhadapnya.
2. Azariqoh
Sub-golongan ini adalah para pengikut Abu rasyid Nafi ibn Al-Azraq.
Mereka menyertainya dari Basrah ke Ahwaz, yang mereka taklukkan bersama
dengan kota-kotnya, begitu pun daerah-daerah Faris dan Kirman di luarnya.
Ini terjadi pada masa pemerintahan Abdullah ibn Al-Zubair, yang gubenur-
gubernurnya di daerah-daerah ini mereka bunuh.
Berikut adalah delapan bid’ah dari golongan Azariqah. Pada tempat
pertama Nafi menyatakan bahwa ‘Ali adalah seorang kafir. Dia mengatakann
bahwa Allah mewahyukan kepadanya. Kedua Nafi menanggapi orang-orang
yang tinggal dan tidak pergi ke medan perang sebagai orang-orang kafir dan
dialah yang pertama menyatakan secara terbuka pemisahan dirinya dari
mereka, meskipun mereka setuju dengan pendapat-pendapatnya. Semua orang
yang tidak bergabung dalam kelompoknya dia juga memandangnya sebagi
kafir. Ketiga, Dia membolehkan membunuh anak-anak dan kaum wanita dari
lawan- lawannya. Keempat , dia menghapuskan hukuman rajam bagi
pelacuran karena hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Dia juga
menghapuskan hukuman bagi fitnah yang dibebankan atas mereka yang
memfitnah wanita baik-baik. Kelima , dia memeperthankan bahwa anak-anak
orang musyrik akan berada di neraka bersama orang tua mereka. Keenam,
taqiyyah atau tindakan menyembunyikan keyakinan untuk meneyelamtkan
diri. Tidak dibenarkan hukum, baik dalam perkataan maupun dalam
perbuatan. Ketujuh Allah bisa saja mengutus seorang nabi dari orang yang ia
ketahui akan jatuh kekafiran setelah menjadi nabi, atau dia menjadi seorang
kafir sebelum menjadi nabi. Karena dosa besar maupun kecil adalah sama
pandangan-NYA dan menyatakannya kafir,
11
Kedelapan , semua orang Azariqoh berpendapat sama bahwa barang
siapa yang melakukan suatu dosa besar, ia adalah kafir dan berada diluar
golongan Islam. Orang semacam itu akan berada selamanya didalam neraka
bersama dengan orang-orang kafir. Pandangan ini mereka dukung melalui
contoh kekafiran iblis yang, kata mereka, hanya melakukan sebuah dosa besar
manakala dia diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, tetapi iblis
menolak, meskipun dia telah mengakui keesaan Allah.[11]
3. Najdah
Nama sekte ini berasal dari nama pemimpinnya, Najdah bin Amir al-
Hanafi. Sekte ini merupakan sempalan dari Azariqah karena mereka tidak
setuju dengan term musyrik yang diberikan kepada orang yang tidak
mengikuti paham Azariqah dan halal dibunuhnya perempuan dan anak-anak
orang islam yangn tak sepaham dengan mereka dengan alas an musyrik.
Diantara pandangan sekte Najdah ini adalah sebagai berikut:
a. Orang yang melakukan dosa besar menjadi kafir dan kekal didalam neraka,
namun apabila yang melakukan hal tersebut adalah pengikutnya akan
mendapat siksa tetapi tidak didalam neraka jahannam.
b. Bila melakukan disa kecil secara terus-menerus akan berkibat pada dosa
besar yang akhirnya menjadi musyrik, tetapi melakukan zina, minum
khamar yang dilakukan secara tidak terus menerus tidak termasuk musyrik
bila sepaham dengan mereka.
c. Manusia pada hakekatnya tidak membutuhkan imam.
d. Diperbolehkan taqiyah baik dalam perbuatan maupun perkataan.
Sub sekte ini juga mengatakan bahwa barang siapa yang
memperkenankan hukuman dari seorang tauhid yang melakukan kesalahan
dalam persoalan hukum, sebelum hukum menjadi benar-benar mantap, dia
adalah kafir.[12]
4. Baihasiyyah
Penganut aliran ini merupakan pengikut Abu Baihas Al-Alhaisham ibn
Jabir, yang berasal dari Bani Sa’d ibn Dhubaibah. Dia berpegang bahwa
12
keyakinan adalah sebuah pengetahuan yang baik terhadap semua yang benar
maupun yang salah. Lagi pula, ini merupakan pengetahuan dalam hati dan
bukan terdiri atas perkataan dan perbuatan. Sebuah kelompok dari Baihasiyah
disebut dengan ‘Awuiyyah, yang pada gilirannya terbagi pada dua sub-
cabang. Salah satunya mengatakan,”kami akan terlepas dari dari mereka yang
meninggalkan tenda tempat mereka hijrah dan kembali pada keadaan mereka
yang malas sebelumnya.”kedua sub cabang tersebut kedua sub cabang
tersebut berpegang pada pandangan bahwa apabila imam menjadi seorang
kafir maka semua pengikutnya menjadi kafir, bukan hanya orang-orang yang
sesungguhnya hidup bersama dengannya, melainkan juga mereka yang ada di
mana saja.[13]
5. Ajaridah
Adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad . Dia adalah pemimpin sekte
yang lebih lunak dari pada pemimpin sekte khawarij lainnya. Menurut
mereka, hijrah bukan merupakan kewajiban tetapi kebajikan sehingga
pengikutnya tinggal di luar kekuasaan mereka, tidak dianggap kafir.
Selanjutnya sekte ini terbagi atas beberapa sub sekte yang dibedakan
berdasarkan tiga pandangan penting:
a. Shilatiyah , kelompok ini memisahkan pandangannya dari sub sekte yang
lain dengan pernyataan bahwa seseorang tidak mewarisi dosa orang tuanya
dan seseorang tidak dapat dimusuhi sebelum menerima dakwah islam.
b. Maimuniyah berpendapat bahwa perbuatan manusia ditemtukan oleh
kehendak manusisa sendiri dengan potensi yang diberikan oleh Allah.
c. Asy-Syu’aibiyah dan al-Hamziyah. Kelompok ini bertentangan dengan
pendapat yang menyatakan bahwa Allahlah menentukan perbuatan
manusia.[14]
6. Tsa’alibah
Golongan Tsa’alibah merupakan para pengikut Tsa’alibah ibn ‘Amir,
yang secara dekat bergabung dengan ‘Abd Al-karim ibn ‘Ajrad hingga mereka
berbeda pendapat dalam persoalan anak-anak. Tsa’alabah mengatakan, “kami
13
akan berlepas dari anak-anak, baik yang lebih muda maupun yang lebih tua
hinnga kami mengamati apakah mereka menolak kebenaran dan mengakui
dan mengakui ketidak adilan atau tidak.” Oleh sebab itu, golongan Ajaridah
memisahkan diri darinya.[15]
7. Ibadhiyah
Sekte ini dipimpin oleh seorang yang moderat dan berpandangan luas
yang sangat dekat dekat dengan pandangan sunni yaitu Abdullah ibn Ibadh.
Sekte ini terdapat di Zanzibar, afrika utara, Omah dan Arab selatan, bahkan
firqh warisnya dipergunakan dimesir. Paham moderat kelompok ini dapat
dilihat dari ajaran-ajaran sebagai berikut:
a. Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmi dan bukan
pula musyrik, tetapi kafir. Dengan demikian boleh diadakan hubungan
perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima dan
membunuh mereka adalah haram.[16]
b. Daerah orang islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp
pemerintah merupakan dar al-Tauhid , daerah yang mengesakan Tuhan,
dan tak boleh diperangi.yang merupakan dar al-Kufr , yaitu yang harus
diperangi.[17]
c. Orang islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid ,yang mengesakan
Tuhan, tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-
ni’mah dan bukan kafir al-millah , yaitu kafir yang agama.[18]
d. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan
perak harus di kembalikan kepada yang punya.[19]
8. Sufriyah
Seke ini adalah pengikut Ziyad ibn al-Ashfar. Pandangan sekte ini
lebih lunak dengan dibandingkan dengan pandangan Azariqah, namun lebih
ekstrim dibanding dengan ajaran khawarij lainnya.
Menurut kelompok ini, orang yang melakukan dosa besar dikenakan
bad sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah, seperti pencuri, pezina,
dan
14
sebagainya. Sedangkan dosa pelaku dosa besar yang tidak ada badnya , maka
dia disebut kafir. Menurut sekte ini, syirik dibagi menjadi dua macam, yaitu
syirik kepada ketaatan terhadap syaitan dan syirik kepada penyembahan
berhala sebagaimana juga mereka membagi kafir pada kafir nikmat dan kafir
Tuhan.[20]
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
15
2. Mereka berpendapat bahwa mereka paham merekalah yang paling benar,
golongan islam lain tidak benar.
3. Mereka berpandangan bahwa orang-orang islam tersesat dan menjadi kafir itu
perlu di bawa kembali ke islam yang sebenarnya. Seperti yang mereka
pahami.
4. Mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri, karena tidak sepaham
dengan pemerintahan dan ulama , dan mereka menyebutnya sesat, maka
mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri.
5. Mereka bersikap fanatic dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan
kekerasan untuk mencapai tujuan mereka.
Itulah ciri-ciri khawarij. Dengan mengetahui cirri-ciri tersebut tentunya kita
bisa mengetahui kelompok islam yang bisa disebut sebagai khawarij abad dua
puluh ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Harun Nasution, tanpa harus
disebutkan namanya secara verbal dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul, Rosihan Anwar.2016.Ilmu Kalam.Bandung: CV Pustaka
Setia.
Ash shiddiqy Tengku Muhammad Hasbi, Penngantar Ilmu Fiqh, Semarang:
PT Pustaka Riski Putra, 1997.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemah special for women, Tugu
Bogor: syigma, 2007.
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam, (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996.
Nasution, Harun, Teologi islam Aliran-Aliran sejarah analisa
perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia 2007.
Nata, Abuddin, Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, Jakarta:
T.Raja Grahindo persada. 1994.
Syukur, Muhammad Asywadie, al milal wa al nihal allran-aliran teologi dalam sejarah
umat manusia, Surabaya: PT bina ilmu, 2003.
16
17
MAKALAH
ALIRAN MUR’JIAH
Dosen Pengampu:
Liza Wahyuninto, M.H
Disusun Oleh :
Jeksian Sahadi
BENGKULU SELATAN
1445 H/ 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha
Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan serta pengetahuan
sehingga makalah Ilmu Kalam ‘Aliran Murji’ah’
Kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan rekan-
rekan mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya tentang Aliran Murji’ah. Mudah-
mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa dengan mudah dipahami
oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami meminta maaf bilamana terdapat kesalahan
kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa kami juga berharap adanya masukan serta
kritikan yang membangun dari Anda demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
Penulis,
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................2
1.4 Sejarah Aliran Murji’ah...................................................................................................2
1.5 Doktrin-doktrin Murji’ah.................................................................................................3
1.6 Sekte-sekte dan Ajaran Dalam Aliran. Murji’ah..............................................................4
BAB III PENUTUP...............................................................................................................6
1.7 Kesimpulan......................................................................................................................6
1.8 Saran-saran.......................................................................................................................6
Daftar Pustaka........................................................................................................................7
3
BAB I
PENDAHULUAN
Problem ketauhidan muncul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661M )
dengan munculnya beberapa kelompok atau aliran karena perbedaan pendapat dalam masalah
tahkim antara Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur syam, pada waktu perang shiffin.
Salah satu aliran yang muncul adalah aliran murji’ah.
Melalui makalah ini penyusun berharap pembaca lebih mengenal tentang peradaban islam khususnya
pada kaum aliran murji’ah agar memperluas wawasan tentang ke-Islaman.
Melalui makalah ini, penyusun memaparkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
4
BAB II
PEMBAHASAN
Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni
memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat
Allah. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan
seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing
ke hari kiamat kelak.1
Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik sama halnya dengan kaum
Khawarij, tegasnya persoalan kholifah yang membawa perpecahan dikalangan umat
Islam setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Seperti telah dibahas, kaum Khawarij pada
mulanya adalah penyokong Ali tetapi kemudian menjadi musuhnya. Karena adanya
perlawanan ini, kelompok yang setia pada Ali bertambah keras dan kuat membelanya dan
merupakan satu golongan lain yang disebut Syi’ah. Akan tetapi mereka sama-sama
menentang kekuasaan Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berbeda.2
Dalam permusuhan inilah muncul satu aliran baru yang bersikap netral yang tidak
ikut dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi pada golongan tersebut. Bagi merekan
golongan yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak
keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa
yang salah dan benar dan lebih baik menunda penyelesaian hingga hari perhitungan di
depan Allah. Dengan demikian, kaum Murji’ah adalh kaum yang tidak ikut campur dalam
pertentangan tersebut dan mengambil sikap menyerahkan penentuan kafir atau tidaknya
orang-orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.
Ada beberapa teori tentang kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa
gagsan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat untuk menjamin persatuan
dan kesatuan umat Isam ketika terjadi pertikaian politik antara Khawarij dan Syi’ah.
Diperkirakan Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan Khawarij dan Syiah.
5
Teori lain mengatakan bahwa Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik
oleh cucu Ali, yaitu Al-Hasn bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Teori lain
menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan
tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok
Ali terpecah menjadi dua kubu, kubu yang pro dan kubu yang kontra. Kubu yang kontra
akhirya keluar dari Ali, yakni kaum Khawarij. Mereka berpendapat bahwa tahkim
merupakan dosa besar dan orang yang melaksanakanya termasuk orang yang kafir.
Pendapat ini ditentang oleh kaum Murj’ah.
Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau
nonblok. Adapun di bidang teologis doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika
menanggapi persolan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga
mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi,
pengampunan dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir di
kalangam generasi awal Islam, tobat, hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta
ketentuan Tuhan.3
Doktrin teologi Murji’ah menurut Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokok, yaitu :4
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang
terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakan (pentingnya) iman daripada amal.
4. Memperbaiki pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat Allah.
Sekte dalam aliran Murji’ah tidak jelas jumlahnya karena masing-masing ahli
memiliki pendapat masing-masing. Al-Baghdadi membagi mereka dalam tiga golongan ,
yaitu al- Murji’ah yang dipengaruhi ajaran-ajaran al-Qodariyah, al-Murji’ah yang yang
dipengaruhi ajaran-ajaran al-Jabariyah, dan al-Murji’ah yang tidak dipengaruhi keduanya.
Golongan ketiga ini terdiri dari lima sekte, yaitu al-Yunusiyah, al-Ghazaniyah,
alSaubaniyah, al- Tumaniyah, dan al-Murisiyah.
6
Al-Asy’ary membagi menjadi 12 golongan, sedangkan al-Syahrastani membagi
menjadi tiga sekte, yaitu al-Murji’ah al-Khawarij, al-Murji’ah al-Jabariyah, dan
alMurji’ah asli.4Aliaran murji’ah dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
golongan moderat dan golongan ekstrem
Al-Murji’ah moderat disebut juga al-Murji’ah al-Sunnah yang pada umum terdiri dari
para fuquha dan muhditsin.6 Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah
kafir dan tidak kekal dalam neraka, dia akan dihukuk dalam neraka sesuai dosa yang telah
diperbuatnya dan kemungkinan Allah bisa mengampuni dosanya. Dengan demikian,
Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan dan mengakui pentingnya
amal perbutan manusia, meskipun bukan bagian dari iman. Yang termasuk golongan
alMurji’ah moderat, di antaranya al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.5
1. Golongan al-Jahmiyah
Golongan ini merupakan para pengikut Jahm bin Safwan. Mereka berpendapat bahwa
orang Islam yang percaya kepada Tuhan tidak akan menjadi kafir menyatakan kekufuran
secara lisan karena iman dan kufur letaknya dalam hati bukan pada bagian lain dalam
tubuh manusia.
2. Golongan al-Sahiliyah
Golongan ini merupakan pengikut Abu Hasan al-Salahi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan
ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti
mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan
sekedar menggambarkan kepatuhan.
6 Ibid
7 Ibid. Hal. 22
7
3. Golongan al-Yunusiyah
Golongan ini merupakan pengikut Yunus bin Aun al-Numairi melontarkan penyataan
bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan – perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah
merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Mutaqil bin Sulaiman berpendapat
bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai
musyrik.
4. Golongan al-Ubaidiyah
5. Golongan al-Ghozaniyah
8
BAB III
PENUTUP
1.7. Kesimpulan
Kaum Murji’ah penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang terlibat dalam
pertentangan antara Ali dan Muawiyah kepada Allah kelak di hari akhir.
Kaum Murji’ah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Murji’ah Moderat dan
Murji’ah eksterm
1.8. Saran-saran
9
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI Press
Zamzam, Zainal Arifin. Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996),91.
10
MAKALAH
ALIRAN JABARIYAH
Disusun oleh
1445 H/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari
faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi
Muhammad saw. wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul
kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa
pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa
dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan
kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan
mengikut sertakan kelompok- kelompok mereka sebagai pemegang “predikat
kebenaran”.
Perpecahan semakin meruncing ketika pada masa pemerintahan Ali,
hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau kepemimpin.
Golongan Syi‟ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah
harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan
Mu‟tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak
menduduki kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum
Muslim yang cakap dan berkualitas.
Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh
pemberontak dari Mesir. Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan
mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Tidak berhenti sampai di
situ perdebatan semakin meluas tentang persoalan “dosa kecil” sampai pada
“dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”. Dan penentuan siapa yang
dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka di
akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka.
Yang kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini
adalah Aliran Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis dan
menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang. Dan untuk memfokuskan
bagi para pembaca, maka rumusan masalah yang akan menjadi pemaparan
penulis sebagai berikut;
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti
memaksa. Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan
perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut
kepada Allah swt.
Faham jabariyah ini diperkenalkan pertama kali oleh al-Ja‟id bin
Dirham di Damaskus yang kemudian disiarkan oleh muridnya Jahm bin
Safwan dari Khurasan. Oleh sebab itu, golongan ini disebut juga dengan
golongan Jahamiyah.1Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu.
Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia
sebagaimana dikatakan, Jahm bin Shafwan, terpaksa atas
perbuatanperbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak (iradah), dan
pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia,
sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati.2Dengan kata lain
perbuatan manusia sudah ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar
Tuhan. Sehingga posisi manusia dalam faham ini tidak memiliki kebebasan
dan inisiatif sendiri, tetapi terikat kehendak mutlak Tuhan. Dalam istilah
Inggris faham ini disebut fatalisme atau predistination, yaitu faham bahwa
perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan.
Maka doktrin aliran jabariyah ini menganut faham bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya,
tetapi perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
ُٓ ُُ َ ُ َُُ ّ ُ ُٓ أ ٓ َ و َماُ ت َ ش
ُلَُ ن ش ُ ُِا َُآ ه ء
ي َُآ َء و
ن
ًُ َ ك ُ ُ ِ ل َُيماً ُ َ ح ِكيما ُ ُ ُ ُ هال
ُ َُ َن ع َلج ُ ال
ُل ِا
ن
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha
bijaksana”. (QS. al-Insan: 30)
Sebenarnya ayat-ayat tersebut hanya akan menunjukkan kelemahan
terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam pengertian bahwa apabila hamba
mengetahui kelemahan iradah-Nya, maka ia akan tidak mau mengakui
kekuasaan Allah swt.
Menurut Syahrastani, aliran Jabariyah dalam menganalisa perbuatan
manusia terdapat dua pandangan yaitu:
1) Pandangan ekstrim yang disebut al-Jabariyah al-Khalish, yaitu jabariyah
yang tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun pada manusia,
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jahm bin Sofwan.
⁸Prof. Dr. H. Ris‟an Rusli, M.Ag.,2014.Teologi Islam,Prenadamedia Group, Jakarta. Hlm. 30-
Qur‟an itu diciptakan Allah, dan kalau ia di ciptakan berarti baru kalau ia
baru berarti bukan kalamullah.
Menurut al-gorobi, munculnya pemahaman ja‟ad tentang
kemakhlukan al-Qur‟an berkembang sebagai akibat dari pengingkarannya
terhadap sifat-sifat Tuhan. Ia mengemukakan alasan tersebut bahwa
alQur‟an itu baru dan Allah tidak bisa di sifati dengan sifat tersebut,
alQur‟an juga tidak mungkin qodim, karena tidak ada yang qodim selain
Allah.
c. Iman adalah makrifah, sedangkan kufur adalah al-jahluh. Oleh sebab itu
orang yahudi yang mengetahui sifat-sifat nabi juga mukmin.
d. Surga dan neraka adalah baru, ia akan rusak, karena tidak ada
sesuatupun yang kekal selain Allah, adanya ungkapan al-khulud di
dalam Al-Quran adalah hanya menggambarkan lamanya, bukan
kekalnya.
Paham Jaham Ibn Sofyan di atas berkembang di daerah Khurasan
dan sekitarnya, setelah ia mati terbunuh selanjutnya dikembangkan oleh
para pengikutnya di nahwan sampai dikalahkan oleh Abu Mansur
alMaturidi.
c. Orang asing yang bukan dari suku Quraisy boleh memegang imamah,
bahkan apabila suku Quraisy berkumpul dengan yang bukan qurais,
maka yang bukan Quraisy harus di dahulukan karena jumlah orang
yang bukan Quraisy lebih sedikit.
“Wahai Tuhan kami janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang
kami tidak sanggup”.(QS. Al-Baqarah:286).
“Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat”.(QS.
Shaffat:96).
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya sekiranya
9
Allah menghendaki”.(QS Al-An‟am:112).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti
memaksa. Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti
menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan
perbuatan tersebut kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono & Bashori. 2010. Studi Ilmu Tauhid/Kalam. Malang: UIN Maliki Press.
Nurdin, M. Amin. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.
Rusli, Ris‟an. 2014. Teologi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.
Yusuf, M. Yunan. Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Matdawam, M. Noor. 1995. Aqidah Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Lintasan
Sejarah Dinamika Budaya Manusia. Yogyakarta: Bina Karier.
Mahmud, Latief. 2006. Ilmu Kalam. Pamekasan: StainPress.
MAKALAH
Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
BENGKULU SELATAN
1445 H/2023
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini. Tanpa rahmat dan pertolongannya saya tidak akan mampu
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa sholawat serta salam tercurahkan kepada
Nabi agung Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak
Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehatnya, sehingga
makalah“ILMU KALAM TENTANG QADARIYAH “ dapat diselesaikan. Saya menyadari
bahwa makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Saya
terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah, baik terkait penulisan maupun konten, saya memohon maaf.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................4
BAB II............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN............................................................................................................................5
PENUTUP....................................................................................................................................10
A. Kesimpulan..............................................................................................................................10
B. Saran........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang
didakwahkan oleh Nabi Muhammad.Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak
jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini,
persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga
tema sentral dari ayat-ayat al- Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang
menyerukan kepada masalah keimanan.
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis yang
menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-riak perpecahan di
antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang
siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua
terbungkus dalam isu- isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan
keyakinan tentang tuhan dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok mereka sebagai
pemegang “predikat kebenaran”.
Ada beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan) dan saling
bertolak belakang. Kelompok ini muncul di akhir era para sahabat. Diantara kelompok tersebut
adalah Qadariyah. Pemikiran qadariyah ini bercorak liberal.
Munculnya corak pemikiran yang beragam dalam Islam disebabkan karena semakin luasnya
wilayah Islam ke Timur dan ke Barat. Umat Islam mulai bersentuhan dengan keyakinan dan
pemikiran dari ajaran-ajaran lain, terutama filsafat Yunani. Seperti diketahui wilayahwilayah
yang bergabung dengan Islam, terutama di bagian Barat adalah wilayah-wilayah yang pernah
diduduki oleh bangsa Romawi(Yunani).
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam makalah ini penulis
hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Qadariyah. Mencakup di dalamnya
adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.
B. RUMUSAN MASALAH
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian dan Asal-usul Qodariyah Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arabqadarayang
berarti kemampuan dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyaiqudrahatau kemampuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya
sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau
ketentuan Allah.3Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan namafree willdanfree act.
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya. Seseorang dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai kekuatan un- tuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal
dari pengertian bahwa manu- sia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang- orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan
sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada se- bagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan
ad- Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan
bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya.
5
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan
pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini
kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas
oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah
akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama
percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur
tangan tuhan.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan
yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat
dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan
pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib
yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan
Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum
yang dalam istilah al-Quran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang
mampu membawa barang dua ratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-Quran yang berbicara
dan mendukung paham itu, seperti berikut:
-Fush-Shilat : 40
-Ar-Ra’d :11
7
C. Asas-asas Paham Qadariyah
3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Karena ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka
menafikan sifat- sifat Ma’ani dari Allah Taala.
4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk, Ini disebabkan pengingkaran
mereka terhadap sifat Allah.
5. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah. Jadi menurut faham
Qadariyah, Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak
mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih).
7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana’), selepas
ahli syurga mengecap nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karena aliran tersebut
dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang termasuk
didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :
Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini
memadukan antara faham Khawarij dan Syi’ah.
Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah
dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak
meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun
bid’ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya
para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam
Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia
memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh
alHajjaj karena ia
8
memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik,
meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya
.
3. Ghailan Ad-Dimasyqi
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu
Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan
adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id
yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya
dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan
mazhabnya.
Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98
H. Dan juga dalam masalah ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah
irja. Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan
menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan
kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid’ah, yaitu
mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap
kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya. Ghailan ini akhirnya dihukum mati setelah
dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum oleh Hisyam
Abdul al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan
dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun
dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur,
Khalid berpidato seusai menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian,
semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin
Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan
Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara dan seterusnya”.
Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124
H.
9
Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak
kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi
pendahulunya serta menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta
1
0
kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini
banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi dengan
bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah irja’, bid’ah Jabariyah, bid’ah
Kalam, dan sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum mati pada tahun 128 H
Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin Shafwan. Mereka berdua meletakkan
dasardasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa
kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa
faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari
mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah
Washiliyah, ‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah,
Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qubbah,
Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir
pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang
mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan
kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang
mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan
penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun berapa banyak pun
jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung
dan bersumber pada tiga pemahaman.
1. Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan
qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka
berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukan-Nya, dan kami tidak mengharamkan apapun.
1
1
- Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan
sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan
ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama
Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan,
demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan
dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab arRisalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Sebagai kesimpulan dalam makalah ini kedua aliran baik Qadariyah ataupun jabariyah
memperlihatkan paham yang saling bertentangan. Meskipun mereka sama-sama berpegang
teguh pada Al-Quran’. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan
pendapat dalam islam.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam
makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini. Penulis
banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
10
kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
para pembaca
DAFTAR PUSTAKA
1. Sufyan Raji Abdullah. Mengenal aliran-aliran dalam islam dan cirri-ciri ajaranya.
Jakarta: Pustaka Riyadl. 2007
2. Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1996.
3. Abu Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup Muslim Aqidah. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 1990.
4. https://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/01/firqah-qadariyah-gen-firqoh-dan-
akarbidah/. Diakses pada tanggal 25 September 2015.
11
MAKALAH
Disusun Oleh
Tiara Monika
BENGKULU SELATAN
1445 H/2023
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan penulisan makalah...............................................................................1
BAB II SYI’AH
A. Pengertian Syi’ah.............................................................................................2
B. Latar Belakang Kemunculan Syi’ah…............................................................2
C. Doktrin, Ushuluddin dan Furu’uddin...............................................................4
D. Sekte dalam Syi’ah….....................................................................................8
E. Syi’ah dan Khilafah….....................................................................................9
BAB III ANALISIS............................................................................................................12
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…..................................................................................................13
B. Kritik dan Saran…...........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam
Islam. Keduanya adalah Ahlusunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa
dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain.
Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul
dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam.
Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa
yang berhak menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah
berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah meninggal dunia
adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus
dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya.
Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ahli. Ada yang mengatakan syiah muncul pada masa khalifah Utsman bin Affan,
ada juga yang mengatakan syiah muncul ketika peperangan siffin terjadi yang kemudian
terpecah menjadi dua kelompok salah satunya adalah yang mendukung khalifah Ali bin
Abi Thalib.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Syi’ah ?
2. Bagaimana Latar Belakang Kemunculan Syi’ah ?
3. Bagaimana Doktrin, Ushuluddin dan Furu’uddin ?
4. Bagaimana Sekte yang terdapat dalam Syi’ah ?
5. Bagaimana Syiah dan Khilafahnya ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syi’ah
Syiah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok,
sedangkan secara terminologi adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan
keagamannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut
sebagai ahlul bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang
bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Syiah untuk pertama kalinya ditunjuk pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin
pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut syi’ah
itu diantaranya adalah Abu dzar Al-Ghiffari, Miqad bin al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan
masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali
bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi.1
Kelompok syi’ah yang minoritas menganggap bahwa peran ini harus tetap dipegang
oleh keluarga Nabi dan karenanya mendukung Ali bin Abi Thalib. Jabatan kepemimpinan Ali
ini dianggap mereka atas dasar penunjukan (ta’yin) dan wasiat (nash). Mereka yang
mendukung Ali inilah yang disebut golongan Syi’ah.2
1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 89-90.
2
2
Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2014), 176.
3
Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap
Ali disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut Khawarij.
Berbeda dengan pandangan di atas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan
Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka
menolak kekhalifahan Abu Bakar Umar bin Khaththab dan Utsman bin ‘Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi. Ketokohan Ali
dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad diperintahkan
menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama - tama menerima adalah Ali bin
Abi Thalib. Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang pertama - tama memenuhi
ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu sepanjang kenabian Muhammad,
Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan
bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di padang
pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan
massa yang penuh sesak menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan
Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ammali), tetapi juga menjadikan All
sebagaimana Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka.
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masih terbaring
belum dikuburkan, anggota keluarganya dan orang sahabat sibuk dengan persiapan
penguburan dan pemakamannya. Teman-teman dan pengikut - pengikut Ali mendengar kabar
adanya kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid tempat umat berkumpul menghadapi
hilangnya pemimpin yang tiba – tiba. Kelompok ini kemudian menjadi mayoritas, bertindak
lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih kaum muslim dengan maksud menjaga
kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu
tanpa berunding dengan ahl al – bait. Keluarganya ataupun sahabat – sahabatnya yang sedang
sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan
demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu keadaan yang sudah tidak dapat berubah
lagi (faith accompli).3
Berdasarkan realitas itulah, demikian pandangan kaum syiah kemudian muncul sikap
dikalangan sebagian kaum muslim yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum
mayoritas dalam masalah kepercayaan – kepercayaan tertentu. Mereka tetap
berpendapat bahwa
4
3
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 113.
5
pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa
semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat
untuk mengikutinya, Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Akan tetapi, lebih dari itu
seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa
kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sehingga harus diwujudkan.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenal kalangan Syi’ah merupakan
sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam
yang mulai mencolok pada masa pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah
Perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis yang mereka terima dan ahl
al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu mulal ketika Nabi Muhammad SAW wafat dan
kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Setelah itu, terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada
masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-Rasyidin, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak
ke permukaan mengajarkan dan menyebarkan doktrin - doktrin Syi’ah kepada masyarakat.
Tampaknya, Syi’ah sebagai salah satu faksi politik Islam yang bergerak secara terang -
terangan, muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai
doktrin yang diajarkan secara diam - diam oleh ahl al-bait muncul setelah wafatnya Nabi.
4
Ibid., hlm. 116
4
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak
pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan
kezaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan,
sementara Tuhan adalah Mahatahu dan Mahakuasa. Segala macam keburukan dan
ketidakmampuan adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.
c) Nubuwwah (appostleship)
Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga masih
membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul
merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus memberikan
acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam
keyakinan Syi’ah ltsna ‘Asyariah Tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk
memberikan petunjuk kepada manusia.
d) Ma’ad (the last day)
Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadapi pengadilan Tuhan di akhirat,
setiap muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan
bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan
dunia menuju kehidupan akhirat.
e) Imamah (the devine guidance)
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk
manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat
mahdhah, Syi’ah ltsna ‘Asyariah berpijak pada delapan cabang agama yang disebut
dengan furu’ ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat,
khumus atau pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, aI-amr bi aI-ma’ruf, dan
an-nahyu ‘an al-munkar.
2. Doktrin Imamah dalam Pandangan Syi’ah Sabi’ah
Para pengikut Syi’ah Sab’iah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti
dijelaskan dalam Al - Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut
adalah:5
a. iman,
b. taharah,
c. shalat,
5
Ibid., hlm. 119
5
d. zakat,
e. saum,
f. menunaikan haji,
g. jihad.
Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M)
memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman
kepada hari pengadilan; iman kepada para nabi dan rasul; imam kepada imam, percaya,
mengetahui, dan membenarkan imam zaman.
Imam adalah penunjukan melalui wasiat. Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan
Syi’ah Sab’iah adalah sebagai berikut:
a. Imam harus dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian
dikenal dengan Ahlul Bait.
b. Berbeda dengan aliran Kaisaniah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi, mempropagandakan
bahwa keimaman harus dan keturunan Ali melalui pernikahannya dengan seorang
wanita dan Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-
Hanafiyah.
c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash. Syi’ah Sab’iah meyakini bahwa setelah
Nabi wafat,’Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi
sebelum wafat. Suksesi keimaman menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus
berdasarkan nash oleh imam terdahulu.
d. Keimaman jatuh pada anak tertua. Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam
memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity) dan seharusnya merupakan
anak paling tua. Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.
e. Imam harus maksum (immunity from sin a error).41 Sebagaimana sekte Syi’ah Iainnya,
Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dan salah satu dosa.
Bahkan lebih dan itu, Syi’ah Sab’iah berpendapat bahwa jika imam melakukan
perbuatan salah, perbuatan itu tidak salah.
3. Doktrin imamah menurut Syi’ah Zaidiah
lmamah sebagaimana telah disebutkan merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah
secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah
Zaidiah rnengembangkan doktrin imamah yang tipikal. 6 Kaum Zaidiah menolak pandangan
yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad
6
Ibid., hlm. 123
6
SAW. telah
7
ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya dtentukan sifat-sifatnya. Ini jelas
berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW telah
menunjuk Ali sebagai orang yang pantas sebagai imam setelah Nabi wafat karena sifat-sifat
itu tidak dirniliki oleh orang lain, selain Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani Hasyim,
wara (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat
untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.
Selanjutnya, menurut Zaidiah, seorang imam harus memiliki ciri- ciri berikut. Pertama,
merupakan keturunan ahl al-bait, baik yang bergaris Hasan maupun Husein. Hal ini
mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nash kepemimpinan. Kedua,
memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau
menyerang. Atas dasar ini mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu ciri sekte
Syi’ah lainnya, baik yang gaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka, pemimpin
yang menegakkan kebenaran dari keadilan adalah Mahdi. Ketiga, kecenderungan
intelektualisme yang dibuktikan dengan ide dan karya dalam bidang keagamaan. Keempat,
mereka menolak kemaksuman imam. Dalam kaitan ini, mereka mengembangkan doktrin
imamat al - mafdul. Artinya, seseorang dapat dipilih menjadi imam meskipun mafdhul (bukan
yang terbaik), sementara pada saat yang sama ada yang afdhal.7
4. Doktrin - doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh,
bada’, raj’ah, dan tasbih. Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan ghayba.
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain.
Paham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh
disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan
cara berpindah dari satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat
menerapkan paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti
Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam
kemudian kepada imam-imam secara turun-temurun.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan
perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang
sebaliknya.
7
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-syiah-zaidiyah_7.html, diakses pada tanggal 19
Februari 2017 pukul 22:00 WIB.
6
Ibid., hlm. 123
6
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat memercayai bahwa Imam
Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Paham raj’ah dan mahdiyah merupakan ajaran
seluruh Syi’ah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali.
Sebagian menyatakan bahwa yang akan kembali adalah Ali, sedangkan sebagian lainnya
menyatakan Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad bin Al-Hanafiah, bahkan ada yang mengatakan
Mukhtar Ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih
diambil dari paham hululiyah dan tanasukh dengan khalik.
Hulul artinya Tuhan berada di setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri
imam sehingga imam harus disembah.
Ghayba (occultation) artinya menghilangnya lmam Mahdi. Ghayba merupakan
kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh
mata biasa. Konsep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi tahun 66
H/686 M di Kufah ketika mempropagandakan Muhammad bin Hanafiah sebagai Imam
Mahdi.
9
dan Husen
8
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 93.
8
bin Ali sebagaimana yang disepakati Bagi Syi’ah ltsna ‘Asyariah, Al - Ausiya yang di
utuskan setelah Husen adalah Ali Zainal Abidin, kemudian secara berturut-turut;
Muhammad Al-Baqir (w. 115 H/733 M), Abdullah Ja’far Ash-Shadiq (w. 148 H/765
M), Musa Al - Kazhim (w. 183 H/799 M), Ali Ar - Rida (w. 183 H/799 M),
Muhammad Al
- Jawwad (w. 220 H/835 M), Ali Al - Hadi (w. 254 H/874 M), Hasan Al-Askari dan
terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas. Karena pengikut
sekte Syi’ah telah berbai’at di bawah irnamah dua belas imam, mereka dikenal dengan
sebutan Syi’ah ltsna ‘Asyariah (ltsna ‘Asyariyah).
2. Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)
Istilah Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh) dianalogikan dengan Syi’ah Itsna
Asy’ariyah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah Sab’iyah hanya
mengakui tujuh imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-
Baqir, Ja’far Ash-Shadiq dan Ismail bin Ja’far.
3. Syi’ah Zaidiyah
Disebut Zaidiyah kerena sekte inimengakui zaid bin Ali sebagai imam kelima,
putra imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte syi’ah lain
yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai imam
kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah di ambil. Syi’ah Zaidiyah
merupakan sekte syi’ah yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini
merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.
4. Syi’ah Ghulat
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan naik.
Syi’ah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap yang berlebih
lebihan atau ekstrim. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa syi’ah ekstrim
(ghulat) adalah kelompo yan menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang
mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari pada Muhammad.9
9
(khalifah) sesudah
8
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 93.
8
beliau wafat nantidan demikian pula tidak memberikan petunjuk pedoman-pedoman cara
pemilihan khalifah. Hal ini tentunya diserahkan pada umat, sesuai dengan keadaan dan tempat.
Memang Nabi Muhammad SAW itu menyuruh sahabat Abu Bakar menjadi imam
shalat pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian pula Nabi Muhammad
SAW pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk menjaga rumahnya ketika beliau
pergi berperang. Namun demikan, beliau tidak pernah menyebut-nyebut penggantinya.
Ketika beliau wafat, pada saat itu juga sahabat-sahabat terkemuka dari kalangan
Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah, suatu balai pertemuan untuk
bermusyawarah tentang khalifah.
Golongan Anshar menghendaki Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah. Usul tersebut tidak
dapat diterima oleh golongan Muhajirin, maka terjadilah perdebatan-perdebatan sehingga
hamper saja menimbulkan perpecahan. Sedangkan golongan Muhajirin mencalonkan Abu
Bakar as-Shiddiq. Sayyidina Ali sendiri waktu itu tidak hadir dibalai Saqifah Bani Sa’idah,
karena sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW yang belum dimakamkan. Waktu itu tidak
ada pihak yang menyebut Sayyidina Ali sebagai calon khalifah. Untuk mengakhiri
perdebatan, maka sahabat Umar bin Khattab tampil membaiat Abu Bakar as-Shiddiq sebagai
khalifah pertama.10
Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq memerintah selama 2 tahun 3 bulan 10 hari (11-13
H/632-634 M). Beliau meninggal pada 13 Hijriyah. Ketika beliau mulai sakit-sakitan,
mengusulkan Sayyidina Umar bin Khattab sebagai calon khalifah kedua. Usul tersebut
disetujui oleh para sahabat termasuk Sayyidina Ali.
Sayyidina Umar bin Khattab berkuasa selama 10 tahun 6 bulan (13-23 H/632-644 M).
Beliau meninggal pada 16 Dzul Qa’dah dibunuh oleh Abu Lu’lu, seorang sahaya dari Persia,
yang dendam melihat kerajaan Persia ditaklukan (16 H/636 M). sebelum wafat beliau telah
menunjuk sebuah panitia untuk memilih khalifah penggantinya, terdiri dari Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash,
Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar. Sayyidina Umar
berpesan agar panitia ini nanti memilih khalifah dan jangan memilih Abdullah bin Umar
putranya sendiri.
Panitia akhirnya memilih Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Beliau
memerintah selama 13 tahun kurang sehari (23-35 H/644-656 M). Beliau meninggal dibunuh
para pemberontak dari negeri yang terkena hasutan Abdullah bin Saba.
10
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), 74-76.
10
Kaum Muslimin yang tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat Sayyidina Ali
menjadi Khalifah keempat. Akan tetapi orang-orang Syi’ah menganggap Sayyidina Ali itu
sebagai khalifah pertama, karena mereka tidak mengakui khalifah-khalifah sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Sayyidina Ali ini timbul hal-hal yang mengecewakan
masyarakat sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan:
1. Golongan Syi’ah sendiri dan sebagian jumhur yang menyokong dan mengangkat
Sayyidina Ali sebagai khalifah.
2. Golongan yang menuntut bela kematian Sayyidina Utsman, dipelopori oleh Muawiyah
bin Abi Sufyan, Gubernur Syria yang diangkat pada masa khalifah Utsman. Muawiyah
tiidak mau mengakui khalifah Ali karena diangkat oleh kaum pemberontak dan
menuduhnya sebagai orang yang terlibat dan harus bertanggung jawab atas
terbunuhnya khalifah Utsman. Di samping itu, Muawiyah diangkat oleh pendukungnya
sebagai khalifah pengganti khalifah Utsman, berkedudukan di Syria (Damaskus).
Dengan demikian, ada dua khalifah dalam pemerintahan Islam pada waktu itu, yaitu
Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3. Golongan yang dipimpin oleh Siti Aisyah ra. dan diikuti oleh Thalhah bin Ubaidillah
dan Zubair bin Awwam, tidak mengakui khalifah Ali, karena baiatnya secara paksa.
Thalhah dan Zubair memang membaiatnya secara terpaksa, karena pedang terhunus
diatas kepala mereka.
4. Golongan yang dipimpin oleh Abdullah bin Umar, di dukung oleh Muhammad bin
Salamah, Utsman bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqas, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin
Salam. Golongan ini bersikap pasif, tidak ikut mengangkat khalifah Ali, tidak ikut
menyalahkannya dalam peristiwa pembunuhan terhadap khalifah Utsman dan juga
tidak ikut menyokong Mu’awiyah yang menyatakan diri sebagai khalifah di Syria.
Mereka ini tidak ingin terlibat masalah-masalah politik.11
11
Ibid., hlm. 76-78
11
BAB III
ANALISIS
Pada dasarnya golongan syi’ah adalah golongan pendukung kepemimpinan Ali bin
Abi Thalib. Mereka beranggapan bahwa yang berhak menjadi pengganti Rasulullah setelah
wafat adalah Ali bin Abi Thalib hal ini dilihat bahwa Ali merupakan keluarga dekat
Rasulullah yang termasuk Ahlu Bait. Serta Ali merupakan orang yang mempunyai
pengabdian besar terhadap Rasulullah, oleh karena itu syi’ah menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan karena bukan dari Ahlu Bait. Kelompok
Syi’ah ini terpecah lagi menjadi beberapa sekte-sekte yaitu Itsna Asyariyah, Sabi’iyah,
Zaidiah, dan Syi’ah Ghulat. Perpecahan itu disebabkan karena satu masalah yaitu tentang
imamah. Mereka berpendapat bahwa pengganti Nabi yang pantas menjadi pemimpin adalah
seseorang yang ma’shum (terhindar dari dosa). Bahkan dalam sekte yang ekstrim yaitu Syi’ah
Ghulat, mereka telah menuhankan Ali. Mereka menganggap bahwa Ali lebih tinggi daripada
Nabi Muhammad SAW. Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam
mengembangkan rasa kepersaudaraan dan toleransi beragama sebagaimana sabda Nabi
sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh semuanya bersaudara yang diikat oleh tali
Tauhid pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah Tuhan yang satu yang tidak beranak dan
tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk penafsiran serta sifat apapun. Karenanya
kecenderungan untuk menghakimi pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami
apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam
yang disampaikan oleh Allah melalui nabi- Nya. Oleh karena itu dengan belajar aliran ini kita
bisa mengetahui seluk beluk dari ajaran Syi’ah. Selain itu kita juga bisa mengambil
kekurangan dan kelebihan dari aliran Syi’ah agar kita menjadi pemuda yang cerdas dan
berkulitas serta berada dijalan yang benar yaitu jalan Allah SWT beserta Rasulnya Nabi
Muhammad SAW.
12
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa syiah dilihat dari bahasa berarti
pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah syiah mulai muncul
ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan, Watt menyatakan
bahwa syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
dengan Perang Shiffin sedangkan kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan
syi’ah berkaitan dengan masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan
mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak mengantikan Nabi SAW. Mereka yang
mendukung Ali inilah yang disebut dengan golongan Syi’ah.
Bagi kaum syi’ah, bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa
tentang Ghadir Khum. Di dalam Syiah sendiri juga terdapat banyak perbedaan antara kaum
syiah, dan hasilnya ialah timbul beberapa sekte-sekte dalam syiah yang berbeda antara
ajaranya. Di antara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan
Ghullat.
Kaum Muslimin yang tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat Sayyidina Ali
menjadi Khalifah keempat. Akan tetapi orang-orang Syi’ah menganggap Sayyidina Ali itu
sebagai khalifah pertama, karena mereka tidak mengakui khalifah-khalifah sebelumnya.
B. Saran
kami menyarankan bagi pembaca untuk membaca referensi terkait dengan syi’ah lebih
banyak lagi agar dapat mengetahui seluk beluk dari ajaran Syi’ah itu sendiri sehingga kita
tidak menyimpang dari ajaran islam. Berbagai aqidah yang diajarkan oleh kaum syi’ah sudah
semestinya kita dapat membedakan antara ajaran Islam yang sesungguhnya sesuai dengan
firman Allah dalam Al-Qur’an dan hadits.
13
DAFTAR PUSTAKA
Nasir A, Salihun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. Nurdin, Amin & Afifi Fauzi Abbas. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta:
AMZAH. Rozak, Abdul & Harun Nasution. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rozak, Abdul & Harun Nasution. 2012. Ilmu Kalam ‘Edisi Revisi’. Bandung: CV Pustaka
Setia.
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-syiah-zaidiyah_7.html,
diakses pada tanggal 19 Februari 2017 pukul 22:00 WIB.
14
MAKALAH
ALIRAN MU’TAZILAH
disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu kalam
1445 H / 2023 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk
para pembaca. Saya yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan...............................................................................................................10
B. Kritik dan saran.........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terjadinya perpecahan mulai dari munculnya aliran-alirann yang menipu dan mengelabui
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang
benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk ke pemikiran
kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang
telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.
Akibat dari hal itu munculah bid‟ah-bid‟ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin
sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka, bahkan dalam kelompok ini terdapat
halhal yang sangat berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena itu
saya akan sedikit membahas tentang Pemikiran Teologi Mu‟tazilah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
Sebutan Mu‟tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata i‟tazala, yang berarti
mengasingkan (memisahkan) diri. Menurut teori ini, sebutan Mu‟tazilah, yang diciptakan oleh
orang yang tidak sefaham dengan doktrin teologis mereka, diberikan atas dasar ucapan Hasan
alBashri, setelah dia menyaksikan Washil bin Atha‟ melakukan pemisahan diri dari
kelompoknya. Hasan al-Bashri diriwayatkan memberikan komentar sebagai berikut: i‟tazala
„anna (dia Washil bin Atha‟ mengasingkan atau memisahkan diri dari kita). Orang-orang yang
mengasingkan diri itulah yang kemudian disebut Mu‟tazilah, dan sejak peristiwa itu pula sebutan
Mu‟tazilah mulai dipergunakan dan dipopulerkan. Tindakan mengasingkan diri di sini bisa
bermakna ganda, memisahkan diri dalam artian dari forum (majlis) Hasan al-Bashri, atau
mengasingkan diri dari pandangan umum yang berkembang pada saat itu yakni Khawarij yang
menjustifikasi Muslim pelaku dosa besar sebagai kafir dan Murji‟ah yang tetap mengapresiasi
Muslim pelaku dosa besar sebagai tetap menjadi orang mukmin.
Ada beberapa pendapat mengenai latar belakang munculnya aliran Mu'tazilah ini, diantaranya
sebagai berikut :
Menurut As-Syahrastani, kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa yang terjadi antara Wasil
bin Atha‟ bersama temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan Basri di Basrah. Wasil selalu aktif
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Hasan Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari
salah seorang yang mengikuti pengajian bertanya kepada Hasan Basri tentang kedudukan orang
yang berbuat dosa besar. Mengenai orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij memandang
mereka itu kafir, sedangkan kaum Murji‟ah memandang mereka tetap mukmin. Sementara
Hasan Basri sedang berfikir, Wasil bin Atha mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang
melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin. Setelah itu ia berdiri menjauhkan
diri dari Hasan Basri lantaran mereka tak sependapat dengannya, lalu pergi ke tempat lain.
Di sana ia membentuk pengajian sendiri dan mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini, Hasan
Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i‟tazala‟anna). Kemudian mereka disebut
Mu'tazilah, artinya orang yang menjauhkan diri.
Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun sebelum terjadinya
perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid Basrah. Golongan yang
disebut Mu'tazilah pada waktu itu adalah mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam
pertikaian sepeninggal khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai yaitu Thalhah
dan Zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali dengan
Mua‟wiyah. Perselisihan itu muncul karena pembunuhan atas diri khalifah Utsman bin Affan,
dan karena pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu
bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam Islam persoalan hidup sosial,
ekonomi, politik, dan sebagainya bercorak agama. Golongan yang tidak ikut pertikaian itu
mengatakan, “Kebenaran tidak mesti ada pada salah satu pihak yang bertikai, melainkan kedua-
duanya bisa salah, sekurang kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya
memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. Kalau keduanya golongan
menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (i‟tazalna).Golongan yang menjauhkan diri ini
memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut-kan bahwa
sewaktu Qais Ibn Sa‟ad sampai di Mesir sebagai Gubernur pada zaman khalifah Ali bi Abi
Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya, dan satu golongan lagi
melarikan diri ke Kharbita (i‟tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya yang ia kirimkan kepada
khalifah, Qais menamai mereka Mu‟tazilin. Kalau al-Tabari menyebut nama Mu‟tazilin, Abu al-
Fida menyebutnya Mu’tazilah.
Adalah teolog dan filsuf muslim terkemuka pada zaman dinasti Bani Umayyah. Pada mulanya ia
belajar pada Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyah. Selanjutnya,
ia banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekkah dan mengenal ajaran Syi„ah di Madinah. Ia
kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashri. Pengikut
madzhab ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal. Sedangkan
wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan
antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan adalah ketetapan akal.
Adapaun ketentuan wahyu kemudian dita'wilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan
ketetapan akal, atas dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran Mu'tazilah
merupakan lahirnya aliran rasionalisme di dalam Islam. Dialah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Muktazilah yang saat ini dikenal dengan 5 ajaran pokok tersebut.
Al-Allaf (135 – 235) H). Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu AlHuzail Al-
Allaf. Disebut Al-Allaf karena ia tinggal di kampung penjual makanan binatang (allaf = makanan
binatang). Ia sebagai pemimpin Mu'tazilah yang kedua di Basrah. Ia banyak mempelajari filsafat
Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat memudahkan baginya untuk menyusun dasar-dasar
ajaran Mu'tazilah secara teratur. Pengetahuannya tentang logika, membuat ia menjadi ahli debat.
Lawan-lawannya dari golongan zindiq (orang yang pura-pura masuk Islam), dari kalangan
Majusi, zoroaster, dan ateis tak mampu membantah argumentasinya. Menurut riwayat, 3000
orang masuk Islam di tangannya. Puncak kebesarannya dicapai pada masa khalifah Al-Ma‟mun,
karena khalifah ini pernah menjadi muridnya.
Nama sebenarnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham. Ia adalah murid Abul
Huzail Al-Allaf. Ia juga bergaul dengan para filosof. Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran
Mu'tazilah lainnya. An-Nazzham memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang
metode keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang merupakan cikal bakal
renaissance (pembaharuan) Eropa.
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahhab Al-Jubba‟i. Sebutan alJubba‟i
diambil dari mana tempat kelahirannya, yaitu satu tempat bernama Jubba, di propinsi Chuzestan-
Iran. Al-Jubbai‟ adalah guru imam Al-Asyari, tokoh utama dalam aliran Asy`ariyah. Ketika al-
Asy'ari keluar dari barisan Mu'tazilah dan menyerang pendapatnya, ia membalas serangan Al-
Asy‟ari tersebut. Pikiran-pikirannya tentang tafsiran Al-Qur‟an banyak diambil oleh Az-
Zamakhsyari. Al-Jubba‟i dan anaknya yaitu Abu Hasyim Aljubbai mencerminkan akhir kejayaan
aliran mu'tazilah.
5. Al- Jahiz
Al-Jahiz, dalam tulisan-tulisannya dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum
alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri,
malainkan ada pengaruh hukum alam.
Mu„ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang
kepercayaan pada hukum alam sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan
hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-arad atau accidents (sesuatu yang datang
pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke
dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari
batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu„tamir
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggung-jawaban perbuatan manusia. Anak kecil
baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum
mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena
pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani, ia menuduh kafir semua
orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat
Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
Hisyam bin Amr al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah
ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan
neraka.
Ada lima pokok ajaran (Al-Ushul Al-Khomsah) yang menjadi prinsip utama aliran Mu'tazilah.
Kelima ajaran pokok tersebut adalah :
Ajaran dasar yang terpenting bagi kaum Mu'tazilah adalah At-Tauhid atau KeMahaesaan Allah.
Bagi mereka, Allah baru dapat dikatakan Maha Esa jika Ia merupakan Zat yang unik, tiada ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu kaum Mu'tazilah menolak paham
Anthropomerphisme, yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya.
Mereka juga menolak paham Beautific Vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh
manusia. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah
sifat qadim. Paham ini mendorong kaum Mu'tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar Dzat Tuhan. Menurut paham ini tidak berarti Tuhan tidak
diberi sifat-sifat. Tuhan bagi kaum Mu'tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup,
Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya, tetapi itu tidak dapat dipisahkan dari Dzat
Tuhan, dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi Dzat Tuhan. Adapun yang dimaksud
kaum Mu'tazilah dengan pemisahan sifat-sifat Tuhan adalah sebagaimana pendapat golongan
lain yang memandang bahwa sifat-sifat Tuhan sebagian esensi Tuhan dan sebagian lain sebagai
perbuatan-perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu'tazilah paham ini mereka munculkan karena
keinginan untuk memelihara kemurnian ke-Mahaesaan tuhan.
Ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan Tuhan. Kaum Mu'tazilah
yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan akan menjatuhkan siksa kepada manusia
di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan tidak dikatakan adil jika Ia tidak memberikan pahala
kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan
menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik
diberi hadiah berupa surga sebagaimana dijanjikan Tuhan. Pendirian ini bertentangan dengan
kaum Murji‟ah, yang berpendapat bahwa kemaksiatan tidak mempengaruhi iman dan tak
mempunyai kaitan dengan pembalasan. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan
tidak akan ada artinya. Hal yang demikian mustahil bagi Tuhan. Karena itu kaum Mu'tazilah
mengingkari adanya syafa‟at (pengampunan) pada hari kiamat, karena syafa‟at menurut mereka
berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.
Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan Tuhan. Pembuat dosa bukanlah
kafir, karena mereka masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi mereka bukan pula
mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, para pembuat dosa
besar tidak dapat masuk surga dan tidak masuk neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil
mereka ditempatkan di antara surga dan neraka. Akan tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat
selain surga dan neraka, maka mereka harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini.
Penempatan ini bagi kaum Mu'tazilah berkaitan dengan paham Mu'tazilah tentang iman. Iman
bagi mereka bukan hanya pengakuan dan ucapan, tetapi juga perbuatan. Dengan demikian
pembuat dosa besar tidak beriman, tidak pula kafir seperti disebut terdahulu. Berawal dari jalan
tengah yang diambil untuk menentukan posisi orang yang melakukan dosa besar, kemudian
berlaku juga dalam bidang lain. Berdasarkan sumber-sumber keislaman dan filsafat Yunani,
kaum Mu'tazilah lebih memperdalam pemikirannya mengenai jalan tengah tersebut, sehingga
menjadi prinsip dalam lapangan berfikir (ratio). Prinsip jalan tengah ini nampak jelas dalam
usaha mereka untuk mempertemukan agama dengan filsafat.
* Kelima: Amar Ma‟ruf Nahi Munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk)
Mengenai hal ini kaum Mu'tazilah berpendapat sama dengan pendapat golongangolongan umat
Islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan hanya pada segi pelaksanaannya, apakah seruan untuk
berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.
Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk sebaiknya
dilakukan dengan lemah lembut. Akan tetapi sewaktu-waktu, jika perlu dengan kekerasan.
Dalam sejarah, mereka menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi
kaum Mu'tazilah, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus
diluruskan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Aliran Mu'tazilah muncul kira-kira pada permulaan abad pertama Hijriah di kota
Basrah (Irak).
2. Kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa Wasil dengan Hasan Basri mengenai kedudukan
orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir Wasil menjauhkan diri dari tempat
Hasan Basri. Menurut Pendapat Al-Mas‟udi bahwa ke-mu‟tazilahan itu mula-mula
muncul merupakan sifat dari orang yang berbuat dosa besar (jauh dari golongan
mukmin dan kafir), yang kemudian sifat atau nama itu diberikan kepada golongan yang
berpendapat demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah muncul
di sekitar pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah. Golongan yang
tidak ikut bertikai mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng
dan harus dijauhi (i‟tazalna)
3. Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah antara lain: Wasil bin Atha, Abu Huzail bin Huzail Al-
Allaf, Bisyir bin Al-Mu‟tamar, Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham, Abu Ali
Muhammad bin Ali Jubba‟i, Abu Husein Al-Khayyat, Al-Qadhi Abd al-Jabbar, dan
Jarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyari.
4. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu'tazilah adalah: At-Tauhid (Ke-Mahaesaan Tuhan), Al-Adl
(Keadilan), Al-Wa‟d wal Wa‟id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain
(Posisi diantara dua posisi), dan Amar ma‟ruf Nahi Munkar (Menyuruh Berbuat Baik
dan melarang berbuat jahat.
5. Aliran Mu'tazilah dalam pendapatnya berpegang kuat pada akal pikiran (rasio). Oleh
sebab itu mereka hanya mau menerima dalil naqli yang sesuai dengan dalil-dalil akal
pikiran.
6. Aliran ini mencapai puncak kejayaannya pada masa khalifah Al-Ma‟mun dan mulai
menurun pada masa khalifah Al-Mutawakkil.
B. Saran
Demikianlah makalah yang saya buat, menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, kedepannya penulisan akan lebih fokus dan lebih detail lagi. Semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca. Untuk kritik dan saran yang bersifat membangun bisa langsung
disampaikan.
Apabila terdapat kesalahan saya mohon dimaafkan dan dimaklumi. Karena saya adalah hamba Allah yang
tak luput dari salah dan khilaf.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Hasan Basri, M.Ag, Drs. Murid Yahya, M.Pd, Yedi Priatna, M.Ag. 2006. ILMU KALAM
sejarah dan pokok pikiran aliran-alirann. Bandung: Azhia Pustaka Utama. Dr. H.
Jamaluddin, M.Us, Dr. Shabri Shaleh, M.Pd.I. 2020. ILMU KALAM khazanah
intelektual pemikiran dalam Islam. Riau: PT. Indragiri.com.
Dr. Muniron, M.Ag. 2014. ILMU KALAM sejarah, metode, ajaran dan analisis perbandingan.
Jember: Pustaka Pelajar.