Anda di halaman 1dari 72

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Umum Penelitian

a. Kondisi Transportasi Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten/kota di

provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berstatus sebagai

ibukota provinsi. Luas wilayah Kota Yogyakarta adalah 3.250 Ha

atau 32,50 Km2 (1,02% dari luas wilayah Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta) dengan jarak terjauh dari utara ke selatan

kurang lebih 7,50 km dan dari barat ke timur kurang lebih 5,60

Km. Dengan luas yang sempit, Kota Yogyakarta yang berstatus

sebagai ibukota provinsi menjadi daerah yang padat mobilitasnya.

Panjang jalan terpanjang di Kota Yogyakarta adalah jalan non

kelas yaitu 174,8 km2 yang merupakan jalan lingkungan dan jalan

permukiman. Peningkatan kuantitas moda angkutan memerlukan

pemeliharaan jalan secara berkala yang dilakukan terus menerus,

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel kelas jalan berikut.

52
53

Tabel 3. Data Panjang Jalan Menurut Kelas Jalan Kota Yogyakarta


Tahun 2007-2011
No Uraian Jalan Kota

Kelas Jalan 2007 2008 2009 2010 2011

1 Kelas I 16,8 16,8 16,8 16,8 16,8

2 Kelas II 1,77 1,77 1,77 1,77 1,77

3 Kelas III 26,22 26,22 26,22 26,22 26,22

4 Kelas IV 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17

5 Kelas V 14,39 14,39 14,39 14,68 14,68

6 Kelas VI 14,39 14,39 14,39 14,39 14,39

7 Non-Kelas (Tidak 174,8 174,8 174,8 174,8 174,8


Dirinci)

Jumlah 247,8 247,8 247,8 248,09 248,09

Sumber : RPJMD Kota Yogyakarta 2012-2016

Tidak ada perubahan panjang jalan yang signifikan di Kota

Yogyakarta sejak tahun 2007 hingga tahun 2011. Namun, volume

kendaraan di Kota Yogyakarta setiap tahunnya mengalami

kenaikan. Dengan panjang jalan yang sama pada tahun 2007

panjang jalan yaitu 247,8 km2 dan jumlah kendaraan 290.466.

sedangkan pada tahun 2010 jumlah kendaraan meningkat menjadi

344.078. Data jumlah kendaraan dan panjang jalan dapat dilihat

pada tabel berikut.


54

Tabel 4. Data Panjang Jalan dan jumlah kendaraan Kota


Yogyakarta Tahun 2007-2011
No Uraian 2007 2008 2009 2010 2011*
1 Panjang 247,8 247,8 247,8 248,09 248,09
Jalan
2 Jumlah 290466 308426 327378 344078 243849
Kendaraan
3 Rasio 0,000853 0,000803 0,000757 0,000721 0,001017
*: data hingga Juni 2011
Sumber : RPJMD Kota Yogyakarta 2012-2016

Berdasarkan tabel di atas, rasio antara panjang jalan dan jumlah

kendaraan memang kecil sehingga kemacetan meningkat.

Penyebabnya adalah motivasi masyarakat untuk menggunakan

angkutan perkotaan massal masih rendah dan kesadaran untuk

penggunaan ruas jalan dalam kebersamaan masih kurang sehingga

kenyamanan dan kelancaran lalu lintas belum bisa tercapai. Hal

tersebut terlihat dengan adanya kemacetan lalu lintas karena

pertumbuhan kendaraan bermotor dan tingginya penggunaan

kendaraan pribadi yang tidak sebanding dengan

perkembangan/penambahan kapasitas jalan dan masih adanya

pelanggaran lalu lintas seperti bidang perparkiran.

Di sisi lain, pengembangan moda angkutan massal Kota

Yogyakarta, sekarang sedang dikembangkan moda transportasi

trans Yogyakarta. Pengembangan moda ini didasarkan pada

kebutuhan masyarakat Kota Yogyakarta akan sarana transportasi

perkotaan. Hingga tahun 2011, Kota Yogyakarta sudah memiliki

76 shelter aktif (Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, 2011).


55

Kota Yogyakarta dan sekitarnya mulai mengembangkan

pelayanan bus rapid transit (BRT) yang dikenal dengan Transjogja

mulai 2008. Transjogja mengoperasikan bus ukuran sedang yang

melayani berbagai kawasan di Kota Yogyakarta, sebagian

Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Transjogja melayani 8

trayek yaitu 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A dan 4B dengan 67 halte

khusus dengan jumlah bus 54 buah. Trayek-trayek tersebut

melewati daerah-daerah vital seperti kawasan wisata seperti

Malioboro, Kotagede dan Candi Prambanan, sarana kesehatan

seperti RS Bethesta, RS Panti Rapih, RS Mata Dr. Yap, sarana

transportasi seperti Terminal Giwangan, Bandara Adisucipto dan

Stasiun Tugu, kampus-kampus seperti UGM, UNY, Atmajaya,

UIN dan lain-lain.

Selain Bus Transjogja, Kota Yogyakarta juga mempunyai bus

umum yang dilayani oleh 5 operator yaitu DAMRI, Kobutri,

Puskopkar, Kopata dan Aspada. Transportasi Non-Motorized

Transport (NMT) juga beroperasi di Kota Yogyakarta, kebanyakan

digunakan sebagai salah satu transportasi wisatawan yang

berkunjung ke kota Yogyakarta seperti becak, andong dan delman.

Meskipun terdapat berbagai transportasi umum yang

beroperasi, transportasi di Kota Yogyakarta masih mengalami

kemacetan. Penyebabnya adalah laju pertambahan jumlah

kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan ruas jalan


56

sehingga menimbulkan kepadatan dan kemacetan lalu lintas.

Kondisi tersebut diperberat dengan masih rendahnya kualitas

pelayanan transportasi umum.

“Akar masalah transportasi kota, menurut Sri Sultan,


akibat dominasi kendaraan pribadi, sementara kendaraan
angkutan publik yang massal sangat terbatas. Angkutan
publik, kalaupun tersedia, pelayanannya cenderung buruk.
Kemudian angkutan tradisional non-motor cenderung
diabaikan. “Masyarakat sangat bergantung pada kendaraan
pribadi, karena kapasitas angkutan publik hanya 15
persen,” kata dia. (www.pikiranrakyat.com, diakses pada
30 Januari 2014 Pukul 23.35 WIB)

Penggunaan kendaraan pribadi yang masih tinggi menjadi salah

satu penyebab turunnya penggunaan transportasi umum.

Pertumbuhan kendaraan bermotor di kota Yogyakarta rata-rata

meningkat setiap tahunnya. Berikut Pertumbuhan rata-rata

kendaraan bermotor di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY) bulan Juni-November 2013.

Tabel 5. Pertumbuhan Rata-Rata Kendaraan Bermotor di DIY

No Kabupaten/Kota Jumlah Kendaraan Bermotor

1 Sleman 5.000 Unit

2 Bantul 3.538 Unit

3 Kulonprogo 2.435 Unit

4 Kota Yogyakarta 2.371 Unit

5 Gunungkidul 1.823 Unit

TOTAL 15.176 Unit

Sumber: Kedaulatan Rakyat, 4 Januari 2014, Halaman 19.


57

Pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta tersebut

diperkuat data BPS yang menyatakan Kota Yogyakarta masih

didominasi oleh sepeda motor dan sedan yang masing-masing

berjumlah 198.567 sepeda motor dan 10.254 sedan pada tahun

2010 dan berjumlah 204.972 sepeda motor dan 10.348 sedan pada

tahun 2011 (Kota Yogyakarta dalam Angka, 2012).

b. Kondisi Fasilitas Pejalan Kaki Kota Yogyakarta

Pejalan kaki sebagai salah satu pengguna jalan dan merupakan

bagian dalam lalu lintas sangat susah mendapatkan tempat agar

dapat berjalan dengan aman dan nyaman. Pergeseran posisi pejalan

kaki yang seharusnya menjadi posisi hierarki tertinggi semakin

lemah sehingga porsi pejalan kaki dalam sistem transportasi

semakin kecil. Fakta di lapangan bahwa terjadi pergeseran hierarki

pengguna jalan dalam sistem transportasi sebagai berikut.

Tabel 6. Realita Hierarki Pengguna Jalan

HIERARKI PENGGUNA JALAN

Seharusnya Kenyataan

Pejalan Kaki Kendaraan Pribadi

Kendaraan Tidak Bermotor Kendaraan Umum

Kendaraan Umum Kendaraan Tidak Bermotor

Kendaraan Pribadi Pejalan Kaki

Kenyataan tersebut juga dilontarkan oleh Direktur WALHI

Yogyakarta, Halik Sandera, sebagai berikut.


58

“Pertama, dalam hierarki pengguna jalan yang tertinggi itu


adalah pejalan kaki, kedua kendaraan non-bermotor,
ketiga transportasi publik baru kendaraan pribadi tapi pada
kenyataannya pembangunan sistem transportasi kita
dibalik. Bagaimana fasilitas kendaraan pribadi itu yang
digenjot dengan adanya jalan tol, jalan layang dan
semacamnya. Itu kan seharusnya kota sebagai pusat
interaksi manusia dan pertumbuhan ekonomi dengan jarak
yang tidak terlalu jauh seharusnya yang dikembangkan
adalah sarana-sarana untuk pejalan kaki, kendaraan non-
bermotor sama transportasi publik” (hasil wawancara 6
Desember 2013)

Pergeseran tersebut membuat pejalan kaki menjadi yang paling

terpinggirkan. Menurut Pak Azhar, Dinas Perhubungan, hal

tersebut disebabkan oleh bargaining kebijakan pejalan kaki yang

masih rendah seperti yang disampaikan sebagai berikut.

“Kenapa pejalan kaki masih kalah oleh kendaraan pribadi


ya karena memang situasinya seperti itu. Kendaraan
pribadi masih dominan dan di satu sisi jumlah pejalan kaki
semakin sedikit. Jadi bargaining-nya dalam kebijakan
untuk pejalan kaki semakin kecil. Jadi jumlah pejalan kaki
bisa kita dorong semakin besar, kita punya satu dukungan
masyarakat” (hasil wawancara 13 Desember 2013)

Di sisi lain, jumlah pejalan kaki yang menurun juga disebabkan

oleh masyarakat yang lebih memilih kendaraan pribadi terutama

dalam jarak dekat. Gaya hidup masyarakat yang berkembang

menyebabkan pergeseran makna berjalan kaki sebagai salah satu

aktivitas bagi orang berekonomi rendah ataupun tidak memiliki

kendaraan pribadi. Selain itu, berkembangnya industri manufaktur

membuat masyarakat dapat memiliki kendaraan pribadi lebih


59

mudah dan murah menjadi salah satu penyebab turunnya jumlah

pejalan kaki.

Jumlah pejalan kaki yang masih kalah terhadap kendaraan

bermotor bukan menjadi alasan fasilitas pejalan kaki tidak

diberikan secara layak. Pejalan kaki diatur dalam UU No 22 Tahun

2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), dimana

pejalan kaki wajib diberikan fasilitas dalam pergerakannya. Salah

satu fasilitas pejalan kaki yang umum ditemukan adalah trotoar.

Pengadaan trotoar harus mempertimbangkan aspek-aspek kondisi

ideal bagi suatu trotoar. Kondisi yang harus dipenuhi sesuai dengan

standar trotoar meliputi ruang diatas permukaan trotoar sekurang-

kurangnya 2,50 meter dan lebar trotoar pada tabel berikut ini:

Tabel 7. Lebar Trotoar Minimum

Fungsi Jalan Lebar Trotoar Minimum

Arteri Primer 1,50 Meter


Kolektor Primer
Arteri Sekunder

Kolektor Sekunder 1,50 Meter


Lokal Sekunder

Sumber: SNI T-14-2004 Tentang Geometri Jalan Perkotaan

Sesuai dengan SNI T-14-2004 tentang geometri jalan

perkotaan, lebar minimum trotoar adalah 1,5 meter. Persentase

jalan yang sesuai dan tidak sesuai dengan aturan tersebut di Kota
60

Yogyakarta yaitu 89% lebih dari atau sama dengan 1,5 meter dan

11% kurang dari atau sama dengan 1,5 meter.

Selain lebar trotoar, fasilitas pejalan kaki perlu dilihat kondisi

dalam pelaksanaannya. Di atas permukaan jalur trotoar tidak boleh

dihalangi oleh aktivitas selain pejalan kaki sehingga kegiatan

pejalan kaki dapat berjalan efektif. Namun, Persentase kondisi

permukaan trotoar di Kota Yogyakarta tahun 2013 sebesar 90%

dihalangi dan 10% tidak dihalangi. Hasil tersebut berdasarkan

survei yang dilakukan pada 62 ruas jalan di Kota Yogyakarta dari

kelas jalan arteri sekunder, kolektor sekunder dan lokal (WALHI

Yogyakarta, 2013).

Panjang total ruas jalan di kota Yogyakarta sekitar 250 km2.

Dari luas tersebut, selama tahun 2012 dan 2013 Dinas Pemukiman

dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) melakukan pemeliharaan dan

peningkatan trotoar dengan menambah guiding block.

Penambangan guiding block tersebut dilakukan agar trotoar ramah

tidak hanya bagi orang normal tetapi juga para difabel. Selain

penambahan guiding block, trotoar juga dibuat landai agar pemakai

kursi roda dapat memakai trotoar tanpa harus mengangkatnya

ataupun meminta bantuan orang lain. Panjang trotoar ber-guiding

block yang ada di Kota Yogyakarta sebagai berikut.


61

Tabel 8. Panjang Trotoar Ber-Guiding Block di Kota Yogyakarta

No Kegiatan Lokasi Panjang Satuan

1 Pemeliharaan BPJ dan Jl.Kusumanegara 700.00 m2


Peningkatan BPJ Jl.Hayam Wuruk 700.00 m2
Tahun 2012 Jl.Jend.Sudirman 70.00 m2
Jl.Ipda Tut Harsono 660.00 m2
Jl.Diponegoro 240.00 m2
Jl.Taman Siswa 350.00 m2
Jl.Sugeng Jeroni 65.00 m2
Jl.Senopati 315.00 m'
Jl.Malioboro 665.30 m'
Jl.A.Yani 780.30 m'
Jl.Yos Sudarso 4,470.00 m2
Jl.Suroto 256.00 m2
Jl.FM Noto 257.00 m2
Jl.Ngadikan 60.00 m2
Jl.Atmo Sukarto 253.00 m2
Jl.Ngasem 133.30 m2
Jl.Jogokaryan 121.00 m2
Jl.Prof.Supomo 206.70 m2
Jl.DI. Panjaitan 67.00 m2
Jumlah Tahun 2012 10,369.60 m2
2 Pemeliharaan BPJ dan Jl.Cikditiro 196.32 m2
Peningkatan BPJ Jl.Kahar Muzakir 196.32 m2
Tahun 2013 Jl.Sam Ratulangi 121.00 m2
Jl.Suroto 196.32 m2
Jl.A.Yani 122.20 m2
Jl.Ahmad Dahlan 436.00 m2
Jl.Malioboro 432.20 m2
Jl.Taman Siswa 534.00 m2
Jl.Kusumanegara 370.00 m2
Jl.Pakuningratan 436.80 m2
Jl.Lowanu 767.26 m2
Jl.Veteran 489.77 m2
Jl.Sugeng Jeroni 495.00 m2
Jl.Tentara Pelajar 181.17 m2
Jumlah Tahun 2013 4,974.36 m2

Total Tahun 2012 dan 2013 15,343.96 m2

Sumber: Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kota


Yogyakarta, 2013
62

Berdasarkan tabel di atas, jumlah trotoar ber-guiding block

dengan panjang ruas jalan di Kota Yogyakarta masih kecil

perbandingannya. Tidak hanya itu, di Kota Yogyakarta terdapat

103 ruas jalan lokal yang tidak memiliki trotoar dengan jumlah

panjang jalan sebesar 37,324.30 m2. Trotoar sebagai salah satu

fasilitas pejalan kaki mesti ada di setiap jalan dan saling terhubung

dengan ruang publik lain agar pejalan kaki dapat berjalan dengan

efisien.

Salah satu penyebab trotoar masih sedikit di beberapa jalan di

Kota Yogyakarta adalah infrastruktur yang belum memungkinkan.

Ruas jalan yang sempit karena untuk pembuatan trotoar dibutuhkan

ruang hingga 1,5 meter. Hal tersebut dijelaskan oleh Kabid Bina

Marga Dinas Kimpraswil sebagai berikut.

"Jalan yang belum memiliki saluran air bawah tanah juga


tidak dapat dilengkapi dengan sarana trotoar jalan. Kalau
dibuatkan trotoar, nanti saat akan membuat saluran air
trotoar harus dibongkar lagi," jelas Kabid Bina Marga
Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil)
Kota Yogyakarta Wijayanto (www.krjogja.com, diakses
pada 24 januari 2014 23.47 WIB)

Untuk menambah kenyamanan pejalan kaki di Kota

Yogyakarta, di sepanjang jalan dan pinggir trotoar ditanami

beberapa pohon. Penanaman pohon tersebut bertujuan untuk

menghijaukan jalan, mengurangi efek pencemaran udara akibat

padatnya transportasi dan melindungi pejalan kaki dari teriknya

panas matahari. Berdasarkan data BLH, tahun 2012 terdapat


63

14.505 pohon yang ada di sepanjang jalan di Kota Yogyakarta.

Selain itu, terdapat 1.908 pergola yang terdapat di trotoar agar

lebih melindungi pejalan kaki dari cuaca panas.

Fasilitas pejalan kaki yang terdapat di Kota Yogyakarta

memiliki banyak permasalahan sehingga aksesibilitas menjadi

berkurang. Kondisi permukaan trotoar di Kota Yogyakarta 41%

baik, 45% cukup baik dan 14% jelek. Dari 65 ruas jalan yang

diamati banyak terdapat penghalang di trotoar yaitu 98,46%

terdapat tiang listrik/telepon di trotoar jalan, 93,85% digunakan

untuk parkir kendaraan dan 64,62% terdapat pot bunga dan 95,38%

terdapat ancaman dari kendaraan bermotor, disebabkan banyak

kendaraan bermotor menggunakan trotoar sebagai jalan untuk

mereka (WALHI Yogyakarta, 2013).

Jalur pejalan kaki disusun berdasarkan prinsip-prinsip agar

pejalan kaki dapat berjalan kaki dengan nyaman. Untuk keamanan

pejalan kaki sendiri, terdapat 50,77% trotoar di Kota Yogyakarta

yang terdapat zebra cross dan 27,69% terdapat sinyal untuk pejalan

kaki dengan hitungan mundur. Untuk kejelasan bagi pejalan kaki

terdapat 73% ruas jalan yang terdapat sinyal di persimpangan dan

96,92% terdapat penerangan. Untuk kenyamanan 83,08% ruas

jalan terdapat pohon pelindung agar pejalan kaki dapat berjalan

dengan teduh (WALHI Yogyakarta, 2013).


64

Upaya pemenuhan prinsip-prinsip jalur pejalan kaki agar

pejalan kaki dapat berjalan kaki dengan nyaman di Kota

Yogyakarta. Fasilitas pejalan kaki di Kota Yogyakarta buruk

karena terdapat alih fungsi ruang pejalan kaki di ruas-ruas trotoar.

Alih fungsi tersebut kebanyakan digunakan untuk kegiatan

berdagang Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Parkir. Selain itu,

trotoar sering dibongkar karena adanya kegiatan galian kabel optik

yang letaknya berada di bawah trotoar. Meskipun fasilitas pejalan

kaki secara infrastruktur telah dipenuhi aspek-aspek kenyamanan,

fungsi fasilitas pejalan kaki tidak berfungsi sebagaimana

fungsinya. Pejalan kaki tidak dapat menggunakan fasilitas yang

ada dengan rasa nyaman dan aman.

2. Deskripsi Data Penelitian

Governance di Kota Yogyakarta berusaha memberikan jaminan

kenyamanan pejalan kaki. Jaminan kenyamanan pejalan kaki dijamin

dengan trotoar yang sesuai standar, bebas gangguan, bersih dan

terdapat vegetasi peneduh. Dengan adanya pemberian jaminan

tersebut, berjalan kaki di Kota Yogyakarta dapat dilakukan dengan

nyaman. Peran masing-masing stakeholders, yang terdiri dari

pemerintah, swasta dan masyarakat, dalam governance saling

berhubungan dan melengkapi sehingga tercipta kenyamanan bagi

pejalan kaki. Berikut proses dan pelaksanaan governance dalam

mewujudkan jaminan tersebut di Kota Yogyakarta.


65

a. Kepentingan Stakeholders dalam Tata Kelola Transportasi

Dalam tata kelola transportasi terdapat beberapa aktor atau

pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat. Masing-

masing aktor ataupun stakeholders memiliki sudut pandang

tersendiri dalam melihat posisi pejalan kaki dalam tata kelola

transportasi. Berikut ini stakeholders yang terlibat dalam tata

kelola transportasi yang merupakan bagian dari tiga domain

governance.

1) Pemerintah Kota Yogyakarta

Pemerintah Kota Yogyakarta merupakan aktor yang

memiliki kewenangan formal dalam mengurusi wilayah Kota

Yogyakarta dalam banyak aspek. Wewenang tersebut dalam

bentuk penyediaan prasarana, pelayanan umum, pengawasan,

regulasi dan lain-lain. Dalam pengelolaan transportasi, aktor

yang lebih berwenang dalam mengurusi hal tersebut diwakili

Dinas Perhubungan (Dishub) dan Dinas Pemukiman dan

Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta.

Pengelolaan transportasi yang dilakukan dengan

penyediaan dan pengaturan moda transportasi, jalur perjalanan

dan lain-lain seperti yang dijelaskan oleh Pak Azhar, Kepala

Seksi Manajemen Lalu Lintas Dishub Kota Yogyakarta

sebagai berikut.

“Kebetulan di Kota Yogyakarta, dinas perhubungan


hanya mengurusi transportasi darat. Jadi pemerintah
66

kota mempunyai komitmen bagaimana untuk


pergerakan orang dan barang bisa bergerak dengan
baik. Intinya itu. Nah turunan dari situ kan banyak,
banyak yang kita kelola baik dari pengaturan jalur
maupun pengaturan moda transportasi, baik dari
kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor
maupun yang mas sampaikan tadi yaitu pejalan kaki.”
(hasil wawancara 13 Desember 2013)

Wewenang penyediaan fasilitas transportasi dijalankan

oleh Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kota

Yogyakarta. Fasilitas transportasi seperti jalan, jembatan,

trotoar, penerangan jalan dan lain-lain. Fasilitas pejalan kaki

(trotoar) dibuat dan dipelihara oleh Kimpraswil, kegiatan yang

dilakukan yaitu peningkatan dan pemeliharaan trotoar seperti

yang disampaikan oleh Pak Nugroho, Kepala Seksi Bangunan

Pelengkap Jalan Kimpraswil sebagai berikut.

“Kita ada 3 kegiatan. Pertama, peningkatan yaitu dari


jalan gak ada trotoar jadi punya trotoar. Kemudian
pemeliharaan, pemeliharaan itu dipecah lagi jadi 2,
yaitu periodik dan insedentil. Periodik itu yang kita
lakukan rutin ya, pengecatan marka. Karena trotoar
itukan disamping fasilitas pejalan kaki, dia itu juga
digunakan untuk keamanan pejalan kaki. Supaya kalo
kendaraan lalu lalang, pejalan kaki tetap aman.” (hasil
wawancara 22 November 2013)

Di aspek lain, penggunaan trotoar di Kota Yogyakarta

tidak hanya untuk pejalan kaki namun juga digunkakan untuk

kepentingan lain. Oleh karena itu, pengawasan penggunaan

fasilitas umum seperti trotoar dilakukan oleh Dinas Ketertiban

Kota Yogyakarta, penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang


67

lebih sering berdagang di atas trotoar oleh Dinas Perindustrian,

Perdagangan, Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan)

Kota Yogyakarta dan Pihak Kecamatan, penghijauan jalur

pejalan kaki oleh Badan Lingkungan Hidup, dan Penataan

kawasan khusus Malioboro oleh UPT Malioboro.

2) Swasta

Swasta merupakan pihak yang berorientasi pada

keuntungan. Pihak yang lebih sering berinteraksi dengan pasar.

Pada kepentingan stakeholders ini diwakili oleh GIZ dan PT.

Tugu Transjogja.

a) GIZ (The German Organisation for International

Cooperation)

Deutsche Gesellschaft für Internationale

Zusammenarbeit (GIZ) / The German Organisation for

International Cooperation (GIZ) adalah perusahaan

nirlaba dari Negara Jerman. GIZ merupakan

perpanjangan tangan dari pemerintah jerman untuk

membantu program negara-negara berkembang. Seperti

yang diungkapkan oleh Yescha, Junior Staff GIZ

SUTIP Yogyakarta sebagai berikut.

“GIZ itu sebenarnya private company. Jadi


skemanya gini, jadi pemerintah jerman dari
pajak masyarakat jerman sendiri ke kementrian
ekonomi dan kementrian keuangan disana. Nah,
di Jerman itu dananya itu dialokasikan kepada
negara berkembang. GIZ ini salah satu
68

perusahaan yang menjadi mitranya pemerintah


jerman dalam menyalurkan dana-dananya itu ke
negara berkembang. Tapi disalurkannya bukan
dalam bentuk donor, bukan dalam bentuk
bantuan uang, bukan dalam bentuk barang, tapi
dalam bentuk tenaga teknik. Jadi dalam bentuk
implementasi project-project. Tenaga teknik
yang mengimplementasikan project-project di
negara-negara berkembang” (hasil wawancara
10 Februari 2014)

Kemudian penegasan bahwa GIZ tidak berorientasi

profit dijelaskan sebagai berikut.

“Dalam bentuk company-nya sendiri, GIZ


bukan private company. Jadi gak mengambil
keuntungan profit. tapi memang perusahaan
profesional yang membantu pemerintah jerman
dalam menerapkan swadananya itu” (hasil
wawancara 10 Februari 2014)

Untuk di Indonesia, GIZ bekerja sama dengan

BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional) dan mengembangkan proyek SUTIP

(Suistainanble Urban Transport Improvement Project)

di tiga Kota (Palembang, Bogor dan Surakarta) dan satu

Provinsi (Daerah Istimewa Yogyakarta). Di

Yogyakarta, GIZ SUTIP memiliki beberapa proyek

progresif yang telah dimulai sejak tahun 2008 yaitu:

(1) Meningkatkan Zona Transportasi berkelanjutan

di Malioboro, Godean dan Kotagede.

(2) Perbaikan sistem transit.


69

(3) Pengelolaan parkir di seluruh kota.

Proyek-proyek yang dilakukan GIZ SUTIP di

Yogyakarta diharapkan akan membuahkan hasil seperti

Bagian moda angkutan umum meningkat menjadi 40%,

Layanan terhadap pejalan kaki dan kendaraan angkutan

tidak bermotor meningkat, Emisi transportasi berkurang

dan Lembaga usaha angkutan umum terbangun.

b) PT Jogja Tugu Trans

PT Jogja Tugu Trans sebagai perusahaan swasta

operator operasional bus Transjogja. Awal terbentuknya

Transjogja di Yogyakarta adalah untuk memperbaiki

dan meningkatkan pelayanan bus umum. PT Jogja Tugu

Trans merupakan konsorsium dari 5 koperasi yaitu

Koperasi Aspada, Koperasi Kopata, Koperasi Pemuda,

Koperasi Puskopkar dan Perum Damri.

Transjogja merupakan layanan angkutan umum

berjenis bus rapid transit (BRT) yang di-launching

pada 2008 sebagai salah satu solusi permasalahan

angkutan publik yang nyaman dan aman di Yogyakarta.

Dalam mengoperasikan layanan Transjogja, PT Jogja

Tugu Trans mengoperasikan 54 bus yang terdiri dari 34

Bus milik PT Jogja Tugu Trans dan 20 Bus milik PT

AMI.
70

Untuk meningkatkan pelayanan Transjogja kepada

masyarakat agar dapat melayani semua masyarakat,

Transjogja menambah beberapa shelter fortable di

beberapa titik. Namun, saat ini shelter fortable masih

kurang dimanfaatkan masyarakat karena lebih sering

digunakan untuk menurunkan penumpang daripada

menaikkan penumpang. Penggunaan trotoar sebagai

penempatan shelter juga diperhitungkan. Meskipun

shelter Transjogja sebagian besar memakan trotoar,

namun tetap harus disediakan ruang bagi pejalan kaki

untuk berjalan kaki. Selain itu, di beberapa titik terdapat

shelter fortable yang digunakan dan lebih sedikit

memakan ruang pejalan kaki di trotoar.

3) Masyarakat

Masyarakat yang berkepentingan di sini lebih dalam bentuk

masyakarat terorganisasi seperti LSM, komunitas ataupun

forum. Masyarakat dalam individu-individu lebih sulit untuk

melihat keterlibatannya meskipun memiliki kepentingan yang

serupa. Stakeholders dari pihak masyarakat diwakili oleh

berikut.

a) Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB)

Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB)

merupakan sebuah jaringan kerja yang didirikan pada


71

tanggal 7 Oktober 1999. Jaringan kerja ini dipelopori

oleh 3 organisasi non-pemerintah, yaitu Indonesian

Center for Environmental Law (ICEL), Lembaga

Konsumen Hijau Indonesia (Lemkohi) dan Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta. Jaringan

kerja ini dinamakan Komite Penghapusan Bensin

Bertimbal (KPBB). KPBB terbentuk karena advokasi

penghapusan bensin bertimbal oleh organisasi non-

pemerintah belum banyak dilakukan atau masih

berskala kecil sehingga “gemanya” belum terdengar.

Sehingga yang diperlukan saat itu adalah jaringan kerja

antar lembaga masyarakat yang saling bahu membahu

dan sinergis.

KPBB lahir karena keprihatinan terhadap

memburuknya kualitas udara, sehingga tersusun strategi

penurunan pencemaran udara sektor transportasi yang

mencakup lima aspek yaitu bahan bakar bersih,

teknologi rendah emisi, manajemen lalu lintas dan

transportasi, standar emisi dan penegakkan hukum.

Untuk manajemen lalu lintas dan transportasi, KPBB

mendorong pengelolaan transportasi berbasis kebutuhan

atau TDM (transprort demand management) dengan

mengedepankan transportasi tidak bermotor (jalan kaki


72

dan sepeda) dan angkutan umum massal. KPBB

melaksanakan rangkaian kegiatan untuk mencapai

komitmen pemerintah, sektor swasta dan masyarakat

sipil dalam bentuk keputusan mengikat tentang

kebijakan peningkatan kualitas udara.

b) WALHI Yogyakarta

WALHI Yogyakarta merupakan forum advokasi

lingkungan hidup yang terdiri dari Organisasi non-

Pemerintah (Ornop), Kelompok Pecinta Alam dan

Organisasi Rakyat. WALHI Yogyakarta dalam

melakukan advokasi lingkungan hidup didukung oleh

29 lembaga anggota, lebih dari 300 sahabat lingkungan

dan 54 mitra kerja organisasi rakyat yang berasal dari

berbagai latar belakang disiplin keahlian organisasi

hukum, kesehatan lingkungan dan masyarakat, hutan,

pertanian, lingkungan perkotaan, buruh, penegakan

demokrasi dan HAM serta pemberdayaan masyarakat,

manajemen sumber daya alam, Manajemen Bencana,

budaya, pendidikan lingkungan, lembaga riset serta

lembaga mahasiswa penggiat alam bebas.

Dalam menjalankan kerja - kerja advokasi, WALHI

Yogyakarta mempunyai visi Keadilan Lingkungan


73

Hidup adalah Hak Kita Semua dan misi organisasi

sebagai berikut:

(1) WALHI Yogyakarta Mendorong keterlibatan

publik dalam pengelolaan ruang.

(2) WALHI Yogyakarta Mendorong penyelamatan

dan keberfungsian sumber –sumber air.

(3) WALHI Yogyakarta Mendorong kolektifitas

dan kemandirian publik dalam PRB

(4) WALHI Yogyakarta Mendorong penyelamatan

sumber – sumber pangan lokal

(5) WALHI Yogyakarta Membangun kekuatan

massa kritis dan WALHI Yogyakarta

mempunyai Goal Terlindungi dan terjaminnya

sumber penghidupan untuk mewujudkan

lingkungan hidup yang berkelanjutan dan

berkeadilan.

Satu satu wilayah kerja WALHI Yogyakarta adalah

daerah perkotaan. Kota sebagai pusat pemerintahan dan

aktivitas masyarakat yang sangat kompleks merupakan

daerah dengan perubahan ekologi yang sangat cepat.

Permasalahan yang ada merupakan akibat dari aktivitas

masyarakat yang tinggi, sehingga perlu adanya rencana

pengelolaan lingkungan kota yang berkelanjutan.


74

Permasalahan lingkungan perkotaan yang ada

bermacam–macam, diantaranya masalah AMDAL, Tata

Ruang, Sampah, Limbah dan Transportasi. Advokasi

yang aktif dilakukan WALHI Yogyakarta di kawasan

ini khususnya transportasi adalah menata sistem

transportasi.

c) Pedagang Kaki Lima (PKL)

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan komunitas

masyarakat sektor informal yang berdagang di beberapa

titik jalan, yang lebih sering bertempat di pinggir jalan

ataupun di atas trotoar. Komunitas ini lebih sarat akan

kepentingan ekonomi. Keberadaan PKL di kota

Yogyakarta diatur dalam Perda No 26 Tahun 2002

Tentang Penataan PKL. Dalam perda tersebut diatur

mengenai lokasi, perizinan dan tata cara pengajuan izin,

hak, kewajiban dan larangan, fasilitas/pembinaan dan

pengawasan. Kepentingan PKL terhadap fasilitas

pejalan kaki lebih kepada lokasi berjualan, dimana

dalam Perwal mengenai petunjuk teknis Perda Penataan

PKL disebutkan lokasi-lokasi trotoar yang

diperbolehkan oleh pemerintah kota untuk dipakai PKL

berjualan.
75

b. Aturan yang Berlaku Mengenai Pejalan Kaki dan Fasilitasnya

Pejalan kaki dan fasilitasnya diatur dalam beberapa aturan

formal baik dari tingkat nasional hingga daerah. Berikut ini aturan

yang menjadi acuan dalam pemberian fasilitas pejalan kaki dan

pergerakannya.

1) UU 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan

Dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur

mengenai pergerakan lalu lintas, fasilitas dan sanksi-sanksi.

Salah satu yang diatur adalah pejalan kaki. Berikut ini pasal-

pasal yang mengatur pejalan kaki dalam undang-undang

tersebut.

Pasal 25

(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum

wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: g.

fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang

cacat;

Pasal 45

(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan meliputi: a. trotoar. b. lajur sepeda; c.

tempat penyeberangan Pejalan Kaki; d. Halte; dan/atau e.

fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia

lanjut.
76

(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk

jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan

desa; d. pemerintah kota untuk jalan kota;

Pasal 93

(1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk

mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan

Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan,

Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: b. pemberian

prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki; c.

pemberian kemudahan bagi penyandang cacat; e.

pemaduan berbagai moda angkutan;

Pasal 106

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di

Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan

pesepeda.
77

Pasal 131

(1) Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung

yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas

lain.

(2) Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat

menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.

(3) Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat

yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.

Pasal 132

(1) Pejalan Kaki wajib: a. menggunakan bagian Jalan yang

diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling

tepi; atau b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.

(2) Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang

ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

Pejalan Kaki wajib memperhatikan Keselamatan dan

Kelancaran Lalu Lintas.

(3) Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda

khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan

lain.

Pasal 275

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang

mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas,


78

Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas

Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau

denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh

ribu rupiah).

(2) Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka

Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan

Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak

berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah).

Pasal 284

Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor

dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau

pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2)

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan

atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu

rupiah).

2) Perda No 26 Tahun 2002 tentang Penataaan PKL

Perda ini mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi

pedagang kaki lima (PKL) agar memperoleh izin dijelaskan


79

dalam Pasal 11 Peraturan Walikota Yogyakarta No 62 Tahun

2009 Tentang Perubaham Peraturan Walikota No 45 Tahun

2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota

Yogyakarta No 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Pedagang

Kakilima, dimana perizinan tersebut dilimpahkan dari Dinas

Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian

(Disperindagkoptan) ke pihak kecamatan. Berikut tata cara

mendapat izin berdagang untuk PKL di Kota Yogyakarta:

1) Memenuhi seluruh persyaratan yang telah diatur dalam

Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26

Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kakilima, yaitu:

(1) Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Kota/Kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta atau Kartu Identitas Penduduk Musiman

(KIPEM) Kota Yogyakarta;

(2) Membuat surat pernyataan belum memiliki tempat

usaha;

(3) Membuat surat pernyataan kesanggupan untuk

menjaga ketertiban, keamanan, kesehatan, kebersihan

dan keindahan serta fungsi fasilitas umum.

(4) Membuat surat pernyataan kesanggupan untuk

mengembalikan lokasi usaha apabila Pemerintah


80

Daerah akan mempergunakan untuk kepentingan

umum yang lebih luas tanpa syarat apapun;

(5) Mendapatkan persetujuan dari pemilik/kuasa hak atas

bangunan/tanah yang berbatasan langsung dengan

jalan, apabila berusaha di daerah milik jalan dan atau

persil;

(6) Mendapatkan persetujuan dari pemilik/pengelola

fasilitas umum, apabila menggunakan fasilitas umum;

2) Mengajukan permohonan dengan cara mengisi dengan

lengkap, benar dan jelas, formulir yang telah disediakan

kepada Camat, dengan dilampiri :

(1) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Kota/Kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta atau Kartu Identitas Penduduk Musiman

(KIPEM) Kota Yogyakarta;

(2) Pas photo terbaru, hitam putih ukuran 2 x 3 cm,

sebanyak 5 lembar;

(3) Surat pernyataan belum memiliki tempat usaha;

(4) Surat pernyataan kesanggupan untuk melakukan

bongkar pasang peralatan dan dagangan, menyediakan

tempat sampah, menjaga ketertiban, keamanan,

kesehatan, kebersihan dan keindahan serta fungsi

fasilitas umum;
81

(5) Surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan

lokasi usaha apabila Pemerintah Daerah akan

mempergunakan untuk kepentingan umum yang lebih

luas tanpa syarat apapun;

(6) Persetujuan dari pemilik usaha/ kuasa hak atas

bangunan/ tanah yang berbatasan langsung dengan

jalan, apabila berusaha di daerah milik jalan dan atau

persil;

(7) Surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan

lokasi usaha kepada Pemerintah Daerah apabila

pemilik usaha/ kuasa hak atas bangunan/ tanah yang

berbatasan langsung dengan jalan akan

mempergunakannya tanpa syarat apapun (bentuk

format surat pernyataan kesanggupan sebagaimana

tersebut dalam Lampiran II Peraturan ini);

(8) Persetujuan dari pemilik/pengelola fasilitas umum,

apabila menggunakan fasilitas umum.

(9) Surat pernyataan kesanggupan untuk memasang

daftar harga yang dapat diketahui oleh umum khusus

bagi pedagang kakilima dengan jenis dagangan

makanan dan minuman baik yang menggunakan

dasaran atau tidak menggunakan dasaran dan atau

menyediakan tempat untuk makan/ minum termasuk


82

lesehan (bentuk format surat pernyataan kesanggupan

sebagaimana tersebut dalam Lampiran III Peraturan

ini).

(10) Melampirkan Sertifikat Laik Sehat yang masih

berlaku dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bagi

pedagang kakilima dengan jenis dagangan makanan

dan minuman kecuali makanan dan minuman

kemasan yang terdaftar di Balai Besar Pengawasan

Obat dan Makanan (BBPOM).

Setelah memenuhi syarat tersebut, PKL akan memperoleh

hak dan kewajiban. salah satunya dengan menempati trotoar

yang telah dizinkan dengan harus memberikan tempat (space)

kepada pejalan kaki.

3) Perda No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta 2010-2029

Kawasan pedestrian di kota Yogyakarta terdapat dalam

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang rencana tata

ruang wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta 2010-2029, jaringan

pejalan kaki disebutkan dalam pasal 80 ayat 1-3 yaitu:

(1) Penyediaan jalur pejalan kaki mengakomodasi

kepentingan bagi kaum difabel,


83

(2) Jalan Mangkubumi, Jalan Malioboro, Jalan Ahmad

Yani diarahkan untuk area khusus pejalan kaki

(pedestrian) dan

(3) Penghuni di area khusus pejalan kaki sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diberikan kemudahan akses

untuk melakukan aktivitas pengangkutan barang yang

diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.

4) Perjanjian Kerjasama Nomor 07/Perj. YK/2012

Perjanjian tersebut antara Pemerintah Kota Yogyakarta

dengan KPBB tentang peningkatan kota laik pejalan kaki di

Kota Yogyakarta. Perjanjian tersebut berlaku mulai 2 Maret

2012 sampai 31 Desember 2012. Tujuan perjanjian tersebut

adalah:

a) Menganalisa kondisi lingkungan jalan dan trotoar di

Kota Yogyakarta.

b) Membangkitkan kesadaran masyarakat tentang

pentingnya isu peningkatan fasilitas pejalan kaki bagi

kesejahteraan seluruh warga kota;

c) Mengidentifikasi permasalahan kondisi eksisting fasilitas

pejalan kaki dan memberikan rekomendasi untuk

meningkatkan kondisi fasilitas pejalan kaki.


84

c. Interaksi Stakeholders dalam Menjamin Kenyamanan Pejalan

Kaki

Kenyamanan pejalan kaki dapat dijamin dengan adanya

fasilitas pejalan kaki yang layak dan berfungsi dengan baik. Untuk

mewujudkan kenyamanan tersebut, berbagai stakeholders yang

memiliki kepentingan terhadap pejalan kaki ataupun fasilitasnya

membuat suatu interaksi sehingga tercipta kesepakatan bersama.

Kesepakatan tersebut dilaksanakan dengan berbagai kegiatan yang

merupakan governance sebagai berikut.

1) Kegiatan Kota Layak Pejalan Kaki

Kegiatan ini berawal dari inisiatif KPBB yang menawarkan

kerja sama kepada Pemerintah Kota Yogyakarta sehingga

terbentuk perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan aspek

keselamatan, keamanan, fungsi, ekonomi, dan kenyamanan

fasilitas pejalan kaki di Yogyakarta. Ruang lingkup kegiatan

Peningkatan Kota Laik Pejalan Kaki di Kota Yogyakarta

sebagai berikut.

a) FGD praktek berjalan kaki bagi 14 (empat belas)

kecamatan.

b) Survey kualitas pejalan kaki.

c) Lomba foto “aku membaca kota”.

d) Produksi bahan kampanye.


85

e) Pemetaan fasilitas pejalan kaki dan situasi disekitarnya

f) Kampanye dan komunikasi masyarakat melalui media

sosial, media cetak dan radio.

g) Penyusunan Paper posisi dan Paper kebijakan terkait

proses perubahan paradigma dan persepsi masyarakat

tentang fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak

bermotor, serta keselematan pengguna jalan.

h) Pelaporan dan dokumentasi.

Kegiatan kota layak pejalan kaki dilakukan untuk

mengingatkan bahwa budaya jalan kaki sebagai gaya hidup

masyarakat modern yang pro lingkungan. Pejalan kaki tidak

dilihat dalam tingkatan strata sosial di mana pejalan kaki adalah

seluruh masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Ahmad

Syafrudin, Direktur KPBB, berikut.

“Sesungguhnya semua orang adalah pejalan kaki, baik


itu pengguna kendaraan bermotor maupun angkutan
umum, baik itu orang kaya ataupun mereka yang
kurang mampu, entah pejabat atau warga biasa, orang
dewasaa maupun anak-anak,” ungkap Ahmad
Syafrudin, Direktur Komite Penghapusan Bensin
Bertimbal –KPBB kepada RRI-Jogja” (rrijogja.co.id,
diakses pada 27 Februari 2013 Pukul 23.45 WIB)

Kegiatan kota layak pejalan kaki melibatkan banyak pihak

terutama pihak kecamatan, yang menjadi fokus daerah

percontohan dari kegiatan tersebut, pedagang kaki lima,

WALHI Yogyakarta, dan masyarakat umum. Keterlibatan


86

pihak-pihak tersebut diharapkan dapat membangun hubungan

harmonis agar tercipta fasilitas pejalan kaki yang layak dan

dapat berfungsi sebagaimana fungsinya. Salah satu dampaknya

yaitu adanya penghormatan terhadap hak-hak pejalan kaki.

Dalam kegiatan tersebut, WALHI Yogyakarta melakukan

kajian dan kebijakan serta melakukan kampanye edukasi

kepada masyarakat seperti yang disampaikan oleh Direktur

WALHI Yogyakarta, Halik Sandera, sebagai berikut.

“Pertama melakukan kajian dan kebijakan terkait isu


trotoar dan fasilitas publik yang menjadi menjadi
masukan dari kajian itu. Dari kajian itu, bagaimana kita
mendorong adanya kebijakan yang pro pejalan kaki.
Pembenahan atau pembuatan fasilitas-fasilitas publik
itu yang bisa diakses secara mudah, tidak hanya oleh
masyarakat biasa tapi juga teman-teman difabel. Kedua,
kami melakukan kampanye edukasi tentang fasilitas
publik itu bagi masyarakat perkotaan sehingga kami
melakukan pengorganisasian di masyarakat. Bagaimana
masyarakat berperan aktif mendorong pemerintah
memfasilitasi fasilitas-fasilitas publik diwilayahnya.”
(hasil wawancara 6 Desember 2013)

Kegiatan yang dilakukan WALHI tersebut dengan riset

terhadap masyarakat yang menggunakan fasilitas trotoar dan

melakukan Forum Group Discussion (FGD) di empat belas

kecamatan untuk mengetahui keinginan masyarakat di tingkat

kecamatan dan kelurahan. Hasil yang diperoleh akan dijadikan

bahan dasar rekomendasi untuk mendorong pemerintah kota

membuat sebuah regulasi yang berpihak terhadap pejalan kaki.


87

Kegiatan kota layak pejalan kaki juga turut di-launching di

Kecamatan Danurejan sebagai salah satu rangkaian kegiatan

untuk mendorong adanya fasilitas pejalan kaki yang layak oleh

KPBB dan WALHI Yogyakarta. Kegiatan tersebut

dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2012 yang dihadiri Camat

Danurejan dan perwakilan PKL yang berjualan di Jalan Hayam

Wuruk sisi timur yang menjadi daerah rintisan.

Gambar 4. Kegiatan Launching Kawasan Rintisan Layak


Pejalan Kaki di Kecamatan Danurejan
Sumber: Dokumentasi Kecamatan Danurejan

Penataan PKL pun dilakukan dengan melakukan perizinan

pedagang kaki lima yang harus disetujui oleh camat dengan

syarat bongkar pasang, kebersihan, ketertiban dan bersedia

dipindahkan sewaktu-waktu. Perizinan sampai camat tersebut

bertujuan agar pengawasan terhadap pedagang kaki lima

menjadi lebih terpantau.


88

Dalam kegiatan Kota Layak Pejalan Kaki dimana Jalan

Hayam Wuruk Danurejan didukung oleh PKL setempat

dengan memberikan ruang bagi pejalan kaki yang merupakan

kewajiban PKL. Selain itu, PKL setempat juga melakukan aksi

bersih-bersih di Jalan Hayam Wuruk.

“Puluhan anggota Paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL)


Jalan Hayam Wuruk, Lumbung Utomo, melakukan aksi
reresik atau bersih-bersih jalan. Terutama trotoar jalan
sepanjang 1 kilometer. Ketua Paguyuban Lumbung
Utomo, Junaidi mengungkapkan, aksi tersebut merupakan
bentuk dukungan para pedagang untuk mewujudkan
kawasan ramah pejalan kaki. "Kecamatan Danurejan
bersama Walhi Yogyakarta sudah menetapkan Jalan
Hayam Wuruk sebagai ramah pejalan kaki. Ini bentuk
dukungan kami," tandasnya di sela aksi reresik yang
digelar, Jumat (6/9/2013) pagi” (krjogja.com, diakses
pada 12 Desember 2013 Pukul 00.30 WIB)

Selain itu, Kegiatan Kota Layak Pejalan Kaki juga

menyusun skenario pengembangan walkability di Kota

Yogyakarta sehingga dapat benar-benar menjadi kota yang

layak bagi pejalan kaki dalam beberapa tahun mendatang.

Dengan berbagai hasil temuan dari FGD dan lain-lain tersusun

Rencana Aksi Peningkatan Fasilitas Pejalan Kaki di

Yogyakarta sebagai berikut.

Tabel 9. Rencana Aksi Peningkatan Fasilitas Pejalan Kaki di


Kota Yogyakarta
OUT PUT RENCANA AKSI INDIKATOR PERIODE

Baseline data Survey Laporan Survey yang 2011/2012


kualitas fasilitas memberikan gambaran
pejalan kaki kualitas pejalan kaki
Pemetaan Peta kondisi fasilitas pejalan 2011/2012
89

OUT PUT RENCANA AKSI INDIKATOR PERIODE

kaki
Partisipasi Empowering 2011/2012
masyarakat, key partisipasi masyarakat dalam
stakeholder dan peningkatan fasilitas pejalan
decision makers kaki

fasilitas pejalan kaki secara


spontan oleh Pemerintah
Kota
Pendidikan 2011/2012
Publik/Kampanye pengambil kebijakan dalam
peningkatan fasilitas pejalan
kaki

kepentingan tentang hak-hak


pejalan kaki
pok
kepentingan untuk
memprioritaskan pejalan kaki
dalam mengakses fasilitas
pejalan kaki
Policy Paper Dialog Kebijakan 2011/2012
tentang peningkatan fasilitas
pejalan kaki
Position Paper
Policy Paper

esahan Regulasi
Rencana Formal/Informal 2012/2013
Pembangunan meeting tentang kebijakan
Kota peningkatan fasilitas pejalan
dan APBD kaki
mengakomodasika ses
n koordinasi untuk peningkatan
penerapan fasilitas pejalan kaki
kebijakan
peningkatan alokasi anggaran dalam
fasilitas pejalan APBD untuk peningkatan
kaki fasilitas pejalan kaki
Media briefing 2012/2013
tentang pentingnya
peningkatan fasilitas pejalan
kaki

tentang pentingnya
peningkatan fasilitas pejalan
90

OUT PUT RENCANA AKSI INDIKATOR PERIODE

kaki
Membangun Opini Terbangunnya public 2012/2013
Publik pressure untuk mendorong
dan mengawal kebijakan dan
implementasi peraturan
dalam peningkatan fasilitas
pejalan kaki
Pembahasan 2012/2013
Alokasi (design, perencanaan teknis,
Anggaran dll) terintegrasi dengan
Peningaktan pembangunan system
Fasilitas transportasi kota
Pejalan Kaki
perbaikan /perawatan
peningkatan fasilitas pejalan
kaki
Fasilitas pejalan Perbaikan/Perawat 2013/2014
kaki yang an
berkualitas sesuai dan Penataan memudahkan akses bagi
dengan standar pejalan kaki
universal
bangunan fasilitas pejalan
kaki (konstruksi, cat, marka,
dll)
-
benda, bangunan,
perlengkapan jaringan
telepon, listrik dll dari trotoar
Membangun 2013/2014
fasilitas terbangun di seluruh jalan
pejalan kaki protokol (2012/2013, di jalan
kelas .... (2013/2014), di jalan
pemukiman (2014/2015)
Memupuk 2013/2014
kesadaran pendidikan publik, kampanye
dengan pendidikan publik dengan muatan
publik secara menempatkan fasilitas
berkelanjutan pejalan kaki sebagai fasilitas
umum untuk pejalan kaki
Alternatif 2013/2014
Kawasan kawasan PKL efektif untuk menampung
PKL dan Parkir PKL sebagai konsekuensi
off street parking relokasi PKL di trotoar
seluruh jalan protokol
(2012/2013, di jalan kelas ....
(2013/2014), di jalan
91

OUT PUT RENCANA AKSI INDIKATOR PERIODE

pemukiman /kawasan pasar


(2014/2015)
off
street parking guna
merelokasi tempat parkir di
trotoar seluruh jalan protokol
(2012/2013, di jalan kelas ....
(2013/2014), di jalan
pemukiman /kawasan pasar
(2014/2015)
Sumber: Position Paper Meningkatkan Kota Laik Pejalan Kaki
di Yogyakarta

2) Rencana Pedestrianisasi Kawasan Malioboro

Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029 disebutkan

kawasan Malioboro akan dijadikan kawasan khusus pejalan

kaki (pedestrian). Rencana tersebut mulai dijalankan oleh UPT

Malioboro yang mempunyai wewenang untuk mengelola

kawasan Malioboro. UPT Malioboro bertugas mengelola

kawasan Malioboro agar dapat memberikan kenyamanan bagi

masyarakat dan wisatawan yang berkunjung, terlebih kawasan

Malioboro sebagai daerah pariwisata ikonik Yogyakarta.

Rencana pedestrianisasi kawasan Malioboro telah mulai

dijalankan secara bertahap oleh UPT Malioboro. Salah satu

cara yang dilakukan yaitu melaksanakan Car Free Day (CFD)

yang disebut “Jogja Bugar” setiap minggu pagi mulai dari

daerah Ngejaman sampai kawasan Nol Kilometer.


92

“Penutupan akses kendaraan bermotor setiap Minggu


pagi ini juga untuk menampakkan kembali Malioboro
yang ramah lingkungan”. Hal ini sejalan dengan
konsep pedestrian atau menjadikan Malioboro sebagai
kawasan pejalan kaki. “Mudah-mudahan nantinya
akan ada respons positif dari warga,”
(harianjogja.com, diakses pada 27 Februari 2014
Pukul 23.30 WIB)

Selain itu, untuk menjaga kenyamanan dan ketertiban UPT

Malioboro mempunyai petugas ketertiban Jokoboro agar

kawasan Malioboro tetap nyaman dan tertib. Diakui oleh UPT

Malioboro memang sebagian kesadaran masyarakat masih

kurang untuk memberikan tempat bagi pejalan kaki terlebih

saat Maliboro padat dan ramai.

Di kawasan Malioboro sendiri telah dipasangi rambu-

rambu pejalan kaki agar pengguna jalan menghormati pejalan

kaki. Selain itu, di Malioboro terdapat Pelican Cross, yaitu

tempat penyeberangan yang difasilitasi dengan lampu lalu

lintas. Pejalan kaki dapat menggunakan pelican cross dengan

memencet tombol dan menunggu lampu yang berwarna kuning

menjadi merah agar dapat menyeberang jalan. Namun, fasilitas

tersebut tidak dimaksimalkan dengan baik karena sebagian

pelican cross tidak berfungsi sebagaimana mestinya.


93

Gambar 5. Rambu-Rambu Pejalan Kaki di Kawasan


Malioboro
Sumber: Dokumentasi Peneliti (diambil pada 15 Januari 2014)

Rencana kawasan pedestrian di Malioboro juga mendapat

keberatan dari juru parkir yang takut akan kehilangan mata

pencaharian. Menurut Pak Ahmad, Staf Divisi Ketentraman,

Ketertiban dan Lalu Lintas UPT Maliboro menegaskan bahwa

tidak ada penggusuran parkir dalam rencana pedestrian di

Malioboro dan pihak UPT Malioboro terus berupaya

memberikan sosialisasi agar tercipta kesepahaman semua

pihak.

Kawasan Malioboro yang menjadi salah satu proyek GIZ

SUTIP membuat UPT Malioboro terbantu dengan adanya GIZ

SUTIP seperti yang disampaikan oleh Pak Ahmad, Staf Divisi

Ketentraman, Ketertiban dan Lalu Lintas UPT Maliboro,

berikut.
94

“Kalo swasta itu dari GIZ. GIZ ini konsultan yang


akan mengubah Malioboro menjadi kawasan
pedestrian. Sudah ada GIZ yang berkantor di sini
bagaimana survei tata ruang kotanya, tata ruang letak
bangunannya, bangunan yang dilindungi. Malioboro
disinikan banyak bangunan-bangunan yang termasuk
cagar budaya sehingga di sini memang GIZ
dibutuhkan terus. Tingkat kepadatan arus lalu lintas-
nya per menit itu masuk Malioboro semua sudah
dipikir semua” (Hasil Wawancara 23 Januari 2014)

GIZ memandang Malioboro harus didesain ulang sebagai

'koridor angkutan' yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dan

busway BRT (Bus Rapid Transit) saja. Malioboro diatur

bagaimana kawasan tersebut menjadi nyaman untuk pejalan

kaki dan angkutan umum tetapi tidak nyaman untuk kendaraan

pribadi. Pengaturan tersebut diharapkan akan berjalan paralel

agar penggunaan kendaraan pribadi yang masuk Malioboro

akan berkurang.

3) Penyediaan Moda Angkutan Terintegrasi

Pengelolaan transportasi di Kota Yogyakarta dilakukan

dengan merombak sistem angkutan umum hingga peningkatan

kapasitas / infrastruktur jalan, pembangunan jalan layang dan

memperkuat angkutan massal. Hal tersebut dilakukan untuk

mengatasi kemacetan di Kota Yogyakarta yang semakin padat.

Cara lain yang dilakukan adalah dengan meneliti pola

pergerakan masyarakat dan mengkolaborasikan dengan

multimoda angkutan, yang kemudian dikombinasikan dengan


95

pejalan kaki, becak dan sebagainya. Seperti yang disampaikan

Pak Azhar, Kepala Seksi Manajemen Lalu Lintas Dishub Kota

Yogyakarta, sebagai berikut.

“Jadi Kita meneliti pola pergerakan masyarakat itu


sebagai fasilitasi dengan angkutan umum. Kedua, kita
coba perbaiki SOP yang ada, SOP pelayanan
angkutan umum yang baik itu seperti apa. Kemudian
nanti akan masuk dalam sistem ticketing atau tarif ya.
Jadi kita coba nanti kombinasi tiketnya sehingga
dalam pergerakan mereka tidak terbebani. Ada pola-
pola lain coba kolaborasi dengan multimoda. Jadi
nanti ada feeder, kita combine dengan pejalan kaki,
becak dan sebagainya” (hasil wawancara 13 desember
2013)

Penyediaan angkutan massal di Kota Yogyakarta terlihat

dari kerja sama antara PT Jogja Tugu Trans dengan Dinas

Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo)

DIY. Interaksi lebih kepada pemerintah provinsi karena

layanan transportasi Transjogja melayani daerah kota

Yogyakarta dan daerah sekitar. Tujuannya adalah untuk

mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang masuk dari luar

kota Yogyakarta. Sistem kerja sama yang dilakukan adalah

sistem Buy The Service, yang dijelaskan sebagai berikut.

“Sebuah sistem yang berdasarkan pada kemitraan


antara pemerintah dengan pihak swasta. Sistem ini
terjadi ketika pemerintah membeli suatu jasa
pelayanan tertentu secara grosir. Pihak swasta
melakukan pelayanan jasa tertentu tersebut kepada
masyarakat tanpa diperkenankan mengambil
pembayaran dari masyarakat. Masyarakat membayar
pelayanan publik tersebut kepada pemerintah.”
96

(Yogyakarta.bpk.go.id, diakses pada 24 Februari 2014


Pukul 23.58 WIB)

Dengan sistem buy the service, Pemerintah membeli pelayanan

Transjogja per km ke PT Jogja Tugu Trans yang saat ini

menjadi Rp5.145 per kilometer (km) per bus. Selain itu,

Standar Pelayanan Minimal (SPM) harus dipenuhi oleh PT

Joga Tugu Trans. Di antaranya adalah standar pengemudi,

standar operasionalisasi bus, standar bengkel perbaikan, dan

standar administrasi.

Kedepan PT Jogja Tugu Trans akan melakukan perbaikan

layanan dengan pengadaan bus untuk memenuhi trayek,

Pengadaan bus secara bertahap untuk pengganti armada yang

lama, optimalisasi bus yang diganti secara bertahap untuk

pelayanan angkutan feader dan wisata komuter, dan

Pengembangan Jalur meliputi Wates, Kulon Progo, Godean,

Kaliurang dan Bantul. Perbaikan tersebut juga sejalan dengan

program pemerintah dimana akan adanya pergantian bus umum

menjadi Transjoga pada tahun 2015 agar dapat memanusiakan

penggunanya dengan pelayanan yang lebih baik.

Kemudahan akses bagi pejalan kaki untuk jarak jauh

dengan integrasi jalur pejalan kaki dan angkutan umum belum

terlaksana dengan baik. Dalam kegiatan kota layak pejalan kaki

yang dicanangkan di Kota Yogyakarta, salah satu yang


97

direncanakan yaitu berusaha mewujudkan integrasi intermoda,

integrasi tersebut dengan memadukan jalur non-motorized

transport (NMT) seperti becak dan andong, pejalan kaki,

pesepeda dan angkutan umum. Integrasi tersebut diharapkan

dapat memotivasi masyarakat untuk beralih dari kendaraan

pribadi.

Gambar 6 Integrasi Jaringan Pejalan Kaki dengan Jaringan


NMT dan Angkutan Umum
Sumber: Meningkatkan Kota Laik Pejalan Kaki di Kota
Yogyakarta Position Paper

Integrasi tersebut merupakan jangka panjang dari

menyejahterakan pejalan kaki. Fasilitas pejalan kaki yang

sudah nyaman akan ditunjang dengan keberadaan angkutan

umum yang baik. Keberadaan dari angkutan integrasi tersebut

penting karena mempengaruhi dari jumlah pejalan kaki itu

sendiri.
98

Proyek GIZ SUTIP di Kota Yogyakarta lebih fokus kepada

angkutan Transjogja. Program Perbaikan sistem transit dimana

GIZ merekomendasikan sebuah sistem transit yang baru akan

menggantikan semua bus kota yang ada. Sistem bus baru ini

akan memiliki kapasitas mengangkut penumpang lebih banyak.

Sistem tersebut akan didukung oleh beberapa daerah park and

ride yang terintegrasi dengan TOD (Transit Oriented

Development – Pembangunan Berorientasi Transit).

GIZ mendorong adanya kebijakan politik tentang

penggunaan jalan dan kesepakatan bahwa pada beberapa jalan,

hingga 50% ruang jalan perlu diberikan secara eksklusif untuk

angkutan umum. Hal tersebut sebagai salah satu solusi untuk

menyeimbangkan penggunaan jalan untuk mempertahankan

mobilitas di dalam kota yang semakin macet.

d. Kendala Pemberian Jaminan kenyamanan Pejalan Kaki

Pemberian jaminan kenyamanan pejalan kaki tidaklah mudah

untuk diberikan, terlebih dengan dominasinya kendaraan pribadi

dan banyaknya masalah pejalan kaki yang melibatkan banyak

pihak. Fasilitas trotoar yang secara fisik cukup memadai tetapi

secara fungsi tidak layak. Kendala-kendala yang dihadapi yaitu

tidak ada kesepahamanan antardinas terkait. Gangguan-gangguan

yang sering tampak di trotoar adalah keberadaan Pedagang Kaki

Lima (PKL). Keberadaan PKL di trotoar sebenarnya sah secara


99

hukum karena ada peraturan daerah (perda) yang mengaturnya

yaitu Peraturan Daerah No 26 Tahun 2002 Tentang Penataan PKL.

Hal tersebut disampaikan oleh mbak Evi, Staf kesekretariatan

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian

(Disperindagkoptan) Kota Yogyakarta sebagai berikut.

“Dalam perda tersebut diatur bahwa pedagang kaki lima


itu tidak dilarang, diperbolehkan tapi ditata. Penataannya,
hanya penggal-penggal jalan yang diizinkan yang boleh
untuk berdagang. Penggal-penggal jalan yang diizinkan
yaitu jalan yang memiliki lebar trotoarnya minimal 1,5
meter. Kalo trotoar lebar kurang dari itu, otomatis tidak
diizinkan. Dan pedagang kaki lima hanya diperbolehkan
untuk menempati separuh dari trotoar itu sehingga ada
space untuk pejalan kaki.” (hasil wawancara 22 November
2013)

Sedangkan di sisi lain, keberadaan PKL tersebut dianggap masalah

oleh Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil).

Pembuatan trotoar yang lebar ditakutkan akan menjadi lahan PKL

berjualan. Permasalahan tersebut disampaikan oleh Pak Nugroho,

Kepala Seksi Bangunan Pelengkap Jalan Kimpraswil Kota

Yogyakarta, sebagai berikut.

“Kendala itu secara teknis kita sudah membuatkan


trotoar dan sebagainya, tapi kan di lapangan ada PKL,
ada rambu, atau kemudian utilitas lain seperti yang rame
di koran kan, operator telepon yang pasang faber optik
itu, gali-gali. Jadi kendalanya itu banyak ya, tapi itu
diluar kewenangan kimpraswil. Kalo yang teknis itu kita,
tapi PKL di perindagkoptan dan parkir di dishub.” (hasil
wawancara 22 November 2013)
100

Dari pernyataan di atas, tampak bahwa Dinas Pemukiman dan

Prasarana Wilayah (kimpraswil) berkeinginan trotoar dipakai untuk

pejalan kaki. Keberadaan-keberadaan hal-hal yang berkenaan

diluar untuk kepentingan pejalan kaki dianggap gangguan/masalah.

Perbedaan sudut pandang tersebut juga disampaikan Ibu Rina,

Kepala Sub Bagian Perindang Jalan Badan Lingkungan Hidup

(BLH) Kota Yogyakarta mengatakan bahwa dulu untuk menanam

pohon di trotoar ataupun pinggir jalan ditolak oleh Dinas

Kimpraswil karena dikhawatirkan akan merusak fisik trotoar.

Namun, hal tersebut diatasi dengan adanya program penghijauan

yang dicanangkan pemerintah kota.

Tidak adanya satu tujuan tersebut juga berdampak dalam

penegakkan perda. Untuk mengatasi gangguan-gangguan di trotoar,

Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah sebagai penyedia

fasilitas pejalan kaki melakukan koordinasi dan komunikasi

antardinas seperti yang diutarakan Pak Nugroho, Kepala Seksi

Bangunan Pelengkap Jalan Kimpraswil Kota Yogyakarta, sebagai

berikut.

“Ya kita koordinasi diantara perindagkoptan (PKL),


bagaimanapun dia pelaku usaha meskipun itu mikro dan
dari sisi wirausaha positif tapi dari tempatnya negatif.
Jadi kita melihat dari porsi mana, masalah itu ada. Ya
kita koordinasikan. Pembinaan parkir ada di dishub.
Penertibannya ada di dinas ketertiban” (hasil wawancara
22 November 2013)
101

Koordinasi juga dilakukan Dinas Perhubungan (dishub) untuk

mengatasi parkir liar yang sering mengambil area trotoar seperti

yang disampaikan pak Azhar, Kepala Seksi Manajemen Lalu

Lintas, sebagai berikut.

“Gangguannya sebenarnya banyak ya, pedestrian di


Jogja itu ada PKL tadi, ada parkir mungkin ya. Parkir ini
sebenarnya parkir illegal ya, teman-teman di bidang
parkir saya kira juga tidak pernah mengizinkan parkir di
trotoar. Nah tinggal ke depan law enforcement-nya
seperti apa. Law enforcement-nya itu kan dari
pelanggaran perda itu menjadi ranah dinas ketertiban”
(hasil wawancara 13 Desember 2013)

Dinas Ketertiban sebagai salah satu dinas yang secara teknis

melakukan penegakkan perda dan paling sering disebut dalam

penindakan gangguan di trotoar oleh dinas lain. Dinas ketertiban

dalam mengawasi dan menertibkan tidak dapat bekerja sendiri di

lapangan, khusus trotoar harus berkoordinasi dengan

Disperindagkoptan dan dinas kimpraswil.

“Kami tidak bisa melakukan penertiban sendiri karena


banyak hal yang perlu diperhatikan, seperti keberadaan
pedagang kaki lima atau parkir kendaraan. Kami akan
koordinasi dengan instansi yang berwenang,” kata
Kepala Dinas Ketertiban Kota Jogja, Nurwidi Hartana”
(Harianjogja.com, diakses pada 12 Januari 2014 Pukul
20.33 WIB)

Dalam mengawal dan mengawasi perda PKL dan gangguan lain

agar trotoar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, Dinas

Ketertiban bekerja sama dengan pihak kecamatan. Dinas ketertiban

akan meletakkan beberapa polisi pamong praja (PP) yang di-BKO-


102

kan (Bawah Kendali Operasi) di kecamatan sehingga dapat

mengawasi pelaksanaan perda lebih terpantau.

Rekomendasi yang diberikan dari KPBB dan WALHI

Yogyakarta dari kegiatan “kota layak pejalan kaki” direspon oleh

pemerintah kota dengan baik, namun masih ada beberapa

kekurangan sehingga permasalahan pejalan kaki belum selesai

seperti dikatakan oleh Mas Halik Sandera, Direktur WALHI

Yogyakarta, sebagai berikut.

“Secara respon, ya mereka menerima dengan baik tapi


secara implementasi memang tidak terlalu macek. Kita
memang melihat ya pembangunan trotoar dengan guiding
block, tapi kalo dilihat ternyata mereka tidak mempunyai
pemahaman terhadap fungsi guiding block dan
semacamnya. Misal guiding block dimentokkan ke tiang
listrik. Adanya tumpang tindih program dari pihak lain,
ada trotoar tapi ditaruh pot besar disitu. Artinya secara
konsep pemahaman fungsi desain trotoar yang mudah
diakses bagi pejalan kaki belum ada pemahaman dari
pemerintah.” (hasil wawancara 6 Desember 2013)

Harapan dengan adanya kebijakan yang mengakomodasi

pejalan kaki setelah adanya kegiatan ramah pejalan kaki pun akui

belum ada titik terang seperti yang dikatakan Direktur WALHI

Yogyakarta berikut.

“Kayaknya belum ya, saya juga belum mendapatkan


update informasi terakhir mengenai kerja sama dengan
teman-teman KPBB (komisi penghapusan bensin
bertimbel) mendorong adanya kebijakan itu. Saya belum
mendapat update secara jelas sampai mana ada sebuah
kebijakan yang muncul terkait respon apa yang kita
lakukan dalam advokasi-advokasi itu” (hasil wawancara
6 desember 2013)
103

Kendala lain seperti pelayanan transportasi umum Transjogja

belum dapat menarik jumlah massa yang banyak. Keadaan fisik bus

Transjogja rusak ataupun dari segi efisiensi waktu masih sering

terjadi keterlambatan. Keadaan tersebut membuat masyarakat lebih

memilih kendaraan pribadi dengan kelebihan ekonomis dan lebih

cepat.

Kendala lain adalah PKL yang berjualan di trotoar masih ada

yang tidak memberikan space bagi pejalan kaki. PKL yang tidak

memberikan space bagi pejalan kaki beralasan bahwa pejalan kaki

jarang melewati trotoar tersebut meskipun di trotoar tersebut telah

dipasangi guiding block bagi para difabel. Selain itu, masih adanya

PKL tidak berizin yang menempati trotoar sebagai tempat

berjualan.

B. Pembahasan

Kondisi transportasi di Kota Yogyakarta saat ini didominasi dengan

kendaraan pribadi, menyebabkan sebagian pejalan kaki menjadi tidak

nyaman dalam melakukan perpindahan tempat. Fasilitas pejalan kaki tidak

semua ada di setiap jalan sehingga harapan adanya transportasi perkotaan

yang ramah dan humanis sulit untuk diwujudkan. Padahal fasilitas pejalan

kaki bertujuan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan pejalan kaki

dalam menyusuri jalan-jalan. Hierarki pengguna jalan yang semestinya

memprioritaskan pejalan kaki tidak terjadi karena pengelolaan transportasi

yang tidak mengakomodasi hak-hak pejalan kaki.


104

Kondisi tersebut mengakibatkan kenyamanan pejalan kaki sulit untuk

diberikan. Pemberian jaminan kenyamanan pejalan kaki perlu dilakukan

oleh semua pihak. Berdasarkan Sarana dan Prasarana Kebutuhan Ruang

Pejalan Kaki Departemen Pekerjaan Umum, kenyamanan pejalan kaki

dilihat dari jalur pejalan kaki yang memiliki lebar sesuai standar (minimal

1,5 meter), nyaman dilalui (tanpa gangguan), bersih dan terdapat vegetasi

peneduh. Kenyamanan pejalan kaki seharusnya dapat dijamin. Jaminan

tersebut di Kota Yogyakarta berusaha diwujudkan dengan adanya interaksi

stakeholders dalam bentuk kesepakatan governance.

Chemma (dalam Keban, 2008:38) menjelaskan governance adalah

sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi,

sosial, dan politik dikelola melalui interaksi antara masyarakat, pemerintah

dan sektor swasta. Dalam pemberian jaminan kenyamanan pejalan kaki,

stakeholders yang terlibat telah diwakili oleh tiga domain governance

yaitu Pemerintah Kota Yogyakarta, swasta (GIZ dan PT Jogja Tugu Trans)

dan masyarakat (KPBB, WALHI Yogyakarta, dan PKL). Keterlibatan

domain-domain tersebut karena mereka memiliki kepentingan masing-

masing yang ingin dijalankan.


105

Gambar 7 Governance dalam Jaminan Kenyamanan Pejalan Kaki

Rubenstein (dalam Mirsa, 2012:64) mengatakan Prinsip struktur jalur

pedestrian adalah dapat memberikan keamanan pejalan kaki dalam

melakukan aktivitas dan melindungi dari gangguan kendaraan. Hal utama

yang diperhatikan dalam pengembangan sirkulasi pejalan kaki adalah rasa

aman, kenyamanan dan estetika. Salah satu yang dilakukan stakeholders

adalah mewujudkan kenyamanan tersebut. Kontribusi tiap pihak akan

berdampak terhadap posisi pejalan kaki dalam sistem transportasi

sekarang. Berikut dinamika pelaksanaan governance, yang dilakukan

stakeholders, dalam mewujudkan jaminan kenyamanan pejalan kaki di

Kota Yogyakarta.
106

1. Konflik Kepentingan antar Stakeholders

Konflik kepentingan merupakan hal yang umum terjadi dalam

governance. Setiap stakeholders memiliki kepentingan masing-

masing yang diperjuangkan. Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki

kepentingan sosial politik berupa aturan-aturan yang telah dibuat

untuk mengatur transportasi di Kota Yogyakarta, kepentingan

ekonomi berupa kelancaran transportasi yang berdampak ekonomi,

keberadaan kendaraan bermotor yang berpengaruh kepada

peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan kepentingan

lingkungan berupa perlindungan ekosistem akibat dampak

transportasi. Swasta lebih condong memiliki kepentingan ekonomi

dengan mencari profit dari sektor transportasi. Masyarakat memiliki

kepentingan sosial politik dengan menuntut adanya transportasi yang

nyaman dalam bepergian, kepentingan ekonomi dengan

menggunakan sisi-sisi fasilitas jalan untuk meningkatkan taraf hidup

dan kepentingan lingkungan dengan menuntut pengurangan

emisi/polusi udara.

Perbedaan kepentingan memunculkan konflik khususnya dari

sisi Pemerintah Kota Yogyakarta dan Masyarakat (dalam hal ini

KPBB dan WALHI Yogyakarta), yaitu kepentingan lingkungan agar

adanya penurunan pencemaran udara dari sektor transportasi. KPBB

yang mendorong adanya transportasi berbasis kebutuhan

(transportation demand management) dan mendorong pemerintah


107

kota memperbaiki sistem transportasi yang berjalan. Di sisi lain,

Pemerintah kota dianggap lebih berorientasi ekonomi dalam

mengelola transportasi. Pemerintah kota tidak memanfaatkan dari

sisi kepentingan sosial dan politik yang dimiliki untuk mengubah

perilaku masyarakat berupa aturan formal agar mau beralih ke

angkutan umum dan berjalan kaki. Kondisi transportasi yogyakarta

yang semakin padat dan berkembang tidak dapat diatasi dengan

pelebaran jalan ataupun jalan layang.

Bentrok kepentingan yang sangat terlihat adalah keberadaan

PKL (Pedagang Kaki Lima) di trotoar. Komunitas PKL

menginginkan lahan untuk berjualan, di sisi lain pemerintah Kota

Yogyakarta tidak dapat memberikan lahan yang cukup untuk

menampung jumlah PKL yang banyak. Kalangan masyarakat lain

seperti KPBB dan WALHI Yogyakarta menginginkan trotoar dapat

digunakan untuk pejalan kaki secara maksimal. Untuk memediasi

dua kepentingan yang berbeda, Pemerintah Kota Yogyakarta

mengakomodasi kepentingan tersebut dengan cara berbeda.

Kepentingan PKL diakomodasi dengan kebijakan penataan PKL

dengan memperbolehkan berjualan di trotoar. Cara tersebut dianggap

tidak mengakomodasi pejalan kaki sebagai pengguna trotoar. Untuk

itu, kepentingan KPBB dan WALHI Yogyakarta diakomodasi

dengan adanya kerjasama kota layak pejalan kaki. Pemerintah kota


108

memediasi adanya perbedaan konflik dalam memandang fungsi

trotoar.

Keberadaan PKL sebenarnya di trotoar tidak akan membuat

masalah jika ada pelaksanaan yang tegas. Pejalan kaki dan PKL

dapat menciptakan hubungan yang mutualisme. PKL di trotoar dapat

menarik orang untuk berjalan kaki dan pejalan kaki dapat menjadi

pelanggan dari PKL tersebut. Salah satu alasan mengapa jumlah

pejalan kaki sedikit adalah jalur pejalan kaki yang tidak atraktif

untuk dilalui. Kalau jalur pejalan kaki dapat ditata dengan baik,

keuntungan dari sosial dan ekonomi dapat berjalan seimbang tanpa

adanya bentrokan kepentingan.

2. Interaksi Stakeholders dalam Menjamin Kenyamanan Pejalan

Kaki

Chemma (dalam Keban, 2008:38) menjelaskan Paradigma

Governance mengutamakan mekanisme dan proses dimana para

warga masyarakat dan kelompok dapat mengartikulasikan

kepentingannya, memediasi berbagai perbedaan-perbedaaannya,

dan menjalankan hak dan kewajibannya. Peranan masing-masing

stakeholders dalam memperjuangkan kepentingannya sehingga

terbentuknya kesepakatan stakeholders yang terlibat dari

pemerintah, swasta, dan masyarakat yang disebut sebagai

governance.
109

Kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh stakeholders

dalam menjamin kenyamanan pejalan kaki, baik dari kegiatan kota

layak pejalan kaki, rencana pedestrianisasi malioboro dan

penyediaan moda angkutan terintegrasi, diklasifikasikan dalam

bentuk Economical governance, yaitu proses pembuatan kebijakan

(desicion making process) yang memfasilitasi terhadap equity,

poverty, dan quality of life, Political governance, yaitu proses

pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan dan

Administrative governance, yaitu sistem implementasi proses

kebijakan (Syafri, 2012:177).

Dalam ecomonical governance, proses pengambilan keputusan

yang berdasarkan keadilan dan meningkatkan kualitas hidup

tergambar dari adanya kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima

(PKL). Dimana mengakomodasi keberadaan PKL dengan tujuan

meningkatkan kesejahteraan PKL. Di sisi lain, keadilan untuk

pejalan kaki diterapkan dengan pembatasan wilayah berjualan PKL

untuk memberikan ruang bagi pejalan kaki. Batasan tersebut

menunjukkan bahwa hak pejalan kaki tetap diberikan meski harus

dikorbankan untuk kepentingan ekonomi.

Dampak dari economical governance tersebut memicu konflik

terhadap fungsi trotoar. Konflik terhadap perbedaan sudut pandang

yang dikhawatirkan menjadi salah satu penghambat pelaksanaan

governance. Keputusan yang lebih mementingkan PKL dianggap


110

“nada sumbang” dalam pemecahan masalah pejalan kaki, meski

tujuannya baik yaitu untuk kesejahteraan komunitas.

Dalam political governance, kerja sama kegiatan kota layak

pejalan kaki mendorong hasil akhir sebuah kebijakan yang

mengakomodasi pejalan kaki. Hasil akhir berupa rekomendasi

draft/paper yang diberikan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta

agar pejalan kaki dan fasilitasnya dapat diformalkan dalam suatu

produk hukum. Kebijakan tersebut nantinya dapat dijadikan berupa

jaminan bagi pejalan kaki sehingga mendapatkan kenyamanan

dalam beraktivitas. Jika interaksi yang dilakukan benar-benar

efektif maka akan ada kebijakan yang solutif terhadap keberadaan

pejalan kaki dalam sistem transportasi yang berjalan.

Policy process dalam interaksi tersebut terlihat bagaimana

KPBB dan WALHI Yogyakarta, organisasi kemasyarakatan yang

merepresentasikan kepentingan pejalan kaki, agar kepentingannya

diperhatikan. Hal tersebut sesuai dengan Steenberghen (2010) yang

mengatakan bahwa sistem pedestrian membutuhkan sebuah

komitmen sistem politik untuk menyediakan fasilitas dan

pelayanan. Semakin banyak yang berjalan kaki, sistem politik akan

perhatian terhadap kebutuhan mereka. Untuk mencapai suatu

sistem politik yang perhatian, dibutuhkan jumlah pejalan kaki yang

banyak. Namun, hal tersebut sulit diwujudkan karena tidak mudah

untuk menghitung atau mengidentifikasi orang yang berjalan kaki.


111

Dalam policy process diperlukan komunikasi yang baik agar

tidak terjadi ambigu dalam mengartikulasikan kepentingan.

Penyampaian kepentingan yang diartikulasikan kedua stakeholders

tersebut sangat jelas. Namun, penyampaian tersebut tidak

mendorong pihak yang diinginkan untuk turut serta secara komit.

Terbukti kelanjutan dari draft/paper yang direkomendasikan tidak

terdengar lagi. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa bargaining

atau posisi tawar pejalan kaki masih lemah.

Dalam administrative governance, implementasi proses

kebijakan yang terlihat dari kesepakatan yang telah dilakukan,

kegiatan kota layak pejalan kaki, rencana pedestrianisasi malioboro

dan penyediaan moda angkutan terintegrasi. Aturan-aturan yang

mengenai pejalan kaki dan fasilitasnya ditekankan dalam hasil

interaksi yang dilakukan. Keterlibatan antar skateholders dalam

interaksi tersebut berusaha mewujudkan kenyamanan pejalan kaki

dalam tata kelola transportasi.

Interaksi yang dilakukan oleh semua stakeholders merupakan

kesepakatan bersama untuk dilakukan semua pihak. Kegiatan-

kegiatan tersebut berusaha dijalankan agar pejalan kaki

memperoleh kenyamanan. Kesepakatan yang dilakukan tersebut

juga tidak lepas dari berbagai masalah seperti penegakkan perda

yang masih lemah, ketidaksepahaman SKPD pemerintah,

pelayanan angkutan yang terintegrasi masih buruk dan masih


112

adanya pelanggaran oleh Pedagang kaki lima dengan tidak

menyediakan ruang bagi pejalan kaki. Kendala dalam

administrative governance tersebut mempengaruhi ketercapaian

tujuan dari kesepakatan yang tidak terwujud.

3. Kendala-Kendala dalam Pelaksanan Governance

Pelaksanaan governance tidaklah mudah karena melibatkan

banyak stakeholders. Tidak jarang masing-masing stakeholders

memainkan ego masing-masing agar kepentingan mereka yang

berpengaruh. Dalam pemberian jaminan kenyamanan pejalan kaki

di Kota Yogyakarta, governance yang dilakukan memiliki

beberapa kendala yang menghambat terciptanya jaminan tersebut.

Diantaranya:

a. Ketergantungan Stakeholders terhadap Peran Pemerintah

Itikad atau political will telah ada dari Pemerintah Kota

Yogyakarta untuk mengakomodasi kepentingan pejalan

kaki, terlihat dalam beberapa kegiatan peningkatan

kenyamanan pejalan kaki. Interaksi yang dilakukan oleh

stakeholders lain lebih banyak ke pihak pemerintah kota

karena adanya ketergantungan terhadap pemerintah.

Pemerintah memiliki sumberdaya yang lebih berupa

sumberdaya manusia, finansial, sosial politik dan

sumberdaya lain daripada stakeholders lain.


113

Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki kewenangan

dominan agar pejalan kaki mendapatkan tempatnya di jalan.

Kepentingan-kepentingan dan interaksi yang dilakukan

pihak swasta dan masyarakat ke pemerintah untuk

mendorong pemerintah bertindak sesuai kepentingan

mereka, pengelolaan transportasi yang berpihak kepada

pejalan kaki. Pemerintah dapat membuat suatu regulasi

yang dapat memaksa masyarakat ataupun pihak lain untuk

mematuhi regulasi yang akan dibuat.

b. Keterbatasan Peranan Swasta dan Masyarakat

Ketergantungan peran pemerintah dalam governance

mengindikasikan bahwa peran swasta dan masyarakat

masih terbatas. Keterbatasan tersebut menyebabkan kedua

pihak tersebut lebih mengharapkan pemerintah agar dapat

bekerja maksimal dengan memenuhi kepentingan mereka.

Keterbatasan peran tersebut membuat interaksi yang

dilakukan ketiga stakeholders tidak seimbang karena

pemerintah memiliki sumberdaya lebih banyak.

Keterbatasan tersebut mempengaruhi ketercapaian

kepentingan yang dimiliki oleh swasta dan masyarakat.

Interaksi yang dilakukan swasta dan masyarakat tidak akan

berhasil jika tidak ada good will dari Pemerintah Kota

Yogyakarta untuk memihak pejalan kaki. Kewenangan


114

formal yang dimiliki pemerintah menjadi kunci dari

interaksi yang dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat

dalam interaksi yang telah dilakukan.

c. Koordinasi antar SKPD Kurang

Ketergantungan peran pemerintah juga menyebabkan

kendala yang ada lebih banyak di sisi pemerintah, yaitu

belum adanya kerja sama yang baik antar Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Secara horizontal antar

SKPD Pemerintah Kota Yogyakarta, hubungan yang

dibangun masih kaku dan formal dimana terbatas oleh

tupoksi-tupoksi SKPD untuk bertindak mengatasi suatu

permasalahan yang terjadi. Ego masing-masing SKPD yang

berpendapat bahwa permasalahan yang terjadi di trotoar

bukan tanggung jawab mereka. Penyebab permasalahan

harus diselesaikan oleh SKPD yang bersangkutan.

Permasalahan koordinasi antar SKPD tersebut sesuai

dengan isu-isu penting mengenai tata kelola transportasi

dan efektifitas implementasi kebijakan menurut Akram,

dkk (2011) diantaranya Lack of joined up objectives and

thinking across departments on transport issues dan Lack

of integration between planning and delivery process

across departments. Kurangnya koordinasi tersebut terlihat

bagaimana tujuan dan pemahaman yang sama antar SKPD


115

masih lemah. Pemahaman yang kaku tersebut antar SKPD,

yang sering disebut ego sektoral, menyebabkan integrasi

antara perencanaan dan proses penyampaian juga lemah.

Ego antar SKPD yang tidak melihat bahwa permasalahan

pejalan kaki yang terjadi harus diselesaikan secara lintas

sektoral. Hal tersebut berdampak dengan penegakkan

hukum yang lemah karena penegakkan tersebut

membutuhkan koordinasi antar SKPD.

d. Masih Adanya Pelanggaran Hak Pejalan Kaki

Pelanggaran masih terjadi terhadap hak pejalan kaki

seperti fasilitas pejalan kaki yang nyaman untuk dilalui

tanpa gangguan. Salah satu contoh pelanggaran adalah PKL

(Pedagang Kaki Lima) yang berizin ataupun tidak yang

memakan lahan trotoar sehingga terjadi penurunan fungsi

kualitas trotoar. Interaksi governance tidak dapat

meminimalkan jumlah pelanggaran yang sering merugikan

pejalan kaki.

e. Sektor Transportasi yang Belum Mendukung

Penyediaan transportasi umum terintegrasi di Kota

Yogyakarta seperti Transjogja yang dilakukan oleh PT

Jogja Tugu Trans masih lemah. Kondisi fisik bus yang

rusak ataupun efisiensi waktu pelayanan yang membuat

masyarakat tidak tertarik untuk beralih menggunakan moda


116

angkutan tersebut. Meskipun sudah terbentuk kerjasama

dengan pemerintah, peran PT Jogja Tugu Trans dalam

menyediakan pelayanan transportasi umum masih terbatas

yaitu service operator.

Dari kendala-kendala di atas, Pemerintah Kota Yogyakarta

masih mendominasi pelaksanaan governance. Akibatnya,

partisipasi masyarakat dan swasta mendapatkan peran terbatas

sehingga kepentingan-kepentingan mereka pun belum

terakomodasi sebagaimana yang diinginkan.

4. Ukuran Keberhasilan Governace dalam Jaminan Kenyamanan

Pejalan Kaki

Berdasarkan pembahasan di atas, dalam mengukur keberhasilan

governance dalam jaminan kenyamanan pejalan kaki di Kota

Yogyakarta dapat dilihat berdasarkan prinsip-prinsip governance

oleh UNDP seperti berikut.

1. Partisipasi

Setiap warga negara menpunyai hak suara dalam proses

pengambilan keputusan. Partisipasi di luar aktor

pemerintah aktif dalam kegiatan jaminan kenyamanan

pejalan kaki menunjukkan adanya keinginan suara-suara

perwakilan pejalan kaki agar diakomodasi. stakeholders

seperti KPBB, WALHI Yogyakarta, GIZ, dan PKL


117

berpartisipasi dalam memberikan kenyamanan pejalan

kaki. Partisipasi dilihat tidak hanya sebagai objek yang

diatur tetapi subjek yang ikut terlibat dan memberikan

suara untuk pengambilan keputusan seperti dalam

rangkaian kota layak pejalan kaki yang terdapat Foum

Group Discussion (FGD) di empat belas kecamatan di

Kota Yogyakarta.

2. rule of law

Hukum harus ditegakkan secara adil dan benar.

Penegakkan hukum dalam memberikan jaminan

kenyamanan pejalan kaki tidak berjalan baik. UU Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur hak dan

kewajiban pejalan kaki belum ditegakkan dengan tegas

sehingga fasilitas pejalan kaki yang ada tidak berfungsi

dengan baik. Selain itu, Perda Penataan PKL yang

mewajibkan adanya ruang pejalan kaki masih melakukan

pelanggaran dengan tidak menyediakan ruang untuk

pejalan kaki. Pencegahan munculnya pelanggaran yang

merugikan pejalan kaki harus dimulai dari komitmen

setiap stakeholders. Stakeholders dapat saling mengawasi

dan menjalankan aturan yang telah disepakati bersama.


118

3. Transparasi

Kebebasan informasi dapat diperoleh oleh semua

pihak yang terlibat ataupun tidak secara benar dan akurat.

Informasi berupa publikasi dan hasil laporan dari

kegiatan-kegiatan penjamin kenyamanan pejalan kaki

yang dilakukan oleh stakeholders di media massa ataupun

internet. Pihak-pihak tersebut dapat memantau

memberikan saran kritik dari informasi yang telah

dipublikasi.

4. Responsiveness

Responsiveness dilihat dari adanya penyaluran aspirasi

masyarakat yang dilakukan institusi (pemerintah atau non-

pemerintah). Daya tanggap yang dilakukan pemerintah

kota dalam melayani setiap kepentingan stakeholders

cukup baik, bahkan stakeholders lain diberi kesempatan

lebih untuk terlibat. Keterlibatan tersebut membantu

kegiatan pemerintah kota seperti UPT Malioboro terbantu

dengan adanya GIZ dalam rencana pedestrianisasi

Malioboro. Namun, dalam pelaksanaannya daya tanggap

tersebut hanya sebatas didengarkan saja dan tidak

dilaksanakan dengan baik seperti saran rekomendasi dari

kegiatan kota layak pejalan kaki yang tidak direspon

dengan baik.
119

5. Orientasi Konsensus

Orientasi konsensus dilakukan pemerintah kota dengan

adanya kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Pemerintah

kota melakukan kerja sama dengan KPBB dalam bentuk

perjanjian setelah memediasi berbagai kepentingan-

kepentingan yang ada terhadap pejalan kaki. Adanya

kegiatan kota layak pejalan kaki agar aspek-aspek fungsi

fasilitas pejalan kaki meningkat, Perda Penataan PKL

untuk mengakomodasi kepentingan PKL dan rencana

pedestrianisasi Malioboro dalam rencana tata ruang

wilayah (RTRW) agar Malioboro menjadi kawasan wisata

yang nyaman. Hasil tersebut merupakan konsensus dari

memediasi untuk menjembatani kepentingan yang muncul

agar terdapat pilihan terbaik bagi kepentingan bersama

sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak.

6. Kesetaraan

Kesetaraan dalam menyampaikan kepentingan masing-

masing didengar tanpa memandang adanya perbedaan

strata ataupun dominasi jumlah massa. Setiap

individu/kelompok memiliki hak yang sama untuk

menyalurkan aspirasi. Kesetaraan tampak dari organisasi

masyarakat yang mendorong adanya akomodasi

kepentingan pejalan kaki dan PKL yang ingin disediakan


120

lahan untuk berjualan. Namun, kesetaraan dalam

penyampaian tersebut dalam pelaksanaan belum meredam

konflik yang terdapat pada fasilitas pejalan kaki karena

terdapat kesenjangan antara hak pejalan kaki dan

kebutuhan lahan PKL.

7. Efektivitas dan Efisiensi

Kesepakatan yang telah disepakati mulai dilaksanakan

oleh stakeholders agar mencapai tujuan yang diinginkan.

Kegiatan yang telah dilakukan stakeholders dalam

menjamin kenyamanan pejalan kaki tidak berjalan efektif

karena masih adanya kendala-kendala yang menghambat

program-program yang telah dicanangkan. Kendala

tersebut menghambat efektivitas program mencapai tujuan

dan efisiensi sumberdaya dalam mewujudkan kenyamanan

pejalan kaki.

8. Akuntabilitas

Setiap stakeholders yang memiliki kepentingan

terhadap pejalan kaki dan fasilitasnya harus bertanggung

jawab kepada publik. Tanggung jawab masing-masing

stakeholders berbeda. Pemerintah bertanggung jaawab

dengan mengakomodasi kepentingan pejalan kaki dan

membuat aturan yang jelas, swasta bertanggung jawab

sebagai mitra pemerintah atau konsultan yang turut


121

membantu pemerintah, masyarakat bertanggung jawab

dengan ikut mengawasi agar fasilitas pejalan kaki tetap

berfungsi dengan baik. Salah satu contoh adalah kegiatan

ramah pejalan kaki yang telah dicanangkan dengan

menghasilkan rekomendasi berupa position paper dan

working paper. Rekomendasi tersebut sebagai bukti

kegiatan yang dilakukan tidak sebatas seromonial dan

mengharapkan kegiatan tersebut dilakukan dalam jangka

waktu panjang. Meskipun demikian, masih terdapat

kelemahan dari pemerintah untuk bekerja sesuai harapan

karena masih belum tampak ada kekompakkan atau saling

lempar tanggung jawab untuk menyelesaikan

permasalahan pejalan kaki sedangkan di sisi lain GIZ dan

WALHI Yogyakarta telah berkontribusi agar pejalan kaki

dapat terakomodasi di Kota Yogyakarta.

9. Visi Strategik

Stakeholders memiliki kepentingan ingin diakomodasi

tetapi di sisi lain stakeholders memiliki visi/tujuan yang

jauh ke depan. Visi tersebut berusaha diwujudkan dengan

berbagai visi strategik. Seperti kegiatan kota layak pejalan

kaki yang memiliki rencana aksi yang dapat dilakukan

hingga benar-benar menjadi kota layak pejalan kaki.

Kegiatan yang dilakukan dari interaksi-interaksi


122

stakeholders dalam menjamin kenyamanan pejalan kaki

menunjukkan bahwa transportasi ke depan harus

meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi.

Masyarakat didorong untuk beralih ke berjalan kaki dan

transportasi umum. Jika berhasil, hasil interaksi tersebut

akan bermanfaat jangkan panjang dengan menurunkan

polusi udara dan meningkatkan kenyamanan

bertransportasi sehingga kota menjadi lebih hijau dan

humanis.

Pelaksanaan governance yang dilakukan antar domain (pemerintah,

swasta dan masyarakat) dalam jaminan kenyamanan pejalan kaki tidak

sepenuhnya berhasil karena masih belum memenuhi prinsip-prinsip

governance yang baik seperti rule of law, responsiveness, kesetaraan,

efektivitas dan efisiensi dan akuntabilitas. Meskipun telah mengakomodasi

berbagai kepentingan agar pejalan kaki memperoleh hak-nya di jalan,

pelaksanaan kegiatan-kegiatan masih belum mencapai tujuan yang

diharapkan. Proses governance yang berjalan cukup baik namun dalam

pelaksanaannya belum mampu mencapai tujuan yang diinginkan. Pejalan

kaki masih minoritas dan terpinggirkan dalam hierarki pengguna jalan.

Jaminan akan kenyamanan pejalan kaki belum terwujud di Kota

Yogyakarta.
123

Solusi untuk pemberian kenyamanan pejalan kaki ialah harus lebih

aktifnya interaksi yang dilakukan antar stakeholders. Pemerintah Kota

Yogyakarta yang mempunyai peran lebih besar, seharusnya lebih responsif

dan berkomitmen dalam mengakomodasi kepentingan pejalan kaki. Tidak

hanya sebatas mendengar dan menerima, tetapi juga harus melakukan aksi

agar tidak ada kepentingan-kepentingan yang terpinggirkan. Di sisi lain,

perlu adanya keseimbangan agar swasta dan masyarakat dapat

mengimbangi peran pemerintah. Pihak swasta perlu meningkatkan

pelayanan angkutan umum agar adanya peningkatan peralihan penggunaan

jenis kendaraan dalam kegiatan berpindah tempat. Pihak masyarakat,

khususnya organisasi kemasyarakatan, perlu melakukan edukasi yang

komprehensif kepada seluruh masyarakat mengenai hak-hak pejalan kaki.

Pejalan kaki adalah semua masyarakat. Setiap orang akan berjalan

kaki baik itu dari rumah, sekolah, kendaraan umum, kendaraan pribadi dan

lain-lain. Kegiatan berjalan kaki yang semakin tergeser dengan

ketergantungan kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi,

menyebabkan berjalan kaki jarang dilakukan. Jaminan kenyamanan

pejalan kaki diberikan untuk menjaga eksistensi pejalan kaki dalam sistem

transportasi. Jaminan kenyamanan tersebut tidak hanya berdampak kepada

pejalan kaki tetapi juga aspek sosial dan lingkungan dengan

meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi dan membuat transportasi

kota menjadi lebih ramah dan humanis.

Anda mungkin juga menyukai