Helma Nuraini
helmanuraini@uinantasari.ac.id
Manusia pada dasarnya tidak suka dengan perbedaan, tetapi suka membeda-bedakan
manusia lainnya. Hal ini merupakan paradoks, hal yang kontradiktif, namun merupakan ciri khas
manusia. Orang yang berbeda di cap tidak kompak, bikin masalah, mau menonjolkan diri, dan
pada akhirnya tidak disukai. Ujung-ujungnya orang akan memilih jalan aman dengan
yang tidak seagama, sesuku, sepenampilan, segolongan dianggap ancaman, lawan, pesaing,
untuk kemudian dilabel negatif, didiskriminasi dan dipinggirkan. Jika pihak yang berbeda
merupakan pihak yang punya “kuasa”, maka akan muncul kebencian, jika pihak yang berbeda
“lemah”, misalnya pada perempuan, difabel dan kelompok minoritas, akan muncul penindasan.
Mengapa hal ini terjadi, setidaknya ada 3 dasar. Pertama, dalam Sosiologi dikenal istilah
kin selection atau inclusive fitness (Bourke, 2014). Teori ini menegaskan bahwa perilaku sosial
terkait erat dengan kombinasi spesifik dari relatedness, benefit and cost. Makhluk hidup
memiliki naluri atau insting hidup berkelompok, memilih kelompok yang memiliki kemiripan
dan menjauhi kelompok lain yang “berbeda”. Pemilihan kelompok juga didasarkan pada
seberapa besar keuntungan dan usaha untuk bergabung dengan suatu kelompok sosial
tertentu. Dalam kehidupan, hal ini tampak pada, misalnya praktik pernikahan berdasarkan
nasab, kesamaan suku, kesamaan ideologi. Berkelompok bertujuan untuk menyamakan atau
meninggikan status sosial karena individu akan diidentikkan dengan kelompok tempatnya
berafiliasi.
Kedua, manusia suka dengan persamaan dan kurang menyukai perbedaan karena
pengaruh kedekatan dan keseringan bersama. Hal ini sering digambarkan dengan ungkapan
“birds with the same feather flock together, atau “tak kenal maka tak sayang”. Manusia akan
saling menyukai orang lain yang memiliki kesamaan hobi, asal daerah, status sosial, warna kulit.
Di sisi lain, saling menyukai juga dapat terbentuk karena keseringan berjumpa. Lokasi rumah
yang berdekatan, tempat bekerja yang sama, sering berjumpa di masjid yang sama akan
memperbesar kesempatan yang besar untuk saling berjumpa, bertukar kata dan saling
mengenal lalu secara naluriah saling menyukai. Pada dasarnya, lebih mudah menjadikan orang
Ketiga, adanya fenomena ingroup and out group. In-group is a social group to which a
with which an individual does not identify. People may for example identify with their peer group,
family, community, sports team, political party, gender, sexual orientation, religion, or nation.
favoritisme pada kelompok dan fenomena tidak suka dan prasangka pada kelompok lain. Saat
orang berada dalam kelompok, ada keinginan untuk melakukan identifikasi diri dengan
kelompok, rasa ingin memiliki dan dimiliki kelompok. Ada rasa bangga, rasa suka, rasa unggul
yang hal ini berbanding terbalik dengan kelompok lain. Dalam bersikap pada kelompok liyan,
ada perasaan tidak aman, tidak percaya diri, rasa ditolak atau bahkan cemburu jika kelompok
lain lebih baik dari kelompoknya. Orang umumnya akan mengatakan “cemburu tanda tak
mampu”.
ajaran Tuhan dan pendidikan mengenai konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Institusi agama dan
institusi pendidikan (formal, informal, non formal) merupakan dua agen penting perubahan
Kedua, kecenderungan saling membenci orang yang berbeda kelompok dapat dikurangi dengan
adanya kesempatan untuk berjumpa. Sekali lagi, institusi, pemerintah, dan semua pihak yang
peduli dan bertanggung jawab perlu mengajarkan untuk saling mengenal, menepis perbedaan,
lebih banyak menekankan pada aspek persamaan. Negara Indonesia sudah menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara, dan dalam sila ketiga sudah tersurat frasa Persatuan Indonesia
Ketiga, prasangka pada kelompok liyan dan favoritisme pada kelompok pribadi menjadikan
perbedaan yang ada makin nyata, bahkan menimbulkan prasangka dan pelabelan, yang pada
akhirnya, berujung pada tindakan diskriminasi dan kekerasan. Perbedaan seharusnya bisa
menjadi rahmat, anugerah dan amanah. Sebagai rahmat, perbedaan akan menjadikan orang
saling menghargai dan belajar dari perbedaan. Sebagai anugerah, perbedaan membuat setiap
individu bisa belajar dari kelebihan dan keunikan masing-masing. Sebagai amanah, perbedaan
perlu untuk dikelola sebagai dasar bagi kehidupan bersama yang lebih bahagia.
Seharusnya perbedaan itu tidak meresahkan, kekerabatan tidak ditentukan oleh status
tapi kesamaan sebagai sesama manusia yang setara di hadapan Tuhan. Kedekatan merupakan
peluang untuk merangkul mereka yang berbeda, perbedaan sebagai rahmat agar hidup lebih
Baron, Robert A., Byrne, Donn.. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2 : Robert A. Baron dan Donn Byrne
(Ed.10). Jakarta: Erlangga.
Bourke AF. Hamilton's rule and the causes of social evolution. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci.
2014 Mar 31;369 (1642) :20130362. doi: 10.1098/rstb.2013.0362. PMID: 24686934;
PMCID: PMC3982664.
Tajfel, H. (1974). Social identity and intergroup behavior. Social Science Information, 13(2), 65-
93. https://doi.org/10.1177/053901847401300204