Anda di halaman 1dari 28

PROMOSI KESEHATAN

“STRATEGI KOMUNIKASI DALAM PENANGANAN KASUS RABIES”

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan


Penilaian Mata Kuliah Promosi Kesehatan

Disusun Oleh:
Ni Luh Putu Tania Sentana Sanjiwani (22120716016)
Putu Ayu Dwi Utami Pasek (22120716021)
Ni Wayan Sri Nadi (22120716039)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DHYANA PURA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat
manusia dan mamalia dengan mortalitas 100%. Penyebabnya adalah virus
rabies yang termasuk genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Rabies
merupakan penyakit zoonosis yang menular melalui jilatan atau gigitan hewan
yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, sigung, serigala, raccoon,
dan kelelawar (Tanzil, 2014). Penyakit ini sangat penting bagi kesehatan
masyarakat karena bisa menular ke manusia. Setiap kasus klinis rabies pada
manusia selalu berakhir dengan kematian (Suartha, et al., 2012).
Rabies merupakan penyakit yang endemis di Indonesia dan telah
menyebar di 26 dari 34 provinsi. Kasus rabies pertama kali dilaporkan di Jawa
Barat pada seekor kerbau pada tahun 1884, kemudian pada anjing pada tahun
1889, dan pada manusia pada tahun 1894 (Nugraha, et al., 2017). Laporan
kasus kematian yang disebabkan oleh rabies di Indonesia setiap tahunnya rata-
rata sebesar 150 – 300 kematian manusia akibat rabies, sehingga rabies menjadi
salah satu masalah prioritas secara nasional (Hamdani & Puhilan, 2020).

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana analisis situasi penyakit rabies?
1.2.2. Apa tujuan komunikasi dalam pengendalian rabies?
1.2.3. Siapa audiens yang ditargetkan dalam pengendalian rabies?
1.2.4. Bagaimana cara membuat pesan/konten dalam pengendalian rabies?
1.2.5. Apa media yang digunakan dalam pengendalian rabies?
1.2.6. Siapa komunikator dalam pengendalian rabies?
1.2.7. Bagaimana teknik implementasi pengendalian rabies?
1.2.8. Bagaimana monev (monitoring dan evaluasi) pengendalian rabies?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.3.1. Mengetahui analisis situasi penyakit rabies
1.3.2. Mengetahui tujuan komunikasi dalam pengendalian rabies
1.3.3. Mengetahui audiens yang ditargetkan dalam pengendalian rabies
1.3.4. Mengetahui cara membuat pesan/konten dalam pengendalian rabies
1.3.5. Mengetahui media yang digunakan dalam pengendalian rabies
1.3.6. Mengetahui komunikator dalam pengendalian rabies
1.3.7. Mengetahui teknik implementasi pengendalian rabies
1.3.8. Mengetahui monev (monitoring dan evaluasi) pengendalian rabies
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Analisis Situasi


Rabies cenderung terjadi di wilayah bagian dunia yang paling miskin dan
di masyarakat yang paling rentan. Sekitar 40% dari korban rabies adalah anak-
anak berusia di bawah 15 tahun di Asia dan Afrika. Sembilan puluh sembilan
persen dari kasus manusia di Asia dan Afrika disebabkan oleh gigitan anjing
yang terinfeksi, dan bukan karena pendedahan terhadap banyak dan
beragamnya satwa liar yang bertindak sebagai ‘reservoir’ virus di berbagai
kontinen.
Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan selama jangka waktu
2009-2018, terdapat lebih dari 50.000 kasus gigitan hewan penular rabies
(GHPR) di Indonesia. Rata-rata per tahun kasus GHPR sekitar 74.000 kasus,
mengalami peningkatan yaitu dari 45.466 kasus tahun 2009 menjadi 84.750
kasus tahun 2012 atau sebanyak 86,3%.

Gambar 4. Grafik GHPR Tahun 2009 – 2016


(Sumber: One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030)

Tahun 2014-2015, kasus GHPR kembali mengalami peningkatan,


yaitu sebanyak 73.767 kasus di tahun 2014 dan 80.403 kasus di tahun 2015.
Kasus GHPR terbanyak terjadi di Bali, sebanyak 42.630 kasus
dan Nusa Tenggara Timur, sebanyak 7.386 kasus di tahun 2015. Kasus GHPR di
tahun 2016 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2015, yaitu
68.271 kasus. Namun, kasus GHPR dalam dua tahun terakhir kembali
mengalami peningkatan yaitu tahun 2017 menjadi 74.912 kasus dan tahun 2018
menjadi 80.868 kasus (Putra, et al., 2019).

Gambar 5. Jumlah Kasus GHPR Per-Provinsi (2011-2016)


(Sumber: One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030)

Grafik Distribusi Kasus GHPR, Pemberian VAR, dan Kasus Rabies di


Indonesia selama periode 2016-2019 menunjukkan adanya peningkatan kasus
GHPR yang memerlukan perhatian dan upaya pengendalian yang lebih intensif.
Namun, pada tahun 2020, jumlah kasus GHPR menunjukkan penurunan yang
signifikan, yang menandakan adanya keberhasilan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit ini di Indonesia. Pemberian VAR sebagai langkah
pencegahan pasca-paparan tetap penting dilakukan untuk melindungi kesehatan
masyarakat dari rabies.

Gambar 6. Grafik Distribusi Kasus GHPR, Pemberian VAR


dan Kasus Rabies di Indonesia (2016-2020)
(Sumber: Kementerian Kesehatan, 2020)

Berdasarkan data Grafik Distribusi Kasus Rabies Menurut Wilayah


Provinsi (2016-2020), lima provinsi dengan jumlah kematian rabies tertinggi
adalah sebagai berikut:
1) Provinsi Sulawesi Utara (76 kematian)
2) Provinsi Kalimantan Barat (75 kematian)
3) Provinsi Sulawesi Selatan (61 kematian)
4) Provinsi Nusa Tenggara Timur (44 kematian)
5) Provinsi Sumatera Utara (40 kematian)
Data ini menunjukkan bahwa provinsi-provinsi ini mengalami beban
kasus rabies yang signifikan selama periode 2016-2020. Penting untuk
memperhatikan dan meningkatkan upaya pengendalian dan pencegahan rabies di
wilayah-wilayah ini guna melindungi kesehatan masyarakat dan mengurangi
angka kematian akibat penyakit ini (Budijanto, 2020).
Gambar 6. Grafik Distribusi Kasus Rabies
Menurut Wilayah Provinsi (2016-2020)
(Sumber: Kementerian Kesehatan, 2020)

Kalimantan Barat merupakan provinsi Kedua tertinggi dengan


kasus rabies di Indonesia pada tahun 2016-2020. Pada tahun 2016, dari
total 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat (Kalbar), delapan di
antaranya sudah mengalami kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
(GHPR) sebanyak 1.608 kejadian, yang mengakibatkan 12 kematian.
Pada tahun 2017, hanya dua daerah di Kalbar yang masih bebas
dari kasus rabies, yaitu Kota Pontianak dan Singkawang. Namun, kasus
GHPR meningkat menjadi 3.326 kejadian dengan 22 orang meninggal
akibatnya. Bahkan, pada tiga bulan pertama tahun 2018, hanya Kota
Pontianak yang tetap terbebas dari rabies. Terdapat delapan kematian
dari total 1.303 kasus GHPR yang terjadi antara Januari hingga 16 April
2018.
Gambar 7. Sebaran Rabies di Provinsi Kalimantan Barat
Pada Tahun 2014-2018

Dilihat dari segi usia, kelompok yang paling rentan terkena


dampak Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) adalah usia produktif
dan anak-anak di bawah 10 tahun. Berdasarkan data yang disediakan
oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) untuk periode
Januari hingga Desember 2017, jika dianalisis berdasarkan jenis kelamin,
pada populasi laki-laki, terjadi jumlah gigitan terbanyak pada kelompok
usia 20 - 45 tahun (546 kasus) dan pada usia 5 - 9 tahun (415 kasus).
Sedangkan pada populasi perempuan, dalam rentang usia yang sama,
jumlah gigitan tertinggi adalah 495 kasus pada kelompok usia 20 - 45
tahun, dan 286 kasus pada kelompok usia 5 - 9 tahun.
Tren ini berlanjut pada tahun 2018, dalam periode Januari hingga
Maret. Kelompok usia yang sama tetap menjadi yang paling sering
terkena gigitan. Pada laki-laki, kelompok usia 20 - 45 tahun mencatat
154 kasus gigitan, sementara pada kelompok usia 5 - 9 tahun terdapat
106 kasus gigitan. Pada perempuan, jumlah gigitan mencapai 123 pada
kelompok usia 20 - 45 tahun, dan 71 pada kelompok usia 5 - 9 tahun.
Dua kelompok usia ini memiliki risiko lebih tinggi terkena
gigitan karena pada usia produktif, mereka lebih sering melakukan
aktivitas di luar rumah. Hal ini meningkatkan kemungkinan untuk
berinteraksi dengan Hewan Penular Rabies (HPR). Di sisi lain, kelompok
usia 5 - 9 tahun cenderung lebih banyak beraktivitas di sekitar rumah.
Walaupun banyak HPR, terutama anjing, adalah hewan peliharaan,
namun beberapa di antaranya dilepasliarkan (ANTARA, 2018).

Gambar 8. Distribusi GHPR Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia


Di Provinsi Kalimantan Barat Pada Tahun 2017-2018

Di Bali, terdapat populasi anjing yang sangat padat, mencapai


sekitar 540.000 ekor atau sekitar 96 ekor per kilometer persegi.
Masyarakat Bali, yang mayoritas mempraktikkan agama Hindu,
memiliki keyakinan mitos terkait anjing, seperti yang diceritakan dalam
Mahabharata, di mana anjing dianggap sebagai jelamaan dewa. Anjing
adalah hewan yang memiliki kedekatan khusus dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Bali. Secara umum, masyarakat memelihara anjing tanpa
mengikat atau mengandangkan mereka, sehingga anjing-anjing ini dapat
berkelana bebas di sekitar lingkungan masyarakat.
Tradisi memelihara anjing ini adalah bagian dari budaya yang
seharusnya dijaga dan dilestarikan. Namun, di sisi lain, jika pemeliharaan
anjing tidak mendapatkan perhatian yang memadai, hal ini dapat menjadi
ancaman dan menjadi sarana penyebaran berbagai penyakit, termasuk
penyakit rabies (Duana, 2011).
Berdasarkan hasil surveilans dan kajian terbatas mengenai jumlah
desa tertular rabies di Provinsi Bali yang telah dilakukan di Balai Besar
Veteriner Denpasar pada tahun 2012-2017 Pada tingkat desa, terdapat
informasi bahwa dari total 716 desa di provinsi Bali, surveilans
dilakukan antara tahun 2012 hingga 2017 (lihat Tabel 1) untuk
mendeteksi virus Rabies pada anjing yang terlibat dalam kasus gigitan
manusia. Hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2012, Rabies
terdeteksi di 82 desa. Jumlah desa terinfeksi mengalami penurunan pada
tahun 2013 dengan hanya 39 desa, namun jumlahnya kembali meningkat
pada tahun 2014 menjadi 100 desa, dan tahun 2015 mencapai 283 desa.
Dalam dua tahun terakhir, upaya pengendalian yang intensif dilakukan di
seluruh wilayah provinsi Bali melalui vaksinasi massal. Dampaknya
terlihat pada tahun 2016 dengan jumlah desa terinfeksi turun menjadi
153, dan terus berkurang hingga tahun 2017 hanya tersisa 71 desa di
provinsi Bali yang terinfeksi Rabies (Septiani, et al., 2018).

Tabel 1. Jumlah Desa Tertular Rabies di Provinsi Bali 2012-2017

2.2. Tujuan Komunikasi


2.2.1. Peningkatan Kesadaran
Tujuan komunikais tentang kesadaran akan risiko rabies, focus pada
dua aspek utama yaitu:
a. Gejala Rabies
1) Kesadaran Risiko pada Manusia:
Gejala Klinis Tahap-Tahap Rabies pada Manusia:
 Tahap Prodomal: Demam, kelelahan, sakit kepala, dan
gangguan tidur.
 Tahap Sensori: Rasa kesemutan di area gigitan, cemas, dan
reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.
 Tahap Eksitasi: Gangguan neurologis, halusinasi,
ketakutan, dan fobia.
 Tahap Paralisis: Kelemahan otot progresif pada
pernapasan dan jantung yang mengakibatkan kematian.
2) Kesadaran Risiko pada Hewan
Gejala Klinis Tahap-Tahap Rabies pada Hewan:
 Tahap Prodomal: Perubahan perilaku, tidak mengenali
pemilik, dan meningkatnya suhu tubuh.
 Tahap Eksitasi: Fotofobia, perilaku gelisah, gerakan
halusinasi, agresi, dan kesulitan menelan.
 Tahap Paralisis: Kelumpuhan pada otot pengunyah dan
kaki belakang.
3) Tipe Rabies pada Hewan
 Tipe Ganas: Tahap eksitasi yang agresif, menyerang segala
yang bergerak.
 Tipe Dumb (Tenang): Tanpa tahap eksitasi, langsung ke
tahap paralisis tanpa agresi (Soedarto, 2007), (Kemenkes
RI, 2019), (Sumerti, 2018).
b. Pencegahan Rabies
1) Tujuan Pemahaman Pencegahan Rabies
 Masyarakat memahami risiko rabies, gejala, dan
cara penularannya.
 Menyebarkan informasi mengenai langkah-langkah
pencegahan yang efektif, seperti vaksinasi hewan
dan menghindari kontak dengan hewan liar yang
berpotensi terinfeksi.
 Mendorong masyarakat untuk mengadopsi
tindakan pencegahan, seperti vaksinasi rutin hewan
peliharaan dan melaporkan hewan liar yang
mencurigakan kepada otoritas terkait.
2) Pencegahan Rabies
 Vaksinasi Hewan
Fokus pada vaksinasi hewan peliharaan,
terutama anjing dan kucing, untuk mengurangi
penyebaran rabies (Sumerti, 2018), (Kementerian
Pertanian, 2019).
 Pengendalian Hewan Penular Rabies (HPR)
Mengontrol populasi hewan liar yang dapat
menjadi reservoir rabies, seperti kelelawar, untuk
mengurangi risiko penularan (Setiawaty, et al.,
2019), (Maryatiningsih, et al., 2020).
 Edukasi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat
tentang bahaya rabies, pentingnya vaksinasi
hewan peliharaan, dan cara menghindari kontak
dengan hewan liar yang berpotensi terinfeksi
(Yahya, et al., 2020).
3) Dampak Pencegahan Masyarakat
a) Kesehatan dan Keselamatan Masyarakat
Meningkatkan pemahaman tentang rabies
dapat membantu melindungi masyarakat dari
risiko penyakit ini.
b) Pengurangan Risiko Penyebaran
Langkah-langkah pencegahan yang
diadopsi oleh masyarakat membantu mengurangi
penularan rabies dari hewan ke manusia.
2.2.2. Perubahan Perilaku
Tujuan komunikasi mengenai perubahan perilaku terkait rabies
berfokus pada:
a) Kesadaran akan Pentingnya Perubahan Perilaku
Masyarakat memahami bahwa perubahan perilaku, seperti
vaksinasi hewan peliharaan atau menghindari kontak dengan hewan
liar, sangat penting untuk mencegah penularan rabies.
b) Peningkatan Pengetahuan
Memastikan masyarakat memahami gejala rabies pada hewan dan
manusia serta langkah-langkah pencegahan yang dapat mereka
ambil.
c) Partisipasi Aktif Masyarakat
Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kampanye
vaksinasi hewan dan pelaporan kasus hewan liar yang mencurigakan
kepada otoritas terkait.
d) Meningkatkan Sikap dan Perilaku Positif
Mengubah sikap dan perilaku masyarakat, seperti:
 Vaksinasi Rutin Hewan Peliharaan
 Menghindari Kontak dengan Hewan Liar
 Mendorong masyarakat untuk melaporkan hewan liar yang
berperilaku aneh atau mencurigakan.
e) Evaluasi Perubahan Sikap dan Perilaku:
Mengukur perubahan sikap, pengetahuan, dan praktik masyarakat
setelah disampaikannya informasi tentang rabies dengan melakukan
survei sebelum dan sesudah kampanye untuk menilai pengetahuan
dan sikap masyarakat (Kemenkes RI, 2019), (Sumerti, 2018),
(Anggraeni & Dudiarto, 2016).

2.3. Audiens
Segmentasi audiens dalam pencegahan kasus rabies adalah:
a. Sasaran Primer
1) Pemilik Hewan Peliharaan:
 Memastikan hewan peliharaan divaksinasi secara berkala sesuai
dengan jadwal yang disarankan oleh petugas kesehatan hewan
 Mengenali gejala rabies pada hewan peliharaan dan segera
mencari bantuan medis jika diperlukan.
b. Sasaran Sekunder
1) Masyarakat Umum
 Edukasi mengenai gejala, risiko, dan langkah-langkah pencegahan
rabies.
 Menghindari kontak dengan hewan liar yang bisa membawa rabies.
2) Petugas Kesehatan
 Mendiagnosis kasus rabies dengan cepat dan memberikan perawatan
yang diperlukan kepada pasien dan hewan yang terinfeksi.
 Menyediakan informasi yang akurat dan memperbarui praktik-
praktik terbaik kepada masyarakat terkait pencegahan dan
penanganan rabies.
 Melakukan pelaporan kasus-kasus rabies kepada otoritas kesehatan
setempat untuk tindakan lebih lanjut.
c. Sasaran Tersier
1) Pengambil Kebijakan Kesehatan
 Mengembangkan kebijakan-kebijakan yang mendukung program
vaksinasi massal dan kampanye edukasi tentang rabies.
2) Media dan Jurnalis
 Menyebarkan informasi yang akurat dan membantu dalam
mengedukasi masyarakat tentang risiko rabies serta langkah-langkah
pencegahan.
2.4. Pesan/Konten
2.4.1. Informasi Dasar
Rabies adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus rabies.
Penyakit ini umumnya ditularkan melalui gigitan hewan terinfeksi,
terutama anjing. Virus rabies menyerang sistem saraf pusat dan dapat
menyebabkan gejala neurologis serius, termasuk kejang, kesulitan menelan,
dan perubahan perilaku. Rabies biasanya fatal jika tidak diobati.
2.4.2. Tindakan Pencegahan
Pencegahan Umum:
- Hindari Kontak dengan Hewan Liar:
Penting untuk menghindari kontak dengan hewan liar atau tidak
dikenal, terutama yang terlihat sakit atau bermasalah.
- Perlakuan Setelah Gigitan:
Setelah gigitan hewan yang dicurigai terinfeksi rabies, pencarian
perawatan medis segera dengan vaksinasi rabies dan, jika diperlukan,
imunoglobulin rabies, sangat penting.
2.4.3. Agenda Komunikasi Risiko Melalui Media
Tabel 1. Agenda Komunikasi Risiko yang Ingin Dicapai dan Saluran
Penyampaiannya Melalui Media
Tujuan: Peningkatan kesadaran tentang pencegahan penyebaran rabies

Strategi
Kelompok Bentuk Dokumen Tanggal/
Fokus Topik Hubungan PIC
Audiens Kerjasama Untuk Media Bulan
Media
Kel. Audiens Primer

Pemilik Vaksinasi, Kampanye shared Brosur atau Nopember Dinas


Hewan Gejala vaksinasi melalui leaflet, Kesehatan
Peliharaan Rabies pada media sosial,
Hewan, Konten
Pencegahan Webinar tentang gambar atau
perawatan hewan, poster,

Kolaborasi Video
dengan klinik pendek,
hewan
Jadwal
vaksinasi

Kel. Audiens Sekunder


Masyarakat Gejala Artikel informatif shared Brosur atau Nopember Dinas
Umum Rabies, di media social leaflet, Kesehatan
Pelaporan dan media cetak,
Kasus, Konten
Pencegahan Kampanye poster gambar atau
Penularan. di tempat umum, poster,

Membagikan Video
brosur atau leaflet pendek,
kepada masyakat
umum
Petugas Diagnosis Pelatihan untuk Brosur atau Kepala
Kesehatan Dini, petugas kesehatan leaflet, Fasilitas
Kesehatan,
Penanganan Konten
Kasus, gambar atau Dinas
poster, Kesehatan
Pelaporan
Video
pendek,

Panduan
diagnose
cepat,
Laporan
kasus rabies
Kel. Audiens Tersier.

Pengambil Pengembang Konferensi pers shared Buletin Nopember Dinas


Kebijakan an kebijakan kebijakan baru informasi Kesehatan,
vaksinasi, kebijakan
alokasi dana
untuk
program
pencegahan,

Regulasi
terkait
perlindungan
hewan

Media dan Reportase Kerjasama untuk shared Infografis Nopember Kepala


Jurnalis mendalam wawancara gejala rabies, Redaksi,
tentang kasus dengan ahli
rabies, kesehatan Artikel Dinas
terbaru Kesehatan
Pembuatan mengenai
konten yang rabies
edukatif
tentang
rabies.
2.4.4. Agenda Komunikasi Risiko Melalui Potensi Komunitas
Tabel 2. Agenda Komunikasi Risiko yang Ingin Dicapai dan Saluran
Penyampaiannya Melalui Potensi Komunitas
Tujuan: Perubahan Perilaku

Strategi
Kelompok Bentuk Dokumen Tanggal/
Fokus Topik Hubungan PIC
Audiens Kerjasama Untuk Media Bulan
Media
Kel. Audiens Primer

Pemilik Rutinitas Kampanye shared Brosur atau Nopember Dinas


Hewan Vaksinasi, vaksinasi melalui leaflet, Kesehatan
Peliharaan media sosial,
Perhatian Konten
terhadap Gejala Webinar tentang gambar atau
Rabies, perawatan hewan, poster,

Kewaspadaan Kolaborasi Video


terhadap dengan klinik pendek,
Interaksi hewan
Hewan Liar. Jadwal
vaksinasi

Kel. Audiens Sekunder


Masyarakat Identifikasi Artikel informatif shared Brosur atau Nopember Dinas
Umum Gejala Rabies, di media social leaflet, Kesehatan
dan media cetak,
Pentingnya Konten
Melaporkan Kampanye poster gambar atau
Kasus, di tempat umum, poster,

Cara-cara Membagikan Video


Pencegahan brosur atau leaflet pendek,
Penularan. kepada masyakat
umum
Petugas Diagnosis Dini, Pelatihan untuk Brosur atau Kepala
Kesehatan petugas kesehatan leaflet, Fasilitas
Peran dalam Kesehatan,
Edukasi Konten
Masyarakat, gambar atau Dinas
poster, Kesehatan
Penanganan
Kasus Secara Video
Profesional. pendek,

Panduan
diagnose
cepat,
Laporan
kasus rabies
Kel. Audiens Tersier.

Pengambil Mendorong Konferensi pers shared Buletin Nopember Dinas


Kebijakan Kebijakan kebijakan baru informasi Kesehatan,
Vaksinasi, kebijakan

Keterlibatan
Aktif dalam
Pencegahan,

Alokasi
Anggaran
untuk Program
Rabies
Media dan Penyampaian Kerjasama untuk shared Infografis Nopember Kepala
Jurnalis Informasi yang wawancara gejala rabies, Redaksi,
Akurat dengan ahli
kesehatan Artikel Dinas
terbaru Kesehatan
mengenai
rabies

2.5. Media
Kampanye online tentang rabies dapat menjadi langkah yang efektif
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, memberikan informasi yang benar,
dan mendorong tindakan pencegahan. Berikut adalah beberapa kampanye
media sosial tentang rabies:
a) Infografik Edukasi: Desain infografik yang menarik dan informatif yang
menjelaskan fakta-fakta kunci tentang rabies, termasuk cara penularan,
gejala, dan tindakan pencegahan.
b) Video Animasi Pendek: Buat video animasi pendek yang menjelaskan
proses penularan rabies dan langkah-langkah pencegahan. Video dapat
diunggah di platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok.
c) Kampanye Tagar: Buat tagar khusus untuk kampanye Anda dan dorong
pengguna media sosial untuk berbagi informasi, foto, atau pengalaman
mereka terkait rabies. Misalnya, #StopRabies atau #RabiesAwareness.
d) Cerita Pengalaman: Ajak orang-orang untuk berbagi cerita pengalaman
mereka terkait rabies. Cerita ini dapat menjadi inspiratif atau
memperingatkan dan dapat membantu menginspirasi tindakan
pencegahan.
e) Sesi Tanya Jawab Live: Selenggarakan sesi tanya jawab langsung di
platform seperti Instagram atau Facebook. Ajak seorang ahli atau seorang
dokter hewan untuk menjawab pertanyaan dari penonton.
f) Challenge Kreatif: Buat tantangan kreatif terkait rabies, misalnya
tantangan berbagi fakta seputar rabies atau tantangan menciptakan poster
kampanye sederhana.
g) Konten Kolaborasi: Kolaborasikan dengan pengguna media sosial
terkenal, organisasi kesehatan hewan, atau influencer lokal untuk
meningkatkan jangkauan kampanye Anda.
h) Panduan Langkah-demi-Langkah: Bagikan panduan langkah-demi-
langkah untuk tindakan pencegahan, termasuk apa yang harus dilakukan
setelah gigitan hewan dan bagaimana mendekati hewan yang
mencurigakan.
i) Kuis Pendidikan: Buat kuis online tentang rabies untuk menguji
pengetahuan pengikut Anda dan memberikan hadiah atau penghargaan
kepada pemenang.
j) Siaran Langsung Edukasi: Selenggarakan siaran langsung di platform
media sosial untuk mendiskusikan topik-topik penting tentang rabies,
seperti tindakan pencegahan, pengobatan, dan dampak sosial.
k) Kampanye Donasi: Jika Anda terlibat dengan organisasi atau lembaga
amal yang berfokus pada rabies, buat kampanye penggalangan dana
online untuk mendukung program-program pencegahan dan pengobatan.
l) Pembaruan Berkala: Berikan pembaruan berkala tentang perkembangan
kampanye, statistik penularan rabies, dan keberhasilan tindakan
pencegahan.
m) Sosialisasi Vaksinasi Hewan Peliharaan: Fokus pada pentingnya
vaksinasi hewan peliharaan dengan berbagi informasi tentang lokasi
vaksinasi gratis atau berbiaya rendah.
2.6. Komunikator
Peran Komunikator Kesehatan Rabies:
a) Pendidikan Masyarakat: Memberikan informasi kepada masyarakat
tentang pentingnya vaksinasi hewan peliharaan, cara menghindari kontak
dengan hewan liar, dan tindakan pencegahan lainnya.
b) Konsultasi dengan Pemilik Hewan: Menyediakan konsultasi kepada
pemilik hewan peliharaan tentang perlunya vaksinasi rabies, tanda-tanda
penyakit, dan tindakan yang harus diambil setelah gigitan hewan.
c) Kampanye Kesadaran: Merancang dan melaksanakan kampanye kesadaran
di tingkat lokal atau regional untuk meningkatkan pemahaman masyarakat
tentang risiko rabies dan tindakan pencegahan yang dapat diambil.
d) Siaran Media: Menjadi sumber informasi untuk media lokal, memberikan
wawancara dan kontribusi artikel untuk membahas isu-isu terkini seputar
rabies.
e) Kolaborasi dengan Pihak Terkait: Bekerja sama dengan lembaga
pemerintah, organisasi nirlaba, dan klinik hewan untuk menyebarkan
pesan kesehatan secara efektif dan memastikan aksesibilitas layanan
vaksinasi.
f) Evaluasi Program: Melakukan evaluasi reguler terhadap program
penyuluhan dan kampanye untuk memastikan efektivitasnya dan membuat
penyesuaian jika diperlukan.
Seorang komunikator kesehatan yang berfokus pada rabies berperan
penting dalam membentuk perilaku masyarakat dan menciptakan kesadaran
yang dapat mengurangi risiko penularan rabies.

2.7. Teknik Implementasi


2.7.1. Kegiatan Pencegahan
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah menetapkan strategi
eliminasi rabies pada tahun 2020 melalui strategi terpadu dengan
menggunakan pendekatan One Health Approach yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan dengan melakukan advokasi dan
sosialisasi, imunisasi massal dan manajemen populasi anjing, serta
profilaksis sebelum dan sesudah pajanan dengan vaksin anti-rabies
sebagai salah satu strategi yang telah ditetapkan. Strategi ini sejalan
dengan "Zero by 30", sebuah aksi global untuk mencapai nol kematian
manusia akibat rabies yang ditularkan oleh anjing pada tahun 2030, yang
didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi
Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), dan Aliansi Global untuk
Pengendalian Rabies (GARC).
2.7.2. Kampanye Kesadaran
Hari Rabies Sedunia yang diperingati tanggal 28 September
2022, merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
terkait dengan bahaya rabies yang dapat mengintai di lingkungan. Hari
Rabies Sedunia 2022 mengangkat tema World Rabies Day tahun ini
adalah “One Health, Zero Death. Direktorat P2PM Kementerian
Kesehatan RI mengadakan Kampanye Hari Rabies Sedunia 2022 yang
dilaksanakan secara luring dan daring melalui kanal Zoom dengan para
narasumber dan moderator, yaitu: dr. Imran Pambudi, MPHM (keynote
speech), dr. Asep Purnama, Sp.PD (Praktisi Penanganan Rabies pada
manusia), drh. Maria Geong, PhD (Praktisi Penanganan rabies pada
Hewan), Ari Rukmantara (Moderator Praktisi Komunikasi
Risiko), Ranggawisnu (Program Development Manager BAWA), Risca
Rumondor (Sekretaris Desa Kauneran Kec Sonder Kab. Minahasa).
2.7.3. Promosi dan Publisitas
Untuk mencegah terjadinya kasus Rabies, jajaran kesehatan berupaya
untuk :
 Meningkatkan promosi kesehatan tentang pentingnya mencuci
luka gigitan hewan penular rabies menggunakan sabun dengan air
mengalir selama 15 menit.
 Ketersediaan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies
(SAR) untuk penanganan kasus gigitan hewan penular rabies.
 Membentuk Rabies Center sebagai pusat informasi dan
penanganan kasus gigitan hewan penular Rabies.
Strategi yang digunakan adalah melakukan Bimbingan Teknis
Kesehatan Hewan dan menyusun buku saku “Mengenal Zoonosis” dan
“Yuk Divaksin Rabies”. Disamping itu, sebagai bahan komunikasi
adalah ada gantungan kunci dan stiker. Tujuannnya adalah untuk lebih
mengenalkan program secara detail dan berkelanjutan. Publisitas
program dilakukan dengan merangkul KOMINFO dan RADAR TV
untuk menyebarluaskan program. Penerapan teknologi dengan media
terbaik yang bisa dimanfaatkan untuk beriklan adalah dengan
menggunakan teknologi internet seperti Instagram, facebook, youtube
dll. Sebagai media komunikasi, informasi dan edukasi, Dinas kesehatan.
2.7.4. Kolaborasi Dengan Pemerintah Lokal
Pelaksanaan program, telah ditunjuk pelaksana yang berkompeten
dan mampu berkomunikasi dengan komunitas serta telah terbentuk
Komunitas #PEGIAT CIROBIS untuk menggiatkan dan menggerakkan
kegiatan.
Dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No.15 Tahun 2009
merupakan dasar kebijakan penanggulangan rabies yang sampai saat ini
masih menjadi acuan pelaksanaan program oleh Pemda Bali, yang
mengatur pencegahan rabies, pengaturan dan pengawasan HPR (baik
pemeliharaan maupun peredaran), serta pemantauan dan pengawasan
implementasi program hingga nanti target bebas kasus bisa kembali
disandang. Secara singkat, strategi Dinas adalah :
 Kegiatan vaksinasi
 Kegiatan selektif euthanasia
 Kegiatan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi)
 Kegiatan pengawasan lalu lintas HPR
 Kegiatan monitoring dan surveilans
 Kegiatan kontrol populasi (pembatasan populasi HPR.
Dikatakan bahwa upaya sosialisasi dan edukasi oleh Pemda setempat
telah banyak dilakukan. Terlebih adanya Pergub Bali No 18 Tahun 2010
perihal tata cara pemeliharaan HPR sebagai pelengkap Bagian Kedua
terkait Pemeliharaan pada Pasal 5 dan 6, Perda Bali No 15 Tahun 2009.
Ada beberapa poin yang mewajibkan warganya untuk lebih
memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan hewan peliharaannya,
termasuk harus diregistrasi divaksin, dipelihara di dalam pekarangan
tempat tinggalnya (dikandangkan atau diikat), serta dipakaikan alat
pengaman seperti berangus atau leash saat dibawa keluar dari rumah.

2.8. Monev (Monitoring dan Evaluasi)


Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan dua kegiatan yang tidak
dapat dipisahkan dan saling terkait. Pada program pengendalian dan
penanggulangan rabies, monev dilakukan mulai sejak tahap persiapan,
pelaksanaan dan pada akhir kegiatan, bahkan sampai dengan pada saat program
sudah berakhir. Monev pada tahap persiapan akan dilakukan dengan melakukan
monitoring dan evaluasi situasi awal penyakit, ketersediaan sumber daya,
ketersediaan sumber dana, komitmen pemangku kepentingan di daerah setempat.
Monev pada tahap pelaksanaan merupakan kegiatan monitoring dan evaluasi
yang paling utama untuk dilakukan. Sementara monev pada tahapan akhir
dilakukan untuk melihat keberhasilan kegiatan pengendalian dan
penanggulangan dengan melakukan monitoring dan evaluasi pada penurunan
kasus, dan kemungkinan pembebasan. Monev pada saat program sudah berkahir
adalah untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang dapat menyebabkan daerah-
daerah tertular kembali dan merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang dapat
mencegah dan mengantisipasi risiko tersebut.
a. Pemantauan Kasus
Pengumpulan data dilakukan secara berkesinambungan dengan
periode mingguan oleh petugas kesehatan yang bertanggung jawab.
Kasus baru akan dilaporkan oleh bidan desa maupun puskesmas melalui
format mingguan (W2). Format pengumpulan data berisi informasi:
nomor urut, identitas unit kesehatan (puskesmas/pustu/ bidan,
kecamatan, kabupaten), jumlah minggu epidemiologi, data penyakit.
Data lain yang diperlukan yang merupakan data faktor risiko adalah data
surveilans HPR yang diperoleh dari Dinas yang membidangi kesehatan
hewan, antara lain populasi anjing/HPR, cakupan vaksinasi HPR, jumlah
kasus rabies pada hewan, data titer antibodi HPR, dan data lain yang
diperlukan.
b. Survei dan Umpan Balik
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, keikutsertaan
responden dalam penyuluhan rabies yang dilakukan instansi pemerintah
sangatlah minim. Namun, sebagian besar responden mengetahui bahaya
rabies yakni 89,3% (125/140) dan tahu ciri- ciri anjing rabies sebesar
77,1% (108/140). Responden yang tidak pernah mengikuti penyuluhan
rabies, pengetahuan tentang bahaya dan ciri-ciri anjing rabies didapatkan
melalui informasi yang diberikan tetangga dan siaran televise. Semakin
berkembangnya teknologi masyarakat semakin memahami bahaya
penyakit rabies dan mulai aktif dalam vaksinasi pada anjing mereka.
BAB III
SIMPULAN

3.1 Simpulan
Rabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus rabies dan
menyerang sistem saraf pusat, menyebabkan peradangan yang fatal. Sejak zaman
kuno, rabies telah menjadi perhatian manusia karena sifatnya yang mematikan dan
menular. Virus rabies menyebar melalui gigitan hewan yang terinfeksi atau melalui
luka terbuka yang terkena air liur hewan yang terinfeksi.
Strategi komunikasi pengendalian rabies terfokus pada pendekatan holistik
dengan memahami audiens secara mendalam, menyampaikan pesan yang jelas dan
relevan melalui berbagai media komunikasi, serta menggelar kampanye edukasi
yang luas. Kolaborasi dengan lembaga kesehatan, organisasi hewan, dan pemerintah
setempat menjadi kunci, sementara kreativitas dan interaksi aktif melalui kegiatan
komunitas turut mendukung pemahaman yang lebih baik akan risiko rabies. Dengan
pendekatan yang inklusif, diharapkan pesan pencegahan rabies dapat tersebar luas,
mendorong perubahan perilaku yang diperlukan, dan membantu mengendalikan
penyebaran penyakit ini secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, D. & Dudiarto, E., 2016. Pengantar Epidemiologi, E/2. 2 ed. Jakarta: EGC.
ANTARA, 2018. Sebaran Rabies Yang Menghantui Kalbar. [Online]
Available at: https://kalbar.antaranews.com/berita/361282/sebaran-rabies-yang-
menghantui-kalbar
Budayanti, N. N. S., 2020. Penerapan Konsep One Health Dalam Penanganan Kasusa
Rabies. Sleman: Penerbit Deepublish.
Budijanto, D., 2020. Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Pengendalian Rabies di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
CIVAS, 2014. Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies: Rabies. [Online]
Available at: https://civas.net/en/2014/02/24/rabies/
Dibia, I. N. et al., 2015. Faktor-Faktor Risiko Rabies pada Anjing di Bali. Jurnal
Veteriner, 16(3), pp. 389-398.
Duana, I. M. K., 2011. Persepsi Masyarakat Terhadap Penyakit Rabies. Jurnal Online
Universitas Gadjah Mada, 27(3).
Hamdani, R. & Puhilan, 2020. pidemiologi Penyakit Rabies di Provinsi Kalimantan
Barat. JHECDs: Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases,
6(1), pp. 7-14.
Hidayati, F. et al., 2019. Intervensi Penyuluhan dengan Metode Ceramah dan Buzz
untuk Peningkatkan Pengetahuan dan Sikap Kader Posyandu dalam
Pengendalian Rabies di Kabupaten Sukabumi. Jurnal Penyuluhan, 15(1), pp. 65-
74.
Irwan, 2018. Epidemiologi Penyakit Menular. II ed. Yogyakarta: CV. Absolute Media.
Kemenkes RI, 2019. Buku Saku Rabies: Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus
Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Rebuplik Indonesia.
Kementerian Pertanian, 2019. Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di
Indonesia. Jakarta: Direktoran Jenderan Peternakan dan Kesehatn Hewan
Kementerian Pertanian.
Maryatiningsih, Sugito & Tohardi, A., 2020. Evaluasi Kebijakan Pengendalian Dan
Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Rabies Di Kabupaten Kapuas Hulu.
JPASDEV: Journal of Public Administration and Sociology of Development,
1(1).
Masriadi, 2014. Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT Raja Grafindo Persada.
Murti, B., 2010. Sejarah Epidemiologi. Surakarta: FK Universitas Sebelas Maret.
Nasronudin, 2011. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini & Mendatang. Surabaya:
Airlangga University Press.
Nugraha, E. Y., Batan, I. W. & Kardena, I. M., 2017. Sistem Pemeliharaan Anjing dan
Tingkat Pemahaman Masyarakat Terhadap Penyakit Rabies di Kabupaten
Bangli, Bali. Jurnal Veteriner, 18(2), pp. 274-282.
Putra, A. A. G. et al., 2019. [Draft] One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional
2030. Jakarta: Pemerintah RI.
Rumlawang, F. Y. & Nahlohy, M. I., 2011. Analisa Kestabilan Model Penyebaran
Penyakit Rabies. Jurnal Barekeng, 5(2), pp. 39-44.
Septiani, M. et al., 2018. Kemajuan Penanganan Rabies Bali: Analisis Tahun 2012-
2017. Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan
Ilmiah (RATEKPIL) dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018, pp. 323-
330.
Setiawaty, V., Septiawati, C. & Burni, E., 2019. Karakteristik Kasus Fatal Akibat
Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia 2016 – 2017. Media Litbangkes,
29(3), pp. 235-242.
Soedarto, 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya: Airlangga University Press.
Suartha, I. N. et al., 2012. Pengetahuan Masyarakat Tentang Rabies Dalam Upaya Bali
Bebas Rabies. Buletin Veteriner Udayana, 4(1), pp. 41-46.
Sumerti, N. L. P., 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Tingginya
Pemakaian Vaksin Anti Rabies (VAR) Pada Kasus Gigitan Hewan Penular
Rabies di Kabupaten Karangasem. Denpasar: Sekolah Timggi Ilmu Kesehatan
Bali.
Sumiarto, B. & Budiharta, S., 2021. Epidemiologi Veteriner Analitik. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Tanzil, K., 2014. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal WIDYA
Kesehatan Dan Lingkungan, 1(1), pp. 61-67.
Winarni, 2021. Buku Pintar Penanggulangan Wabah Penyakit Dunia dan Nasional.
Yogyakarta: DIVA Press.
Yahya, A. et al., 2020. Edukasi Masyasrakat dalam Mengurangi Rabies Serta
Peningkatan Kesehatan Ternak melalui Pemeriksaan Masal pada Lima UPT di
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat, 2(2), pp.
294-301.
Zamosky, L., 2018. Louis Pasteur and the Fight Against Germs. Huntington Beach:
Teacher Created Materials.

B. S. Division and U. Abdurrab, “Uji Penambatan Molekul Isomer Trans- ( ± ) -


Kusunokinin Terhadap Glikoprotein Dari Virus Rabies,” no. 2, pp. 19–25, 2023.
S. Kasus, P. Dinas, P. Dan, and P. Kabupaten, “Implementasi Strategi Pengembangan
Penguatan Fungsi Pelayanan Kesehatan Hewan Dalam Meningkatkan Capaian
Vaksinasi Rabies Di Kabupaten Ciamis,” vol. 2, no. 3, 2023.
N. M. Manro and D. N. Yovani, “Menuju Indonesia Bebas Rabies 2020: Problem
Institusi Dalam Implementasi Kebijakan Kesehatan Publik Di Bali Towards a
Rabies-Free Indonesia By 2020: Institution Problem of Public Health Policy
Implementation in Bali,” J. Kebijak. Kesehat. Indones. JKKI, vol. 07, no. 04,
pp. 168–177, 2018.
Kementerian Pertanian, “Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di Indonesia,”
Direktorat Jendral Peternak. dan Kesehat. Hewan Kementeri. Pertan., pp. 1–
100, 2019, [Online]. Available: http://keswan.ditjenpkh.pertanian.go.id/?p=2681
K. K. R. Indonesia, “Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Rabies pada Manusia di
Indonesia,” pp. 1–63, 2017, [Online]. Available:
https://p2pm.kemkes.go.id/storage/publikasi/media/file_1619048793.pdf
B. Suwartama, I. W. Batan, and I. K. K. Agustina, “Sistem Pemeliharaan Anjing dan
Tingkat Pemahaman Rabies Masyarakat Desa yang belum Tertular Rabies di
Kabupaten Gianyar, Bali,” Indones. Med. Veterinus, vol. 7, no. 3, p. 218, 2018,
doi: 10.19087/imv.2018.7.3.218.

Anda mungkin juga menyukai