2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh
virus dari genus Lyssa virus (dari bahasa Yunani Lyssayang berarti mengamuk atau
kemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas
dan manusia. Rabies berasal dari bahasa latin "rabere" yang artinya marah, menurut
bahasa Sansekerta "rabhas" yang berarti kekerasan (Carter, 2007).
Sampai dengan tahun 2015, rabies tersebar di 25 Provinsi dengan jumlah kasus
gigitan yang cukup tinggi. Berdasarkan data pada tahun 2015 dari Ditjen Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit (P2P), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik terdapat 80.403 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
(GHPR) yang dilaporkan. Sedangkan 9 provinsi bebas Rabies, diantaranya 5 provinsi
bebas historis (Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Nusa
Tenggara Barat), dan 4 provinsi dibebaskan (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, dan DKI Jakarta). Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau
upaya pengendalian rabies, yaitu kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus
yang diberi Vaksinasi Post Exposure treatment dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan
kasus yang meninggal karena Rabies (Lyssa) dan specimen positif pada hewan.
Penentuan suatu daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium hewan, dan kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian Pertanian
(Kemenkes RI, 2016).
Pada tahun 2015 terdapat 80.403 kasus GHPR. Kasus GHPR paling banyak terjadi
di Bali yaitu sebanyak 42.630 kasus, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur yaitu
sebanyak 7.386 kasus. Sedangkan pada tahun 2016 menjadi 68.271 kasus GPHR dan
pada tahun 2017 kasus GHPR menjadi 74.245. Kasus GPHR pada tahun 2017 paling
banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 29.391 kasus, diikuti oleh NTT sebanyak 10.139
kasus, dan Sumatera Utara sebanyak 5.348 kasus (Kemenkes RI, 2017).
Kematian yang diakibatkan oleh Rabies (Lyssa) pada tahun 2015 terdapat 118 kasus,
terjadi paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan di Bali sebanyak 15
kasus. Sedangkan pada tahun 2016 mengalami penurunan pada jumlah kematian yang
diakibatkn oleh Lyssa (Rabies) menjadi 99 kasus dan mengalami peningkatan kembali
pada tahun 2017 menjadi 108 kasus dengan untuk kematian akibat rabies (Lyssa) paling
banyak terjadi di Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan dengan masing-masing
sebanyak 22 kasus, diikuti oleh Sulawesi Utara sebanyak 15 kasus, dan Sumatera Utara
sebanyak 11 kasus. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi dengan
kematian akibat rabies rendah pada tahun sebelumnya, namun pada tahun 2017 memiliki
kasus kematian terbanyak meskipun kasus gigitan hewan penular rabies di provinsi
tersebut menurun dalam tiga tahun terakhir (Kemenkes RI, 2017).
Antraks merupakan salah satu zoonosis yang menjadi masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri antraks (Bacillus anthracis) yang dapat
membentuk spora yang bertahan di lingkungan sampai puluhan tahun. Antraks selain
menjadi masalah kesehatan masyrakat, juga dapat mengancam dunia internasional karena
dapat dijadikan senjadi biologis. Penyakit antraks merupakan salah satu dari 25 penyakit
yang menimbulkan kerugian ekonomi, keresahan masyarakat dan kematian hewan yang
tinggi. Antraks tidak hanya mempengaruhi kesehatan manusia, tetapi juga menyebabkan
kemiskinan dan tekanan emosional, terutama di kalangan penduduk yang mata
pencahariannya bergantung pada pertanian pastoral (Widoyono, 2005).
Data 10 tahun terakhir periode 2008-2017 wilayah distribusi kasus antraks mencakup
tujuh provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sulawesi Barat, Gorontalo dan DI Yogyakarta. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bahwa
beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Jambi, Papua, Jawa Barat dan DKI Jakarta
sudah menjadi area terkendali antraks. Pada bulan Februari 2016 kejadian antraks juga
dilaporkan di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten
Pinrang. Kejadian antraks pada sapi di Kabupaten Pinrang baru pertama kali dilaporkan,
dengan kematian 33 ekor sapi dan tiga ekor kerbau (Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan Kementerian Pertanian, daerah endemis antraks pada hewan sampai
tahun 2017 ada di 12 provinsi, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jambi, dan Jawa Timur. Sementara kasus
pada manusia yang dilaporkan sampai tahun 2017 ada di 5 provinsi, yaitu Sulawesi
Selatan, Gorontalo, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta
(Pusdatin, 2017).
Pada tahun 2015 di Indonesia tidak ditemukan kasus antraks. Sedangkan pada
tahun 2016 kasus antraks menjadi 52 kasus. Untuk tahun 2017 terjadi kembali di Nusa
Tenggara Timur sebanyak 1 kasus, Sulawesi Selatan sebanyak 2 kasus, Gorontalo
sebanyak 45 kasus, Jawa Timur sebanyak 11 kasus dan DI Yogyakarta sebanyak 4 kasus.
Sementara itu, untuk provinsi lain yang tidak lagi ditemukan kasus pada manusia, masih
merupakan daerah endemis antraks dan dapat berpotensi untuk menyebabkan kasus pada
manusia, bila tidak dilakukan pengendalian baik dari sektor kesehatan manusia maupun
sektor kesehatan hewan. Pada pengendalian dilakukan investigasi bersama yang
dilakukan oleh sektor kesehatan manusia dan kesehatan hewan (Kemenkes RI, 2017).
Pada tahun 2015 di Indonesia tidak ditemukannya kasus kematian yang disebabkan
oleh antraks. Begitu juga pada tahun 2016 tidak ditemukannya kasus kematian yang
disebabkan oleh antraks. Namun, pada tahun 2017 di Indonesia ditemuka kasus kematian
yang disebabkan oleh antraks sejumlah satu kasus. Kasus tersebut berada pada Terdapat 1
kasus meninggal di Provinsi DI Yogyakarta yang dikarenakan adanya infeksi meningitis
anthraxis. Sementara itu, untuk provinsi lain yang tidak lagi ditemukan kasus pada
manusia, masih merupakan daerah endemis antraks dan dapat berpotensi untuk
menyebabkan kasus pada manusia, bila tidak dilakukan pengendalian baik dari sektor
kesehatan manusia maupun sektor kesehatan hewan
Rabies dan antraks merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan
kematian apabila tidak mendapatkan pencegahan dan penanganan penyakit tersebut
dengan baik dan benar. Namun dari data di atas menunjukkan bahwa kejadian dan
kematian yang diakibatkan oleh penyakit rabies dan antraks yang terjadi di masyarakat
lebih banyak ditemukan kasus rabies dibandingkan antraks. Oleh sebab itu, maka
pembahasan selanjutnya akan membahas tentang penyakit rabies secara rinci pada daerah
Sulawesi Utara.
Provinsi Sulawesi Utara yang terbagi atas 11 kabupaten dan 4 kota dengan 171
kecamatan serta 1.838 desa kasus kematian rabies tertinggi selama 4 tahun berturut-turut
terjadi di Kabupaten Minahasa Selatan sebanyak 19 kasus atau 22,6% dari seluruh kasus
kematian di Sulawesi Utara dan 2 daerah yang bebas kasus kematian selama 4 tahun
berturut-turut (2014-2017) yaitu Kota Tomohon dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Hasil
analisa lokasi dan proporsi perbandingan peta sebaran lyssa per tahun menunjukkan
bahwa penularan rabies dari tahun ke tahun meningkat secara bertahap dari 1% (20 dari
1.838 desa) pada tahun 2014 sampai dengan 2% (28 dari 1.838 desa) pada tahun 2015
yang kemudian turun menjadi 1,1% (21 dari 1.838 desa) pada tahun 2016 dan semakin
turun menjadi 0,8% (15 dari 1.838 desa) (Faizal, 2004).
Dari distribusi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) terlihat bahwa kasus
gigitan banyak terjadi diwilayah 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Minahasa dengan
768 kasus, kemudian Kota Manado dengan 391 dan Kota Manado dengan 359 kasus,
sedangkan paling sedikit kasus di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 14 Kasus,
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 17 Kasus dan Kabupaten Minahasa Utara
dengan 39 Kasus (Kemenkes RI, 2017)
Frekuensi Rabies di Sumatera utara
45
40
jumlah (kasus,kematian)
35
30
25
20
15
10
5
0
2015 2016 2017
kasus kematian
Pada tahun 2015 di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan sebanyak 22 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 10, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 12 kasus
dan jumlah kematian sebanyak 10 kasus. Distribusi kasus dari tahun 2015 ke 2016
cenderung mengalami penurunan akan tetapi jumlah kasus kematian yang konstan. Pada
tahun 2016 menuju 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus yang sangat signifikan yaitu
40 kasus GHPR dengan jumlah kematian sebanyak 15 orang
Sebaran spasial kasus kematian berdasarkan penelitian, kasus yang ditemukan dan
jumlah kasus kematian akibat rabies terhitung dari tahun 2015-2017 mengalami
puncaknya pada tahun 2017. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilisasi
anjing yang cukup tinggi di wilayah Sulawesi Utara, selain itu pemeliharaan anjing yang
sering diliarkan oleh pemiliknya. Penularan rabies dapat disebabkan karena kondisi
anjing yang tidak terpelihara dengan baik dan berkontak dengan anjing liar yang
terinfeksi rabies hingga memberikan peluang terjadi gigitan hewan positif rabies (Faizal,
2004).
B. Rumusan Masalah
Tingginya kejadian penyakit rabies di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2015-2017
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tingginya kejadian penyakit akibat rabies di Provinsi Sulawesi
Utara
2. Untuk mendeskripsikan kejadian penyakit rabies di Provinsi Sulawesi Utara
3. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit rabies di Provinsi Sulawesi
Utara
D. Ruang Lingkup
1. Tempat
Sulawesi Utara
2. Waktu
2019
3. Materi
a. Definisi penyakit rabies
b. Etiologi penyakit rabies
c. Keluhan dan gejala penyakit rabies
d. Pemeriksaan penunjang diagnostic
e. Cara pengobatan penyakit rabies
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
E. CARA PENGOBATAN
Penanggulangan rabies dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu pemberian
vaksin anti rabies dilaksanakan terhadap semua anjing peliharaan, juga beberapaa ekor
kera dan kucing dan eliminasi total pada HPR di daerah tertular pada radius 10 km dari
titik kasus desa positif yang sudah dikonfirmasi laboratorium dan mendapat pertolongan
pertama jika tergigit oleh hewan yang terkena rabies (Tri Akoso, 2007).
Hewan yang diperkirakan berpotensi mengandung virus rabies diberikan
vaksinasi rabies. Sedangkan hewan tersangka dikarantina paling kurang 10 hari. Bila
hewan tetap hidup kemungkinan hewan tidak menderita rabies (Yatim Faisal, 2004).
Pada tahun 2007 program eliminasi total berubah menjadi eliminasi selektif dilakukan
pada anjing liar atau yang tidak jelas kepemilikannya, hal ini terjadi karena masyarakat
pada umumnya tidak menyetujui anjingnya dibunuh karena anjing mempunyai nilai
ekonomi tinggi, dipercayakan sebagai penjaga rumah dan kebun juga dibeberapa tempat
tertentu anjing digunakan sebagai hewan adat yaitu untuk mas kawin/belis juga dipercaya
sebagai penemu sumber air dan api. Target utama penanggulangan rabies adalah anjing
yang mempunyai pemilik tetapi diliarkan dan anjing liar. Anjing yang sudah terinkubasi
rabies walau sudah divaksinasi akan tetap menunjukan gejala rabies. Pemberian VAR
pada hewan bartujuan memberikan kekebalan/imunitas untuk melawan infeksi sehingga
hewan resisten (tahan) terhadap infeksi, tindakan di daerah tertular, dengan cara eliminasi
anjing, kucing liar di jalanan atau anjing tidak bertuan (stary dogs and stray cats).
Vaksinasi akan mengurangi jumlah anjing rabies, demikian juga jumlah orang yang
tergigit (Jackson, 2003).
Penanganan pertama yang dilakukan jika tergigit HPR adalah 1) karena virus
rabies akan menetap pada luka gigitan selama dua minggu sebelum bergerak ke ujung
saraf pasterior (Widoyono, 2011), maka pencucian segera cuci luka gigitan dengan air
bersih dan sabun atau dengan detergen selama 5-10 menit kemudian bilas dengan air
mengalir, lalu keringkan dengan kain bersih atau kertas tissue, lalu diberi obat kemudian
dibalut dengan longgar dengan pembalut yang bersih. Penderita secepatnya dibawah ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut (Novel
SS, 2011). Pemberian zat anti rabies (Human Rabies Imunoglobilin = HRIg) pada luka
gigitan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian vaksin rabies pada sisi lain untuk
merangsang pembentukan anti rabies yang aktif oleh tubuh sendiri (Yatim Faisal, 2004)
Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu
sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR)
sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin
dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus dipertimbangkan perlu
tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan
pemberian analgetik (Depkes 2000). Penderita dengan gejala rabies harus dirawat di
rumah sakit di ruang isolasi. Ruangan sebaiknya gelap dan tenang, petugas kesehatan
yang menangani harus memakai alat pelindung diri dari kemungkinan tertular seperti
kacamata plastik, sarung tangan karet, masker dan jas laboratorium lengan panjang
(Widoyono, 2011).
BAB III
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
A. ANALISIS SITUASI
Provinsi Sulawesi Utara yang terbagi atas 11 kabupaten dan 4 kota dengan 171
kecamatan serta 1.838 desa kasus kematian rabies tertinggi selama 4 tahun berturut-turut
terjadi di Kabupaten Minahasa Selatan sebanyak 19 kasus atau 22,6% dari seluruh kasus
kematian di Sulawesi Utara dan 2 daerah yang bebas kasus kematian selama 4 tahun
berturut-turut (2014-2017) yaitu Kota Tomohon dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Hasil
analisa lokasi dan proporsi perbandingan peta sebaran lyssa per tahun menunjukkan
bahwa penularan rabies dari tahun ke tahun meningkat secara bertahap dari 1% (20 dari
1.838 desa) pada tahun 2014 sampai dengan 2% (28 dari 1.838 desa) pada tahun 2015
yang kemudian turun menjadi 1,1% (21 dari 1.838 desa) pada tahun 2016 dan semakin
turun menjadi 0,8% (15 dari 1.838 desa).
Dari distribusi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) terlihat bahwa kasus
gigitan banyak terjadi diwilayah 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Minahasa dengan
768 kasus, kemudian Kota Manado dengan 391 dan Kota Manado dengan 359 kasus,
sedangkan paling sedikit kasus di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 14 Kasus,
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 17 Kasus dan Kabupaten Minahasa Utara
dengan 39 Kasus.
Frekuensi Rabies di Sumatera utara
45
40
35
jumlah (kasus,kematian)
30
25
20
15
10
0
2015 2016 2017
kasus kematian
Pada tahun 2015 di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan sebanyak 22 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 10, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 12 kasus
dan jumlah kematian sebanyak 10 kasus. Distribusi kasus dari tahun 2015 ke 2016
cenderung mengalami penurunan akan tetapi jumlah kasus kematian yang konstan. Pada
tahun 2016 menuju 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus yang sangat signifikan yaitu
40 kasus GHPR dengan jumlah kematian sebanyak 15
Sebaran spasial kasus kematian berdasarkan penelitian, kasus yang ditemukan dan
jumlah kasus kematian akibat rabies terhitung dari tahun 2015-2017 mengalami
puncaknya pada tahun 2017. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilisasi
anjing yang cukup tinggi di wilayah Sulawesi Utara, selain itu pemeliharaan anjing yang
sering diliarkan oleh pemiliknya. Hal ini sejalan dengan penelitian Kakang (2017) bahwa
penularan rabies dapat disebabkan karena kondisi anjing yang tidak terpelihara dengan
baik dan berkontak dengan anjing liar yang terinfeksi rabies hingga memberikan peluang
terjadi gigitan hewan positif rabies.
B. TRIAS EPIDEMIOLOGI
1. Agent
Rhabdovirus dari genus Lyssavirus. Semua anggota genus ini mempunyai
persamaan antigen, namun dengan teknik antibodi monoklonal dan nucleotide
sequencing dari virus menunjukkan adanya perbedaan tergantung spesies binatang
atau lokasi geografis darimana mereka berasal. Virus yang mirip dengan rabies
yang ditemukan di Afrika (Mokola dan Duvenhage) jarang menyebabkan
kesakitan pada manusia mirip seperti rabies dan jarang yang fatal. Lyssavirus baru
telah ditemukan pertama kali pada tahun 1996, pada beberapa spesies dari Flying
fox dan kelelawar di Australia dan telah menyebabkan dua kematian pada
manusia dengan gejala penyakit seperti rabies. Virus ini untuk sementara diberi
nama ”Lyssavirus kelelawar Australia”. Virus ini mirip dengan virus rabies
namun tidak identik dengan virus rabies klasik. Sebagian penderita penyakit yang
disebabkan oleh virus yang mirip rabies inim dengan teknik pemeriksaan standard
FA test kemungkinan didiagnosa sebagai rabies.
2. Host
Hewan-hewan yang terkena virus rabies seperti Anjing, Kucing, Monyet, Musang
dan juga manusia.
3. Environment
Penyakit ini sering terjadi di lingkungan dimana anjing lebih banyak dari pada
orang yang tinggal disitu (Depkes, 2000).
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pada tahun 2015 di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan sebanyak 22 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 10, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan sebanyak
12 kasus dan jumlah kematian sebanyak 10 kasus. Distribusi kasus dari tahun
2015 ke 2016 cenderung mengalami penurunan akan tetapi jumlah kasus
kematian yang konstan. Pada tahun 2016 menuju 2017 terjadi peningkatan jumlah
kasus yang sangat signifikan yaitu 40 kasus GHPR dengan jumlah kematian
sebanyak 15 orang.
2. Dari 11 Kabupaten dan 4 Kota dengan 171 Kecamatan serta 1.838 Desa di
Sulawesi Utara, kasus kematian rabies tertinggi selama 4 tahun berturut-turut
terjadi di Kabupaten Minahasa Selatan.
3. Dari distribusi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR), kasus gigitan banyak
terjadi di 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Minahasa dengan 768, kota Manado
dengan 359 kasus, sedangkan kasus palng sedikit terjadi di Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur yaitu 14 kasus, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 1
kasus, dan Kabupaten Minahasa Utara dengan 39 kasus.
4. Strategi oleh kementerian kesehatan dalam pemberantasan kasus rabies yang
merupakan implementasi program nasional menuju Indonesia bebas rabies 2020
yaitu terkonsentrasi pada kesehatan semua spesies dan lingkungan adala prioritas
dan dikembangkan kedalam sepuluh strategi yaitu sosialisasi, penguatan regulasi,
komunikasi resiko, pengembangan atau peningkatan kapasitas, vaksinasi massal
pada HPR, profilaksis pra/pasca gigitan HPR (PEP), surveilans dan respon
terpadu, penelitian operasional, dan kemitraan.
B. SARAN
1. Diharapkan kepada dinas peternakan, dinas kesehatan, dan Puskesma di Sulawesi
Utara agar dapat melakukan penyuluhan mengenai bahaya penyakit rabies yang
lebih menekankan pentingnya pasrtisipasi pemilik anjing dalam upaya
menurunkan kasus rabies secara berkesinambungan kepada masyarakat
Kabupaten Minahasa khususnya dan masyarakat Kota Manado pada umumnya
agar dapat membangun sikap yang positif terkait dengan pencegahan penyakit
rabies.
2. Diharapkan kepada Dinas Peternakan Kota Minahasa agar dapat memberikan
keringanan berupa digratiskannya biaya vaksinasi untuk anjng peliharaan kepada
pemilik anjing yang berpendapatan rendah.
3. Diharapkan kepada Dinas Peternakan Kabupaten Minahasa agar membuat
Peraturan Daerah (Perda) mengenai kepemilikan anjing peliharaan yang legal
serta persyaratan-persyaratannya.
4. Diharapkan kepada masyarakat pemilik anjing agar ikut serta /berpartisipasi
dalam program pencegahan penyakit rabies dengan sehari-hari mengikat anjing
peliharaan dan memvaksinasi anjing peliharaannya secara rutin 1-2 kali setahun.
DAFTAR PUSTAKA
Carter, J.B., dan Saunders, V.A. (2007). Rhabdoviruses (and other minus-strand RNA viruses)
dalam Virology Principles and Applications. England : John Wiley and Sons
Depkes RI. (2000). Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Tersangka Rabies di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM & PL.
Hewan
Faizal, M., K. Benyamin, dan S. Ratna. (2004). Survei dan monitoring rabies di Sulawesi Selatan
Dan Sulawesi Utara. Diag. Vet. Bulletin Informasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Jackson, A. (2007). Pathogenesis, dalam Rabies, Second edition. Edited by Alan C. Jackson and
Jackson AV, Warrel MJ, Rupprecth VE. (2003). Management of Rabies in Human. California :
Jawetz E., Melnick JL, Adelberg EA. (2010). Medical Microbiology, 25th ed.. New York : Mc
Graw Hill
Kemenkes RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta : Depkes
Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta : Depkes
Kemenkes RI. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta : Depkes
M Majematang & M Fridolin. (2014). Situasi Rabies dan Upaya Penanganan di Kabupaten
Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jurnal Ekologi Kesehatan Indonesia.
13(2) :137-145.
Novel, S.S. (2011). Ensiklopedi Penyakit Menular dan Infeksi. Yogyakarta : Familia
S. Sumiarto, B. (2010). Tingkat dan Faktor Risiko Kekebalan Protektif terhadap Rabies pada
Anjing di kota Makassar : In press
Tri Akoso, Budi. (2007). Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. Jakarta: Kanisius
Utami, S., Sumiarto, B., Susetya, H. (2008). Status Vaksinasi Rabies pada Anjing di kota
Makassar. Makassar: Jurnal Sain Veteriner, Vol. 26 No.2: 66 - 72. Utami,
WHO. (2012). Second Report of WHO Expert Consultation on Rabies. Switzerland : WHO
Yatim, Faisal . (2004). Macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Jakarta : Pustaka
Populer Obor.
Sumber ilmu