Anda di halaman 1dari 29

TUGAS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Tingginya kejadian penyakit rabies di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2015-2017

Nama Anggota Kelompok :

Aulia Siti Nur Rahmah (J410170056)


Laksita Ayunda Sari (J410170058)
Kurniawati (J410170069)
Ika Nurfiana Asrika (J410170087)
Muhammad Faiz fadillah (J410170102)
Luthfi Naaifa W (J410170112)
Indri Rosemalia (J410170113)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh
virus dari genus Lyssa virus (dari bahasa Yunani Lyssayang berarti mengamuk atau
kemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas
dan manusia. Rabies berasal dari bahasa latin "rabere" yang artinya marah, menurut
bahasa Sansekerta "rabhas" yang berarti kekerasan (Carter, 2007).
Sampai dengan tahun 2015, rabies tersebar di 25 Provinsi dengan jumlah kasus
gigitan yang cukup tinggi. Berdasarkan data pada tahun 2015 dari Ditjen Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit (P2P), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik terdapat 80.403 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
(GHPR) yang dilaporkan. Sedangkan 9 provinsi bebas Rabies, diantaranya 5 provinsi
bebas historis (Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Nusa
Tenggara Barat), dan 4 provinsi dibebaskan (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, dan DKI Jakarta). Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau
upaya pengendalian rabies, yaitu kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus
yang diberi Vaksinasi Post Exposure treatment dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan
kasus yang meninggal karena Rabies (Lyssa) dan specimen positif pada hewan.
Penentuan suatu daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium hewan, dan kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian Pertanian
(Kemenkes RI, 2016).
Pada tahun 2015 terdapat 80.403 kasus GHPR. Kasus GHPR paling banyak terjadi
di Bali yaitu sebanyak 42.630 kasus, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur yaitu
sebanyak 7.386 kasus. Sedangkan pada tahun 2016 menjadi 68.271 kasus GPHR dan
pada tahun 2017 kasus GHPR menjadi 74.245. Kasus GPHR pada tahun 2017 paling
banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 29.391 kasus, diikuti oleh NTT sebanyak 10.139
kasus, dan Sumatera Utara sebanyak 5.348 kasus (Kemenkes RI, 2017).
Kematian yang diakibatkan oleh Rabies (Lyssa) pada tahun 2015 terdapat 118 kasus,
terjadi paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan di Bali sebanyak 15
kasus. Sedangkan pada tahun 2016 mengalami penurunan pada jumlah kematian yang
diakibatkn oleh Lyssa (Rabies) menjadi 99 kasus dan mengalami peningkatan kembali
pada tahun 2017 menjadi 108 kasus dengan untuk kematian akibat rabies (Lyssa) paling
banyak terjadi di Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan dengan masing-masing
sebanyak 22 kasus, diikuti oleh Sulawesi Utara sebanyak 15 kasus, dan Sumatera Utara
sebanyak 11 kasus. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi dengan
kematian akibat rabies rendah pada tahun sebelumnya, namun pada tahun 2017 memiliki
kasus kematian terbanyak meskipun kasus gigitan hewan penular rabies di provinsi
tersebut menurun dalam tiga tahun terakhir (Kemenkes RI, 2017).
Antraks merupakan salah satu zoonosis yang menjadi masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri antraks (Bacillus anthracis) yang dapat
membentuk spora yang bertahan di lingkungan sampai puluhan tahun. Antraks selain
menjadi masalah kesehatan masyrakat, juga dapat mengancam dunia internasional karena
dapat dijadikan senjadi biologis. Penyakit antraks merupakan salah satu dari 25 penyakit
yang menimbulkan kerugian ekonomi, keresahan masyarakat dan kematian hewan yang
tinggi. Antraks tidak hanya mempengaruhi kesehatan manusia, tetapi juga menyebabkan
kemiskinan dan tekanan emosional, terutama di kalangan penduduk yang mata
pencahariannya bergantung pada pertanian pastoral (Widoyono, 2005).
Data 10 tahun terakhir periode 2008-2017 wilayah distribusi kasus antraks mencakup
tujuh provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sulawesi Barat, Gorontalo dan DI Yogyakarta. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bahwa
beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Jambi, Papua, Jawa Barat dan DKI Jakarta
sudah menjadi area terkendali antraks. Pada bulan Februari 2016 kejadian antraks juga
dilaporkan di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten
Pinrang. Kejadian antraks pada sapi di Kabupaten Pinrang baru pertama kali dilaporkan,
dengan kematian 33 ekor sapi dan tiga ekor kerbau (Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan Kementerian Pertanian, daerah endemis antraks pada hewan sampai
tahun 2017 ada di 12 provinsi, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jambi, dan Jawa Timur. Sementara kasus
pada manusia yang dilaporkan sampai tahun 2017 ada di 5 provinsi, yaitu Sulawesi
Selatan, Gorontalo, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta
(Pusdatin, 2017).
Pada tahun 2015 di Indonesia tidak ditemukan kasus antraks. Sedangkan pada
tahun 2016 kasus antraks menjadi 52 kasus. Untuk tahun 2017 terjadi kembali di Nusa
Tenggara Timur sebanyak 1 kasus, Sulawesi Selatan sebanyak 2 kasus, Gorontalo
sebanyak 45 kasus, Jawa Timur sebanyak 11 kasus dan DI Yogyakarta sebanyak 4 kasus.
Sementara itu, untuk provinsi lain yang tidak lagi ditemukan kasus pada manusia, masih
merupakan daerah endemis antraks dan dapat berpotensi untuk menyebabkan kasus pada
manusia, bila tidak dilakukan pengendalian baik dari sektor kesehatan manusia maupun
sektor kesehatan hewan. Pada pengendalian dilakukan investigasi bersama yang
dilakukan oleh sektor kesehatan manusia dan kesehatan hewan (Kemenkes RI, 2017).
Pada tahun 2015 di Indonesia tidak ditemukannya kasus kematian yang disebabkan
oleh antraks. Begitu juga pada tahun 2016 tidak ditemukannya kasus kematian yang
disebabkan oleh antraks. Namun, pada tahun 2017 di Indonesia ditemuka kasus kematian
yang disebabkan oleh antraks sejumlah satu kasus. Kasus tersebut berada pada Terdapat 1
kasus meninggal di Provinsi DI Yogyakarta yang dikarenakan adanya infeksi meningitis
anthraxis. Sementara itu, untuk provinsi lain yang tidak lagi ditemukan kasus pada
manusia, masih merupakan daerah endemis antraks dan dapat berpotensi untuk
menyebabkan kasus pada manusia, bila tidak dilakukan pengendalian baik dari sektor
kesehatan manusia maupun sektor kesehatan hewan
Rabies dan antraks merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan
kematian apabila tidak mendapatkan pencegahan dan penanganan penyakit tersebut
dengan baik dan benar. Namun dari data di atas menunjukkan bahwa kejadian dan
kematian yang diakibatkan oleh penyakit rabies dan antraks yang terjadi di masyarakat
lebih banyak ditemukan kasus rabies dibandingkan antraks. Oleh sebab itu, maka
pembahasan selanjutnya akan membahas tentang penyakit rabies secara rinci pada daerah
Sulawesi Utara.
Provinsi Sulawesi Utara yang terbagi atas 11 kabupaten dan 4 kota dengan 171
kecamatan serta 1.838 desa kasus kematian rabies tertinggi selama 4 tahun berturut-turut
terjadi di Kabupaten Minahasa Selatan sebanyak 19 kasus atau 22,6% dari seluruh kasus
kematian di Sulawesi Utara dan 2 daerah yang bebas kasus kematian selama 4 tahun
berturut-turut (2014-2017) yaitu Kota Tomohon dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Hasil
analisa lokasi dan proporsi perbandingan peta sebaran lyssa per tahun menunjukkan
bahwa penularan rabies dari tahun ke tahun meningkat secara bertahap dari 1% (20 dari
1.838 desa) pada tahun 2014 sampai dengan 2% (28 dari 1.838 desa) pada tahun 2015
yang kemudian turun menjadi 1,1% (21 dari 1.838 desa) pada tahun 2016 dan semakin
turun menjadi 0,8% (15 dari 1.838 desa) (Faizal, 2004).

Dari distribusi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) terlihat bahwa kasus
gigitan banyak terjadi diwilayah 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Minahasa dengan
768 kasus, kemudian Kota Manado dengan 391 dan Kota Manado dengan 359 kasus,
sedangkan paling sedikit kasus di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 14 Kasus,
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 17 Kasus dan Kabupaten Minahasa Utara
dengan 39 Kasus (Kemenkes RI, 2017)
Frekuensi Rabies di Sumatera utara
45
40
jumlah (kasus,kematian)

35
30
25
20
15
10
5
0
2015 2016 2017

kasus kematian

Pada tahun 2015 di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan sebanyak 22 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 10, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 12 kasus
dan jumlah kematian sebanyak 10 kasus. Distribusi kasus dari tahun 2015 ke 2016
cenderung mengalami penurunan akan tetapi jumlah kasus kematian yang konstan. Pada
tahun 2016 menuju 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus yang sangat signifikan yaitu
40 kasus GHPR dengan jumlah kematian sebanyak 15 orang

Sebaran spasial kasus kematian berdasarkan penelitian, kasus yang ditemukan dan
jumlah kasus kematian akibat rabies terhitung dari tahun 2015-2017 mengalami
puncaknya pada tahun 2017. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilisasi
anjing yang cukup tinggi di wilayah Sulawesi Utara, selain itu pemeliharaan anjing yang
sering diliarkan oleh pemiliknya. Penularan rabies dapat disebabkan karena kondisi
anjing yang tidak terpelihara dengan baik dan berkontak dengan anjing liar yang
terinfeksi rabies hingga memberikan peluang terjadi gigitan hewan positif rabies (Faizal,
2004).
B. Rumusan Masalah
Tingginya kejadian penyakit rabies di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2015-2017
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tingginya kejadian penyakit akibat rabies di Provinsi Sulawesi
Utara
2. Untuk mendeskripsikan kejadian penyakit rabies di Provinsi Sulawesi Utara
3. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit rabies di Provinsi Sulawesi
Utara
D. Ruang Lingkup
1. Tempat
Sulawesi Utara
2. Waktu
2019
3. Materi
a. Definisi penyakit rabies
b. Etiologi penyakit rabies
c. Keluhan dan gejala penyakit rabies
d. Pemeriksaan penunjang diagnostic
e. Cara pengobatan penyakit rabies
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI PENYAKIT RABIES


Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus,
bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas dan manusia.
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia
dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus
rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka
gigitan atau jilatan (Novel, 2011).
Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah dikenal
sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi
pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada
zaman kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah
digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun
sesudah masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air
(hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan.
Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser (1884),
kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. De Haan pada manusia (1894),
selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui
dengan pasti, namun setelah Perang Dunia II peta rabies di Indonesia berubah. Secara
kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh (1970), Jambi dan
Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan
Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan
P. Flores (1997).Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul di
Kab. Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari pulau Buton-
Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies. Sampai dengan saat ini
selain beberapa provinsi di kawasan Timur Indonesia yang tersebut diatas pulau-pulau
kecil di sekeliling Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas rabies (Majematang, 2014).

B. ETILOGI PENYAKIT RABIES


Rabies yaitu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus RNA dari genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus berbentuk seperti peluru yang bersifat
neurotropis, menular dan sangat ganas. Reservoir utama rabies adalah anjing domestik.
Sebagian besar kasus (98%) disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan sisanya oleh
hewan lain seperti monyet dan kucing. Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang
sistem saraf pusat manusia dan mamalia. Penyakit ini sangat ditakuti karena prognosisnya
sangat buruk. Pada pasien yang tidak divaksinasi, kematian mencapai 100%. Di
Indonesia, sampai tahun 2007, rabies masih tersebar di 24 propinsi, hanya 9 propinsi
yang bebas dari rabies, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Bali, Papua Barat dan Papua (Tamzil, 2014).
Virus rabies adalah single stranded RNA, berbentuk seperti peluru berukuran 180
x 75 µm. Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip Lyssavirus dimana genotip 1
merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia. Virus ini bersifat labil dan tidak
viable bila berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif bila terpapar sinar
matahari,sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit, pengeringan, dan sangat
peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun, desinfektan, serta alkohol 70%. Reservoir
utama rabies adalah anjing domestik. (Jawetz, 2010).
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau
gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala,
raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh
seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea.
Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk
melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa
menunjukkan perubahan- perubahan fungsinya ( Jackson, 2003).
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1
tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya
kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat,
persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka
dan leher 30 hari,gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki,
jari kaki 60 hari, gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain menyatakan bahwa masa
inkubasi tidak ditentukan dari jarak saraf yang ditempuh , melainkan tergantung dari
luasnya persarafan pada tiap bagian tubuh, contohnya gigitan pada jari dan alat kelamin
akan mempunyai masa inkubasi yang lebih cepat.
Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah, menengah
pada gigitan daerah lengan dan tangan,paling rendah bila gigitan ditungkai dan kaki.
(Jackson,2003). Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar
luas dalam semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral,
virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan
sebagainya.

C. KELUHAN DAN GEJALA PENYAKIT RABIES


Tipe dan Tanda-Tanda Penyakit Rabies Pada Hewan dan Manusia
1. Tipe Rabies
Tipe rabies pada hewan penular rabies ada dua tipe dengan gejala-gejala sebagai
berikut:
 Rabies Ganas
Gejala-gejalanya adalah: Tidak menuruti lagi perintah pemilik, air liur keluar
berlebihan, hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang
ditemukan dan ekor di lengkungan ke bawah prut di antara paha, kejang-
kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala
atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.
 Rabies Tenang
Gejala-gejalanya adalah: Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk,
kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat, kelumpuhan,
tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan, kematian
terjadi dalam waktu singkat (Jackson, 2002).

2. Tanda Rabies Pada Anjing dan Pada Manusia


 Tanda Rabies Pada Anjing
Tanda rabies pada anjing: Menggonggong, menyerang secara tiba-tiba
anjing tidak lagi kenal tuannya, banyak mengeluarkan air liur, menggigit
segala sesuatu, kesulitan melihat, berjalan tanpa arah, rahang turun, tidak
mampu menelan, makan tanah dan batang kayu, sukar bernafas, muntah,
susah berjalan, kelumpuhan, ekor menggantung terletak di antara kedua
kaki belakang (Sumiarto, 2010).
 Tanda Rabies Pada Manusia
 Stadium Prodromal
Gejala awal berupa demam, sakit kepala, malaise, sakit, kehilangan nafsu
makan, mual, rasa nyeri di tenggorokan, batuk, dan kelelahan luar biasa
selam beberapa hari (1-4 hari). Gejala ini merupakan gejala yang spesifik
dari orang yang terinfeksi virus rabies yang muncul 1-2 bulan setelah
gigitan hewan penular rabies.
 Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada bekas
luka gigitan dan secara bertahap terus berkembang menyebar ke anggota
badan yang lain, kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan terhadap rangsangan sensorik.
 Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupildilatasi. Bersama
dengan eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya. Keadaan yang khas
pada stadium ini adalah adanya macam-macam fobia, yang sangat sering
diantaranya adalah hidrofobia (ketakutan terhadap air). Kontraksi otot
faring dan otot-otot pernafasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan
sensorik seperti meniupkan udara ke ajah penderita atau menjatuhkan
sinar ke mata atau dengan menepuk tangan di dekat telinga penderita.
 Stadium Paralisis
Predisposisi terjadinya ragam gejala klinis rabies pada manusia
dipengaruhi antara lain oleh perbedaan galur virus yang menginfeksi,
jenis hewan penular, dan letak gigitan di anggota badan (Sumiarto,
2010).
Ditinjau dari segi jumlahnya, stadium paralisis rabies pada
manusia djumpai kurang lebih hanya sekitar seperlima dari kasus yang
terjadi, tetapi untuk hewan merupakan gejala paling sering dijumpai
sebelum terjadi kematian. Sebagian besar penderita rabies meninggal
dalam stadium eksitasi. Kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala
eksitasi, melainkan gejala-gejala paresis, yaitu otot-otot yang bersifat
progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala otot-otot yang bersifat asenen yang selanjutnya
meninggal karena kelumpuhan otot-otot pernafasan (Pusdatin, 2017).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK


1. Uji Amplifikasi Virus
Uji amplifikasi virus bertujuan untuk memperbanyak asam nukleat yang berasal
dari virus rabies dengan menggunakan metode biokimiawi. Dengan teknik
reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), RNA disalin menjadi
molekul DNA yang kemudian diperbanyak jumlahnya. Pemeriksaan amplifikasi
virus dapat mengkonfirmasi hasil dFA dan mendeteksi keberadaan virus rabies
dari sampel liur dan biopsi kulit (Utami, 2008).
2. Uji Direct Fluorescent Antibody (dFA)
Uji dFA merupakan pemeriksaan yang didasarkan pada keberadaan antigen
protein virus rabies pada jaringan. Mengingat rabies merupakan jenis virus yang
dominan ditemukan di jaringan saraf, maka sampel jaringan ideal untuk
pemeriksaan antigen rabies adalah jaringan otak. Saat antibodi yang telah berlabel
diinkubasi ke dalam jaringan otak yang dicurigai terinfeksi rabies, maka terjadi
ikatan antigen dan antibodi. Antibodi yang tak terikat akan tersapu dalam salah
satu proses penyiapan spesimen, sedangkan antigen yang terikat antibodi akan
terlihat berdasarkan prinsip fluoresensi sebagai area berwarna hijau apel pada
mikroskop fluoresens. Jika tak ditemukan virus rabies, maka tak akan ada
gambaran fluoresensi di bawah mikroskop
3. Uji Direct Rapid Immunohistochemical (dRIT)
Uji dRIT mengandalkan teknik imunoperoksidase dalam mendeteksi virus rabies.
Pemeriksaan dRIT menggunakan antibodi monoklonal antinukleokapsid terhadap
virus rabies yang kemudian divisualisasi dengan menggunakan 3-amino-9-
etilkarbazol. Pada kondisi ideal, sensitivitas dan spesifisitas dRIT dibandingkan
dFA dalam mendiagnosis rabies mencapai 100%. Walaupun pemeriksaan ini
memerlukan urutan teknik khusus sebelum hasilnya dapat diinterpretasi, dRIT
memiliki kelebihan dibandingkan dFA berupa pemeriksaan yang memerlukan
mikroskop cahaya tanpa fluoresens[21]. Pemeriksaan dRIT memiliki potensi
penggunaan yang besar pada area urban dengan prevalensi rabies tinggi dengan
fasilitas terbatas untuk melakukan dFA (Utami, 2008).

E. CARA PENGOBATAN
Penanggulangan rabies dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu pemberian
vaksin anti rabies dilaksanakan terhadap semua anjing peliharaan, juga beberapaa ekor
kera dan kucing dan eliminasi total pada HPR di daerah tertular pada radius 10 km dari
titik kasus desa positif yang sudah dikonfirmasi laboratorium dan mendapat pertolongan
pertama jika tergigit oleh hewan yang terkena rabies (Tri Akoso, 2007).
Hewan yang diperkirakan berpotensi mengandung virus rabies diberikan
vaksinasi rabies. Sedangkan hewan tersangka dikarantina paling kurang 10 hari. Bila
hewan tetap hidup kemungkinan hewan tidak menderita rabies (Yatim Faisal, 2004).
Pada tahun 2007 program eliminasi total berubah menjadi eliminasi selektif dilakukan
pada anjing liar atau yang tidak jelas kepemilikannya, hal ini terjadi karena masyarakat
pada umumnya tidak menyetujui anjingnya dibunuh karena anjing mempunyai nilai
ekonomi tinggi, dipercayakan sebagai penjaga rumah dan kebun juga dibeberapa tempat
tertentu anjing digunakan sebagai hewan adat yaitu untuk mas kawin/belis juga dipercaya
sebagai penemu sumber air dan api. Target utama penanggulangan rabies adalah anjing
yang mempunyai pemilik tetapi diliarkan dan anjing liar. Anjing yang sudah terinkubasi
rabies walau sudah divaksinasi akan tetap menunjukan gejala rabies. Pemberian VAR
pada hewan bartujuan memberikan kekebalan/imunitas untuk melawan infeksi sehingga
hewan resisten (tahan) terhadap infeksi, tindakan di daerah tertular, dengan cara eliminasi
anjing, kucing liar di jalanan atau anjing tidak bertuan (stary dogs and stray cats).
Vaksinasi akan mengurangi jumlah anjing rabies, demikian juga jumlah orang yang
tergigit (Jackson, 2003).
Penanganan pertama yang dilakukan jika tergigit HPR adalah 1) karena virus
rabies akan menetap pada luka gigitan selama dua minggu sebelum bergerak ke ujung
saraf pasterior (Widoyono, 2011), maka pencucian segera cuci luka gigitan dengan air
bersih dan sabun atau dengan detergen selama 5-10 menit kemudian bilas dengan air
mengalir, lalu keringkan dengan kain bersih atau kertas tissue, lalu diberi obat kemudian
dibalut dengan longgar dengan pembalut yang bersih. Penderita secepatnya dibawah ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut (Novel
SS, 2011). Pemberian zat anti rabies (Human Rabies Imunoglobilin = HRIg) pada luka
gigitan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian vaksin rabies pada sisi lain untuk
merangsang pembentukan anti rabies yang aktif oleh tubuh sendiri (Yatim Faisal, 2004)
Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu
sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR)
sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin
dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus dipertimbangkan perlu
tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan
pemberian analgetik (Depkes 2000). Penderita dengan gejala rabies harus dirawat di
rumah sakit di ruang isolasi. Ruangan sebaiknya gelap dan tenang, petugas kesehatan
yang menangani harus memakai alat pelindung diri dari kemungkinan tertular seperti
kacamata plastik, sarung tangan karet, masker dan jas laboratorium lengan panjang
(Widoyono, 2011).
BAB III
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

A. ANALISIS SITUASI
Provinsi Sulawesi Utara yang terbagi atas 11 kabupaten dan 4 kota dengan 171
kecamatan serta 1.838 desa kasus kematian rabies tertinggi selama 4 tahun berturut-turut
terjadi di Kabupaten Minahasa Selatan sebanyak 19 kasus atau 22,6% dari seluruh kasus
kematian di Sulawesi Utara dan 2 daerah yang bebas kasus kematian selama 4 tahun
berturut-turut (2014-2017) yaitu Kota Tomohon dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Hasil
analisa lokasi dan proporsi perbandingan peta sebaran lyssa per tahun menunjukkan
bahwa penularan rabies dari tahun ke tahun meningkat secara bertahap dari 1% (20 dari
1.838 desa) pada tahun 2014 sampai dengan 2% (28 dari 1.838 desa) pada tahun 2015
yang kemudian turun menjadi 1,1% (21 dari 1.838 desa) pada tahun 2016 dan semakin
turun menjadi 0,8% (15 dari 1.838 desa).

Dari distribusi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) terlihat bahwa kasus
gigitan banyak terjadi diwilayah 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Minahasa dengan
768 kasus, kemudian Kota Manado dengan 391 dan Kota Manado dengan 359 kasus,
sedangkan paling sedikit kasus di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 14 Kasus,
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 17 Kasus dan Kabupaten Minahasa Utara
dengan 39 Kasus.
Frekuensi Rabies di Sumatera utara
45

40

35
jumlah (kasus,kematian)

30

25

20

15

10

0
2015 2016 2017

kasus kematian

Pada tahun 2015 di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan sebanyak 22 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 10, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 12 kasus
dan jumlah kematian sebanyak 10 kasus. Distribusi kasus dari tahun 2015 ke 2016
cenderung mengalami penurunan akan tetapi jumlah kasus kematian yang konstan. Pada
tahun 2016 menuju 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus yang sangat signifikan yaitu
40 kasus GHPR dengan jumlah kematian sebanyak 15

Sebaran spasial kasus kematian berdasarkan penelitian, kasus yang ditemukan dan
jumlah kasus kematian akibat rabies terhitung dari tahun 2015-2017 mengalami
puncaknya pada tahun 2017. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilisasi
anjing yang cukup tinggi di wilayah Sulawesi Utara, selain itu pemeliharaan anjing yang
sering diliarkan oleh pemiliknya. Hal ini sejalan dengan penelitian Kakang (2017) bahwa
penularan rabies dapat disebabkan karena kondisi anjing yang tidak terpelihara dengan
baik dan berkontak dengan anjing liar yang terinfeksi rabies hingga memberikan peluang
terjadi gigitan hewan positif rabies.
B. TRIAS EPIDEMIOLOGI
1. Agent
Rhabdovirus dari genus Lyssavirus. Semua anggota genus ini mempunyai
persamaan antigen, namun dengan teknik antibodi monoklonal dan nucleotide
sequencing dari virus menunjukkan adanya perbedaan tergantung spesies binatang
atau lokasi geografis darimana mereka berasal. Virus yang mirip dengan rabies
yang ditemukan di Afrika (Mokola dan Duvenhage) jarang menyebabkan
kesakitan pada manusia mirip seperti rabies dan jarang yang fatal. Lyssavirus baru
telah ditemukan pertama kali pada tahun 1996, pada beberapa spesies dari Flying
fox dan kelelawar di Australia dan telah menyebabkan dua kematian pada
manusia dengan gejala penyakit seperti rabies. Virus ini untuk sementara diberi
nama ”Lyssavirus kelelawar Australia”. Virus ini mirip dengan virus rabies
namun tidak identik dengan virus rabies klasik. Sebagian penderita penyakit yang
disebabkan oleh virus yang mirip rabies inim dengan teknik pemeriksaan standard
FA test kemungkinan didiagnosa sebagai rabies.
2. Host
Hewan-hewan yang terkena virus rabies seperti Anjing, Kucing, Monyet, Musang
dan juga manusia.
3. Environment
Penyakit ini sering terjadi di lingkungan dimana anjing lebih banyak dari pada
orang yang tinggal disitu (Depkes, 2000).

C. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


1. Tahap pre-patogenesis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/sehat tetapi mereka
pada dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit,
seperti gigitan hewan ataupun air liur yang terkontaminasi virus rabies. (stage of
suseptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi
antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar
tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada diluar tubuh pejamu dimana para kuman
mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang peniamu. Pada tahap ini
belum ada tanda-tanda sakit sampai sejauh daya tahan tubuh penjamu masih kuat.
Namun begitu penjamunva ‘lengah’ ataupun memang bibit penyakit menjadi lebih
ganas ditambah dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan pejamu,
maka keadaan segera dapat berubah. Penyakit akan melanjutkan perjalanannya
memasuki fase berikutnya, tahap patogenesis.
2. Tahap pathogenesis
a. Tahap inkubasi
Virus menyerang susunan saraf pusat. rata-rata masa inkubasi membutuhkan
waktu 3-12 minggu atau 1-3 bulan.
b. Tahap penyakit dini
Timbul gejala seperti merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat
bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan
terhadap ransangan sensoris.

c. tahap penyakit lanjut


Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa
eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan
cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum
kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan
ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang
menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku
kejang.
3. Tahap pasca patogenesis
Kematian, sembuh sempurna, cacat, dan kronis. Sebagian besar penderita
rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus
tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal
ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis
otot-otot pernafasan (Jackson, 2007).

D. POLA PENULARAN/ TRANSMISI


Penyakit rabies disebabkan oleh virus Lysavirus dari family Rhapdiviridae. Virus
rabies ini masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan melalui luka gigitan hewan pederita
rabies dan luka terkena air liur hewan atau manusia penderita rabies, maka selama 2
minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan di dekatnya, kemudian bergerak
mencapai ujung-ujung serabut syaraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan
fungsinya.
Masa inkubasi bervariasi yaitu antar 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada
umumnya 2-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus
sebelum mencapai otak. Sesampainya di otak, virus memperbanyak diri dan menyebar
luas dalam semua bagian neuron sentral, kemudian ke arah perifer dalam serabut syaraf
eferen dan pada syaraf volunter maupun syaraf otonom. Virus ini menyerang hampir tiap
organ dan jaringan dalam tubuh dan berkembangbiak dalam jaringan-jaringan seperti
kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya (Depkes RI, 2000).
Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang
tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di
perdesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan, hal ini merupakan
suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan
menjadi daerah endemis rabies.
Pada umumnya, manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari korban
gigitan, karena sampai saat ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Sementara itu
anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing pelihara dapat saling
menggigit satu sama lainnya. Apabila salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut
positif (+) rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi
(Depkes RI, 2000).
Secara alami dan yang sering terjadi, pola penyebaran rabies adalah seperti gambar di
bawah ini:
(Departemen Pertanian, 2002).
Sebagian besar sumber penularan rabies ke manusia di Indonesia, disebabkan oleh
giitan anjing yang terinfeksi rabies (98%), dan lainnya oleh kera dan kucing. Infeksi
rabies baik pada hewan maupun pada manusia yang telah menunjukkan gejala dan tanda
klinis rabies pada otak (Encephalomyelitis) berakhir dengankematian. Hanya terdapat 1
(satu) penderita yang hidup di dunia (Pusdatin, 2015).
Penularan Lyssa/ rabies pada manusia ataupun hewan lainya terjadi melalui GPHR yang
terinfeksi rabies, jilatan pada kulit yag lecet, cakaran, selaput lendir mulut, hidung, mata,
anus dan genetalia terutama oleh anjing (98%), kera/monyet, dan kucing (Pusdatin,
2016).

E. PENANGGULANGAN DAN PENCEGAHAN


Penanggulangan rabies dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu pemberian
vaksin anti rabies dilaksanakan terhadap semua anjing peliharaan, juga beberapa ekor
kera dan kucing dan eliminasi total pada HPR di daerah tertular pada radius 10 km dari
titik kasus desa positif yang sudah dikonfirmasi laboratorium. Hewan yang diperkirakan
berpotensi mengandung virus rabies diberikan vaksinasi rabies. Sedangkan hewan
tersangka dikarantina paling kurang 10 hari. Bila hewan tetap hidup kemungkinan hewan
tidak menderita rabies. Target utama penanggulangan rabies adalah anjing yang
mempunyai pemilik tetapi diliarkan dan anjing liar. Anjing yang sudah terinkubasi rabies
walau sudah divaksinasi akan tetap menunjukan gejala rabies.
Pemberian VAR pada hewan bartujuan memberikan kekebalan/imunitas untuk
melawan infeksi sehingga hewan resisten (tahan) terhadap infeksi, tindakan di daerah
tertular, dengan cara eliminasi anjing, kucing liar di jalanan atau anjing tidak bertuan
(stary dogs and stray cats). Melalui vaksinasi tahunan pada 70% dari populasi hewan
anjing bisa mencegah penyebaran rabies dengan menciptakan hambatan/penghalang
melalui hewan anjing yang sehat dan imun.
Penanganan pertama yang dilakukan jika tergigit HPR adalah 1) karena virus rabies akan
menetap pada luka gigitan selama dua minggu sebelum bergerak ke ujung saraf pasterior
(Widoyono, 2011), maka pencucian segera cuci luka gigitan dengan air bersih dan sabun
atau dengan detergen selama 5-10 menit kemudian bilas dengan air mengalir, lalu
keringkan dengan kain bersih atau kertas tissue, lalu diberi obat kemudian dibalut dengan
longgar dengan pembalut yang bersih. Penderita secepatnya dibawah ke puskesmas atau
rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut (Novel SS, 2011).
Pemberian zat anti rabies (Human Rabies Imunoglobilin = HRIg) pada luka gigitan,
kemudian dilanjutkan dengan pemberian vaksin rabies pada sisi lain untuk merangsang
pembentukan anti rabies yang aktif oleh tubuh sendiri (Yatim Faisal, 2004)
Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang
perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies
(SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak
mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus
dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk
mencegah infeksi dan pemberian analgetik (Depkes 2000).
Penderita dengan gejala rabies harus dirawat di rumah sakit di ruang isolasi.
Ruangan sebaiknya gelap dan tenang, petugas kesehatan yang menangani harus memakai
alat pelindung diri dari kemungkinan tertular seperti kacamata plastik, sarung tangan
karet, masker dan jas laboratorium lengan panjang (Widoyono, 2011).
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pada tahun 2015 di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan sebanyak 22 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 10, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan sebanyak
12 kasus dan jumlah kematian sebanyak 10 kasus. Distribusi kasus dari tahun
2015 ke 2016 cenderung mengalami penurunan akan tetapi jumlah kasus
kematian yang konstan. Pada tahun 2016 menuju 2017 terjadi peningkatan jumlah
kasus yang sangat signifikan yaitu 40 kasus GHPR dengan jumlah kematian
sebanyak 15 orang.
2. Dari 11 Kabupaten dan 4 Kota dengan 171 Kecamatan serta 1.838 Desa di
Sulawesi Utara, kasus kematian rabies tertinggi selama 4 tahun berturut-turut
terjadi di Kabupaten Minahasa Selatan.
3. Dari distribusi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR), kasus gigitan banyak
terjadi di 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Minahasa dengan 768, kota Manado
dengan 359 kasus, sedangkan kasus palng sedikit terjadi di Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur yaitu 14 kasus, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 1
kasus, dan Kabupaten Minahasa Utara dengan 39 kasus.
4. Strategi oleh kementerian kesehatan dalam pemberantasan kasus rabies yang
merupakan implementasi program nasional menuju Indonesia bebas rabies 2020
yaitu terkonsentrasi pada kesehatan semua spesies dan lingkungan adala prioritas
dan dikembangkan kedalam sepuluh strategi yaitu sosialisasi, penguatan regulasi,
komunikasi resiko, pengembangan atau peningkatan kapasitas, vaksinasi massal
pada HPR, profilaksis pra/pasca gigitan HPR (PEP), surveilans dan respon
terpadu, penelitian operasional, dan kemitraan.

B. SARAN
1. Diharapkan kepada dinas peternakan, dinas kesehatan, dan Puskesma di Sulawesi
Utara agar dapat melakukan penyuluhan mengenai bahaya penyakit rabies yang
lebih menekankan pentingnya pasrtisipasi pemilik anjing dalam upaya
menurunkan kasus rabies secara berkesinambungan kepada masyarakat
Kabupaten Minahasa khususnya dan masyarakat Kota Manado pada umumnya
agar dapat membangun sikap yang positif terkait dengan pencegahan penyakit
rabies.
2. Diharapkan kepada Dinas Peternakan Kota Minahasa agar dapat memberikan
keringanan berupa digratiskannya biaya vaksinasi untuk anjng peliharaan kepada
pemilik anjing yang berpendapatan rendah.
3. Diharapkan kepada Dinas Peternakan Kabupaten Minahasa agar membuat
Peraturan Daerah (Perda) mengenai kepemilikan anjing peliharaan yang legal
serta persyaratan-persyaratannya.
4. Diharapkan kepada masyarakat pemilik anjing agar ikut serta /berpartisipasi
dalam program pencegahan penyakit rabies dengan sehari-hari mengikat anjing
peliharaan dan memvaksinasi anjing peliharaannya secara rutin 1-2 kali setahun.
DAFTAR PUSTAKA

Carter, J.B., dan Saunders, V.A. (2007). Rhabdoviruses (and other minus-strand RNA viruses)

dalam Virology Principles and Applications. England : John Wiley and Sons

Depkes RI. (2000). Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Tersangka Rabies di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM & PL.

Deptan. (2002). Kebijakan Nasional Pemberantasan Rabies. Jakarta: Direktorat Kesehatan

Hewan

Faizal, M., K. Benyamin, dan S. Ratna. (2004). Survei dan monitoring rabies di Sulawesi Selatan

Dan Sulawesi Utara. Diag. Vet. Bulletin Informasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan

Masyarakat Veteriner BPPH Regional VII Maros 2 (1): 1 6

Jackson, A. (2007). Pathogenesis, dalam Rabies, Second edition. Edited by Alan C. Jackson and

William H. Wunner. England : Elsevier Inc

Jackson AV, Warrel MJ, Rupprecth VE. (2003). Management of Rabies in Human. California :

Clin Infect Dis

Jawetz E., Melnick JL, Adelberg EA. (2010). Medical Microbiology, 25th ed.. New York : Mc

Graw Hill
Kemenkes RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta : Depkes

Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta : Depkes

Kemenkes RI. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta : Depkes

M Majematang & M Fridolin. (2014). Situasi Rabies dan Upaya Penanganan di Kabupaten

Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jurnal Ekologi Kesehatan Indonesia.

13(2) :137-145.

Novel, S.S. (2011). Ensiklopedi Penyakit Menular dan Infeksi. Yogyakarta : Familia

Pusat Data dan Informasi. (2015). Rabies. Jakarta Selatan: Kemenkes RI

Pusat Data dan Informasi. (2016). Rabies. Jakarta Selatan: Kemenkes RI

Pusat Data dan Informasi. (2017). Rabies. Jakarta Selatan: Kemenkes RI

S. Sumiarto, B. (2010). Tingkat dan Faktor Risiko Kekebalan Protektif terhadap Rabies pada
Anjing di kota Makassar : In press

Tanzil, K. (2014). Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya.E-journal WIDYA Kesehatan dan


Lingkungan. 1:61-67.

Tri Akoso, Budi. (2007). Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. Jakarta: Kanisius

Utami, S., Sumiarto, B., Susetya, H. (2008). Status Vaksinasi Rabies pada Anjing di kota
Makassar. Makassar: Jurnal Sain Veteriner, Vol. 26 No.2: 66 - 72. Utami,

WHO. (2012). Second Report of WHO Expert Consultation on Rabies. Switzerland : WHO

Widoyono. (2005). Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga pp. 79-82.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis, Epidemiologi Penyakit Tropik (Epidemiologi, Penularan,


Pencegahan dan Pemberantasannya). Jakarta : Erlangga. Edisi kedua : 98-106.

Yatim, Faisal . (2004). Macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Jakarta : Pustaka

Populer Obor.

Zakaria F, Yudianingtyas DW, Kertayadnya G. (2005). Situasi Rabies di Beberapa Wilayah


Indonesia Timur Berdasarkan Hasil Diagnose Balai Besar Veteriner Maros. Maros :

Sumber ilmu

Anda mungkin juga menyukai