id
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Analisis Dilema Moral
a. Pengertian Model Pembelajaran
1) Pengertian Model
Penggunaan istilah model biasanya lebih dikenal dunia fashion.
Sebenarnya, dalam pembelajaran istilah model juga banyak dipergunakan.
Karena model dalam pembelajaran dapat diartikan sebagai pola yang
digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi
petunjuk kepada guru di kelas. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
Susunan W.J.S Poerwadarminta yang diolah kembali Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional (2007: 773) model diartikan sebagai
contoh, pola acuan, atau ragam.
Soli Abimanyu dkk. (2008: 3) menyatakan bahwa model diartikan
sebagai kerangka konseptual yang digunakan dalam melakukan sesuatu
kegiatan. Mills dalam Agus Suprijono (2009: 45) berpendapat bahwa model
adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak
berdasarkan model itu.
Menurut Brown dalam Murbiana Dhieni dkk. (2006: 11) model
didefinisikan sebagai benda nyata yang dimodfikasi. Sementara Henich
menyebutkan hal yang senada mengenai model yaitu gambaran yang
berbentuk tiga dimensi dari sebuah benda nyata.
Berdasarkan beberapa pengertian itu dapat disimpulkan model
adalah suatu pola atau acuan yang digunakan dalam melakukan sesuatu
kegiatan.
2) Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata belajar, yang artinya proses
committerorganisasi
pembentukan tingkah laku secara to user (Sholahuddin, M.,1996: 28).
11
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id
siswa disajikan dengan cerita yang melibatkan satu atau lebih karakter yang
dihadapkan pada dilema moral. Siswa diminta untuk menyatakan apa yang
harus dilakukan oleh orang dalam cerita tersebut dan dengan memberikan
alasan untuk jawaban tersebut, dan kemudian mendiskusikannya dengan orang
lain. Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa mengekspos siswa untuk tingkat
yang lebih tinggi dari penalaran melalui diskusi kelompok merangsang mereka
untuk mencapai tahap berikutnya dari perkembangan moral.
Menurut Galbraith dan Jones Zakaria (dalam Teuku Ramli, 2000),
terdapat tiga variabel penting di dalam diskusi kelompok berkaitan dengan
permasalahan moral agar berjalan efektif, dan dengan demikian, terdapat
peningkatan perkembangan moral pada siswa. Tiga variabel tersebut adalah:
1) Cerita yang menyajikan konflik nyata pada seorang yang menjadi
tokoh utama, termasuk sejumlah isu moral yang perlu
dipertimbangkan, dan isu/permasalahan yang menghasilkan
perbedaan pendapat antara siswa tentang respon yang tepat untuk
situasi-situasi tersebut.
2) Seorang pemimpin yang dapat membantu untuk memfokuskan
pembahasan pada penalaran moral.
3) Iklim kelas yang mendorong siswa untuk mengekspresikan
penalaran moral mereka secara bebas.
Menurut C. Asri Budiningsih (2009), “model pembelajaran dilema
moral dipercaya mampu mengembangkan penalaran moral dan keimanan.
Pembelajaran dilema moral merupakan upaya mengembangkan struktur
kognitif seseorang bukan mentransfer nilai-nilai moral”. Strategi yang
digunakan adalah siswa dihadapkan pada situasi konflik atau dilema-dilema
moral yang merangsang pikiran tentang keadilan, kesamaan hak, kemerdekaan,
tanggung jawab, dan lain lain. Pendekatan ini menekankan pada penalaran atau
pemikiran moral (moral thinking) dari pada tindakan moral (moral action),
dengan asumsi bahwa penalaran atau pemikiran moral akan mengarahkan
tindakan moral (Kohlberg, 1980: 31; Cremers, 1995: 28).
Teori belajar humanistik mengganggap bahwa keberhasilan terjadi jika
peserta didik memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Teori belajar ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya. commit to user humanistik menempatkan guru
Pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.1 Contoh Kata Kerja Operasional yang Dapat Dipakai untuk Ranah
Afektif Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah (2003)
Secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang
umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung
mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai) dan emosi (menyebabkan
respon-respon yang konsisten).
Menurut Notoadmodjo (2003) dalam buku Wawan dan Dewi (2010),
sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu:
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (obyek).
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena
dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas
yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti
orang tersebut menerima ide itu.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
commit
resiko adalah mempunyai sikap yangtopaling
user tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id
evaluation of something, where the something is called the attitude object. The
attitude object might be a person, a product, or a social group”. Senada
dengan Baron dan Byrne (Ratna Djuwita dkk, 2009: 123-126) yang
menyebutkan “salah satu sumber penting yang dapat membentuk sikap yaitu
dengan mengadopsi sikap orang lain melalui proses pembelajaran sosial”.
Bersosial tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami perasaan
orang lain semata, tetapi harus dinyatakan secara verbal dan dalam bentuk
tingkah laku. Tiap tahap dalam berempati menurut Gazda, dkk.
(dalam Budiningsih, 2004: 48) yaitu:
1) Tahap pertama, mendengarkan dengan sesama apa yang diceritakan orang
lain, bagaimana perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya.
2) Tahap kedua, menyususn kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan
perasaan dan siatuasi orang tersebut.
3) Tahap ketiga, menggunakan susunan kata tersebut untuk mengenali orang
lain dan berusaha memahami perasaan serta situasinya.
Setiawati, dkk. (2007: 2) dalam Yuliasari (2009) mengungkapkan
bahwa: “sosial berkenaan dengan sensitivitas yang bermakna sebagai suatu
kepekaan rasa terhadap hal-hal yang berkaitan secara emosional”. Kepekaan
rasa ini adalah suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti
perasaan orang lain. dalam kehidupan sehari-hari, sensitivitas terdapat pada
kemampuan bertenggang rasa. Ketika tenggang rasa sudah muncul pada diri
seseorang maka akan diikuti dengan munculnya sikap penuh pengertian dan
peduli dengan sesama.
Menurut Sri Narwanti (2011: 30) peduli sosial ini adalah sikap dan
tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan. Sikap peduli sosial adalah perilaku positif dalam
berinteraksi dengan orang lain yang diwujudkan dalam bentuk kasih sayang,
saling menghormati dan menghargai satu sama lain demi memperkuat
persatuan dan kesatuan.
Sikap peduli sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya
commit
(Gerungan, 2010: 58). Darmiyati to user(2011: 170) menjelaskan bahwa,
Zuchdi
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id
peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
kepada masyarakat yang membutuhkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, sikap peduli sosial adalah
suatu tindakan merespon, menghargai, dan bertindak proaktif terhadap masalah
orang lain serta membantu kondisi orang lain dilingkungan sekitar yang
didasari pada keprihatinan dalam rangka memberi inspirasi, perubahan, dan
kebaikan.
Berdasarkan definisi tersebut, maka indikator-indikator dari sikap
peduli sosial adalah sebagai berikut:
1) Tindakan merespon masalah orang lain
2) Tindakan menghargai orang lain
3) Bertindak proaktif terhadap masalah orang lain
4) Membantu kondisi orang lain dalam rangka memberi inspirasi, perubahan,
dan kebaikan
Abu Ahmadi (2007: 168-176), mengemukakan para ahli Psikologi
Sosial telah berusaha untuk mengukur sikap dengan berbagai cara. Beberapa
bentuk pengukuran sudah mulai dikembangkan sejak diadakannya penelitian
sikap yang pertama yaitu pada tahun 1920. Subjek diminta untuk merespon
objek sikap dalam berbagai cara.
Thurstone di dalam jurnal Sociology & Social Welfare Volume
XXXVIII oleh Harris Chaiklin (2011) mengungkapkan bahwa, “attitudes can be
measured.” He defined an opinion as the expression of attitude and stated that
the aim is not to predict behavior but to show that it is possible to measure
attitudes. Verbal behavior is taken as an indicator of an underlying attitude.
Menurut Abu Ahmadi (2007: 176), pengukuran sikap dapat dilakukan
secara:
1) Pengukuran sikap secara langsung.
Pada umumnya digunakan tes psikologi yang berupa sejumlah item
yang telah disusun secara hati-hati, seksama, selektif sesuai dengan kriteria
tertentu, diharapkan mendapat jawaban atas pertanyaan dengan berbagai
cara oleh responden terhadap suatu objek psikologi.
2) Pengukuran sikap secara tidak langsung.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id
toleransi yang tinggi antar sesama siswa. Sebaliknya, sikap sosial yang rendah
akan mempermudah terjadi konflik seperti tawuran antar sesama siswa
sehingga suasana sekolah menjadi tidak aman.
Salah satu karakter anak yang harus dikembangkan dalam dunia
pendidikan adalah peduli sosial. Karakter peduli sosial sangat penting untuk
dikembangkan sejak dini. Menurut Sri Narwanti (2011: 30) peduli sosial ini
adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan perlu dikembangkan pada diri anak, terutama anak di tingkat
sekolah. Sikap dan tindakan yang mencerminkan peduli sosial perlu
dikembangkan agar anak tidak memiliki sifat negatif, seperti acuh tak acuh,
individualisme, masa bodoh terhadap masalah sosial, adanya batas-batas
pergaulan antara yang kaya dengan yang miskin dan lunturnya budaya gotong
royong.
Di dalam kepedulian sosial, peserta didik diharapkan mampu
mengembangkan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
kepada orang lain. Karakter peduli sosial ini dibutuhkan peserta didik sebagai
bekal untuk hidup di lingkungan sosialnya. Sedangkan unsur sosial yang
terpenting yaitu interaksi di antara manusia (S. Nasution, 1983: 14). Menurut
Suyadi (2013:9), peduli sosial adalah sikap dan perbuatan mencerminkan
kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkan.
Penanaman nilai kepedulian terdapat tiga komponen karakter yaitu
pertama, moral knowing yang terdiri dari : moral awareness (kesadaran moral),
knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking
(penentuan sudut pandang), moral reasoning (logika moral), decision making
(keberanian mengambil menentkan sikap), dan self knowledge (pengenalan
diri). Kedua, moral feeling atau aspek yang harus ditanamkan kepada siswa,
yakni: conscience (nurani), self esteem (percaya diri), empathy (merasakan
penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control
(mampu mengontrol diri), dan humility (kerendahan hati). Ketiga, moral action
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id
(b) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan
sebagainya.
(c) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(d) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(e) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(f) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Pendidikan berwarga negara di jenjang pendidikan formal haruslah
dilakukan tidak hanya memberikan teori tetapi dengan praktek langsung.
Praktek sikap peduli sosial siswa antara individu satu dengan yang lainnya
dapat memberikan gambaran langsung betapa pentingnya nilai-nilai
kemanusiaan itu. Praktek langsung dari sila kedua dapat dilakukan dalam
interaksi sosial di dalam lingkungan pendidikan ataupun lingkungan tempat
tinggal, sehingga dapat dipraktekkan dengan cara menerapkan sikap peduli
sosial dalam lingkungan bermasyarakat.
Penerapan sila kedua di dalam lingkungan masyarakat dapat dilakukan
dengan cara adanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang memberikan
penyuluhan tentang bagaimana cara hidup bernegara yang baik, mengadakan
kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan, siskamling dan cara-cara
lain yang dapat mengajarkan secara langsung apa artinya sikap peduli sosial
antara sesama manusia.
d. Definisi Konseptual Sikap Peduli Sosial
Sikap peduli sosial adalah suatu tindakan merespon, menghargai, dan
bertindak proaktif terhadap masalah orang lain serta membantu kondisi orang
lain dilingkungan sekitar yang didasari pada keprihatinan dalam rangka
memberi inspirasi, perubahan, dan kebaikan.
e. Definisi Operasional Sikap Peduli Sosial
Berdasarkan pemikiran tentang sikap peduli sosial dari beberapa ahli
tersebut, maka indikator sikap peduli sosial meliputi antara lain:
1) Menampilkan tindakan merespon masalah orang lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id
lain maka sikap peduli sosial siswa akan meningkat, sehingga dapat diterapkan di
kehidupan sehari-hari di kehidupan bermasyarakat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yangg digunakan
pendidik kepada peserta didiknya berpengaruh pada tindakan sosial siswa.
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah
dikemukakan, untuk lebih memperjelas dapat dibuat suatu paradigma penelitian
sebagai berikut :
Meningkatkan Sikap
KONDISI Peduli Sosial Siswa Kelas
AKHIR VIII di SMP N 3 Grogol