Anda di halaman 1dari 15

MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING

(Penemuan Terbimbing)

Disusun Oleh:

Moh. Lukman Hakim (20871016)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) CURUP
2020
A. Pendahuluan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


nomor 58 tahun 2014 tentang Kurkulum 2013 Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah Bab IV tentang desain pembelajaran poin a
pada Rancangan Pembelajaran disebutkan bahwa pada implementasi
Kurikulum 2013 sangat disarankan agar guru menggunakan model-model
pembelajaran inquiry based learning, discovery learning, project based
learning dan problem based learning. Pada setiap model tersebut dapat
dikembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan (2014: 554).

Selanjutnya pada proses pembelajaran karakteristik penguatannya


mencakup: a) menggunakan pendekatan scientific melalui mengamati,
menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan dengan tetap
memperhatikan karakteristik siswa, b) menggunakan ilmu pengetahuan
sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran, c) menuntun
siswa untuk mencari tahu, bukan diberitahu (discovery learning), dan d)
menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa
pengetahuan dan berpikir logis, sistematis, dan kreatif (Depdikbud, 2014:13).

Dalam menerapkan kurikulum 2013, Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan RI sangat menyarankan model Discovery Learning untuk
mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut
ditandaskan lagi dalam penguatan proses pembelajaran, siswa diarahkan
untuk mencari tahu (discovery) bukan diberi tahu.

Guru Bahasa Inggris banyak yang belum memiliki gambaran yang


jelas tentang penerapan discovery learning tersebut dalam pembelajaran di
kelas mereka. Siswa didik yang berada di bangku SMP berada pada masa
adolocent (remaja) yang telah mulai bisa menguasi kalima-kalimat yang lebih
kompleks daripada sekadar bentuk-bentuk kata kerja bentuk kedua yang
ditambah -ed, misalnya. Namun mereka juga belum mampu menguasi bahasa
yang sangat kompleks. Untuk itu mereka perlu pembelajaran yang bertahap
melalui kegiatan-kegiatan komunikatif dengan menggunakan bahasa target
secara murni dan spontan.

Untuk mengatasi hal tersebut, model Discovery Learning, yang


mengarahkan siswa untuk berinteraksi, mencari jawaban atas suatu
pertanyaan dengan cara berkolaborasi diharapkan sesuai dengan tahapan usia
siswa pada tingkat SMP tersebut. Hal yang perlu tetap diperhatikan adalah
esensi pembelajaran Bahasa sebagai alat komunikasi. Sehingga kegiatan
dalam Discovery Learning harus mengakomodasi kebutuhan siswa
menggunakan Bahasa sebagai alat komunikasi, bukan mempelajari
kebahasaan itu sendiri.
Bertolak dari latar belakang tersebut, jelaslah bahwa dalam proses
pembelajaran siswa dituntut untuk mencari tahu, bukan diberitahu. Sehingga
model yang relevan adalah Discovery Learning. Pada praktik mengajar yang
dilakukan, sangat sedikit guru yang menerapkan model tersebut di dalam
pembelajaran. Menurut mereka, dalam pembelajaran Bahasa Inggris, model
ini masih terasa asing dan hampir belum pernah dilakukan sebelumnya,
sehingga sulit mendapatkan konsep yang tepat dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran dengan discovery learning tersebut.

B. Pembahasan

1. Pengertian model pembelajaran Discovery Learning

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola


yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di
kelas. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang
akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-
tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan
pengelolaan kelas (Arends dalam Trianto, 2010: 51).

Sedangkan menurut Joyce & Weil (1971) dalam Mulyani


Sumantri, dkk (1999: 42) model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu, dan memiliki fungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan
melaksanakan aktifitas belajar mengajar.

Menurut Kardi dan Nur dalam Trianto (2011: 142) istilah model
pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi,
metode, atau prosedur. Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus
yang tidak dimiliki oleh strategi, metode, atau prosedur. Selanjutnya
pengertian model pembelajaran didapat juga dari Models of Teaching
oleh Wilson yang menyebutkan bahwa:

Models of teaching deal with the ways in which learning


environments and instructional experiences can be constructed,
sequenced, or delivered. They may provide theoretical or instructional
frameworks, patterns, or examples for any number of educational
components – curricula, teaching techniques, instructional groupings,
classroom management plans, content development, sequencing, delivery,
the development of support materials, presentation methods, etc. Teaching
models may even be discipline or student-population specific.

Pada Akhirnya setiap model pembelajaran memerlukan sistem


pengelolaan dan lingkungan belajar yang berbeda. Setiap pendekatan
memberikan peran yang berbeda kepada siswa, pada ruang fisik, dan pada
sistem sosial kelas. Sifat materi dari sistem syaraf banyak konsep dan
informasi-informasi dari teks buku bacaan, materi ajar siswa, di samping
itu banyak kegiatan pengamatan gambar-gambar. Tujuan yang akan
dicapai meliputi aspek kognitif (produk dan proses) dari kegiatan
pemahaman bacaan dan lembar kegiatan siswa (Trianto, 2010: 55).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan pembelajaran tertentu dan berfungsi sebagi pedoman
bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam merancang dan
melaksanakan proses belajar mengajar. Model pembelajaran juga
merupakan cara/teknik penyajian yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran yang masing-masing
memiliki kelemahan dan kelebihan. Metode/model sangat penting
peranannya dalam pembelajaran, karena melalui pemilihan model/metode
yang tepat dapat mengarahkan guru pada kualitas pembelajaran efektif.

2. Pengertian Discovery Learning

Metode penemuan (discovery) diartikan sebagai prosedur mengajar


yang mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi obyek dan
percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi. Sehingga metode
penemuan (discovery) merupakan komponen dari praktik pendidikan
yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif,
berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan
reflektif (Suryosubroto 2009:178). Menurut Hanafiah metode penemuan
(discovery) merupakan suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang
melibatkan seluruh kemampuan siswa secara maksimal untuk mencari
dan menyelidiki secara sistematis, kritis, dan logis sehingga siswa dapat
menemukan sendiri pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai wujud
adanya perubahan tingkah laku (2009: 77).

Richard dan asistennya mencoba self-learning pada siswa (belajar


sendiri), sehingga situasi belajar mengajar berpindah dari situasi teacher
dominate learning menjadi situasi student dominated learning. Dengan
menggunakan discovery learning, ialah suatu cara mengajar yang
melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat,
dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri. Agar
anak dapat belajar sendiri (dalam Suryosubroto 2009:179).

Model discovery learning bertolak dari pandangan bahwa siswa


sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar
untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Proses perkembangan harus dipandang sebagai stimulus yang dapat
menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar.

Model discovery-inquiry atau discovery learning menurut


Suryosubroto (2002) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang
mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain,
sebelum sampai kepada generalisasi. Discovery adalah proses mental
yang membuat siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip.
Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan,
membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan
sebagainya.

Model discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan


hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan (Budiningsih, 2005: 43). Discovery terjadi apabila individu
terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan
beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi,
klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan. Proses tersebut disebut
cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental
process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund
dalam Malik 2001:219).

Sebagai strategi belajar, discovery learning mempunyai prinsip


yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan problem solving. Tidak ada
perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada discovery learning
lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa
pada discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah
yang direkayasa oleh guru. Sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan
hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan
keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu
melalui proses penelitian, sedangkan problem solving lebih memberi
tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah.

Menurut Sutrisno (2008) inquiry merupakan metode pembelajaran


yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa,
sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar
sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah.
Menurut Bruner (dalam Arends 2008:48) discovery learning merupakan
sebuah model pengajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa
untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu,
kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan
keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery
(penemuan pribadi).
Menurut Suprijono (2010:69) discovery learning merupakan
pembelajaran beraksentuasi ada masalah-masalah kontekstual. Proses
belajar model ini meliputi proses informasi, transformasi, dan evaluasi.
Proses informasi, pada tahap ini siswa memperoleh informasi mengenai
materi yang sedang dipelajari. Pada tahap ini siswa melakukan
penyandian atau encoding atas informasi yang diterimanya. Berbagai
respon diberikan siswa atas informasi yang diperolehnya. Ada yang
menganggap informasi yang diterimanya sebagai sesuatu yang baru. Ada
pula yang menyikapi informasi yang diperolehnya lebih mendalam dan
luas dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

Tahap transformasi, pada tahap ini siswa melakukan identifikasi,


analisis, mengubah, mentransformasikan informasi yang telah
diperolehnya menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak
pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Dalam
tahap ini siswa mengembangkan inferensi logikannya. Tahap ini
dirasakan sesuatu sulit dalam belajar penemuan. Dalam keadaan seperti
ini guru diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang
tepat. Tahap evaluasi, pada tahap ini siswa menilai sendiri informasi yang
telah ditransformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala
atau memecahkan masalah yang dihadapi. Menurut Kemendikbud (dalam
materi pelatihan guru implementasi kurikulum 2013: 31), discovery
learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi apabila siswa tidak disajikan materi pelajaran
dalam bentuk final, melainkan diharapkan mengorganisasi sendiri.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa


discovery learning merupakan pembelajaran yang menitikberatkan pada
proses pemecahan masalah, sehingga siswa harus melakukan eksplorasi
berbagai informasi agar dapat menentukan konsep mentalnya sendiri
dengan mengikuti petunjuk guru berupa pertanyaan yang mengarah pada
pencapaian tujuan pembelajaran.

Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan


penemuan (inquiry-based), konstruktivis dan teori bagaimana belajar.
Model pembelajaran yang diberikan kepada siswa memiliki skenario
pembelajaran untuk memecahkan masalah yang nyata dan mendorong
mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam memecahkan
masalah mereka; para siswa menggunakan pengalaman mereka terdahulu
dalam memecahkan masalah. Kegiatan mereka lakukan dengan
berinteraksi untuk menggali, mempertanyakan selama bereksperimen
dengan teknik trial and error.

Children love being in charge of their own learning it gives them


the sense of self worth. It makes the learning more desirable and
attainable. Teachers give a problem to their students and set their students
free to solve it on their own, discovering as they go. Often these
classroom can look unorganized or chaotic but, a discovery learning
classroom in fact is organized. It is set up in away for learning to happen
with projects, real-life problems and the learner figuring out.

Pernyataan yang terdapat dalam kutipan di atas menyebutkan


bahwa para siswa memiliki gairah dalam belajar. Guru memberikan
masalah kepada para siswa dan memfasilitasi siswa untuk
memecahkannya sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas agak gaduh
karena seperti tidak terkendali, namun sebenarnya mereka dalam kegiatan
yang terorganisasi. Pembelajaran diarahkan sedemikian rupa supaya siswa
menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata untuk dipecahkan oleh
para siswa sendiri.

Model pembelajaran discovery learning menurut Alma dkk


(2010:59) yang juga disebut sebagai pendekatan inkuiri bertitik tolak pada
suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid secara independen.
Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara
ilmiah. Hal ini sejalan juga dengan pendapat yang menyatakan bahwa
anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas seperti yang terdapat
pada kutipan : Discovery Learning can be defined as the learning that
takes place when the student is not presented with subject matter in the
final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam
Emetembun, 1986: 103 dalam Depdikbud 2014).

3. Tujuan Model pembelajaran discovery learning

Menurut Trianto (2010: 53) fungsi model pembelajaran adalah


sebagai pedoman bagi perancang pengajar dan para guru dalam
melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih model ini sangat dipengaruhi
oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh
tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat
kemampuan peserta didik. Di samping itu pula, setiap model
pembelajaran juga mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang dapat dilakukan
siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks
yang lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini, di
antaranya pembukaan dan penutupan pembelajaran yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Oleh karena itu, guru perlu menguasai dan dapat
menerapkan berbagai keterampilan mengajar, agar dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang beraneka ragam dan lingkungan belajar yang menjadi
ciri sekolah pada dewasa ini.

Metode pembelajaran penemuan (discovery) dalam proses belajar


mengajar mempunyai beberapa tujuan antara lain :
a. Meningkatkan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam
memperoleh dan memproses perolehan belajar.

b. Mengarahkan para siswa sebagai pelajar seumur hidup.

c. Mengurangi ketergantungan kepada guru sebagai satu-satunya sumber


informasi yang diperlukan oleh para siswa.

d. Melatih peserta didik untuk mengeksplorasi atau memanfaatkan


lingkungan sebagai informasi yang tidak akan pernah tuntas digali
(Moedjiono, 1993:83).

Adapun tujuan lain dari metode penemuan (discovery) dalam


proses belajar mengajar adalah sebagai berikut :

a. Mengembangkan sikap, keterampilan, kepercayaan peserta didik


dalam memutuskan sesuatu secara tepat dan objektif.

b. Mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik agar lebih


tanggap, cermat dan melatih daya nalar (kritis, analis dan logis).

c. Membina dan mengembangkan sikap rasa ingin tahu.

d. Menggunakan aspek kognitif, afektif dan psikomotor dalam belajar


(Azhar, 1993:99).

4. Langkah-Langkah Model pembelajaran discovery learning

a. Persiapan

1) Menentukan tujuan pembelajaran.

2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal,


minat, gaya belajar, dan sebagainya).

3) Memilih materi pelajaran.

4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara


induktif (dari contoh-contoh generalisasi).

5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-


contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks,
dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik
sampai ke simbolik.

7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

b. Pelaksanaan

1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini peserta didik dihadapkan pada


sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan
untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk
menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan
poses belajar mengajar dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan kegiatan belajar lainnya yang mengarah pada
persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi
untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan.

2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru


memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan
masalah) (Syah 2004: 244). Permasalahan yang dipilih itu
selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau
hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang mereka
hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa
agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi


kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004: 244). Tahap ini berfungsi untuk
menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis.

Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk


mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, membaca
literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber,
melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari
tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan
sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi,
dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan
masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif


untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan
permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak
disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan
yang telah dimiliki.

4) Data Processing (Pengolahan Data)

Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan


sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi,
bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan
pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002: 22).

Data processing disebut juga dengan pengkodean atau


kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang
perlu mendapat pembuktian secara logis.

5) Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat


untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan
tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data
processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner,
bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau informasi


yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan
terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah
terbukti atau tidak.

6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses


menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum
dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama,
dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244).
Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip
yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa
harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan
pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau
prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang,
serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari
pengalaman-pengalaman itu.

5. Kelebihan dan Kekurangan Model pembelajaran discovery learning

Setiap model pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan


kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, guru harus kreatif dalam
memilih model pembelajaran yang akan digunakan. Model discovery
learning memudahkan siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep
pembelajaran yang tidak diperoleh siswa dengan cara mendengarkan
penjelasan dari guru.

Model pembelajaran discovery learning lebih cocok untuk


mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep,
keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk
mengukur gagasan yang dikemukakan para siswa. Model pembelajaran
discovery learning tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk
berfikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih
dahulu oleh guru. Metode penemuan (discovery) ini mempunyai
keuntungan yaitu sebagai berikut.
a. Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan,
memperbanyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses
kognitif/pengenalan siswa.

b. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi


individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa
siswa tersebut.

c. Dapat membangkitkan kegairahan belajar mengajar para siswa.

d. Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk


berkembang dan maju sesuai dengankemampuannya masing-masing.

e. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki


motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.

f. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada


diri sendiri dengan proses penemuan sendiri (Djamarah, 2002: 82).

Model pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk


mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang
lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah
lainnya. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara
belajar yang lama. Beberapa kelebihan yang lain pada metode penemuan
(discovery) ini antara lain:

a. Membantu siswa dalam mengembangkan atau memperbanyak


penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa.

b. Membangkitkan gairah belajar bagi siswa.

c. Memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak lebih maju sesuai


dengan kemampuannya sendiri.

d. Siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa


terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar.

e. Membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya


kepecayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan
(Suryosubroto, 2009: 185).
Metode itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya
sebagai teman belajar saja, membantu bila diperlukan. Metode penemuan
(discovery) ini mempunyai kelemahan yaitu sebagai berikut:

a. Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental.

b. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan


sekitarnya dengan baik.

c. Metode ini kurang berhasil digunakan di kelas besar.

d. Bagi guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan
pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila di ganti
dengan metode penemuan (discovery).

e. Dengan menggunakan metode penemuan (discovery) ini proses


mental terlalu mementingkan proses pengertian saja atau
pembentukan sikap dan keterampilan siswa (Djamarah, 2002: 83).

C. Penutup

1. Kesimpulan

Dalam Discovery Learning, guru memberikan kesempatan


muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis,
historis, atau ahli matematika. Bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk
akhir, tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan,
menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
kesimpulan-kesimpulan.

Model pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi


bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai,
akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan
hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada
gilirannya akan menimbulkan frustasi. Pada intinya tidak ada model
pembelajaran yang sempurna. setiap model pembelajaran memiliki
kelebihan dan kekurangannya. Tinggal kemampuan para guru untuk dapat
memilah dan memilih model pembelajaran yang mana yang paling cocok
dengan materi pembelajaran.

2. Saran
Bagi kepala sekolah yang memegang kebijakan tertinggi dalam
jabatan struktural sekolah hendaknya memiliki kemampuan untuk terus
mengontrol dan meningkatkan jalannya proses pembelajaran di kelas
dengan memberikan fasilitas dan pelatihan mengenai model dan media
pembelajaran yang baru yang digunakan dalam pembelajaran serta dapat
mengembangkan potensi sekolah baik keilmuan, sarana, maupun
prasarana yang dapat mendukung pembelajaran.
Daftar Pustaka

Alma, Buchari, dkk. 2010. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil
Mengajar. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Arends, Richard. 2008. Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azhar, Lalu. 1993. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya: Usaha
Nasional.

Brown, Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth


Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa Cipta.

Hanafiah Nanang dan Cucu Suhada. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran.


Bandung: Refika Aditama.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan


dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 58 tahun 2014 tentang
Kurkulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.

Moedjiono, Dimyati. 1993. Stategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depatemen


Pendidikan dan Kebudayaan Nasional.

Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the
Secondary School, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing
Company

Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryosubroto, B. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka


Cipta.

Sutrisno, Joko. 2008. Pengaruh Metode Pembelajaran Inquiry dalam Belajar Sains
terhadap Motivasi Belajar Siswa.

Syah, Muhibin. 2004. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai