Anda di halaman 1dari 13

Model Pembelajaran Discovery Learning

Posted by Hadi Susanto on 8 Januari 2016

Posted in: Pembelajaran. Tinggalkan komentar

A. Pendahuluan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 58 tahun 2014 tentang
Kurkulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Bab IV tentang desain
pembelajaran poin a pada Rancangan Pembelajaran disebutkan bahwa pada implementasi Kurikulum
2013 sangat disarankan agar guru menggunakan model-model pembelajaran inquiry based
learning, discovery learning, project based learning dan problem based learning. Pada setiap model
tersebut dapat dikembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan (2014: 554).

Selanjutnya pada proses pembelajaran karakteristik penguatannya mencakup: a) menggunakan


pendekatan scientific melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan
dengan tetap memperhatikan karakteristik siswa, b) menggunakan ilmu pengetahuan sebagai
penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran, c) menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan
diberitahu (discovery learning), dan d) menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi,
pembawa pengetahuan dan berpikir logis, sistematis, dan kreatif (Depdikbud, 2014:13).

Dalam menerapkan kurikulum 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI sangat menyarankan
model Discovery Learning untuk mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut
ditandaskan lagi dalam penguatan proses pembelajaran, siswa diarahkan untuk mencari tahu (discovery)
bukan diberi tahu.

Guru Bahasa Inggris banyak yang belum memiliki gambaran yang jelas tentang penerapan discovery
learning tersebut dalam pembelajaran di kelas mereka. Siswa didik yang berada di bangku SMP berada
pada masa adolocent (remaja) yang telah mulai bisa menguasi kalima-kalimat yang lebih kompleks
daripada sekadar bentuk-bentuk kata kerja bentuk kedua yang ditambah -ed, misalnya. Namun mereka
juga belum mampu menguasi bahasa yang sangat kompleks. Untuk itu mereka perlu pembelajaran yang
bertahap melalui kegiatan-kegiatan komunikatif dengan menggunakan bahasa target secara murni dan
spontan.

Untuk mengatasi hal tersebut, model Discovery Learning, yang mengarahkan siswa untuk berinteraksi,
mencari jawaban atas suatu pertanyaan dengan cara berkolaborasi diharapkan sesuai dengan tahapan
usia siswa pada tingkat SMP tersebut. Hal yang perlu tetap diperhatikan adalah esensi pembelajaran
Bahasa sebagai alat komunikasi. Sehingga kegiatan dalam Discovery Learning harus mengakomodasi
kebutuhan siswa menggunakan Bahasa sebagai alat komunikasi, bukan mempelajari kebahasaan itu
sendiri.

Bertolak dari latar belakang tersebut, jelaslah bahwa dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk
mencari tahu, bukan diberitahu. Sehingga model yang relevan adalah Discovery Learning. Pada praktik
mengajar yang dilakukan, sangat sedikit guru yang menerapkan model tersebut di dalam pembelajaran.
Menurut mereka, dalam pembelajaran Bahasa Inggris, model ini masih terasa asing dan hampir belum
pernah dilakukan sebelumnya, sehingga sulit mendapatkan konsep yang tepat dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran dengan discovery learning tersebut.

B. Model Pembelajaran Discovery Learning

1. Pengertian Model Pembelajaran

Discovery Learning merupakan suatu model pembelajaran. Hal ini berangkat dari pernyataan yang ada
pada lampiran III Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 58 tahun
2014 tentang Kurkulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Bab IV tentang desain
pembelajaran poin /a/ pada Rancangan Pembelajaran disebutkan bahwa pada implementasi Kurikulum
2013 sangat disarankan menggunakan model-model pembelajaran inquiry based learning, discovery
learning, project based learning dan problem based learning. Pada setiap model tersebut dapat
dikembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan (2014: 554).

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman
dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan
pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap
dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Arends dalam Trianto,
2010: 51).

Sedangkan menurut Joyce & Weil (1971) dalam Mulyani Sumantri, dkk (1999: 42) model pembelajaran
adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dan memiliki fungsi sebagai
pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan
melaksanakan aktifitas belajar mengajar.

Menurut Kardi dan Nur dalam Trianto (2011: 142) istilah model pembelajaran mempunyai makna yang
lebih luas daripada strategi, metode, atau prosedur. Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus
yang tidak dimiliki oleh strategi, metode, atau prosedur. Selanjutnya pengertian model pembelajaran
didapat juga dari Models of Teaching oleh Wilson yang menyebutkan bahwa:

Models of teaching deal with the ways in which learning environments and instructional experiences
can be constructed, sequenced, or delivered. They may provide theoretical or instructional frameworks,
patterns, or examples for any number of educational components – curricula, teaching techniques,
instructional groupings, classroom management plans, content development, sequencing, delivery, the
development of support materials, presentation methods, etc. Teaching models may even be discipline or
student-population specific.

Pada Akhirnya setiap model pembelajaran memerlukan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang
berbeda. Setiap pendekatan memberikan peran yang berbeda kepada siswa, pada ruang fisik, dan pada
sistem sosial kelas. Sifat materi dari sistem syaraf banyak konsep dan informasi-informasi dari teks buku
bacaan, materi ajar siswa, di samping itu banyak kegiatan pengamatan gambar-gambar. Tujuan yang
akan dicapai meliputi aspek kognitif (produk dan proses) dari kegiatan pemahaman bacaan dan lembar
kegiatan siswa (Trianto, 2010: 55).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dan berfungsi sebagi pedoman bagi
perancang pembelajaran dan para guru dalam merancang dan melaksanakan proses belajar
mengajar. Model pembelajaran juga merupakan cara/teknik penyajian yang digunakan guru dalam
proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran yang masing-masing memiliki kelemahan dan
kelebihan. Metode/model sangat penting peranannya dalam pembelajaran, karena melalui pemilihan
model/metode yang tepat dapat mengarahkan guru pada kualitas pembelajaran efektif.

2. Discovery Learning

Metode penemuan (discovery) diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran,
perseorangan, manipulasi obyek dan percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi. Sehingga metode
penemuan (discovery) merupakan komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar
yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan
reflektif (Suryosubroto 2009:178). Menurut Hanafiah metode penemuan (discovery) merupakan suatu
rangkaian kegiatan pembelajaran yang melibatkan seluruh kemampuan siswa secara maksimal untuk
mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, dan logis sehingga siswa dapat menemukan sendiri
pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan tingkah laku (2009: 77).

Richard dan asistennya mencoba self-learning pada siswa (belajar sendiri), sehingga situasi belajar
mengajar berpindah dari situasi teacher dominate learning menjadi situasi student dominated learning.
Dengan menggunakan discovery learning, ialah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam
proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan
mencoba sendiri. Agar anak dapat belajar sendiri (dalam Suryosubroto 2009:179).

Model discovery learning bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar,
mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Proses perkembangan harus dipandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan
kegiatan belajar.

Model discovery-inquiry atau discovery learning menurut Suryosubroto (2002) diartikan sebagai suatu
prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain,
sebelum sampai kepada generalisasi. Discovery adalah proses mental yang membuat siswa
mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan
sebagainya.

Model discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005: 43). Discovery terjadi apabila individu
terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan
prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan. Proses
tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of
assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik 2001:219).

Sebagai strategi belajar, discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan
problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada discovery learning lebih
menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya
dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah
yang direkayasa oleh guru. Sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa
harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam
masalah itu melalui proses penelitian, sedangkan problem solving lebih memberi tekanan pada
kemampuan menyelesaikan masalah.

Menurut Sutrisno (2008) inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-
dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar
sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Menurut Bruner (dalam Arends
2008:48) discovery learning merupakan sebuah model pengajaran yang menekankan pentingnya
membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan
keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui
personal discovery (penemuan pribadi).

Menurut Suprijono (2010:69) discovery learning merupakan pembelajaran beraksentuasi ada masalah-
masalah kontekstual. Proses belajar model ini meliputi proses informasi, transformasi, dan evaluasi.
Proses informasi, pada tahap ini siswa memperoleh informasi mengenai materi yang sedang dipelajari.
Pada tahap ini siswa melakukan penyandian atau encoding atas informasi yang diterimanya. Berbagai
respon diberikan siswa atas informasi yang diperolehnya. Ada yang menganggap informasi yang
diterimanya sebagai sesuatu yang baru. Ada pula yang menyikapi informasi yang diperolehnya lebih
mendalam dan luas dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

Tahap transformasi, pada tahap ini siswa melakukan identifikasi, analisis, mengubah,
mentransformasikan informasi yang telah diperolehnya menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual
supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Dalam tahap ini siswa
mengembangkan inferensi logikannya. Tahap ini dirasakan sesuatu sulit dalam belajar penemuan. Dalam
keadaan seperti ini guru diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat. Tahap
evaluasi, pada tahap ini siswa menilai sendiri informasi yang telah ditransformasikan itu dapat
dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan masalah yang dihadapi. Menurut
Kemendikbud (dalam materi pelatihan guru implementasi kurikulum 2013: 31), discovery
learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi apabila siswa
tidak disajikan materi pelajaran dalam bentuk final, melainkan diharapkan mengorganisasi sendiri.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat peneliti simpulkan bahwa discovery learning merupakan
pembelajaran yang menitikberatkan pada proses pemecahan masalah, sehingga siswa harus melakukan
eksplorasi berbagai informasi agar dapat menentukan konsep mentalnya sendiri dengan mengikuti
petunjuk guru berupa pertanyaan yang mengarah pada pencapaian tujuan pembelajaran.

Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquiry-based), konstruktivis dan


teori bagaimana belajar. Model pembelajaran yang diberikan kepada siswa memiliki skenario
pembelajaran untuk memecahkan masalah yang nyata dan mendorong mereka untuk memecahkan
masalah mereka sendiri. Dalam memecahkan masalah mereka; para siswa menggunakan pengalaman
mereka terdahulu dalam memecahkan masalah. Kegiatan mereka lakukan dengan berinteraksi untuk
menggali, mempertanyakan selama bereksperimen dengan teknik trial and error.

Children love being in charge of their own learning it gives them the sense of self worth. It makes the
learning more desirable and attainable. Teachers give a problem to their students and set their students
free to solve it on their own, discovering as they go. Often these classroom can look unorganized or
chaotic but, a discovery learning classroom in fact is organized. It is set up in away for learning to happen
with projects, real-life problems and the learner figuring out.

Pernyataan yang terdapat dalam kutipan di atas menyebutkan bahwa para siswa memiliki gairah dalam
belajar. Guru memberikan masalah kepada para siswa dan memfasilitasi siswa untuk memecahkannya
sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas agak gaduh karena seperti tidak terkendali, namun
sebenarnya mereka dalam kegiatan yang terorganisasi. Pembelajaran diarahkan sedemikian rupa supaya
siswa menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata untuk dipecahkan oleh para siswa sendiri.

Model pembelajaran discovery learning menurut Alma dkk (2010:59) yang juga disebut sebagai
pendekatan inkuiri bertitik tolak pada suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid secara
independen. Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara ilmiah. Hal ini sejalan
juga dengan pendapat yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas seperti
yang terdapat pada kutipan : Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when
the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it
him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986: 103 dalam Depdikbud 2014).

Menurut Alma, dkk (2010:61) Model Discovery Learning ini memiliki pola strategi dasar yang dapat
diklasifikasikan ke dalam empat strategi belajar, yaitu: (1) penentuan problem, (2) perumusan hipotesa,
(3) pengumpulan dan pengolahan data, dan (4) merumuskan kesimpulan. Menurut Kemendikbud
(dalam materi pelatihan guru implementasi kurikulum 2013:32), langkah-langkah model discovery
learning ada tiga tahap yang terdiri atas persiapan, pelaksanaan dan evaluasi.

a. Langkah Persiapan Model Discovery Learning

1) Menentukan tujuan pembelajaran.

2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).

3) Memilih materi pelajaran.

4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya
untuk dipelajari siswa.

6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau
dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.

7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

b. Prosedur Aplikasi Model Discovery Learning

1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya,
kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki
sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan poses belajar mengajar dengan mengajukan
pertanyaan, anjuran membaca buku, dan kegiatan belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar
yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.

2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah) (Syah 2004: 244). Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan
yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan
yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa
untuk menemukan suatu masalah.

3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya
hipotesis (Syah, 2004: 244). Tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar
tidaknya hipotesis.

Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba
sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan
sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak
disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa
menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

4) Data Processing (Pengolahan Data)

Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak,
diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002: 22).

Data processing disebut juga dengan pengkodean atau kategorisasi yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan
baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

5) Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya
hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing
(Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik
dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang
telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat
dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan
memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-
prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses
generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-
prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan
generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

Sebagai model pembelajaran, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri
(inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini. Discovery
Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui.
Perbedaan inkuiri dan problem solving dengan Discovery Learning ialah bahwa pada discovery
learning masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru

3. Tujuan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery)

Menurut Trianto (2010: 53) fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang
pengajar dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih model ini sangat
dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh tujuan yang akan
dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu pula, setiap
model pembelajaran juga mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang dapat dilakukan siswa dengan
bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga mempunyai perbedaan.
Perbedaan-perbedaan ini, di antaranya pembukaan dan penutupan pembelajaran yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Oleh karena itu, guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai
keterampilan mengajar, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang beraneka ragam dan
lingkungan belajar yang menjadi ciri sekolah pada dewasa ini.

Metode pembelajaran penemuan (discovery) dalam proses belajar mengajar mempunyai beberapa
tujuan antara lain :

a. Meningkatkan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam memperoleh dan memproses perolehan
belajar.

b. Mengarahkan para siswa sebagai pelajar seumur hidup.

c. Mengurangi ketergantungan kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi yang diperlukan
oleh para siswa.

d. Melatih peserta didik untuk mengeksplorasi atau memanfaatkan lingkungan sebagai informasi yang
tidak akan pernah tuntas digali (Moedjiono, 1993:83).

Adapun tujuan lain dari metode penemuan (discovery) dalam proses belajar mengajar adalah sebagai
berikut :

a. Mengembangkan sikap, keterampilan, kepercayaan peserta didik dalam memutuskan sesuatu secara
tepat dan objektif.

b. Mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik agar lebih tanggap, cermat dan melatih daya
nalar (kritis, analis dan logis).

c. Membina dan mengembangkan sikap rasa ingin tahu.

d. Menggunakan aspek kognitif, afektif dan psikomotor dalam belajar (Azhar, 1993:99).

4. Kelebihan dan Kekurangan Penerapan Discovery Learning

Setiap model pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena
itu, guru harus kreatif dalam memilih model pembelajaran yang akan digunakan. Model discovery
learning memudahkan siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep pembelajaran yang tidak
diperoleh siswa dengan cara mendengarkan penjelasan dari guru.

Menurut Kemendikbud (dalam buku pelatihan guru Implementasi Kuriulum 2013:31), mengatakan
mengenai kelebihan dari discovery learning adalah sebagai berikut.
a. Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan
proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung
bagaimana cara belajarnya.

b. Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan
pengertian, ingatan dan transfer.

c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.

d. Strategi ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.

e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan
motivasi sendiri.

f. Strategi ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan
bekerja sama dengan yang lainnya.

g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan
gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.

h. Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada


kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.

i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.

j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.

k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.

l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.

m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.

n. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.

o. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.

p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.

q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.

r. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.

Model pembelajaran discovery learning lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan
mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat
perhatian. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang
dikemukakan para siswa. Model pembelajaran discovery learning tidak menyediakan kesempatan-
kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh
guru. Ahli lain mengatakan bahwa metode penemuan (discovery) ini mempunyai keuntungan yaitu
sebagai berikut.

a. Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta
penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa.

b. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual sehingga dapat
kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.

c. Dapat membangkitkan kegairahan belajar mengajar para siswa.

d. Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai
dengankemampuannya masing-masing.

e. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar
lebih giat.

f. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses
penemuan sendiri (Djamarah, 2002: 82).

Model pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak,
karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan
masalah lainnya. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan
siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama. Beberapa kelebihan yang lain
pada metode penemuan (discovery) ini antara lain:

a. Membantu siswa dalam mengembangkan atau memperbanyak penguasaan ketrampilan dan proses
kognitif siswa

b. Membangkitkan gairah belajar bagi siswa

c. Memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak lebih maju sesuai dengan kemampuannya sendiri

d. Siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri
untuk belajar

e. Membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepecayaan pada diri sendiri melalui
proses-proses penemuan (Suryosubroto, 2009: 185).

Metode itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja, membantu bila
diperlukan. Metode penemuan (discovery) ini mempunyai kelemahan yaitu sebagai berikut:

a. Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental

b. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik

c. Metode ini kurang berhasil digunakan di kelas besar


d. Bagi guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin
akan sangat kecewa bila di ganti dengan metode penemuan (discovery)

e. Dengan menggunakan metode penemuan (discovery) ini proses mental terlalu mementingkan proses
pengertian saja atau pembentukan sikap dan keterampilan siswa (Djamarah, 2002: 83).

Dalam Discovery Learning, hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientis, historis, atau ahli matematika. Bahan ajar tidak disajikan
dalam bentuk akhir, tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta
membuat kesimpulan-kesimpulan.

Model pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk
belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau
mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya
akan menimbulkan frustasi. Pada intinya tidak ada model pembelajaran yang sempurna. setiap model
pembelajaran memiliki ke;ebihan dan kekurangannya. Tinggal kemampuan para guru untuk dapat
memilah dan memilih model pembelajaran yang mana yang paling cocok dengan materi pembelajaran.

5. Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Inggris

Di dalam makalah ini penulis menekankan pada hakikat pembelajaran Bahasa Inggris pada siswa SMP.
Seperti diketahui bahwa pembelajaran Bahasa dan pembelajaran mata pelajaran lain ada perbedaan-
perbedaan. Penerapan Discovery Learning pada kelas Bahasa haruslah tetap mengingat esensi
pembelajaran Bahasa itu sendiri. Sering terjadi kesalah pahaman, pada saat guru mengadopsi salah satu
strategi atau model pembelajaran yang biasa dilakukan pada mata pelajaran lain, pembelajaran Bahasa
Inggris menjadi melenceng. Manakala para siswa melakukan diskusi atau kegiatan kolaboratif, mereka
asyik dengan kegiatan off task tanpa ada kegiatan yang membawa mereka pada language
acquisition. Hal ini tidak diharapkan pada penerapan Discovery Learning yang disodorkan penulis pada
makalah ini.

Brown (2000:14) menyatakan bahwa saat ini, communicative language teaching diharapkan bergeser
dari pembelajaran aturan-aturan, pola-pola, definisi-definisi tentang terminologi kebahasaan, melainkan
proses pembelajaran yang mengarahkan siswa didik untuk berkomunikasi secara murni, spontan, dan
bermakna dalam bahasa target.

Today the term ‘communicative language teaching’ is a byword for language teachers. Indeed, the
single greatest challenge in the profession is to move significantly beyond the teaching of rules, patterns,
definitions, and other knowledge ‘about’ language to the point that we are teaching our students to
communicate genuinly, spontaneously, and meaningfully in the target language.

Dari kutipan tersebut penulis menaruh perhatian pada proses pembelajaran Discovery Learning dalam
pembelajaran Bahasa bukan untuk membahas tentang bahasa melainkan menekankan pemberian
kegiatan kepada para siswa sehingga sebanyak-banyaknya siswa didik menggunakan bahasa target
dalam kegiatan pembelajaran.

Namun, penulis juga melihat bahwa Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bahasa asing, sehingga
seperti disampaikan oleh Brown (2000:194) bahwa kita dalam membelajarkan bahasa tersebut seperti
layaknya membelajarkan bahasa Alien. Untuk alasan tersebut, Brown menyarankan untuk tidak serta
merta menghilangkan bahasa ibu ataupun kebiasaan yang sudah mengakar pada bahasa ibu. Yang erat
kaitannya dengan hal tersebut adalah pada saat guru memberikan tugas ataupun mengarahkan kegiatan
kepada para siswa didik, bisa saja guru menggunakan bahasa yang jelas dan dapat dimengerti, supaya
kegiatan yang akan dilaksanakan tidak melenceng dari rencana.

Selanjutnya, pada saat berlangsungnya kegiatan dalam proses Discovery Learning, siswa harus diarahkan
untuk menggunakan Bahasa Inggris secara maksimal, sedangkan hasil discovery-nya bukan merupakan
hal yang utama. Yang diutamakan dalam pembelajaran dengan Discovery Learning lebih pada proses
siswa menggunakan Bahasa Inggris selama proses pembelajaran.

C. Penutup

Bagi guru pelajaran bahasa Indonesia hendaknya menggunakan model discovery learning dengan media
puzzle sebagai alternatif dalam pembelajaran menyusun teks laporan hasil observasi. Dengan
menggunakan model discovery learning dengan media puzzle dapat memudahkan siswa dalam
menyusun teks laporan hasil observasi secara tertulis.

Bagi kepala sekolah yang memegang kebijakan tertinggi dalam jabatan struktural sekolah hendaknya
memiliki kemampuan untuk terus mengontrol dan meningkatkan jalannya proses pembelajaran di kelas
dengan memberikan fasilitas dan pelatihan mengenai model dan media pembelajaran yang baru yang
digunakan dalam pembelajaran serta dapat mengembangkan potensi sekolah baik keilmuan, sarana,
maupun prasarana yang dapat mendukung pembelajaran.

Bibliografi

Alma, Buchari, dkk. 2010. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung:
Penerbit Alfabeta.

Arends, Richard. 2008. Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azhar, Lalu. 1993. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya: Usaha Nasional.

Brown, Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition. New York: Addison
Wesley Longman, Inc.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa Cipta.

Hanafiah Nanang dan Cucu Suhada. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 SMP
Bahasa Inggris. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia nomor 58 tahun 2014 tentang Kurkulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah.

Moedjiono, Dimyati. 1993. Stategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional.

Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the Secondary School, 3rd Ed.
Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company

Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryosubroto, B. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutrisno, Joko. 2008. Pengaruh Metode Pembelajaran Inquiry dalam Belajar Sains terhadap Motivasi
Belajar Siswa. http://www.erlangga.co.id. (Diunduh pada Tanggal 4 September 2014).

Syah, Muhibin. 2004. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai