Anda di halaman 1dari 58

SALIVA

SEBAGAI
SAMPEL UJI
ANALISIS
TOKSIKOLOGI
Sampel biologis tradisional untuk pengukuran
kualitatif dan kuantitatif sebagian besar obat
adalah darah, plasma, dan urin. Namun demikian
ada beberapa keterbatasan pada sampel
konvensional tersebut, seperti invasif pada darah
dan kemungkinan pemalsuan pada sampel urine.

1.PENDAHULUAN
Banyak zat dan metabolitnya juga terdapat dalam
di dalam air liur  menarik perhatian selama
beberapa tahun terakhir.
 Pada akhir abad ke-17, Antonius Nuck
memelopori penyuntikan zat penanda ke
dalam kelenjar ludah, tidak hanya melalui
salurannya tetapi juga melalui pembuluh
darah, dan dia memperkenalkan kata baru
"sialografi" untuk ilustrasi hasil karyanya.
 Claude Bernard pada tahun 1856 mengukur
SEJARAH pergerakan penanda zat terlarut dari darah ke
air liur dan sebaliknya. Bernard menyadari
bahwa penghalang permeabilitas ada di
kelenjar, karena beberapa zat mudah masuk
ke dalam air liur sedangkan zat lain tertahan.
 Beberapa tahun kemudian Langley
mengamati bahwa biru metilen dapat
berpindah dari darah ke air liur (Langley, 1898).
Krause mempelajari transfer indigo carmine dari darah ke air liur di kelenjar
submandibular anjing dengan mikroskop dan menghasilkan ilustrasi berwarna
untuk mendukung hasilnya. Ia menganggap bahwa sebagian besar
pengangkutan terjadi melalui kanalikuli sekretori (Krause, 1902).

Pada tahun 1930-an Amberson dan Höber menunjukkan bahwa untuk zat
terlarut yang tidak terionisasi, teradapat hubungan antara kelarutannya di
dalam lemak dengan permeabilitas ke dalam saliva (Amberson dan Höber,
1932).

Straus memelopori penggunaan protein marker peroksidase di ginjal (Straus,


1957). Beberapa tahun kemudian Garrett dan rekan kerjanya menyuntikkan
enzim peroksidase ke dalam arteri kelinci dan anjing yang selanjutnya teramati
pada kelenjar submandibular serta mengamati adanya suatu barrier absorpsi.
2. Anatomi
dan
Fisiologi
Kelenjar
Saliva
1. untuk melembabkan selaput lendir dari saluran aero-
digestive bagian atas, untuk memfasilitasi bicara dan untuk
mengontrol flora bakteri di mulut;
2. untuk memasok enzim dalam mengolah makanan untuk
pencernaan lebih lanjut;

2.1 Fungsi 3. untuk menghasilkan hormon dan senyawa aktif


farmakologis lainnya;
cairan ludah
4. membasahi daerah mulut sebagai respons terhadap
tekanan panas, sehingga lebih dingin seperti berkeringat;

5. untuk pertahanan diri


2.2. Dasar
morfologi dan Air liur adalah cairan kompleks yang diproduksi
oleh sejumlah kelenjar khusus yang dibuang ke
anatomi rongga mulut kelenjar vertebrata mamalia.
Sebagian besar air liur diproduksi oleh kelenjar
pembentukan ludah utama (parotid, submandibular, dan
saliva sublingual), tetapi kontribusi kecil dibuat oleh
banyak kelenjar labial, bukal, dan palatal kecil
yang melapisi mulut.
 Kelenjar parotid adalah kelenjar "serosa", karena sel
asinarnya hanya mengandung sel yang mensekresi serosa,
yang sekresinya tanpa musin dibandingkan dengan
kelenjar submandibular dan sublingual, yang mengandung
sel yang mensekresi serous dan musin (Davenport, 1977 ).
 Viskositas saliva submandibular biasanya menurun dengan
meningkatnya laju aliran karena sel-sel serosa memiliki
respons yang lebih besar terhadap stimulasi daripada sel-sel
yang mensekresi musin.
 Kelenjar sublingual sebagian besar mengandung sel-sel
yang mensekresi musin dan sekresi mereka memiliki sifat
kental (Vining dan McGinley, 1985).
 Kelenjar ludah memiliki aliran darah yang tinggi. Arteri
karotis eksternal memasuki kelenjar submandibular dan
sublingual bersama dengan saluran utama dan saraf,
sehingga menciptakan hilus, meskipun hilum ini tidak
didefinisikan dengan jelas seperti pada organ yang
lebih besar seperti ginjal.
 Di dalam kelenjar, pembuluh mengikuti subdivisi dari
saluran sekretorius sehingga setiap lobulus memiliki
suplai darah yang berbeda dan terpisah (Young dan
Van Lennep, 1978).
 Arah aliran darah berlawanan dengan arah aliran
saliva (Davenport, 1977).
 Sebelum obat apa pun yang bersirkulasi dalam plasma dapat
memasuki saluran saliva, obat tersebut harus melewati dinding
kapiler, membran basal, dan membran sel epitel
kelenjar.Tahap penentu laju untuk transportasi ini adalah
lewatnya obat melalui lapisan lipofilik dari membran epitel.
 Namun, air liur bukanlah ultrafiltrasi plasma sederhana,
melainkan cairan kompleks yang dibentuk oleh mekanisme
yang berbeda: dengan proses difusi pasif, difusi aktif melawan
gradien konsentrasi, dengan ultrafiltrasi melalui pori-pori di
membran, atau dengan pinositosis (Caddy, 1984).
 Mekanisme transpor aktif bekerja untuk banyak elektrolit dan
untuk beberapa protein seperti IgA. Mekanisme transpor aktif
juga telah disarankan untuk beberapa obat. Namun, sebagian
besar mekanisme transpor aktif belum dipahami dengan baik.
Oleh karena itu, penting untuk
Namun, interpretasi yang jelas diketahui hubungan antara
tentang signifikansi kuantitatif konsentrasi obat di dalam saliva
konsentrasi obat saliva untuk dalam hubungannya dengan
menjelaskan mekanisme sekresi konsentrasinya di dalam plasma
obat ke dalam saliva belum daerah untuk memahami
tercapai. pengaruh barrier absorpsi dari
darha ke kelenjar ludah.
 Sekresi saliva adalah respons refleks /spontan
2.3 yang dikendalikan oleh saraf sekretomotorik
parasimpatis dan simpatis.
Pembentukan  Stimulasi serabut simpatis ke semua kelenjar
dan Sekresi menyebabkan vasokonstriksi; pada manusia,
stimulasi batang simpatis di leher atau injeksi
Saliva epinefrin menyebabkan sekresi oleh sub-
maksila tetapi tidak oleh kelenjar parotis.
 Obat parasimpatomimetik menyebabkan laju
aliran saliva yang tinggi dan pembesaran
ujung sekretori.
Saliva adalah produk sekresi dari kelenjar saliva, mengandung cairan
ludah itu sendiri, jumlah cairan sulkus gingiva yang lebih sedikit, debris
seluler, dan darah.
New Yor Academic of Science menyatakan bahwa air liur dapat
digunakan untuk pengujian obat (1993).

Keuntungan: bebas plasma (obat induk tidak terikat, tidak terionisasi,


metabolit lipofilik), non-invasif, mudah dikumpulkan.

Dapat digunakan untuk analisis farmakokinetik jika datanya memadai.


 Air liur manusia menghasilkan 0,5 - 1,5 L setiap
hari.
 Kondisi istirahat: dari 75% kelenjar
submandibula, 25% dari kelenjar parotis, dan
5% dari sublingual dan kelenjar minor lainnya.

2.4.  Dengan stimulasi, keluaran saliva parotis


meningkat menjadi sekitar setengah dari total.

Komposisi  Air liur terdiri dari 99% air, 0,3% protein


(sebagian besar amilase) dan 0,3% musin.
Saliva  Senyawa organik: musin, protein, hormon,
enzim, DNA, imunoglobulin, virus, dll.
 Senyawa anorganik: isotonik dengan plasma,
beberapa unsur, basa, basa tanah, dll.
 Seperti hati, ginjal, dan otak, dipasok dengan
baik dengan darah arteri.
 Beberapa metode telah dijelaskan untuk
pengumpulan air liur campuran.
 Tanpa stimulasi: 0,05 ml / menit - meludah
sendiri biasanya merupakan stimulus yang
3. cukup untuk menghasilkan aliran sekitar 0,5 ml /
Pengumpulan 
menit.
Abrasi gingiva  bertambahnya air liur 
Sampel Saliva jangan membebani gigi (lakukan cara lain
untuk menjaga kebersihan)
 Dengan stimulasi
Teknik Stimulasi:
 Mengunyah permen karet atau permen asam biasanya
menghasilkan aliran 1 hingga 3 ml / menit.
 Subjek harus membiarkan air liur menumpuk di mulut
sampai keinginan untuk menelan terjadi, di mana pada
saat itu cairan dapat dikeluarkan dengan lancar ke dalam
wadah.
 Ekspektorasi berulang harus dihindari karena menimbulkan
gelembung, yang dapat mengakibatkan perubahan pH
dan menyebabkan kesalahan dalam interpretasi rasio
konsentrasi saliva / plasma (rasio S / P).
 Penggunaan asam lemon tetes atau beberapa tetes
0,5 mol / l asam sitrat  menginduksi sekresi 5 sampai 10
ml / menit (Vining dan McGinley, 1985).
 Obat perangsang, seperti obat parasimpatomimetik
pilocarpine, secara oral, subkutan, atau intravena.
 Efek samping muncul, misalnya, stimulasi kelenjar parotis
tikus dengan isoproterenol mengakibatkan
peningkatan sementara dalam permeabilitas junctional,
yang memungkinkan lewatnya pelacak dengan berat
molekul 34.500.
 Air liur dalam jumlah besar dapat diperoleh
dalam waktu singkat;

Keuntungan  pH saliva terstimulasi sebagian besar berada


dalam kisaran sempit sekitar nilai 7,4,

merangsang sedangkan pH saliva yang tidak distimulasi


menunjukkan variabilitas yang lebih besar,

aliran saliva
yang mungkin penting untuk sekresi saliva
senyawa asam dan basa lemah.
 Variabilitas antarsubjek dalam rasio S / P dapat
berkurang ketika saliva yang distimulasi
digunakan, seperti yang telah dilaporkan untuk
digoksin.
Teknik Pengumpulan Sampel Saliva
 Tempatkan kapas atau bahan penyerap yang menempel pada stik
ke dalam mulut selama beberapa menit.
 Dapat dikumpulkan di tempat kejadian kecelakaan / kejahatan.
 Jika perlu dapat dirangsang dengan permen asam sitrat atau
dengan mengunyah permen karet untuk memastikan sampai
mendapatkan volume sampel yang memadai.
 Kendala dijumpai ketika pasien dalam keadaan tidak sadar atau
dibius  tidak dapat mengikuti instruksi.
 Kesulitan: pemalsuan spesimen cairan oral  meludah selama 10
menit periode pengamatan sebelum pengambilan spesimen.
 Pengujian yang sering dilakukan dengan air liur adalah deteksi
alkohol di pinggir jalan untuk pengemudi.
Penyimpanan Sampel
 Perangkat pengumpul: bantalan: kertas adsorben yang
dilapisi dengan garam penyangga pada batang plastik.
Tempatkan di mulut 2 - 5 menit. Indikator akan menunjukkan
volume yang dibutuhkan sudah tercapai (1 - 1,5 mL)
 Wiper bad (2 mcL).
 Dapat dianalisis langsung setelah sampel dikumpulkan.
 Perlakuan sampel: pembekuan / pengawet untuk senyawa
tidak stabil dari enzim atau bakteri (nitrazepam, flurazepam) /
SPME
Device khusus
 Salivette®.
 Mirip dengan gulungan kapas gigi. Salivette® digunakan untuk
menyerap air liur setelah dimasukkan ke dalam mulut selama 30-45 detik
dengan atau tanpa stimulasi.
 Setelah dibasahi air liur, dental roll dimasukkan ke dalam wadah yang
ditutup dengan sumbat plastik. Wadah muat ke dalam tabung polistirrol
yang kemudian disentrifugasi selama 3 menit pada sekitar 1000 g.
 Selama sentrifugasi, air liur mengalir dari gulungan kapas ke bagian
bawah tabung. Wadah kemudian dikeluarkan dari tabung dan air liur
bening dikeluarkan dari tabung. Partikel seluler disimpan di bagian
bawah tabung.
 Kekurangan dari Salivette® adalah gulungan kapas gigi
mengganggu beberapa tes hormon dan obat, seperti tes
untuk testosteron. Saat diuji, kapas dari Salivette® mengandung
sesuatu yang meniru efek testosteron (Dabbs, 1991).
 Namun kapas bisa diganti dengan bahan penyerap lainnya.
Sejauh ini, tidak ada bahan penyerap yang ditemukan menjadi
inert yang dapat digunakan untuk semua tujuan (Haeckel,
1990).
 Keuntungan dari Salivette® adalah dapat menyerap volume
air liur yang relatif besar (1,5 ml) dalam waktu singkat.
 OraSure®, perangkat pengumpul lainnya, hanya menyerap 1,0
ml selain air liur, karena bantalan ditempatkan di antara pipi
dan gusi. Istilah "sampel oral" digunakan daripada air liur saat
perangkat OraSure® digunakan.
Devices
Kekurangan sampel saliva
 Beberapa obat, kondisi medis, atau kecemasan dapat
menghambat sekresi air liur.
 Obat dalam saliva bergantung pada konsentrasi darah 
memiliki batas waktu  obat dengan waktu paruh plasma
pendek  dapat dideteksi dalam waktu yang sangat
singkat karena saliva dan darah memiliki jendela deteksi
terpendek.
 (urin dan keringat masih mengandung metabolit setelah
berhari-hari atau berminggu-minggu).
4. METODE ANALISIS
4.1. Metode Imunologi
 Metode analisis imunologi telah banyak digunakan untuk memantau obat-obatan
dalam air liur dan cairan tubuh lainnya, terutama karena penggunaannya yang
relatif sederhana, memerlukan sedikit atau tanpa perlakuan ekstraktif, aplikasinya
pada analisis batch besar, dan kepekaannya. Namun demikian, metode ini tidak
selalu memiliki spesifisitas yang diperlukan untuk membedakan metabolit dari obat
induk.
 Pada tahun 1978, sekelompok peneliti dari Institut Tenovus menghidupkan kembali
minat dalam penentuan hormon dalam air liur dengan menerapkan teknik
radioimmunoassay (RIA). Studi mereka telah diikuti oleh semakin banyak publikasi
yang menunjukkan nilai metode RIA, terutama untuk analisis hormon dalam air liur,
seperti estradiol, progesteron, testosteron, kortisol, dan kortison.
 Obat lain yang sudah diukur dengan RIA antara lain kokain, kanabinoid, haloperidol,
teofilin dan kotinin.
 Penggunaan prosedur imunologi non-radioaktif alternatif, yaitu
teknik enzyme multiplied immunoassay (EMIT®), didasarkan pada
pengikatan protein kompetitif menggunakan enzim sebagai label
dan antibodi sebagai protein pengikat spesifik. Aktivitas enzim
berhubungan dengan jumlah obat dalam sampel dan diukur
secara spektrofotometri.
 Meskipun uji ini sangat mudah digunakan dan tidak memerlukan
fasilitas radiokimia, uji ini tidak terlalu sering digunakan untuk
memantau kadar air liur.
 Sensitivitas mungkin menjadi salah satu alasan utama untuk ini.
Namun, beberapa obat antikonvulsan diukur dalam air liur dengan
EMIT®.
 Uji karbamazepin dan fenitoin memiliki batas bawah deteksi 0,1 mg / ml
dengan koefisien variasi untuk uji <10%. Obat lain, teofilin ditentukan dalam
air liur anak penderita asma.
 Batas bawah sensitivitas assay adalah 0,8 mg / ml dengan koefisien variasi
untuk assay <5%.
 Harus berhati-hati dalam menggunakan asam sitrat dalam kombinasi
dengan uji EMIT® karena enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
yang digunakan dalam uji EMIT® untuk etosuksimida dan fenitoin dihambat
38% oleh asam sitrat (8 mmol / l)
 Immunoassay langsung lainnya adalah chemiluminescence immunoassay
(CIA) menggunakan isoluminol untuk mendeteksi estradiol dalam air liur.
Fenitoin diukur dalam 1 ml sampel saliva dengan fluoresensi polarisasi (FPIA).
4.2. Metode Kromatografi
 Kromatografi lapis tipis (KLT) memiliki keunggulan karena
kesederhanaan dan memungkinkan penentuan beberapa sampel
secara bersamaan. Namun faktor pembatas utama adalah deteksi
masing-masing spot pada lempeng lapis tipis jika kadar obat yang
rendah dalam air liur.
 Oleh karena itu, teknik ini jarang digunakan dalam pemantauan obat
saliva. Dengan pengembangan TLC kinerja tinggi (HPTLC), Drehsen
dan Rohdewald (1981) mencoba mencapai sensitivitas dan presisi
yang lebih tinggi.
 Mereka memantau asam salisilat, salisilamida, etoksibenzamida,
asetaminofen, dan beberapa analgesik lemah lainnya dalam air liur.
Mereka mampu mendeteksi antara 5 dan 50 ng dari masing-masing
obat dengan deviasi standar relatif berkisar antara 1 hingga 6,8%.
HPLC

 Seringkali, kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) digunakan untuk


analisis obat dalam air liur. Thompson dkk. (1987) menggunakan HPLC
dengan deteksi elektrokimia untuk penentuan D9-
tetrahydrocannabinol (THC).
 Sayangnya, detektor ultraviolet tidak cukup sensitif untuk menghitung
THC pada konsentrasi fisiologis manusia. Karena deteksi fluoresensi lebih
memadai, derivatisasi dengan probe fluoresensi terkadang digunakan
untuk meningkatkan sensitivitas. Baru-baru ini, mexiletine, obat
antiaritmia dipantau dengan cara ini.
 HPLC digunakan untuk mengoptimalkan pemisahan kafein dari
metabolitnya, teofilin dan paraxantin, dalam saliva. Lam dkk. (1993)
mengembangkan uji klorheksidin yang hanya membutuhkan 200 ml
sampel saliva. Batas deteksi uji HPLC ini adalah 50 ng / ml, yang
merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan deteksi
spektrofotometri. Di antara obat lain yang secara rutin diukur dengan
HPLC dalam air liur adalah kina dan analognya.
Gas kromatografi

 Prosedur analitik paling populer untuk pengukuran pada tingkat


nanogram atau pikogram didasarkan pada kromatografi gas (GC),
atau, dalam mode tanda hubung, dengan spektrometri massa (GC /
MS).
 Uji nitrazepam, ditentukan dalam saliva dengan GC setelah diubah
menjadi N-butylnitrazepam, menunjukkan batas deteksi 0,5 ng / ml
(Hart 't dan Wilting, 1988). Clobazam juga ditentukan secara memadai
dalam air liur anak epilepsi dengan GC.
 Matin dkk. (1977) secara bersamaan mengukur d- dan l-amfetamin
dalam plasma dan saliva setelah derivatisasi amina dengan reagen
kiral. Penyalahgunaan obat lain, kokain, dapat dideteksi dalam saliva
dengan GC / MS selama 12 sampai 36 jam setelah pemberian.
 Gould dkk. (1986) mengembangkan prosedur GC / MS untuk
pengukuran testosteron saliva pada subjek wanita karena inefisiensi RIA.
5. Mekanisme Transfer Obat dari Plasma
ke Saliva

 Rute yang mungkin menyebabkan obat hadir dalam air liur campuran
adalah difusi transeluler pasif, ultrafiltrasi, transpor aktif dan pinositosis.
 Jelasnya, jika pasien baru saja menerima obat secara oral mungkin
ada peningkatan palsu dari tingkat obat saliva.
 Dilaporkan bahwa kapsul gelatin keras yang mengandung amfetamin
telah menghasilkan retensi obat oral.
 Tidak ada bukti bahwa pinositosis memainkan peran apa pun. Namun,
tiga mekanisme lainnya diketahui terlibat.
 Dalam difusi transeluler pasif, bahan yang sangat larut dalam lemak
dapat melewati dinding kapiler, membran basal dan sel asinar dari ujung
sekretori, dengan lapisan lipid dari dinding sel epitel menyediakan
penghalang laju - pembatas. Mekanisme yang sama mungkin
memungkinkan mereka melewati sel yang melapisi saluran kelenjar.
 Konsentrasi saliva dari steroid tak terkonjugasi yang larut dalam lemak
seperti estriol, kortisol dan testosteron mendekati konsentrasi plasma yang
tidak terikat.
 Dengan ultrafiltrasi (atau transpor paraseluler) molekul polar kecil seperti
gliserol dan sukrosa masuk ke dalam air liur.
 Rasio S / P dari beberapa senyawa polar kecil yang tidak larut dalam
lemak diplot sebagai fungsi dari berat molekulnya. Mekanisme ini dibatasi
pada senyawa dengan berat molekul (MW) kurang dari sekitar 300 Da,
dan bahkan senyawa dengan MW sekitar 150 Da hanya disaring sampai
batas minimal, sebagaimana dibuktikan dengan kadar saliva yang jauh
lebih rendah daripada plasma.
Mekanisme transpor aktif jelas bekerja untuk
banyak elektrolit dan untuk beberapa protein
seperti IgA. Mekanisme ini juga telah dibuktikan
pada beberapa obat.

Transport Penelitian: sekresi penisilin oleh alat saliva dan


oleh ginjal keduanya dihambat oleh
Aktif probenesid, penghambat jalur ginjal aktif,
setidaknya sebagian dari sekresi penisilin dalam
air liur melibatkan mekanisme aktif.
Namun, probenesid tidak menunjukkan efek
pada sekresi diprophylline saliva, sedangkan
jalur ginjal aktif dihambat oleh probenesid.
Data ini menunjukkan bahwa mekanisme
sekresi di ginjal dan di kelenjar ludah tidak
sama.
 Sebagian besar obat tampaknya
memasuki air liur melalui proses difusi
pasif sederhana yang ditandai dengan
transfer molekul obat ke bawah
gradien konsentrasi tanpa
pengeluaran energi.
Difusi Pasif  Laju difusi obat merupakan fungsi dari
gradien konsentrasi, luas permukaan
tempat transfer terjadi, ketebalan
membran, dan konstanta difusi yang
bergantung pada sifat fisika-kimiawi
masing-masing obat.
Faktor pH dan pKa
 Variabel lain yang juga mempengaruhi proses difusi pasif adalah pH saliva.
Ketika laju aliran saliva meningkat, apapun penyebabnya, terdapat
peningkatan yang nyata pada konsentrasi bikarbonat dengan peningkatan
pH yang bersamaan dari yang terendah 6,0 sampai setinggi 8,0.
 pH saliva mempengaruhi rasio S / P obat, tetapi hanya ada sedikit penelitian
tentang fenomena ini. Pengaruh pH saliva pada transpor ini bergantung pada
pKa obat. Untuk obat asam, pH saliva mempengaruhi konsentrasi obat asam
bila nilai pKa kurang dari sekitar 8,5 (Feller dan le Petit, 1977), untuk obat basa
hal ini terjadi bila pKa lebih besar dari 5,5.
 Untuk obat asam dengan pKa> 8,5 dan obat basa dengan pKa <5,5, rasio S /
P tidak bergantung pada pKa.
 Obat asam cenderung lebih rendah konsentrasinya dan obat basa lebih
tinggi konsentrasinya di air liur daripada di plasma. Keadaan sebaliknya terjadi
jika pH saliva lebih tinggi dari pH darah; Misalnya, setelah stimulasi kuat dari
laju aliran saliva, atau seperti yang biasa diamati pada kambing dan sapi
yang memiliki pH saliva sekitar 8,0 (Rasmussen, 1964).
Faktor permeabilitas
 Afinitas relatif antara air dan lipid, seperti yang dinyatakan oleh oktanol /
koefisien partisi air, merupakan faktor penting karena menentukan kemudahan
molekul untuk menembus membran lipid sel asinar. Jika suatu obat terionisasi
pada pH fisiologis, lipofilisitas efektifnya jauh lebih rendah, karena spesies
terionisasi dikelilingi oleh molekul air akibat interaksi ion-dipol yang tidak
mendukung interaksi membran.
 Perlu juga dicatat bahwa obat yang larut dalam lemak biasanya dimetabolisme
menjadi metabolit yang lebih polar dan larut dalam air sebelum dikeluarkan
melalui urin. Salah satu contohnya adalah fenitoin, yang dimetabolisme di hati
menjadi parahydroxyphenytoin glukuronida. Metabolit tidak aktif ini tidak akan
muncul dalam air liur karena sebagian terionisasi dan larut dalam air.
 Keuntungan dapat diambil dari itu, karena pengujian yang akan menentukan
fenitoin dan metabolit tidak aktif dalam plasma dapat diterapkan pada air liur,
di mana hanya obat aktif yang ada.
 Ukuran molekul penting untuk laju difusi molekul obat: pertimbangan teoritis
menyiratkan hubungan linier antara permeabilitas dan P / (MW) 1/2 (P: koefisien
partisi oktanol / air; MW1 / 2: akar kuadrat berat molekul), a hubungan yang
dapat diverifikasi dengan data eksperimen.
 Dalam kasus lipofilisitas rendah dan dengan demikian rasio
ekstraksi rendah, transpor zat melintasi membran menentukan
kecepatan kemunculannya dalam saliva.
 Pembersihan saliva tidak tergantung pada aliran darah.
Namun, aliran saliva tetap bergantung pada aliran darah.
 Oleh karena itu, konsentrasi dalam saliva akan menurun
dengan meningkatnya aliran darah dan saliva. Dalam kasus
pembersihan aktif yang tidak bergantung pada pengikatan
dan ionisasi protein, jumlah yang disekresikan secara pasif
meningkat dengan jumlah konstan yang disekresikan oleh
mekanisme aktif jenuh. Konsep pembersihan saliva ini
merupakan awal dari desain model sekresi saliva obat.
 Penelitian selanjutnya harus lebih memperjelas mekanisme
dimana obat dapat ditransfer dari darah ke air liur.
pH Partitioning and S/P ratio
 Rasmussen (1964) developed an equation based on pH partitioning that
describes the S/P ratio and that also considers differences in protein
binding and ionization between plasma and saliva as essential factors.
For lipid soluble drugs the S/P ratio can be predicted on the assumption
of a passive diffusion process by use of equations (1) for acidic and (2) for
basic drugs.
 In the derivation of equations (1) and (2), it is assumed that the diffusion
of drugs between plasma and saliva is passive and rapid. Accordingly,
there should be a linear relationship between salivary and unbound
concentration in plasma (Graham, 1982).
 S/P = 1 + 10 (pHs – pKa) x fp__ (1)
1 + 10 (pHp-pKa) x fs
 S/P = 1 + 10 (pKa – pHs) x fp__ (2)
1 + 10 (pKa-pHp) x fs

where S = concentration of drug in saliva


P = concentration of drug in plasma
pKa = pKa of drug; pHs = Saliva pH ; pHp = Plasma pH; fp = Free
(unbound) fraction of drug in plasma; fs = Free (unbound) fraction of
drug in saliva.
 However, it has been reported that phenytoin is bound to the
mucoid sediment of mixed saliva, the concentration in the
sediment being approximately three times as great as that in
the supernatant.
 As already mentioned, basic drugs can have a S/P ratio
exceeding one, due to pH partitioning. Wan et al. (1978)
observed a S/P ratio of 2.76 for the basic drug amphetamine.
 This ratio was in reasonable agreement with the calculated
S/P ratio of 2.21, according to the equation of Rasmussen.
Cocaine (pKa=8.6); methadone (pKa=8.6); and codeine
(pKa=8.2) have a S/P ratio exceeding one.
 In most studies saliva pH was not measured and therefore the
observed S/P ratio could not be compared with the
calculated ratio.
 Intra-individual variability of the S/P ratio of several drugs has
been demonstrated after their oral or intravenous
administration. Posti (1982) offered a plausible theory based on
the phenomenon of varying arterial-venous concentration
ratios. Haeckel (1990) described this phenomenon more in
detail. After the uptake of an orally applied substance from the
intestine, at first the arterial blood has a higher concentration
than the venous blood (positive arteriovenous difference).
 If the absorption is completed and the substance is not
metabolized (or only metabolized to a minor extent) in a
particular organ, the situation is reversed because the
substance rediffuses from the cells into the blood (negative
arteriovenous difference in the elimination phase). That results in
a fluctuation of the arteriovenous difference, which was shown
for caffeine (Haeckel, 1990).
Kompartemen Farmakokinetika
 Berbagai organ berbeda dalam hal volume aliran darah: satu kelompok
memiliki aliran tinggi (misalnya hati, ginjal, otak, kelenjar ludah), dan satu
kelompok memiliki aliran yang relatif rendah (misalnya kulit, otot rangka
istirahat, lemak).
 Dalam farmakokinetik kelompok pertama sering dianggap sebagai
kompartemen sentral dan kelompok kedua sebagai kompartemen perifer.
Ini harus dipertimbangkan jika konsentrasi air liur dibandingkan dengan
konsentrasi darah yang berasal dari vena kubital yang termasuk dalam
kompartemen perifer.
 Namun, kelenjar ludah memiliki aliran darah yang tinggi. Oleh karena itu,
perbedaan arterio-vena dari zat yang berdifusi bebas relatif kecil dan
rasionya mendekati 1,0. Korelasi yang buruk antara kedua kompartemen
yang telah dilaporkan dalam literatur mungkin hanya sebagian dapat
dijelaskan dengan mengabaikan fenomena yang dijelaskan (Haeckel,
1990).
6. Analisis Saliva
untuk Obat
1. Screening Tests
2. On site Testing
3. Confirmation Testing
Methods : RIA, Enzymatic, GC-
MS
Obat doping dalam saliva
 Spesimen biologis yang paling sering digunakan untuk penentuan
obat dalam pengendalian doping adalah urin, karena hanya sampel
yang diperoleh secara non-invasif yang dapat diterima untuk
pengambilan rutin. Namun, bahkan penerimaan sampel urin masih
diperdebatkan mengingat potensi pelanggaran privasi, terutama jika
pengumpulan yang diamati secara langsung disarankan untuk
mencegah pemalsuan atau penggantian sampel. Itu terjadi, misalnya,
ketika para atlet mencoba kabur dari deteksi dengan menggunakan
urine orang lain.
 Kerugian utama lain dari urin adalah variabilitas dalam
pembersihan ginjal obat-obatan dan metabolitnya, yang
sebagian besar disebabkan oleh fluktuasi laju aliran dan pH
urinSelain itu, tidak semua obat diekskresikan dalam urin,
misalnya, obat penghambat ß yang larut dalam lemak
cenderung cepat dihilangkan oleh berbagai sistem
metabolisme di hati (McDevitt, 1987).

 Sekitar tahun 1910, ahli kimia Rusia Bukowski


mengembangkan metode untuk mendeteksi alkaloid dalam
air liur kuda. Dua tahun kemudian metode ini digunakan
untuk pengujian obat di pacuan kuda. Tidak seperti sampel
urin, air liur dapat diperoleh di bawah pengawasan tanpa
observasi langsung pada fungsi pribadi. Meskipun kontrol
doping kualitatif terutama bergantung pada sensitivitas
pengujian, kegunaan air liur perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Obat di dalam Saliva
1. Alkohol Saliva
 Etanol adalah molekul kecil  melewati membran tanpa terionisasi atau
terikat dengan protein plasma, didistribusikan ke semua cairan tubuh sesuai
dengan kandungan airnya.
 Saliva berevolusi cepat dengan etanol darah.
 Lebih tinggi dari pada darah tepi.
 Deteksi lebih dari 20 menit setelah konsumsi.
 Metode analisis: kromatografi headspace dan metode enzimatik.
 Dipstick atau strip reagen untuk alkohol telah dilaporkan tetapi tidak dapat
diandalkan untuk digunakan dalam menentukan kandungan alkohol dalam
darah.
 Uji Alkohol Saliva QED: etanol dioksidasi oleh alkohol dehidrogenase 
asetaldehida + reduksi simultan dari nikotinamida adenin dinukleotida (NAD)
 FeCN + garam tetrazolium  titik akhir berwarna ungu.
 Positif palsu: asam askorbat
 Head space method  sample no contact dengan reagen  no false
positive.
2. Opiat
 Heroin, 6 MAM, Codein, Opiat Terkait  mayor setelah heroin adalah
MAM  saliva: darah = 6: 1.
 24 jam setelah merokok, 60 menit setelah injeksi intravena.
 Morfin  imunoassay radikal bebas  200 mic gram / L setelah 6 jam
dosis.
 i.m  peak: 0,5 jam dan tidak lagi terdeteksi setelah 24 jam.
 Codeine: saliva: plasma ratio = 3.3, diukur 2 - 12 jam setelah pemberian.
Asam glukoronat kodein tidak ditemukan dalam air liur.
 Konsentrasi kodein pada sampel saliva yang tidak distimulasi 3,6 lebih
tinggi dari pada yang distimulasi (dengan asam sitrat).
 Spesivisitas metode GC-MS sampel usap = 6 MAM: 30 mcg / L, morfin 40
mcg / L, kodein 66 mcg / L, metadon 50 mcg / L, kokain 60 mcg / L,
amfetamin 56 mcg / L, methamfetamin 40 mcg / Tanah diazepam 3.6
mcg / L.
3. Methadon
 Dengan metode GC-MS dan HPLC
 pH metadon: pKa: 8,2  konsentrasi. Pada saliva
fungsi pH: 0.6 - 7,2 dengan rata-rata 3,7 (n = 10)
pada range pH saliva: 5 - 7.
 EDPP (3 etilidena - 1,5 dimetil - 3,3 difenilpirolidin) 
pH: 0,2 - 1,8 (rata-rata: 0,89 tanpa fungsi pH saliva).
 Kekhususan: 10 mcg / mL metadon cairan oral
encer; 30 mcg / L dalam air liur bersih.
4. Kokain
Kebanyakan di obat induk
Air liur: plasma = 5
Dengan GC-MS, spesivisitas: 30 mcg / L.
5. Amfetamin
Amfetamin, methamfetamin, 3,4 methylendioxymethamfetamine
(MDMA), 3,4 methylenedioxyamfetamine (MDA) dan obat golongan lain
yang ditemukan dalam air liur dalam bentuk obat induknya.
Saliva : rasio plasma sekitar 3.
Deteksi waktu hingga 50 jam setelah pemberian
Dengan mikrotiter EIA dikonfirmasi dengan GCMS: sensitivitas: 30 mcg / L.
6. Obat barbitutares dan antiepilepsi
pKa netral dan asam dan banyak terikat dengan protein darah
karbamazepin: saliva - rasio plasma: 0.13 - 0.33 dan variasi intraindividual
sekitar 5%.
1,4 - 3,5 mg / L
Tergantung pada pH air liur.
7. Benzodiazepin
Bersifat asam dan sangat mengikat protein plasma saliva:
plasma = 0,01 - 0,08.
Chlordiazepoxide: 0,027; diazepam (pKa: 3,3) 2 sampai 5
mcg / L dengan rasio plasma 0,02.
GC-MS terionisasi : 30-60 mcg / L.
8. Cannabis (mariyuana)
Sangat sedikit, dan hilang setelah 4 - 6 jam diberikan dengan
merokok atau konsumsi oral.
9. Pencyclidine
Memiliki ikatan protein yang rendah dalam plasma dan pKa
9,43.
Air liur: plasma: 1,5 - 3,0; pH 6,7 dengan ekspektasi.
menggunakan metode RIA
Interpretasi
 Forensik: apa hasil positif C dari air liur ke darah C?  obat bebas, tidak
terikat, lipofilik
 Kepatuhan pasien, perilaku mengemudi, kesesuaian untuk bertugas,
gangguan kinerja obat-obatan manusia.
 pH saliva harus diketahui untuk mengekstrapolasi konsentrasi obat dalam
darah.
 Pengecualian tinggi untuk pemberian rute merokok: marijuana, kokain,
methamfetamine, heroin; dan buccal, sublingual, snorting flaps 2 - 4 jam
setelah pemberian sebelum kontaminasi saliva berubah, tetapi mariyuana
juga terserap dalam mukosa: THC (cannaboids).
6. Summary
 Sejak 1974, air liur telah digunakan untuk pemantauan obat terapeutik
dan toksikologi dari berbagai obat. Sifat pengumpulan air liur non-
invasif dan bebas stres menjadi keunggulan dari metode ini.
 Kerugian utama dari air liur adalah banyak obat yang tertahan untuk
jangka waktu yang lebih singkat daripada dalam urin.
 Alat pengumpul yang baru harus membuat dokter lebih nyaman
menggunakan air liur sebagai alternatif pengganti darah atau urin.
Sejauh ini, tidak ada perangkat yang dapat digunakan untuk semua
analisis air liur.
 Meskipun metode deteksi yang sangat sensitif diperlukan,
kebanyakan obat dapat dideteksi dalam sekresi saliva.
6. Summary - lanjutan
 Pengukuran konsentrasi obat saliva biasanya akan bermanfaat, hanya jika
pengukuran tersebut secara akurat mencerminkan level plasma. Jadi, sebelum
model obat sekresi saliva yang berguna dapat dirancang, kita perlu mengetahui:
- hubungan antara tingkat air liur setiap obat dan tingkat plasma,
- mekanisme dimana obat masuk ke dalam air liur, dan juga efek dari laju aliran
saliva,
- produksi di kelenjar ludah, dan sifat protein yang mengikat dalam air liur.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam air liur diperiksa dengan
baik, tetapi dalam penelitian selanjutnya mekanisme obat masuk ke dalam air liur
harus diklarifikasi secara lebih jelas.
 Konsentrasi obat saliva berhubungan dengan konsentrasi darah dari obat induk tak
terikat yang tidak terionisasi, atau metabolit lipofiliknya untuk banyak obat.
 Sampel saliva dapat digunakan dalam: studi farmakokinetik, forensik, pengujian
obat di tempat kerja, insiden / kecelakaan, kasus mencurigakan.

Anda mungkin juga menyukai