Anda di halaman 1dari 2

PRAKTIK BERPUASA DALAM MASA PRA-PASKAH

Apa itu masa pra-Paskah?

Kata ‘Paskah’ sendiri merupakan terminologi serapan dari tradisi Yudaisme yang dikenal sebagai pesakh,
‫ ֶפַסח‬dengan mengacu kepada peristiwa pembebasan yang dilakukan TUHAN kepada bangsa Israel dari
tanah Mesir. Hal ini sangat lumrah mengingat komunitas Kristen yang pertama kali terbentuk adalah
mereka yang sebelumnya menganut agama Yahudi, sehingga praktik spiritualitas dan liturgi masih kental
dengan corak khas Yudaisme. Kemudian hari Paskah mendapatkan pemaknaan baru, yakni sebagai
bentuk pembebasan manusia dari kuasa dosa yang dibuktikan melalui kebangkitan Yesus Kritus. Hari
Paskah pun selalu dirayakan pada hari Minggu, mengacu kepada susunan waktu sejak penyesahan Yesus
Kristus, kematian dan kebangkitan-Nya (sehari setelah Sabat). Itulah sebabnya, sejak abad 2 umat
Kristen melakukan ibadah pada hari Minggu, bukan lagi pada hari Sabat.

Secara harfiah pra-Paskah berarti ‘sebelum Paskah’. Di dalam terjemahan Inggris kata ‘pra-Paskah’
disebut ‘lent’ yang merupakan perkembangan dari kata ‘lencten’ (bahasa Anglo-Saxon), artinya ‘musim
semi’. Idealnya masa pra-Paskah merupakan sebuah sarana liturgis bagi umat Kristen untuk sungguh-
sungguh mengalami hari-hari terakhir menjelang kematian Yesus Kristus. Namun, seringkali masa pra-
Paskah terlewatkan begitu saja akibat kurangnya perhatian umat Kristen terhadapnya. Selama
menjalani masa pra-Paskah, umat bukan sekadar mengingat peristiwa penyiksaan dan kematian
Kristus, melainkan selama 40 hari melakukan evaluasi diri sebagai bentuk persiapan memasuki Pekan
Suci. Jumlah 40 hari sebagai masa pra-Paskah selain dengan mengacu pada masa puasa Yesus di padang
gurun, juga memiliki makna lain yang bersumber dari narasi Alkitab. Dimana angka 40 memiliki makna
rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa melakukan persiapan selama 40 hari di gunung Sinai
sebelum ia menerima kesepuluh peritah TUHAN (lih. Kel. 34:28). Kemudian, Elia berjalan selama 40 hari
ke gunung Horeb untuk bertemu dengan TUHAN (lih. 1 Raj. 19:8-9). Perhitungan masa 40 hari ini dimulai
sejak hari Rabu Abu hingga Sabtu Sunyi dengan pengecualian hari Minggu yang ada di dalam masa pra-
Paskah tidak dimasukkan dalam perhitungan.

KONSEP PUASA DALAM KEKRISTENAN

Berpuasa di dalam Kekristenan memang tidak menjadi sebuah ketentuan agama yang bersifat mutlak.
Meski demikian, bukan artinya umat dilarang untuk melakukan puasa atau menjadikan puasa sebagai
hal yang tidak bermakna. Justru, praktik berpuasa memiliki makna yang mendalam dengan dampak
penting bagi tumbuh-kembang spiritualitas umat Kristen. S. H. Mathews misalnya, menuliskan paling
tidak terdapat 3 peran puasa bagi kehidupan seorang Kristen, yakni merendahkan diri di hadapan Allah
(mengolah hati); sebuah perwujudan rasa sesal dan pertobatan kepada Allah; serta, tindakan devosi
untuk mengembangkan spiritualitas dan pengendalian diri.

Terdapat banyak klasifikasi yang diberikan terhadap model berpuasa berdasarkan tokoh-tokoh di Alkitab
yang melakukannya, misalnya: puasa Ezra (lih. Ez. 8:21-23); puasa Samuel (lih. 1 Sam. 7:1-8); puasa Elia
(lih. 1 Raj. 19:2-18); puasa Ester (lih. Ester 4:15-17); puasa Daniel (lih. Daniel 10:1-5); puasa Paulus (lih.
Kis. 9:9). Nama-nama tersebut hanya sebagian dari sekian banyak tokoh di Alkitab yang mempraktikan
puasa. Alasan dan tujuan tiap puasa pun berbeda berdasarkan narasi dari masing-masing tokoh. Namun,
dapat disimpulkan bahwa puasa merupakan salah satu bentuk atau cara manusia untuk berkomunikasi
atau terhubung dengan sang Allah. Puasa bukan hanya sekadar ‘tidak’ makan dan minum, melainkan
juga persoalan pelatihan, pengelolaan, dan pengendalian diri di hadapan Allah sehingga ada rasa
keterikatan antara manusia dengan Allah yang menjadi subjek ‘persembahan’ dari puasa tersebut.

Selain alasan dan dampak teologis, berpuasa (makan dan minum) juga memiliki dampak secara
psikologis. Misalnya, berpuasa dapat mereduksi tingkat stres, mengontrol emosi dan hormon
Corticotropin-Releasing Factor (CFR). Kemudian, berpuasa (makan, minum, dan kegiatan tertentu)
menolong orang untuk lebih fokus, mendapatkan pemaknaan, dan kedamaian di tengah rutinitas yang
terkadang secara tanpa sadar membuat orang kehilangan kendali atasnya. Dengan kata lain, orang
hanya sekadar melakukan rutinitas tanpa lagi memikirkan nilai, makna, alasan dan tujuan ‘mengapa’ ia
melakukannya.

Berpuasa Pada Masa pra-Paskah

Di dalam tradisi gerejawi yang mengacu pada kalender liturgi, Masa pra-Paskah pun biasanya diisi
dengan praktik 40 hari berpuasa (Yun. νῆστις, nestis, artinya ‘tidak makan’). Tradisi ini mengimitasi kisah
puasa yang dilakukan Yesus Kristus selama 40 hari di gurun atau disebut sebagai Quadragesima.
Berpuasa pada masa pra-Paskah dimaksudkan agar umat semakin mengarahkan perhatian dan
memaknai 40 hari tersebut dengan hati yang terbuka bagi pesan Allah kepadanya sebagai wujud
komitmen spiritual dan pelatihan pengendalian diri sehingga kesengsaraan dan kematian Kristus tidak
menjadi sesuatu yang sia-sia. Maksudnya, umat perlu menghargai dan menjaga nilai kudus dari
kesengsaraan serta kematian Kristus dengan melakukan sebuah transformasi diri di dalam Kristus
yang salah satunya diwujudkan melalui praktik puasa. Spiritualitas semacam ini juga tergambar dalam
tulisan Paulus berdasarkan Roma 6:3, 6, 12: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah
dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? … Karena kita tahu, bahwa manusia lama
kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan
diri lagi kepada dosa… Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana,
supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.”

Anda mungkin juga menyukai