Anda di halaman 1dari 3

PENERAPAN PASAL DALAM PENYIDIKAN

Bentuk-bentuk penerapan pasal yang dipersangkakan dalam penyidikan tidak diatur dalam peraturan
perundang- undangan , tetapi biasanya penyidik hanya mengikuti bentuk-bentuk dakwaan yang dibuat
oleh jaksa selaku penuntut umum. Bentuk-bentuk dakwaan itu itu hanya dikenal dalam praktek hokum
yang kemudian diterapkan oleh penyidik untuk membuat sangkaan pasal. Hal ini dilator belakangi
bahwa jaksa selaku penuntut umum dalam membuat dakwaan berdasarkan Berkas Berita Acara
Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik, sehingga akan klop apabila penyidik dari awal pembuatan
berkas perkara sudah sesuai dengan bagaimana jaksa selaku penuntut umum membuat dakwaan.
Penerapan bentuk-bentuk sangkaan pasal oleh penyidik tersebut disesuaikan dengan kasus yang terjadi
dengan melihat alur dan jalannya peristiwa dan tingkat kesulitan dalam pembukian.

Pada dasarnya ada 5 (lima ) pilihan bentuk penerapan pasal yang dapat digunakan oleh penyidik untuk
membuat sangkaan, kelima bentuk tersebut adalah sebgai beikut :

1. Bentuk tunggal
2. Bentuk alternative
3. Bentuk subsidaritas / primer- subsider atau sering disebut berlapis
4. Bentuk komulatif
5. Bentuk campuran, bentuk campuran dari kelima bentuk yang ada.

Ad 1 Bentuk tunggal

Dalam penerapan bentuk ini, penyidik berkeyakinan bahwa peristiwa yang terjadi hanya ada satu
perbuatan atau peristiwa pidana yang dapat dbuktikan. Bentuk tunggal ini diterapkan apabila kasus
atau peristiwanya sedehana dengan fakta-fakta hokum yang jelas sehingga mudah dalam
pembuktiannya

Sebagai contoh kasus pencurian seekor ayam yang dilakukan pada siang hari yang dilakukan oleh
tersangka seorang diri, kemudian diteriaki maling dan tertangkap. Dalam peristiwa ini jelas dan mudah
pembuktinnya, mengingat saksi ada barang bukti ada, maka terhadap peristiwa seperti ini cukup dengan
bentuk tunggal yaitu melanggar pasal 362 KUHP.

Ad 2 Bentuk alternative

Yaitu menerapakan dua pasal atau lebih yang sifatnya alternative atau saling mengecualikan antara
pasal yang satu dengan yang lainnya. Dalam bentuk ini biasanya penyidik menganggap peluang untuk
terbuktinya peristiwa pidana itu sama besarnya, bahkan untuk peluang tidak terbuktinya juga sama
besar dan antara sangkaan pasal yang satu dengan sangkaan pasal yang kedua saling mengecualikan,
artinya kalau paal yang satu sudah terbukti maka pasal yang lain tidak terbukti, karena memang hanya
ada satu peristiwa pidana dan penyidik ragu perisiwa pidana apa yang terjadi. Dalam bentuk alternative
ini hakim atau jaksa boleh membuktikan pasal kesatu dulu atau pasal kedua tergantung mana yang
mudah pembukiannya.
Sebagai contoh apabila seseorang mengambil barang yang jatuh dari kendaraan bermotor di jalan,
kemudian dibawa pulang, maka penyidik dapat menyangkakan pasal terhadap seseorang yang
mengambil barang tadi dengan tuduhan pencurian karena mengambil barang milik orang lain tanpa hak
atau disangka melakukan penggelapan apabila orang tersebut mempunyai maksud mau mengembalikan
kepada pemiliknya atau lapor ke Polisi, tetapi mengurungkan dan kemudian dibawa pulang untuk
memiliki, sehinggal pasal yang dapat disangkakan 362 KUHP atau 372 KUHP. Dalam bentuk alternative
ini biasanya peristiwanya setara baik ancaman hukumannya maupun sifat perbuatannya, dalam contoh
peristiwa tersebut sifat perbuatannya mengambil.

Ada kesamaan bentuk alternative ini dengan bentuk penerapan pasal primer – subside yaitu adanya
pasal lain seandainya pasal yang su tidak terbukti, tetapi dalam bentuk primer-subsider antara pasal
primer dan subside tidak saling mengecualikan. Kemungkinan bebasnya terdakwa dalam persidangan
kecil karena ada pasal lain yang dapat dibuktikan/ alternative. Bentuk penerapan pasal alternative ini
digunakan penyidik karena ada keraguan peristiwa apa yang terjadi, karena memang fakta-fakta
hukumnya belum jelas.

Ad 3 Bentuk primer-subsider / subsidaritas atau lebih sering disebut berlapis

Ciri bentuk penerapan pasal primer-subsider/ berlapis diataranya bahwa pasal disusun secara
bertingkat/ berjenjang, biasanya dalam praktek dimulai dari pasal yang ancaman hukumannnya paling
berat ke,udian sampai ang paling ringan, walaupun tidak ada larangan untuk menerapkan pasal yang
lebih ringan dahulu, hal ini dengan pertmbangan bahwa pasal tersebut mudah pembuktiannya dengan
mengingat asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Tetapi dalam praktek yang seringan dilakukan baik oleh penyidik maupun penuntut umum, penerapan
pasal dalam bentuk primer-subsider hamper selalu diterapkan pasal yang paling berat untuk sangkaan/
dakwaan primer baru diikuti dengan pasal yang lebih ringan secara berlapis.

Dalam bentuk penerapan pasal primer-subsider ini harus dibuktikan dari pasal primernya dan kalau
sudah terbukti maka tidak dibuktikan sangkaan/ dakwaan pasal yang lain, tetapi kalau dakwaan
primernya tidak terbukti maka JPU harus membuktikan dakwaan pasal selanjutnya sampai pasal
terbukti, dan apabila sampai dengan pasal terakhir dari dakwaan itu tidak terbukti maka jaksa harus
berani menuntut bebas, walaupun untuk ini tidak mungkin.

Ada beberapa indicator mengapa bentuk penerpam secara primer-subsider itu dipilih, anara lain :

a. Peristiwa yang terjadi mengandung satu tindak pidana tetapi dari hasil penyidikan ditemukan
adanya kemungkinan tindak pidana lain dan keduanya tidak saling mengecualikan, sehingga untuk
menghidari bebasnya terdakwa maka diterapkan pasal berlapis.
b. Dalam peristiwa yang terjadi kemungkinan ada beberapa tindak pidana dan diyakini bahwa
masing-masing tindak pidana itu tidak saling mengecualikan.
c. Dalam hal terjadinya perbarengan atau concursus idealis, maka pilihan bentuk penerapan pasal
primer-subsider ini yang dianggap palin tepat.
Ad. 4 Bentuk penerapan pasal secara komulatif

Penerapan pasal yang menuduhkan lebih dari satu tindak pidana yang satu dengan yang lain idak ada
hubungan atau berdiri sendiri-sendiri. Bentuk komulatih ini akan disusun apabila seseorang telah
melakukan beberapa tindak pidana yang masuk dalam kategori perbarengan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 65, 66 dan 70 KUHP. Dalam bentuk komulatif JPU wajib membahas dan
menganalisis untuk membuktikan semua pasal yang dituduhkan. Namun apabila dalam persidangan JPU
berpendapat bahwa salah satu saja yang terbukti, maka tuntutan pidana diajukan hanya mengenai
tindak pidana yang terbukti saja. Sedangkan untuk tindak pidana yang tidak terbukti JPU wajib menuntut
pembebasan. Sebaliknya, andaikata menurut pendapat JPU semua tindak pidana yang didakwakan
terbukti, maka JPU akan menuntut dalam surat tuntutan ( rekuisitoir ) penjatuhan pidana dengan
system sebagaimana ditentukan dalam perbarengan perbuatan pasal 65, 66 atau 70 KUHP.

Penerapan pasal dalam bentuk komulatif ini dilakukan apabila seseorang melakukan lebih dari satu
tindak pidana( perbarengan perbuatan ) dan antara yang satu tidak saling berhubungan serta belum
diberkas dalam suatu berkas perkara. Dilihat dari system pemidanaannya ada tiga bentuk perbarengan
perbuatan.

a. Perbarengan perbuatan antara kejahatan dengan kejahatan yang diancam dengan pidana pokok
sejenais, dengan menggunakan system isapan yang diperberat ( Pasal 65 KUHP ). Sistem
penjatuhan pidananya hanya pada satu pidana yang terberat ancamannya dan dapat ditambah
sepertiga dari pidana tersebut.
b. Perbarengan perbuatan antara satu kejahatan dengan kejahatan yang diancam dengan pidana
pokok yang tidak sejenais, dengan menggunakan system komulasi terbatas ( pasal 66 KUHP ).
Semua pidana dijatuhkan pada masing-masing kejahatan ( bila terbukti lebih dari satu kejahatan ),
tetapi apabila jumlah tidak melampaui pidana yang terberat ancamannya ditambah dengan
sepertiganya.
c. Perbarengan perbuatan antara satu kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan
pelanggaran menguunakan komulasi murni ( Pasal 70 KUHP ). Dijatuhkan pidana untuk tiap-tiap
tindak pidana yang dipertimbangkan terbukti, tanpa perlu ada pembatasan.

Ad. 5 Bentuk campuran

Adalah suatu penerapan pasal yang menyangkakan beberapa tindak pidana pada tersngka dengan
mengombinasikan antara bentuk-bentuk penerapan pasal secara komulatif, Bentuk campuran ini
memiliki banyak kemungkinan, gabungan dari bentuk-bentuk penerapan pasal yang dan akan
bergantung pada sifat dari berbagai peristiwa/kasus yang akan terjadi dan tingkat kesulitan
pembuktiannya.

Anda mungkin juga menyukai