Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Pola pikir dalam perkembangan pemikiran dan studi islam

Mata kuliah: Metodologi Studi Islam

Dosen pengampu: DRS. H. ABD. WAHIB SYAKOUR, M.PDI

Kelas C1MD

Oleh:
Aisyah Khurin Nisa (2140310068)
Nur Khoirrudin (2140310069)
Moh Dani Andriyanto (2140310070)
Maulida Putri Handayani (2140310071)
Syarifuddin (2140310072

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH (MD)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS
TAHUN 2021
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Penyusun
Kudus, 8 Desember 2021

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola adalah bentuk atau model. pola pikir itu sebenarnya adalah bentuk pikir
ataucara kita berpikir, jadi yang di maksud dengan pola fikir adalah cara
berpikir,menilai dan memberikan kesimpulan terhadap sesuatu berdasarkan sudut
pandang tertentu.yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Secara etimologi, istilah pemikiran berasal dari kata benda “fikir”, kata
kerjanya “berfikir” (thinking). Awalnya berasal dari bahasa Arab “fakara-yafkuru-
fikran”. Dalam bahasa Indonesia, huruf “f” diubah dengan huruf “p” dan jadilah kata
“pikir”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pikir” berarti apa yang ada
dalam hati, akal budi, ingatan, angan-angan; kata dalam hati, pendapat dan
pertimbangan (Tim Prima Pena, tth.: 611). Secara terminologi, pemikiran dapat
didefinisikan sebagai satu aktivitas kekuatan rasional (akal) yang ada dalam diri
manusia, berupa qolbu, ruh, atau dzihnun, dengan pengamatan dan penelitian untuk
menemukan makna yang tersembunyi dari persoalan yang dapat diketahui, atau untuk
sampai kepada hukum-hukum, atau hubungan antara sesuatu. Pemikiran juga dapat
didefinisikan sebagai rangkaian ide yang berasosiasi (berhubungan) atau daya usaha
reorganisasi (penyusunan kembali) pengalaman dan tingkahlaku yang dilaksanakan
secara sengaja.
Dalam kajian Islam, sumber segala ilmu adalah Allah. Hal ini dapat
dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat Al-quran yang menyatakan Allah sebagai
pengajar atau guru. Menurut para ilmuwan Muslim, yang dikemukakan para filsuf
Barat menyangkut cara-cara memperoleh pengetahuan tidak selengkap yang di
informasikan Allah dalam Al-quran. Al-quran memperkenalkan cara-cara meraih ilmu
yang sangat komprehensif, seperti menarik pelajaran dari perjalanan, melakukan
pandangan kritis terhadap alam dan fenomenanya, memperhatikan dan mengambil
pelajaran dari sejarah manusia, mengamati manusia. Salah satu keistimewaan
epistemologi Al-quran adalah informasinya tentang objek yang tidak tampak
betapapun tajamnya mata kepala atau pikiran dalam menganalisa objek tersebut.
Mulyadhi Kartanegara dalam Al-Rasyidin dan Ja’far menjelaskan bahwa di
Barat hanya ada satu metode ilmiah yang diakui dalam menyibak ilmu pengetahuan,
yaitu metode tajribi (observasi atau experiment), sedangkan dalam epistemologi
Islam, selain metode tajribi masih ada tiga metode lagi yang tidak dikenal dan di
praktekkan oleh dunia intelektual Barat. Dengan demikian ada empat metode ilmiah
yang diakui dalam dunia intelektual Islam, yaitu metode bayani (tafsir/takwil), metode
burhani (logis), metode tajribi (observasi dan experiment) dan metode irfani (intuisi).
Metode bayani digunakan oleh kaum mufasir untuk menggaliilmu dalam Al-quran
dan hadis, metode burhani diterapkan kaum filsuf untuk memahami objek-objek non-
fisik, metode tajribi diterapkan saintis untuk mengkaji objek-objek fisik dan metode
‘irfani diterapkan oleh sufi untuk menyaksikan objek-objek non-fisik.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pentingnya pengembangan pola pikir?
b. Bagaimana koeksistensi keragaman Pemikiran Islam?
3
c. Bagaimana Metode Bayani?
d. Bagaimana Metode Burhani?
e. Bagaimana Metode Tajribi?
f. Bagaimana Metode Irfani?

C. Tujuan Masalah
Mengetahui serta memahami beberapa studi Islam, meliputi:
1. Pentingnya pengembangan pola pikir
2. Koeksistensi keragaman Pemikiran Islam
3. Metode Bayani
4. Metode Burhani
5. Metode Tajribi
6. Metode Irfani

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengembangan Pola Pikir


Pada dasarnya Pola pikir ini terbagi menjadi dua jenis yaitu Pola pikir tetap
(fixed mindset) dan Pola pikir bertumbuh (growth mindset).
1. Pola pikir tetap (Fixed Mindset)
Pola pikir tetap (Fixed Mindset) merupakan pola pikir yang
meyakini bahwa bakat, kecerdasan, kemampuan dan karakter
seseorang, merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan sejak lahir dan
tidak dapat berkembang. Orang yang memiliki fixed mindset hanya
fokus pada sifat-sifat permanen, yang tersugesti kesuksesan diraih
karena bakat sehingga mengesampingkan sebuah proses yang dilatih.
Mereka berpikir kegagalan terjadi karena keterbatasan kemampuan
yang dimiliki. Pola pikir tetap ini akan berpikir jika ia tidak pandai
dalam suatu hal, ia merasa tidak ada rasa kesempatan untuk belajar dan
tumbuh. Seperti halnya selalu menghindari tantangan baru, cepat
menyerah, merasa terancam karena kesuksesan orang lain, selalu
berpikir negatif.
2. Pola pikir berkembang (growth mindset)
Pola pikir berkembang (growth mindset) adalah pola pikir
seseorang yang memiliki keyakinan bahwa kemampuan dasar mereka
dapat dikembangkan melalui kerja keras, berlatih, dan bakat hanyalah
titik awal. Orang yang menganut mindset berkembang, mereka bisa
menjadi lebih banyak mencoba tantangan baru dan jika gagal dijadikan
sebagai peluang untuk lebih berkembang. Atau kita bisa sebut
pemikiran positif (Positive thinking).
Banyak sekali alasan agar pola pikir tetap tumbuh dan terasa
lebih bermanfaat untuk menjalani hidup, menggapai cita-cita akan
terasa lebih ringan jika pikiran kita mulai dengan menyusun jadwal
lebih produktif, menyusun rencana dengan matang, dan akan lebih
berdampak saat berkecimpung di dalam masyarakat. Meskipun suatu
waktu merasa gagal dalam menyusun rencana, ketika membuat

5
rencana baru seorang pemikir akan merubah rencana baru dan
kegagalan menjadi pelajaran di kemudian hari yang tidak akan
terulangi atau singkatnya belajar dari kesalahan.
Tidak ada kata terlambat untuk membuat pola pikir kita berkembang menjadi
lebih baik, beberapa tips sederhana untuk disiplin peluang diri menjadi pemikir
yang berkembang.

B. Koeksistensi Keragaman Pemikiran Islam


Pola pikir seperti ini penting untuk menghindarkan diri dari jebakan berpikir
sempit dan bersumbu pendek. Tidak sulit mencari contoh, energi umat atau bangsa
sudah banyak bocor karena jebakan ini. Akibatnya mengerikan: setiap yang berbeda
harus dimatikan dan akhirnya hadir adalah monopoli tafsir kebenaran: yang lain salah
dan yang benar hanya dirinya atau kelompoknya. Dalam konteks perspektif terhadap
Islam, misalnya, mari kita lihat beberapa contoh ringan tetapi bisa membawa kita ke
dalam diskusi serius yang mendalam. Kata “Islam” tidak jarang diberi predikat yang
mencirikan sebuah perspektif yang dianut (sebuah konsep), seperti Islam inklusif (di
mesin pencari ditemukan 19.000 entri), Islam pribumi (7.660), Islam puritan (9.400),
Islam moderat (204.000), Islam rasional (24.900), Islam rahmatan lil alamin
(349.000), Islam syari’at (37.700), Islam transformatif (16.500), Islam liberal
(251.000), Islam pluralis (7.110), Islam kebangsaan (42.400), Islam berkemajuan
(70.300), dan Islam nusantara (2.030.000). Angka entri di mesin pencari “hanya”
untuk memberikan gambaran bahwa konsep tersebut nyata dan dikembangkan.
Konsep tersebut juga terdokumentasi, dilantangkan, atau mewujud dalam bentuk
kajian serius, seperti disertasi, jurnal ilmiah, buku, dan bahkan sebuah gerakan
kolektif.
Mari jujur akui, seberapa sering kita memikirkan irisan atau persamaam dari
beragam “konsep” tersebut? Sebaliknya, apakah energi kita lebih sering kita gunakan
untuk mempertentangkannya? Pertentangan tersebut bisa mewujud dalam beragam
bentuk, mulai keenggaan berkomunikasi, ketidakmauan bekerjasama, sampai saling
menyindir, saling merundung, saling menghinakan, dan bahkan mengkafirkan. Yang
terakhir ini sudah melampaui kewenangan manusia, dan menjadi Tuhan, karena sudah
mengkapling surga dan neraka untuk manusia. Jika ini yang terjadi, akan sulit
membayangkan berapa banyak energi umat yang terbuang, karena sangat luar biasa.
Sebaliknya, jika titik temu (kalimah sawa) dapat diikhtiarkan bersama, saya termasuk

6
yang yakin, umat akan mengumpulkan energi melimpah untuk maju. Di sinilah
pentingnya titik temu, melihat irisan terbesar dari setiap perbedaan dan membangun
semangat ko-eksistensi, hidup bersama berdampingan dan saling menghargai.
Pesan agama Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, sangat jelas: kita
dilarang mengolok-olok kelompok lain, karena bisa jadi yang diolok-olok itu lebih
baik (QS Al-Hujurat 49:11). Pun demikian, sampai hari ini, tidak sulit mencari contoh
penganut aliran nyinyirisme, yang menikmati ketika menghujat kelompok lain. Tema
Sekolah Pemikiran Islam (SPI) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam
Universitas Islam Indonesia (PSI UII) kali ini, Islam kebangsaan, pun sangat mungkin
juga mendapatkan nyinyiran. Alasan bisa dicari dan argumen bisa diproduksi. Tema
ini menurut saya penting, tanpa bermaksud memborong habis tafsirnya, karena dalam
beberapa tahun terakhir, muncul pemahaman yang ingin mempertentangkan ghirah
keislaman dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Dua hal ini seharusnya bisa
kita teriakkan dalam satu tarikan nafas: “Merdeka, Allahu akbar!”. UII sendiri
dibangun di atas dua semangat atau nilai ini. UII yang dalam bahasa Arabnya Al-
jami’ah Al-islamiyah Al-Indunisiyah, berarti Universitas Islami Indonesiawi. Ghirah
keislaman dan semangat kebangsaan, karenanya selalu kita ikhtiarkan untuk dirawat
dan dikembangkan.

C. METODE BAYANI
Metode bayani adalah metode yang menggunakan teks dalam memperoleh
ilmu pengetahuan. Metode ini sangat mengandalkan teks dalam mencari kebenaran.
Apa pun fenomena yang terjadi dalam realitas dunia akan dicari bimbingannya dalm
teks. Dalam konteks pemikiran Islam, metode bayani adalah metode tafsir atau takwil
yang diterapkan oleh para mufasir dalam menggali ilmu dari Al-quran dan hadis.1
Dengan sedikit perbedaan, dalam pandangan al-Jabiry, corak epistemologi bayani
didukung oleh pola pikir fikih dan kalam.2
Dalam epistemologi Islam, tradisi menggali makna teks atau apa yang disebut
dengan tafsir merupakan salah satu metode ilmiah yang diakui sebagai sumber ilmu.
Melalui metode tafsir ini sang mufasir menggali makna yang tersembunyi di balik
teks Tuhan yang sesuai dengan kecenderungan sang mufasir. Itulah sebabnya dalam
kitab-kitab tafsir ditemukan informasi yang beragam tentang dasar-dasar ilmu. Seperti

1 Al Rasyidin & Ja’far, Filsafat ilmu dalam tradisi Islam,(Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 93
2 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di perguruan tinggi: Pendekatan integratif-interkonektif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet 3, 2012), h. 202.

7
pembahasan mufasir tentang dasar-dasar religious science, natural science, social
science dan humaniora science.3
Menurut Abid Al- jabiri, nalar bayani terdapat dalam kajian ilmu kebahasaan,
nahwu, fiqih (yurisprudensi islam), teologi (ilmu kalam) dan ilmu balaghah. nalar
bayai bekerja menggunakan mekanisme yang sama berangkat dari dikotomi antara
lafadz/al-makna, alash/al-far’ dan al-jauhar/al-ardl. Dikalangan ahli bahasa (al-
lughawiyyun) misalnya, mereka dalam melacak kosa kata (bahasa Arab) dan
mengumpulkannya kedalam sebuah kamus, pertama-tama menghimpun kosa kata
Arab dan memilah-milahnya antara makna kosa kata yang dipakai (al-musta’mal) dan
makna kosa kata yang tidak dipakai (al-muhmal).Ini berarti bahwa kalangan
lughawiyun telah menjadikan lafadz (kata) sebagai hipotesa teoritis untuk menilai
kemungkinan dipakai tidaknya sebuah kosa kata. Kosa kata yang maknanya masih
dipakai dijadikan sebagai ‘patokan’ atau asal (al-asl). Jika ditemukan kosa kata yang
maknanya tidak dipakai maka harus dikembalikan kepada bahasa masyarakat Arab
melalui apa yang dikenal dengan sima’iy. Setidaknya, cara seperti inilah yang pernah
dilakukan oleh seorang ahli bahasa Arab semisal Imam Khalil bin Ahmad al-
Farahidi.4
Selain interaksi dengan teks wahyu, dari aspek ilmu-ilmu keislaman,
ditemukan juga metode ilmiah dalam konteks berinteraksi dengan teks yang lain yang
patut diketahui untuk di implementasikan oleh ilmuwan Muslim dalam aktivitasnya
ketika menggeluti ilmu sesuai bidangnya masing-masing. Misalnya, ilmu ushul al-
Fiqh, takhrij al-Hadisdan al-Jarh waat-Ta’dil. Dengan ilmu ushul al-Fiqh seorang
pakar hukum Islam dapat memperoleh pedoman dalam mengeluarkan hukum Islam,
dan dengan ilmu takhrij al-Hadis seorang pakar Islam mendapat bimbingan ketika
mengeluarkan statemen tentang ilmu-ilmu keislaman.
Di sisi lain, yang membidangi rumpun ilmu lain selain agama juga di haruskan
untuk mengetahui dan berinteraksi dengan teks dalam Islam. Karena dengan interaksi
para ilmuwan Muslim terhadap teks maka ilmu mereka akan tetap terbimbing dan
terarah dalam bingkai ajaran Islam.5 Metode nalar bayani ini dapat dilacak akar
perintahnya dalam Alquran.6

3 Bandingkan klasifikasi ilmu tersebut dengan Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015, Cet 8), h. 25-27.
4 Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiah), hlm. 18
5 Al Rasyidin & Ja’far, Filsafat ilmu dalam tradisi Islam,(Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 102
6 Q. S an-Nahl/ 16: 44.

8
D. METODE BURHANI
Metode burhani adalah metode yang menggunakan akal untuk memperoleh
ilmu pengetahuan. Metode ini sangat mengandalkan akal dalam mencari ilmu
pengetahuan. Dalam pandangan penganut epistemologi ini, akal memilki kemampuan
untuk menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan, bahkan kata mereka-akal juga
bisa di ufungsikan untuk menemukan kebenaran dalam bidang apa pun, termasuk
kebenaran dalam agama.
Burhani adalah kerangka berfikir yang tidak didasarakan atas teks suci
maupun pengalaman spritual melainkan berdasarkan keruntutan logika. kebenaran
dalam spekulatif metodologi ini persis seperti yang diperagakan oleh metode
keilmuan yunani yang landasanya murni pada cara kerja empirik. kebenaran harus
dibuktikan secara empirik dan diakui menurut penalaran logis. pendekatan burhani
mampu menyusun cara kerja keilmuan dan mampu melahirkan sejumlah teori dan
praktis ilmu seperti : ilmu-lmu biologi,fisika, astronomi, geologi dan bahkan ilmu
ekonomi, pertanian dan pertambangan.
Menurut al-Jabiri, epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat
Arab yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empirik dan
penilaian akal, dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu. Sebuah
pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat. Cara berpikir seperti ini tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh ‘gaya’ logika Aristoteles.
Dalam sejarah Islam, metode burhanidijadikan kaum rasionalis yang
terdiri dari filsuf dan teolog sebagai metode yang digunakanuntuk menemukan
teori-teori yang rasional. Dalam bidang filsafat paripatetik yang menggunakan
metode ini lahir nama-nama besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibnu
Rusyd. Dari kalangan teolog yang menggunakan metode ini lahir aliran
Muktazilah dan Syiah, dan dengan menngunakan metode dari kalangan fukaha
lahir mazhab yang sangat rasional, yaitu mazhab Hanafi. Tidak ketinggalan
pula dari kaum mufasir yang beraliran dirayah dengan menggunakan metode
burhani ini, sehingga lahirlah tafsir bi al-Ra’yi.7
Dalam dunia filsafat,baik filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang
sering digunakan untuk metode burhaniadalah rasionalisme,yaitu aliran yang

7 Lihat uraian panjang lebar tentang para Penulis dan kitab-kitab tafsir yang beraliran rasional dalam
Muhammad Husain adz-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun,Jilid I (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), h. 247-400.

9
menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian, sekalipun informasi akal itu
belumdidukung oleh faktaempiris. Tokoh-tokoh aliran rasionalis ini adalah Rene
Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 –1677) dan Gottried Leibniz (1646 –
1716).8
Sebenarnya metode rasional ini adalah ajaran yang bersumber dari ajaran Al-
quran. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat begitu banyak jumlah ayat Al-quran
yang memerintahkan untuk berfikir, menalar, menganalisa dan lain-lain.9

E. METODE TAJRIBI
Metode tajribi adalah metode yang menggunakan pengamatan alat indra untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Metode ini sangat mengandalkan indra dalam
menelaah dan meneliti objek material yang merupakan sumber ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan klasik telah menerapkan metode ini dalam pergumulan mereka dengan
ilmu pengetahuan, sehingga mereka menguasai ilmu-ilmu yang rasional seperti
metafisika, matematika, kedokteran, psikologi, fisika, etika, ekonomi dan politik.
Yang lebih menakjubkan lagi, selain menguasai ilmu-ilmu yang rasional mereka juga
mendalami metode intuitif di penghujung kehidupan mereka, seperti yang terlihat
dalam sosok ilmuwan ensiklopedis seperti Ibnu Sina.10
Dalam konteks modern, sebenarnya pendekatan integratif-interkonektif, pohon
ilmu dan transdisipliner bukanlah barang baru dalam tradisi keilmuan Islam. 11
Pendekatan-pendekatan (approach) tersebut telah dipraktekkan dan dikembangkan di
zaman keemasan Islam. Dua atau tiga abad belakangan ini, metode tajribi ini telah
dikembangkan ilmuwan Barat modern yang disebut dengan scientific method. Metode
ini digunakan dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Metode
ini penggabungan antara metode empirisme dan rasionalisme serta penggabungan
antara cara berfikir deduktif dan induktif.12

8 Al Rasyidin & Ja’far, Filsafat ilmu dalam tradisi Islam,(Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 106
9 Q. S. al-Baqarah/2: 44, 73, 76, 242. Q. S. alu-Imran/ 3: 65, 118. Q. S al-‘An’am/6: 50. Q. S al-A’raf/ 7:174.
10 Lihat analisa menarik dari Abuddin Nata tentang para ilmuawan Muslim yang ensiklopedik itu dalam
bukunya, Sejarah sosial intelektual Islam dan institusi pendidikannya,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),
h. 132-133.
11 Lebih jauh lihat Humaidi, Paradigma Sains integratif Al-Farabi: Pendasaran Filosofis bagi Relasi Sains, Filsafat
dan Agama,(Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 126-135.
12 Al Rasyidin & Ja’far, Filsafat ilmu dalam tradisi Islam,(Medan: Perdana Publishing, 2015), h. 102

10
Cara berfikir ilmiah yang belakangan dikembangkan ilmuwan Barat itu
memilki langkah-langkah yang ilmiah pula dalam prosedur dan pelaksanaannya.
Langkah-langkah ilmiah itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Perumusan masalah, yaitu pertanyaan mengenai objek empiris yang
batas-batasnya jelas dan faktor-fakor yang terkait dengannya dapat
didefinisikan.
2) Penyusunan kerangka berfikir.
3) Perumusan hipotesis, yaitu jawaban sementara terhadap pertanyaan
yang diajukan
4) Pengujian hipotesis, yaitu pengumpulan fakta yang berkaitan dengan
hipotesis
5) Penarikan kesimpulan, yaitu penilaian yang membuktikan apakah
hipotesis itu diterima atau dtolak.13

Kalau diamati dengan jeli, metode ini sangat didorong Al-quran untuk
dikembangkan dalam memahami alam material. Dorongan Al-quran itu dibuktikan
dengan begitu banyak jumlah ayat Al-quran yang memerintahkan untuk melakukan
observasi dan experiment dalam berbagai objek yang bersifat material.14

F. METODE ‘IFRANI
‘Irfani adalah model penalaran yang berdasarakan atas pendekatan dan
pengalaman spiritual langsung atas realitas yang tampak. Bidik ‘irfani adalah esoterir
atau bagian batin, oleh karena itu, rasio yang digunakan hanya untuk menjelaskan
pengalaman spritual. Metodologi dan pendekatan irfani mampu menyusun dan
mengembangkan ilmu kesufian.
Metode ‘irfani adalah metode yang menggunakan pengalaman dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Metode ini menggunakan pengalaman atau
penyaksian secara langsung dalam mengungkap pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakikat Tuhan kepada manusia. Menurut filsafat, metode ‘irfani ini lebih
dikenal dengan istilah intuisi. Sebagian filosof membagi intuisi pada tiga macam.
Pertama, berdasarkan pengalaman indra, seperti pengetahuan tentang warna dan
13 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar populer,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet 24,
2013), h. 127-128.
14 Q. S al-Baqarah/ 2: 164, Q. S Yunus/ 10: 101, Q. S al-‘Ankabut/29: 30, Q. S al-Rum/ 30: 42, Q. S al-
Ghasyiah/ 88: 17-20, Q. S Fushshilat/ 41: 53.

11
aroma suatu objek. Kedua, berdasarkan nalar dan bersifat aksioma, seperti si A adalah
A, si A bukan B atau angka 10 lebih banyak dari angka 9. Ketiga, ide cemerlang yang
muncul secara tiba-tiba. Seperti yang dialami ahli matematika Yunani Archimedes
(212-287 M) ketika kebingungan untuk membuktikan apakah mahkota Raja Hieron
adalah benar-benar emas murni atau telah dicampur oleh pandai emas yang
membuatnya dengan bahan selain emas? Namun yang menakjubkan, justru jawaban
dari kebingungan itu ditemukan bukan ketika berfikir, akan tetapi jawaban itu
“diinformasikan” Tuhan ketika berenang. Dari pengalaman itu, kemudian pakar ini
menemukan ide tentang apa yang kemudian dinamai dengan berat jenis.15
Pengalaman serupa juga pernah terjadi kepada Issac Newton (1642-1727 M).
Pakar ini menemukan gaya gravitasi setelah melihat apel yang terjatuh tidak jauh dari
tempat ia duduk. Namun, hal yang perlu dicatat dalam konteks intuisi jenis ketiga ini
bahwa ide cemerlang itu hadir setelah didahului pemikiran yang mendalam dan
melelahkan menyangkut suatu objek, dan ketika sang pemikir telah lelah, lalu
beristirahat, tiba-tiba muncul jawaban yang selama ini dicari dengan penuh kelelahan.
Dua contoh yang dekemukakan di atas adalah hal yang terjadi kepada pemikir dan
peneliti yang telah berfikir dalam mencari ilmu dan hakikat sesuatu secara
mendalam.16
Kalangan Irfaniyyun dalam dunia Islam menjadikan istilah dzahir-batin
sebagai konsep yang melandasi cara berpikirnya dalam memandang dunia dan
memperlakukan segala sesuatunya. Pola sistem berpikir yang mereka pakai adalah
berangkat dari yang batin menuju yang dzahir: dari makna menuju lafadz. Batin bagi
mereka adalah sumber pengetahuan, karena batin adalah hakekat, sementara dzahir
teks adalah penyinar.
Sebenarnya, metode ilmu jenis intuisi ini sudah di informasikan Allah dalam
wahyu pertama yang diterima Nabi Muhhammad.17 Di sisi lain, Al-quran juga
menginformasikan bahwa ilmu jenis ini juga telah diberikan kepada seorang Nabi
yang menjadi guru seorang Nabi dan Rasul.18 Dengan demikian, perolehan ilmu jenis
intuisi ini adalah metode ilmiah yang diakui dalam ajaran Islam sekalipun di ingkari
dalam metode ilmiah Barat.
15 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006),h. 140-143.
16 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006),h. 141-142.
17 Q. S. al-‘Alaq/ 96: 5.
18 Q. S al-Kahfi/ 18: 65.

12
BAB III
PENUTUP

13

Anda mungkin juga menyukai