Anda di halaman 1dari 3

Sarkara ditinggal dalam kebingungan, memungut kertas yang sebelumnya dijatuhkan oleh

Drisa.

Sungguh ia tak pernah berpikir mempermalukan seseorang. Pikirnya karena di sana ada nama
Aswin—dan kebetulan ia berteman dengan Aswin—jadi Sarkara memperlihatkannya. Lalu
Aswin malah bilang Drisana Gauri adalah teman masa kecilnya dulu.

Kenapa gadis itu menangis?

Apa seharusnya Sarkara tidak menyerahkan kertas ini? Tapi Drisa melemparnya. Menurut
Sarkara kalau dia melemparnya ya berarti dia mau seseorang mengantarkan pesan tersebut
atau, ya dia berpikir Aswin akan memungutnya.

I hate myself and you’re the reason why.

Tadi waktu Sarkara bertanya pada perbuatan buruk apa yang Aswin lakukan sampai gadis itu
menulis dia benci dirinya sendiri, Aswin malah kebingungan. Katanya dia dan Drisa dulu
teman baik. Dia mengaku tak pernah menyakitinya dan mereka berpisah setelah lulus TK.

Aswin juga mengaku meskipun dia sudah lupa banyak hal masa kecilnya dengan Drisa,
setidaknya dia cukup ingat mereka berpisah baik-baik.

Kenapa gadis itu membenci Aswin?

Sarkara berusaha abai, tapi setiap kali ia termenung, wajah melas Drisa yang menangis
membuatnya kepikiran.

Malam Sarkara tiba di rumah, Arsa, adiknya tengah duduk di ruang tamu bermain
handphone. Sarkara menjatuhkan diri di sofa lain, membuat Arsa menoleh sekilas.

“Dari mana lo?”

“Makan angin.”

“Gue duduk di sini makan angin juga.” Arsa mendengkus.

Sarkara berdecak. Selonjoran merilekskan diri ketika kembali ia iangn soal Drisana itu.
Tangannya merogoh saku, mengeluarkan kertas lecek yang sudah mulai robek akibat terlalu
sering diremas.

“Sa.”

“Hem?”

“Lo tau Drisana Gauri enggak?”

“Anak kelas satu?”

“Lo kenal?”
“Temen gue Opi naksir, Cuma enggak dinotice.”

“Katanya dia temen lamanya Aswin.”

“Aswin anak futsal?”

“Yoi, Aswin.”

“Terus?”

“Kemaren gue nemu ini.” Sarkara menyerahkan kertas Drisa agar Arsa bisa membacanya.
“Tiba-tiba jatoh depan gue, jadi ya gue baca. Nemu namanya Aswin, yaudah gue kasih aja ke
orangnya.”

“Terus?”

“Tadi gue mau balikin ke Drisa, lah dia malah nangis.”

“Lo goblok, sih.”

“Maksud lo?!”

“Yaelah, goblok. Ini tuh kayak surat cinta tau enggak?”

“Hah?!”

“Lo kira apaan sih?”

Sarkara tercengang. “Gue kira si Drisana sama Aswin ada masalah. Lagian surat cinta dari
mane disitu dia nulisnya benci diri sendiri.”

“Cewek-cewek jaman sekarang nulis perasaannya tuh kebalikan dari kenyataan. Quotes baper
sekarang kan gini semua juga.”

Tunggu.

Maksudnya dia membenci dirinya karena Aswin adalah sebuah pernyataan cinta? Jadi dia
menangis malu bukan karena ketahuan membenci Aswin melainkan ketahuan suka?

Tapi Aswin berpikir Drisa juga membencinya!!

“Jadi gimana?”

“Ya gimana lagi. Lo minta maaflah.”

“Enggak sudi.”

“Yaudah, lo enggak usah ngurusin.”

“Tapi nangislah anaknya.”


“Lah elo pake ngasih tau Aswin.”

“Gue kira si Aswin gangguin anak orang!”

“Terus lo mau ngapain?”

“Ya gimana lagi.” Sarkara menatap tulisan tangan Drisa sekali lagi. “Udahlah. Aswin juga
salah paham.”

“Awas loh, Kar. Anak ornag bunuh diri, tanggung jawab lo. Saksi gue.”

Sarkara melempar bantal ke wajah adiknya. Tapi diam-diam ia ngeri memikirkan Drisa
menghabiskan malam menangis gara-gara perbuatan bodohnya tadi.

Sial.

Bilang dong kalau tidak mau disampaikan.

Kalau di kertas itu ada tulisan ‘jangan disampaikan’ atau ‘dibuang’ Sarkara akan
melemparnya ke tempat sampah, bukan pada Aswin.

**

Anda mungkin juga menyukai